Anda di halaman 1dari 22

Blok Reespirologi Tugas Patologi Anatomi

(26 April 2016)

PNEUMONIA

Disusun Oleh :

KELOMPOK I

DOSEN PENGAMPUH :

dr. Juliet Sinanu, Sp.PA

Fakultas Kedokteran
Universitas Pattimura
Ambon
2016
KELOMPOK PENYUSUN : KELOMPOK I

ANGGOTA :

JEAN M. USMANY NIM : 2013-83-013

LEONARDO J. SIPAHELUT NIM : 2013-83-017

CHRISTA G. PIRSOUW NIM : 2013-83-023

FIENDY T. P. REMBET NIM : 2013-83-024

KAREL J. R. SOUHOKA NIM : 2013-83-032

FADILLAH M. AGUN NIM : 2013-83-051


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang


Maha Kuasa karena atas berkat dan rahmat-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas refarat ini tentang Pneumonia, yang
dimaksudkan untuk memenuhi tugas subblok Patologi Anatomi,
blok Respirologi.
Kami menyampaikan terima kasih kepada dr. Juliet Sinanu,
Sp.PA yang telah memberikan tugas ini, serta kepada kepada
semua pihak yang telah membantu penulis sehingga dapat
menyelesaikan tugas refarat ini.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam
penyusunan tugas refarat ini, untuk itu kritik dan saran penulis
harapkan guna kesempurnaan tugas ini kedepannya. Akhir kata,
semoga tugas refarat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Ambon, 26
April 2016
DAFTAR ISI

COVER
NAMA ANGGOTA KELOMPOK .
KATA PENGANTAR .....
DAFTAR ISI ...
BAB I PENDAHULUAN ...
BAB II ISI
1.1 Definisi ......
2.1 Klasifikasi Pneumonia ...
3.1 Etiologi Pneumonia ...
4.1 Patogenesis dan Patofisiologi
5.1 Patologi Anatomi Pneumonia ....
6.1 Penatalaksanaan Pneumonia ..
DAFTAR PUSTAKA ..
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Definisi

Pneumonia adalah suatu infeksi dari satu atau dua paru-


paru yang biasanya disebabkan oleh bakteri-bakteri, virus-virus,
atau jamur. Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-
paru meradang. Kantung-kantung udara dalam paru yang disebut
alveoli dipenuhi nanah dan cairan sehingga kemampuan menyerap
oksigen menjadi kurang. Pneumonia juga merupakan salah satu
penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang mengenai
bagian paru.1,2,3

2.1 Klasifikasi Pneumonia

Berdasarkan daerah yang terinfeksi, Pneumonia dibagi atas:

1. Pneumonia Lobaris
Penyakit pneumonia dimana seluruh lobus ( biasanya 1 lobus ) terkena
infeksi scara difusi. Penyebabnya adalah streptococcus pneumonia. Lesinya
yaitu bakteri yang dihasilkannya menyebar merata ke seluruh lobus.

2. Bronchopneumonia
Pada Bronchopneumonia terdapat kelompok-kelompok infeksi pada
seluruh jaringan pulmo dengan multiple focal infection yang terdistibusi
berdasarkan tempat dimana gerombolan bakteri dan debrisnya tersangkut di
bronchus. Penyebab utamanya adalah obstruksi bronchus oleh mukus dan
aspirasi isi lambung lalu bakteri terperangkap disana kemudian
memperbanyak diri dan terjadi infeksi pada pulmo. Bronchopneumonia
terbagi menjadi 2 subtipe,yakni: 2

a) Pneumonia aspirasi
Mekanisme infeksi terjadi saat partikel-partikel udara membawa bakteri
masuk ke paru-paru. Banyak terjadi pada pasien-pasien post operasi dan
pasien-pasien dengan kondisi yang lemah.

b) Pneumonia intertitialis
Reaksi inflamasi melibatkan dinding alveoli dengan eksudat yang relatif
sedikit dan sel-sel lekosit poli-morfo-nuklear dalam jumlah yang relatif
sedikit. Pneumonia intertitialis biasanya ada kaitannya dengan infeksi saluran
pernapasan atas. Penyebabnya adalah virus ( influenza A dan B, respiratory
syncytial virus, dan rhino virus ) dan mycoplasma pneumonia.

3.1 Etiologi

Penyebab pneumonia bermacam-macam dan diketahui ada


30 sumber infeksi dengan sumber utama: bakteri, virus,
mikroplasma, jamur, dan senyawa kimia maupun partikel. 1,2,3

1. Pneumonia oleh bakteri.


S. pneumoniae adalah jenis bakteri penyebab pneumonia pada anak-anak
di semua umur berdasarkan komunitas penyakit pneumonia. Sedangkan
M. pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae adalah penyebab utama
pneumonia pada anak di atas umur 5 tahun. Begitu pertahanan tubuh
menurun oleh sakit, usia tua, atau malnutrisi, bakteri segera
memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Seluruh jaringan paru
dipenuhi cairan dan infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui aliran darah. Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa
saja, mulai dari bayi sampai usia lanjut. Pada pencandu alkohol, pasien
pasca-operasi, orang-orang dengan penyakit gangguan pernapasan, dan
penurunan kekebalan tubuh adalah golongan yang paling berisiko. Anak-
anak juga termasuk kelompok yang rentan terinnfeksi penyakit ini karena
daya tahan tubuh yang masih lemah. Penelitian lainnya menyebutkan
bahwa S.pneumoniae diidentifikasikan sebagai agen etiologi pada 34 dari
64 pasien (53%) dan pada 34 dari 43 pasien (79%). S.pneumonia adalah
pathogen teridentifikasi yang sering ditemukan pada pasien di segala usia
walaupun tidak ada hubungan antara usia dan kemungkinan jenis darah
positif terinfeksi. 1,2,3

2. Pneumonia oleh virus.

Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.


Sebagian besar virus-virus ini menyerang saluran pernapasan bagian atas
(terutama pada anak). Namun, sebagian besar pneumonia jenis ini tidak
berat dan dapat disembuhkan dalam waktu singkat. Bila infeksi terjadi
bersamaan dengan virus influensa, gangguan ini masuk ke dalam tingkatan
berat dan kadang menyebabkan kematian. Virus yang menginfeksi paru
akan berkembang biak walau tidak terlihat jaringan paru yang dipenuhi
cairan. 1,2,3

3. Pneumonia oleh Mikoplasma


Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan
penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai
virus maupun bakteri walaupun memiliki karakteristik keduanya.
Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas.
Mikoplasma menyerang segala jenis usia. Tetapi paling sering pada anak
pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan pada
orang yang tidak menjalani pengobatan. Pneumonia jenis ini berbeda
gejala dan tanda fisiknya bila dibandingkan dengan pneumonia pada
umumnya. Oleh karena itu, pneumonia yang diduga disebabkan oleh virus
yang belum ditemukan ini sering disebut Atypical Pneumonia pneumonia
yang tidak tipikal. Pneumonia mikoplasma mulai diidentifikasi saat
perang dunia II. 1,2,3

4. Pneumonia jenis lainnya


Pneumonia lain yang jarang ditemukan, yakni disebabkan oleh masuknya
makanan, cairan, gas, debu maupun jamur. Pneumocystitis Carinii
Pneumonia (PCP) yang diduga disebabkan oleh jamur, adalah salah satu
contoh dari pneumonia jenis lainnya. PCP biasanya menjadi tanda awal
serangan penyakit pada pengidap HIV/AIDS. PCP dapat diobati pada
banyak kasus. Namun, bisa saja penyakit ini muncul lagi beberapa bulan
kemudian. Rickettsia (golongan antara virus dan bakteri yang
menyebabkan demam Rocky Mountain, demam Q, tipus, dan psittacosis)
juga mengganggu fungsi paru. 1,2,3

4.1 Patogenesis dan Patofisiologi

Kuman penyebab pneumonia, biasanya Pneumococcus


masuk ke dalam saluran pernapasan pada saat intrauterin melalui
hematogen transplasenta, intrapartum melalui aspirasi, atau jalur
postnatal melalui hematogen dan lingkungan. Selain bakteri, virus
dan jamur dapat juga menginduksi terjadinya inflamasi pulmoner.4,5
Pneumococcus dapat masuk sampai ke alveolus, terutama
pada paru bagian basis (lobus inferior), yang disebabkan oleh
adanya gaya gravitasi. Terdapat 3 bentuk transisi primer dari agen-
agen penyebab pneumonia, antara lain:4
1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah
berkolonisasi pada orofaring
2. Inhalasi aerosol yang infeksius
3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal
Di sepanjang traktus respiratorius tubuh akan melakukan mekanisme pertahanan
diri diantaranya dengan susunan anatomis serta dengan cara membuat refleks
batuk untuk mengeluarkan kuman penyebab tersebut. Namun jika tubuh dalam
kondisi tidak intake, maka kuman penyebab atau agen infeksius ini akan sampai
ke alveoli dan menyebabkan inflamasi pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya. Agen infeksius dapat menyebabkan kerusakan epitelium pada saluran
pernapasan, kebocoran protein ke alveoli dan interstisium serta defisiensi dan
disfungsi surfaktan.4-6
Proses peradangan di alveoli ini terdiri atas 4 stadium, yaitu:4,6
1. Stadium I
Stadium I atau stadium hiperemi biasanya terjadi selama 4-12 jam
pertama. Stadium ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
peningkatan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia terjadi
akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel mast yang
merupakan respons lanjutan dari pengaktivan sistem imun. Mediator-
mediator kimia tersebut meliputi histamin dan prostaglandin. Selain itu sel
mast akan merangsang aktivasi komplemen. Histamin, prostaglandin dan
aktivasi komplemen akan bersama-sama melemaskan sel otot polos dan
meningkatkan permeabilitas dari kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke ruang interstitium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan
pada kapiler dan alveolus akan mengakibatkan jarak yang harus ditempuh
oleh oksigen dan karbondioksida, yang memberikan efek terhadap
terjadinya penurunan saturasi oksigen.4,6
2. Stadium II
Stadium II disebut juga dengan stadium hepatisasi merah, dimana alveolus
terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh host
sebagai bagian dari proses peradangan. Lobus yang terkena akan menjadi
padat karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga
pada perabaan akan seperti hepar. Pada stadium ini alveolus sangat
minimal atau tidak ada sehingga anak akan merasa sangat sesak. Stadium
ini berlangsung singkat yaitu sekitar 48 jam.4,6
3. Stadium III
Stadium III merupakan stadium hepatisasi kelabu, dimana sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Selain itu juga terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Eritrosit mulai diresorbsi, namun lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit. Akan kelihatan tampilan
warna pucat kelabu., dan tidak lagi berwarna merah karena kapiler tidak
lagi mengalami kongesti. Stadium ini berlangsung selama 3-8 hari.4,6
4. Stadium IV
Stadium IV merupakan stadium resolusi, yaitu stadium sewaktu respon
imun dan peradangan mereda, sisa sel fibrin dan eksudat akan mengalami
lisis dan selanjutnya akan diresorbsi oleh makrofag sehingga jaringan akan
kembali ke struktur semula. Stadium ini berlangsung selama 7-12 hari.4,6

5.1 Patologi Anatomi Pneumonia

Gambar 5.1.1. Perbandingan gambaran bronkopneumonia dan pneumonia lobaris


Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed
Gambar 5.1.2. Bronkopneumonia. Tampak bercak konsolidasi pada paru-paru (panah)
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed

Gambar 5.1.3. Pneumonia lobaris. Satu lobus paru terkonsolidasikan dan permukaan pleura
ditutupi dengan pleuritis fibrinous. Sisa paru0paru relatif tidak terpengaruh. Pasien dengan
pneumonia lobar memiliki dyspnea kurang dari orang-orang dengan bronkopneumonia, tetapi
karena reaksi pleuritik mereka mengalami nyeri dada selama respirasi dan dengan batuk.
Sumber: Colour atlas of anatomical pathology. 3rd ed
Gambar 5.1.4. Pneumonia Lobaris. Hepatisasi abu-abu. Pada lobus bawah tampak konsolidasi
yang seragam.
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed

Gambar 5.1.5. Potongan pneumonia lobaris. Menunjukan konsolidasi yang terlokalisir pada satu
lobus.
Sumber: Colour atlas of anatomical pathology. 3rd ed
Gambar 6. Pneumonia Lobaris. Lobus bagian bawah dari paru-paru tampak terkonsolidasi
sempurna, dan lobus atas sama sekali tidak terlibat.
Sumber: The big picture pathology

Gambar 5.1.7. A, Penumonia akut. Septum kapiler dan eksudasi ekstensif neutrophil padat ke
alveolus sehingga ini merupakan terjadi hepatisasi merah.9,10
B, Organisasi awal eksudat intraalveolar, terlihat langsung melalui pori-pori Kohn (panah)
C, sesuai dengan hepatisasi abu-abu, menunjukan transformasi eksudat ke masa fibromyoxid yang
kaya infiltrate dari makrofag dan fibroblast.
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed

Gambar 5.1.8. Pneumonia interstisial. Intensitas fibrosis yang bervariasi, dan tampak lebih parah
pada daerah subpleural
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed

Gambar 5.1.9. Pneumonia interstisial. Focus fibroblastic dengan serat yang berjalan sejajar
dengan permukaan. Dan matriks ekstraseluler myxoid yang kebiruan. 11,13
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed
Gambar 5.1.10. Cryptogenic organizing pneumonia (COP). tampak ruang alveolar di penuhi
dengan bola-bola fibroblast (Masson bodies), sedangkan dinding alveolus relative normal.
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed

Gambar 5.1.11. Pneummonia hipersentifitas. Gambaran histologi. Tampak pembentukan


granuloma interstisial dan peradangan kronis yang merupakan ciri khas.
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed
Gambar 5.1.12. Pneumonia interstisial deskuamasi. Terlihat akumulasi sejumlah besar sel
mononuclear dalam ruang alveolus dengan penebalan yang berserat halus dari dinding alveolus.11,13
Sumber: Robbins and Cotran Pathologic basic of disease 9th ed

Gambar 5.1.13. Consolidasi mempengaruhi seluruh lobus kiri bawah paru-paru. Ini adalah khas
dari infeksi pneumokokus (S. pneumonia) dimana hipersensitifitas menyebabkan pengeluaran
cairan ke dalam paru-paru. Infeksi menyebar ke semua alveolus melalui pori-pori Kohn. 12
Sumber: Atlas of gross pathology with histologic correlation
Gambar 5.1.14. B, stadium hepatisasi merah: alveolus dipenuhi neutrophil
C, Stadium Hepatisasi kelabu: eksudat intraalveolar menekan kapiler.
Sumber: Atlas of gross pathology with histologic correlation

6.1 Penatalaksanaan Pneumonia

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif.


Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan
keadaan klinisnya. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia
sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu:16

1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa


2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Pedoman
WHO saat ini untuk manajemen akut untuk pneumonia berat adalah ampisilin dan
gentamisin untuk hingga 10 hari, atau alternatif, kloramfenikol sampai terlihat
adanya perbaikan klinis. Untuk pneumonia diklasifikasikan parah, maka
pemberian amoksisilin atau benzilpenisilin dianjurkan untuk 5 hari atau lebih,
karena berdasarkan penelitian pengobatan dengan cara ini menurunkan angka
kematian akibat pneumonia.17,18

Dapat juga diberikan juga antibiotik lainnya seperti, kotrimoksasol, sefadroxil, dll.
Amoxicilin dan ampisilin merupakan antibiotik golongan penisilin yang bersifat
bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel. Obat ini
berdifusi baik di jaringan dan cairan tubuh, akan tetapi penetrasi ke dalam cairan
otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi. Antibiotik ini sesuai
digunakan unntuk pengobatan pneumonia karena spektrum kerjanya yang luas.
Siprofloksasin merupkan golongan kuinolon yang aktif terhadap bakteri Gram
positif dan Gram negatif. Pada anak, siprofloksasin digunakan untuk infeksi
pseudomonas. Gentamisin merupakan aminoglikosida yang banyak dipilih dan
digunakan secara luas untuk terapi infeksi serius. Gentamisin memiliki spektrum
antibakteri yang luas, tapi tidak efektif terhadap kuman anaerob. Sefadroxil
merupakan sefalosporin yang memiliki spektrum luas yang digunakan untuk
terapi septicemia, pneumonia, meningitis, infeksi saluran empedu, peritonitis, dan
infeksi saluran urin. Aktivitas farmakologi dari sefalosporin sama dengan
penisilin, diekskresi sebagian besar melalui ginjal. Kotrimoksazol,merupakan
suatu kombinasidarisulfametoksazol dan trimetoprim dalam perbandingan 5:1
(400 + 80 mg), trimetropim memiliki spektrum kerja anti bakteriil yang mirip
sulfonamida yaitu efektif terhadap sebagian besar kuman gram positif dan gram
negatif. Mekanisme kerjanya yaitu sulfametoksazol mengganggu sintesa asam
folat bakteri dan pertumbuhan lewat penghambatan pembentukan asam
dihidrofolat dan trimethoprim menghambat reduksi asam diihidrofolat menjadi
tetrahidrofolaat, sehingga kombinasi keduannya sangat sesuai.19

Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD di observasi tingkat


kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat inap di ruang rawat
biasa. Bila pernapasan berbahaya maka penderita dirawat di ruang rawat intensif.
Pengobatan suportif/simptomatik, yaitu istirahat di tempat tidur, minum
secukupnya untuk mengatasi dehidrasi, bila panas tinggi perlu dikompres atau
minum obat antipiertik, bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran,
pemberian terapi oksigen, pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori
dan elektrolit, bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik.16,17

Untuk terapi oksigen diberikan apabila diduga adanya hipoksemia. Hipoksemia


merupakan komplikasi utama dan meningkatkan risiko kematian. Pengobatan
WHO direkomendasikan pneumonia berat termasuk terapi oksigen di mana
saturasi oksigen <90% (di mana pulse oximetry tersedia).17
DAFTAR PUSTAKA

1. Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ.
Practice guidelines for management community-acquiredd pneumonia in
adults. Clin infect Dis 2000; 31: 347-82
2. Retno Asih S, Landia S, Makmuri S. Pneumonia. Surabaya:FK-Unair,2006
3. McIntosh K. Community Acquired Pneumonia in Children. N Engl J Med
2002; 346(6): 429-37.
4. Hasan R, et al. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2002
5. Rudinger M, Friedrich W, Rustow B, et al. Disturbed surfactant properties
in preterminfants with pneumonia. Biol Neonate; 2011.
6. Pusponegoro HD, et al. Standar pelayanan medis kesehatan anak. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004
7. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic basic of
disease 9th ed. Philadelphia: Elsavier Saunders; 2015
8. Rose, GA. Atlas of gross pathology: with histologic correlation. New
York: Cambridge University Press; 2008
9. Katzenstein AL, Myers JL, Mazur MT: Acute interstitial pneumonia: a
clinicopathologic, ultrastructural, and cell kinetic study. Am J Surg Pathol
10:256, 1986.
10. Bouros D, Nicholson AC, Polychronopoulos V, du Bois RM: Acute
interstitial pneumonia. Eur Respir J 15:412, 2000.
11. Collard HR, King TE Jr: Demystifying idiopathic interstitial pneumonia.
Arch Intern Med 163:1729, 2003.
12. ATS European Respiratory Society International Multidisclipinary
Consensus: Classification of the idiopathic interstitial pneumonias Am J
Respir Crit Care Med 165:277304, 2002.
13. Katzenstein AL, Fiorelli RF: Nonspecific interstitial pneumonia/fibrosis:
histologic features and clinical significance. Am J Surg Pathol 18:136
147, 1994.
14. Cooke, RA., Stewart, B. Colour atlas of anatomical pathology. 3rd ed.
China: Churchill Livingstone; 2004
15. Kemp, WL., Burns, DK., Brown, TG. The big picture pathology. New
York: Mc Graw Hill; 2008
16. Campbell H, Theodoratou E, Al-Jilaihawi S, Woodward F, Ferguson J,
Jhass A, et al. The effect of case management on childhood pneumonia
mortality in developing countries. International Journal of Epidemiology
2010;39:155171
17. Metersky ML, G Robert, Masterton, Lode H, M Thomas. File Jr,
Babinchak T. Epidemiology, microbiology, and treatment considerations
for bacterial pneumonia complicating influenza. International Journal of
Infectious Diseases. 2012; 16: 321331
18. Kaparang PC, Tjitrosantoso H, Yamlean PVY. Evaluasi kerasionalan
penggunaan antibiotika pada pengobatan pneumonia anak di instalasi
rawat inap RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado periode Januari-
Desember 2013. Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT. 2014; 3: 2302 2493.
19. Nugroho F, Utami PI, Yuniastuti I. Evaluasi penggunaan antibiotik pada
penyakit pneumonia di RSU Daerah Purbalingga. Pharmacy. 2011; 08:
1693-3591.

Anda mungkin juga menyukai