Anda di halaman 1dari 14

ESSAY

PNEUMONIA

Disusun Oleh:

Nama : Sigarni Muliana

NIM : 020.06.0077

Kelas :B

Dosen : dr. Risky Irawan Putra P, Sp.P

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022
“Pneumonia”

Dari pemaparan kuliah dengan dr. Risky yaitu mengenai pneumonia. Disini saya akan
menyusun tuas essay minggu kedua membahas epidemiologi, etiologi, definisi, patofisiologi,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan tatalaksana pneumonia dan membahas klasifikasi
pneumonia.

Infeksi saluran napas bawah masih menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan.
Salah satu infeksi saluran napas bawah yaitu pneumonia. World Health Organization (WHO)
melaporkan infeksi saluran napas bawah sebagai infeksi penyebab kematian paling sering di
dunia. Pneumonia adalah infeksi atau peradangan akut di jaringan paru yang disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme, seperti bakteri, virus, parasit, jamur, pajanan bahan kimia atau
kerusakan fisik paru.

Pneumonia adalah peradangan parenkim paru yang dapat menyebabkan kelainan difusi
dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Dalam fisiologi pernapasan terdapat 3 tahapan
respirasi yaitu ventilasi, difusi, dan perfusi. Ventilasi yaitu peristiwa masuk dan keluarnya udara
ke dalam paru. Difusi yaitu perpindahan O2 darah alveoli ke dalam darah dan CO2 dari darah ke
alveoli. Perfusi yaitu distribusi darah ke dalam paru. Pada pneumonia yang tidak berat tidak akan
terganggu pada ventilasi melainkan pada difusinya. Gangguan pada difusi yaitu gangguan
oksigen dari alveoli menuju ke pembuluh darah. Pneumonia terjadi karena terdapat penumpukan
infiltrat sehingga oksigen tidak dapat disalurkan sepenuhnya keseluruh tubuh, oleh karena itu
ketika memeriksa saturasi oksigen pada pneumonia berat saturasi oksigen akan turun dibawah
90%.
Epidemiologi

Pneumonia adalah peradangan paru-paru yang disebabkan oleh infeksi. Angka kejadian
pneumonia hampir 450 juta yaitu 7% dari populasi penduduk dunia per tahun, dan menyebabkan
sekitar 4 juta kematian hal ini terjadi sebelum adanya covid-19, namun setelah terjadi covid-19
angka populasi pneumonia meningkat. Pneumonia merupakan penyebab kematian terbanyak ke
4 (5,2 %) di Indonesia. Proporsi kasus pneumonia yang dirawat inap di RS adalah 53,95% laki-
laki dan 46.05% perempuan, dengan CFR 7.6%.
Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur,
dan protozoa , dan tidak disebabkan oleh infeksi mikobakterium tuberkulosis. Bakteri seperti
pneumokokus, steptokokus, stafilokokus, H. influenza, klebsiela mycoplasma pneumonia. Virus
seperti virus adena, virus parainfluenza, virus influenza. Jamur atau fungi seperti histoplasma,
capsulatum, dan koksidiodes. Protozoa seperti pneumokistis karinti. Penyebab paling sering
pneumonia yang didapat dari masyarakat yaitu Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia pneumonia, anaerob
oral, adenovirus, influenza tipe A dan B. Penyebab paling sering pneumonia yang didapat di
rumah sakit yaitu basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella pneumonia), Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob oral.

Definisi

Pneumonia adalah suatu proses peradangan parenkim paru dimana terdapat konsolidasi
yang disebabkan pengisian rongga alveoli oleh eksudat atau tanpa disertai infiltrasi sel radang ke
dinding alveoli. Pertukaran gas tidak dapat berlangsung pada daerah yang mengalami
konsolidasi, begitu juga dengan alveoli darah disekitar alveoli menjadi terhambat dan tidak
berfungsi maksimal.

Faktor predisposisi pneumonia

Faktor predisposisi pneumonia diantaranya adalah perubahan dari flora normal orofaring,
batuk dan refleks glotis, penurunan kesadaran dapat menyebabkan pneumoni karena daya tahan
tubuh turun dan mudah terkena infeksi, berkurangnya fungsi mukosilier, disfungsi makrofag
alveolar, disfungsi imun atau penurunan daya tahan tubuh.

Patofisiologi

Pneumonia bisa timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari
saluran respiratorik atas. Dalam keadaan dari viremia normal saluran respiratorik bawah mulai
dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru terlindungi dari infeksi melalui beberapa
mekanisme termasuk barier anatomi dan barier mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal
maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel dihidung,
pencegahan aspirasi dengan reflek epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk dan
upaya menjaga kebersihan jalan napas oleh lapisan mukosiliar.

Sistem pertahanan tubuh yang terlibat yaitu sekresi lokal oleh imunoglobulin A. resons
inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen. sitokin, imunoglobulin, alveolar dan cell mediated
immunity. Virus akan menginvasi saluran napas kecil dan alveoli, umumnya mengenai banyak
lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris
ke dalam lumen. Respons inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel mononuklear ke dalam
submukosa dan perivaskuler. Sebagian sel polymorponukleus (PMN) akan didapatkan dalam
saluran napas kecil. Bila proses inflamasi meluas maka sel debris, mukus serta sel-sel inflamasi
yang meningkat dalam saluran napas kecil akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun
total. Respons inflamasi didalam alveoli sama seperti yang terjadi dalam ruang interstisial yang
terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya
pengeluasan epitel dan akan terbentuk aksudat hemoragik. Inflamasi ke interstisial sangat jarang
menimbulkan fibrosis.

Pneumonia bakterial terjadi dikarenakan akibat inhalasi atau aspirasi patogen, kadang
terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia bergantung pada
interaksi antara bakteri dan sistem imunitas tubuh. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli,
beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan ditangkap oleh lapisan cairan epitel yang
mengandung opsonin dan akan terbentuk antibodi imunoglobulin G spesifik. Selanjutnya terjadi
fagositosis oleh makrofag alveolar (alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui
perantara komplemen. Mekanisme tersebut sangat penting terutama pada infeksi yang
disebabkan oleh bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika
mekanisme ini gagal merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktivitas fagositosis
akan dibawa oleh sitokin sehingga muncul respons inflamasi.

Proses inflamasi yang mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular dan edema edema
yang luas, hal ini merupakan karakteristik pneumonia yang disebakan oleh pneumococcus.
Kuman akan dilapisis oleh cairan edema yang berasal dari alveolus melalui pori-pori kohn. Area
edema kan membesar dan membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulen
(fibrin, sel-sel leukosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan hepatisasi
merah.
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif oleh
leukosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui degredasi
enzimatik akan meningkatkan respons inflamasi dan efek sitotoksik terhadap semua sel-sel paru.
Proses ini akan mengakibatkan kabumnya struktur seluler paru.

Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan leukosit
PMN meneruskan aktivitas fagositosisnya dan sel-sel monosit akan membersihkan debris. Jika
struktur retikular paru masih utuh, parenkim paru akan kembali sempuma dan memperbaiki
epitel alveolarterjadi setelah terapi berhasil.

Pada infeksi yang disebabkan oleh steptococcus aureus, kerusakan jaringan disebabkan
oleh beberapa enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman. Perlekatan staphylicoccus aureus
pada sel mukosa melalui teichoid acid yang terdapat pada dinding sel dan paparan di sel mukosa
akan meningkatkan adhesi dari fibrinogen, fibroonektinkolagen, dan protein yang lain. Strain
yang berbeda dari staphylicoccus aureus akan menghasilkan faktor-faktor virulensi yang berbeda
pula, faktor tersebut mempunyai satu atau lebih kemampuan dalam melindungi kuman dari
pertahanan tubuh penjamu, melokalisir infiksi, menyebabkan kerusakan jaringan lokal dan
bertindak sebagai toksin yang memengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi.

Seseorang yang terkena pneumonia akan mengalami gangguan pada proses ventilasi yang
disebabkan karena penurunan volume paru. Untuk mengatasi gangguan ventilasi yang
disebabkan karena penurunan ventilasi yang volume paru. Untuk mengatasi gangguan ventilasi,
tubuh akan berusaha melakukan kompensasi dengan meningkatkan volume tidal dan frekuensi
napas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda tanda upaya inspirasi.
Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (ventilation
perfusion mismatch). Selain itu dengan berkurangnyavolume paru secara fungsional karena
proses inflamasi, akan mengganggu proses difusi dan menyebabkan terjadinya hipoksia atau
bahkan gagal napas.

Perjalanan penyakit pneumonia dapat digambarkan dalam empat fase yang terjadi secara
berurutan yaitu hiperemi, hepatisasi merah, hepatisasi kelabu, resolusi. Keempatnya tidak terlihat
pada pasien pneumonia namun hanya terlihat jika melakukan forensik. Tahap Hiperemi
(Kongesti) yaitu terjadi pembendungan atau pengisian rongga alveoli dengan cairan eksudat
hemoragis. Tahap hepatisasi merah yaitu terjadi koagulasi eksudat, yang menyebabkan
konsistensi jaringan seperti hati. Tahap hepatisasi kelabu yaitu sel darah merah dalam eksudat
menurun, dan diganti atau diisi peningkatan neutrofil sehingga terbentuk jaringan solid dan
keabuan. Tahap resolusi yaitu sel pmn diganti oleh makrofag yg sangat fagositosis & merusak
kuman patogen, eksudat mengalami lisis dan diabsorbsi oleh neutrofil & makrofag sehingga
perbaikan struktur atau fungsi paru

Gejala Klinis

Gejala klinis terdiri dari gejala respirasi yang bersifat akut yaitu kurang dari 14 hari
seperti pneumonia akut dan terdapat juga yang kronik lebih dari 14 hari contohnya adalah
tuberkulosis. Gejala klinis penumoni yaitu demam mendadak diserati menggigil baik pada awal
penyakit atau selama sakit, berkeringat, sesak atau kesulitan bernapas, batuk kering berawal
mukoid lalu prulen yaitu dahak mengalami perubahan warna seperti kuning aau hijau dan
konsistensi kental dan bisa terjadi hemoptysis, nyeri pleuritik, ringan sampai berat, apabila
proses menjalar ke pleura terjadinya pleuropneumonia. Tanda dan gejala lain yaitu mialgia,
pusing, anoreksia, malaise, diare, mual, dan muntah. Beberapa kondisi ditemukan lebih berat.
Pada orang dengan lanjut usia atau memiliki penyakit penyerta lain, memiliki risiko lebih tinggi
untuk memperberat kondisi.

Pemeriksaan Fisik Paru

Pemeriksaan fisik paru yang perlu dilakukan adalah inspeksi untuk melihat area
pernapasan yaitu pada dada apakah ada daerah yang tertinggal saat bernafas menandaan area
yang sakit, melakukan palpasi yang menandakan adanya peningkatan fremitus pada bagian yang
sakit, melakukan perkusi ditandai dengan adanya suara redup di area yang sakit, melakukan
auskultasi dan terdengar suara nafas bronkovesikuler sampai bronkial yang dapat disertai ronki.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan tanda konsolidasi dan didapatkan pada pasien pneumonia
dalam tahap hepatisasi merah dan kelabu.
Pemeriksaan Penunjang

Radiologi

Pemeriksaan menggunakan foto thoraks AP/PA dan lateral. Gambaran radiologis dapat
berupa bayangan opasitas atau infiltrat sampai konsoludasi dengan air bronchogram yaitu
terdapat gambaran sepeti awan, penyebaran bronkogenik dan intertisial serta gambaran kavitas,
gambaran efusi pleura (parapeneumonic effusion), komplikasi pneumonia dengan gambaran
abses paru, atelektasis. Efusi pleura bilateral, pneumonia multilobar yaitu terjadi peningkatan
mortilitas.

Gambaran foto thoraks pneumonia yaitu adanya air bronchogram

Laboratorium

Peningkatan jumlah leukosit yaitu lebih dari 10.000 ul, atau kurang dari 4.500 ul.
Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan
sputum dan kultur darah untuk mengetahui adanya S. pneumonia dan dilakukan dengan
pengecatan gram, serta dilakukan PCR.

Klasifikasi Pneumonia

Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak anatomi


- Bronko Pneumonia ditandai adanya bercak-bercak infiltrat dengan air bronchogram
pada radiologi paru, dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus, sering terjadi pada bayi
dan orang tua
- Pneumonia lobaris sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan orang tua.
Pneumonia terjadi pada satu lobus atau segmen, kemungkinan dikarenakan obstruksi
bronkus misalnya : aspirasi benda asing pada anak atau proses keganasan pada orang
dewasa.
- Pneumonia interstisial, proses terjadinya lebih banyak mengenai jaringan interstitium
daripada alevoli atau bronki, terjadi pada kanan dan kiri sering disebabkan infeksi
oportunistik (Cytomegalovirus, Pneumocystis carinii).

Gambar. A. Bronko Pneumonia, B. Pneumonia lobaris, C. Pneumonia interstisial

Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis


- Pneumonia Komunitas (PK) adalah pneumonia infeksius pada seseorang yang tidak
menjalani rawat inap di rumah sakit atau tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang > 2
minggu.
- Pneumonia Nosokomial (PN) adalah pneumonia yang diperoleh selama perawatan di
rumah sakit atau sesudahnya karena penyakit lain atau prosedur. Terdiri dari HAP dan
VAP. HAP (Hospital Acquired Pneumonia) yang terjadi 72 jam atau lebih setelah masuk
rumah sakit. VAP (Ventilator Associated Pneumonia) infeksi saluran pernapasan bawah
yang berkaitan dengan intubasi endotrakeal dan merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas yang signifikan di ICU

Pneumonia dibagi berdasarkan kuman penyebab yaitu :


- Pneumonia bacterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat terjadi pada semua usia.
Bakteri yang biasanya menyerang pada balita dan anak-anak yaitu Streptococcus
pneumonia, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa dan Pneumococcus.
- Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh Mycoplasma. Organisme
atipikal yang biasanya menyerang pada balita dan anak-anak yaitu Chlamidia
trachomatis, Mycoplasma pneumonia, C. pneumonia dan Pneumocytis.
- Pneumonia virus. Virus yang biasanya menyerang pada balita dan anak-anak yaitu Virus
parainfluenza, Virus influenza, Adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan
Cytomegalovirus.
- Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering, merupakan infeksi sekunder, terutama
pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah (Immunocompromised)
Diagnosis

Terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala seperti
batuk-batuk bertambah, perubahan karakteristik dahak atau purulen, suhu tubuh > 38C (aksila)
atau riwayat demam, pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial
dan ronki, Leukosit lebih dari 10.000 atau kurang dari 4500.

Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan


menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team
(PORT).

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. FKUI. Jakarta. 2014.


PSI membagi kelompok CAP menjadi lima kelas berdasarkan risiko mortalitas yang
dimiliki pasien, dimana kelas I-III merupakan pasien dengan mortalitas rendah, kelas IV
merupakan pasien dengan mortalitas sedang dan kelas V merupakan pasien dengan mortalitas
tinggi. PSI juga digunakan untuk menentukan pasien akan diterapi dengan rawat jalan atau rawat
inap.

Kelas Risiko Total Skor Angka Kematian % Perawatan


I Tidak diprediksi 0.1 % Rawat jalan
II ≤ 70 0.6% Rawat jalan
III 71-90 2.8% Rawat Inap/Rawat
jalan
IV 91-130 8.2% Rawat Inap
V > 130 29.2% Rawat Inap
Derajat risiko dan rekomendasi perawatan menurut PORT/PSI

Tata Laksana

Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan antibiotik tertentu


terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian antibitotik bertujuan untuk memberikan
terapi kausal terhadap kuman penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif
diberikan antibiotik empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.

Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi


pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis umumnya tidak tersedia
selama 12-72 jam. Maka dari itu membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan tingkat
keparahan berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi sangatlah penting, karena
akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang akan diberikan kepada pasien. Alasan
diberikan terapi antibiotik secara empirik yaitu mortalitas pneumonia yang tinggi, Sulitnya
menemukan kuman patogen, Keterbatasan tes-tes diagnostik .

Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2 > 92%)
dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi yaitu
ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu (continous positive airway
pressure), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau nyeri
pleuritik dapat diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika mukolitik atau ekspektoran
untuk mengurangi dahak

Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor sensitivitas bakteri
terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan faktor biaya pengobatan. Pada infeksi
pneumonia (CAP dan HAP) seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum
diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman
empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika
terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya
tidak dibenarkan karena hasil terapi tidaklebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika
berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika berspektrum
luas.

Rekomendasi antibiotika empiris pada CAP

Rawat Jalan  Pasien yang sebelumnya sehat atau tanpa riwayat pemakaian antibiotik 3
bulan sebelumnya
- Golongan B laktam atau B laktam ditamba anti B laktamase
Atau
- Mikrolida baru yaitu klaritomisin atau azitromisin
 Pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotik
3 bulan sebelumnya
- Fluorokuinolon respirasi (levofloksasi 750 mg, moksifloksasi)
Atau
- B Laktam ditambah makrolida
Rawat inap NON - Fluorokuinolon respirasi levofloksasin 750 mg, moksifloksasin atau
ICU - B laktam ditambah makrolida
Ruang Rawat - Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas
Intensif B laktan seperti Sefotaksim, seftriakson, atau ampisilin sulbaktam,
ditambah makrolida baru atau flourokuinolon intravena
Pertimbangan Bila ada faktor risiko infeksi pseudomonas
khusus  Antipneumokokal, antipseudomonas B laktam (piperacilin
tazobaktam,sefepim, imipenem, atau meropenem) ditambah
levofloksacin 750 mg
Atau
B laktam seperti tersebut diatas ditambah aminoglikosida dan
azitromisin
Atau
B laktam seperti tersebut diatas ditambah aminoglikosida dan
antipneumokokal fluorokuinolon (untuk pasien yang alergi penisilin, B
laktam diganti aztreonam)
Bila curiga disertai infeksi MRSA

 Tambahkan vankomisin atau linezolid


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. FKUI. Jakarta. 2014.

Penatalaksanaan yang baik terhadap bakteriemik streptococcal pneumonia akan secara


signifikan menurunkan angka kematian pasien CAP. Terdapat isu penting tentang penggunaan
dual terapi meningkatkan outcome yang lebih baik dibandingkan denganmonoterapi pada pasien
CAP. Dual terapi yang dimaksud adalah kombinasi antara regimen yang terdiri dari antibiotika
β-lactam, makrolide, atau fluroquinolon. Sedangkan monoterapi yang dimaksud adalah
penggunaan golongan β-lactam atau fluoroquinolon sebagai agen tunggal.

Evaluasi dilakukan selama 48-72 jam dengan tidak merubah terapi antibiotik kurang dari
72 jam, kecuali jika klinis memburuk. Perbaikan klinis yang terjadi yaitu suhu kembali normal,
leukosit kembali normal, tidak ada ronki, perbaikan foto toraks.

Komplikasi

Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan komplikasi. Akan
tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien risiko tinggi, mungkin mengalami beberapa
komplikasi seperti empiema,bakteremia (sepsis), abses paru, efusi pleura, syok septik,
perikarditis, atelektasis, meningitis, dan kesulitan bernapas .Bakteremia dapat terjadi pada pasien
jika bakteri yang menginfeksi paru masuk ke dalam aliran darah dan menyebarkan infeksi ke
organ lain, yang berpotensi menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia
pneumokokkus dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi ektrapulmoner berupa
meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema.Pneumonia juga dapat
menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura atau biasa disebut dengan efusi pleura. Efusi
pleura pada pneumonia umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura
yang disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan yang sedikit dan sifatnya sesaat
(efusi parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang mengandung mikroorganisme dalam jumlah
banyak beserta dengan nanah disebut empiema. Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di
drainage menggunakan chest tube atau dengan pembedahan.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pneumonia adalah suatu proses
peradangan parenkim paru dimana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga
alveoli oleh eksudat atau tanpa disertai infiltrasi sel radang ke dinding alveoli. Ditandai dengan
adanya gejala seperti demam mendadak diserati menggigil, berkeringat, sesak atau kesulitan
bernapas, batuk kering. Gambaran foto thoraks yang khas pada pneumonia yaitu adanya air
bronchogram. Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan antibiotik
tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Komplikasi yang dapat terjadi seperti
empiema,bakteremia (sepsis), abses paru, efusi pleura, syok septik, perikarditis, atelektasis,
meningitis, dan kesulitan bernapas
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, Karina. Ryusuke, Oyagi. 2017. Pneumonia. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana

dr. Risky Irawan Putra P, Sp.P. 2022. Pneumonia. Fakultas kedokteran Universitas Islam Al-
azhar Mataram

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014. Pneumonia komuniti. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai