Anda di halaman 1dari 66

 

BAB I
PENDAHULUAN

Hampir semua wanita pernah mengalami gangguan haid selama masa hidupnya.
Gangguan ini dapat berupa kelainan siklus atau perdarahan. Masalah ini dihadapi oleh
wanita usia remaja, reproduksi dan klimakterik.1,2
Perdarahan yang terjadi dalam masa antara 2 haid disebut perdarahan bukan haid.
Perdarahan itu tampak terpisah dan dapat dibedakan dari haid, atau 2 jenis perdarahan ini
menjadi satu; yang pertama dinamakan metroragia, yang kedua menometroragia.
Perdarahan ini dapat disebabkan oleh kelainan organik pada alat genital atau kelainan
fungsional. Perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan sebab organik
(kelainan pada serviks, uterus, tuba fallopii dan ovarium) dinamakan perdarahan
disfungsional 1,2
Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan
menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa
akhir fungsi ovarium. Dua pertiga dari wanita-wanita yang dirawat di rumah sakit untuk
perdarahan disfungsional berumur di atas 40 tahun, dan 3 % di bawah 20 tahun.
Sebetulnya dalam praktek banyak dijumpai pula perdarahan disfungsional dalam masa
pubertas, akan tetapi keadaan ini dapat sembuh sendiri, sehingga jarang diperlukan
perawatan di rumah sakit 3,4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Pendarahan Uterus Abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan untuk


menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya.
Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang banyak atau sedikit,
dan haid yang memanjang atau tidak beraturan. Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD)
atau Dysfunctional Uterine Bleeding adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di
dalam siklus maupun di luar siklus menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme
pengaturan hormon (hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ.
Perdarahan ini juga didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan atau tidak teratur
tanpa adanya patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan perdarahan
umum23

Tabel 1. Parameter klinis menstruasi23

Indikator
Dimensi klinis menstruasi Batas normal
klinik
Menstruasi dan siklus menstruasi (percentil 5 – 95 th)
Sering <24
Frekuensi menstruasi (hari) Normal 21-35
Jarang >38
Keteraturan siklus menstruasi, Tidak ada Tidak ada pendarahan
variasi dari siklus ke siklus selama Reguler Variasi ±2-20 hari
12 bulan (hari) Ireguler Variasi > 20 hari
Memanjang >8.0
Durasi (hari) Normal 4.5-8.0
Memendek <4.5
Banyak >80
Volume kehilangan darah perbulan
Normal 5-80
(ml)
Sedikit <5

2.2 Klasifikasi PUA23


1. Klasifikasi PUA berdasarkan jenis perdarahan.
a. Pendarahan uterus abnormal akut
Didefinisikan sebagai pendarahan haid yang banyak sehingga perlu dilakukan
penanganan segera untuk mencegah kehilangan darah. Pendarahan uterus abnormal akut
dapat terjadi pada kondisi PUA kronik atau tanpa riwayat sebelumnya.
b. Pendarahan uterus abnormal kronik
Merupakan terminologi untuk pendarahan uterus abnormal yang telah terjadi lebih
dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan penanganan yang segera seperti
PUA akut.
c. Pendarahan tengah (intermenstrual bleeding)
Merupakan pendarahan haid yang terjadi diantara 2 siklus haid yang teratur.
Pendarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap
siklus Istilah ini ditujukan untuk menggantikan terminologi metroragia.
2. Klasifikasi PUA berdasarkan penyebab perdarahan.
Klasifikasi utama PUA berdasarkan FIGO dapat dilihat pada bagan 2. Sistem
klasifikasi ini telah disetujui oleh dewan eksekutif FIGO sebagai sistem klasifikasi PUA
berdasarkan FIGO. Terdapat 9 kategori utama yang disusun berdasarkan akronim
“PALM-COEIN”
 Kelompok “PALM” adalah merupakan kelompok kelainan struktur penyebab
PUA yang dapat dinilai dengan berbagai teknik pencitraan dan atau pemeriksaan
histopatologi.
 Kelompok “COEIN” adalah merupakan kelompok kelainan non struktur
penyebab PUA yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau
histopatologi.
PUA terkait dengan penggunaan hormon steroid seks eksogen, AKDR, atau agen
sistemik atau lokal lainnya diklasifikasikan sebagai “iatrogenik”.
Gambar 1. Klasifikasi PUA (FIGO)23

Keterangan:
a. Polip (PUA-P)
Polip adalah pertumbuhan endometrium berlebih yang bersifat lokal mungkin tunggal
atau ganda, berukuran mulai dari beberapa milimeter sampai sentimeter. Polip
endometrium terdiri dari kelenjar, stroma, dan pembuluh darah endometrium.
b. Adenomiosis (PUA-A)
Merupakan invasi endometrium ke dalam lapisan miometrium, menyebabkan uterus
membesar, difus, dan secara mikroskopik tampak sebagai endometrium ektopik, non
neoplastik, kelenjar endometrium, dan stroma yang dikelilingi oleh jaringan miometrium
yang mengalami hipertrofi dan hiperplasia.

c. Leiomioma uteri (PUA-L)


Leiomioma adalah tumor jinak fibromuscular pada permukaan myometrium.
Berdasarkan lokasinya, leiomioma dibagi menjadi: submukosum, intramural,
subserosum.
d. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan abnormal berlebihan dari kelenjar
endometrium. Gambaran dari hiperplasi endometrium dapat dikategorikan sebagai:
hiperplasi endometrium simpleks non atipik dan atipik, dan hiperplasia endometrium
kompleks non atipik dan atipik.
e. Coagulopathy (PUA-C)
Terminologi koagulopati digunakan untuk merujuk kelainan hemostasis sistemik
yang mengakibatkan PUA.
f. Ovulatory dysfunction (PUA-O)
Kegagalan terjadinya ovulasi yang menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yang
dapat menyebabkan terjadinya pendarahan uterus abnormal.
g. Endometrial (PUA-E)
Pendarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid teratur
akibat gangguan hemostasis lokal endometrium.
h. Iatrogenik (PUA-I)
Pendarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan
hormonal (estrogen, progestin) ataupun non hormonal (obat-obat antikoagulan) atau
AKDR.
i. Not yet classified (PUA-N)
Kategori ini dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit dimasukkan dalam
klasifikasi (misalnya adalah endometritis kronik atau malformasi arteri-vena).
3. Pendarahan sela (Breakthrough bleeding)
Merupakan pendarahan yang terjadi akibat paparan terhadap hormon tertentu secara
terus menerus pada lapisan endometrium. Kejadian pendarahan umumnya tidak dapat
diprediksi, dan jenis pendarahannya dapat berupa pendarahan ringan dan pendarahan
bercak (spotting). Berdasarkan mekanisme penyebabnya, maka pendarahan sela dapat
dibagi menjadi:
 Progesteron Breakthrough Bleeding
Progesteron breakthrough bleeding adalah pendarahan bercak yang terjadi ketika
rasio progesteron terhadap estrogen tinggi.
 Estrogen Breakthrough Bleeding
Pola pendarahan akibat pengaruh paparan estrogen terus-menerus. Jumlah dan durasi
estrogen breakthrough bleeding dapat bervariasi, tergantung pada jumlah dan durasi
stimulasi unopposed estrogen terhadap endometrium.
4. Pendarahan Lecut / withdrawal bleeding
Adalah pendarahan yang terjadi karena turunnya kadar hormon estrogen/progesteron
dengan ciri pendarahan yang umumnya teratur, dapat diprediksi, dan konsisten dalam
volume dan durasi. Berdasarkan mekanisme penyebabnya, maka pendarahan lecut dapat
dibagi menjadi:
 Pendarahan lecut estrogen/ Estrogen withdrawal bleeding
Adalah pendarahan yang terjadi karena turunnya kadar hormon estrogen.
 Pendarahan lecut progesterone/ Progesterone withdrawal bleeding
Adalah pendarahan yang disebabkan penurunan kadar hormon progesteron.

2.3 Epidemiologi
Perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
wanita pada usia reproduksi.1 Menurut penelitian Lee et al., keluhan ini banyak terjadi
pada masa awal terjadinya menstruasi. Sebanyak 75% wanita pada tahap remaja akhir
memiliki gangguan yang terkait dengan menstruasi. Penelitian yang dilakukan Bieniasz J
et al. pada remaja wanita menunjukan prevalensi amenorea primer sebanyak 5,3%,
amenorea sekunder 18,4%, oligomenorea 50%, polimenorea 10,5%, dan gangguan
campuran sebanyak 15,8%.8

Berdasarkan data yang didapatkan di beberapa negara industri, sebanyak


seperempat penduduk perempuan pernah mengalami menoragia, 21% mengeluh siklus
menstruasi yang memendek, 17% mengalami perdarahan intermenstrual, dan 6%
mengalami perdarahan pascakoitus.2

2.4 Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal akut maupun kronis merupakan
multifaktorial. Menstrual Disorders Working Group of the International Federation of
Gynecology and Obstetrics menyatakan sistem klasifikasi dan terminologi standarisasi
untuk etiologi pada gejala perdarahan uterus abnormal. Etiologi diklasifikasikan
berdasarkan penyebab yang berkaitan dengan abnormalitas struktur uterus dan tidak
berkaitan dengan abnormalitas struktur yang dinyatakan dalam akronim PALM-COEIN :
Polyp, Adenomyosis, Leiomyoma, Malignancy, dan hyperplasia, Coagulatopathy,
Ovulatory dysfunction, Endometrial, Iatrogenic, dan tidak terklasifikasikan.9
Tabel 2. Penyebab perdarahan iregular berkaitan dengan usia dan usia reproduktif23

Kelompok Usia

15-20 20-30 30-45 45-55 55+

STI: Servisitis (terutama Hormon replacing therapy


Chlamydia) Kanker endometrium
Ektropion servikal

Polip endometrium
Endometrium hiperplasia
Uterine fibroid

Alat kontrasepsi dalam rahim

Hamil dan komplikasinya: keguguran/ hamil ektopik


Kontrasepsi steroid (terutama progesteron)
Endometriosis

Trauma / operasi

2.5 Patogenesis23
Haid normal.
 Perekrutan folikel dominan terjadi selama hari 5- 7, akibatnya, kadar estradiol
mulai meningkat secara bermakna pada hari ke 7. Kadar estradiol, berasal dari
folikel dominan, meningkat terus dan melalui efek umpan balik negatif, menekan
pelepasan FSH
 Peralihan dari penekanan ke stimulasi pelepasan LH terjadi karena kenaikan kadar
estradiol selama fase midfollikular.
 Kadar estradiol yang diperlukan untuk mencapai umpan balik positif lebih dari
200 pg / mL, dan konsentrasi ini harus dipertahankan sekitar 50 jam. Kadar
estrogen ini tidak pernah terjadi sampai folikel dominan mencapai diameter 15
mm.
 Peningkatan kadar estrogen akan memicu penurunan FSH, sementara kenaikan
estrogen di fase midfolikular memberikan pengaruh umpan balik positif terhadap
sekresi LH. Penurunan kadar FSH dan peningkatan LH pada fase midfolikular
akan memicu terjadinya program seleksi pada kohort folikel.
 Melalui reseptornya, LH memulai luteinisasi dan produksi progesteron dari
lapisan granulosa. Meningkatnya kadar progesteron preovulasi menyebabkan
umpan balik positif estrogen yang mungkin diperlukan untuk memicu puncak
FSH pada pertengahan siklus.
 Kadar LH meningkat terus selama fase folikuler akhir, merangsang produksi
androgen di sel teka dan mengoptimalkan pematangan akhir dan fungsi folikel
dominan. Produksi hormon estrogen menjadi cukup untuk mencapai dan
mempertahankan kadar ambang estradiol perifer yang diperlukan untuk
mendorong lonjakan LH.
 36 jam pasca lonjakan LH akan memicu terjadinya ovulasi
 Selanjutnya di bawah pengaruh hormon FSH dan LH sel-sel lutein akan
menghasilkan hormon estrogen dan terutama progesteron yang akan mencapai
puncaknya di 7 hari pasca ovulasi
 Apabila dalam waktu 14 hari tidak terjadi kehamilan, maka korpus luteum akan
mengalami degenerasi. Kematian korpus luteum menyebabkan penurunan kadar
estradiol, progesteron, dan inhibin sirkulasi.
 Sampai 36-48 jam sebelum menstruasi, masih terdapat sekresi gonadotropin
ditandai dengan pulsasi LH yang jarang dan kadar FSH rendah yang merupakan
khas akhir fase luteal. Selama transisi dari fase luteal ke fase folikuler berikutnya,
GnRH dan gonadotropin dilepaskan sebagai efek penghambatan estradiol,
progesteron, dan inhibin.
Gambar 2. Siklus haid normal

Gambaran hormon reproduksi pada haid abnormal.


 Pasien yang mengalami menstruasi yang tidak teratur, kewajiban untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit sistemik seperti hipotiroidisme dan
produksi prolaktin abnormal merupakan suatu keharusan.
 Berdasarkan klasifikasi FIGO 2011, pada PUA pemeriksaan laboratorium
hormonal bermanfaat pada PUA yang disebabkan oleh :
a. Gangguan ovulasi (AUB-O)
 Pemeriksaan kadar FSH, LH, dan estradiol akan membantu mengidentifikasi
etiologi disfungsi poros hipotalamus-hipofisis-gonad. FSH / LH / estradiol
dapat dinilai pada hari ke-3 pada siklus menstruasi yang teratur atau kapan
saja pada siklus menstruasi yang tidak teratur.
 Peningkatan kadar FSH dan LH dan rendahnya kadar estradiol serum sesuai
dengan rendahnya cadangan ovarium atau kegagalan ovarium primer.
 Rendahnya kadar FSH dan LH sesuai dengan disfungsi ovarium sekunder
karena gangguan pada hipotalamus atau hipofisis.
 Kadar FSH dan LH tinggi dengan perkembangan karakteristik seks sekunder
di usia muda menunjukkan pubertas prekoks.
 Rasio LH/FSG lebih dari 2:1 atau 3:1 mungkin dapat membantu untuk
diagnostik SOPK.
 Kadar FSH dapat meningkat pada penggunaan simetidine, chlomiphene,
digitalis dan levodopa, menurun pada penggunaan kontrasepsi oral dan
fenotiazin.
 Jika gejala viralisasi tidak ditemukan pada pasien dicurigai SOPK, kelebihan
androgen dapat diuji dengan mengukur kadar testosteron total dan bebas atau
free androgen index. peningkatan kadar testosteron bebas merupakan indikator
yang sensitif kelebihan androgen.

Pada siklus ovulasi


Perdarahan rahim yang bisa terjadi pada pertengahan menstruasi maupun bersamaan
dengan waktu menstruasi. Perdarahan ini terjadi karena rendahnya kadar hormon
estrogen, sementara hormon progesteron tetap terbentuk.
Ovulasi abnormal terjadi pada 15 – 20 % pasien PUA dan mereka memiliki
endometrium sekretori yang menunjukkan adanya ovulasi setidaknya intermitten jika
tidak reguler. Pasien ovulatori dengan perdarahan abnormal lebih sering memiliki
patologi organik yang mendasari, dengan demikian mereka bukan pasien PUA sejati
menurut definisi tersebut. Secara umum, PUA ovulatori sulit untuk diobati secara
medis.11
Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)
Perdarahan rahim yang sering terjadi pada masa pre-menopause dan masa
reproduksi. Hal ini karena tidak terjadi ovulasi, sehingga kadar hormon estrogen
berlebihan sedangkan hormon progesteron rendah. Akibatnya dinding rahim
(endometrium) mengalami penebalan berlebihan (hiperplasi) tanpa diikuti penyangga
(kaya pembuluh darah dan kelenjar) yang memadai. Kondisi inilah penyebab terjadinya
perdarahan uterus karena dinding uterus yang rapuh.11
Anovulasi kronik adalah penyebab PUA yang paling sering. Keadaan anovulasi
kronik akibat stimulasi estrogen terhadap endometrium terus menerus yang menimbulkan
pelepasan irreguler dan perdarahan. Anovulasi sering terjadi pada gadis perimenarche.
Stimulasi estrogen yang lama dapat menimbulkan pertumbuhan endometrium yang
melebihi suplai darahnya dan terjadi perkembangan kelenjar, stroma, dan pembuluh
darah endometrium yang tidak sinkron. Setiap kegagalan produksi progesteron juga dapat
mempengaruhi kelenjar, stroma, dan pembuluh darah endometrium. Kegagalan produksi
progesteron disebabkan berbagai etiologi endokrin seperti penyakit tiroid,
hiperprolaktinemia, dan tumor ovarium yang menghasilkan hormon, penyakit Cushing,
dan yang paling penting adalah sindroma ovarium polikistik atau sindroma Stein –
Leventhal.11

2.6 Patofisiologi
Endometrium terdiri dari dua lapisan yang berbeda yaitu lapisan fungsionalis dan
lapisan basalis Lapisan basalis terletak di bawah lapisan fungsionalis, berkontak langsung
dengan miometrium, dan kurang responsif terhadap hormon. Lapisan basalis berfungsi
sebagai reservoir untuk regenerasi pada saat menstruasi sedangkan lapisan fungsionalis
mengalami perubahan sepanjang siklus menstruasi dan akhirnya terlepas saat menstruasi.
Secara histologis, lapisan fungsionalis memiliki epitel permukaan yang mendasari
pleksus kapiler subepitel.6,8,9

Uterus divaskularisasi oleh dua arteri uterina. Di lateral bawah uterus, arteri uterina
pecah menjadi dua cabang yaitu arteri vaginalis yang mengarah ke bawah dan cabang
asenden yang mengarah ke atas. Cabang asenden dari kedua sisi uterus membentuk dua
arteri arkuata yang berjalan sejajar dengan kavum uteri. Kedua arteri arkuata tersebut
membentuk anastomose satu sama lain, membentuk cincin yang melingkari kavum uteri.
Arteri radialis merupakan cabang kecil arteri arkuata yang berjalan meninggalkan arteri
arkuata secara tegak lurus menuju kavum uteri. Arteri radialis memiliki fungsi untuk
memperdarahi miometrium lalu pada saat memasuki lapisan endometrium, arteri radialis
memberi cabang arteri yang lebih kecil ke arah lateral yaitu arteri basalis. Arteri basalis
memiliki fungsi untuk memperdarahi lapisan basalis endometrium dan tidak sensitif
terhadap stimulus hormon. Arteri radialis kemudian memasuki lapisan fungsionalis
endometrium dan menjadi arteri spiralis. Arteri spiralis sangat peka terhadap stimulus
hormon dan bertugas untuk memperdarahi lapisan fungsionalis endometrium. 6,8,9

Sebelum terjadinya menstruasi, pada arteri ini terjadi peningkatan statis aliran darah,
kemudian terjadi vasodilatasi dan perdarahan dari arteri spiralis dan dinding kapiler.
Maka dari itu darah menstruasi akan hilang melalui pembuluh darah tersebut. Hal ini
diikuti dengan terjadinya vasokonstriksi yang menyebabkan iskemi dan nekrosis
endometrium. Jaringan nekrotik tersebut lalu luruh saat menstruasi.2, 4, 11
Perdarahan uterus disfungsional anovulasi merupakan pendarahan tidak teratur yang
berkepanjangan dan berlebihan disebabkan oleh terganggunya fungsi aksis hipotalamus-
hipofisis-ovarium. Hal ini sering terjadi pada wanita dalam usia ekstrim, yaitu pada masa
perimenarchal dan perimenopausal. Pada masa tersebut terjadi perubahan siklus antara
ovulasi dan anovulasi sehingga mengakibatkan keketidakteraturan pola menstruasi serta
kehilangan darah dalam jumlah yang banyak. 6,8,9

Mekanisme anovulasi tidak diketahui secara pasti, tetapi diketahui bahwa estrogen
dapat menyebabkan proliferasi endometrium berlebihan dan hiperplasia dengan
peningkatan dan melebar pembuluh darah dan supresi arteri spiralis. Pembuluh darah
superfisial pada permukaan endometrium yang hiperplasia menjadi besar, berdinding
tipis, dan melengkung. Perubahan tersebut yang menjadi sumber terjadinya peningkatan
kehilangan darah. Paparan estrogen secara terus menerus memiliki efek langsung
terhadap pasokan darah uterus dengan mengurangi tonus pembuluh darah. Efek tidak
langsung dari estrogen melalui penghambatan terlepasnya vasopresin yang menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan aliran darah. Estrogen juga merangsang ekspresi VEGF
(Vascular Endothelial Growth Factor) stroma yang dapat menyebabkan terganggunya
angiogenesis.12

Perdarahan uterus disfungsional ovulasi ditandai dengan episode reguler kehilangan


menstruasi berat, dengan 90% dari kerugian pada 3 hari pertama seperti pada menstruasi
normal. Tidak ada gangguan aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium dan gonadotropin dan
profil steroid tidak berbeda dengan yang terlihat pada siklus menstruasi normal.
Penurunan kadar estrogen dan progesteron pada akhir fase luteal memicu banyak proses
yang mengarah terjadinya disintegrasi diikuti epitelisasi kembali lapisan fungsional
endometrium selama menstruasi. Defek utama terdapat dalam mengontrol proses volume
darah yang hilang selama menstruasi, terutama proses vasokonstriksi dan hemostasis.
Perubahan fase folikular aliran darah endometrium pada wanita dengan perdarahan uterus
disfungsional ovulasi mempengaruhi gangguan fungsi yang terjadi dalam jaringan.
Jumlah estrogen di kelenjar dan stroma serta reseptor progesteron di endometrium dapat
meningkat saat fase sekresi akhir pada wanita yang menderita perdarahan uterus
disfungsional. Salah satu faktor yang berperan dalam membatasi kehilangan banyak
darah selama menstruasi yaitu prostaglandin. Pelepasaan prostaglandin (PG) di
endometrium dipengaruhi oleh kadar steroid yang bersirkulasi. PGF2α merupakan salah
satu substansi poten untuk mencegah agregrasi platelet dan formasi plak hemostatik.
Peningkatan reseptor PGE2 dan PGI2 menjadi faktor predisposisi terjadinya vasodilatasi
pada wanita dengan menoragia. Peningkatan sintesis PGI2 menjadi prekursor dalam
perdarahan uterus disfungsional ovulasi. Pengobatan antiprostaglandin efektif dalam
pengobatan perdarahan uterus disfungsional dengan mengurangi sintesis PG di
endometrium dan disertai penghambatan menempelnya PGE pada reseptornya.12

2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang terjadi pada perdarahan uterus abnormal adalah sebagai
berikut:4

 Menoragia dan metroragia


Adanya perubahan pola dalam siklus menstruasi berupa interval yang
normal teratur tetapi jumlah darah dan durasinya lebih dari normal merupakan
menoragia. Interval yang tidak teratur dengan jumlah perdarahan dan durasi yang
lebih dari normal merupakan metroragia. Banyak gangguan yang bersifat
patologis yang menyebabkan menoragia, metroragia ataupun keduanya
(menometroragia).

 Perdarahan pascakoitus
Perdarahan pascakoitus merupakan perdarahan yang paling umum
dijumpai pada wanita berusia 20 - 40 tahun serta pada mereka yang multipara.
Lesi yang dijumpai pada perdarahan pascakoitus biasanya jinak. Berdasarkan
observasi yang dilakukan pada 248 wanita dengan perdarahan pascakoitus
didapatkan bahwa seperempat dari kasus tersebut disebabkan oleh eversi serviks.
Penyebab lain yang dapat mendasari diantaranya polip endoserviks, servisitis, dan
polip endometrium. Pada servisitis, penyebab yang paling sering adalah infeksi
Chlamydia trachomatis. Menurut penelitian Bax et al., risiko relatif infeksi
klamidia pada wanita dengan pendarahan pascakoitus adalah 2,6 kali lebih tinggi
daripada kelompok kontrol tanpa perdarahan.
Pada beberapa wanita, perdarahan pascakoitus dapat berasal dari neoplasia
serviks atau saluran kelamin. Pada neoplasia intraepitel serviks dan kanker yang
invasif, epitel menjadi tipis dan rapuh sehingga mudah lepas dari serviks. Pada
wanita dengan perdarahan pascakoitus, neoplasia intraepitel seviks ditemukan
sebanyak 7 – 10%, kanker yang invasif sebanyak 5%, dan kanker endometrium
sebanyak kurang dari 1%.
Dalam studi lain, Jha dan Sabharwal melaporkan bahwa sejumlah
perempuan dengan perdarahan pascakoitus memiliki lesi patologis yang
diidentifikasi dengan kolposkopi. Sebagian besar wanita dengan perdarahan yang
tidak dapat dijelaskan pascakoitus harus menjalani pemeriksaan kolposkopi jika
sumber perdarahan belum dapat diidentifikasi.

 Nyeri pelvis
Adanya kram yang menyertai perdarahan diakibatkan dari peran
prostaglandin. Dismenore yang terjadi bersamaan dengan perdarahan uterus
abnormal dapat disebabkan oleh polip, leiomioma, adenomiosis, infeksi, dan
komplikasi kehamilan.
Nyeri yang dirasakan saat berhubungan seksual dan nyeri nonsiklik jarang
dirasakan pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Jika nyeri ini
dirasakan, maka penyebabnya adalah kelainan dari struktural atau infeksi.
Lippman et al., melaporkan peningkatan tingkat dispareunia dan nyeri panggul
nonsiklik pada wanita dengan leiomioma uterus. Sammour et al., menyatakan
adanya korelasi nyeri panggul yang meningkat seiring dengan adanya invasi
miometrium dengan adenomiosis.

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari perdarahan uterus abnormal (PUA) sebagai berikut :13,
a. Polip Endoserviks
Merupakan tumor jinak yang tumbuh menonjol dan bertangkai dari selaput lendir
dipermukaan mukosa serviks atau pada saluran endoserviks dan menonjol pada
mulut serviks. Etiologinya belum diketahui namun diduga akibat infeksi yang
tidak ditangani sengan baik, atau memang jaringan tersebut mempunyai sifat
tumbuh yang berlebihan. Manifestasi klinisnya yaiut perdarahan abnormal vagina
yang terjadi antara periode menstruasi, setelah menopouse dan setelah hubungan
seksual, keputihan.
b. Kehamilan Ektopik
Merupakan kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh
diluar endometrium kavum uteri. Etiologinya belum diketahui. Manifestasi
klinisnya yaitu nyeri abdomen bawah atau pelvic, disertai amenorrhea atau
spotting atau perdarahan vaginal, menstruasi abnormal, kolaps dan kelelahan,
pucat.
c. Abortus
Suatu proses berakhirnya suatu kehamilan, dimana janin belum mampu hidup
diluar rahim dengan kriteria usia kehamilan kurang 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram. Etiologinya yaitu kelianan ovum, kelainan sirkulasi
plasenta, inkompetensi serviks, penyakit ibu dan antagonis reshus. Manifesasi
klinisnya terutama perdarahan, rasa mulas dan nyeri.

2.9 Diagnosis
 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada sifat perdarahan ditanyakan apakah pasien mengalami perdarahan
setelah berhubungan seksual atau perdarahan terjadi secara tiba-tiba. Waktu
terjadinya perdarahan ditanyakan apakah perdarahan terjadi saat sedang
menstruasi dalam bentuk perdarahan berlebih atau perdarahan terjadi diantara
siklus haid atau saat pasien sudah menopause. Kehamilan adalah salah satu
konsiderasi utama pada wanita usia subur yang mengalami perdarahan uterus
abnormal.13 Beberapa hal yang dapat menyebabkan perdarahan adalah abortus,
plasenta previa, kehamilan ektopik, dan lain-lain. Pada riwayat konsumsi obat
ditanyakan apakah pasien sedang menggunakan obat-obatan yang mengganggu
sistem hormon seperti penggunaan KB hormonal, tamoxifen atau obat-obat yang
mengganggu proses pembekuan darah. Riwayat penyakit keluarga dan riwayat
penyakit sistemik dari pasien juga perlu ditelusuri untuk mencari penyakit yang
dapat berperan dalam terjadinya perdarahan uterus abnormal seperti defisiensi
faktor pembekuan darah, diabetes mellitus, gangguan tiroid, dan lain-lain.
Keganasan pada genitalia juga dapat memicu terjadinya perdarahan uterus
abnormal. 6,9,11,13
Setelah melakukan anamnesis maka pemeriksaan fisik dilakukan untuk
mencari tanda dari penyebab perdarahan uterus abnormal.22
 Pemeriksaan fisik untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik
 Memastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan
 Pemeriksaan Indeks Massa Tubuh (IMT), tanda hiperandrogen,
pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid / hipertiroid,
galaktorea (hiperprolaktinemia) gangguan lapang pandang (adenoma
hipofisis), purpura dan ekimosis wajib diperiksa.7
 Menyingkirkan kehamilan.

Pemeriksaan Ginekologi

Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan


Pap smear dan harus disingkirkan kemungkinan adanya mioma uteri, polip,
hiperplasia endometrium atau keganasan.23

- Pada pemakaian kontrasepsi yang teratur dan benar, pemeriksaan


menggunakan spekulum harus dilakukan apabila terdapat keluhan
pendarahan yang menetap, atau perubahan pendarahan setelah minimal 3
bulan pemakaian kontrasepsi, tidak berhasil dengan terapi medikamentosa,
atau apabila belum pernah dilakukan skrining kanker serviks.
- Pemakaian kontrasepsi yang benar dan konsisten, disamping pemeriksaan
spekulum, pemeriksaan bimanual harus dilakukan bila keluhan
pendarahan disertai gejala lain (seperti nyeri, dispareunia atau pernarahan
berat).
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mencari penyebab dari
perdarahan uterus abnormal. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah
darah lengkap serta faktor pembekuan darah untuk menilai adanya gangguan
koagulasi, kadar TSH untuk menilai adanya gangguan tiroid, kadar β-hCG untuk
pemeriksaan kehamilan, kadar estrogen, FSH, prolaktin juga perlu diperiksa untuk
menentukan apakah perdarahan uterus abnormal berasal dari gangguan
hormonal.14
Pencitraan pada umumnya menggunakan ultrasonography (USG)
transvaginal untuk melihat adanya kelainan struktural pada organ genitalia atau
untuk mencari adanya tumor atau anomali lainnya yang dapat menyebabkan
perdarahan uterus abnormal yang dialami oleh pasien.13
USG panggul, baik abdomen (suprapubik) dan transvaginal,
direkomendasikan sebagai prosedur lini pertama diagnosis etiologi AUB.22
Doppler ultrasonografi memberikan informasi tambahan yang berguna
untuk mengetahui kelainan endometrium dan miometrium. Histeroskopi atau
histerosonografi dapat digunakan sebagai prosedur lini kedua apabila pemeriksaan
USG menunjukkan adanya kelainan intrauterin atau jika perawatan medis gagal
setelah 3-6 bulan.Pada pasien dengan faktor risiko kanker endometrium (harus
kombinasikan dengan biopsi terarah).11,13
Biopsi jaringan endometrium dilakukan apabila pasien berusia diatas 35
tahun atau berusia dibawah 35 tahun tetapi dengan faktor risiko karsinoma
endometrium yaitu: 11,13

- Siklus anovulasi kronis


- Obesitas
- Nulipara
- Diabetes mellitus
- Penggunaan tamoxifen13

Gambaran sonografi ovarium dan endometrium normal


Pencitraan uterus normal melalui ultrasonografi transvaginal mencitrakan
uterus dalam bidang longitudinal dan horizontalnya dan memberikan informasi
ukuran, bentuk dan posisi uterus dalam satuan sentimeter. Ukuran dan bentuk
uterus berubah sesuai usia pasien namun pada masa reproduksi umumnya
berukuran 7x4x4 cm. Tampilan miometrium akan memberikan gambaran tekstur
yang homogen dengan ekogenisitas rendah/medium.23
Visualisasi endometrium dilakukan mulai dari serviks hingga fundus untuk
menilai kontinuitas miometrium-endometrium. Ditemukannya gambaran massa
pada uterus dideskripsikan sebagai gambaran fokal bila massanya berbatas tegas
membentuk gema tertentu atau gambaran difus bila pembesaran terjadi pada
seluruh lapang pemeriksaan. Sinkronisasi antara pertumbuhan endometrium dan
ovarium harus selalu dideskripsikan bila ditemukan pada pemeriksaan
ultrasonografi transvaginal. Pada awal menstruasi kadang tampak gambaran
pengumpulan darah (anekoik) pada kavum uteri. Pencitraan ovarium normal
melalui ultrasonografi transvaginal akan memberikan gambaran struktur ovoid
pada antero medial dalam fossa ovarica tepat diatas arteri iliaka interna. Dengan
tanda khas berupa gambaran anekoik dari folikelfolikel. Volume ovarium dewasa
kurang lebih 4,3 cm3 dengan ukuran 3-4 mm.23
Fase Proliferasi
Perekrutan folikel dimulai sebelum onset menstruasi. Penumpukan cairan
di antrum folikel menyebabkan folikel bertambah besar dan terlihat pada
pemeriksaan USG. Saat ukuran folikel 1 – 2 mm, dapat dilihat dengan TVS. Pada
hari ke-5 sampai 7, beberapa folikel yang terlihat dalam ovarium. Pada hari ke 8-
12, satu atau lebih folikel dominan akan terlihat. Rerata diameter folikel non
dominan biasanya berukuran lebih kecil dari 14 mm. Pada hari ke 4-5 sebelum
ovulasi, tingkat pertumbuhan folikel dominan 2-3 mm/ hari mencapai rerata
diameter maksimum kurang lebih 20 mm (berkisar 16-30 mm). Kira-kira 24 jam
sebelum ovulasi akan tampak gambaran cincin hipoechoik pada pemeriksaan
USG. Kadangkala terlihat kumulus ooforus. Gambaran fase proliferasi awal
endometrium berupa garis tipis yang ekogenik dengan tebal 1-4 mm. Dengan
progresifnya fase proliferasi, ekogenisitas endometrium berkurang dibandingkan
miometrium sekitarnya. Gambaran endometrium fase proliferasi akhir berupa
gambaran triple layer. Ketebalan endometrium normal 4-8 mm pada fase
proliferasi dan 8-12 mm selama periode periovulasi23

Gambar 3. A. Gambaran endometrium fase poliferasi. B. Folikel dengan


berbagai ukuran pada fase poliferasi.
Gambaran ultrasonografi periode periovulasi sebagai berikut :
1. Gambaran 3 garis endometrium hilang
2. Menurunnya ukuran folikel
3. Bentuk folikel irreguler dan hiperekoik
4. Gambaran cairan di kavum Douglas
Fase Sekresi
Pada pemeriksaan USG endometrium tampak sebagai lapisan yang
homogen dan hiperekogenik dengan tebal 8-16 mm dan tidak berubah sampai
menstruasi dimulai. Apabila tidak terjadi kehamilan, ketebalan endometrium
mulai berkurang, namun ekogenisitasnya tidak berubah.23

Gambar 4. A. Endometrium fase sekresi, B. USG Doppler Korpus luteum


fase luteal.
Korpus luteum dapat menahan cairan selama 4 sampai 5 hari berikutnya
dan ukurannya bertambah menjadi 2-3 cm selama fase luteal. Korpus luteum yang
terisi darah disebut ‘korpus hemoragikum’. Pertumbuhan korpus luteum
diasosiasikan dengan peningkatan aliran darah dan kadar progesterone serum fase
luteal. Segera setelah ovulasi, dinding folikel menjadi sangat vaskuler pada 48-72
jam pertama, terdapat cincin vaskuler yang jelas, yang muncul setelah corpus
luteum matang dan dapat dilihat dengan pemeriksaan Doppler berwarna atau
Power Doppler. Bila tidak terjadi kehamilan, korpus luteum secara bertahap akan
mangalami involusi dan atropi menjadi corpus albikans.23

Fase Menstruasi
Menstruasi dimulai pada saat kadar estrogen dan progesteron menurun
pada akhir siklus ovarium, menyebabkan meluruhnya lapisan fungsional
endometrium. Gambaran USG fase menstruasi bervariasi tergantung pada jumlah
darah dan fragmen endometrium, yang terlihat sebagai debris ekogenik. Lapisan
basalis tampak sebagai garis yang tipis, ireguler, dan hiperekogenik.23

Gambar 5. Diagram dan USG menunjukkan fase menstruasi.


Gambaran sonografi ovarium dan endometrium pada kasus pendarahan
uterus abnormal.
Polip endometrium
Pemeriksaan ultrasonografi TVS polip endometrium tampak sebagai
gambaran hyperechoic dengan penebalan fokal endometrium dalam lumen uterus,
dikelilingi oleh halo hyperechoic tipis 63. Polip mungkin muncul sebagai
penebalan endometrium nonspesifik atau massa fokal dalam rongga endometrium.
Gambaran TVS pada fase proliferasi memberikan hasil yang paling dapat
diandalkan.23

Gambar 6. Polip endometrium


Leiomioma uteri
Diagosis mioma submukosum secara USG adalah berdasarkan distorsi
kontur uterus baik fokal ataupun difus, pembesaran uterus dan perubahan tekstur.
Tekstur sonografinya bervariasi dari hipoekoik hingga ekogenik dan berbatas
tegas bergantung dari jumlah otot polos dan jaringan penyambung. Salah satu ciri
khas yang membedakan mioma uteri adalah adanya gambaran pseudokapsel dan
shadowing dengan bercak kalsifikasi. Mioma uteri dengan degenerasi kistik akan
memberikan gambaran anekoik.23
Kecurigaan hiperplasia endometrium
Kecurigaan hiperplasia endometrium ditegakkan dengan ditemukannya
gambaran diskontinuitas fokal endometrium, adanya deformasi, hilangnya garis
sentral ekogenik ataupun ekspansi fokal endometrium. Kecurigaan akan adanya
hiperplasia endometrium akan semakin dikuatkan dengan menggunakan saline
infusion sono histerosalpingografi (SIS) yang akan lebih meningkatkan sensivitas
dan spesifitas dari diagnosis. Tindakan biopsi dilakukan hanya berdasarkan
adanya kecurigaan utama dan faktor risiko. Indikasi dilakukan biopsi
endometrium pada wanita perimenopause dan postmenopause adalah sebagai
berikut :23
1. Biopsi tidak diperlukan bila tebal endometrium <5mm
2. Biopsi diindikasikan bila riwayat klinis menemukan unopposed
estrogen lama dengan endometrium yang normal (5 – 12 mm).
3. Biopsi perlu dilakukan pada endometrium dengan ketebalan > 12mm.

Gambar 7. Potongan sagital TVS menunjukkan penebalan endometrium 16 mm.


Adenomiosis
Pembesaran difus uterus (globuler) dengan gambaran heterogenitas,
endometrium intak, batas endometrium-miometrum yang ireguler dan perubahan
kistik kecil serta area hiperekogenik di miometrium adalah penampakan khas
adenomiosis. Cenderung ditemukan adanya asimetri anteroposterior pada
gambaran longitudinal uterus.23
Karsinoma endometrium
Gambaran UGS karsinoma endometrium berupa penebalan endometrium
lebih dari 5 mm pada perempuan post menopause dan lebih dari 8 mm pada
perimenopause, endometrium hiperekhoik, batas endometrium dan lapisan
dibawahnya tidak tidak jelas, adanya cairan intrauterine, dll.23
Sindroma ovarium polikistik
Kriteria USG dari ovarium polikistik adalah: folikel multipel (n>12),
berdiameter kecil (2-9mm) dengan volume ovarium lebih besar dari 10 cm.23

Gambar 8. Gambaran aspek ovarium polisiklik


Saline infusion sonography (SIS) bermanfaat dalam penilaian distorsi
kavum uteri yang disebabkan oleh mioma. SIS paling baik dilakukan saat fase
proliferasi dari siklus menstruasi, setelah menstruasi dan sebelum terjadinya
ovulasi

Gamabr 9. Gambaran polip endometrium pada pemeriksaan SIS

Perkirakan kehilangan darah selama menstruasi


- Perkiraan dari pasien sendiri terhadap perkiraan darah yang hilang.
- Menghitung jumlah hari menstruasi
- Menghitung jumlah produk sanitari yang digunakan
- Mengukur kadar hemoglobin
- Tabel penilai kehilangan darah Pictorial (PBACS)

Tabel 3. Pemeriksaan estimasi kehilangan darah berdasarkan PBAC


Gambar 10. Piktogram menstruasi dengan setara kehilangan darah

2.10 Penatalaksanaan
Tujuan dari terapi pada perdarahan uterus abnormal adalah menyembuhkan penyebab
kelainan yang menyebabkan perdarahan tersebut. Berdasarkan algoritma yang ada
pertama harus dibedakan terlebih dahulu perdarahan termasuk anovulasi atau ovulasi.23

Pada tipe anovulasi, setelah mengevaluasi derajat risiko terjadinya karsinoma


endometrium dan menentukan perlu tidaknya dilakukan biopsi endometrium maka terapi
dapat dimulai. Apabila wanita tersebut tidak memiliki faktor risiko karsinoma
endometrium dan masih berusia dibawah 35 tahun maka akan diberikan obat kontrasepsi
oral kombinasi berupa ethinyl estradiol atau medroxyprogesterone asetat selama 10-14
hari per bulan. Bila keluhan berlanjut maka lakukan biopsi endometrium serta
transvaginal USG untuk mencari penyebab perdarahan tersebut.23

Apabila wanita tersebut memiliki faktor risiko karsinoma endometrium atau berusia
lebih dari 35 tahun maka lakukan biopsi endometrium. Hasil biopsi akan menentukan
tatalaksana yang diberikan, hasil biopsi yang normal akan mendapatkan terapi yang telah
disebutkan diatas. Sedangkan hasil biopsi berupa hiperplasia tanpa atypia akan
mendapatkan medrodyprogesterone asetat 10 mg selama 14 hari per bulan atau
megesterol 40 mg per hari atau dapat juga dipasang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR) dengan levonogestrel (mirena), setelah 3-6 bulan ulangi biopsi endometrium,
apabila hasil masih menunjukan hiperplasia maka pasien dapat dirujuk ke ginekologis
yang lebih berpengalaman. Untuk hasil biopsi hiperplasia dengan atipia sebaiknya pasien
dirujuk langsung ke ginekologis, sedangkan untuk hasil biopsi adenokarsinoma
dianjurkan pasien dirujuk ke ginekologis onkolog. 23

Pada wanita dengan tipe perdarahan ovulasi dievaluasi terlebih dahulu apakah
perdarahan disebabkan oleh kelainan sistemis, kelainan anatomis dengan menggunakan
pemeriksaan lab dan pencitraan berupa USG transvaginal, bila terdapat kecurigaan akan
adanya massa maka dapat dilakukan juga biopsi jaringan endometrium.23

Jika pasien mengalami hipotensi atau kadar hb <10 g/dl atau perdarahan aktif dan
banyak :23

a. Rawat inap
1. Infus RL dan berikan oksigen, transfusi jika Hb <7g/dl
2. Esterogen ekuin konjugasi (EEK) 2,5 mg oral setiap 6 jam, ditambah
prometasin 25mg oral atau injeksi setiap 4-6 jam. Asam traneksamat 3x1 gram
diberikan bersamaan dengan EEK.
3. Dilatasi dan kuretase jika perdarahan masih berlangsung dalam 12-24 jam.
4. Setelah perdarahan akut berhenti diberikan Pil kontrasepsi kombinasi (PKK)
4x1 tab (4 hari), 3x1 tab (3 hari), 2x1 tab (2 hari) dan 1x1 tab, 3 minggu dan 1
minggu terakhir bebas PKK.
5. Jika terdapat kontraindikasi PKK dapat diberikan progestin selama 14 hari,
kemudian stop 14 hari, ulangi 3 bulan.
6. Jika terapi berhasil dan ingin hamil maka terapi berikutnya yaitu tatalaksana
kehamilan, jika tidak ingin hamil maka atur siklus selama 3 bulan atau lebih.
7. Jika terapi tidak berhasil maka berikan terapi pembedahan seperti ablasi
endometrium, miomektomi dan polipektomi atau histerektomi.
b. Rawat jalan
1. EEK 2,5 mg oral setiap 6 jam, ditambah prometasin 25mg oral. Asam
traneksamat 3x1 gramdiberikan bersamaan dengan EEK.
2. Dilatasi dan kuretase jika perdarahan masih berlangsung dalam 12-24 jam.
3. Setelah perdarahan akut berhenti, diberikan PKK 4x1 tab (4 hari), 3x1 tab (3
hari), 2x1 tab (2 hari) dan 1x1 tab, 3 minggu dan 1 minggu terakhir bebas
PKK.
4. Jika terdapat kontraindikasi PKK dapat diberikan progestin selama 14 hari,
kemudian stop 14 hari, ulangi 3 bulan.
5. USG transvaginal /transrektal, TSH, DPL, PT, aPTT.
6. Tablet hematinik 1x1 tab.
7. Jika terapi berhasil dan ingin hamil maka terapi berikutnya yaitu tatalaksana
kehamilan, jika tidak ingin hamil maka atur siklus selama 3 bulan atau lebih.
8. Jika terapi tidak berhasil maka berikan terapi pembedahan seperti ablasi
endometrium, miomektomi dan polipektomi atau histerektomi.

Bila perdarahan masih berlanjut setelah pemberian terapi selama 3-6 bulan maka
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan evaluasi ulang dengan biopsi endometrium,
histeroskopi atau dilakukan tindakan ablasi endometrium, histerektomi.13

A. Definisi Anemia

Menurut definisi, anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas
hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan
patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta
didukung oleh pemeriksaan laboratorium.14

B. Manisfestasi Klinik

Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat menimbulkan
manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:16

(1) Kecepatan timbulnya anemia


(2) Umur individu
(3) Mekanisme kompensasinya
(4) Tingkat aktivitasnya
(5) Keadaan penyakit yang mendasari
(6) Parahnya anemia tersebut.

Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka lebih sedikit O2 yang
dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti pada
perdarahan, menimbulkan simtomatoogi sekunder hipovolemia dan hipoksemia. Namun
pengurangan hebat massa sel darah merah dalam waktu beberapa bulan (walaupun
pengurangannya 50%) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk
menyesuaikan diri, dan biasanya penderita asimtomatik, kecuali pada kerja jasmani
berat.14

Mekanisme kompensasi bekerja melalui:

(1) Peningkatan curah jantung dan pernafasan, karena itu menambah pengiriman O2 ke
jaringan-jaringan oleh sel darah merah

(2) Meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin

(3) Mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan

(4) Redistribusi aliran darah ke organ-organ vital

C. Etiologi

1. Karena cacat sel darah merah (SDM)


Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap
komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi SDM
sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat
mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM
menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini
menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.15

2. Karena kekurangan zat gizi


Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor luar
tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM
disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak
dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga
mendekati umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya
mengurangi penyulit yang terjadi.15

3. Karena perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya
jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar dan
dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena
kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha
akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah
darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.15

4. Karena autoimun

Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan
bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebenarnya tidak
seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur
SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun.15

D. Penegakan Diagnosis

Tanda-tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah:18

1. Kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah


2. Sakit kepala, dan mudah marah
3. Tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi
4. Pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan rapuh,
pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.
Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta distribusi
kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat
yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan, dan membran mukosa mulut serta
konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.18

Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran darah
yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat.
Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan stenosis koroner, dapat
diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia berat, dapat menimbulkan payah
jantung kongesif sebab otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan
diri dengan beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas
pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi
berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus (telinga
berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada susunan saraf pusat.
Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang umumnya
berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia, nausea,
konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan mulut).18
E. Klasifikasi Anemia

Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro, dan makro menunjukkan


ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga
klasifikasi besar.17

Yang pertama adalah anemia normositik normokrom. Dimana ukuran dan bentuk
sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal
tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah
akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal,
kegagalan sumsum, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.17

Kategori besar yang kedua adalah anemia makrositik normokrom. Makrositik berarti
ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi
hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam
nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat
juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab agen-agen yang digunakan mengganggu
metabolisme sel.17

Kategori anemia ke tiga adalah anemia mikrositik hipokrom. Mikrositik berarti


kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal.
Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia
defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah kronik, atau gangguan sintesis
globin, seperti pada talasemia (penyakit hemoglobin abnormal kongenital).17

Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologinya. Penyebab utama yang


dipikirkan adalah:18

(1) Meningkatnya kehilangan sel darah merah

(2) Penurunan atau gangguan pembentukan sel

Meningkatnya kehilangan sel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan atau
oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma atau tukak, atau akibat
pardarahan kronik karena polip pada kolon, penyakit-penyakit keganasan, hemoriod atau
menstruasi. Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi, dikenal dengan nama
hemolisis, terjadi bila gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek.20
hidupnya atau karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan penghancuran sel darah
merah. Keadaan dimana sel darah merah itu sendiri terganggu adalah:

1. Hemoglobinopati, yaitu hemoglobin abnormal yang diturunkan, misalnya anemia sel


sabit

2. Gangguan sintetis globin misalnya talasemia

3. Gangguan membran sel darah merah misalnya sferositosis herediter

4. Defisiensi enzim misalnya defisiensi G6PD (glukosa 6-fosfat dehidrogenase)

Yang disebut diatas adalah gangguan herediter. Namun, hemolisis dapat juga
disebabkan oleh gangguan lingkungan sel darah merah yang seringkali memerlukan
respon imun. Respon isoimun mengenai berbagai individu dalam spesies yang sama dan
diakibatkan oleh tranfusi darah yang tidak cocok. Respon autoimun terdiri dari
pembentukan antibodi terhadap sel-sel darah merah itu sendiri. Keadaan yang di namakan
anemia hemolitik otoimun dapat timbul tanpa sebab yang diketahui setelah pemberian
suatu obat tertentu seperti alfa-metildopa, kinin, sulfonamida, L-dopa atau pada penyakit-
penyakit seperti limfoma, leukemia limfositik kronik, lupus eritematosus, artritis
reumatorid dan infeksi virus. Anemia hemolitik otoimun selanjutnya diklasifikasikan
menurut suhu dimana antibodi bereaksi dengan sel-sel darah merah –antibodi tipe panas
atau antibodi tipe dingin.14

Malaria adalah penyakit parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan


nyamuk anopheles betina yang terinfeksi. Penyakit ini akan menimbulkan anemia
hemolitik berat ketika sel darah merah diinfestasi oleh parasit plasmodium, pada keadaan
ini terjadi kerusakan pada sel darah merah, dimana permukaan sel darah merah tidak
teratur. Sel darah merah yang terkena akan segera dikeluarkan dari peredaran darah oleh
limpa.14

Hipersplenisme (pembesaran limpa, pansitopenia, dan sumsum tulang hiperselular


atau normal) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat penjeratan dan penghancuran sel
darah merah. Luka bakar yang berat khususnya jika kapiler pecah dapat juga
mengakibatkan hemolisis.14

Klasifikasi etiologi utama yang kedua adalah pembentukan sel darah merah yang
berkurang atau terganggu (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang mempengaruhi fungsi
sumsum tulang dimasukkan dalam kategori ini. Yang termasuk dalam kelompok ini
adalah:19

(1) Keganasan yang tersebar seperti kanker payudara, leukimia dan multipel myeloma,
obat dan zat kimia toksik, dan penyinaran dengan radiasi dan

(2) Penyakit-penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan hati, penyakit-penyakit


infeksi dan defiensi endokrin.

Kekurangan vitamin penting seperti vitamin B12, asam folat, vitamin C dan besi
dapat mengakibatkan pembentukan sel darah merah tidak efektif sehingga menimbulkan
anemia. Untuk menegakkan diagnosis anemia harus digabungkan pertimbangan
morfologis dan etiologi.20

F. Anemia Aplastik

Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk di sumsum tulang yang
dapat menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang dihasilkan
tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah, sel
darah putih dan trombosit. Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan
normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang dan biopsi sumsum tulang
menunjukkan suatu keadaan yang disebut “pungsi kering” dengan hipoplasia yang nyata
dan terjadi pergantian dengan jaringan lemak. Langkah-langkah pengobatan terdiri dari
mengidentifikasi dan menghilangkan agen penyebab. Namun pada beberapa keadaan
tidak dapat ditemukan agen penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa
keadaan seperti ini diduga merupakan keadaan imunologis.21

Gejala-gejala anemia aplastik

Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia. Gejala-gejala


lain yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah putih.21

Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan:

(1) Ekimosis dan ptekie (perdarahan dalam kulit)

(2) Epistaksis (perdarahan hidung)

(3) Perdarahan saluran cerna


(4) Perdarahan saluran kemih

(5) Perdarahan susunan saraf pusat

Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi. Aplasia
berat disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang kurang
dari 500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat mengakibatkan
kematian dan infeksi dan/atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Namun penderita yang lebih ringan dapat hidup bertahun- tahun. Pengobatan terutama
dipusatkan pada perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena
infeksi dan perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi sel lain merupakan penyebab
utama kematian maka penting untuk mencegah perdarahan dan infeksi.14

Penatalaksanaan anemia aplastik

Tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan yang dilindungi (ruangan


dengan aliran udara yang mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang baik.
Pada pendarahan dan/atau infeksi perlu dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana,
yaitu sel darah merah, granulosit dan trombosit dan antibiotik. Agen-agen perangsang
sumsum tulang seperti androgen diduga menimbulkan eritropoiesis, tetapi efisiensinya
tidak menentu. Penderita anemia aplastik kronik dipertahankan pada hemoglobin (Hb)
antara 8 dan 9 g dengan tranfusi darah yang periodik.16

Penderita anemia aplastik berusia muda yang terjadi secara sekunder akibat
kerusakan sel induk memberi respon yang baik terhadap tranplantasi sumsum tulang dari
donor yang cocok (saudara kandung dengan antigen leukosit manusia [HLA] yang
cocok). Pada kasus-kasus yang dianggap terjadi reaksi imunologis maka digunakan
globulin antitimosit (ATG) yang mengandung antibodi untuk melawan sel T manusia
untuk mendapatkan remisi sebagian. Terapi semacam ini dianjurkan untuk penderita yang
agak tua atau untuk penderita yang tidak mempunyai saudara kandung yang cocok.1

G. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi secara morfologis diklasifikasikan sebagai anemia


mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintetis hemoglobin. Defisiensi
besi merupakan penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terjadi pada wanita usia
subur, sekunder karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan
besi selama hamil.14

Penyebab lain defisiensi besi adalah:

(1) Asupan besi yang tidak cukup misalnya pada bayi yang diberi makan susu belaka
sampai usia antara 12-24 bulan dan pada individu tertentu yang hanya memakan sayur-
sayuran saja.14

(2) Gangguan absorpsi seperti setelah gastrektomi.14

(3) Kehilangan darah yang menetap seperti pada perdarahan saluran cerna yang lambat
karena polip, neoplasma, gastritis varises esophagus, makan aspirin dan hemoroid.14

Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata mengandung 3 sampai 5 g


besi, bergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Hampir dua pertiga besi terdapat
dalam hemoglobin yang dilepas pada proses penuaan serta kematian sel dan diangkut
melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan kekecualian
dalam jumlah yang kecil dalam mioglobin (otot) dan dalam enzim-enzim hem, sepertiga
sisanya disimpan dalam hati, limpa dan dalam sumsum tulang sebagai feritin dan sebagai
hemosiderin untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.20

Patofisiologi anemia defisiensi besi

Walaupun dalam diet rata-rata terdapat 10 - 20 mg besi, hanya sampai 5% - 10%


(1 - 2 mg) yang sebenarnya sampai diabsorpsi. Pada persediaan besi berkurang maka besi
dari diet tersebut diserap lebih banyak. Besi yang dimakan diubah menjadi besi fero
dalam lambung dan duodenum, penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejunum
proksimal. Kemudian besi diangkut oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk
sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan.21

Tanda dan gejala anemia pada penderita defisiensi besi

Setiap milliliter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya


sedikit sekali, dari 0,5 sampai 1 mg/hari. Namun wanita yang mengalami menstruasi
kehilangan tambahan 15 sampai 28 mg/bulan. Walaupun kehilangan darah karena
menstruasi berhenti selama hamil, kebutuhan besi harian tetap meningkat, hal ini terjadi
oleh karena volume darah ibu selama hamil meningkat, pembentukan plasenta, tali pusat
dan fetus, serta mengimbangi darah yang hilang pada waktu melahirkan.21

Selain tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh anemia, penderita defisiensi besi
yang berat (besi plasma lebih kecil dari 40 mg/ 100 ml, Hb 6 sampai 7 g/100 ml)
mempunyai rambut yang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan
sebenarnya berbentuk seperti sendok (koilonikia). Selain itu atropi papilla lidah
mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat, merah daging, dan meradang dan
sakit. Dapat juga timbul stomatitis angularis, pecah-pecah dengan kemerahan dan rasa
sakit di sudut-sudut mulut.20

Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah merah normal atau hampir normal dan
kadar hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah perifer, eritrosit mikrositik dan
hipokrom disertain poikilositosis dan aniositosis. Jumlah retikulosit mungkin normal atau
berkurang. Kadar besi berkurang walaupun kapasitas meningkat besi serum meningkat.14

Pengobatan anemia pada penderita defisiensi besi

Pengobatan defisiensi besi mengharuskan identifikasi dan menemukan penyebab


dasar anemia. Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghambat perdarahan aktif
yang diakibatkan oleh polip, tukak, keganasan dan hemoroid; perubahan diet mungkin
diperlukan untuk bayi yang hanya diberi makan susu atau individu dengan idiosinkrasi
makanan atau yang menggunakan aspirin dalam dosis besar. Walaupun modifikasi diet
dapat menambah besi yang tersedia (misalnya hati, masih dibutuhkan suplemen besi
untuk meningkatkan hemoglobin dan mengembalikan persediaan besi. Besi tersedia
dalam bentuk parenteral dan oral. Sebagian penderita memberi respon yang baik terhadap
senyawa-senyawa oral seperti ferosulfat. Preparat besi parenteral digunakan secara sangat
selektif, sebab harganya mahal dan mempunyai insidens besar terjadi reaksi yang
merugikan.20

H. Anemia Megaloblastik

Anemia megaloblastik diklasifikasikan menurut morfologinya sebagai anemia


makrositik normokrom.14

Sebab-sebab atau gejala anemia megaloblastik


Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam
folat yang mengakibatkan sintesis DNA terganggu. Defisiensi ini mungkin sekunder
karena malnutrisi, malabsorpsi, kekurangan faktor intrinsik (seperti terlihat pada anemia
pernisiosa dan postgastrekomi) infestasi parasit, penyakit usus dan keganasan, serta agen
kemoterapeutik. Individu dengan infeksi cacing pita (dengan Diphyllobothrium latum)
akibat makan ikan segar yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan hospes dalam
mendapatkan vitamin B12 dari makanan, yang mengakibatkan anemia megaloblastik.15

Walaupun anemia pernisiosa merupakan prototip dari anemia megaloblastik


defisiensi folat lebih sering ditemukan dalam praktek klinik. Anemia megaloblastik
sering kali terlihat pada orang tua dengan malnutrisi, pecandu alkoholatau pada remaja
dan pada kehamilan dimana terjadi peningkatan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan
fetus dan laktasi. Kebutuhan ini juga meningkat pada anemia hemolitik, keganasan dan
hipertiroidisme. Penyakit celiac dan sariawan tropik juga menyebabkan malabsorpsi dan
penggunaan obat-obat yang bekerja sebagai antagonis asam folat juga mempengaruhi.15

Pencegahan anemia pada penderita anemia megaloblastik

Kebutuhan minimal folat setiap hari kira-kira 50 mg mudah diperoleh dari diet
rata-rata. Sumber yang paling melimpah adalah daging merah (misalnya hati dan ginjal)
dan sayuran berdaun hijau yang segar. Tetapi cara menyiapkan makanan yang benar juga
diperlukan untuk menjamin jumlah gizi yang adekuat. Misalnya 50% sampai 90% folat
dapat hilang pada cara memasak yang memakai banyak air. Folat diabsorpsi dari
duodenum dan jejunum bagian atas, terikat pada protein plasma secara lemah dan
disimpan dalam hati. Tanpa adanya asupan folat persediaan folat biasanya akan habis
kira-kira dalam waktu 4 bulan. Selain gejala-gejala anemia yang sudah dijelaskan
penderita anemia megaloblastik sekunder karena defisiensi folat dapat tampak seperti
malnutrisi dan mengalami glositis berat (radang lidah disertai rasa sakit), diare dan
kehilangan nafsu makan. Kadar folat serum juga menurun (<4 mg/ml).16

Pengobatan anemia pada penderita anemia megaloblastik

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pengobatan bergantung pada


identifikasi dan menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini adalah memperbaiki
defisiensi diet dan terapi pengganti dengan asam folat atau dengan vitamin B12. penderita
kecanduan alkohol yang dirawat di rumah sakit sering memberi respon “spontan” bila di
berikan diet seimbang.21

2.1 Defnisi

Mioma adalah tumor jinak otot polos yang terdiri atas unsur-unsur

otot1, berupa sel-sel otot polos serta jaringan pengikat fibroid dan kolagen 2.

Neoplasma jinak ini berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang

menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah fibromioma,

leiomioma, ataupun fibroid3.

2.2 Klasifikasi

Sarang mioma di uterus yang berasal dari serviks uterus hanya 1-3%,

sisanya berasal dari korpus uterus. Menurut letaknya, mioma dikenal sebagai3.

a) Mioma submukosum : mioma berada di bawah endometrium dan

menonjol ke dalam rongga uterus.

b) Mioma intramural : mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut

miometrium.

c) Mioma subserosum : mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga

menonjol pada permukaan uterus, diliputi oleh serosa.


Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai menjadi polip,

kemudian dilahirkan melalui saluran serviks (myomgeburt). Mioma

subserosum dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi


mioma intraligamenter. Mioma subserosum dapat pula tumbuh menempel

pada jaringan lain misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian

membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut wandering/parasitic fibroid.

Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma

pada serviks dapat menonjol ke dalam saluran serviks sehingga ostium uteri

eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa

mioma terdiri atas berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti

konde/pusaran air (whorl like pattern), dengan pseudocapsule yang terdiri dari

jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini.

Pernah ditemukan 200 sarang mioma dalam satu uterus, namun biasanya

hanya 5-20 sarang saja.

2.3 Epidemiologi dan Faktor Resiko

Mioma uteri merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ

reproduksi wanita2. Mioma uteri belum pernah (dilaporkan) terjadi sebeluin

menars, dan jarang sekali mioma ditemukan pada wanita berumur 20 tahun3.

Pada usia reproduktif, terdapat peningkatan insidensi terjadinya mioma uteri

seiring bertambahnya usia5. Usia reproduktif menjadi faktor resiko terjadinya

mioma karena kadar hormon ovarium yang dicurigai sebagai penyebab mioma

masih tinggi4. Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai

sarang mioma. Kejadian mioma uteri paling banyak ditemui pada umur 35-45

tahun, kurang lebih sebesar 25%3, dan sebesar 20-40% ditemukan pada wanita

yang berusia lebih dari 35 tahun 2. Mioma asimptomatik ditemui pada 40-50%
wanita berusia lebih dari 35 tahun8. Pertumbuhan mioma diperkirakan

memerlukan waktu 3 tahun agar dapat mencapai ukuran sebesar tinju, akan

tetapi beberapa kasus ternyata tumbuh cepat. Setelah menopause banyak

mioma menjadi lisut, hanya 10% saja yang masih dapat tumbuh lebih lanjut. Di

Indonesia mioma uteri ditemukan 2,39-11,7% pada semua penderita ginekologi

yang dirawat3.

Mioma uteri ini lebih sering didapati pada wanita nulipara atau yang

kurang subur3. Faktor keturunan juga memegang peran. Selain itu, mioma uteri

juga lebih sering dijumpai pada wanita obese8. Perubahan sekunder pada

mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat degenerasi. Hal ini oleh karena

berkurangnya pemberian darah pada sarang mioma .Mioma ditemukan lebih

banyakpada wanita berkulit hitam dari pada ras lainnya3.

2.4 Etiologi dan Patogenesis

Penyebab sebenarnya dari mioma uteri masih belum jelas6. Mioma uteri

berasal dari sel ototpolos miometrium, menurut teori onkogenik maka

patogenesa mioma uteri dibagi menjadi 2faktor yaitu inisiator dan promotor.

Faktor-faktor yang menginisiasi pertumbuhan miomauteri masih belum

diketahui dengan pasti2. Dari penelitian menggunakan glucose-6-phosphatase

dihydrogenase diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan yang uniseluler6.

Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi

somatik dari myometrium normal dan interaksi kompleks dari hormon steroid

seks dan growth factor lokal. Mutasi somatik ini merupakan peristiwa awal
dalam proses pertumbuhan tumor2. Menurut Meyer asal mioma adalah sel

imatur, bukan dari selaput otot yang matur3.

Tidak ada bukti bahwa hormonestrogen berperan sebagai penyebab

mioma, namun diketahui estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan mioma.

Mioma terdiri dari reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi

dibanding dari miometrium sekitarnya namun konsentrasinya lebih rendah

dibanding endometrium2. Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell nest atau

teori genitoblast. Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen kepada

kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada

permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Puukka dan kawan-

kawan menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih banyak

ditemukan daripada miometrium normal3. Estrogen berperan dalam

pembesaran tumor dengan meningkatkanproduksi matriks ekstraseluler2.

Ada pernyataan yang menyatakan bahwa efek fibromatosa yang

ditimbulkan estrogen dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron

atau testosterone3. Di sisi lain ada pernyataan lain yang menyatakan bahwa

hormonprogesteron memungkinkan pembesarantumor dengan cara down-

regulation apoptosis dari tumor. Progesterone meningkatkan aktifitas mitotik

dari mioma padawanita muda namun mekanisme dan faktor pertumbuhan yang

terlibat tidak diketahui secara pasti2.


2.5 Gejala dan Tanda

Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada

pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu3. Tanda dan

gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35 - 50% pasien2. Gejala yang

dikeluhkan sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada (serviks,

intramural, submukus, subserus), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi

yang terjadi3, serta jumlah mioma2. Gejala tersebut dapat digolongkan sebagai

berikut.

a. Perdarahan abnormal

Perdarahan uterus yang abnormal merupakan gejala klinis yang paling

sering terjadi dan paling penting (Fortner, Gibbs). Gejala ini terjadi pada

30% pasien dengan mioma uteri. Wanita dengan mioma uteri mungkin

akan mengalami siklus perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur2.

Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore,

menoragia dan dapat juga terjadi metroragia3.Patofisiologi perdarahan

uterus yang abnormal yang berhubungan dengan mioma uteri masih

belum diketahui dengan pasti.

b. Rasa nyeri

Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas3. Nyeri dapat disebabkan oleh

karena degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari mioma yang

bertangkai maupun akibat kontraksi miometrium yang disebabkan mioma

subserosum2,9.
c. Gejala dan tanda penekanan

Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan

pada kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat

menyebabkan retensio urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter

dan hidronefrosis, pada rektum dapat menyebabkan obstipasi dan

tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di panggul dapat

menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul2,3,9.

d. Disfungsi reproduksi

Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih belum

jelas10. Dilaporkan sebesar 27 - 40% wanita dengan mioma uteri

mengalami infertilitas. Mioma yang terletak didaerah kornu dapat

menyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi gamet dan embrio

akibat terjadinya oklusi tuba bilateral. Mioma uteri dapat menyebabkan

gangguan kontraksi ritmik uterus yang sebenarnya diperlukan untuk

motilitas sperma didalam uterus. Perubahan bentuk kavum uteri karena

adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi reproduksi2,10.

2.6 Diagnosis

Seringkali penderita sendiri mengeluh akan rasa berat dan adanya

benjolan pada perut bagian bawah3. Hampir kebanyakan mioma uteri dapat

didiagnosa melalui pemeriksaan bimanual rutin maupun dari palpasi abdomen

bila ukuran mioma yang besar. Diagnosa semakin jelas bila pada pemeriksaan

bimanual diraba permukaan uterus yang berbenjol akibat penonjolan massa


maupun adanya pembesaran uterus2. Pemeriksaan bimanual akan

mengungkapkan tumor padat uterus, yang umumnya terletak di garis tengah

atau pun agak ke samping, seringkali teraba berbenjol-benjol. Mioma

subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubungan dengan uterus.

Mioma intramural akan menyebabkan kavum uteri menjadi luas, yang

ditegakkan dengan pemeriksaan dengan uterus sonde. Mioma submukosum

kadang-kala dapat teraba dengan jari yang masuk ke dalam kanalis servikalis,

dan terasanya benjolan pada permukaan kavum uteri3.

Diagnosis banding bila terdapat tumor abdomen di bagian bawah atau

panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan; mioma submukosum yang

dilahirkan harus dibedakan dengan inversio uteri; mioma intramural

harusdibedakan dengan suatu adenomiosis, khoriokarsinoma, karsinoma

korporis uteri atau suatu sarkoma uteri3.

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdominal dan transvaginal dapat

membantu dan menegakkan dugaan klinis[3] dengan menentukan lokasi,

dimensi, dan konsistensi6.Selain itu, pemeriksaan magnetic resonance imaging

(MRI) juga dapat membantu dalam mendeteksi adanya mioma uteri2.

2.7 Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan mioma uteri dibagi atas 2 metode,

terapi medisinal (hormonal), dan terapi pembedahan2. Tidak semua mioma

uteri memerlukan pengobatan bedah, 55% dari semua mioma uteri tidak

membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apa pun, terutama apabila


mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan gangguan atau keluhan.

Walaupun demikian mioma uteri memerlukan pengamatan setiap 6-12 bulan 11,

dan setiap 3-6 bulan untuk kasus yang dinilai lebih progresif 3. Pertumbuhan

mioma uteri dapat terhenti atau menjadi lisut setelah terjadi menopause.

Apabila terdapat suatu perubahan yang berbahaya, diharapkan dapat terdeteksi

dengan cepat agar dapat diadakan tindakan segera3

a. Terapi medisinal (hormonal).

Saat ini pemakaian gonadotropin-releasing hormoneagonis

(GnRHa) memberikan hasil untuk memperbaiki gejala-gejala klinis yang

ditimbulkan oleh mioma uteri2. Hal ini didasarkan atas pemikiran mioma

uterus terdiri atas sel-sel otot yang diperkirakan dipengaruhi oleh estrogen.

GnRHa yang mengatur reseptor gonadotropin di hipofisis akan mengurangi

sekresi gonadotropin3 sehingga mengurangi ukuran mioma dengan cara

mengurangi produksi estrogen dari ovarium2. Dari suatu penelitian

multisenter didapati data pada pemberian GnRHa selama 6 bulan, pada

pasien dengan mioma uteri didapati adanya pengurangan volume mioma

sebesar 44%. Efek maksimal pemberian GnRHa baru terlihat setelah 3

bulan. Pada 3 bulan berikutnya tidak terjadi pengurangan volume mioma

secara bermakna2.

Pemberian GnRHa (buseriline acetate) selama 16 minggu pada

mioma uteri menghasilkan degenerasi hialin di miometrium hingga uterus

dalam keseluruhannya menjadi lebih kecil. Akan tetapi setelah pemberian


GnRHa dihentikan, mioma yang lisut itu tumbuh kembali di bawah

pengaruh estrogen olehkarena mioma itu masih mengandung reseptor

estrogen dalam konsentrasi yang tinggi. Perlu diingat bahwa penderita

mioma uteri sering mengalami menopause yang terlambat3. Pemberian

GnRHa sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi

vaskularisasi pada tumor sehingga akan memudahkan tindakan

pembedahan. Terapi hormonal lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat

progesteron akan mengurangi gejala perdarahan uterus yang abnormal

namun tidak dapat mengurangi ukuran dari mioma2.

b. Terapi pembedahan.

Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadap mioma

yang menimbulkan gejala.Menurut American College of Obstetricians and

Gynecologists (ACOG) dan American Society for Reproductive Medicine

(ASRM) indikasi pembedahan pada pasien dengan mioma uteri adalah2.

1. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif.

2. Sangkaan adanya keganasan.

3. Pertumbuhan mioma pada masa menopause.

4. Infertilitas karena gangguan pada cavum uteri maupun karena oklusi

tuba.

5. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu.

6. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius.

7. Anemia akibat perdarahan.


Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi maupun

histerektomi.

c. Miomektomi

Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa

pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma

submukosum padamyom geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina.

Pengambilan sarang mioma subserosum dapat mudah dilaksanakan apabila

tumor bertangkai3. Miomektomi sering dilakukan pada wanita yang ingin

mempertahankan fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakukan

histerektomi2,11. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan

memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 30-

50%.Perlu disadari bahwa 25-35% dan penderita tersebut akan masih

memerlukan histerektomi3. Dewasa ini ada beberapa pilihan tindakan untuk

melakukan miomektomi, berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma.

Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi

maupun dengan laparoskopi2.

d. Histerektomi

Histeretomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnva

merupakan tindakan terpilih3,11. Tindakan histerektomi pada mioma uteri

sebesar 30% dari seluruh kasus. Tindakan pembedahan untuk mengangkat

uterus dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu dengan pendekatan abdominal

(laparotomi), vaginal, dan pada beberapa kasus secara laparoskopi2.


Histerektomi pervaginam jarang dilakukan karena uterus harus lebih kecil

dari telor angsa dan tidak ada perlekatan dengan sekitarnya. Adanya

prolapsus uteri akan mempermudah prosedur pembedahan. Histerektomi

total umurnnya dilakukan dengan alasan mencegah akan timbulnya

karsinoma servisis uteri. Histerektomi supravaginal hanya dilakukan

apabila terdapat kesukaran teknis dalam mengangkat uterus

keseluruhannya3. Tindakan histerektomi pada pasien dengan mioma uteri

merupakan indikasi bila didapati keluhan menorrhagia, metrorrhagia,

keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus sebesar usia

kehamilan 12-14 minggu2.

e. Radioterapi

Tindakan ini bertujuan agar ovarium tidak berfungsi lagi sehingga

penderita mengalami menopause. Radioterapi ini umumnya hanya

dikerjakan jika terdapat kontra indikasi untuk tindakan operatif. Akhir-

akhir ini kontra indikasi tersebut makin berkurang. Radioterapi hendaknya

hanya dikerjakan apabila tidak ada keganasan pada uterus3.

Terapi yang terbaik untuk mioma uteri adalah melakukan

histerektomi. Dari berbagai pendekatan, prosedur histerektomi laparoskopi

memiliki kelebihan dimana resiko perdarahan yang lebih minimal, masa

penyembuhan yang lebih cepat dan angka morbiditas yang lebih rendah

dibanding prosedur histerektomi abdominal2.


2.8 Komplikasi

a. Degenerasi ganas

Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-

0,6% dari seluruh mioma; serta merupakan 50-75% dari semua

sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada

pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan

keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila

terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause3.

b. Torsi (putaran tangkai)

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul

gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis, dengan

demikian terjadilah sindrom abdomen akut.Jika torsi terjadi perlahan-

lahan, gangguan akut tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan

dengan suatu keadaan di mana terdapat banyak sarang mioma dalam

rongga peritoneum3.

c. Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang

diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya

terjadi pada mioma yang dilahirkan hingga perdarahan berupa

metroragia atau menoragia disertai leukore dan gangguan-gangguan

yang disebabkan oleh infeksi dan uterus sendiri3.


2.9 Prognosis

Histerektomi merupakan tindakan penatalaksanaan kuratif

pada mioma. Pada miomektomi, uterus dapat kembali ke bentuk dan

kontur awal. Yang perlu diperhatikan pada miomektomi adalah

terjadinya kekambuhan. Hasil penelitian menunjukkan kekambuhan

sebesar 2-3% per tahun setelah dilakukan miomektomi6.

Mioma uteri dapat mempengaruhi kehamilan, misalnya

menyebabkan infertilitas, risiko terjadinya abortus bertambah

karena distorsi rongga uterus, khususnya pada mioma submukosum,

letak janin, menghalangi kemajuan persalinan karena letaknya pada

serviks uteri; menyebabkan inersia maupun atonia uteri, sehingga

menyebabkan perdarahan pasca persalinan karena adanya gangguan

mekanik dalam fungsi myometrium, menyebabkan plasenta sukar

lepas dari dasarnya, dan mengganggu proses involusi dalam nifas.

BAB III

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Ny. B
Usia : 42 tahun
Pekerjaan : IRT

49
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Alamat : Gunung Sahilan
RM : 177550
MRS : Sabtu, 29 Desember 2019 Jam 14.00 WIB
II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Keluar darah dari kemaluan

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari kemaluan sejak 5 hari yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Darah yang keluar merupakan darah
menstruasi yang berupa darah segar dengan jumlah yang banyak sehingga
pasien harus ganti pembalut hingga 5-8 kali. Pasien mengeluhkan
pinggangnnya terasa sakit, pasien juga mengeluhkan perut terasa bengkak
selama  2 tahun, badan juga terasa loyo dan pusing. Pendarahan yang
dialami pasien tanpa disertai nyeri perut. BAB/ BAK normal.

Riwayat menstruasi

Pasien tidak ingat usia menarche, siklus menstruasi pasien teratur dengan
siklus 28 hari dan ketika menstruasi biasanya pasien mengganti pembalut
sampai 2 kali, pasien tidak pernah menderita perdarahan diluar siklus. Setiap
tahun pasien mengatakan mendapatkan haid secara teratur namun ketika
bulan Desember tahun 2018 dimana pasien mendapat haid dalam waktu lebih
lama (1-2 minggu) dengan jumlah yang lebih banyak hingga harus mengganti
pembalut 5-10 kali sehari dan pasien dirawat dirumah sakit selama 5 hari.
Pada saat menstruasi pasien tidak mengalami nyeri perut yang bermakna.

Riwayat pernikahan

Pasien sudah menikah selama 15 tahun.

50
Riwayat KB

Pasien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mengaku pernah memiliki riwayat keluhan yang serupa pada bulan 2
tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Menurut pasien, di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Pasien
juga menyangkal adanya riwayat penyakit jantung, ginjal, tekanan darah
tinggi, kencing manis, dan sesak napas pada keluarga.

Riwayat Berobat

Pasien sudah memeriksakan diri ke Rumah Sakit Umum Daerah Bangkinang


terkait dengan keluhan yang dialaminya pada beberapa bulan yang lalu. Pasien
hanya meminum obat yang didapatkan dari Rumah Sakit dan sembuh.

Riwayat Alergi :
Pasien tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan dan makanan.
Riwayat Obstetri dan Ginekologi:
- Pasien sudah menikah 15 tahun yang lalu.
- Pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi.
- Pasien mengakui mendapatkan haid dengan teratur sebelumnya. Haid
pertama pasien lupa, ketika haid sedikit tidak nyeri, kadang-kadang
banyak kadang-kadang sedikit, teratur sebulan sekali, 6-7 hari.
Riwayat obstetri
- Tidak memiliki anak

III. STATUS GENERALIS

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang


Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital

51
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 86 x/menit
- Frekuensi napas : 20 x/menit
- Suhu : 36,8oC

Pemeriksaan Fisik Umum


- Mata : anemis (+/+), ikterus (-/-)
- Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Abdomen : normal
- Ekstremitas : edema - - akral teraba hangat + +
- - + +

IV. STATUS GINEKOLOGI

Abdomen :
 Inspeksi : Abdomen tak tampak mengalami pembesaran, massa (-), tidak
ada tanda-tanda peradangan, bekas operasi (-).
 Auskultasi : Bising usus (+).
 Perkusi : Redup (+), undulasi (-).
 Palpasi : Massa (-), BU (+)

Genitalia Eksterna : Tidak tampak adanya kelainan. Vulva dalam batas


normal, klitoris normal, meatus uretra normal, labia mayora dan minora
simetris, perineum dalam batas normal, introitus vagina tidak tampak
massa, discharge dari liang vagina (-).
Inspekulo : Porsio tidak tampak erosi, Fluksus (-) leukorhea (-), tidak
tampak adanya jaringan, pendarahan aktif (+), peradangan (-).
Bimanual : Posisi uterus antefleksi, kosistensi padat. Porsio teraba licin,
Ø (-), slinger pain (-), adneksa parametrium kiri dan kanan dalam batas
normal, ukuran sulit dievaluasi.

52
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Ultrasonografi (USG) Abdomen (16 Desember 2019)

(23 Desember 2019)

53
54
2. Pemeriksaan Histopatologi/ kerokan kavum uteri.

Makroskopis: tidak dilakukan pemeriksaan

Mikroskopis: tidak dilakukan pemeriksaan

3. Pemeriksaan Darah Lengkap :

Darah Lengkap : (16 Desember 2019)


 Hemoglobin : 4,2 g/dL (13-18)
 LED :
 Eritrosit :
 Leukosit : 13,0 (5-11)
 Hematokrit : 15,9 (37-47)
 MCV : 50,7 (80-96)
 MCH : 13,4 (27-32)
 RDW :
 Trombosit : 600 (150-450)
 Hitung Jenis Leukosit
o Eusinofil :
o Basofil :
o Netrofil Stab :
o Netrofil Segmen :
o Lymfosit :
o Monosit :
o Cell mast :

Hematologi :
 Golongan darah + rhesus : O RH(+)

Hemostasis :
 Masa pembekuan (CT) : <15
 Masa perdarahan (BT) : <5

Fusngsi Hati :
 SGOT : 12 <40
 SGPT :8 <42

Fungsi ginjal :
 Creatinin : 12 0,5-1,4
 Ureum :0,5 10-50

55
Glukosa darah :
 Glukosa darah (Stick) : <=150

Urinalisa :
 Warna : Kuning
 Berat jenis : 1.20-1.1030
 pH : 6,8-8,0
 Leukosit : Negatif
 Nitrit : Negatif
 Protein : Negatif
 Glukosa : Negatif
 Keton : Negatif
 Urobilinogen : Negatif
 Bilirubin : Negatif
 Eritrosit : Negatif
 Sedimen : Negatif

Darah Lengkap : (19 Desember 2019)


 Hemoglobin : 9,1 g/dL (13-18)
 LED :
 Eritrosit :
 Leukosit : 15,1 (5-22)
 Hematokrit : 29,2 (37-47)
 MCV :65,3 (80-96)
 MCH :20,4 (27-32)
 RDW :
 Trombosit : 434 (150-450)
Darah Lengkap : (1 Januari 2020)
 Hemoglobin : 13,2 g/dL (13-18)
 LED :
 Eritrosit :
 Leukosit : 15,1 (5-22)
 Hematokrit : 40,4 (37-47)
 MCV :
 MCH :
 RDW :
 Trombosit : 335 (150-450)

VI. DIAGNOSIS KERJA


 Perdarahan Uterus Abnormal -L + Mioma Uteri Pro laparatomi
VII. RENCANA TINDAKAN

56
 Observasi keadaan umum pasien dan vital sign
 Persiapkan transfusi PRC 4
 Edukasi pasien dan keluarganya mengenai tindakan laparatomi
 Inj ceftriaxome 1 gr ½ jam pre-op

VIII. TERAPI
 IVFD Ringer Laktat 30 tpm
 Transfusi PRC
 Inj. Tranexamid Acid 3 x 1 gr
 Cefotaxime 2x1 gr
 Vit.C 2 x 1
 Keterolac 3x1

IX. LAPARATOMI (31 Desember 2019)

a. Rencana Tindakan Operasi : Laparatomi + histerektomi


b. Tindakan Operasi : Laparatomi + histerektomi
c. Diagnosis Post OP : Post Histerektomi a/i Mioma Uteri
d. Instruksi Post Operasi :
 Observasi tanda vital dan keluhan pasien
 Pemeriksaan laboratorium post-operatif
 Transfusi 2 PRC
 Inj. Tranexamid Acid 3 x 1 gr
 Cefotaxime 2x1 gr
 Vit.C 2 x 1
 Keterolac 3x1

X. POST OPERATIF

Subjektif :
- Nyeri bekas OP (+), Lemas , dan pusing
- Bercak darah dari kemaluan (+).

57
Tanda Vital
 KU : Tampak sakit sedang
 Kes : Composmentis
 TD : 130/80 mmHg
 Nadi : 86 x/menit
 RR : 20 x/menit
 Suhu : 36,5oC

Pemeriksaan Laboratorium (1 Januari 2020) 09.00

Darah Lengkap : (1 Januari 2020)


 Hemoglobin : 13,2 g/dL (13-18)
 LED :
 Eritrosit :
 Leukosit : 15,1 (5-22)
 Hematokrit : 40,4 (37-47)
 MCV :
 MCH :
 RDW :
 Trombosit : 335 (150-450)
o Eusinofil :
o Basofil :
o Netrofil Stab :
o Netrofil Segmen :
o Lymfosit :
o Monosit :
o Cell mast :

Hematologi :
 Golongan darah + rhesus :

Hemostasis :
 Masa pembekuan (CT) : <15
 Masa perdarahan (BT) : <5

Fusngsi Hati :
 SGOT : <40
 SGPT : <42

Fungsi ginjal :
 Creatinin : 0,5-1,4
 Ureum : 10-50

58
Glukosa darah :
 Glukosa darah (Stick) : <=150

Urinalisa :
 Warna : Kuning
 Berat jenis : 1.20-1.1030
 pH : 6,8-8,0
 Leukosit : Negatif
 Nitrit : Negatif
 Protein : Negatif
 Glukosa : Negatif
 Keton : Negatif
 Urobilinogen : Negatif
 Bilirubin : Negatif
 Eritrosit : Negatif
 Sedimen : Negatif

Assesment :
 Post Histerektomi a/i Mioma Uteri
 Bed rest
- Monitoring vital sign, perdarahan

59
BAB IV

PEMBAHASAN

1.1 Diagnosis
Seorang pasien wanita 42 tahun datang dengan keluhan menstruasi
yang lama dan banyak sejak tanggal 2 tahun yang lalu. Darah yang
keluar adalah darah segar, dan tiap harinya pasien harus mengganti
pembalut 5-10 kali. Keluhan serupa pernah dialami pasien pada bulan
Agustus 2010 dan Januari 2011. Nyeri pada perut disangkal, BAK dan
BAB pasien normal. Riwayat menstruasi pasien dikatakan berubah
sejak dua tahun lalu, dimana menstruasinya dikatakan semakin banyak
dan lama hingga 1-2 minggu. Saat menstruasi yang dialami cukup
banyak, pasien akan mengalami penurunan nafsu makan. Riwayat
penyakit lain disangkal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah yang rendah yaitu
100/70 mmHg dan Nadi yang cepat 98 kali/menit. Ini mengarah ke
keadaan pre-shock. Status general didapatkan anemis pada kedua mata,
yang menandakan pasien mengalami anemia. Dari pemeriksaan rectal
toucher, didapatkan uterus yang normal.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia sedang dengan
morfologi hipokromik mikrositer. Dari pemeriksaan USG tidak
ditemukan adanya massa pada uterus, adnexa maupun vagina.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicurigai adanya perdarahan
uterus yang abnormal. Karena dari USG tidak ditemukan adanya
kelainan organik, maka kemungkinan besar pasien mengalami
perdarahan disfungsional dari uterus. Sehingga pasien didiagnosa
sebagai “Disfungsional Uterine Bleeding” + Anemia sedang
hipokromik mikrositer.
1.2 Faktor Predisposisi atau etiologi
Faktor penyebab perdarahan uterus abnormal tidak selalu diketahui
dengan pasti. Perdarahan disebabkan baik akibat faktor organik,

60
maupun faktor fungsional. Perdarahan uterus disfungsional paling
sering disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon akibat dari korpus
luteum persistens, insufisiensi korpus luteum, apopleksia uteri, dan
kelainan darah.
1.3 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama pada pasien dengan perdarahan adalah
hentikan perdarahan. Obat yang dipilih untuk menghentikan
perdarahan pada kasus ini adalah asam traneksamat sebagai anti-
trombolitik, dan regumen (Norethisterone) yang membantu kerja
progesteron dalam menghentikan perdarahan.
Darah yang hilang diestimasi cukup banyak, terlihat dari tekanan
darah, nadi, dan kadar Hemoglobin yang tidak normal, sehingga perlu
dilakukan resusitasi cairan. Pada pasien ini, sudah dilakukan transfusi
darah, diusahakan agar Hb menjadi 10 gr/dL.
Dilatasi dan kuretase pada pasien ini tidak dianjurkan dalam
pembuatan diagnosis, mengingat keganasan pada usia pubertas sangat
jarang terjadi.
1.4 Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah dubius ad bonam, karena
kemungkinan keganasan kecil sekali, dan ada harapan bahwa lambat-
laun siklus haid menjadi normal.

61
BAB V
KESIMPULAN

Pendarahan Uterus Abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan untuk


menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya.
Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang banyak atau
sedikit, dan haid yang memanjang atau tidak beraturan. Perdarahan ini juga
didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan atau tidak teratur tanpa adanya
patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan perdarahan umum1,3,5
PUA pada remaja disebabkan oleh immaturitas hipothalamus dan pituitary,
dan siklus menstruasi mungkin anovulatorik. Pada gadis remaja, penyakit organik
jarang terjadi dan PUA biasanya membaik secara spontan. Itulah sebabnya
mengapa ditatalaksana secara konservatif dan kuretase sering ditunda.
Pada pertengahan usia reproduksi (20 – 39 tahun), penyakit organik jinak
sering terjadi, dan kuretase biasanya dilakukan untuk menyingkirkan penyulit
kehamilan dan penyakit lainnya. Terapi konservatif biasanya diindikasikan,
meskipun histerektomi dapat dilakukan jika perdarahan berat atau berulang dan
pasien tidak ingin memiliki keturunan lagi.
PUA premenopause disebabkan oleh menurunnya jumlah folikel ovarium dan
meningkatnya resistensi folikel ovarium terhadap stimulasi gonadotropin.
Terdapat kemungkinan keganasan. Jadi, wanita perimenopause dengan PUA harus
selalu diperiksa dengan kuretase atau histeroskopi tanpa penundaan. Meskipun

62
terapi konservatif dapat dicoba sebagai tatalaksana sementara, seringkali
diperlukan histerektomi.
Perdarahan uterus abnormal merupakan salah satu alasan tersering bagi
wanita untuk mencari pengobatan medis. Pemeriksaan pasien secara rinci
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dengan menyingkirkan penyakit organik.
Saat ini, diagnosis PUA tidak adekuat. Tersedia berbagai modalitas pengobatan
untuk PUA. Pengobatan utama yakni terapi medis dapat menghasilkan pemulihan
simptomatik tetapi keluaran jangka panjangnya tidak menggembirakan. Oleh
karena itu, ahli ginekologi harus selalu memberitahu pasien mengenai seluruh
aspek penatalaksanaan PUA.

63
DAFTAR PUSTAKA

1. Behera, Millie. A., Thomas, M. P., 2010. Dysfuctional Uterine Bleeding.


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/257007 (Accessed
10 Juli 2019)
2. Chen. B. H., Linda. C. G. 1998. Dysfunctional Uterine Bleeding.
Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305317/pdf/westjmed003
26-0026.pdf (Accessed 10 Juli 2019)
3. Dangal, Ganesh. 2006. Dysfunctional Uterine Bleeding And Its
Management Strategy. The Internet Journal of Gynecology and Obstetrics.
Available from:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_gynecology_and_o
bstetrics/volume_4_number_1_19/article/dysfunctional_uterine_bleeding_
and_its_management_strategy.html [Accessed 10 Juli 2019]
4. Dorland, N. (2010). Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

5. Estephan, Amir., Amir, Richard., 2010. Dysfunctional Uterine Bleeding.


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/795587 [Accessed
10 Juli 2019]

6. Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu kandungan. Jakarta: PT. Bina


Pustaka Sarwono Prawiroharjdo; 223-228
7. Ovarian Masses in Premenopausal Women. United Kingdom: Guidelines
Committee of Royal College of Obstetricians and Gynaecologists.

8. Saifuddin, Abdul B. (2009). Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

9. Setiawan, Y., 2008. Perdarahan Uterus disfungsional. Available from:


http://www.scribd.com/doc/17693423/PUD [Accessed 10 Juli 2019]

64
10. Schorge JO, et al, e d. (2008). Williams Gynecology. United States: The
McGraw Hill Companies.

11. Wiknjosastro, Hanifa. (2009). Ilmu Kandungan, edisi ketiga. Jakarta :


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

12. William, Helm, et al. (2015). Ovarian Cysts. Available from :


http://www.emedicine.medscape.com/article/255865-overview (Accessed
10 Juli 2019).

13. WHO. (2009). Pelayanan Kesehatan Ibu di Rumah Sakit. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI.

14. Sadikin M., 2002, Biokimia Darah, Widia Medika, Jakarta.


15. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=1070
16. http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-
qhze241.htm
17. Sylvia A. Price; Lorraine M. Wilson, 2002, Patofisiologi, Jilid1, EGC,
Jakarta.
18. Epstein FH. The Pathophysiology of Acquired Anemia Aplastic. N Eng.
J. Med 1997, 336 : 1365-1372.
19. Young NS. Bone Marrow Aplasia : The Pathophysiology of Acquired
Aplastic Anemia. Education Programme of The 26th Congress of The
International Society of Hematology, Singapore: ISH, 1996.
20. Young NS, Alter BP. Aplastic anemia : Acquired and Inherited.
Philadelphia : WB Saunders,1994.
21. Young NS. Pathogenesis and Pathophysiology of Aplastic Anemia Dalam.
Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ dkk. Penyunting. Hematology : Basic
Principles and Practice, edisi ke-2. NewYork Churchill Livingstone,
1995 : 299-325.
22. Rifki M., Loho M., Wagey FMM. Profil Perdarahan Uterus Abnormal di
RSUP Prof. Dr. K.D. Kandou Manado periode 1 januari 2013- 31

65
Desember 2014. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
Journal e Clinic (eCI), Volume 4, No.1, Januari-Juni. 2016
23. Konsensus Tatalaksana Perdrahan Uterus Abnormal Karena Efek Samping
Kontrasepsi. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia
(HIFERI) Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI)

66

Anda mungkin juga menyukai