PNEUMONIA
Disusun Oleh :
KELOMPOK I
DOSEN PENGAMPUH :
Fakultas Kedokteran
Universitas Pattimura
Ambon
2016
KELOMPOK PENYUSUN : KELOMPOK I
ANGGOTA :
Ambon, 26
April 2016
DAFTAR ISI
COVER
NAMA ANGGOTA KELOMPOK .
KATA PENGANTAR .....
DAFTAR ISI ...
BAB I PENDAHULUAN ...
BAB II ISI
1.1 Definisi ......
2.1 Klasifikasi Pneumonia ...
3.1 Etiologi Pneumonia ...
4.1 Patogenesis dan Patofisiologi
5.1 Patologi Anatomi Pneumonia ....
6.1 Penatalaksanaan Pneumonia ..
DAFTAR PUSTAKA ..
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Definisi
1. Pneumonia Lobaris
Penyakit pneumonia dimana seluruh lobus ( biasanya 1 lobus ) terkena
infeksi scara difusi. Penyebabnya adalah streptococcus pneumonia. Lesinya
yaitu bakteri yang dihasilkannya menyebar merata ke seluruh lobus.
2. Bronchopneumonia
Pada Bronchopneumonia terdapat kelompok-kelompok infeksi pada
seluruh jaringan pulmo dengan multiple focal infection yang terdistibusi
berdasarkan tempat dimana gerombolan bakteri dan debrisnya tersangkut di
bronchus. Penyebab utamanya adalah obstruksi bronchus oleh mukus dan
aspirasi isi lambung lalu bakteri terperangkap disana kemudian
memperbanyak diri dan terjadi infeksi pada pulmo. Bronchopneumonia
terbagi menjadi 2 subtipe,yakni: 2
a) Pneumonia aspirasi
Mekanisme infeksi terjadi saat partikel-partikel udara membawa bakteri
masuk ke paru-paru. Banyak terjadi pada pasien-pasien post operasi dan
pasien-pasien dengan kondisi yang lemah.
b) Pneumonia intertitialis
Reaksi inflamasi melibatkan dinding alveoli dengan eksudat yang relatif
sedikit dan sel-sel lekosit poli-morfo-nuklear dalam jumlah yang relatif
sedikit. Pneumonia intertitialis biasanya ada kaitannya dengan infeksi saluran
pernapasan atas. Penyebabnya adalah virus ( influenza A dan B, respiratory
syncytial virus, dan rhino virus ) dan mycoplasma pneumonia.
3.1 Etiologi
Gambar 5.1.3. Pneumonia lobaris. Satu lobus paru terkonsolidasikan dan permukaan pleura
ditutupi dengan pleuritis fibrinous. Sisa paru0paru relatif tidak terpengaruh. Pasien dengan
pneumonia lobar memiliki dyspnea kurang dari orang-orang dengan bronkopneumonia, tetapi
karena reaksi pleuritik mereka mengalami nyeri dada selama respirasi dan dengan batuk.
Sumber: Colour atlas of anatomical pathology. 3rd ed
Gambar 5.1.4. Pneumonia Lobaris. Hepatisasi abu-abu. Pada lobus bawah tampak konsolidasi
yang seragam.
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed
Gambar 5.1.5. Potongan pneumonia lobaris. Menunjukan konsolidasi yang terlokalisir pada satu
lobus.
Sumber: Colour atlas of anatomical pathology. 3rd ed
Gambar 6. Pneumonia Lobaris. Lobus bagian bawah dari paru-paru tampak terkonsolidasi
sempurna, dan lobus atas sama sekali tidak terlibat.
Sumber: The big picture pathology
Gambar 5.1.7. A, Penumonia akut. Septum kapiler dan eksudasi ekstensif neutrophil padat ke
alveolus sehingga ini merupakan terjadi hepatisasi merah.9,10
B, Organisasi awal eksudat intraalveolar, terlihat langsung melalui pori-pori Kohn (panah)
C, sesuai dengan hepatisasi abu-abu, menunjukan transformasi eksudat ke masa fibromyoxid yang
kaya infiltrate dari makrofag dan fibroblast.
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed
Gambar 5.1.8. Pneumonia interstisial. Intensitas fibrosis yang bervariasi, dan tampak lebih parah
pada daerah subpleural
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed
Gambar 5.1.9. Pneumonia interstisial. Focus fibroblastic dengan serat yang berjalan sejajar
dengan permukaan. Dan matriks ekstraseluler myxoid yang kebiruan. 11,13
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed
Gambar 5.1.10. Cryptogenic organizing pneumonia (COP). tampak ruang alveolar di penuhi
dengan bola-bola fibroblast (Masson bodies), sedangkan dinding alveolus relative normal.
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed
Gambar 5.1.13. Consolidasi mempengaruhi seluruh lobus kiri bawah paru-paru. Ini adalah khas
dari infeksi pneumokokus (S. pneumonia) dimana hipersensitifitas menyebabkan pengeluaran
cairan ke dalam paru-paru. Infeksi menyebar ke semua alveolus melalui pori-pori Kohn. 12
Sumber: Atlas of gross pathology with histologic correlation
Gambar 5.1.14. B, stadium hepatisasi merah: alveolus dipenuhi neutrophil
C, Stadium Hepatisasi kelabu: eksudat intraalveolar menekan kapiler.
Sumber: Atlas of gross pathology with histologic correlation
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Pedoman
WHO saat ini untuk manajemen akut untuk pneumonia berat adalah ampisilin dan
gentamisin untuk hingga 10 hari, atau alternatif, kloramfenikol sampai terlihat
adanya perbaikan klinis. Untuk pneumonia diklasifikasikan parah, maka
pemberian amoksisilin atau benzilpenisilin dianjurkan untuk 5 hari atau lebih,
karena berdasarkan penelitian pengobatan dengan cara ini menurunkan angka
kematian akibat pneumonia.17,18
Dapat juga diberikan juga antibiotik lainnya seperti, kotrimoksasol, sefadroxil, dll.
Amoxicilin dan ampisilin merupakan antibiotik golongan penisilin yang bersifat
bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel. Obat ini
berdifusi baik di jaringan dan cairan tubuh, akan tetapi penetrasi ke dalam cairan
otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi. Antibiotik ini sesuai
digunakan unntuk pengobatan pneumonia karena spektrum kerjanya yang luas.
Siprofloksasin merupkan golongan kuinolon yang aktif terhadap bakteri Gram
positif dan Gram negatif. Pada anak, siprofloksasin digunakan untuk infeksi
pseudomonas. Gentamisin merupakan aminoglikosida yang banyak dipilih dan
digunakan secara luas untuk terapi infeksi serius. Gentamisin memiliki spektrum
antibakteri yang luas, tapi tidak efektif terhadap kuman anaerob. Sefadroxil
merupakan sefalosporin yang memiliki spektrum luas yang digunakan untuk
terapi septicemia, pneumonia, meningitis, infeksi saluran empedu, peritonitis, dan
infeksi saluran urin. Aktivitas farmakologi dari sefalosporin sama dengan
penisilin, diekskresi sebagian besar melalui ginjal. Kotrimoksazol,merupakan
suatu kombinasidarisulfametoksazol dan trimetoprim dalam perbandingan 5:1
(400 + 80 mg), trimetropim memiliki spektrum kerja anti bakteriil yang mirip
sulfonamida yaitu efektif terhadap sebagian besar kuman gram positif dan gram
negatif. Mekanisme kerjanya yaitu sulfametoksazol mengganggu sintesa asam
folat bakteri dan pertumbuhan lewat penghambatan pembentukan asam
dihidrofolat dan trimethoprim menghambat reduksi asam diihidrofolat menjadi
tetrahidrofolaat, sehingga kombinasi keduannya sangat sesuai.19
1. Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ.
Practice guidelines for management community-acquiredd pneumonia in
adults. Clin infect Dis 2000; 31: 347-82
2. Retno Asih S, Landia S, Makmuri S. Pneumonia. Surabaya:FK-Unair,2006
3. McIntosh K. Community Acquired Pneumonia in Children. N Engl J Med
2002; 346(6): 429-37.
4. Hasan R, et al. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2002
5. Rudinger M, Friedrich W, Rustow B, et al. Disturbed surfactant properties
in preterminfants with pneumonia. Biol Neonate; 2011.
6. Pusponegoro HD, et al. Standar pelayanan medis kesehatan anak. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004
7. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic basic of
disease 9th ed. Philadelphia: Elsavier Saunders; 2015
8. Rose, GA. Atlas of gross pathology: with histologic correlation. New
York: Cambridge University Press; 2008
9. Katzenstein AL, Myers JL, Mazur MT: Acute interstitial pneumonia: a
clinicopathologic, ultrastructural, and cell kinetic study. Am J Surg Pathol
10:256, 1986.
10. Bouros D, Nicholson AC, Polychronopoulos V, du Bois RM: Acute
interstitial pneumonia. Eur Respir J 15:412, 2000.
11. Collard HR, King TE Jr: Demystifying idiopathic interstitial pneumonia.
Arch Intern Med 163:1729, 2003.
12. ATS European Respiratory Society International Multidisclipinary
Consensus: Classification of the idiopathic interstitial pneumonias Am J
Respir Crit Care Med 165:277304, 2002.
13. Katzenstein AL, Fiorelli RF: Nonspecific interstitial pneumonia/fibrosis:
histologic features and clinical significance. Am J Surg Pathol 18:136
147, 1994.
14. Cooke, RA., Stewart, B. Colour atlas of anatomical pathology. 3rd ed.
China: Churchill Livingstone; 2004
15. Kemp, WL., Burns, DK., Brown, TG. The big picture pathology. New
York: Mc Graw Hill; 2008
16. Campbell H, Theodoratou E, Al-Jilaihawi S, Woodward F, Ferguson J,
Jhass A, et al. The effect of case management on childhood pneumonia
mortality in developing countries. International Journal of Epidemiology
2010;39:155171
17. Metersky ML, G Robert, Masterton, Lode H, M Thomas. File Jr,
Babinchak T. Epidemiology, microbiology, and treatment considerations
for bacterial pneumonia complicating influenza. International Journal of
Infectious Diseases. 2012; 16: 321331
18. Kaparang PC, Tjitrosantoso H, Yamlean PVY. Evaluasi kerasionalan
penggunaan antibiotika pada pengobatan pneumonia anak di instalasi
rawat inap RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado periode Januari-
Desember 2013. Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT. 2014; 3: 2302 2493.
19. Nugroho F, Utami PI, Yuniastuti I. Evaluasi penggunaan antibiotik pada
penyakit pneumonia di RSU Daerah Purbalingga. Pharmacy. 2011; 08:
1693-3591.