Disusun Oleh:
013.06.0021
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji
Tanggal...........................
ii
KATA PENGANTAR
yang telah melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya. Shalawat dan salam terhaturkan
kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Serta keluarga dan sahabat-sahabat beliau,
Ilmiah dengan judul “Hubungan Obesitas dengan kejadian Batu Saluran Kemih Di
Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
pendidikan pada program studi Strata Satu (S1) di Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Al-AzharMataram.
petunjuk dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu izinkan peneliti untuk
1. Bapak Dr.dr. H. Artha Budi Susila Duarsa, M.Kes. Dekan Fakultas Kedokteran
2. Bapak dr. Pebrian Jauhari, Sp.U. Dosen pembimbing utama yang telah member
bimbingan, pengarahan, dan saran dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
iii
3. Bapak dr. Deny Sutrisna W, S,ked. Dosen pembimbing kedua yang telah
4. Bapak dr. Kadek Dwi, Sp.PD. Dosen penguji yang memberi saran untuk
5. Semua pihak yang telah berperan dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini
yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu atas semangat dan bantuannya.
untuk perbaikan.
Peneliti
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
DAFTAR TABEL............................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ ix
v
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 6
2.1.6.1 Patofisiologi...................................................... 14
vi
3.1 Jenis penelitian dan Rancangan Penelitian .............................. 28
vii
4.2 Pembahasan Penelitian ............................................................ 40
Lampiran ………………………………………............ 48
viii
DAFTAR TABEL
DAFTAR DIAGRAM
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR BAGAN
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Batu saluran kemih atau urolithiasis merupakan salah satu penyakit yang
banyak ditemukan di seluruh dunia, contohnya negara maju seperti Amerika
Serikat, Eropa, dan Australia. Menurut sejarah, sejak zaman Babilonia dan Mesir
kuno telah ditemukan bukti akan adanya penyakit batu saluran kemih ini, yaitu
ditemukannya batu pada saluran kemih seorang mumi oleh E. Smith, arkeolog
Inggris, di El Amrah, Mesir. Di negara-negara Asia, angka kejadian batu saluran
kemih mencapai 1-5%. Selain itu juga banyak ditemukan kasus batu saluran
kemih di negara berkembang, seperti India, Thailand, dan Indonesia yang
kejadiannya sekitar 2-15%.
Batu saluran kemih adalah penyakit yang paling sering terjadi dan menjadi
urutan ketiga di bidang urologi selain infeksi saluran kemih dan kondisi patologis
dari prostat (Mandel NS, Mandel GS, 1989). Angka kejadian dari penyakit batu
saluran kemih pada tahun 2002 di Indonesia sebesar 37.636 kasus baru, dan untuk
kunjungan pasien mencapai 58.959 orang. Pasien yang dirawat di rumah sakit
sekitar 19.019 orang dan kematian akan penyakit ini mencapai 378 orang (Lotan
Y, 2005). Menurut tempatnya, Batu saluran kemih digolongkan menjadi batu
ginjal dan batu kandung kemih, tetapi batu ginjal merupakan penyebab terbanyak.
Tahun 1981-1983 dilaporkan dari 634 pasien batu saluran kemih didapatkan 337
pasien batu ginjal (53%). Sedangkan di rumah sakit Dr. Sardjito pada tahun 1983
dilaporkan 75% batu ginjal dari 64 pasien rawat inap, dan pada tahun 1986 batu
ginjal ditemukan 79 dari 89 pasien batu saluran kemih (Sja’bani M 2009).
Kejadian batu saluran kemih di Indonesia termasuk tinggi dan mengalami
kenaikan pada tahun 2013 berdasarkan salah satu penelitian yang dilakukan di
1
Yogyakarta, di Indonesia terdapat 1.499.400 kasus penyakit batu saluran kemih.
Kemudian berdasarkan rekam medis di Rumah sakit umum daerah kota Mataram
pada tahun 2016 sampai 2017 terdapat sekitar 400 kasus.
2
Dengan demikian untuk mengurangi kejadian batu saluran kemih yang
disebabkan oleh obesitas maka setiap orang perlu memperhatikan banyaknya
masukan makanan (disesuaikan dengan kebutuhan tenaga sehari-hari) dan
aktivitas fisik yang dilakukan. Perhatian lebih besar mengenai kedua hal ini
terutama diperlukan bagi mereka yang kebetulan berasal dari keluarga obesitas,
berjenis kelamin wanita, pekerjaan banyak duduk, tidak senang melakukan
olahraga, serta emosionalnya labil.
Karena belum adanya penelitian mengenai hubungan obesitas dengan
kejadian batu saluran kemih di daerah mataram , maka peneliti dari Fakultas
Kedokteran Unizar Mataram ingin melakukan penelitian tersebut. Hasil penelitian
ini diharapkan mampu untuk lebih meningkatkan kewaspadaan masyarakat
terhadap resiko terjadinya batu saluran kemih.
saluran kemih
3
2) Untuk mengetahui prevalensi terjadinya batu saluran kemih
kemih
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Gambar 2.1 Batu ginjal
Sumber: www.picswe.com/pics/penyebab -batu-ginjal-7f.html
2.1.2 Epidemiologi Batu Saluran Kemih
Prevalensi seumur hidup dari penyakit batu saluran kemih
diperkirakan sebesar 1% sampai 15%, dengan kemungkinan memiliki batu
bervariasi menurut umur, jenis kelamin, ras, dan lokasi geografis. Di Amerika
Serikat, prevalensi penyakit batu telah diperkirakan 10% sampai 15% (Mandel
NS, Mandel GS, 1989). Menurut Sja’bani M bahwa di rumah sakit di Amerika
Serikat, kejadian batu ginjal dilaporkan sekitar 7-10 pasien untuk setiap 1000
pasien rumah sakit dan 7-21 pasien untuk setiap 10.000 orang dalam setahun.
Sedangkan diIndonesia angka kejadian batu saluran kemih berdasarkan data
yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia pada tahun 2002
adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959
orang. Sedangkan jumlah pasien yang dirawat adalah sebesar 19.018 orang,
dengan jumlah kematian adalah sebesar 378 orang dan pada tahun 2013
berdasarkan data dari Riskesda terdapat sebanyak 1.499.400 penduduk
Indonesia menderita Batu Ginjal dan di Mataram sendiri terdapat sekitar 400
kasus berdasarkan data dari RSUD kota Mataram pada tahun 2017 (Riskesda,
2017).
2.1.3 Etiologi
Penyebab terbentuknya batu dapat digolongkan dalam 2 faktor antara
lain faktor endogen seperti hiperkalsemia, hiperkasiuria, pH urin yang bersifat
asam maupun basa dan kelebihan pemasukan cairan dalam tubuh yang bertolak
belakang dengan keseimbangan cairan yang masuk dalam tubuh dapat
merangsang pembentukan batu, sedangkan faktor eksogen seperti kurang
minum atau kurang mengkonsumsi air mengakibatkan terjadinya pengendapan
kalsium dalam pelvis renal akibat ketidakseimbangan cairan yang masuk,
6
tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyaknya pengeluaran keringat,
yang akan mempermudah pengurangan produksi urin dan mempermudah
terbentuknya batu, dan makanan yang mengandung purin yang tinggi, kolesterol
dan kalsium yang berpengaruh pada terbentuknya batu (Boyce, 2010; Corwin,
2009; Moe, 2006).
Menurut Mochammad S. (2014) bahwa pembentukan batu pada ginjal
umumnya membutuhkan keadaan supersaturasi. Namun pada urin normal,
ditemukan adanya zat inhibitor pembentuk batu. Pada kondisi-kondisi tertentu,
terdapat zat reaktan yang dapat menginduksi pembentukan batu. Adanya
hambatan aliran urin, kelainan bawaan pada pelvikalises, hiperplasia prostat
benigna, striktura, dan buli bulineurogenik diduga ikut berperan dalam proses
pembentukan batu
Sedangkan menurut Grace & Barley (2006) Teori dalam pembentukan
batu adalah sebagai berikut:
1) Teori Nukleasi
Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batu berasal dari inti batu yang
membentuk kristal atau benda asing. Inti batu yang terdiri dari senyawa
jenuh yang lama kelamaan akan mengalami proses kristalisasi sehingga
pada urin dengan kepekatan tinggi lebih beresiko untuk terbentuknya batu
karena mudah sekali untuk terjadi kristalisasi. (Grace & Barley, 2006)
2) Teori Matriks Batu
Matriks akan merangsang pembentukan batu karena memacu penempelan
partikel pada matriks tersebut. Pada pembentukan urin seringkali terbentuk
matriks yang merupakan sekresi dari tubulus ginjal dan berupa protein
(albumin, globulin dan mukoprotein) dengan sedikit hexose dan hexosamine
yang merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu. (Grace
& Barley, 2006)
3) Teori Inhibisi yang Berkurang
7
Batu saluran kemih terjadi akibat tidak adanya atau berkurangnya faktor
inhibitor (penghambat) yang secara alamiah terdapat dalam sistem urinaria
dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan serta salah satunya adalah
mencegah terbentuknya endapan batu. Inhibitor yang dapat menjaga dan
menghambat kristalisasi mineral yaitu magnesium, sitrat, pirofosfat dan
peptida. Penurunan senyawa penghambat tersebut mengakibatkan proses
kristalisasi akan semakin cepat dan mempercepat terbentuknya batu (reduce
of crystalize inhibitor). (Grace & Barley, 2006)
2.1.4 Faktor Resiko
Pada umumnya batu ginjal terjadi akibat berbagai sebab yang disebut
faktor resiko. Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan intervensi yang
dapat mengubah faktor resiko, namun ada juga faktor resiko yang tidak dapat
diubah. Faktor yang tidak dapat diubah antara lain: umur atau penuaan, jenis
kelamin, riwayat keluarga, penyakit-penyakit seperti hipertensi, diabetes
mellitus dan lain-lain.
1) Jenis Kelamin
Pasien dengan batu ginjal umumnya terjadi pada laki-laki 70-
81% dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu penyebabnya
adalah adanya peningkatan kadar hormon testosteron dan penurunan
kadar hormon estrogen pada laki-laki dalam pembentukan batu (Vijaya,
et al., 2013)32. Selain itu, perempuan memiliki faktor inhibitor seperti
sitrat secara alami dan pengeluaran kalsium dibandingkan laki-laki (NIH
1998-2005 dalam Colella, et al., 2005; Heller, et al., 2002).
2) Umur
Batu ginjal banyak terjadi pada usia dewasa dibanding usia tua,
namun bila dibandingkan dengan usia anak-anak, maka usia tua lebih
sering terjadi (Portis & Sundaram, 2001). Rata-rata pasien urolithiasis
8
berumur 19-45 tahun (Colella, et al., 2005; Fwu, et al., 2013; Wumaner,
et al., 2014).
3) Riwayat Keluarga
Pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan batu ginjal ada
kemungkinan membantu dalam proses pembentukan batu saluran kemih
pada pasien (25%) hal ini mungkin disebabkan karena adanya
peningkatan produksi jumlah mucoprotein pada ginjal atau kandung
kemih yang dapat membentuk kristal dan membentuk menjadi batu atau
calculi (Colella, et al., 2005).
4) Kebiasaan diet dan obesitas
Intake makanan yang tinggi sodium, oksalat yang dapat
ditemukan pada teh, kopi instan, minuman soft drink, kokoa, arbei, jeruk
sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam dapat menjadi
penyebab terjadinya batu (Brunner & Suddart, 2015). Selain itu, lemak,
protein, gula, karbohidrat yang tidak bersih, ascorbic acid (vitamin C)
juga dapat memacu pembentukan batu (Colella, et al., 2005; Purnomo,
2012).
Peningkatan ukuran atau bentuk tubuh berhubungan dengan
resiko batu ginjal, hal ini berhubungan dengan metabolisme tubuh yang
tidak sempurna dan tingginya Body Mass Index (BMI) dan resisten
terhadap insulin yang dapat dilihat dengan adanya peningkatan berat
badan dimana ini berhubungan dengan penurunan pH urin (Obligado &
Goldfarb, 2008). Penelitian lain juga dilakukan oleh Pigna, et al., (2014)
tentang konten lemak tubuh dan distribusi serta faktor resiko
nefrolithiasis menyatakan bahwa rata-rata reponden memiliki berat
badan 91,1 kg dengan rata-rata lemak total 24,3 kg. Berdasarkan
9
pemeriksaan pH urin dan SI asam urat dalam 24 jam serta pengukuran
adiposa di berbagai bagian tubuh didapatkan bahwa lemak tubuh sangat
erat hubungannnya dengan pembentukan batu asam urat dibanding berat
badan total dan BMI yang rendah, hal ini dapat dikarenakan adanya
kebiasaan yang buruk dalam mengontrol diet. Colella, et al., (2005)
menyatakan kebiasaan makan memiliki kemungkinan berhubungan
dengan status sosial diatas rata-rata terhadap kejadian batu ginjal.
5) Faktor lingkungan
Faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti letak
geografis dan iklim. Beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu
ginjal lebih tinggi daripada daerah lain (Purnomo, 2012). Batu ginjal
juga lebih banyak terjadi pada daerah yang bersuhu tinggi dan area yang
gersang/ kering dibandingkan dengan tempat/ daerah yang beriklim
sedang. Iklim tropis, tempat tinggal yang berdekatan dengan pantai,
pegunungan, dapat menjadi faktor resiko tejadinya batu ginjal (Colella,
et al., 2005).
6) Pekerjaan
Pekerjaan yang menuntut untuk bekerja di lingkungan yang
bersuhu tinggi serta intake cairan yang dibatasi atau terbatas dapat
memacu kehilangan banyak cairan dan merupakan resiko terbesar dalam
proses pembentukan batu karena adanya penurunan jumlah volume urin
(Colella, et al., 2005).
Aktivitas fisik dapat mempengaruhi terjadinya batu ginjal, hal ini
ditunjukkan dengan aktivitas fisik yang teratur bisa mengurangi resiko
terjadinya batu asam urat, sedangkan aktivitas fisik kurang dari 150
menit per minggu menunjukkan tingginya kejadian renal calculi seperti
kalsium oksalat dan asam urat (Shamsuddeen, et al., 2013).
7) Cairan
10
Asupan cairan dikatakan kurang apabila < 1 liter/ hari,
kurangnya intake cairan inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya
batu ginjal khususnya nefrolithiasis karena hal ini dapat menyebabkan
berkurangnya aliran urin/volume urin (Domingos & Serra, 2011).
Kemungkinan lain yang menjadi penyebab kurangnya volume urin
adalah diare kronik yang mengakibatkan kehilangan banyak cairan dari
saluran gastrointestinal dan kehilangan cairan yang berasal dari keringat
berlebih atau evaporasi dari paru-paru atau jaringan terbuka. (Colella, et
al., 2005). Asupan cairan yang kurang dan tingginya kadar mineral
kalsium pada air yang dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu
ginjal (Purnomo, 2012).
8) Co-Morbiditi
Hipertensi berhubungan dengan adanya hipositraturia dan
hiperoksalauria (Kim, et al., 2011). Hal ini dikuatkan oleh
Shamsuddeen, et al., (2013) yang menyatakan bahwa kalsium oksalat
(34,8%), asam urat (25%) dan magnesium (42,9%) pada pasien
hipertensi dapat menjadi penyebab terjadinya batu ginjal dan pada
umumnya diderita pada perempuan (69%).
Prevalensi pasien diabetes mellitus yang mengalami urolithiasis
meningkat dari tahun 1995 sebesar 4,5% menjadi 8,2% pada tahun 2010.
Urolithiasis yang dikarenakan diabetes mellitus terjadi karena adanya
resiko peningkatan asam urat dan kalsium oksalat yang membentuk batu
melalui berbagai mekanisme patofisiologi. Selain itu, diabetes mellitus
juga dapat meningkatkan kadar fosfat (25%) dan magnesium (28,6%)
yang menjadi alasan utama terjadinya renal calculi atau batu ginjal pada
pasien diabetes mellitus (Shamsuddeen, et al., 2013)
2.1.5 Patogenesis
11
Pembentukan batu saluran kemih memerlukan keadaan supersaturasi
dalam pembentukan batu. Inhibitor pembentuk batu dijumpai dalam air kemih
normal. Batu kalsium oksalat dengan inhibitor sitrat dan glikoprotein.
Beberapa promotor (reaktan) dapat memacu pembentukan batu seperti asam
urat, memacu pembentukan batu kalsium oksalat. Aksi inhibitor dan reaktan
belum diketahui sepenuhnya. Ada dugaan proses ini berperan pada
pembentukan awal atau nukleasi kristal, progresi kristal atau agregasi kristal.
Penambahan sitrat dalam kompleks kalsium dapat mencegah agregasi kristal
kalsium oksalat dan mungkin dapat mengurangi risiko agregasi kristal dalam
saluran kemih (Sya’bani M, 2008).
Proses terbentuknya batu ginjal di nefron tepatnya di tubulus distal dan
pengumpul, yaitu saat urin dipekatkan. Pembentukan Kristal atau batu ini
membutuhkan supersaturasi, dan inhibitor pembentukan ini ditemukan di
dalam urin normal. Terbentuknya batu kalsium dapat dipicu oleh reaktan
asam urat, tetapi dapat juga dihambat oleh inhibitor sitrat dan glikoprotein.
Aksi reaktan dan inhibitor belum diketahui sepenuhnya. Namun, ada dugaan
proses ini berperan pada pembentukan awal atau nukleasi kristal, progresi
kristal atau agregatasi kristal. Misalnya penambahan sitrat dalam kompleks
kalsium dapat mencegah agregatasi kristal kalsium oksalat. Bila komponen
batu di ginjal ditelusuri, satu atau lebih dapat ditemukan reaktan yang
menimbulkan agregatasi pembetukan batu. Diperkirakan bahwa agregatasi
kristal di tubulus distal cukup besar sehingga tertimbun di kolektikus akhir
(pengumbul). Secara perlahan, timbunan akan semakin membesar akibat
penyatuan dari timbunan-timbunan selanjutnya sehingga batu ginjal yang
ditemukan bervariasi di setiap duktus kolektikus. Pengendapan ini
diperkirakan timbul pada bagian sel epitel yang mengalami lesi, dan
kemungkinan lesi ini juga disebabkan oleh kristal itu sendiri. Adanya lesi di
saluran kemih menyebabkan iritasi membran mukosa saluran dan
12
menyebabkan perdarahan sehingga terjadi hematuria (urin beserta darah).
Lesi ini juga bisa disebabkan oleh gesekan kristal terhadap membran mukosa
ureter dan/atau uretra. (Mochammad Sja’bani, 2008).
2.1.6.1 Patofisiologi
2) Trisufisiensi ginjal
Terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari
normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan
mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang
diterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolik dalam
13
darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi
mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretik
menyebabkan oligurasi edema. Derajat insufisiensi dibagi
menjadi ringan, sedang, dan berat, tergantung dari GFR,
sehingga perlu pengobatan medis. (Corwin EJ, 2001)
1. Batu Kalsium
Batu yang paling sering terjadi pada kasus batu ginjal.
Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium
fosfat, atau campuran dari kedua unsur tersebut. Pada proses
nukleasi, natrium hydrogen, asam urat dan kristal hidroksipatit
membentuk inti. Ion kalsium dan oksalat kemudian meerkat
(adhesi) di inti untuk membentuk campuran batu. Faktor-faktor
terbentuknya batu kalsium adalah (Mollerup, C., 2002):
a. Hiperkalsiuri
Terbagi menjadi hiperkalsiuri absorbtif,
hiperkalsiuri renal, dan hiperkasiuri resorptif.
Hiperkalsiuri absorbtif terjadi karena adanya
peningkatan absorbsi kalsium melalui usus,
hiperkalsiuri renal terjadi akibat adanya gangguan
kemampuan reabsorbsi kalsium melalu tubulus ginjal
dan hiperkalsiuri resorptif terjadi karena adanya
peningkatan resorpsi kalsium tulang.
b. Hiperoksaluri
14
Merupakan eksresi oksalat urin yang melebihi
45 gram perhari.
c. Hiperurikosuria
Kadar asam urat di dalam urin yang melebihi
850mg/24 jam.
d. Hipositraturia
Sitrat yang berfungsi untuk menghalangi ikatan
kalsium dengan oksalat atau fosfat sedikit.
e. Hipomagnesuria
Magnesium yang bertindak sebagai penghambat
timbulnya batu kalsium kadarnya sedikit dalam tubuh.
Penyebab tersering hypomagnesuria adalah penyakit
inflamasi usus yang diikuti dengan gangguan
malabsorbsi.
2. Batu Struvit
Batu yang terbentuk akibat adanya infeksi saluran
kemih karena adanya bakteri pemecah urea seperti Proteus
mirabilis, spesies Klebsiela, Seratia, dan Providensia. Bakteri
ini memecah urea menjadi ammonia yang pada akhirnya
menurunkan keasaman urin.(Purnomo, 2012)
3. Batu Asam Urat
Prevalensi penyakit BSK jenis asam urat ini adalah
sekitar 10%. Biasanya BSK jenis ini memiliki pH < 5,7
(Maalouf N, 2012). Batu asam urat sering ditemukan pada
pasien dengan riwayat diare, diabetes, obesitas, gout dan
sindrom metabolik(Worcester, 2008). Bentuk batu ini terjadi
karena tingginya kadar asam urat yang tidak terdisosiasi dalam
urin sehingga urin tersupersaturasi dengan asam urat yang
15
mengakibatkan terbentuknya batu dan kristal. Normalnya
kadar asam urat yang tidak terdisosiasi yang larut dalam urin
adalah sekitar 90 mg/L, jika kadar asm urat yang tidak
terdisosiasi melebihi kadar ini maka akan menimbulkan
supernaturasi urin(Worcester, 2008).
4. Batu Jenis Lain
Batu sistin, batu xanthine, batu triamteran, dan batu
silikat sangat jarang dijumpai. (Mollerup, C., 2002)
2.1.7 Manifestasi Klinis
Beberapa gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien batu ginjal:
1) Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu
nyeri kolik dan non kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya
stagnansi batu pada saluran kemih sehingga terjadi resistensi dan
iritabilitas pada jaringan sekitar (Brooker, 2009). Nyeri kolik juga
karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun
ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada
saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan
intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan pada
terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri (Purnomo, 2012).
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena
terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2012)
sehingga menyebabkan nyeri hebat dengan peningkatan produksi
prostglandin E2 ginjal. Rasa nyeri akan bertambah berat apabila
batu bergerak turun dan menyebabkan obstruksi. Pada ureter bagian
distal (bawah) akan menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada
pria dan labia mayora pada wanita. Nyeri kostovertebral menjadi
16
ciri khas dari urolithiasis, khsusnya nefrolithiasis (Brunner &
Suddart, 2015).
2) Gangguan miksi
Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin
(urine flow) mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk miksi
secara spontan. Pada pasien nefrolithiasis, obstruksi saluran kemih
terjadi di ginjal sehingga urin yang masuk ke vesika urinaria
mengalami penurunan. Sedangkan pada pasien uretrolithiasis,
obstruksi urin terjadi di saluran paling akhir sehingga kekuatan
untuk mengeluarkan urin ada namun hambatan pada saluran
menyebabkan urin stagnansi (Brooker, 2009). Batu dengan ukuran
kecil mungkin dapat keluar secara spontan setelah melalui
hambatan pada perbatasan uretero-pelvik, saat ureter menyilang
vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli (Purnomo,
2012).
3) Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering
mengalami desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar.
Keadaan ini akan menimbulkan gesekan yang disebabkan oleh batu
sehingga urin yang dikeluarkan bercampur dengan darah
(hematuria) (Brunner & Suddart, 2015). Hematuria tidak selalu
terjadi pada pasien urolithiasis, namun jika terjadi lesi pada saluran
kemih utamanya ginjal maka seringkali menimbulkan hematuria
yang masive, hal ini dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya
dan memiliki sensitivitas yang tinggi dan didukung jika
karakteristik batu yang tajam pada sisinya (Brooker, 2009)
4) Mual dan muntah
17
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi
ketidaknyamanan pada pasien karena nyeri yang sangat hebat
sehingga pasien mengalami stress yang tinggi dan memacu sekresi
HCl pada lambung (Brooker, 2009). Selain itu, hal ini juga dapat
disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac plexus, namun
gejala gastrointestinal biasanya tidak ada. (Brooker, 2009)
5) Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke
tempat lain. Tanda demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi,
vasodilatasi pembuluh darah di kulit merupakan tanda terjadinya
urosepsis. Urosepsis merupakan kedaruratan dibidang urologi,
dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak kelainan anatomik
pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan segera
dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotik
(Purnomo, 2012)
6) Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika
urinaria akan menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika.
Oleh karena itu, akan teraba bendungan (distensi) pada waktu
dilakukan palpasi pada regio vesika (Brooker, 2009).
18
3) Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya bakteri
dalam urin (bacteriuria).
4) Foto polos abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat
kemungkinan adanya batu radio-opak di saluran kemih. Batu-
batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-
opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,
sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen)
(Purnomo, 2012).
19
(Portis & Sundaram, 2001). USG dikerjakan bila pasien tidak
memungkinkan menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada
keadaan-keadaan seperti alergi terhadap bahan kontras, faal
ginjal yang menurun, pada pada wanita yang sedang hamil
(Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012).
7. CT(Computerized tomography)- Scan abdomen tanpa
kontras
CT-Scan adalah tipe diagnosis sinar X yang dapat
2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan panatalaksanaan batu ginjal adalah menyingkirkan
batu, menentukan jenis batu, mencegah penghancuran nefron,
mengontrol infeksi, dan mengatasi obstruksi yang mungkin terjadi
(Brunner & Suddart, 2015; Rahardjo & Hamid, 2004). Batu yang
sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat.
Ada beberapa metode dalam penatalaksanaan medis batu
ginjal,sebagai berikut:
1. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Alat ini ditemukan pertama kali pada tahun 1980 oleh Caussy.
Bekerja dengan menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan di luar
tubuh untuk menghancurkan batu di dalam tubuh. Batu akan dipecah
menjadi bagian-bagian yang kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui
saluran kemih ESWL dianggap sebagai pengobatan cukup berhasiluntuk
batu ginjal berukuran menengah dan untuk batuginjal berukuran lebih
20
dari 20- 30mm pada pasien yang lebih memilih ESWL, asalkan mereka
menerima perawatan berpotensi lebih. (Brunner & Suddart, 2015)
2. PCNL (Percutaneus Nephro Litholapaxy)
Merupakan salah satu tindakan endourologi untuk mengeluarkan
batu yang berada di saluran ginjal dengan cara memasukan alat
endoskopi ke dalam kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian
dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen
kecil. Asosiasi Eropa Pedoman Urologi tentang urolithiasis
merekomendasikan PNL sebagai pengobatan utama untuk batu ginjal
berukuran >20mm. (Brunner & Suddart, 2015)
3. Bedah terbuka
Untuk pelayanan kesehatan yang belum memiliki fasilitas PNL
dan ESWL, tindakan yang dapat dilakukan melalui bedah terbuka.
Pembedahan terbuka itu antara lain pielolitotomi atau nefrolitotomi
untuk mengambil batu pada saluran ginjal. (Brunner & Suddart, 2015)
4. Terapi Konservatif atau Terapi Ekspulsif Medikamentosa (TEM)
Terapi dengan mengunakan medikamentosa ini ditujukan pada
kasus dengan batu yang ukuranya masih kurang dari 5mm, dapat juga
diberikan pada pasien yang belum memiliki indikasi pengeluaran batu
secara aktif. Terapi konservatif terdiri dari peningkatan asupan minum
dan pemberian diuretik; pemberian nifedipin atau agen alfablocker,
seperti tamsulosin; manajemen rasa nyeri pasien, khusunya pada kolik,
dapat dilakukan dengan pemberian simpatolitik, atau antiprostaglandin,
analgesik; pemantauan berkala setiap 1- 14 hari sekali selama 6 minggu
untuk menilai posisi batu dan derajat hidronefrosis. (Brunner & Suddart,
2015)
2.2 Obesitas
21
2.2.1 Definisi dan epidemiologi obesitas
Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya
ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan
kadang terjadi perluasan ke dalam jaringan organnya (Misnadierly, 2007).
Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan
antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga
terjadi kelebihan berat badan yang melampaui ukuran ideal (Misnadierly,
2007).
Pada awalnya obesitas tidak terlalu dianggap serius oleh WHO karena
hanya terjadi pada masyarakat tertentu saja, namu belakangan ini obesitas
sudah menjadi salah satu masalah yang penting dikalangan masyarakat karena
dapat menyebabkan beban social yang beragam seperti diabetes militus,
hipertensipenyakit jantung coroner, gout, batu empedu, kanker dan masalah
kesehatan lainnya. Perlu ditambahkan bahwa BSK telah menjadi ancaman
morbiditas pada pasien obesitas sebagaimana studi epidemiologi sebelumnya
yang membuktikan bahwa adanya hubungan antara obesitas dan BSK
(Purnomo, 2012).
Jika dilihat secara global, prevalensi obesitas telah mengalami
peningkatan dalam dua decade belakangan ini. Pada tahun 2008 tercatat lebih
dari 1,6 milyar orang dewasa diseluruh dunia mengalamiberat badan lebih ,
lebih dari 200 juta laki-laki dan hamper 300 wanita mengalami obesitas.
Peningkatan obesitas di Indonesia dilihat dari IMT> 25 pada wanita umur >18
tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 sebesar 13,9%, selanjutnya
tahun 2010 sebesar 15,5% dan tahun 2013 sebesar 32,9%, begitu juga pada
laki-laki tahun 2007 sebesar 13,9%, tahun 2010 turun menjadi 7,8% dan
meningkat kembali pada tahun 2013 sebesar 19,7% (Purnomo, 2012).
2.2.2 Jenis-jenis Obesitas
22
Berdasarkan kondisi selnya, kegemukan dapat digolongkan Dalam
beberapa tipe yaitu (Misnadierly, 2007):
1) Tipe Hiperplastik, adalah kegemukan yang terjadi karena jumlah sel
yang lebih banyak dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran sel-selnya
sesuai dengan ukuran sel normal terjadi pada masa anak-anak.Upaya
menurunkan berat badan ke kondisi normal pada masa anak-anak akan lebih
sulit.
2) Tipe Hipertropik, kegemukan ini terjadi karena ukuran sel yang
lebih besar dibandingkan ukuran sel normal. Kegemukan tipe ini terjadi pada
usia dewasa dan upaya untuk menurunkan berat akan lebih mudah bila
dibandingkan dengan tipe hiperplastik.
3) Tipe Hiperplastik dan Hipertropik kegemukan tipe ini terjadi
karena jumlah dan ukuran sel melebihi normal. Kegemukan tipe ini dimulai
pada masa anak - anak dan terus berlangsung sampai setelah dewasa. Upaya
untuk menurunkan berat badan pada tipe ini merupakan yang paling sulit,
karena dapat beresiko terjadinya komplikasi penyakit, seperti penyakit
degeneratif.
Menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa dapat
digunakan dua indikator yaitu indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut.
IMT dapat dihitung dengan menggunakan rumus yaitu dengan membagi berat
badan (kg) dan tinggi badan (m2). Sedangkan lingkar perut dapat dihitungpada
titik tengah antara batas bawah tulang rusuk dan batas atas panggul (Purnomo,
2012).
2.3 Hubungan obesitas dengan batu saluran kemih
Obesitas (IMT ≥ 25 kg/m2 berdasarkan asia pasifik dan > 30 kg/m 2
berdasrkan WHO) diyakini memiliki hubungan dengan kejadian BSK baik
pada pria maupun wanita walaupun mekanisme biokimiawi antara keduanya
masih belum diketahui dengan jelas.
23
Peningkatan ukuran atau bentuk tubuh berhubungan dengan resiko
batu ginjal, hal ini berhubungan dengan metabolisme tubuh yang tidak
sempurna dan tingginya Body Mass Index (BMI) dan resisten terhadap insulin
yang dapat dilihat dengan adanya peningkatan berat badan dimana ini
berhubungan dengan penurunan pH urin (Obligado & Goldfarb, 2008).
Penelitian oleh Maelouf, et al 2004 dan Li, et al 2009 membuktikan bahwa pH
urin secara signifikan menurun seiring dengan meningkatnya Indeks Massa
Tubuh(IMT). Rendahnya pH urin pada pasien obesitas merupakan kombinasi
dari kelebihan dalam mengonsumsi protein dan adanya resistensi insulin yang
terjadi pada pasien obesitas. Pada kondisi pH urin yang rendah inilah yang
akan memprovokasi terjadinya supernaturasi dan presipitasi dari asam urat
dan juga kalsium oksalat. (Maalouf N, 2015)
Penelitian lain juga dilakukan oleh Pigna, et al., (2014) tentang konten
lemak tubuh dan distribusi serta faktor resiko nefrolithiasis menyatakan
bahwa rata-rata reponden memiliki berat badan 91,1 kg dengan rata-rata
lemak total 24,3 kg. Berdasarkan pemeriksaan pH urin dan asam urat dalam
24 jam serta pengukuran adiposa di berbagai bagian tubuh didapatkan bahwa
lemak tubuh sangat erat hubungannnya dengan pembentukan batu asam urat
dibanding berat badan total dan BMI yang rendah, hal ini dapat dikarenakan
adanya kebiasaan yang buruk dalam mengontrol diet. Selain itu, yang dapat
menggambarkan hubungan antara obesitas dan BSK adalah adanya perubahan
endogen tubuh dalam mensekresi oksalat dan asam, dimana pada pasien
obesitas terjadi peningkatan eksresi dari keduanya. Kondisi ini akan memicu
proses supersaturasi urin, sehingga berdampak pada pembentukan batu
kalsium dan batu asam urat (Taylor En, 2005).
Ada juga yang diketahui seperti batu ginjal kalsium oksalat berasal
dari plak apatit di papila renal. Randall’s Plaque, nama plak tersebut,
menyediakan tempat yang sangat baik untuk terjadinya nukleasi heterogen
24
dari garam kalsium oksalat. Plak Randall berawal dari bagian dalam medula
pada membrana basalis pada lengkung Henle yang kemudian menyebar
melalui interstisium ke membran basalis dari urotelium papilar. Ketika
urotelium ini mengalami kerusakan, plak tersebut terpapar ke urin dan
terbentuklah kristal kalsium oksalat pada plak tersebut (Evan A, P 2010).
Umur
Faktor resiko
Riwayat Keluarga
Co-Morbiditi
lingkungan
Pekerjaan
Peningkatan produksi
Diet tinggi
Randall’s endogen bahan
protein
Plaque pembentuk batu
25
Produksi
Terpapar ke Memicu proses
purin dan
urin supernaturasi urin
acid-ash
meningkat
26
BAB III
METODE PENELITIAN
pengamatan sesaat atau dalam satu periode tertentu dan setiap subyek studi
Penelitian akan dilakukan di RSUD Kota Mataram dengan cara mengambil data
menggunakan data sekunder yaitu dari data rekam medis. Untuk pengambilan
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram pada bulan September 2018.
3.3.1 Populasi
Populasi untuk penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan dan
pasien rawat inap yang mengalami batu saluran kemih di RSUD Kota
27
3.3.2 Sampel
ditentukan.
Rumus Slovin :
N
n=
1+ ( N . d ) ²
428
n= 2
1+ 428(0,1 )
428
n=
1+ 428(0,01)
428
n=
1+ 4,28
428
n = 5,28
28
n = 81
Keterangan :
n =besar sampel
N = besar populasi
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien rawat jalan dan rawat inap yang mengalami penyakit batu saluran
kemih di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram periode Januari sampai
Desember 2017.
b. Pasien rawat jalan dan rawat inap yang mengalami obesitas di Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Mataram periode Januari sampai Desember 2017
c. Pasien yang sudah dioperasi batu saluran kemih dengan riwayat batu
saluran kemih di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram periode Januari
d. Pasien yang sudah dioperasi batu saluran kemih dengan riwayat obesitas
Desember 2017
29
2. Kriteria Ekslusi
kemih.
30
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Skala
No Variabel Definisi Oprasional Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
31
3.6 Instrumen dan Bahan Penelitian
a. Rekam Medis
b. Alat Tulis
c. Laptop / komputer
surat pengantar dari Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Islam Al-
Azhar Mataram untuk tembusan ke bagian di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Mataram (RSUD Kota Mataram). Peneliti menghubungi staf Direktur serta Tata
Usaha RSUD untuk meminta izin penelitian di bagian rekam medik RSUD Kota
persetujuan rumah sakit dengan kriteria yang tercatat dalam rekam medis
memiliki batu saluran kemih pada periode Januari sampai Desember 2017.
32
Setelah rekam medis terkumpul sebanyak 81 orang yang memiliki kriteria di atas
peneliti mulai mengelola data berupa identitas pasien dan penyakit yang diderita
kemudian setelah data diolah akan dilihat apakah ada hubungan antara Obesitas
dengan kejadian batu saluran kemih di rumah sakit umum daerah kota mataram
Pengambilan sampel
Mengambil kesimpulan
33
Bagan 3.1 : Alur Penelitian
nomor kode pada masing-masing lembar yang hanya diketahui oleh peneliti.
b. Confidentiality (kerahasiaan)
ditimbulkan)
34
3.9 Jadwal Penelitian
N Kegiatan Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun- Jul- Agst Sep Okt Nov Des Jan Feb
O -18 -19 -19 -19 -19 -19 19 19 -19 -19 -19 -19 -19 -20 -20
1 Pengajuan X
judul
2 Penyusuna X X X X X X X X
n proposal
3 Penelitian X X
4 Pengumpu X X
lan data
5 Analisa X
data
6 Penulisan X
laporan
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
selanjutnya data tersebut akan dianalisis secara univariat dan bivariat untuk
L 55 67.9
P 26 32.1
Total 81 100.0
36
presentase
32.1% L P
67.9.%
orang (67,9 %) dan perempuan (P) sebanyak 26 orang (32,1%). Terdapat lebih
keseluruhan sampel.
<20
2 2.5
20-35
14 17.3
>35
65 80.2
Total
81 100.0
37
Jumlah (n)
2,5%
<20
17,3% 20-35
>35
80,2%
(17,3%) berusia 20-35 tahun dan 65 orang (80,2%) berusia >35 tahun. Usia
Obesitas 51 63,0
Total 81 100
38
Dari 81 sampel, terdapat 56 orang (69,1%) mengalami batu saluran
Ya Tidak
Obesitas
Value
N N N
pH 4,107
turun 46 10 56
0,003 4,1
pH -223
normal 5 20 25
Jumlah 51 30 81
Berdasarkan data yang telah didapat oleh peneliti, maka dilakukan uji
statistik Chi Square menggunakan SPSS 16 dan diperoleh hasil nilai p adalah
39
0,003 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kedua variable yaitu
obesitas dengan kejadian batu saluran kemih di Rumah Sakit Umum Daerah
Selain itu dapat tergambarkan nilai Prevalence Ratio (PR) sebesar 4,1
kali orang dengan obesitas dapat mengalami batu saluran kemih dengan nilai
Obesitas
Batu Saluran
Ya Tidak Jumlah
Kemih
Ya 46 10 56
Tidak 5 20 25
Jumlah 51 39 81
A C
RP= :
A + B C+ D
40
4.2 Pembahasan Penelitian
kejadian batu saluran kemih di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram tahun
cross sectional. Sampel penelitian berjumlah 81 sampel yang diambil dari data
Menurut Vijaya et al, 2013, batu saluran kemih umumnya terjadi pada
pada laki-laki dalam pembentukan batu, selain itu, perempuan memiliki faktor
inhibitor seperti sitrat secara alami dan pengeluaran kalsium yang bisa
Berdasarkan tabel 4.2, terdapat 2 orang (2,5%) sampel yang berusia <20
tahun, 14 orang (17,3%) sampel berusia 20-35 tahun dan terdapat 65 orang
(80,2%) sampel berusia >35 tahun. Jadi sampel terbanyak adalah yang berusia
Pada usia >35 tahun semua organ tubuh termasuk organ ekskresi mulai
menurun fungsinya sehingga mudah terbentuk batu saluran kemih. Dan karena
41
kurangnya perhatian pada aktivitas fisik dan asupan makanan, biasanya pada
usia tersebut olahraga jarang dilakukan dan asupan makanan sering tidak sesuai
dilakukan maka dengan hasil rasio prevalensi 4,1, maka orang yang mengalami
obesitas dapat mengalami batu saluran kemih sebanyak 4,1 kali . Dengan nilai
rasio preavalensi yng lebih dari 1 ini maka dapat diartikan bahwa variable
kemih sesuai dengan Tabel 4.3 dan Tabel 4.4, dapat diketahui nilai p adalah
0,003, yang berarti obesitas dapat dikatakan memiliki hubungan yang signifikan
dengan terjadinya batu saluran kemih. Terjadinya batu saluran kemih yang
terbukti pada pasien BSK yang mengalami obesitas juga akan mengalami
penurunan pada pH urinnya (Obligado & Goldfarb, 2008), dilihat dari table 4.3
terdapat 56 orang (69,1%) mengalami BSK dengan penurunan pH, dan 25 orang
obesitas, dan 30 orang (37,0%) tidak mengalami obesitas. Hal ini disebabkan
42
kombinasi dari kelebihan dalam mengonsumsi protein dan adanya resistensi
insulin yang terjadi pada pasien obesitas. Pada kondisi pH urin yang rendah
asam urat dan juga kalsium oksalat yang kemudian akan membentuk batu saluran
43
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
kejadian batu saluran kemih di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram
1. Rasio prevalensi dari penelitian ini menyatakan 4,1 kali orang dengan
kemih.
5.2 Saran
44
5.2.1 Bagi pembaca
risiko obesitas yang dapat menyababkan batu saluran kemih. Upaya yang
seperti tidak menahan buang air kecil (BAK) dalam waktu lama.
lebih banyak untuk hasil yang lebih signifikan. Selain itu, agar dapat lebih
45
Daftar Pustaka
Boyce, C.J., Pickhardt, P.J., Lawrence, E.M., Kim, D.N., & Bruce, R.J. (2010).
Prevalence of urolithiasis in asymptomatic adult: objective determination using low
dose noncontrast Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Brooker, C. (2009). Ensiklopedian Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Brunner & Suddart. (2015). Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 12. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Colella, J., Kochis, E., Galli, B., & Manuver, R. (2005). Urolithiasis/ Nephrolithiasis:
What’s It Alla About?. Urology Nursing. Vol. 24. No. 6: 427-449Grace, P.A., &
Borley, N.R. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga
Medical Series.
Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Domingos, F., & Serra, A. (2011). Nephrolithiasis is associated with an increased
prevalence of cardiovascular disease. Nephrol Dial Transplant. 26: 864-868
Evan, A.P. 2010. Physiopathology and etiology of stone formation in the kidney
and the urinary tract. Pediatric Nephrology 25
Gamal, M., Assimos, D.G., & Sayed, M.A. (2010). Prospective randomized trial of
extracorporeal shock wave lithotripsy for nephrolithiasis-initial result. The Journal of
Urology. 166(6):2072-80.
Grace, P.A., & Borley, N.R. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga Medical Series.
Hanley JM, Saigal CS, Scales CD, Smith AC. Prevalences of kidney stone in the United
States. Journal European Association of Urology[internet]. 2012[diakses tanggal 28
Desember 2018]; 62(1):160-5.Tersedia dari: http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas
46
Harmaini, F. (2006). Uji Keandalan dan Kesahihan Formulir European Quality of
Life – 5 Dimensions (EQ-5D) untuk Mengukur Kualitas Hidup Terkait Kesehatan
pada Usia Lanjut di RSUPNCM. Indonesia. Tesis. Universitas Indonesia.
Kim, Y.J., Park, M.S., Kim W.T., Yun, S.J., Kim, W.J., & Lee, S.C. (2011).
Hypertension influencereccurent stone formation in nonobese stone formers.
Urology; 77(5): 1059-1063
Krisna DNP. Faktor risiko kejadian penyakit batu ginjal di wilayah kerja Puskesmas
Margasari kabupaten Tegal tahun 2010 [skripsi]. Semarang: Universitas Negeri
Semarang; 2011.
Li X, Li Y, Zhong Z, Wang D, Ratto JA, Sheng K, Sun XS. 2009. Mechanical
and water soaking properties of medium densitiy fiberboard with wood fiber and
soybean protein adhesive. Bioresource Technology 100: 3556-3562.
Lotan, Y., Cadeddu, J.A., and Pearl, M.S. (2005). International comparison of
cost effectiveness of medical management strategles for nephrolithiasis.
Urological Research 33 (3);223-230
Maalouf N . Approach to The Adult Kidney Stone Former. Clin Rev Bone Miner
Metab. 2012; 10(1):p. 28-49
Maelouf NM, Sakhaee K, Parks JH, Coe FL, Huet BA, Pak CYC, Association of
Urinary pH with Body Weight in Nephrolithiasis, Kidney
International.2004;65;p. 1422-1425
Mandel NS, Mandel GS. Urinary tract stone disease in the United States veteran
population: II. Geographical analysis of variations in composition. J Urol
1989;142:1516.)
Mehmed, M.M., & Ender O., (2015). Effect of urinary stone disease and it’s
treatment on renal function. World J Nephrol: 4(2): 271-276
47
Moe, O.W. (2006). Kidney stones: pathophysiology and medical management.
Lancet; 367(9507):333-44.
Mollerup, C., 2002. Risk of renal stone events in primary hyperparathyroidism
before and after parathyroid surgery: controlled retrospective follow up study.
BMJ, 325, p.807
Pigna, F., Sakhaee, K., Huet, B.A., & Maaloul, N.M. (2014). Body fat content and
distribution and urinary risk factors for nephrolithiasis. Clin J Am Soc Nephrol. 7;
9(1): 159-165
Pigna, F., Sakhaee, K., Huet, B.A., & Maaloul, N.M. (2014). Body fat content and
distribution and urinary risk factors for nephrolithiasis. Clin J Am Soc Nephrol. 7;
9(1): 159-165
Purnomo B. (2012). Dasar-Dasar Urologi. Ed. 3. Jakarta. Sagung Seto
Purnomo, Basuki B. Dasar-Dasar Urologi. Malang: Sagung seto; 2015.hlm.93-
100
Purnomo, Basuki B. Dasar-Dasar Urologi. Malang: Sagung seto; 2015.hlm.93-
100
Shamsuddeen, S.B., Bano, R., & Shammari, E.A. (2013). Risk Factors of Renal
Calculi. IOSR Journal of Dental and Medical Science (IOSR-JDMS). Volume 11,
Issue 6, 90-95
48
Sja’bani M. Batu saluran kemih. 2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed 5.
Jakarta: Interna Publishing.10;25- 30
Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi2,Jakarta :EGC
Sun, Q., Shen, Y., Sun, N., Zhang, G.J., Chen, Z., Fan, J.F., Jia, L.Q., Xiao, H.Z.,
Li, X.R. and Puschner, B. 2010. Diagnosis, Treatment, and Follow-up of 25
Patients with Melamine-Induced Kidney Stones Complicated by Acute
Obstructive Renal Failure in Beijing Children’s Hospital. Eur J Pediatr, 169:
483–489
Taylor EN, Stampfer MJ, Curhan GC. Obesity, Weigth Gain, and Risk of Kidney
Stones. JAMA. 2005;293(4):p, 455-462
Vijaya, T., Kumar, M.S., Ramarao, N.V., Babu, A.N., & Ramarao N. (2013).
Urolithiasis and Its Causes-Short Review. The Journal of Phytopharmacology;
2(3) : 1-6
Worcester EM, Coe FL,.Nephrolitiasis, Prim Care.2008;35:p. 369 vii Mehmed,
M.M., & Ender O., (2015). Effect of urinary stone disease and it’s treatment on
renal function. World J Nephrol: 4(2): 271-276
49
LAMPIRAN 1. DATA SPSS
JENIS KELAMIN
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid LAKI-LAKI 55 67.9 67.9 67.9
PEREMPUAN 26 32.1 32.1 100.0
Total 81 100.0 100.0
UMUR
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
50
BSK * Obesitas Crosstabulation
Obesitas Total
Count 46 10 56
Count 51 30 81
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 8.963a 1 .003
Continuity Correction b
6.397 1 .011
Likelihood Ratio 8.144 1 .004
Fisher's Exact Test .008 .008
Linear-by-Linear Association 8.853 1 .003
51
N of Valid Cases 81
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for BSK (BSK (ph
18.400 5.570 60.785
Turun) / BSK (ph Normal))
For cohort Obesitas = Obesitas 4.107 1.858 9.081
For cohort Obesitas = Tidak
.223 .123 .405
Obesitas
N of Valid Cases 81
Obesitas
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Obesitas 51 63.0 63.0 63.0
Valid Tidak Obesitas 30 37.0 37.0 100.0
Total 81 100.0 100.0
52
LAMPIRAN 2. SURAT ETHICAL CLEARANCE
53
54
LAMPIRAN 3. DATA RESPONDEN
Jenis
Diagnosis Diagnosis
No Tanggal RM Nama Umur kelami ruangan Ket TB BB Obesitas
1 2
n
12791 IMS BSK (ph
1 12/1/2017 34 L IRNA 2 BSK ph Turun
2 Turun) 1.60 65 Obesitas
22133 AB ph BSK (ph
2 19/01/17 52 P MUTIARA BSK
3 Normal Normal) 1.50 60 Obesitas
21976 IKP BSK (ph
3 23/01/17 61 L IRNA 3A BSK ph Turun
5 Turun) 1.63 50 Tidak Obesitas
22224 INS BSK (ph
4 26/01/17 67 L IRNA 3A BSK ph Turun
6 Turun) 1.65 55 Tidak Obesitas
21851 NA BSK (ph
5 12/2/2017 68 P IRNA 3C BSK ph Turun
2 Turun) 1.52 60 Obesitas
NWS IRNA 1 ph BSK (ph
6 16/02/17 21803 58 P BSK
ATAS Normal Normal) 1.60 62 Tidak Obesitas
22493 T BSK (ph
7 19/02/17 32 L IRNA 3A BSK ph Turun
6 Turun) 1.70 65 Tidak Obesitas
22497 A IRNA 1 ph BSK (ph
8 27/02/17 52 L BSK
0 ATAS Normal Normal) 1.68 66 Tidak Obesitas
22623 N ph BSK (ph
9 6/3/2017 56 P IRNA 3C BSK
2 Normal Normal) 1.55 60 Tidak Obesitas
22579 M BSK (ph
10 6/3/2017 59 L IRNA 3C BSK ph Turun
8 Turun) 1.62 65 Tidak Obesitas
16011 AS BSK (ph
11 7/3/2017 38 L IRNA 3B BSK ph Turun
7 Turun) 1.60 66 Obesitas
55
23528 HS BSK (ph
12 26/04/17 66 L IRNA 3B BSK ph Turun
8 Turun) 1.63 68 Obesitas
15498 IGAA BSK (ph
13 15/05/17 P 29 P IRNA 3A BSK ph Turun
2 Turun) 1.58 68 Obesitas
23818 M ph BSK (ph
14 17/05/17 49 P IRNA 2 BSK
3 Normal Normal) 1.53 55 Tidak Obesitas
T BSK (ph
15 17/05/17 81911 61 P IRNA 1 BSK ph Turun
Turun) 1.60 65 Obesitas
13351 M BSK (ph
16 18/05/17 73 L IRNA 3B BSK ph Turun
9 Turun) 1.62 67 Obesitas
24038 M BSK (ph
17 3/6/2017 76 L IRNA 3C BSK ph Turun
1 Turun) 1.64 68 Obesitas
23893 AT BSK (ph
18 5/6/2017 57 L IRNA 3A BSK ph Turun
5 Turun) 1.70 63 Tidak Obesitas
13236 LJJ BSK (ph
19 3/7/2017 27 L IRNA 3B BSK ph Turun
2 Turun) 1.56 63 Obesitas
24242 IL BSK (ph
20 4/7/2017 27 L IRNA 2 BSK ph Turun
6 Turun) 1.60 65 Obesitas
TS BSK (ph
21 19/07/17 36974 50 L IRNA 3C BSK ph Turun
Turun) 1.58 63 Obesitas
21279 J ph BSK (ph
22 27/07/17 41 P ICU BSK
2 Normal Normal) 1.56 50 Tidak Obesitas
24839 M BSK (ph
23 9/8/2017 48 L MUTIARA BSK ph Turun
0 Turun) 1.65 70 Obesitas
24129 PA BSK (ph
24 26/08/17 21 L MUTIARA BSK ph Turun
2 Turun) 1.62 68 Obesitas
25074 M ph BSK (ph
25 28/08/17 63 L IRNA 3B BSK
0 Normal Normal) 1.66 60 Tidak Obesitas
56
25024 S ph BSK (ph
26 4/9/2017 56 L IRNA 3C BSK
6 Normal Normal) 1.65 65 Tidak Obesitas
13893 WS BSK (ph
27 18/09/17 59 P SAPHIR BSK ph Turun
9 Turun) 1.52 65 Obesitas
25596 HS BSK (ph
28 6/10/2017 71 L IRNA 3A BSK ph Turun
5 Turun) 1.65 70 Obesitas
14486 HA ph BSK (ph
29 15/10/17 62 L KALIMAYA BSK
9 Normal Normal) 1.58 50 Tidak Obesitas
12692 F BSK (ph
30 18/10/17 44 P IRNA 3A BSK ph Turun
5 Turun) 1.55 64 Obesitas
25245 SS BSK (ph
31 21/10/17 61 L IRNA 2 BSK ph Turun
8 Turun) 1.65 70 Obesitas
25325 B BSK (ph
32 4/11/2017 56 L IRNA 3A BSK ph Turun
3 Turun) 1.72 67 Tidak Obesitas
19840 J BSK (ph
33 15/11/17 60 L IRNA 3B BSK ph Turun
9 Turun) 1.62 68 Obesitas
25011 S BSK (ph
34 16/11/17 55 L IRNA 3B BSK ph Turun
7 Turun) 1.63 70 Obesitas
26186 S ph BSK (ph
35 17/11/17 21 P NIFAS BSK
9 Normal Normal) 1.54 55 Tidak Obesitas
26264 HLT BSK (ph
36 6/12/2017 61 L IRNA 3C BSK ph Turun
1 Turun) 1.63 68 Obesitas
26264 H BSK (ph
37 6/12/2017 5 L IRNA 3A BSK ph Turun
3 Turun) 1.70 65 Tidak Obesitas
26575 N BSK (ph
38 13/12/17 72 P SAPHIR BSK ph Turun
4 Turun) 1.62 68 Obesitas
26876 RW ph BSK (ph
39 30/12/17 32 P IRNA 2 BSK
2 Normal Normal) 1.60 52 Tidak Obesitas
40 19/01/17 22081 M 48 L PoliUrologi BSK ph Turun BSK (ph 1.65 72 Obesitas
57
6 Turun)
NM ph BSK (ph
41 26/01/17 68723 58 P PoliUrologi BSK
Normal Normal) 1.58 56 Tidak Obesitas
22230 AL ph BSK (ph
42 27/01/17 24 L PoliBedah BSK
2 Normal Normal) 1.67 60 Tidak Obesitas
18308 R BSK (ph
43 2/2/2017 64 L PoliUrologi BSK ph Turun
3 Turun) 1.72 65 Tidak Obesitas
22301 EH BSK (ph
44 2/2/2017 38 P PoliUrologi BSK ph Turun
4 Turun) 1.63 68 Obesitas
17429 J ph BSK (ph
45 2/2/2017 53 L PoliUrologi BSK
5 Normal Normal) 1.66 65 Tidak Obesitas
18234 RAS BSK (ph
46 1/3/2017 3 L PoliAnak BSK ph Turun
8 Turun) 1.62 68 Obesitas
22638 LSR PoliPenyak BSK (ph
47 10/3/2017 52 L BSK ph Turun
9 itDalam Turun) 1.75 62 Tidak Obesitas
22285 GS PoliPenyak BSK (ph
48 10/3/2017 61 L BSK ph Turun
2 itDalam Turun) 1.65 75 Obesitas
23647 A PoliPenyak BSK (ph
49 4/5/2017 46 L BSK ph Turun
6 itDalam Normal) 1.63 70 Obesitas
SN ph BSK (ph
50 5/5/2017 48939 32 P IGD BSK
Normal Normal) 1.65 67 Tidak Obesitas
23528 HS BSK (ph
51 15/05/17 66 L PoliUrologi BSK ph Turun
8 Turun) 1.59 66 Obesitas
22986 A BSK (ph
52 15/05/17 36 L PoliUrologi BSK ph Turun
9 Turun) 1.60 65 Obesitas
24014 M BSK (ph
53 5/6/2017 53 P PoliUrologi BSK ph Turun
3 Turun) 1.62 68 Obesitas
24129 N BSK (ph
54 12/6/2017 47 P PoliUrologi BSK ph Turun
3 Normal) 1.58 65 Obesitas
58
23988 Z ph BSK (ph
55 15/06/17 56 L PoliUrologi BSK
1 Normal Normal) 1.68 65 Tidak Obesitas
13236 LJJ BSK (ph
56 3/7/2017 27 L IGD BSK ph Turun
2 Turun) 1.60 70 Obesitas
14659 IWR BSK (ph
57 10/7/2017 42 L PoliUrologi BSK ph Turun
5 Turun) 1.65 72 Obesitas
GS ph BSK (ph
58 20/07/17 69915 46 L PoliUrologi BSK
Normal Normal) 1.64 62 Tidak Obesitas
19079 IMW BSK (ph
59 20/07/17 56 L PoliUrologi BSK ph Turun
3 Turun) 1.65 72 Obesitas
21439 M ph BSK (ph
60 1/8/2017 60 L PoliBedah BSK
0 Normal Normal) 1.68 70 Tidak Obesitas
16843 IDKG BSK (ph
61 3/8/2017 59 L PoliUrologi BSK ph Turun
6 Turun) 1.62 70 Obesitas
24831 ZS PoliBedah ph BSK (ph
62 9/8/2017 38 L BSK
9 Eksekutif Normal Normal) 1.58 65 Obesitas
25151 AS BSK (ph
63 4/9/2017 80 L PoliUrologi BSK ph Turun
6 Turun) 1.62 68 Obesitas
F BSK (ph
64 7/9/2017 28176 33 P PoliUrologi BSK ph Turun
Turun) 1.60 65 Obesitas
25187 NW PoliPenyak BSK (ph
65 9/9/2017 51 P BSK ph Turun
8 itDalam Turun) 1.58 65 Obesitas
25245 SS BSK (ph
66 11/9/2017 61 L PoliUrologi BSK ph Turun
8 Turun) 1.65 73 Obesitas
25375 J BSK (ph
67 2/10/2017 45 L PoliUrologi BSK ph Turun
0 Turun) 1.67 75 Obesitas
11692 S BSK (ph
68 5/10/2017 27 P PoliUrologi BSK ph Turun
8 Turun) 1.60 68 Obesitas
69 9/10/2017 22192 R 70 L PoliUrologi BSK ph Turun BSK (ph 1.65 72 Obesitas
59
0 Turun)
25470 MND ph BSK (ph
70 2/11/2017 27 P PoliUrologi BSK
0 Normal Normal) 1.56 60 Tidak Obesitas
26038 M BSK (ph
71 6/11/2017 49 L PoliUrologi BSK ph Turun
8 Turun) 1.68 73 Obesitas
26058 I ph BSK (ph
72 8/11/2017 40 L PoliUrologi BSK
2 Normal Normal) 1.60 64 Obesitas
26440 M PoliPenyak BSK (ph
73 2/12/2017 60 P BSK ph Turun
5 itDalam Turun) 1.57 65 Obesitas
25813 R BSK (ph
74 3/12/2017 49 P IGD BSK ph Turun
5 Turun) 1.58 65 Obesitas
26471 IP BSK (ph
75 4/12/2017 56 P PoliUrologi BSK ph Turun
8 Turun) 1.62 75 Obesitas
26217 ST ph BSK (ph
76 7/12/2017 62 L PoliUrologi BSK
7 Normal Normal) 1.63 62 Tidak Obesitas
26538 SR BSK (ph
77 8/12/2017 51 L PoliBedah BSK ph Turun
9 Turun) 1.72 65 Tidak Obesitas
PoliPenyak
26344 BSK (ph
78 9/12/2017 HN 62 P itDalamEks BSK ph Turun
9 Turun)
ekutif 1.62 68 Obesitas
10/12/201 23685 AW BSK (ph
79 63 L IGD BSK ph Turun
7 2 Turun) 1.59 65 Obesitas
60
61