REFERAT
Oleh
Ahmad Syaikudin
192011101023
Pembimbing
dr. Retna Dwi Puspitarini., Sp. P
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii
Aspirasi merupakan proses inhalasi material dari orofaring dan atau isi
lambung ke saluran napas bawah. Proses tersebut menyebabkan sebuah
sindrom yang ditentukan oleh kuantitas dan sifat dasar dari material yang
teraspirasi, frekuensi aspirasi, faktor predisposisi, dan respon pertahanan
tubuh pasien. Pada orang sehat, aspirasi jarang terjadi dan membaik tanpa
menimbulkan komplikasi karena material yang teraspirasi dieliminasi oleh
aktivitas mukosilier dan makrofag alveoli.
Sindrom aspirasi terdiri dari empat jenis yaitu aspirasi asam lambung
menyebabkan pneumonitis kimia (pneumonitis aspirasi) yang biasa disebut
mendelson syndrome, aspirasi bakteri primer dari orofaringeal menyebabkan
pneumonia aspirasi, aspirasi lipid seperti mineral oil atau vegetable oil
menyebabkan exogenous lipoid pneumonia suatu bentuk pneumonia yang
jarang terjadi, serta aspirasi benda asing yang menyebabkan obstruksi saluran
napas akut yang pada beberapa kasus kejadian tersebut menjadi predisposisi
terjadinya pneumonia akibat bakteri. Patofisiologi, manifestasi klinis, dan
komplikasi dari masing-masing sindrom aspirasi tersebut berbeda.
Pneumonia aspirasi disebabkan oleh bakteri yang dalam kondisi
normal terdapat di oral dan nasofaring sebagai flora normal. Dalam sejarahnya
pneumonia aspirasi diasosiakan dengan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
yang kurang virulen dan bakteri orofaringeal yang anaerob setelah terjadinya
proses aspirasi material dengan volume besar. Sekarang diketahui bahwa
banyak kejadian pneumonia komunitas dan pneumonia nosocomial
disebabkan oleh aspirasi sejumlah material yang mengandung pathogen
virulen dari kavitas oral atau nasofaring seperti streptococcus pneumonia,
haemophilus influenza, dan bakteri gram negatif.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasite).
Pneumonia yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.
Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan
kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut
pneumonitis (PDPI, 2003).
Pneumonia aspirasi adalah peradangan paru yang disebabkan oleh
masuknya material dari orofaring dan atau lambung ke dalam saluran napas
bawah. Secara konvensional aspirasi pneumonia didefinisikan sebagai infeksi
yang disebabkan oleh bakteri yang kurang virulen, terutama bakteri anaerob,
yang biasanya merupakan flora normal pada inang yang rentan mengalami
aspirasi.
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas
sebanyak 10%, pneumonia aspirasi pada pusat perawatan kesehatan 30%, dan
pneumonia aspirasi nosokomial sebanyak 800 pasien per 100.000 pasien rawat
inap per tahun. Pneumonia aspirasi pada pasien dari fasilitas kesehatan jangka
panjang ditemukan 3 kali lipat lebih banyak daripada pneumonia aspirasi dari
komunitas. Mortalitas pneumonia aspirasi komunitas dibandingkan dengan
pneumonia aspirasi di pusat fasilitas kesehatan adalah 19,4% berbanding
28,4%. Penelitian lain melaporkan bahwa 5-15 % dari 4,5 juta kasus
pneumonia komunitas (community acquired pneumonia) disebabkan oleh
pneumonia aspirasi. Pneumonia aspirasi nosokomial merupakan infeksi
nosokomial kedua terbanyak setelah infeksi saluran kemih, dan merupakan
penyebab kematian utama pada infeksi nosokomial. Insidensi pasti aspirasi
pneumonia sulit diprediksi karena sebagian besar aspirasi tidak bergejala dan
tidak diketahui waktu kejadiannya.
2..3 Etiologi
Penelitian melaporkan dominasi bakteri anaerob pada pneumonia
aspirasi, dengan bakteri yang lebih virulen seperti S. aureus, Pseudomonas
aeruginosa, dan basil garam negatif fakultatif lain. Pneumonia aspirasi bisa
terjadi di komunitas atau di rumah sakit/fasilitas kesehatan (nosokomial). Pada
keduanya, penyebab infeksi bisa bakteri anaerob atau disertai bakteri aerob
atau mikroaerofilik. Pneumonia nosokomial yang disebabkan aspirasi patogen
utama yang sering dijumpai adalah flora yang didapat di rumah sakit melalui
kolonisasi orofaring (contohnya bakteri gram negatif enterik atau basil gram
negatif dan Staphylococcus aureus). Selain itu, methicillin- resistant S.
Aureus (MRSA) lebih sering dijumpai pada pasien pneumonia aspirasi
nosokomial daripada di komunitas (4,2 % vs 1,4 %). Spesimen sputum dari
pasien dengan pneumonia aspirasi nosokimial, bahkan spesimen transtracheal
aspiration yang diproses di laboratorium terspesialisasi, menunjukkan
pertumbuhan patogen aerob disertai patogen anaerob obligat. Sebuah
penelitian prospektif pada 95 orang pasien yang berasal dari fasilitas
perawatan kronis dan memiliki faktor risiko aspirasi yang akhirnya dirawat di
intensive care unit (ICU) karena pneumonia melaporkan bahwa basil gram
negatif paling sering ditemukan dari isolasi patogen (49 %), diikuti bakteri
anaerob (16 %) dan S. aureus (12 %). Sebanyak 14 % dari pasien memiliki
hasil isolasi patogen basil gram negatif disertai bakteri anaerob.
Penelitian bakteriologi awal pada pneumonia aspirasi yang didapat di
komunitas melaporkan bahwa etiologi sama seperti pada pneumonia
komunitas. Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa etiologi tersering
adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, dan Enterobactericeae. Bakteri anaerob utama yang diisolasi dari
infeksi paru adalah Peptostreptococcus, Fusobacterium nucleatum,
Prevotella, dan Bacteroides spp.
2.4 Faktor Predisposisi
Pada pasien yang menderita pneumonia aspirasi memiliki satu atau lebih
2.6 Patofisiologi
Pada pneumonia aspirasi sebuah infiltrat berkembang pada pasien
dengan peningkatan resiko aspirasi material dari orofaringeal. Kondisi
tersebut terjadi ketika pasien menginhalasi material dari orofaring yang
terdapat kolonisasi flora normal saluran napas atas. Resiko terjadinya aspirasi
berhubungan secara tidak langsung dengan penurunan derajat kesadaran
pasien. Aspirasi sejumlah kecil material dari buccal cavity yang terjadi ketika
tidur sangat jarang terjadi. Aspirasi tidak terjadi pada orang yang sehat karena
material aspirasi segera dieliminasi oleh aktivitas mukosiliar dan makrofag
alveolus. Sifat dasar material aspirasi, volume, dan kondisi pertahanan tubuh
pasien penting dalam menentukan luas dan keparahan pneumonia aspirasi.
2.6.1 Pneumonitis kimia (pneumonitis aspirasi/sindrom mendelson)
Pneumonitis kimia adalah reaksi inflamasi pada parenkim paru yang
disebabkan oleh aspirasi asam lambung dengan pH < 2,5 dan volume yang
cukup besar (> 0,3 mL/kg berat badan atau 20 – 25 mL pada dewasa). Pada
kenyataannya aspirasi oleh asam lambung dalam volume besar dapat
menyebabkan acute respiratory distress syndrome dalam satu jam. Volume
inokulum yang lebih kecil bisa menyebabkan gejala yang samar sehingga
tidak terdeteksi secara klinis. Keasaman isi lambung menyebabkan chemical
burns terhadap tracheobronchial tree yang terlibat pada saat aspirasi, diikuti
reaksi inflamasi seluler dan pelepasan sitokin, khususnya tumor necrosis
factor (TNF)-alfa dan ilnterleukin (IL)-8.
Perubahan patologis pada hewan coba yang mengalami pneumonitis
aspirasi berkembang dengan cepat. Dalam tiga menit, dijumpai atelektasis,
perdarahan peribronkial, edema paru, dan degenerasi sel-sel epitel bronkiolus.
Dalam empat jam alveoli terisi dengan leukosit polimorfonuklear dan fibrin.
Hal ini menyebabkan hilangnya integritas mikrovaskular paru dan
ekstravasasi cairan serta protein ke dalam saluran napas dan alveoli. Membran
hialin dijumpai dalam 48 jam, dimana paru-paru secara makroskopis tampak
edema dan hemoragik dengan konsolidasi alveoli. Pada pneumonia aspirasi
yang disebabkan oleh aspirasi partikel makanan dalam jumlah kecil dan tidak
asam pada tikus ditemukan inflamasi neutrofilik akut dalam 4 – 6 jam, tetapi
tidak dijumpai edema dini sebagaimana dijumpai pada aspirasi asam. Puncak
respon monositik dijumpai pada jam ke-48 pasca aspirasi, dimana jaringan
paru menunjukkan tanda-tanda awal dari pembentukan granuloma.
2.6.2 Pneumonia aspirasi
2.7 Diagnosis
Seorang klinisi harus curiga kemungkinan diagnosis pneumonia
aspirasi ketika pasien dengan faktor predisposisi aspirasi terdapat gambaran
infilrat baru atau progresif pada hasil foto radiologis dan disertai gejala klinis
pneumonia. Diagnosis pneumonia aspirasi ditentukan dengan melihat riwayat
medis pasien, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Faktor predisposisi aspirasi
2. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pneumonia aspirasi bervariasi dari ringan sampai berat
seperti syok sepsis atau gagal napas tergantung kepada faktor penjamu, beratnya
aspirasi dan patogen penyebabnya. Manifestasi klinis yang mungkin ditemukan
pada pneumonitis aspirasi yaitu gejala mendadak dengan sesak napas yang
prominen, demam subfebris, sputum kemerahan, sianosis dan ronki pada
auskultasi paru-paru, hipoksemia berat dan dijumpai infiltrat pada foto toraks.
Manifestasi klinis pneumonia aspirasi akibat infeksi bakteri sama dengan
pneumonia komunitas atau pneumonia nosocomial yaitu batuk yang
bertambah berat, sputum purulent, suhu tubuh >38°C (aksila) atau riwayat
demam, pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara
napas bronkial dan ronki serta leukositosis pada pemeriksaan laboratorium.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dikerjakan sesuai indikasinya, terutama pasien
dengan komplikasi. Pada pasien GERD ditemukan kadar pepsin yang lebih tinggi
di trakea pasien. Pada pneumonitis aspirasi pemeriksaan bronkoskopi tampak
eritema pada bronkus yang menunjukkan cedera bronkus akibat asam. Pasien
dengan gejala dan tanda sepsis dan syok sepsis memerlukan pemeriksaan
laboratorium yang lebih banyak daripada pasien dengan sindrom aspirasi yang
lebih ringan.
Pemeriksaan penunjang pada pasien terduga pneumonia aspirasi seperti di
bawah ini:
a. Foto Toraks
Gambaran foto toraks pneumonia aspirasi tergantung pada posisi pasien
saat terjadi aspirasi. Lobus paru bagian kanan bawah merupakan lokasi
tersering dijumpai infiltrat karena kalibernya lebih besar dan orientasi lebih
vertikal pada bronkus utama kanan. Pasien yang mengalami aspirasi ketika
berdiri bisa memiliki infiltrat bilateral pada lobus paru bagian bawah. Pasien
yang berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri lebih sering memiliki infiltrat
pada paru kiri. Paru bagian kanan atas bisa terlibat khusunya pada alkoholik
yang mengalami aspirasi saat posisi telungkup. Jika dijumpai efusi pleura
mungkin mengindikasikan perlu dilakukan torakosentesis untuk mengeksklusi
empyema. Gambaran radiologis pada pasien pneumonitis kimia ditandai
dengan infiltrat, umumnya tipe alveolar, pada satu atau kedua lobus bagian
bawah, atau infiltrat difus seperti edema paru. Hilangnya volume paru pada
lobus tertentu mengindikasikan ada obstruksi (misalnya pada aspirasi partikel
makanan atau benda asing) di bronkus. Gambaran radiologis pada pneumonia
aspirasi akibat bakteri anaerob biasanya menunjukkan infiltrat dengan atau
tanpa kavitasi pada salah satu segmen paru (misalnya segmen posterior lobus
paru bagian atas, segmen superior lobus paru bagian bawah). Lusensi di dalam
infiltrat menggambarkan pneumonia nekrotikans. Air-fluid levels di dalam
infiltrat yang berbatas tegas mengindikasikan abses paru. Sudut kostofrenikus
tumpul dan adanya meniskus adalah tanda efusi pleura parapneumonia.
Gambar 1 Gambar 2
Gambar 1: Foto toraks seorang pasien pada paru kiri saat overdosis
benzodiazepin. Mungkin posisi pasien miring ke kiri pada saat aspirasi;
Gambar 2: Foto toraks pasien dengan pneumonia aspirasi masif pada paru
kanan.
Gambar 3 Gambar 4
Gambar 3: Pneumonia aspirasi pada seorang pria berusia 84 tahun yang
secara umum sehat, dengan gejala demam dan batuk. Foto toraks
menunjukkan opasitas pada lobus kiri bagian bawah; Gambar 4: Foto toraks
lateral pasien berusia 84 tahun dengan pneumonia aspirasi mengkonfirmasi
lokasi infiltrat pada lobus kiri baian bawah.
b. Analisis Gas Darah
Analisis gas darah arteri digunakan untuk menilai oksigenasi dan status pH.
Analisis gas darah arteri memberikan informasi yang mengarahkan pemberian
terapi oksigen. Hasil analisis gas darah arteri sering menunjukkan hipoksemia
akut dan kadar karbondioksida rendah atau normal pada pasien pneumonitis
kimia. Kadar laktat bisa digunakan sebagai marker awal dari sepsis berat atau
syok sepsis.
c. Panel Metabolik Dasar
Pemeriksaan elektrolit serum, blood urea nitrogen (BUN), dan kadar
kreatinin bisa digunakan untuk menilai status cairan dan perlu atau tidak
terapi cairan intravena. Hal ini penting khususnya pada pasien dengan demam,
muntah, atau diare yang mungkin mengalami kehilangan banyak cairan.
Kadar BUN serum dan kreatinin juga bisa digunakan untuk menilai fungsi
ginjal agar bisa memberikan antibiotika dengan dosis yang sesuai. Selain itu
juga bisa untuk mengevaluasi gangguan ginjal (kidney injury) pada pasien
dengan sepsis atau syok sepsis.
d. Darah Lengkap
Darah lengkap bisa menunjukkan peningkatan jumlah leukosit
(leukositosis), peningkatan neutrofil (neutrofilia), anemia, dan trombositosis
pada pasien dengan pneumonia akibat bakteri anaerob. Leukositosis dan
neutrofilia bisa dijumpai juga pada pasien pneumonitis kimia.
e. Pemeriksaan Sputum
Walaupun kultur sputum dan pewarnaan gram secara umum tidak
menolong pada saat mendiagnosis ataupun penatalaksanaan awal, hal ini
menunjukkan berbagai bakteri (misalnya coccus, basil, coccobacillar, dan
fusiform) pada pasien penumonia akibat bakteri anaerob. Pada pneumonia
aspirasi nosokomial, kultur sputum bisa membantu mendeteksi bakteri gram
negatif. Kultur sputum bisa menunjukkan tidak ada pertumbuhan bakteri bila
patogen utama adalah bakteri anaerob.
f. Kultur Darah
Kultur darah dilakukan sebagai skrining awal untuk bakteremia. Pada
pneumonia tanpa komplikasi (tanpa tanda sepsis atau syok sepsis), kultur
darah jarang menunjukkan pertumbuhan patogen dan tidak diperlukan untuk
diagnosis dan penatalaksanaan awal. Kultur darah dilakukan sebelum
pemberian terapi antibiotika. Namun demikian, hasil positif hanya dijumpai
pada 5 – 14 % pasien pneumonia komunitas yang dirawat inap, dan patogen
yang paling sering dijumpai adalah S. pneumonia. Belum ada penelitian yang
melaporkan mengenai persentasi hasil positif pada pneumonia aspirasi.
g. Ultrasonografi
Ultrasonografi membantu mengkonfirmasi dan menentukan lokasi efusi
pleura.
h. CT scan Toraks
CT scan toraks tidak diindikasikan pada semua kasus yang diduga
pneumonia aspirasi. Pemeriksaan ini bisa bermanfaat untuk membedakan
efusi pleura dan empiema serta mendeteksi nekrosis di dalam infiltrat dan
kavitas. CT scan memberikan gambaran lebih baik paru yang terlibat dan
digunakan untuk membedakan kelainan paru dengan kelainan pleura.
i. Bronkoskopi
Bronkoskopi diindikasikan pada pasien pneumonitis kimia hanya jika
diduga terjadi aspirasi benda asing atau makanan. Bronkoskopi dengan
protected brush dan protected cathether untuk memperoleh patogen pada
pneumonia akibat bakteri dan membantu dalam pemilihan antibiotika.
Bronkoskopi membantu mengeksklusi adanya obstruksi akibat neoplasma
pada penumonia bakteri dengan abses paru. Namun demikian, tidak
bermanfaat pada penatalaksanaan pneumonia aspirasi komunitas.
j. Kateterisasi Arteri Pulmoner
Pemasangan kateter arteri pulmoner bisa membantu membedakan edema
paru kardiogenik dengan nonkardiogenik pada penumonitis kimia. Kateter
yang memantau hemodinamik bisa digunakan untuk memandu pemberian
terapi cairan yang tepat.
k. Torakosentesis
Torakosentesis, dikenal juga sebagai aspirasi cairan pleura, merupakan
dari pleura (antara pleura parietal dan viseral). Analisis cairan pleura bisa
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien pneumonitis kimia harus meliputi stabilisasi
jalan napas, membersihkan sekresi dengan tracheal suction jika ada indikasi,
stabilisasi pernapasan dan sirkulasi. Intubasi harus dipertimbangkan pada
pasien dengan gangguan patensi saluran napas yang tidak adekuat seperti
gangguan reflex muntah untuk mencegah terjadinya aspirasi lagi. Langkah
selanjutnya yaitu pemberian suplementasi oksigen, monitoring jantung dan
pulse oximetry serta pemasangan IV fluids dan pengganti elektrolit jika ada
indikasi untuk stabilisasi hemodimaik. Pemberian antibiotika profilaksis pada
pneumonitis kimia sebelum terbukti adanya infeksi bakteri tidak didukung
oleh bukti yang kuat. Pemberian antibiotika berdasarkan hasil kultur sputum,
aspirat trakea, atau kultur darah. Namun, karena bronkus yang mengalami
cedera kimia sangat rentan terhadap infeksi bakteri, maka pemberian
antibiotika dapat diterima berdasarkan probabilitas infeksi bakteri, beratnya
pneumonia, dan faktor risiko inang (misalnya malnutrisi, penyakit komorbid),
faktor intervensi (misalnya penggunaan antibiotika sebelumnya,
kortikosteroid, obat sitotoksik, dan NGT), serta lama rawat inap. Indikasi
pemberian antibiotika pada pneumonitis kimia antara lain yaitu jika
pneumonitis tidak membaik dalam 48 jam, pasien dengan obsruksi usus kecil
khususnya yang bagian bawah karena bakteri bisa mengkolonisasi isi
lambung, dan pasien yang mengkonsumsi antasida karena berpotensi
mengalami kolonisasi bakteri di lambung.
Penatalaksanaan pneumonia aspirasi terdiri atas terapi antibiotik dan
suportif. Pemberian antibitoka pada penderita pneumonia sebaiknya
berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi
karena beberapa alas an yaitu penyakit berat yang dapat mengancam nyawa,
bakteri pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia, dan hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu, maka pada
penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Penatalaksanaan
awal pasien yang diduga menderita pneumonia aspirasi tanpa faktor risiko
keterlibatan bakteri anaerob sebaiknya serupa dengan penatalaksanaan
pneumonia komunitas: sefalosporin generasi ketiga dengan makrolid atau
fluorokuinolon saja. Namun, pada pneumonia berat yang terjadi lama setelah
pemasangan ventilasi mekanis, probabilitas patogen resisten, seperti P.
Aeruginosa, Acinetobacter sp, dan MRSA meningkat, sehingga harus
diberikan antibiotika spektrum lebih luas.
Sebuah penelitian pada pneumonia aspirasi di ICU melaporkan bahwa
bakteri yang paling sering ditemukan adalah basil gram negatif (57 ,8 %),
infeksi jamur (28,9 %), dan coccus gram positif (13,3 %). Antibiotika pilihan
antara lain fluorokuinolon respirasi, aminoglikosida dengan penisilin
antipseudomonas, cefalosporin generasi keempat, imipenem, dan vancomisin.
Pasien yang pulih dari pneumonitis kimia secara umum tidak
imunokompromais lain).13
Prognosis pneumonitis aspirasi maupun pneumonia aspirasi tergantung
2.11 Pencegahan
Pada pasien rawat inap dengan penurunan kesadaran atau risiko
pneumonia aspirasi tidurnya pada posisi setengah duduk, dengan sudut 30-45
derajat (level evidence B). Perlu dilakukan prolaktis gigi dan menjaga hygiene
oral, pengaturan diet dan fisioterapi untuk pasien dengan gangguan menelan.
Lazim digunakan antasida dan penghambat reseptor H2, namun hal ini perlu
dipikirkan lagi karena supresi kadar asam lambung dn konsekuensi hilangnya
perlindungan terhadap hati akan menimbulkan pneumonia yang lebih berat.
DAFTAR PUSTAKA
Baron R.,M, Barshak M.,B. Lung Abscess. In: Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, et al. 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Ed.
New York: 2015.p.813-815.
Young Gon Son, Jungho Shin, Ho Geol Ryu. 2017 Pneumonitis and
pneumonia after aspiration. J Dent Anesth Pain Med;17(1):1-12.