Disusun oleh:
KELOMPOK 5
1. Nine Yuanita 2019000056
2. Nona Juniar 2019000057
3. Nurjanah 2019000058
4. Nurul Maulida Rizka 2019000059
5. Nurul Wahyu Tri Utami 2019000060
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS PANCASILA
2019
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 2
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3. Tujuan Penulisan ............................................................................... 3
BAB IV KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan ........................................................................................ 20
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
diresepkan. Dan antibiotik tidak digunakan karena mereka tidak efektif terhadap virus.
Serangan pneumonia virus biasanya sembuh tanpa obat, asalkan pasien beristirahat,
makan makanan sehat, dan mengambil banyak cairan. Pneumonia bakterial selalu
diobati dengan antibiotik. Jika pasien berada di rumah sakit, itu adalah khas untuk
rumah sakit untuk mengikuti pedoman perawatan yang ketat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Streptococci anaerob. Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae
bakteri yang lazim dijumpai campuran antara Gram negatif batang + S. aureus.
2.3. Epidemiologi
Sebuah studi menyebutkan rata-rata kasus pneumonia dalam setahun adalah 12
kasus setiap 1000 orang. Mortalitas pada penderita CAP yang membutuhkan
perawatan rumah sakit diperkirakan sekitar 7 - 14%, dan meningkat pada populasi
tertentu seperti pada penderita CAP dengan bakterimi, dan penderita yang
memerlukan perawatan di intensive care unit (ICU). Angka mortalitas juga lebih
tinggi ditemukan pada negara berkembang, pada usia muda, dan pada usia lanjut,
bervariasi dari 10 – 40 orang tiap 1000 penduduk di negara-negara barat.
5
Insiden dan prevelensi pneumonia di Indonesia pada tahun 2013 adalah 1.8% dan
4,5%. Lima provinsi yang memiliki insiden tertinggi untuk semua umur adalah NTT,
Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan. Di Indonesia
prevelensi kejadian pneumonia mengalami peningkatan pada usia 65 tahun keatas.
2.4. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri
(Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Enterococcus faecalis dan
faecium, Pseudomonas aeruginosae, Klebsiella pneumoniae, Haemophillus influenza),
virus (cytomegalovirus, herpes simplex virus, varicella zoster virus), jamur (Candida
sp., Aspergillus sp., Crytococcus neoformans) dan protozoa. Pneumonia yang
disebabkan Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru
yang disebabkan oleh nonmikrooganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik,
obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. Pneumonia komunitas yang diderita
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia
rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di
Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita penderita komunitas adalah
bakteri gram negatif.
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan nosocomial :
a. Didapat di masyarakat : Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma pneumonia,
Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia pneumonia, anaerob
oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
b. Yang didapat di rumah sakit : basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob.
7
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat
mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian
kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada
keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk
antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan
bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi
perlawanan antara host dan bakteri maka akan nampak empat zona pada daerah
pasitik parasitik terset yaitu :
1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema
2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah
3) Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis
yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak
4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit dan alveolar makrofag.
2. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi
fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara
napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah
halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Gambaran Radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial
serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral
atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus.
2. Pemeriksaan Labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,
9
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Pada pemeriksaan
labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari
10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah
dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak
diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala
klinis pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti
pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks trdapat infiltrat baru atau
infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
1. Batuk-batuk bertambah
2. Perubahan karakteristik dahak / purulen
3. Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
4. Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial
dan ronki
5. Leukosit > 10.000 atau < 450
10
2.9. Pneumonia pada Usia Lanjut
Seiring penuaan, berbagai perubahan pada sistem respirasi. Terjadi penurunan
elastisitas paru, meningkatnya kekakuan dinding dada, dan berkurangnya kekuatan
otot dada. Selain itu juga terjadi penurunan gerak silia pada sistem respirasi,
penurunan refleks batuk, dan refleks fisiologik lainnya yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya infeksi pada saluran napas bawah. Volume residu paru bertambah dan
terjadi penurunan sensitivitas pusat pernapasan terhadap hipoksemia dan
hiperkapnia.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan Streptococcus pneumonia sebagai
penyebab tersering pneumonia komunitas pada usia lanjut, yaitu sekitar 36-
49%.Berbeda dengan penelitian Han et al. yang mendapatkan Pseudomonas
aeruginosa sebagai penyebab tersering pneumonia komunitas di China, yaitu
sebesar 20,1%, diikuti Klebsiella pneumonia 15,2%, Streptococcus pneumonia
hanya ditemukan sebanyak 3,3%. Pneumonia pada usia lanjut seringkali tidak
menunjukkan gejala yang jelas. Beberapa penelitian menunjukkan tidak selalu
ditemukan demam ataupun gejala pernapasan pada populasi ini. Penelitian
Fernandez-Sabe et al terhadap pasien pneumonia komunitas berusia 80 tahun ke atas
tidak menemukan keluhan batuk sebagai keluhan pasien saat masuk perawatan,
sedangkan demam tidak didapatkan pada 32% pasien. Zalacain et al mendapatkan
perubahan status mental sebagai keluhan utama pada 26% pasien. Selain perubahan
11
status mental atau perilaku, usia lanjut bisa datang dengan keluhan jatuh, gangguan
status fungsional, dizziness, penurunan kesadaran, kelemahan umum, anoreksia,
dehidrasi. Manifestasi tidak biasa ini seringkali menyebabkan keterlambatan diagnosis
pneumonia pada usia lanjut.
12
B. Pilihan Antibiotika pada Pneumonia Komunitas pada Usia Lanjut
13
BAB III
A. Riwayat Penyakit
1. Hipertensi.
2. Hiperkolesterolemia.
B. Pengobatan
1. Azitromycin pada saat rawat jalan.
2. Levofloxacin dengan jalur pemberian intravena pada rawat inap selama 3 hari
C. Riwayat Hidup Pasien
1. Pasien mengalami sesak nafas, batuk kering selama 4 hari, sputum berwarna
kecoklatan, demam, menggigil dan nyeri dada yang berat di sebelah kanan dada.
2. Pasien membantah mengalami kaki bengkak, sisi kirinya mengalami orthopnea
atau sakit dada pada bagian kiri.
3. Pasien membantah mengalami gejala gastrointestinal (tidak mengalami mual,
muntah atau diare).
14
D. Pemeriksaan Fisik Pasien
1. Tanda Vital
1) Tekanan Darah: 128/76 mmHg.
2) Denyut Nadi 102 kali/menit.
3) Laju Respirasi 24 kali/menit.
4) Suhu 38,5 ºC.
2. Paru-Paru/Toraks
1) Sesak nafas.
2) Nyeri dada yang berat di bagian kanan.
3) Bernafas lebih cepat dari biasanya.
3. Radiologi
1) Foto toraks menunjukkan konsolidasi fokal pada lobus tengah dan kanan
bawah menandakan pneumonia.
2) Paru sebelah kiri menandakan bersih.
4. Hasil Laboratorium
1) Na 138 mEq/L
2) K 4,2 mEq/L
3) Cl 99 mEq/L
4) Ca 8 mg/dL
5) BUN 17 mg/dL
6) Kreatinin 1,1 mg/dL
7) Glukosa 87 mg/dL
8) Neutrofil 72%
9) Limfosit 12%
10) Trombosit 180.000 sel/mL
11) WBC 4.200 sel/μL
5. Kultur Darah
Streptococcus pneumoniae (+) tumbuh di media.
6. Uji Sensitivitas Antibiotik
1) Resisten : Azithromycin
2) Sensitif : Fluoroquinolon
15
7. Penentuan Tingkat Mortalitas dengan Metode CURB- 65
1) Confusion : 0 (kesadaran)
2) Urea : 0 (BUN 17 mg/dL; normal 7-20 mg/dL)
3) Respiratory Rate : 0 (24 kali per menit; normal 12-20 kali per menit)
4) Blood Presure : 0 (128/76 mmHg; normal 120/80 mmHg)
5) Usia 65 (tahun) : 1 (usia pasien 66 tahun)
Skor CURB-65 : 1 (Berdasarkan jurnal pasien rawat jalan)
Riwayat Pengobatan :
1. Azitromycin pada saat rawat jalan.
2. Levofloxacin dengan jalur pemberian intravena pada rawat inap selama 3 hari.
16
B. Objektif
1. Tanda Vital
Parameter Hasil Pengukuran Kriteria Normal
Tekanan Darah 128/76 mmHg 120/80 mmHg
Denyut Nadi 102 kali/menit 60-100 kali/menit
Laju Respirasi 24 kali/menit <30 kali/menit
Suhu 38,5 ºC 36,5-37,5 ºC
2. Radiologi:
17
Thorax pasien pneumonia Thorax normal
1) Foto Toraks : konsolidasi fokal pada lobus kanan bawah menandakan
pneumonia.
2) Paru sebelah kiri : menandakan bersih.
5. Hasil Laboratorium
Parameter Hasil Laboratorium Kriteria Normal Keterangan
Na 138 mEq/L 135-145 mEq/L Normal
K 4,2 mEq/L 3,5-5,0 mEq/L Normal
Cl 99 mEq/L 96-106 mEq/L Normal
Ca 8 mg/dL 8,8-10,4 mg/dL Hipokalsemia
Glukosa 87 mg/dL 70-100 mg/dL Normal
BUN 17 mg/dL 7-20 mg/dL Normal
Kreatinin 1,1 mg/dL 0,6-1,3 mg/dL Normal
Neutrofil 72% 36-73% Normal
Limfosit 12% 15-45% Abnormal
Trombosit 180 x 103/mm3 170-380 x 103/mm3 Normal
WBC 4,2 x 103/mm3 3,2-10 x 103/mm3 Normal
C. Assessment
1. Berdasarkan nilai CURB-65, pasien mendapatkan skor = 1 yang berdasarkan
PDPI community, skor 1 mendapatkan terapi rawat jalan. Pasien telah sesuai
mendapatkan terapi rawat jalan berdasarkan skor CURB-65.
2. Ada indikasi tanpa obat :
1) Pasien mengalami batuk kering selama 4 hari.
2) Pasien juga mengalami demam dan menggigil.
3) Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi, sebaiknya diberikan
antihipertensi untuk maintenance (seperti : Amlodipin)
18
3. Obat tidak sesuai, pasien menderita pneumonia tipikal dimana hasil uji mikroba
positif S. pneumoniae . Golongan β-laktam ditambah anti β-laktamase atau
fluorokuinolon respirasi (Levofloksasin, Moksifloksasin, Gatifloksasin).
D. Plan
1. Terapi Non-Farmakologi :
1) Kurangi kegiatan fisik yang berat
2) Atur pola hidup yang sehat
3) Olahraga ringan dan usahakan terpapar sinar matahari pagi untuk mencukupi
kebutuhan kalsium.
2. Terapi Farmakologi :
1) Konseling
2) Monitoring :
a) Dilakukan pemeriksaan profil lipid karena pasien memiliki riwayat
penyakit hiperkolesterolemia.
b) Sebaiknya dilakukan kultur mikroba sebelum memulai terapi obat.
3) Pengobatan :
a) Diberi antitusif untuk mengobati batuk keringnya (seperti
Dektrometorfan, Noskapin, Codein HCl)
b) Diberikan paracetamol 500 mg 3 x sehari 1 tablet untuk mengobati
demamnya.
c) Penggunaan antibiotik β-laktam dan atau fluoroquinolon diperlukan
untuk mengobati pneumonia yang diderita oleh pasien.
4) Sebaiknya dilakukan terapi sulih setelah pasien keluar dari rumah sakit.
19
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
A. Pneumonia adalah peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, parasit) yang ditandai dengan adanya gejala seperti demam,
batuk, sesak napas atau nyeri dada.
B. Penegakkan diagnosis didasarkan pada gejala yang dirasakan, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
C. Penatalaksanaan pneumonia dapat dilakukan dengan rawat jalan maupun rawat inap
sesuai indeks keparahan penyakit dengan memberikan terapi suportif/simptomatik
dan pemberian antibiotik empiris sesegera mungkin sesuai panduan PDPI atau
Dipiro.
D. Pada studi kasus tersebut, pasien tersebut dinilai memiliki penyakit pneumonia
komunitas pada lansia.
E. Pada studi kasus tersebut, pasien diberikan 3 macam terapi non-farmakologis serta 3
macam terapi farmakologis yaitu konseling, monitoring dan pengobatan berupa
levofloksasin.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta: 2005.
2. Sumber Patofisologi, Gejala, Tes Diagnostik, dan Pengobatan pada Pendahuluan.
Diambil dari:
https://www.aplaceformom.com/planning-and-advice/articles/pneumonia-in-the-
elderly. Diakses tanggal 8 September 2019.
3. American thoracic society. Guidelines for management of adults with community-
acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and
prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54.
4. American thoracic Society. Hospital-acquired pneumonia in adults. Diagnosis,
assessment of severity, initial antimicrobial therapy and preventive strategis. Am J
Respir Crit Care Med 1995; 153: 1711-25
5. Lionel A. Mandell, Richard G Wunderink, Antonio Anzueto, John G Barlet, G.
Douglas Campbel, Nathan C. Dean, dkk. IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults.
2007:44
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Pneumonia di Indonesia.2003
7. Roza Mulyana. Terapi Antibiotika Pada Pneumonia Usia Lanjut. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2019
8. Karina Damayanti, Oyagi Ryusuke. Pneumonia. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. 2017
9. Alwi Muarif Kurniawan. Profil Pasien Usia Lanjut Dengan Pneumonia Kominitas di
Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng. 2014
21
22