Anda di halaman 1dari 10

ESSAY

CEDERA MUSKULOSKELETAL

Nama : Sigarni Muliana

Nim : 020.06.0077

Kelas : B

Blok : Neuromuskuloskeletal 2

Dosen : dr. Audi Hidayatullah Syahbani, Sp.OT.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM.


2022/2023
“Cedera Muskuloskeletal”
Sistem muskuloskeletal adalah bagian yang paling sering mengalami cedera dalam
olahraga. Cedera akut yang disebabkan oleh trauma langsung ataupun cedera kronis yang
diakibatkan oleh overuse menyebabkan kerusakan jaringan lunak sistem muskuloskeletal
baik pada otot, tendon maupun ligamen.

Trauma merupakan suatu cedera yang dapat mencederai fisik maupun psikis. Trauma
jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio),
regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau robekan (avulsi atau rupture), gangguan
pembuluh darah dan gangguan saraf. Cedera pada tulang menimbulkan patah tulang (fraktur)
dan dislokasi. Fraktur juga dapat terjadi di ujung tulang dan sendi (intra-artikuler) yang
sekaligus menimbulkan dislokasi sendi. Fraktur ini juga disebut fraktur dislokasi.

Rangkuman essay ini dibuat agar mahasiswa kedokteran dapat mengetahui materi
mengenai “Cedera Muskuloskeletal”. Dibuatnya rangkuman agar mahasiswa kedokteran
mampu mengingat kembali materi yang telah dijelaskan oleh dosen, dan mampu
menerapkannya. Agar dapat bermanfaat untuk kedepannya saat menjadi seorang dokter.

Ortopedi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang cedera akut,
kronis, dan trauma serta gangguan lain sistem muskuloskeletal untuk melakukan pencegahan,
penyelidikan, diagnosis dan pengobatan gangguan dan cedera pada sistem muskuloskeletal.
Sistem muskuloskeletal adalah suatu sistem yang terdiri dari tulang, otot, kartilago, ligamen,
tendon, fascia, bursae, dan persendian, sistem muskuloskeletal disebut juga sistem lokomotor
sistem ini berhubungan dengan gerak tubuh yang terbagi menjadi Soft tissue dan Hard tissue.
Soft tissue yang berada di area luar tulang untuk melindungi tulang seperti sendi, otot, saraf,
ligamen, bursa, pembuluh darah, tendon, sedangkan Hard tissue terdiri dari tulang dan
kartilago.

Pada sistem muskuloskeletal sering terjadi cedera menyebabkan kerusakan jaringan


lunak sistem muskuloskeletal baik pada otot, tendon maupun ligamen. Cedera pada tulang
menimbulkan patah tulang (fraktur) dan dislokasi. Fraktur yaitu terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dan atau tulang rawan, dapat diartikan juga sebagai patah pada tulang yang
utuh, kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma. Selain fraktur juga dapat terjadi dislokasi
atau sublokasi. Dislokasi adalah kondisi ketika seluruh tulang keluar atau bergeser dari posisi
normalnya pada sendi. sublokasi adalah kondisi ketika sebagian tulang keluar atau bergeser
dari posisi normalnya pada sendi. Selain itu juga terdapat fraktur dislokasi yaitu patah tulang
dengan dislokasi atau bergesernya tulang.

Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian
tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi
muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler.
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera dan kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial
ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dikonsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat
osteoporosis serta penyakit lain. Dilakukan pemeriksaan Look, feel, movement. Look untuk
melihat tanda edema, bengkak, deformitas, kemerahan, serta angulasi. Feel untuk mengetahui
tanda nyeri tekan, meraba neurovaskuler distal serta mengetahui ada tidaknya cedera saraf.
Pemeriksaan gerakan atau moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi
yang berdekatan dengan lokasi fraktur. Tanda - tanda fraktur terdiri dari krepitasi, deformitas,
false movement yaitu pergerakan tulang yang abnormal, yang seharusnya tidak bisa
dilakukan pada kondisi normal.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk melihat kondisi fraktur yaitu pemeriksaan
sinar X, pemeriksaan sinar X perlu dilakukan minimal 2 posisi karena tulang bersifat 3
dimensi, secara umum yang paling sering digunakan yaitu posisi Posteroanterior (PA) dengan
lateral, dan Posteroanterion dengan obliq. Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis
dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi.
Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan atau dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur
yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak,
dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur terdiri dari fraktur komplit merupakan bila
garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang dan fraktur
inkomplit yaitu bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang.
(Gambaran Fraktur Inkomplit)

Gambaran fraktur terbagi menjadi beberapa jenis yaitu Fraktur transversal terjadi
ketika patahan tulang berbentuk melintang atau garis horizontal. Kondisi ini umumnya
disebabkan oleh tekanan atau benturan yang kuat dan langsung tegak lurus ke arah tulang.
Fraktur oblik jenis fraktur yang memiliki pola patahan miring atau diagonal. Fraktur spiral
terjadi ketika tulang yang patah telah terpelintir atau berputar dari titiknya.

(Gambar jenis fraktur)

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi


semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang
(imobilisasi). Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri,
menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, agar terjadi penyatuan
tulang kembali, Untuk mengembalikan fungsi seperti semula. Terapi fraktur terdiri dari 4
yaitu menilai fraktur dengan melakukan anamnesis, look, feel, dan movement. Dilanjutkan
dengan mereduksi yaitu mengembalikan posisi tulang keposisi awal. Terapi ke-3 yaitu retain
merupakan proses menahan tulang yang telah direduksi dapat menggunakan gips, eksternal
fiksasi, atau skeletal retraksi. Terapi yang terakhir yaitu rehabilitas untuk memulihkan tulang.

Ligamen adalah jaringan ikat berupa kolagen yang menghubungkan tulang dengan
tulang, merupakan kolagen tipe 1 sama seperti tulang, berfungsi menstabilkan sendi, pada
trauma dapat terjadi 3 hal yaitu peregangan pada ligamen, ruptur parsial, dan ruptur total.

Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera dan kejadian-


kejadian yang berhubungan dengan cedera pada ligamen. Dilakukan pemeriksaan Look, feel,
movement. Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk melihat kondisi fraktur yaitu
pemeriksaan sinar X, dan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan MRI lebih dahulu dilakukan untuk
melihat keadaan soft tissue seperti pembuluh darah, dan ligamen. Terapi yang dilakukan pada
cedera ligamen yaitu RICE (Rest Ice Compression dan Elevation) Metode terapi RICE
dilakukan secepat mungkin sesaat setelah terjadinya cedera sampai dengan ±48 jam setelah
cedera terjadi. Metode RICE dapat membantu penyembuhan jaringan setelah mengalami
cedera dan mencegah cidera lebih lanjut. Selain itu juga dilakukan terapi rekonstruksi atau
repair.

Pada lutut, terdapat empat jenis ligamen utama yang menghubungkan tulang-tulang di
sendi lutut dan menjaga stabilitas sendi lutut. Ligamen-ligamen tersebut adalah ACL
(Anterior Cruciate Ligament), PCL (Posterior Cruciate Ligament), LCL (Lateral Collateral
Ligament), dan MCL (Medial Collateral Ligament). Dari keempat ligamen tersebut, ACL
adalah ligamen yang paling sering mengalami cedera. ACL merupakan ligamen yang
menghubungkan antara tulang paha dan tulang kering pada sendi lutut. ACL sendiri berfungsi
untuk mencegah pergeseran berlebih tulang kering ke depan tulang paha dan menjaga
stabilitas rotasional lutut. ACL terdiri dari partial, komplit, dan avulsion.
(Gambaran Cedera Ligamaen)

Otot adalah jaringan yang penting untuk pergerakan dan mobilitas. Tendon adalah
bagian otot yang menempel pada tulang, di bagian proximal disebut origo sedangkan pada
bagian distal disebut insersi. Cedera yang dapat terjadi pada otot dan tendon adalah Strain
muscle yaitu Cedera yang terjadi karena peregangan berlebihan atau terjadi robekan, ruptur
muscle, ruptur tendon.

Untuk mendiagnosis cedera otot dan tendon pentingnya melakukan anamnesis untuk
menggali riwayat mekanisme cedera dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera
otot dan tendon. Dilakukan pmeriksaan Look, feel, movement. Look untuk melihat tanda
edema, bengkak, deformitas, kemerahan, serta angulasi. Feel untuk mengetahui tanda nyeri
tekan, meraba neurovaskulear distal serta mengetahui ada tidaknya cedera otot dan tendon.
Pemeriksaan gerakan atau moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi
yang berdekatan dengan lokasi fraktur.

Derajat cedera otot terdiri dari 1-3. Derajat 1 yaitu kondisi strain atau peregangan,
sejumlah serat robek dan anggota tubuh yang terkena cedera terasa sedikit sakit dan bengkak,
tapi fungsi dan kekuatan dari anggota tubuh tersebut tidak berkurang. derajat 2 yaitu ruptur
parsial, serat yang robek lebih banyak dan area cedera terasa lebih sakit dan bengkak, dengan
pengurangan fungsi dan kekuatan, derajat ke-3 yaitu ruptur total, jaringan lunak robek
seluruhnya, dengan pengurangan fungsi dan kekuatan secara signifikan. Untuk cedera otot
yaitu tendon achilles. Tendon achilles mengalami tekanan terus-menerus sehingga beresiko
mengalami ruptur. Dapat terjadi tendinitis atau tendonitis adalah gangguan berupa
peradangan atau iritasi pada tendon, yaitu suatu kumpulan jaringan ikat berserat yang
merekatkan otot dengan tulang.
(Gambar derajat Cedera Otot dan Tendon)

Terapi yang dilakukan pada cedera otot dan tendon yaitu RICE (Rest Ice
Compression dan Elevation) dapat membantu penyembuhan jaringan setelah mengalami
cedera dan mencegah cidera lebih lanjut. Selain itu juga dilakukan terapi NSAID untuk
menghambat hormon pemicu peradangan, yaitu hormon prostaglandin, yang paling umum
digunakan adalah aspirin dan ibuprofen. Selain itu dapat dilakukan terapi repair tendon.

Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf tepi
merupakan sistem saraf di luar sistem saraf pusat yang membawa pesan dari dan menuju
sistem saraf pusat untuk menjalankan otot dan organ tubuh. Tidak seperti sistem saraf pusat,
sistem saraf tepi tidak dilindungi tulang, sehingga rentan terhadap trauma.

Cedera saraf diklasifikasikan menurut Seddon berdasarkan dibagi menjadi tiga


kategori neurapraksia, aksonotmesis, dan neurotmesis.

- Neurapraksia tipe cedera paling ringan atau sering juga disebut cedera tipe I. Tidak
terjadi cedera struktural karena tidak ada kehilangan kontinuitas saraf, sehingga tidak
terjadi kehilangan kemampuan fungsional. Neurapraksia biasanya muncul karena
kompresi ringan atau traksi dari saraf yang menyebabkan menurunya kecepatan
konduktivitas dari sel saraf.
- Aksonotmesis adalah terjadinya disrupsi axon dan myelin. Jaringan ikat lunak
sekitarnya termasuk endoneurium masih intak. Terjadi degenerasi axon distal dan
proksimal lokasi terjadinya trauma. Degenerasi distal dikenal sebagai degenerasi
Wallerian. Axon akan mengalami regenerasi dengan kecepatan 1mm/ hari.
- Neurotmesis adalah keadaan dimana akson dan pembungkus saraf perifer putus,
sobek atau rusak. Degenerasi Wallerian terjadi pada bagian distal namun, segmen
proksimal tidak mengalami regenerasi secara alamiah Karena pembungkus akson ikut
terputus.

Sunderland kemudian memperluas klasifikasi ini untuk membedakan tingkat


kerusakan di Jaringan ikat. Dalam skema klasifikasinya, Grade I dan Grade V berhubungan
dengan Neuropraxia dan Neurotmesis. Namun, Grade II-IV adalah segala bentuk
Axonotmesis dengan meningkatnya jumlah kerusakan jaringan ikat. Di kelas II, kerusakan
akson diamati tanpa adanya kerusakan pada jaringan ikat. Grade III melibatkan Kerusakan
pada endoneurium dan Grade IV meliputi kerusakan perineurium.

Cedera saraf dapat terjadi karena kompresi, peregangan otot yang terdiri dari akut dan
kronik, peregangan otot akut yaitu ketika penerapan gaya secara tiba-tiba dengan kekuatan
yang cukup besar, sedangkan kronik yaitu Peregangan saraf yang lambat selama periode
waktu tertentu. Penyebab cedera saraf selain peregangan otot juga terdapat Iskemia
atau kekurangan aliran darah ke jaringan, dan juga trauma. Penyembuhan fungsional setelah
cedera saraf meliputi beberapa step, tiap step dapat melambat atau mengganggu proses
regeneratif. Pada kasus yang termasuk salah satu tingkat cedera, ini digunakan secara awal
untuk mengkategorikan step-step regeneratif ini secara anatomik pada tingkat secara kasar.

Pembuluh darah merupakan bagian dari sistem sirkulasi tubuh manusia. Cedera


pembuluh darah ini berkaitan dengan pembuluh darah pada daerah ekstremitas atas dan
bawah. Biasa nya menyertai adanya fraktur, terutama pada kasus patah tulang terbuka. Bisa
juga pada kasus kasus trauma tajam yang mengenai arteri. Cedera pembuluh darah terdiri dari
hard signs yang memiliki gejala klinis seperti tidak ada pulse, aktif perdarahan, hematoma
yang membesar, terdapat thrill pada perabaan, iskemik pada distal. Terdapat juga Soft signs
cedera vaskular sematoma, riwayat perdarahan, defisit neurologi.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa sistem muskuloskeletal adalah suatu
sistem yang terdiri Soft tissue dan Hard tissue. Pada sistem muskuloskeletal sering terjadi
cedera menyebabkan kerusakan jaringan lunak sistem muskuloskeletal baik pada otot, tendon
maupun ligamen. Cedera pada tulang menimbulkan patah tulang (fraktur) dan dislokasi. Pada
lutut, terdapat empat jenis ligamen utama yang menghubungkan tulang-tulang di sendi lutut
dan menjaga stabilitas sendi lutut. ACL adalah ligamen yang paling sering mengalami cedera
terdiri dari partial, komplit, dan avulsion. Cedera yang dapat terjadi pada otot dan tendon
adalah Strain muscle yaitu Cedera yang terjadi karena regangan berlebihan atau terjadi
robekan, ruptur muscle, ruptur tendon. Cedera saraf diklasifikasikan menurut Seddon
berdasarkan dibagi menjadi tiga kategori neurapraksia, aksonotmesis, dan neurotmesis.
Cedera pembuluh darah terdiri dari hard signs dan Soft signs. Untuk mendiagnosis cedera
pentingnya melakukan anamnesis untuk menggali riwayat mekanisme cedera dan kejadian-
kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya.
Dilakukan pemeriksaan Look, feel, movement. Look untuk melihat tanda edema, bengkak,
deformitas, kemerahan, serta angulasi. Feel untuk mengetahui tanda nyeri tekan, meraba
neurovaskulear distal serta mengetahui ada tidaknya cedera saraf. Pemeriksaan gerakan atau
moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi. Pemeriksaan yang perlu
dilakukan untuk melihat kondisi Cedera yaitu pemeriksaan sinar X, dan MRI.
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rastu Mahartha. Maliawan, Sri. Siki, Ketut Kawiyana. 2017. Manajemen Fraktur
Pada Trauma Muskuloskeletal. Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.

Dede, Kadek Frisky W. 2017. Proses Degenerasi Wallerian Pada Cedera Saraf Tepi.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

dr. Audi Hidayatullah Syahbani, Sp.OT. 2022. Cedera Muskuloskeletal. Universitas Islam
Al-azhar Mataram.

Helmi ZN. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika

Surya, Endi Diapari Pohan. Joyce, Dame. 2018. Ruptur Tendon Dan Penanganannya:
Perbandingan Kekuatan Jahitan Teknik Cross Stitch Dan Teknik Kessler Modifikasi.
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jurnal Ilmiah WIDYA, Jakarta Volume 5
Nomor 1.

Anda mungkin juga menyukai