Anda di halaman 1dari 32

Sari Pustaka

TRAUMA KIMIA

Pembimbing :
dr. Agustinus Sitepu, M.Ked(For), Sp.F

Disusun oleh :
Aulia Nanda Haritsyah Pane 150100062
Johannes Tanaka 150100109

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sari
pustaka yang berjudul “Trauma Kimia”.

Dalam penyusunan sari pustaka ini, penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penulisan, diantaranya :

1. Keluarga yang tiada henti memberikan dukungan moral, material, dan


spiritual
2. dr. Agustinus Sitepu, M.Ked (For), Sp.F dan dr. M. Fernando Manik, S.H,
M.Kes, M.Ked(For) sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis.
3. Dokter-dokter residen forensik yang telah memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis.
4. Teman-teman mahasiswa klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara yang bersama-sama berjuang dan saling memberikan dukungan serta
motivasi.
Untuk seluruh dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis
mengucapkan terima kasih. Semoga sari pustaka yang telah disusun oleh penulis
berguna dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu
kedokteran.

Penulis menyadari bahwa penulisan sari pustaka ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan sari pustaka ini pada kemudian hari.

Medan, 29 Februari 2020

Penulis

iiii
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ............................................................................................ i


Daftar Isi...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................... 2
1.3 Manfaat ......................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 4
2.1 Definisi Trauma ........................................................................... 4
2.2 Klasifikasi Trauma ........................................................................ 4
2.3 Definisi Trauma Kimia ................................................................. 6
2.4 Epidemiologi ................................................................................. 6
2.5 Agen Kaustik dan korosif ............................................................. 10
2.6 Dosis Toksik ................................................................................. 13
2.7 Mekanisme Trauma Kimia ........................................................... 13
2.8 Manifestasi Klinis ......................................................................... 15
2.9 Diagnosis....................................................................................... 19
2.9.1 Endoskopi .......................................................................... 19
2.9.2 Radiologi ............................................................................ 19
2.10 Tingkat Keparahan Luka Bakar .................................................... 20
2.10.1 Berdasarkan Luas Luka Bakar ........................................... 20
2.10.2 Berdasarkan Dalam Luka Bakar ........................................ 21
2.10.3 Berdasarkan Lokasi Luka Bakar ........................................ 23
2.10.4 Berdasarkan Luas, Dalam, Lokasi Luka Bakar ................. 23
2.11 Tatalaksana ................................................................................... 24
2.12 Aspek Medikolegal ....................................................................... 25
BAB III KESIMPULAN ........................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 28

iiiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Trauma kimia adalah luka bakar yang disebabkan oleh zat kimia korosif
(chemical burns) seperti asam sulfat, asam nitrat, natrium hidroksida, kalium
hidroksida, dan lain-lain.1 Trauma kimia akibat zat korosif asam dan basa
konsentrasi kuat biasanya masuk ke tubuh dengan berbagai cara, antara lain melalui
oral, inhalasi, parenteral dan perkutan. Trauma kimia dapat terjadi karena
kesengajaan, misalnya pembunuhan ataupun ketidaksengajaan misalnya kelalaian
kerja, kecelakaan, atau anak-anak yang menelan zat-zat korosif secara tidak sengaja
di rumah.2 Asam dan basa yang bersifat kaustik ini dapat menyebabkan kerusakan
signifikan pada saat kontak dengan jaringan. Zat kimia korosif ini dapat mengiritasi
tubuh secara lokal maupun sistemik. Efek zat kimia korosif yang mengiritasi
jaringan tubuh menyebabkan peradangan lokal dan kerusakan jaringan. Efek zat
kimia korosif pada sirkulasi tubuh menyebabkan reaksi sistemik antara lain
paralisis saluran respirasi, kerusakan fungsi detoksifikasi hati, gagal ginjal akut, dan
reaksi peradangan pada saluran gastrointestinal.3

Secara statistik, belum diketahui seberapa banyak kasus pembunuhan atau


bunuh diri akibat zat kimia korosif asam dan basa kuat yang menyebabkan kematian
di Indonesia. Namun, kasus trauma kimia sempat heboh di Indonesia dengan
munculnya beberapa kasus seperti ‘Kopi Sianida Jessica Mirna’, dimana zat kimia
yang terlibat adalah asam sianida (HCN). Kemudian terdapat kasus ‘Penyiraman
Air Keras Novel Baswedan’, dimana zat kimia yang terlibat adalah asam sulfat
(H2SO4). Akhir-akhir ini terdapat kasus ‘Penyiraman Cairan Kimia kepada 6 Siswi
SMP di Jakarta’, dimana zat kimia yang terlibat adalah Natrium Hidroksida (NaOH)
atau dikenal sebagai soda api. Untuk mengetahui zat kimia apa yang terkandung di
dalam tubuh, sering diperlukan seorang ahli patologi forensik, khususnya ahli
toksikologi.4 Pada berbagai kasus trauma kimia ditemukan tanda-tanda
pemeriksaan forensik yang berbeda. Hal ini sangat bergantung pada jenis zat kimia

1
korosif tersebut. Tingkat keparahan luka bakar tersebut ditentukan oleh sifat korosif
dari bahan kimia, jumlah dan konsentrasi zat kimia, serta lamanya kontak dengan
bahan kimia.5

Kadang-kadang dokter dihadapkan dengan kasus luka bakar yang berkaitan


dengan penganiayaan yang memerlukan pemeriksaan untuk kepentingan visum et
repertum, tetapi tidak jarang pula kalangan penyidik memerlukan bantuan dokter
sehubungan dengan kasus kematian diduga karena luka bakar yang mencurigakan.
Kasus luka bakar yang memerlukan pemeriksaan untuk kepentingan medikolegal
bukanlah hal yang jarang dihadapi dokter. Tidak jarang terjadi pembunuhan dengan
latar belakang kecelakaan atau kesengajaan menghilangkan identitas korban,
misalnya kasus pembunuhan terkenal yang dilakukan oleh John George Haigh
terhadap 6 orang di Inggris pada tahun 1944-1949. Pembunuhan itu dilakukan
dengan melarutkan mayat-mayat korbannya dengan rendaman bak penuh dengan
sulfur, oleh karena itu disebut juga ‘acid bath murderer’.6 Dalam kasus luka bakar,
diperlukan pengetahuan tentang luka bakar ante-mortem, luas luka bakar, dan lain-
lain. Demikian juga pemeriksaan pada korban yang meninggal karena luka bakar
agar visum yang sampai ke tangan penegak hukum dapat memberi arahan dan
pegangan dalam mengambil keputusan. Aspek yang selalu menjadi perhatian
penegak hukum adalah aspek medikolegal, apakah karena kecelakaan, pembunuhan,
atau bunuh diri.1 Seorang dokter juga harus mampu mengenali luka bakar kimia
untuk manajemen dan mengobati jenis cedera tersebut.7

1.2 TUJUAN

Tujuan dari pembuatan referat ini adalah :

1. Untuk meningkatkan wawasan penulis dan pembaca dalam memahami


tentang trauma kimia.
2. Untuk menerapkan teori yang telah didapatkan terhadap korban dengan
trauma kimia.

2
3. Untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT

Sari pustaka ini diharapakan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan
wawasan kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami tentang
trauma kimia.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Trauma


Secara sederhana, traumatologi berarti ilmu pengetahuan tentang trauma.
Trauma berasal dari bahasa Yunani berarti luka (wound) dan telah meluas menjadi
cedera (injury), sehingga kata-kata ini (trauma, luka, atau cedera) sering digunakan
secara bergantian.8 Pengertian trauma dari aspek medikolegal sedikit berbeda
dengan pengertian medis. Pengertian medis menyatakan trauma adalah terputusnya
kontinuitas jaringan.1 Satu lesi saja dapat merusak kontinuitas fisik dari jaringan
fungsional. Stimulus lesi dapat berasal dari eskternal, yaitu trauma fisik, kimia,
listrik, atau termal. Selain itu, lesi juga dapat berasal dari internal akibat kondisi
patologis, misalnya kerusakan organel atau sel tertentu.9 Dalam pengertian
medikolegal, trauma adalah pengetahuan tentang alat atau benda yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan seseorang. Artinya, orang yang sehat, tiba-tiba
terganggu kesehatannya akibat efek dari alat atau benda yang dapat menimbulkan
cedera. Aplikasinya dalam pelayanan kedokteran forensik adalah untuk membuat
terang suatu tindak kekerasan yang terjadi pada seseorang.1

2.2 Klasifikasi Trauma


Ditinjau dari berbagai sudut dan kepentingan, luka dapat diklasifikasikan
berdasarkan:1

A. Etiologi
I. Trauma Mekanik
1. Kekerasan Tumpul
a. Luka memar (bruise, contusion)
b. Luka lecet (abrasion)
c. Luka robek (laceration)
d. Patah tulang (fracture) dan pergeseran sendi (dislocation)

4
2. Kekerasan Tajam
a. Luka sayat (incised wound)
b. Luka tusuk atau tikam (punctured wound)
c. Luka bacok (chop wound)
3. Luka Tembak (firearm wound)
II. Luka Termis
1. Temperatur Panas
a. Terpapar suhu panas (heat stroke, heat exhaustion, heat cramps)
b. Benda panas (luka bakar dan scald)
2. Temperatur Dingin
a. Terpapar dingin (hipotermia)
b. Efek lokal (frost bite)
III. Luka Kimiawi
1. Zat korosif
2. Zat Iritasi
IV. Luka listrik, radiasi, ledakan, dan petir
B. Derajat Kualifikasi Luka
1. Luka ringan
2. Luka sedang
3. Luka berat
C. Medikolegal
1. Perbuatan sendiri (bunuh diri)
2. Perbuatan orang lain (pembunuhan)
3. Kecelakaan
4. Luka tangkis
5. Dibuat (fabricated)

5
D. Waktu Kematian
1. Ante-mortem
2. Post-mortem

2.3 Definisi Trauma Kimia


Trauma kimia adalah luka bakar yang disebabkan oleh zat kimia korosif
(chemical burns) yang dapat masuk ke tubuh dengan berbagai cara, antara lain
melalui oral, inhalasi, parenteral, perkutan.1 Luka bakar kimia adalah hasil dari
paparan berbagai zat kimia yang biasa ditemukan di lingkungan rumah, tempat
kerja, dan sekitarnya. Luka bakar mungkin dapat terlihat jelas, misalnya dari
tumpahan langsung atau paparan lain, atau lebih terselubung, terutama pada anak-
anak. Luka bakar akibat bahan kimia tersebut dapat menyebabkan masalah
kesehatan jangka pendek, jangka panjang, dan seumur hidup. Kadang-kadang juga
dapat mengakibatkan kematian segera, terutama jika tertelan dalam upaya untuk
bunuh diri.7

2.4 Epidemiologi
Zat kimia umumnya digunakan sebagai produk industri. Terdapat lebih dari 5
juta senyawa kimia yang terkenal dan 300 diantaranya dilaporkan oleh National
Fire Protection Association sebagai bahan kimia dengan tingkat bahaya kesehatan
yang sangat tinggi. Saat ini lebih dari 65.000 jenis bahan kimia tersedia di pasaran
dan sekitar 6.000 jenis bahan kimia baru ditambahkan setiap tahunnya.10

Berbagai negara memiliki gambaran epidemiologis dari luka bakar kimiawi


yang bervariasi, sesuai dengan lokasi geografis, perkembangan industri negara
tersebut, dan bahkan negara tersebut dalam masa berperang atau damai. Di sisi lain,
ekspansi senjata kimia yang tidak terkendali di negara-negara berkembang
merupakan salah satu alasan utama peningkatan cedera luka bakar.10

6
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia, proporsi penyebab
cedera, proporsi tempat cedera, prevalensi cedera menurut karakteristik, proporsi
bagian tubuh yang terkena, prevalensi cedera penduduk semua umur menurut
provinsi di Indonesia adalah sebagai berikut :11,12

Gambar 2.1 Proporsi Penyebab Cedera di Indonesia


berdasarkan Riskesdas 2013.11

Berdasarkan Gambar 2.1 ditunjukkan bahwa proporsi cedera akibat


terbakar/kimia adalah 0,7, dimana berada para urutan keenam setelah cedera akibat
jatuh, transportasi motor, kekerasan tajam/tumpul, transportasi darat lain, dan
kejatuhan/lemparan.11

Gambar 2.2 Proporsi Tempat Cedera


berdasarkan Riskesdas 2013.11

7
Gambar 2.3 Proporsi Cedera menurut Karakteristik Pekerjaan
berdasarkan Riskesdas 2018.12

Berdasarkan Gambar 2.2 ditunjukkan bahwa urutan proporsi tempat cedera


terbanyak adalah jalan raya (42,8), rumah (36,5), dan area pertanian (6,9). Pada
Riskesdas 2018, urutan prevalensi berdasarkan karakteristik adalah sekolah (13),
buruh/sopir/pembantu rumah tangga (10,1), dan pegawai swasta (9,4) sesuai
gambar 2.3.12

Gambar 2.4 Proporsi Cedera menurut Karakteristik Umur


berdasarkan Riskesdas 2018.12

Berdasarkan Gambar 2.4 ditunjukkan bahwa urutan prevalensi cedera menurut


karakteristik adalah 15-24 tahun (12,2), 5-14 tahun (12,1), 75 tahun ke atas (9,2).12

Gambar 2.5 Proporsi Cedera menurut Karakteristik Jenis Kelamin


dan Tempat Tinggal berdasarkan Riskesdas 2018.12

8
Berdasarkan Gambar 2.5 ditunjukkan bahwa cedera lebih sering terjadi pada
laki-laki dibandingkan perempuan dan cedera lebih sering terjadi pada masyarakat
di perkotaan dibandingkan perdesaan.12

Gambar 2.6 Proporsi Bagian Tubuh yang Terkena Cedera


berdasarkan Riskesdas 2018.12

Berdasarkan Gambar 2.6 ditunjukkan bahwa urutan proporsi bagian tubuh yang
terkena cedera adalah anggota gerak bawah (67,9%), anggota gerak atas (32,7%),
dan kepala (11,9%).12

Gambar 2.7 Proporsi Cedera yang Mengakibatkan Kegiatan Sehari-hari


Terganggu menurut Provinsi berdasarkan Riskesdas 2018.12

9
Berdasarkan Gambar 2.7 ditunjukkan bahwa proporsi cedera yang
mengakibatkan kegiatan sehari-hari terganggu di Indonesia meningkat dari tahun
2007 (7,5%), 2013 (8,2%), dan 2018 (9,2%) dengan provinsi Sulawesi Tenggara
berada pada urutan tertinggi (13,8%), dimana Sumatera Utara berada pada urutan
ke-12.12

Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Semarang


ditunjukkan bahwa urutan beberapa penyebab luka bakar pada 303 pasien luka
bakar tahun 2009-2010, yaitu LPG (92 orang), kobaran api/flame (78 orang),
terkena air panas/scald (58 orang), elektrik (36 orang), dan kimia (11 orang).13

2.5 Agen Kaustik dan Korosif


Sejumlah besar produk industri dan komersial mengandung konsentrasi asam,
basa, atau bahan kimia lain yang berpotensi toksik sehingga menimbulkan luka
bakar.3

Tabel 2.1 Zat Kimia Asam Penyebab Kaustik dan Korosif.3

Asam Bahan
Asam Sulfat Pembersih mangkuk, pembersih saluran, pembersih logam,
(Belerang) pembuatan pupuk, cairan aki mobil, amunisi
Pembuatan ukiran, pemurnian logam, pelapisan logam, pembuatan
Asam Nitrat
pupuk
Penghilang karat, pembersih ban, pembersih ubin, etsa kaca,
Asam Hidrofluorat penyamakan kulit, pembuatan pendingin, pembuatan pupuk,
pemurnian minyak bumi
Pembersih mangkuk, pembersih toilet, pembersih logam, pewarna,
Asam Hidroklorat
pemurnian logam, pembersih kolam renang
Asam Fosfat Pembersih logam, anti karat, desinfektan, deterjen, pembuatan pupuk
Asam Asetat Manufaktur percetakan, pewarnaan, rayon, desinfektan, penetralisir
(Cuka) gelombang rambut, cuka
Asam Format Lem pesawat terbang, penyamakan kulit, pembuatan selulosa
Asam Kloroasetat Laboratorium dan pabrik kimia
Asam Karbolik
Pembuatan resin, plastik, obat-obatan, dan desinfektan
(Fenol)

10
Tabel 2.2 Zat Kimia Basa Penyebab Kaustik dan Korosif.3

Basa Bahan
Natrium Hidroksida
Pembersih saluran, pembersih oven, pembersih gigi palsu
(Soda Api)
Kalsium Hidroksida
(Jeruk Kapur)
Mortar, plester, semen
Kalsium Oksida
(Kapur Api)
Natrium Hipoklorit
Larutan pemutih dan klorinasi kolam
Kalsium Hipoklorit
Amonia Pembersih, deterjen, pupuk, sterilisasi industri
Fosfat
Silikat Deterjen
Natrium Karbonat
Lithium Hidrat Aplikasi teknologi luar angkasa

Tabel 2.3 Osidan Penyebab Kaustik dan Korosif.3

Oksidan Bahan
Klorit Pemutih
Peroksida Pewarna rambut
Bahan kimia industri, kain anti bocor, penghambat korosi,
Kromat
pencetakan
Manganat Desinfektan, agen sanitasi

Tabel 2.4 Bahan Lainnya Penyebab Kaustik dan Korosif.3

Bahan Lainnya Bahan


Fosfor Putih Pembakar, pembuatan amunisi, kembang api, pupuk
Unsur lithium, natrium,
Pembuatan logam
kalium, magnesium
Persulfat dan larutan
Zat pewarna rambut
peroksida pekat
Natrium Azida Airbag injury

Tabel 2.5 Vesiken Penyebab Kaustik dan Korosif.3

Vesicants Bahan
Sulfur Mustard
Nitrogen Mustard
Agen blister atau perang kimia
Arsenik
Phosgene Oxime

11
Tabel 2.6 Agen Penyebab Trauma Kimia.14

Asam Lainnya Lainnya


Acetic acid Aluminium bromide Glutaraldehyde
Acrylic acid Aluminium chloride Halogenated solvents
Benzoic acid Aluminium trichloride Hexylresorcinol
Boric acid Ammonium difluoride Iodine
Bromoacetic acid Ammonium persulfate Isocyanates
Chloroacetic acid Ammonium sulfide Kerosene fuel
Chlorosulfuric acid Antimone trioxide Limonene
Fluorophosphoric acid Aromatic hydrocarbons Lithium
Fluorosilicic acid Arsenic oxides Lithium chloride
Formic acid Benzene Mercury compounds
Fumaric acid Benzoyl chloride Methylchloroisothiazolinone
Hydrobromic acid Benzoyl chloroformiate Methylenedichloride
Hydrochloric acid Borax Methylisothiazolinone
Lactic acid Boron tribromide Morpholine
Nitric acid Bromine Perchloroethylene
Pechloric acid Bromotrifluoride Peroxides
Peroxyacetic acid Calcium carbide Phenolic compounds
Phosphonic acid Cantharides Phosphorus
Phosphoric acid Carbon disulfide Phosphorus bromides
Phthalic acid Carbon tetrachloride Phosphorus chlorides
Picric acid Chlorinated acetaphenons Phosphorus oxichloride
Propionic acid Chlorinated solvents Phosphorus oxides
Salicylic acid Chlorobenzene Piperazine
Sulfonic acid Chlorocresols Potassium
Sulfuric acid Chloroform Potassium cyanide
Tartaric acid Chlorophenols Potassium difluoride
Toluenesulfonic acid Chromates Potassium permanganate
Chromium oxichloride Poviodone iodine
Basa Chromium trioxide Propionic oxide
Amines Creosote Propylene oxide
Ammonia Cresolic compounds Reactive diluents
Barium hydroxide Croton Aldehyde Sodium
Calcium carbonate Dichloroacetyl chloride Sodium borohydride
Calcium hydroxide Dichromates Sodium difluoride
Calcium oxide Dimethyl acetamide Sodium hypochlorite
Hydrazine Dimethyl formamide Sodium sulfite
Lithium hydroxide Dimethyl sulfoxide Sodium thiosulfate
Potassium hydroxide Dioxane Styrene
Sodium carbonate Dipentene Sulfur dichloride
Sodium hydroxide Dithranol Sulfur dioxide
Sodium metasilicate Epichlorohydrine Sulfur mustard
Epoxy reactive diluents Thioglycollates
Lainnya Ethylene oxide Thionyl chloride
Acethyl cloride Fluorides Tributyltin oxide
Acrolein Fluorine Trichloroethylene
Acrylonitril Fluoro silicate Turpentine
Alkali ethoxides Formaldehyde Vinyl Pyridine
Alkali methoxides Gasoline White spirit
Allyl diiodine Gentian violet Zinc chloride

12
Meskipun mekanisme dan tingkat keparahan cedera dapat bervariasi,
konsekuensi dan kerusakan jaringan parut permanen juga dimiliki oleh semua agen
ini. Baterai tombol (button batteries) adalah baterai kecil berbentuk disc yang
digunakan pada jam tangan, kalkulator, dan kamera. Baterai tombol ini
mengandung garam logam kaustik seperti merkuri klorida yang juga dapat
menyebabkan luka korosif.15

Tabel 2.7 Agen Korosif dengan Gejala Sistemiknya.15

Agen Korosif Gejala Sistemik


Formaldehida Asidosis metabolik, keracunan format
Asam Hidrofluorat Hipokalsemia, hiperkalemia
Depresi sistem saraf pusat, aritmia jantung, konversi menjadi karbon
Metilen Klorida
monoksida
Asam Oksalat Hipokalsemia, gagal ginjal
Paraquat Fibrosis paru
Permanganat Methemoglobinemia
Fenol Kejang, koma, kerusakan hati dan ginjal
Fosfat Kerusakan hati dan ginjal
Asam Pikrat Kerusakan ginjal
Silver Nitrate Methemoglobinemia
Asam Tanat Kerusakan hati

2.6 Dosis Toksik

Tidak terdapat dosis toksik spesifik karena konsentrasi larutan korosif dan
potensi efek kaustik sangat bervariasi. pH atau konsentrasi larutan dapat
mengindikasi potensi cedera serius. pH yang lebih rendah dari 2 atau lebih tinggi
dari 12 meningkatkan risiko luka. Untuk basa, konsentrasi basa adalah prediktor
yang lebih baik untuk efek korosif daripada pH. Cedera juga terkait dengan jumlah
yang tertelan dan durasi paparan.15

2.7 Makenisme Trauma Kimia

Luka bakar akibat trauma kima terjadi ketika ada dua entitas, dimana satu
bertindak sebagai donor dan lainnya sebagai akseptor disertai timbulnya interaksi.

13
Kekuatan agresor memengaruhi kelemahan target biokimianya sampai benar-benar
mengkonsumsinya, dan kemudian agresor terus menyerang spesies yang tingkat
energinya lebih tinggi hingga menghabiskan konsenterasinya sendiri.14

Agen kimia dapat memiliki efek korosif pada jaringan dengan merusak
membran sitoplasma melaui cara mendenaturasi atau mengkoagulasi protein atau
dengan chelating trace elements yang penting untuk fungsi seluler.14

Enam jenis reaksi elementer yang menggambarkan mekanisme yang mungkin


terjadi pada trauma kimia adalah reaksi asam-basa, reaksi redoks, khelasi
(chelation), penambahan (addition), subtitusi, dan solvasi (solvation). Hal ini
tergantung berbagai jenis entitas dipertukarkan, misalnya elektron untuk reaksi
redoks, ion untuk reaksi asam-basa dan khelasi, serta atom atau molekul untuk
penambahan dan subtitusi. Reaksi asam-basa dan redoks memodifikasi
keseimbangan reaktivitas kimia.14

Dalam reaksi asam-basa, proton dipertukarkan hingga mencapai keseimbangan


pH. Mengingat konsentrasi dan pK suatu zat, dimungkinkan untuk memprediksi
tingkat irritabilitas yang ditimbulkan. Luka bakar akan berkembang dari zat agresor
apabila di atas konsentrasi ambang batas tertentu dan pK lebih rendah dari 4 atau
di atas 10. Tingkatan struktur seluler dihancurkan secara bertahap dari permukaan
hingga ke bawah sampai habisnya molekul agresor. Pemindahan ion H+ mengubah
keseimbangan H+/OH dari lingkungan kimia, sehingga mengubah
keasaman/kebasaan lingkungan, mungkin mengakibatkan iritasi atau korosi.14

Dalam reaksi redoks, oksidator akan mengoksidasi reduktor dengan potensi


yang lebih lemah daripada elektronnya sendiri sehingga menerima elektron untuk
melengkapi orbitalnya hingga stabil, misalnya pemutih klorin dapat menyebabkan
kulit terbakar. Hal ini dikarenakan klorin mengandung oksidator hipoklorit yang
kuat dan produk samping dari reaksi oksidasi bersifat korosif. Reaksi redoks mirip
dengan reaksi asam-basa yang menimbulkan lesi pada jaringan. Penambahan dan
subtitusi memodifikasi molekul biologis, misalnya penghancurkan konfigurasi 3D
protein atau dengan pembekuan protein.14

14
Khelasi dan solvasi menyebabkan hilangnya entitas aktif, misalnya ion F- dari
asam hidrofluorat mengkelat ion kalsium dan magnesium sehingga mengubah
keseimbangan fisiologis dengan mengganggu metabolisme biokimia hingga
kematian sel dan timbul nekrosis jaringan.14

Asam dapat menyebabkan nekrosis segera tipe koagulasi (immediate


coagulation-type necrosis) yang menciptakan eskar, sehingga cenderung
membatasi kerusakan lebih lanjut. Sedangkan basa, menyebabkan nekrosis
liquefaktif dengan saponifikasi dan penetrasi yang terus-menerus ke jaringan yang
lebih dalam, sehingga mengakibatkan kerusakan yang luas.15

Tingkat dan keparahan trauma kimia pada saluran pencernaan tergantung pada
interaksi dari tiga faktor : sifat korosif dari bahan yang dicerna, jumlah dan
konsentrasi zat yang dicerna, dan lamanya kontak. Ketika agen korosif bersentuhan
dengan tubuh, terjadilah reaksi inflamasi yang kuat dalam 4-7 hari pertama. Jika
pasien bertahan periode ini, tahap granulasi akan mengikuti, dimana fibroplasia dan
pembentukan kolagen dimulai.5

Selama minggu kedua dan ketiga, ketika jaringan lemah, ada kemungkinan
perforasi. Pada minggu ketiga, cicatrisation stage dimulai dan pembentukan
jaringan parut yang berlebihan akan menyebabkan penyempitan. Mekanisme aksi
ini ditandai oleh : (i) ekstraksi air dari jaringan, (ii) pembentukan protein seluler,
dan (iii) konversi hemoglobin menjadi haematin.5

2.8 Manifestasi Klinis

Luka bakar akibat trauma kimia dapat dijumpai pada kulit, mata, bibir, mulut,
kerongkongan, septum nasi, glotis, dan paru-paru. Akibat resorpsi, bahan kimia
beracun tersebut dapat menimbulkan kerusakan darah, sumsum tulang, hati, ginjal,
saraf, otak, dan organ-organ lainnya. Lokasi luka bakar kimiawi yang paling umum
pada kulit adalah tangan, wajah dan leher. Gejala utamanya adalah terbakar dan

15
perih. Secara morfologis, luka bakar kimiawi ditandai oleh ruam eritema, lepuh
(blister), erosi, ulkus/borok (ulcer), dan nekrosis dengan eritema di sekitarnya.
Biasanya gejalanya muncul segera tetapi beberapa bahan kimia tertentu dapat
muncul beberapa jam atau hari setelah paparan, misalnya fenol dan asam
hidrofluorat lemah.14

Asam kuat membekukan protein kulit dan penetrasi lebih dalam berkurang oleh
penghalang yang terbentuk. Pada prinsipnya, semua asam kuat memberikan gejala
dan gambaran utama yang sama, yaitu eritema, lepuh, dan nekrosis. Beberapa asam
dapat mengubah warna kulit, misalnya asam nitrat yang menimbulkan warna
kuning. Asam sulfat dapat mendehidrasi kulit dengan menciptakan panas
berlebihan pada jaringan sehingga timbul nekrosis koagulasi yang membentuk
eskar melalui pembentukan trombus dalam mikrovaskulatur lesi. Reaksi asam
hidrofluorat di kulit berbeda dari asam kuat lainnya, dimana asam ini dapat
menyebabkan nekrosis likuifaksi dan penetrasi yang berlanjut selama berhari-hari,
misalnya tukang batu yang menggunakan asam hidrofluorat lemah dengan
konsentrasi 10-30% untuk membilas dinding batu bata, asam ini mungkin
menembus ke dalam alas kuku mereka dan menyebabkan rasa sakit yang hebat
setelah beberapa jam. Rasa sakit yang kuat disebabkan oleh kapasitas ion F- untuk
mengikat kalsium dalam jaringan sehingga mempengaruhi sistem saraf. Asam
hidroflorat juga dapat menembus tulang dan menyebabkan dekalsifikasi.14

Basa sering menyebabkan kerusakan yang lebih parah dibandingkan asam,


kecuali asam hidrofluorat. Pertama kali akan tampak kulit nekrotik berwarna coklat
gelap yang berubah menjadi kehitaman. Kemudian, kulit menjadi keras, kering, dan
pecah-pecah. Umumnya, tidak ada pelepuhan pada kulit. Basa memisahkan antara
protein dan lemak disertai dengan saponifikasi dari asam lemak yang dilepaskan.
Efek pengemulsi dari sabun yang terbentuk menimbulkan penetrasi ke lapisan kulit
yang lebih dalam. Kerusakan kulit dapat timbul karena seringkali berlutut pada
beton yang basah atau ketika masuk ke dalam sepatu. Terkadang, kulit nekrotik
dapat muncul 8-12 jam setelah pajanan. Kadang-kadang hal ini dapat terjadi juga
pada tangan, terutama ketika bagian dalam sarung tangan telah terkontaminasi.14

16
Senyawa fenolik seperti fenol, kresol, klorokresol, dan resin fenolik dapat
menembus kulit dengan mudah sehingga menimbulkan kerusakan saraf perifer dan
menjadi tidak sensitif. Setelah terpapar senyawa fenolik, pembuluh darah lokal
menjadi menyempit sehingga dapat berkembang menjadi nekrosis. Syok dan
kerusakan ginjal dapat terjadi akibat penyerapan senyawa fenolik.14

Sulfur mustard adalah senyawa yang digunakan untuk perang kimia. Agen ini
akan dibuang di laut sehingga nelayan akan terluka ketika wadah bocor dan masuk
ke jaring mereka. Bahan kimia tersebut adalah cairan kental dibawah dan gas di
atas dengan suhu 14oC. Pada kulit, cairan ini dapat menyebabkan pelepuhan dan
nekrosis 10-12 jam setelah paparan kulit. Gas menyerang terutama pada mata dan
organ pernapasan. Kadang-kadang kulit juga dapat kontak langsung dengan gas
yang akan menimbulkan gejala klinis 3-6 jam setelah paparan, yaitu kemerahan
awal diikuti dengan pelepuhan dan bisul. Gas air mata dapat menyebabkan
dermatitis bulosa.14

Gas etilen oksida yang digunakan untuk mensterilkan instrumen bedah, tekstil,
dan bahan plastik akan tetap ada pada benda-benda ini selama beberapa hari jika
tidak ada ventilasi yang cukup. Gejala yang timbul akibat paparan gas ini adalah
eritema, edema, dan bula besar, oleh karena itu dapat salah diagnosis sebagai
penyakit kulit lainnya, misalnya impetigo bulosa.14

Agen kaustik dan korosif dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinis


berdasarkan jalur masuknya ke dalam tubuh, misalnya :15

a. Inhalasi dapat menyebabkan cedera saluran pernapasan atas, disertai stridor,


suara serak, mengi, dan edema paru non-kardiogenik. Gejala paru mungkin timbul
belakangan setelah terpapar gas dengan kelarutan air yang rendah (misalnya,
nitrogen dioksida dan fosgen).15

b. Paparan pada mata atau kulit terhadap zat korosif biasanya menyebabkan nyeri
dan kemerahan segera, diikuti oleh lepuh. Konjungtivitis dan lakrimasi sering
terjadi. Luka bakar yang menebal dan kebutaan dapat terjadi.15

17
Gambar 2.8 Luka Bakar Kimia Derajat 2 pada Kaki Kanan.16

c. Menelan zat korosif dapat menyebabkan nyeri mulut, disfagia, mengalirnya air
liur (drooling), dan nyeri di tenggorokan, dada, atau perut. Perforasi esofagus atau
lambung dapat terjadi, disertai dengan nyeri dada atau perut yang parah, tanda-
tanda iritasi peritoneum, atau pankreatitis. Udara bebas dapat terlihat di
mediastinum atau perut pada radiografi. Hematemesis dan syok dapat terjadi.
Asidosis sistemik dapat terjadi telah setelah konsumsi asam dan sebagian mungkin
disebabkan oleh penyerapan ion hidrogen. Bekas luka pada esofagus atau lambung
dapat menyebabkan pembentukan striktur permanen dan disfagia kronis.15

Gambar 2.9 Luka Bakar Kimia pada Lidah.2

18
2.9 Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada anamnesis adanya paparan agen korosif yang
karakteristiknya dapat dijumpai pada kulit, mata, atau iritasi mukosa atau
kemerahan dan adanya luka pada saluran pencernaan. Korban dengan luka pada
mulut dan orofaring biasanya mengeluarkan air liur atau nyeri saat menelan.15

2.9.1 Endoskopi
Karena ketersediaan endoskopi yang mudah dan hasil yang lebih baik, lebih
disukai untuk pemeriksaan radiologis selama tahap akut konsumsi asam dan basa.
Lebih baik dilakukan 12-24 jam setelah konsumsi dan digunakan untuk
mendokumentasikan lokasi cedera dan tingkat keparahannya. Telah dilaporkan
bahwa epitel skuamosa esofagus relatif tahan terhadap luka bakar asam, sedangkan
epitel kolumnar lambung sangat rentan. Itu sebabnya perforasi lambung jauh lebih
sering daripada perforasi esofagus. Duodenum bahkan lebih rentan, tetapi biasanya
dilindungi oleh kejang pilorik. Pada luka bakar akali, epitel skuamosa esofagus
paling parah terkena dampaknya.5 Luka pada esofagus atau lambung jarang terjadi
setelah tertelan jika pasien sama sekali tidak mengeluhkan gejala, tetapi pada
beberapa pasien dapat timbul luka pada mulut dan disfagia yang jelas.15

2.9.2 Radiologi

Mengingat tingginya tingkat perforasi, agen kontras larut air disarankan untuk
evaluasi. Efek dari konsumsi asam pada lambung telah dijelaskan dalam tiga tahap.
Pada tahap akut (1-10 hari), mungkin ada udara di dinding lambung, yang
merupakan tanda yang tidak menyenangkan dari perforasi yang akan datang. Pada
tahap subakut (11-16 hari) terlihat atonia, dilatasi, dan kekauan antrum dan pilorus.
Pada tahap kronis, terjadi stenosis dan kontraksi antrum dan pilorus. Sinar X dada
dan perut serta uji laboratorium rutin harus diperoleh untuk evaluasi aspirasi,
perforasi, dan disfungsi organ.5

19
2.10 Tingkat Keparahan Luka Bakar

2.10.1 Berdasarkan Luas Luka Bakar

‘Rule of Nine’ sekiranya dapat memperkirakan luka bakar orang dewasa.


Pembagian ini dinyatakan dalam persentase luas tubuh. Namun diagram yang lebih
akurat tersedia untuk orang dewasa dan anak-anak adalah Lund Browder
Diagram.1,17

Gambar 2.10 (a) Rule of Nine Diagram. (b) Lund Browder Diagram.17

Gambar 2.11 Lund Browder Diagram.17

20
2.10.2 Berdasarkan Dalam Luka Bakar

Berdaskarkan Dupuyten, klasifikasinya dibagi menjadi 7 tingkatan, yaitu :1

● Tingkat I (Eritema) : Terjadi disebabkan kontak yang singkat dengan benda panas.
Eritema ini disebabkan dilatasi pembuluh darah dan terjadi sedikit eksudasi, dengan
vesikula berwarna putih karena berasal dari epidermis. Luka ini tidak menimbulkan
jaringan parut setelah sembuh, dan bila kasus bersangkutan meninggal maka
eritema ini dapat menghilang. Luka bakar tingkat I ini dapat menimbulkan rasa sakit
yang hebat.1

● Tingkat II (Vesikula) : Terjadi disebabkan kontak yang singkat dengan benda


panas, tetapi lebih lama dari tingkat I. Di sini terjadi edema vesikula yang berisi
albumin dan khlorida. Pinggir vesikula berwarna merah. Sel-sel jaringan lebih
banyak yang rusak. Luka bakar ini dapat menimbulkan bahaya toksemia. Veikula
ini terjadi antara cutis dan cutis vera. Jaringan epitel dengan cepat terbentuk lagi
dari jaringan cutis vera. Pada penyembuhan belum ada jaringan parut.1

● Tingkat III (Kerusakan jaringan kulit yang superfisial) : Dalam hal ini, cutis dan
sebagian cutis vera mengalami destruksi, tetapi folikel rambut dan kelenjar keringat
tidak mengalami destruksi. Epitel-epitel baru akan terbentuk dari permukaan yang
rusak dan dapat terbentuk jaringan parut yang tipis dan elastis. Semua elemen kulit
bisa didapati pada jaringan parut ini. Di sini tidak terjadi kontraktur atau kelainan
bentuk. Ujung saraf sensoris tidak ikut terbakar tetapi rangsangan panasnya dapat
menimbulkan rasa sakit yang hebat.1

● Tingkat IV (kerusakan seluruh lapisan kulit) : Di sini seluruh lapisan kulit terbakar,
juga folikel rambut dan kelenjar keringat. Pada penyembuhan terjadi jaringan parut
yang tidak mengandung elemen kulit. Bisa terjadi kelainan bentuk dan kelainan
fungsi akibat terjadi kontraktur. Luka tingkat IV ini tidak menimbulkan sakit seperti
luka bakar tingkat I, II dan III, karena ujung-ujung saraf sensoris juga mengalami
kerusakan.1

21
● Tingkat V (kerusakan sampai ke jaringan otot) dan Tingkat VI (terbakar hangus) :
Di sini kita jumpai kerusakan kulit, sub-cutis, otot-otot, tulang, dan saraf. Bila saraf
turut terbakar maka perasaan sakit turut hilang. Infeksi di daerah tersebut cepat
terjadi, penyembuhan luka memerlukan waktu yang lama. Keadaan ini sering
diikuti dengan syok yang biasanya timbul dalam waktu 24-72 jam. Itu sebabnya
prognosis agak sukar ditentukan sebelum 72 jam, sebab syok ini dapat
mengakibatkan kematian.1

Berdaskarkan Wilson, tingkatan dalamnya luka bakar disederhanakan dari


klasifikasi Dupuytren. Tingkat I merupakan gabungan tingkat I dan II. Tingkat II
adalah gabungan tingkat III dan IV. Tingkat III merupakan gabungan tingkat V dan
VI.1

Pada masa kini, klasifikasi luka bakar lebih disederhanakan menjadi luka bakar
dangkal (superficial) dan luka bakar dalam (deep).1 Pada luka bakar dangkal, tidak
dijumpai cedera atau cedera minimal yang biasanya dapat sembuh 3 minggu tanpa
gejala sisa. Luka bakar dangkal ini termasuk dalam luka bakar derajat 1 (first degree)
dan derajat 2 superfisial (superficial second degree). Sedangkan pada luka bakar
dalam dijumpai sebagian atau seluruh kulit atau cedera yang biasanya dapat sembuh
lebih dari 3 minggu dan membutuhkan tindakan operasi. Luka bakar dalam ini
termasuk dalam luka bakar derajat 2 dalam (deep second degree), derajat 3 (third
degree), dan derajat 4 (fourth degree). Derajat luka bakar berdasarkan dalamnya
dibagi atas empat, yaitu :17

● First Degree : Epidermis intak, dijumpai eritema.

● Second Degree : Kerusakan integritas epidermis.

a. Superficial Second Degree : Cedera terbatas pada lapisan atas dermis.

b. Deep Second Degree : Cedera melibatkan lapisan yang lebih dalam


(reticular layers).

● Third Degree : Semua lapisan dermis terlibat. Kulitnya keras, gelap, kering, tidak

22
nyeri, trombosis di pembuluh darah, dijumpai luka bakar eschar yang khas.

● Fourth Degree : Semua lapisan kulit, jaringan lemak subkutan, dan jaringan yang
lebih dalam (otot, tendon) terlibat, dan dijumpai carbonized appearance.

2.10.3 Berdasarkan Lokasi Luka Bakar

Luka bakar dapat dijumpai pada mata, telinga, wajah, tangan, kaki, dan genitalia
adalah luka bakar khusus (special area burns) dan harus dirawat di unit luka bakar
yang berpengalaman.17

2.10.4 Berdasarkan Dalam, Luas, dan Lokasi Luka Bakar

Keparahan luka bakar seharusnya dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak ada
3 unsur penting, yaitu luas, derajat luka, dan lokasi luka. Penilaian dapat
dicontohkan sebagai berikut :1,17

● Luka Bakar Ringan

- Dewasa : Luka bakar derajat II < 15% luas permukaan tubuh

- Anak : Luka bakar derajat II < 10% luas permukaan tubuh

- Dewasa atau Anak : Luka bakar derajat III < 2% luas permukaan tubuh

● Luka Bakar Sedang

- Dewasa : Luka bakar derajat II 15-25% luas permukaan tubuh

- Anak : Luka bakar derajat II 10-20% luas permukaan tubuh

- Dewasa atau Anak : Luka bakar derajat III 2-10% luas permukaan tubuh

● Luka Bakar Berat

- Dewasa : Luka bakar derajat II > 25% luas permukaan tubuh

- Anak : Luka bakar derajat II > 20% luas permukaan tubuh

- Dewasa atau Anak : Luka bakar derajat III > 10% luas permukaan tubuh

- Cedera akibat inhalasi (Inhalation Injury)

23
- Luka bakar akibat listrik (electrical burns)

- Luka bakar dengan trauma tambahan (trauma kepala, fraktur)

- Luka bakar selama kehamilan

- Disertai komorbid (diabetes melitus, kortikosteroid, immunosupresif)

- Luka bakar pada mata, telinga, wajah, tangan, kaki, sendi besar, dan genitalia

2.11 Tatalaksana

Gold standard untuk trauma kimia adalah irigasi luka dengan jumlah air yang
banyak. Pelepasan pakaian yang terkontaminasi dan irigasi luka dengan jumlah air
yang banyak kadang-kadang menyelamatkan jiwa.10 Ini termasuk pencegahan
langsung dengan air atau susu. Pemberian asam lemah (minuman berkarbonasi atau
jus jeruk) atau basa (antasida) juga dapat diterima. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebagai tatalaksana trauma kimia, yaitu :5,15

● Jangan berikan emetik pada pasien yang telah menelan agen korosif.

● Sediakan antiemetik (misalnya, ondansentron, 8 mg intravena pada orang dewasa


atau 0,15 mg/kgBB pada anak) untuk mencegah luka pada esofagus akibat emesis.

● Lesi kulit perlu dicuci dengan sabun dan air diikuti dengan pemberian salep.

● Keterlibatan mata memerlukan irigasi berlebihan dengan air atau normal saline.
Dianjurkan rujukan ke dokter spesialis mata.

● Jangan berikan pasien apapun secara oral selama 2-3 hari setelah pemberian air
atau susu. Kemudian, dapat diberikan cairan dan elektrolit.

● Jangan melakukan bilas lambung, karena dapat menyebabkan perforasi lambung


atau kerongkongan.

● Laparotomi diperlukan untuk pasien dengan perforasi lambung dan peritonitis.

24
● Direkomendasikan pemberian antibiotik spektrum luas profilaksis bersamaan
serta penatalaksanaan agresif akibat perdarahan dan syok septik apabila pasien
disertai mediastinitis atau peritonitis.

● Dulunya, kortikosteroid digunakan oleh klinisi dengan harapan untuk


mengurangi skar, tetapi tindakan ini terbukti tidak efektif. Terlebih lagi,
kortikosteroid mungkin berbahaya pada pasien yang mengalami perforasi karena
mask early sign of inflammation dan menginhibisi resistensi terhadap infeksi.

● Berikan oksigen dan observasi ketat tanda-tanda obstruksi saluran napas yang
progresif atau edema paru non kardiogenik.

● Intubasi awal seharusnya dapat mencegah obstruksi saluran napas progresif dari
edema orofaring.

● Striktur esofagus atau obstruksi saluran keluar lambung mungkin memerlukan


dilatasi atau rekontruksi bedah selanjutnya.

● Pengeluaran agen korosif masih kontroversial tetapi menguntungkan apabila baru


tertelan cairan korosif dan disarankan sebelum tindakan endoskopi. Gunakan selang
yang lunak dan fleksibel dan bersihkan (lavage) dengan air atau normal saline yang
banyak dengan pengecekan berkala pH ketika membersihkannya.

2.12 Aspek Medikolegal

Keracunan yang tak disengaja umum terjadi karena banyak dari agen ini
ditemukan di berbagai produk rumah tangga. Balita yang ingin tahu, khususnya,
rentan terhadap cedera akibat korosi basa, yang sering disimpan di bawah bak cuci
atau dalam botol soda tua di banyak rumah tangga. Keracunan tak disengaja juga
dapat terjadi pada orang dewasa, asam diambil secara tidak sengaja untuk obat
(asam nitrat dapat menjadi pengecualian, itu menjadi cairan kekuningan yang
mengeluarkan asap yang sangat menjengkelkan, yang membuatnya mustahil bahwa

25
siapapun dapat mengambil asam secara tidak sengaja untuk sesuatu yang lain).5

Jika tertelan secara tidak sengaja, keasaman yang intens biasanya


memperingatkan orang yang tidak sengaja mengambil kesalahannya, menyebabkan
mengeluarkan asam. Beberapa asam mungkin dijumpai di pakaian, menghasilkan
noda yang khas. Selain itu, upaya untuk menghapus benda-benda yang terbakar dari
bibir dapat menyebabkan penyebaran di daerah sekitar dan pipi, dan lainnya.5

Keracunan akibat bunuh diri jarang terjadi dikarenakan jarang ada orang yang
secara sengaja memilih untuk kematian yang menyiksa seperti itu. Namun, bunuh
diri dengan tekad bisa saja terjadi. Bahkan dalam menelan asam secara sengaja, rasa
sakit yang hebat dapat menyebabkan percikan air dan pewarnaan pada mulut, dagu,
pakaian, dan lain-lain.5

Asam-asam ini tidak cocok untuk tujuan pembunuhan karena efeknya terlalu
cepat dan keras. Korban pembunuhan biasanya bayi yang tidak mampu atau orang
yang mabuk. Paparan akut terhadap uap di industri dapat menyebabkan kematian
karena gangguan pernapasan. Kontak yang terlalu lama dengan uap agen-agen ini
di industri dapat menyebabkan komplikasi pernapasan.5

Dalam kasus keracunan fatal oleh asam-asam ini, tidak ada sisa racun yang
dapat ditemukan di visera, terutama jika korban selamat selama beberapa hari atau
lebih. Garam dari asam-asam ini menjadi unsur umum makanan dan obat-obatan,
penting untuk memastikan apakah ada asam-asam ini yang ada dalam kondisi bebas.
Kuantitas asam bebas sangat penting dalam keracunan HCl.

26
BAB III

KESIMPULAN

Terdapat banyak jenis bahan kimia dengan berbagai fitur dan potensi
paparannya menimbulkan luka bakar yang luas, mulai dari luka bakar ringan hingga
mengancam jiwa. Beberapa dari luka bakar ini respons terhadap perawatan medis,
sementara yang lain mungkin membutuhkan tindakan operasi.

Dibandingkan dengan jenis luka bakar lainnya, luka bakar kimia terjadi relatif
jarang, namun kebanyakan menghasilkan kerusakan serius pada tingkat jaringan
dalam. Insiden luka bakar kimia yang relatif rendah menghasilkan kasus luka bakar
dengan diagnosis yang kadang-kadang terlewatkan, disertai manajemen yang buruk
atau aplikasi perawatan yang kurang akurat karena kurangnya pengalaman dokter.

Keterlibatan yang lebih dalam dari jaringan yang rusak dan implikasinya yang
serius pada kesehatan menghasilkan periode rehabilitasi yang lama dengan
kenaikan biaya medis yang jelas. Dengan demikian penambahan tingkat
pencegahan dan pelatihan yang sesuai kepada dokter dan pekerja menjadi sangat
penting. Faktanya, bahkan banyak korban yang tidak tahu apa yang harus dilakukan
setelah terpapar bahan kimia.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir A. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi ke-2. Bagian Ilmu Kedokteran


Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran USU. Medan. 2019; P. 105.
2. Setyotrisnadi. A Death of a Man Due to Strong Acid Trauma at a Rice Field, a
Homicide or Suicide. Sains Medika. 2016; Vol. 7(1): P. 35.
3. Cox DR. Chemical Burns. 2017. Medscape (accessed 2rd March 2020). Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/769336-overview#a4.
4. Sari MA. Peranan Ahli Toksikologi Forensik Dalam Upaya Pembuktian Tindak
Pidana Pembunuhan Berencana. [Skripsi]. Fakultas Hukum Universitas
Lampung. Bandar Lampung. 2017; P. 1-59.
5. Vij K. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology Principle and Practice. 5th
Edition. Elsevier. 2011; P. 454-62.
6. Vermeij EJ, Wijk MV, Gerretsen R. Microscopic Residues of Bone Dissolving
Human Remains in Acid. Journal of Forensic Science. 2014; P. 1-2.
7. Vanhoy TB, Lewitt MH, Metheny H, et al. Chemical Burns. Statpearls. 2020; P.
1-9.
8. Madea B. Handbook of Forensic Medicine. 5th Edition. John Wiley & Sons. 2014;
P. 203.
9. Gonzalez ACO, Andrade ZA, Costa TF, et al. Wound Healing. An Bras Dermatol.
2016; 91(5): P. 614.
10. Saracoglu A, Yilmaz M, Saracoglu KT. Chemical Burn Injuries. Kocaeli Med J.
2018; Vol. 7(1): P. 54-58.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penyajian Pokok-Pokok Hasil
Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan penelitian dan Pengembangan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013; P. 114-21.
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Utama Riset Kesehatan
Dasar 2018. Badan penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. 2018; P. 112-4.
13. Pujisriyani, Wardana A. Epidemiology of Burn Injuries in Cipto
Mangunkusumo Hospital from 2009 to 2010. JPRJ. 2012; P. 529.

28
14. John SM, Johansen JD, Rustemeyer T, et al. Karneva’s Occupational
Dermatology. 3rd Edition. Springer. 2020; P. 142-3.
15. Olson KR. Poisoning and Drug Overdose. 6th Edition. Mc Graw Hill. 2011; P.
167-70.
16. Kocak AO, Saritemur M, Atac K, et al. A Rare Chemical Burn due to
Ranunculus arvensis: Three Case Reports. Ann Saudi Med. 2016; Vol. 36(1):
P. 89-91.
17. Yasti AC, Senel E, Saydam M. Guideline and Treatment Algorithm for Burn
Injuries. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg. 2015; Vol. 21(2): P. 79-88.

29

Anda mungkin juga menyukai