Anda di halaman 1dari 22

PNEUMONIA ASPIRASI

REFERAT

Oleh
Ahmad Syaikudin
192011101023

Pembimbing
dr. Retna Dwi Puspitarini., Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................... 1


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 2
2.1 Definisi ............................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ...................................................................... 2
2.3 Etiologi ............................................................................... 2
2.4 Faktor Predisposisi ............................................................. 4
2.5 Klasifikasi .......................................................................... 4
2.6 Patofisiologi ....................................................................... 6
2.7 Diagnosis ............................................................................ 8
2.8 Diagnosis banding .............................................................. 9
2.9 Penatalaksanaan ................................................................. 10
2.10 Komplikasi dan Prognosis ................................................ 14
2.11 Pencegahan ....................................................................... 16
BAB 3. KESIMPULAN ........................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 19


BAB 1. PENDAHULUAN

Aspirasi merupakan proses inhalasi material dari orofaring dan atau isi
lambung ke saluran napas bawah. Proses tersebut menyebabkan sebuah
sindrom yang ditentukan oleh kuantitas dan sifat dasar dari material yang
teraspirasi, frekuensi aspirasi, faktor predisposisi, dan respon pertahanan
tubuh pasien. Pada orang sehat, aspirasi jarang terjadi dan membaik tanpa
menimbulkan komplikasi karena material yang teraspirasi dieliminasi oleh
aktivitas mukosilier dan makrofag alveoli.
Sindrom aspirasi terdiri dari empat jenis yaitu aspirasi asam lambung
menyebabkan pneumonitis kimia (pneumonitis aspirasi) yang biasa disebut
mendelson syndrome, aspirasi bakteri primer dari orofaringeal menyebabkan
pneumonia aspirasi, aspirasi lipid seperti mineral oil atau vegetable oil
menyebabkan exogenous lipoid pneumonia suatu bentuk pneumonia yang
jarang terjadi, serta aspirasi benda asing yang menyebabkan obstruksi saluran
napas akut yang pada beberapa kasus kejadian tersebut menjadi predisposisi
terjadinya pneumonia akibat bakteri. Patofisiologi, manifestasi klinis, dan
komplikasi dari masing-masing sindrom aspirasi tersebut berbeda.
Pneumonia aspirasi disebabkan oleh bakteri yang dalam kondisi
normal terdapat di oral dan nasofaring sebagai flora normal. Dalam sejarahnya
pneumonia aspirasi diasosiakan dengan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
yang kurang virulen dan bakteri orofaringeal yang anaerob setelah terjadinya
proses aspirasi material dengan volume besar. Sekarang diketahui bahwa
banyak kejadian pneumonia komunitas dan pneumonia nosocomial
disebabkan oleh aspirasi sejumlah material yang mengandung pathogen
virulen dari kavitas oral atau nasofaring seperti streptococcus pneumonia,
haemophilus influenza, dan bakteri gram negatif.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasite).
Pneumonia yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.
Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan
kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut
pneumonitis (PDPI, 2003).
Pneumonia aspirasi adalah peradangan paru yang disebabkan oleh

masuknya material dari orofaring dan atau lambung ke dalam saluran napas
bawah. Secara konvensional aspirasi pneumonia didefinisikan sebagai infeksi
yang disebabkan oleh bakteri yang kurang virulen, terutama bakteri anaerob,
yang biasanya merupakan flora normal pada inang yang rentan mengalami
aspirasi.

2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas
sebanyak 10%, pneumonia aspirasi pada pusat perawatan kesehatan 30%, dan
pneumonia aspirasi nosokomial sebanyak 800 pasien per 100.000 pasien rawat
inap per tahun. Pneumonia aspirasi pada pasien dari fasilitas kesehatan jangka
panjang ditemukan 3 kali lipat lebih banyak daripada pneumonia aspirasi dari
komunitas. Mortalitas pneumonia aspirasi komunitas dibandingkan dengan
pneumonia aspirasi di pusat fasilitas kesehatan adalah 19,4% berbanding
28,4%. Penelitian lain melaporkan bahwa 5-15 % dari 4,5 juta kasus
pneumonia komunitas (community acquired pneumonia) disebabkan oleh
pneumonia aspirasi. Pneumonia aspirasi nosokomial merupakan infeksi
nosokomial kedua terbanyak setelah infeksi saluran kemih, dan merupakan
penyebab kematian utama pada infeksi nosokomial. Insidensi pasti aspirasi
pneumonia sulit diprediksi karena sebagian besar aspirasi tidak bergejala dan
tidak diketahui waktu kejadiannya.
2..3 Etiologi
Penelitian melaporkan dominasi bakteri anaerob pada pneumonia
aspirasi, dengan bakteri yang lebih virulen seperti S. aureus, Pseudomonas
aeruginosa, dan basil garam negatif fakultatif lain. Pneumonia aspirasi bisa
terjadi di komunitas atau di rumah sakit/fasilitas kesehatan (nosokomial). Pada
keduanya, penyebab infeksi bisa bakteri anaerob atau disertai bakteri aerob
atau mikroaerofilik. Pneumonia nosokomial yang disebabkan aspirasi patogen
utama yang sering dijumpai adalah flora yang didapat di rumah sakit melalui
kolonisasi orofaring (contohnya bakteri gram negatif enterik atau basil gram
negatif dan Staphylococcus aureus). Selain itu, methicillin- resistant S.
Aureus (MRSA) lebih sering dijumpai pada pasien pneumonia aspirasi
nosokomial daripada di komunitas (4,2 % vs 1,4 %). Spesimen sputum dari
pasien dengan pneumonia aspirasi nosokimial, bahkan spesimen transtracheal
aspiration yang diproses di laboratorium terspesialisasi, menunjukkan
pertumbuhan patogen aerob disertai patogen anaerob obligat. Sebuah
penelitian prospektif pada 95 orang pasien yang berasal dari fasilitas
perawatan kronis dan memiliki faktor risiko aspirasi yang akhirnya dirawat di
intensive care unit (ICU) karena pneumonia melaporkan bahwa basil gram
negatif paling sering ditemukan dari isolasi patogen (49 %), diikuti bakteri
anaerob (16 %) dan S. aureus (12 %). Sebanyak 14 % dari pasien memiliki
hasil isolasi patogen basil gram negatif disertai bakteri anaerob.
Penelitian bakteriologi awal pada pneumonia aspirasi yang didapat di
komunitas melaporkan bahwa etiologi sama seperti pada pneumonia
komunitas. Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa etiologi tersering
adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, dan Enterobactericeae. Bakteri anaerob utama yang diisolasi dari
infeksi paru adalah Peptostreptococcus, Fusobacterium nucleatum,
Prevotella, dan Bacteroides spp.
2.4 Faktor Predisposisi
Pada pasien yang menderita pneumonia aspirasi memiliki satu atau lebih

faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya pneumonia aspirasi.


Meskipun factor-faktor tersebut menjadi predisposisi pada pasien pneumonitis
kimia (pneumonitis aspirasi), kondisi yang menyebabkan perubahan
kesadaran dan periodontal disease secara spesifik menjadi predisposisi pada
pasien pneumonia bakteri. Dasar pathogenesis pada beberapa kejadian aspirasi
melibatkan gangguan menelan baik itu yang berhubungan dengan medikasi,
anatomi, atau disfungsi neurologis. Faktor predisposisi pada pneumonia
aspirasi sebagai berikut:
1. Penurunan kesadaran sehingga mengganggu refleks batuk dan
penutupan glotis yang dapat meningkatkan risiko pneumonia aspirasi
atau pneumonitis. Adapun kondisi yang menyebabkan penurunan
kesadaran antara lain alkoholism, overdosis obat-obatan, kejang,
stroke, trauma kepala, anastesi umum, dan tumor intracranial.
2. Kelainan esofagus yang berhubungan dengan pneumonia aspirasi
antara lain disfagia, striktur esofagus, neoplasma esofagus, divertikel
esofagus, fistula trakeoesofagus, gastroesophageal reflux disease
(GERD). Disfagia orofaringeal banyak ditemukan pada pasien usia
lanjut.
3. Gangguan neurologis, seperti multipel sklerosis, demensia, parkinson
disease, myastenia gravis, dan pseudobulbar palsy
4. Kondisi mekanis, seperti pemasangan nasogastric tube (NGT), intubasi
endotrakeal, trakeostomi, endoskopi saluran cerna, bronkoskopi,
gastrostomi atau postpyloric feeding tube.
5. Kondisi lain seperti muntah berat, posisi berbaring lama, general
deconditioning and debility, serta critical illness.
2.5 Klasifikasi
Berat dan luasnya pneumonia aspirasi ditentukan oleh jenis dan jumlah
material aspirasi serta keadaan imunitas. Pneumonia aspirasi diklasifikasikan
berdasarkan penyebabnya antara lain sebagai berikut :
1. Pneumonitis aspirasi (sindrom mendelson) merupakan reaksi inflamasi
paru akibat aspirasi cairan lambung yang steril dalam jumlah besar (>4
ml/kg). Pada 15% kasus kondisinya cepat memburuk dan dapat
menimbulkan gagal nafas, hipoksia, atau acute respiratory distress
syndrome (ARDS) dalam waktu 24 jam. Rangsangsan awal kimiawi akan
diikuti oleh reaksi inflamasi seluler yang diperberat oleh pelepasan sitokin
terutama TNF-alfa dan IL-8.
2. Pneumonia aspirasi bakteri primer, diakibatkan oleh bakteri yang berasal
dari rongga mulut dan faring dan atau lambung. Bakteri penyebab
biasanya bersifat anaerob dan atau aerob. Pneumonia aspirasi bakteri
primer dapat terjadi pada pneumonia komunitas ataupun pneumonia
nosokomial terutama terjadi pada pasien dengan faktor resiko terhadap
aspirasi. Proses inflamasi di paru dapat menimbulkan abses paru,
empyema, bronkiektasis, dan fistel bronkopleura, dan pneumonia.
3. Pneumonitis yang menyebabkan obstruksi saluran nafas
4. Exogenous lipoid pneumonia

2.6 Patofisiologi
Pada pneumonia aspirasi sebuah infiltrat berkembang pada pasien
dengan peningkatan resiko aspirasi material dari orofaringeal. Kondisi
tersebut terjadi ketika pasien menginhalasi material dari orofaring yang
terdapat kolonisasi flora normal saluran napas atas. Resiko terjadinya aspirasi
berhubungan secara tidak langsung dengan penurunan derajat kesadaran
pasien. Aspirasi sejumlah kecil material dari buccal cavity yang terjadi ketika
tidur sangat jarang terjadi. Aspirasi tidak terjadi pada orang yang sehat karena
material aspirasi segera dieliminasi oleh aktivitas mukosiliar dan makrofag
alveolus. Sifat dasar material aspirasi, volume, dan kondisi pertahanan tubuh
pasien penting dalam menentukan luas dan keparahan pneumonia aspirasi.
2.6.1 Pneumonitis kimia (pneumonitis aspirasi/sindrom mendelson)
Pneumonitis kimia adalah reaksi inflamasi pada parenkim paru yang

disebabkan oleh aspirasi asam lambung dengan pH < 2,5 dan volume yang

cukup besar (> 0,3 mL/kg berat badan atau 20 – 25 mL pada dewasa). Pada
kenyataannya aspirasi oleh asam lambung dalam volume besar dapat
menyebabkan acute respiratory distress syndrome dalam satu jam. Volume
inokulum yang lebih kecil bisa menyebabkan gejala yang samar sehingga
tidak terdeteksi secara klinis. Keasaman isi lambung menyebabkan chemical
burns terhadap tracheobronchial tree yang terlibat pada saat aspirasi, diikuti
reaksi inflamasi seluler dan pelepasan sitokin, khususnya tumor necrosis
factor (TNF)-alfa dan ilnterleukin (IL)-8.
Perubahan patologis pada hewan coba yang mengalami pneumonitis
aspirasi berkembang dengan cepat. Dalam tiga menit, dijumpai atelektasis,
perdarahan peribronkial, edema paru, dan degenerasi sel-sel epitel bronkiolus.
Dalam empat jam alveoli terisi dengan leukosit polimorfonuklear dan fibrin.
Hal ini menyebabkan hilangnya integritas mikrovaskular paru dan
ekstravasasi cairan serta protein ke dalam saluran napas dan alveoli. Membran
hialin dijumpai dalam 48 jam, dimana paru-paru secara makroskopis tampak
edema dan hemoragik dengan konsolidasi alveoli. Pada pneumonia aspirasi
yang disebabkan oleh aspirasi partikel makanan dalam jumlah kecil dan tidak
asam pada tikus ditemukan inflamasi neutrofilik akut dalam 4 – 6 jam, tetapi
tidak dijumpai edema dini sebagaimana dijumpai pada aspirasi asam. Puncak
respon monositik dijumpai pada jam ke-48 pasca aspirasi, dimana jaringan
paru menunjukkan tanda-tanda awal dari pembentukan granuloma.
2.6.2 Pneumonia aspirasi

Pneumonia aspirasi secara umum terjadi pada individu yang


mengalami gangguan kronis pada mekanisme pertahanan saluran nafas seperti
reflex muntah, batuk, cilliary movement, dan mekanisme imun yang
mengakibatkan kegagalan dalam proses clearance material infeksius dari
saluran nafas bawah. Pneumonia aspirasi akibat infeksi bakteri biasanya
disebabkan oleh kolonisasi patogen di orofaring atau lambung dan terjadi pada
pasien dengan faktor risiko aspirasi. Basil yang masuk bersama secret bronkus
ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli
disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi
permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibody. Sel-sel PMN mendesak
bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian difagosis.
Pada saat terjadinya proses pertahanan tubuh melawan pathogen akan tampak
4 zona pada daerah parasitic terset yaitu :
1. Zona luar: alveoli yang terisi dengan bakteri dan cairan edema
2. Zona permulaan konsolidasi: terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi
sel darah merah
3. Zona konsolidasi yang luas: daerah tempat terjadi fagositosis yang
aktif dengan jumlah PMN yang banyak
4. Zona resolusi: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri
yang mati, leukosit dan alveolar makrofag (PDPI, 2003).
2.6.3 Pneumonitis yang menyebabkan obstruksi saluran nafas
Pneumonitis aspirasi juga bisa melibatkan cairan atau partikel yang tidak
toksik terhadap paru, tetapi bisa menyebabkan obstruksi saluran napas atau
refleks penutupan saluran napas. Contoh cairan yang tidak toksik terhadap
paru tapi bisa menyebabkan obstruksi saluran napas adalah larutan salin,
barium, cairan yang diminum, isi lambung dengan pH > 2,5. Sebuah
penelitian pada hewan coba melaporkan masuknya cairan ke dalam trakea
dalam jumlah sedikit menyebabkan hipoksemia transien yang sembuh sendiri.
Kadang-kadang hal tersebut juga dapat mencetuskan edema paru, hipoksemia
yang lebih berat, dan menurunkan compliance paru. Contoh pneumonia
aspirasi cairan yang menyebabkan obstruksi saluran napas paling sering
adalah tenggelam (near drowning). aspirasi akibat tenggelam (near drowning)
ini dibagi menjadi dua yaitu:
1. Dry drowning: tidak terjadi aspirasi air laut/ tawar ke paru (dry
lung) dan kematian disebabkan oleh laringospasme pada saat air dingin
masuk ke daerah laring, dalam hal ini 10 – 15% umumnya terjadi iritasi
mekanik akibat air juga.
2. Wet drowning: terdapat air yang masuk ke dalam paru sehingga
paru-paru menjadi basah (wet lung) dan umumnya 85 - 90% terjadi
gangguan pada paru akibat efek cairan.
2.6.4 Exogenous lipoid pneumonia
Pneumonia aspirasi lipoid sering disebabkan oleh aspirasi mineral oil
atau vegetable oil. Pada lipoid pneumonia umumnya juga terjadi akibat efek
samping dari pemberian obat-obatan konstipasi pada anak yang berminyak dan
memiliki viskositas tinggi sehingga menekan reflek batuk dan memudahkan
terjadinya aspirasi pada pasien normal maupun pasien dengan gangguan menelan.
Akibatnya terjadi respon inflamasi dengan edema regional dan perdarahan
intraalveolar atau parafinoma dimana minyak yang teraspirasi dikapsulasi oleh
jaringan fibrosa.

2.7 Diagnosis
Seorang klinisi harus curiga kemungkinan diagnosis pneumonia
aspirasi ketika pasien dengan faktor predisposisi aspirasi terdapat gambaran
infilrat baru atau progresif pada hasil foto radiologis dan disertai gejala klinis
pneumonia. Diagnosis pneumonia aspirasi ditentukan dengan melihat riwayat
medis pasien, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Faktor predisposisi aspirasi
2. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pneumonia aspirasi bervariasi dari ringan sampai berat
seperti syok sepsis atau gagal napas tergantung kepada faktor penjamu, beratnya
aspirasi dan patogen penyebabnya. Manifestasi klinis yang mungkin ditemukan
pada pneumonitis aspirasi yaitu gejala mendadak dengan sesak napas yang
prominen, demam subfebris, sputum kemerahan, sianosis dan ronki pada
auskultasi paru-paru, hipoksemia berat dan dijumpai infiltrat pada foto toraks.
Manifestasi klinis pneumonia aspirasi akibat infeksi bakteri sama dengan
pneumonia komunitas atau pneumonia nosocomial yaitu batuk yang
bertambah berat, sputum purulent, suhu tubuh >38°C (aksila) atau riwayat
demam, pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara
napas bronkial dan ronki serta leukositosis pada pemeriksaan laboratorium.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dikerjakan sesuai indikasinya, terutama pasien

dengan komplikasi. Pada pasien GERD ditemukan kadar pepsin yang lebih tinggi
di trakea pasien. Pada pneumonitis aspirasi pemeriksaan bronkoskopi tampak

eritema pada bronkus yang menunjukkan cedera bronkus akibat asam. Pasien
dengan gejala dan tanda sepsis dan syok sepsis memerlukan pemeriksaan
laboratorium yang lebih banyak daripada pasien dengan sindrom aspirasi yang
lebih ringan.
Pemeriksaan penunjang pada pasien terduga pneumonia aspirasi seperti di
bawah ini:
a. Foto Toraks
Gambaran foto toraks pneumonia aspirasi tergantung pada posisi pasien
saat terjadi aspirasi. Lobus paru bagian kanan bawah merupakan lokasi
tersering dijumpai infiltrat karena kalibernya lebih besar dan orientasi lebih
vertikal pada bronkus utama kanan. Pasien yang mengalami aspirasi ketika
berdiri bisa memiliki infiltrat bilateral pada lobus paru bagian bawah. Pasien
yang berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri lebih sering memiliki infiltrat
pada paru kiri. Paru bagian kanan atas bisa terlibat khusunya pada alkoholik
yang mengalami aspirasi saat posisi telungkup. Jika dijumpai efusi pleura
mungkin mengindikasikan perlu dilakukan torakosentesis untuk mengeksklusi
empyema. Gambaran radiologis pada pasien pneumonitis kimia ditandai
dengan infiltrat, umumnya tipe alveolar, pada satu atau kedua lobus bagian
bawah, atau infiltrat difus seperti edema paru. Hilangnya volume paru pada
lobus tertentu mengindikasikan ada obstruksi (misalnya pada aspirasi partikel
makanan atau benda asing) di bronkus. Gambaran radiologis pada pneumonia
aspirasi akibat bakteri anaerob biasanya menunjukkan infiltrat dengan atau
tanpa kavitasi pada salah satu segmen paru (misalnya segmen posterior lobus
paru bagian atas, segmen superior lobus paru bagian bawah). Lusensi di dalam
infiltrat menggambarkan pneumonia nekrotikans. Air-fluid levels di dalam
infiltrat yang berbatas tegas mengindikasikan abses paru. Sudut kostofrenikus
tumpul dan adanya meniskus adalah tanda efusi pleura parapneumonia.

Gambar 1 Gambar 2
Gambar 1: Foto toraks seorang pasien pada paru kiri saat overdosis
benzodiazepin. Mungkin posisi pasien miring ke kiri pada saat aspirasi;
Gambar 2: Foto toraks pasien dengan pneumonia aspirasi masif pada paru
kanan.

Gambar 3 Gambar 4
Gambar 3: Pneumonia aspirasi pada seorang pria berusia 84 tahun yang

secara umum sehat, dengan gejala demam dan batuk. Foto toraks
menunjukkan opasitas pada lobus kiri bagian bawah; Gambar 4: Foto toraks
lateral pasien berusia 84 tahun dengan pneumonia aspirasi mengkonfirmasi
lokasi infiltrat pada lobus kiri baian bawah.
b. Analisis Gas Darah
Analisis gas darah arteri digunakan untuk menilai oksigenasi dan status pH.
Analisis gas darah arteri memberikan informasi yang mengarahkan pemberian
terapi oksigen. Hasil analisis gas darah arteri sering menunjukkan hipoksemia
akut dan kadar karbondioksida rendah atau normal pada pasien pneumonitis
kimia. Kadar laktat bisa digunakan sebagai marker awal dari sepsis berat atau
syok sepsis.
c. Panel Metabolik Dasar
Pemeriksaan elektrolit serum, blood urea nitrogen (BUN), dan kadar
kreatinin bisa digunakan untuk menilai status cairan dan perlu atau tidak
terapi cairan intravena. Hal ini penting khususnya pada pasien dengan demam,
muntah, atau diare yang mungkin mengalami kehilangan banyak cairan.
Kadar BUN serum dan kreatinin juga bisa digunakan untuk menilai fungsi
ginjal agar bisa memberikan antibiotika dengan dosis yang sesuai. Selain itu
juga bisa untuk mengevaluasi gangguan ginjal (kidney injury) pada pasien
dengan sepsis atau syok sepsis.
d. Darah Lengkap
Darah lengkap bisa menunjukkan peningkatan jumlah leukosit
(leukositosis), peningkatan neutrofil (neutrofilia), anemia, dan trombositosis
pada pasien dengan pneumonia akibat bakteri anaerob. Leukositosis dan
neutrofilia bisa dijumpai juga pada pasien pneumonitis kimia.
e. Pemeriksaan Sputum
Walaupun kultur sputum dan pewarnaan gram secara umum tidak
menolong pada saat mendiagnosis ataupun penatalaksanaan awal, hal ini
menunjukkan berbagai bakteri (misalnya coccus, basil, coccobacillar, dan
fusiform) pada pasien penumonia akibat bakteri anaerob. Pada pneumonia
aspirasi nosokomial, kultur sputum bisa membantu mendeteksi bakteri gram
negatif. Kultur sputum bisa menunjukkan tidak ada pertumbuhan bakteri bila
patogen utama adalah bakteri anaerob.
f. Kultur Darah
Kultur darah dilakukan sebagai skrining awal untuk bakteremia. Pada
pneumonia tanpa komplikasi (tanpa tanda sepsis atau syok sepsis), kultur
darah jarang menunjukkan pertumbuhan patogen dan tidak diperlukan untuk
diagnosis dan penatalaksanaan awal. Kultur darah dilakukan sebelum
pemberian terapi antibiotika. Namun demikian, hasil positif hanya dijumpai
pada 5 – 14 % pasien pneumonia komunitas yang dirawat inap, dan patogen
yang paling sering dijumpai adalah S. pneumonia. Belum ada penelitian yang
melaporkan mengenai persentasi hasil positif pada pneumonia aspirasi.
g. Ultrasonografi
Ultrasonografi membantu mengkonfirmasi dan menentukan lokasi efusi

pleura.
h. CT scan Toraks
CT scan toraks tidak diindikasikan pada semua kasus yang diduga
pneumonia aspirasi. Pemeriksaan ini bisa bermanfaat untuk membedakan
efusi pleura dan empiema serta mendeteksi nekrosis di dalam infiltrat dan
kavitas. CT scan memberikan gambaran lebih baik paru yang terlibat dan
digunakan untuk membedakan kelainan paru dengan kelainan pleura.
i. Bronkoskopi
Bronkoskopi diindikasikan pada pasien pneumonitis kimia hanya jika
diduga terjadi aspirasi benda asing atau makanan. Bronkoskopi dengan
protected brush dan protected cathether untuk memperoleh patogen pada
pneumonia akibat bakteri dan membantu dalam pemilihan antibiotika.
Bronkoskopi membantu mengeksklusi adanya obstruksi akibat neoplasma
pada penumonia bakteri dengan abses paru. Namun demikian, tidak
bermanfaat pada penatalaksanaan pneumonia aspirasi komunitas.
j. Kateterisasi Arteri Pulmoner
Pemasangan kateter arteri pulmoner bisa membantu membedakan edema
paru kardiogenik dengan nonkardiogenik pada penumonitis kimia. Kateter
yang memantau hemodinamik bisa digunakan untuk memandu pemberian
terapi cairan yang tepat.
k. Torakosentesis
Torakosentesis, dikenal juga sebagai aspirasi cairan pleura, merupakan

prosedur diagnostik dan terapeutik dimana cairan (atau udara) dikeluarkan

dari pleura (antara pleura parietal dan viseral). Analisis cairan pleura bisa

membantu menentukan penyebab efusi pleura dan mengurangi gejala yang


disebabkan efusi pleura. Foto toraks sebaiknya dilakukan sebelum dan
sesudah tindakan untuk mendeteksi komplikasi dari torakosentesis.

2.8 Diagnosis Banding


Ketika mengevaluasi seorang pasien yang diduga menderita
pneumonia aspirasi, penyakit lain yang harus dipertimbangkan adalah
pneumonia nekrotikans, bronkopneumonia dengan fistula, karsinoma paru,
abses paru, mikosis paru, dan pneumonitis hipersensitif. Kondisi- kondisi
berikut juga harus dievaluasi: ARDS, tuberculosis, Bronchitis, Penyakit paru
obstruksi kronis, Epiglotitis,Pneumonia, empiema, dan abses paru, Pneumonia
mikoplasma, Pneumonia viral, Syok sepsis.

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien pneumonitis kimia harus meliputi stabilisasi
jalan napas, membersihkan sekresi dengan tracheal suction jika ada indikasi,
stabilisasi pernapasan dan sirkulasi. Intubasi harus dipertimbangkan pada
pasien dengan gangguan patensi saluran napas yang tidak adekuat seperti
gangguan reflex muntah untuk mencegah terjadinya aspirasi lagi. Langkah
selanjutnya yaitu pemberian suplementasi oksigen, monitoring jantung dan
pulse oximetry serta pemasangan IV fluids dan pengganti elektrolit jika ada
indikasi untuk stabilisasi hemodimaik. Pemberian antibiotika profilaksis pada
pneumonitis kimia sebelum terbukti adanya infeksi bakteri tidak didukung
oleh bukti yang kuat. Pemberian antibiotika berdasarkan hasil kultur sputum,
aspirat trakea, atau kultur darah. Namun, karena bronkus yang mengalami
cedera kimia sangat rentan terhadap infeksi bakteri, maka pemberian
antibiotika dapat diterima berdasarkan probabilitas infeksi bakteri, beratnya
pneumonia, dan faktor risiko inang (misalnya malnutrisi, penyakit komorbid),
faktor intervensi (misalnya penggunaan antibiotika sebelumnya,
kortikosteroid, obat sitotoksik, dan NGT), serta lama rawat inap. Indikasi
pemberian antibiotika pada pneumonitis kimia antara lain yaitu jika
pneumonitis tidak membaik dalam 48 jam, pasien dengan obsruksi usus kecil
khususnya yang bagian bawah karena bakteri bisa mengkolonisasi isi
lambung, dan pasien yang mengkonsumsi antasida karena berpotensi
mengalami kolonisasi bakteri di lambung.
Penatalaksanaan pneumonia aspirasi terdiri atas terapi antibiotik dan
suportif. Pemberian antibitoka pada penderita pneumonia sebaiknya
berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi
karena beberapa alas an yaitu penyakit berat yang dapat mengancam nyawa,
bakteri pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia, dan hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu, maka pada
penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Penatalaksanaan
awal pasien yang diduga menderita pneumonia aspirasi tanpa faktor risiko
keterlibatan bakteri anaerob sebaiknya serupa dengan penatalaksanaan
pneumonia komunitas: sefalosporin generasi ketiga dengan makrolid atau
fluorokuinolon saja. Namun, pada pneumonia berat yang terjadi lama setelah
pemasangan ventilasi mekanis, probabilitas patogen resisten, seperti P.
Aeruginosa, Acinetobacter sp, dan MRSA meningkat, sehingga harus
diberikan antibiotika spektrum lebih luas.
Sebuah penelitian pada pneumonia aspirasi di ICU melaporkan bahwa

bakteri yang paling sering ditemukan adalah basil gram negatif (57 ,8 %),

infeksi jamur (28,9 %), dan coccus gram positif (13,3 %). Antibiotika pilihan
antara lain fluorokuinolon respirasi, aminoglikosida dengan penisilin
antipseudomonas, cefalosporin generasi keempat, imipenem, dan vancomisin.
Pasien yang pulih dari pneumonitis kimia secara umum tidak

memerlukan perawatan lanjutan pada rawat jalan. Tidak seperti pneumonitis

kimia, infeksi bakteri anaerob memerlukan terapi antibiotika jangka panjang


sehingga terapi lanjutan di rawat jalan diperlukan. Pasien bisa dipulangkan
dari rumah sakit setelah stabil dan ada perbaikan klinis misalnya tidak demam,
tidak leukositosis, resolusi dari hipoksemia dan perbaikan radiologis misalnya
berkurangnya infiltrat dan ukuran kavitas serta tidak ada efusi pleura. Pada
abses paru, pemberian terapi antibiotika (misalnya klindamisin) dilanjutkan
selama beberapa minggu, walaupun demikian lama pemberian antibiotika
yang dianggap adekuat belum bisa dipastikan.

2.10 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi aspirasi terdiri dari gagal napas akut, ARDS, dan

pneumonia bakterial. Komplikasi pneumonia bakterial terdiri dari efusi

parapneumonia, empiema, abses paru, superinfeksi, dan fistula bronkopleura.

Pneumonitis aspirasi bisa cepat berkembang menjadi gagal napas. 3


Pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri anaerob sering
berkomplikasi menjadi abses paru. Sekitar 80 % abses paru merupakan abses
paru primer dan sisanya abses paru sekunder. Abses paru primer sering
disebabkan oleh bakteri anaerob dan muncul tanpa penyakit dasar paru atau
sistemik. Sebaliknya abses paru sekunder terjadi pada pasien dengan penyakit
dasar, seperti proses post-obstruksi (misalnya benda asing di bronkus atau
tumor) atau suatu proses sitemik (misalnya infeksi HIV, atau kondisi

imunokompromais lain).13
Prognosis pneumonitis aspirasi maupun pneumonia aspirasi tergantung

pada penyakit dasar, komplikasi, dan status kesehatan pasien. Sebuah


penelitian retrospektif melaporkan bahwa angka kematian 30 hari pada
pneumonia aspirasi secara umum 21 % dan pada pneumonia aspirasi
nosokomial sebesar 29,7 %. Angka kematian ini bervariasi tergantung
komplikasi penyakit. Pada penelitian selanjutnya pada pasien yang lebih tua,
angka kematian pneumonitis aspirasi 30 – 62 % karena sering menyebabkan
ARDS. Angka kematian pneumonitis aspirasi yang berat (sindrom

Mendelson) bisa mencapai 70 %. 3 Jika pneumonia aspirasi yang disebabkan


oleh bakteri tidak diterapi secara dini, bisa menyebabkan komplikasi, antara
lain abses paru dan fistula bronkopleura. Pneumonia aspirasi nosokomial
dihubungkan dengan lama rawat lebih panjang dan peningkatan angka

mortalitas.3 Angka mortalitas pneumonia aspirasi dengan komplikasi


empiema diperkirakan 20 %. Angka mortalitas pneumonia aspirasi tanpa
komplikasi sekitar 5 %. Sebuah penelitian pada tikus yang mengalami

pneumonitis aspirasi lebih rentan terhadap infeksi saluran napas.3

2.11 Pencegahan
Pada pasien rawat inap dengan penurunan kesadaran atau risiko
pneumonia aspirasi tidurnya pada posisi setengah duduk, dengan sudut 30-45
derajat (level evidence B). Perlu dilakukan prolaktis gigi dan menjaga hygiene
oral, pengaturan diet dan fisioterapi untuk pasien dengan gangguan menelan.
Lazim digunakan antasida dan penghambat reseptor H2, namun hal ini perlu
dipikirkan lagi karena supresi kadar asam lambung dn konsekuensi hilangnya
perlindungan terhadap hati akan menimbulkan pneumonia yang lebih berat.

Minimalkan penggunaan sedasi pada pasien (level evidence C). 2,3,10,11


Sebuah penelitian terandomisasi pada 711 orang pasien Parkinson
membandingkan insidensi aspirasi pada pemberian makanan oral dengan
konsistensi encer (honey-thickened liquids) dengan konsistensi kental (nectar-
tickened liquids), dilaporkan bahwa insidensi aspirasi secara signifikan lebih
tinggi pada yang mendapat makanan encer. Namun demikian, pada akhirnya
yang berkembang menjadi aspirasi pneumonia 3 bulan setelah itu tidak
berbeda signifikan antara kedua kelompok. 2,3,10,11 Untuk pasien yang
memiliki kesulitan menelan, teknik untuk menurunkan aspirasi antara lain
bentuk makanan lunak dan makan sedikit demi sedikit. Walaupun
memposisikan semifowler dan mengganti konsisitensi makanan tampaknya

sesuai, efikasinya belum terbukti pada penelitian dengan kontrol. 2,3,10,11


Pada pasien yang diberi makan melalui NGT, nilai intoleransi saluran cerna
terhadap makanan tiap 4 jam (level evidence C). Hindari pemberian makanan
secara bolus pada pasien yang berisiko tinggi aspirasi (level evidence E).
Pemberian makan dengan NGT mungkin diperlukan untuk pasien dengan
disfagia berat. Percutaneus endoscopic gastrostomy tubes dan NGT lebih
efisien untuk memberikan nutrisi dan obat-obatan oral pada pasien dengan
disfagia, tetapi belum terbukti menurunkan insidensi aspirasi pneumonia.
Penelitian terbaru melaporkan bahwa pengobatan pasien dengan gastrostomy
tube dan mosaprid sitrat (obat gastroprokinetik) berhubungan dengan risiko
aspirasi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan plasebo dan terapi
proton pump inhibitor (PPI). Sebelum memulai enteral feeding tube, lokasi tip
(ujung tube) sebaiknya dikonfirmasi secara radiologis. Volume residu
lambung dipantau secara reguler. Untuk pemberian makanan secara bolus,
volume residu makanan sebaiknya tidak melebihi 150 mL sebelum pemberian

bolus makanan berikutnya. 2,3,10,11 Evaluasi kemampuan menelan sebelum


memulai makanan per oral pada pasien yang baru saja diekstubasi bila ia
sebelumnya diintubasi selama > 2 hari (level evidence C). Ekstubasi
sebaiknya dilakukan pada posisi lateral kiri atau posisi duduk,
BAB 3. KESIMPULAN

Pneumonia aspirasi merupakan salah satu dari sindrom aspirasi dan


merupakan penyebab tersering dalam proses terjadinya pneumonia.
Pneumonia aspirasi bisa terjadi pada komunitas dan nosocomial. Etiologi
pneumonia terdiri atas bakteri gram negatif, positif dan bakteri anaerob
tergantung tempat terjadinya aspirasi serta material yang teraspirasi. Proses
aspirasi disebabkan oleh factor predisposisi seperti penurunan kesadaran dan
gangguan esophagus. Kecurigaan terhaadap pneumonia aspirasi apabila
ditemukan pasien dengan factor predisposisi mengalami gejala-gejala klinis
seperti demam, batuk dengan sputum purulent, demam, pemeriksaan suara
paru menunjukkan suara nafas bronkovesikuler atau bronkial, serta pada
pemeriksaan penunjang menunjukkan gambaran infiltrate baru atau progresif
pada foto toraks dan leukositosis pada pemeriksaan darah lengkap.
Pneumonitis kimia bisa menunjukkan gejala mendadak seperti seperti sesak
nafas prominen, sianosis, gelisah, sputum berwarna merah, ronki pada
auskultasi. Pemeriksaan penunjang lain diperlukan untuk memperkuat
diagnosis dan menyingkirkan penyebab lain. Pengambilan sampel kultur
diperlukan untuk mengetahui bakteri penyebab. Tata laksana tahap awal saat
kejadian akut fokus pada stabilisasi jalan nafas, suction cairan yang tersisa,
stabilisasi pernafasan dan sirkulasi. Penggunaan suplementasi oksigen seperti
bronkodilator, monitor dan evaluasi hemodinamik pasien sangat diperlukan.
Jika curiga pneumonia aspirasi akibat bakteri dilakukan pengobatan dengan
antibiotik secara empiris sebelum didapatkan hasil kultur, dilakukan evaluasi
kondisi klinis 2-3 hari untuk menentukan kelanjutan terapi antibiotik. Upaya
pencegahan dilakukan agar tidak terjadi aspirasi pada pasien yang memiliki
resiko terjadinya aspirasi.

DAFTAR PUSTAKA

American Association of Critical-Care Nurses. 2016. Prevention of


aspiration in adults. CriticalCareNurse;36(1):e20-e23.

Baron R.,M, Barshak M.,B. Lung Abscess. In: Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, et al. 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Ed.
New York: 2015.p.813-815.

Bowerman T.J., Zhang J., Louise W.T. 2018. Antibacterial treatment of


aspiration pneumonia in older people: a systematic revie. Clinical Interventions in
Aging:13 2201–2213.

Dahlan Z. 2015. Pneumonia bentuk khusus. Dalam Setiati S, Alwi I,


Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiohadi B, Syam AF (Ed.). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing. 2015. p.2300-2301.

Lionel A. Mandell, M.D., and Michael S. Niederman, M.D. 2019.


Aspiration Pneumonia. New England Journal of Medicine;380:651-63.

Mandell LA and Wunderink RG. Pneumonia. In: Kasper DL, Hauser


SL, Jameson JL, et al. 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th
Ed. New York: 2015.p.803-813.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti:


Pedoman Diagnonis dan Tatalaksana di Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Nosokomial:


Pedoman Diagnonis dan Tatalaksana di Indonesia.

Young Gon Son, Jungho Shin, Ho Geol Ryu. 2017 Pneumonitis and
pneumonia after aspiration. J Dent Anesth Pain Med;17(1):1-12.

Anda mungkin juga menyukai