Oleh :
Pembimbing :
Pembimbing I
Pembimbing II
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Klinik Jenjang Magister
ii
DAFTAR ISI
iii
2.9 Sifat yang Relevan dari Amnion ........................................................... 18
2.10 Membran Amnion Sapi ........................................................................ 21
2.11 Pengolahan Membran Amnion ............................................................ 22
2.12 Growth Factor dalam Penyembuhan luka ............................................. 22
2.13 Mencit Wistar ........................................................................................ 29
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS .................................... 31
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian ............................................................. 31
3.1.1 Penjelasan Kerangka Konseptual .................................................... 32
3.2 Hipotesis ................................................................................................. 32
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ................................................................. 33
4.1 Desain Penelitian ..................................................................................... 33
4.2 Populasi dan Besar Sampel Penelitian .................................................... 33
4.2.1 Populasi Penelitian .......................................................................... 33
4.2.2 Sampel Penelitian ............................................................................ 33
4.2.3 Besar Sampel ................................................................................... 34
4.3 Variabel ................................................................................................... 34
4.3.1 Variabel Bebas ................................................................................ 34
4.3.2 Variabel Tergantung ........................................................................ 34
4.4 Definisi Operasional................................................................................. 34
4.4.1 Membran Amnion ........................................................................... 34
4.4.2 Manipulasi Dinding Abdomen ........................................................ 35
4.4.3 PDGF (Platelet Derived Growth Factor) ......................................... 35
4.5 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................... 35
4.6 Prosedur Operasional .............................................................................. 35
4.7 Pengumpulan dan Analisis Data ............................................................. 36
4.8 Jadwal Penelitian ..................................................................................... 36
4.9 Biaya Penelitian ...................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 38
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.Growth Factor & Sitokin yang berperan dalam penyembuhan luka ......... 28
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR SINGKATAN
AE Amniotic Epithelial
ES Embryonic Stem
IL-10 Interleukin-10
PMN Polimorfonuklear
TSP-1 Thrombospondin-1
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
diprediksi dan dapat dibagi menjadi beberapa fase. Beberapa tipe growth factor dan sitokin
dilepaskan pada proses ini. (Amstrong, 2014) Salah satu growth factor yang memiliki peran
penting dalam proses penyembuhan luka adalah platelet derived growth factor. (Bergen,
2014)
Membran amnion diyakini mengandung growth factor antara lain epidermal growth
factors (EGF), platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor beta.
PDGF merupakan growth factor yang pertama muncul pada proses penyembuhan luka yang
berperan besar dalam penyembuhan luka dan merupakan major player dalam proses
penyembuhan luka. Fungsi awal dari PDGF adalah menstimulasi pembentukan dan
proliferasi dari fibroblast. Adanya PDGF akan mempercepat penyembuhan luka. Fungsi
berikutnya adalah menginduksi fenotip miofibroblas. Sedangkan EGF hanya berfungsi pada
proses reepitelialisasi. Selain pada membrane amnion, PDGF juga diyakini dihasilkan oleh
jaringan-jaringan tubuh manusia. (Werner, 2002).
Membran amnion dapat digunakan dengan pengawetan (preservasi) atau tanpa
preservasi. Salah satu metode preservasi selaput amnion cara pengawet beku
(cryopreservation). Proses tanpa cryopreservation dapat menurunkan sel yang aktif, termasuk
beberapa faktor pertumbuhan yang dapat membuat penyembuhan luka lebih lama (Jang et al
2017)
Berdasarkan uraian di atas, maka identifikasi masalah yang dihadapi adalah apakah ada
perbedaan kadar PDGF (menurun atau meningkat) pada defek fasia abdomen yang dilakukan
penutupan dengan menggunakan membran amnion kering sapi dan tanpa membran amnion
kering sapi sehingga dapat digunakan sebagai cara pada AWR. Pemilihan PDGF sendiri
karena PDGF kami yakini menjadi faktor pertumbuhan yang paling penting dalam proses
penyembuhan luka.
2
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Membuktikan adakah perbedaan kadar platelet derived growth factor pada defek
fascia abdomen yang dilakukan penutupan dengan menggunakan membran amnion kering
sapi dan tanpa amnion kering sapi
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Dinding abdomen membungkus suatu ruangan, yang disebut kavum abdomen, dan
bagian ventrolateralnya terutama dibentuk oleh lapisan-lapisan otot. Otot-otot dinding
abdomen pada bidang median memebentuk suatu aponeuresis yang berjalan dari prosesus
xipoideus menuju simfisis pubis. Pada bagian dinding abdomen kulit bersambung secara
lemah pada bagian jaringan subkutan, kecuali pada daearah umbilicus. Sebagian besar pada
dinding anteroateral terdapat lapisan muskulotendineus, yang secara serat berjalan berbeda.
Aponeuresis ini tampak sebagai garis yang disebut linea alba. Garis-garis pembelahan alami
pada kulit konstan dan berjalan hampir horizontal disekitar tubuh. Secara klinik ini penting,
karena insisi sepanjang garis pembelahan akan sembuh dengan parut yang sedikit, sedangkan
insisi yang menyilang garis-garis ini akan sembuh dengan parut yang luas atau parut yang
menonjol (Moore, 2013).
2.1.2 Fascia
Jaringan lemak akan semakin ke profundus semakin memadat sehingga akhirnya akan
tampak menyerupai selaput yang bersifat collagenous. Ini merupakan salah satu tempat
penyimpanan lemak yang besar. Laki-laki pada umumnya lebih rentan untuk terdapat
akumulasi pada bagian bawah dinding abdomen anterior. Jaringan subkutan dibagi 2:
(Moore, 2013).
1. Pars superfisialis
Pars superfisialis dibagi menjadi jaringan lemak superfisialis yang disebut fasia
Camper, lapisan membranasea yang terletak di anterior abdomen sebagai fascia
Scarpa dan lapisan membranasea pada perioneum disebut fascia Colles, sebuah
jaringan lapisan membranosa yang berjalan terus inferior ke daerah perineum
namun tidak pada bagian paha.. Lapisan lemak melanjutkan diri dengan lemak
superficial yang meliputi bagian tubuh lain dan mungkin dapat sangat tebal.
Lapisan lemak akan menghilang pada dinding toraks dan disebelah lateral linea
aksilaris media.
2. Pars profunda
Pada dinding anterior abdomen, fasia profunda semata-mata merupakan lapisan
tipis jaringan areolar yang menutupi otot-otot yang disebut investing fascia yang
sangat tipis.Bagian dalam dari otot-otot abdomen dilapisi oleh lapisan areolar dan
membranosa yang disebut dengan fascia endoabdominal. Bagian dalam dari otot
transversus abdominis terdapat fascia transversalis. Dan lapisan dalam nya
5
terdapat lapisan tipis yang mengkilat yang melapisi cavum abdomen yang terdiri
dari satu lapisan sel epithelial dan jaringan penyangga. Peritoneum dipisahkan
dari fasia transversalis oleh lemak extraperitoneal (Moore, 2013)..
M. Abdominis Transversus
Otot ini berasal dari permukaan dalam kartilago ke enam kostalis bagian bawah
(saling bertautan dengan diafragma), fasia torakolumbal, labium internum krista iliaka, dan
fasia iliaka.
6
M. Rektus Abdominis
Merupakan otot panjang dan kuat yang tebentang sepanjang seluruh panjang dinding
abdomen. M. rektus abdominis berasal dari depan simfisis pubis dan Krista pubika. Otot ini
berinsersi ke kartilago kosta V,VI,XII dan permukaan luar prosesus xipoideus. Jika otot ini
berkontraksi terlihat linea semilunaris yang terbentang dari ujung rawan iga IX sampai
tuberkulum pubikum.
M. Piramidalis
M. piramidalis ini kadang sering tidak ada. Otot ini pada dasarnya berasal dari
permukaan anterior pubis dan berinsersi pada linea alba. Otot ini terletak pada bagian depan
bagian bawah m. rektus abdominis
Linea Alba
Linea alba adalah suatu garis yang dibentuk oleh pertemuan aponeurosis otot-otot
dinding abdomen pada garis median dinding abdomen. Sarung rektus (rektus sheath) adalah
kumpulan dari aponeurosis otot-otot dinding abdomen yang membungkus m. rektus
abdominis yang berfungsi sebagai reticulum yang mempertahankan m. rektus abdominis
tetap pada posisinya (mencegah terjadinya bow-string effect) pada waktu kontraksi. Dan
sangat minimal pembuluh darah yang melintang pada bagian ini.
2.1.4 Vaskularisasi
Vaskularisasi sangat penting untuk proses penyembuhan luka. Pada dinding ventral
abdomen mendapat darah dari empat arteri yaitu artri epigastrika superior (memvaskularisasi
bagian atas tengah dinding anterior abdomen dan beranastomosis dengan a. epigastrika
inferior), arteri muskulofrenika, arteri epigastrika inferior (memvaskularisasi bawah tengah
dinding anterior abdomen, dan beranastomosis dengan a. epigastrika superior) dan yang
terakhir yaitu arteri iliaka circumflexa (arteri ini memvaskularisasi bagian lateral bawah
dinding abdomen).
Pada vena adalah yang berjalan bersamaan dengan arteri ada beberapa vena
superfisial yaitu vv. Inguinalis superfisialis yang bermuara pada vena saphena magna dan
beranastomosis dengan vv. Epigastrica superfisialis dan v. Thoracica lateralis.
7
2.1.5 Peritoneum
Peritoneum merupakan satu selaput tipis dan mengilap yang melapisi dinding kavum
abdomen dari sebelah dalam. Pada tempat-tempat tertentu, peritoneum ini menonjol ke dalam
kavum abdomen untuk menutupi sebagian atau keseluruhan organ visera. Peritoneum
melekat pada dinding abdomen disebut peritoneum parietale sedangkan peritoneum yang
menutupi organ-organ disebut peritoneum visceral. Peritoneum yang menghubungkan organ
dan dinding abdomen secara umum disebut mesentrium (Moore, 2013).
8
abdominis. Dua otot vertical dinding anterolateral perut, yang terkandung dalam selubung
rektus, adalah abdominis rektus besar dan piramida kecil (Moore, 2014)
9
Gambar 2.3 Lapisan otot dinding perut anterolateral (Moore, 2014)
2.3 Embriologi
Dinding Abdomen berkembang dari plate lateral embrionik mesoderm pada saat
diferensiasi awal embrionik. Pada tahap ini embrio terdiri dari 3 lapisan utama, yaitu
ektoderm, endoderm dan mesoderm. Mesoderm kemudian dipisahkan oleh celah dan pada
setiap sisinya berkembang menjadi lapisan somatik dan splanknik. Lapisan splanknik dengan
endoderm yang menjadi dasarnya membentuk visera dengan berdiferensiasi menjadi otot,
pembuluh darah, limfa, dan jaringan ikat dari saluran cerna. Membran somatik berperan pada
perkembangan dari dinding abdomen. Ketika embrio semakin membesar komponen dinding
abdomen tumbuh berlawanan satu sama lain membentuk area terbuka di bagian ventral
dibatasi oleh tepi dari amnion yang semakin mengecil. Pada akhir bulan ke tiga masa gestasi,
dinding tubuh telah menutup kecuali umbilikus (Townsend et al 2017)
10
menjadi beberapa fase (Amstrong, 2018) Fase-fase tersebut yaitu : (a) hemostasis dan
inflamasi, (b) proliferasi, dan (c) maturasi dan remodeling.
Gambar 2.4 Grafis penyembuhan luka yang diprakarsai oleh growth factor (Bergen, 2014)
Pada gambar 2.7 dipaparkan beberapa fase penyembuhan luka yang terjadi. Pada
proses penyembuhan luka ini PDGF merupakan faktor yang sangat berperan penting pada
hampir setiap fasenya, mulai dari fase koagulasi sampai proliferasi dan fase inflamasi menuju
fase remodelling juga PDGF memegan peranan yang sangat penting.
Pada proses penyembuhan luka, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi
proses penyembuhan baik faktor sistemik maupun lokal. Contoh faktor sistemik yang
berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka seperti usia, nutrisi, trauma, penyakit
metabolik, imunosupresi, kelainan jaringan ikat, dan merokok. Faktor lokal yang berpengaruh
seperti cedera mekanis, infeksi, edema, jaringan yang nekrosis/infeksi, agen topical, radiasi,
kadar oksigen yang rendah, dan benda asing (Brunicardi et al 2010)
Proses penyembuhan luka pada defek dinding abdomen, selain melibatkan berbagai
faktor lokal dan sistemik seperti yang disebutkan di atas, ada berbagai faktor lain yang
berpengaruh. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yilmaz et al, beberapa hal yang
berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka terutama pada defek dinding abdomen yaitu
jenis kelamin (laki-laki lebih lama proses penyembuhnnya) insisi abdomen yang rendah,
11
adanya obstruksi post operasi, masalah pulmoner post operasi, infeksi lukam dan adanya
stoma. (Yilmaz et al 2013)
Gambar 2.5..Fase penyembuhan luka dilihat secara histologis. A. fase hemostatik / inflamasi.
B. Tahap inflamasi akhir yang mencerminkan infiltrasi oleh sel mononuklear dan limfosit.
C. Fase proliferasi, dengan sintesis angiogenesis dan kolagen terkait. (Perdanakusuma, 2007)
12
2.4.2 Proliferasi
Fase proliferasi adalah fase kedua penyembuhan luka dan kira-
kira mencakup hari 4 hingga 12 (Brunicardi et al., 2010). Selama fase inilah kontinuitas
jaringan dibentuk kembali. Fibroblas dan sel endotel adalah populasi sel terakhir yang
menginfiltrasi luka, dan faktor chemotactic terkuat untuk fibroblas adalah PDGF.(Brunicardi
et al, 2010) Sel-sel endotel juga berkembang secara ekstensif selama fase penyembuhan ini.
Sel-sel ini berpartisipasi dalam pembentukan kapiler baru (angiogenesis), sebuah proses yang
penting untuk penyembuhan luka yang sukses. Sel-sel endotel bermigrasi dari venula utuh
yang dekat dengan luka. Migrasi, replikasi, dan pembentukan tubular kapiler baru mereka
berada di bawah pengaruh sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF, TGF, dan VEGF.
Meskipun banyak sel menghasilkan VEGF, makrofag sebagaisumber utama dalam
penyembuhan luka, dan reseptor VEGF terletak secara khusus pada sel-sel endotel.
Kolagen, protein yang melimpah dalam tubuh, memainkan peran
penting dalam keberhasilan penyelesaian penyembuhan luka. Deposisi, maturasi, dan
remodeling berikutnya sangat penting untuk integritas fungsional luka. Meskipun ada
setidaknya 18 jenis kolagen, yang utama untuk perbaikan luka adalah tipe I dan III. Kolagen
tipe I adalah komponen utama matriks ekstraseluler pada kulit. Tipe III, yang juga biasanya
ada di kulit, menjadi lebih menonjol dan penting selama proses perbaikan.
15
Embrioblas terdiri dari dua: lapisan dalam mononuclear sel, yaitu sitotrofoblas; dan
lapisan luar multi nuklear sel yaitu sinsitiotrofoblas. Mitosis terjadi dalam sitotrofoblas
kemudian bermigrasi kedalam sinsisiotrofoblas. Lapisan dalam embrioblas terbagi menjadi
dua: a) sel kuboid kecil, lapisan hipoblas; dan b) sel kolumnar tinggi, disebut lapisan epiblas.
Keduanya membentuk cavum amnion. Epiblas yang berasal dari sitotrofoblas disebut
amnioblas (Sadler, 2000)
17
Gambar 2.7. Mikrograf elektron dari membran amnion, garis epitelial dan jaringan pengikat
(Pembesaran 3000x) (Rahman, 2013)
Gambar 2.8. Mikrograf elektron dari epitel amnion, nuclei yang dimaksudkan dalam berbagai
kondisi (Pembesaran 3000x) (Rahman, 2013)
18
tetap terpisah dari perkembangan sinyal, yang mengatur diferensiasi epiblast untuk
membentuk semua jenis sel dan organ embrio yang sedang berkembang. Setidaknya
beberapa sel-sel epitel amnion tampaknya telah mempertahankan karakteristik
pluripotent epiblast. Ekspresi penanda permukaan sel menunjukkan itu sekitar 10%
dari sel-sel AE mengekspresikan penanda yang umumnya ditemukan pada sel ES
(Miki, 2006)
2. Kenaikan epitelisasi dan diferensiasi sel
Membran amnion dapat meningkatkan diferensiasi, mempertahankan morfologi sel
epitel normal, mencegah apoptosis dan meningkatkan adhesi. Laminin dan
fibronektin adalah kemoatraktan yang kuat untuk sel epitel. Keduanya berfungsi
sebagai membran dasar, memfasilitasi migrasi sel epitel dan bertindak sebagai
substrat untuk epitelisasi. Protein tertentu (mis. Kolagen I, III, IV, V, VI, VII,
laminin, fibronectin) hadir pada berbagai lapisan, stroma membran amnion sebagian
menjelaskan kegunaan membran amnion sebagai sebuah substrat untuk menyusun
sel epitel (Cirman 2013; Velez et al. 2010)
3. Penghambat peradangan, fibrosis dan apoptosis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa membran amnion memiliki sifat anti-
inflamasi, menunjukkan ekspresi protein anti-inflamasi interleukin-1 receptor
antagonist (IL-1ra) dan interleukin-10 (IL-10) dalam sel epitel membran amnion
manusia. Sifat anti-inflamasi juga dapat berkontribusi penurunan fibrosis dan
neovaskularisasi, meskipun beberapa efek anti-jaringan parut berkontribusi
langsung ke aksi membran amnion. Ekspresi transforming growth factor (TGF) -b2,
-b3 dan ketiga jenis reseptor TGF-b ditekan ketika fibroblas tumbuh pada membran
amnion (Cirman, 2013). Salah satu fungsi utama membran adalah untuk
mempertahankan integritas membran janin sampai aterm. Sejak itu diperlihatkan
bahwa proteolisis prematur membran amnion disebabkan oleh protease jaringan
endogen atau protease, diekskresikan dari leukosit, identifikasi beberapa protease
inhibitor tidak mengejutkan, a1-antichymotrypsin, a2-macroglobulin, a1-antitrypsin,
a2-antiplasmin, leukosit sekresi protease inhibitor dan inhibitor aktivator
plasminogen tipe-2 semuanya diidentifikasi dalam membran. Beberapa efek anti-
inflamasi dan efek anti-jaringan parut membran amnion diduga disebabkan oleh
efek pada apoptosis. Peripheral blood mononuclear cell (PBMC) sintesis dan
sekresi sitokin pro-inflamasi oleh PBMC (Garfias et al. 2011). Telah ditunjukkan
bahwa matriks stromal membran amnion tidak menyebabkan apoptosis melalui
19
generasi NO, tetapi dengan menurunkan regulasi jalur pensinyalan NF-jB dan Akt-
FKHR anti-apoptosis juga menginduksi apoptosis dan menghambat proliferasi sel
perifer (Cirman, 2013)
4. Penghambatan vaskularisasi
Beberapa protein anti-angiogenik diidentifikasi di membran amnion. Pigmen
epithelium derived factor (PEDF), sebuah molekul antiangiogenik, terdeteksi di sel
amnion membran manusia. Molekul anti-angiogenik lainnya, terdeteksi dalam studi
adalah prekursor endostatin, thrombospondin-1 (TSP-1), TIMP-1 dan -2. TSP-1
juga terdeteksi. Bagian dari tindakan anti-angiogenik membran amnion bisa jadi
dimediasi oleh kompleks kovalen yang juga ditemukan mengerahkan efek
antiinflamasi yang kuat dengan menekan promotor TGF-b. Namun, tidak semua
penelitian mendukung peran anti-angiogenik membran amnion. Misalnya, tidak ada
membran amnion segar atau diawetkan secara langsung menghambat angiogenik
proses in vitro, meskipun kandungan endostatinnya tinggi (Cirman, 2013).
5. Sifat anti-mikroba
Sejak kolonisasi mikroba dan infeksi jaringan plasenta dapat terjadi selama
kehamilan, tidak menngejutkan bahwa jaringan ini memiliki sifat anti-mikroba. Hal
itu menunjukkan bahwa sitoplasma amnion sel epitel mengekspresikan histones
H2A dan H2B itu menampilkan antimikroba dan aktivitas penetralisir endotoksin.
Beberapa faktor antimikroba seperti bactericidin, beta-lysine, lysozyme, transferrin,
peroksidase dan lainnya diukur dalam cairan ketuban. Ekspresi molekul antimikroba
elafin dan bdefensin terdeteksi pada membran amnion dengan b3-defensin bentuk
dominan. CDNA untuk cystatin E ditemukan di cDNA sel epitel sel kulit dan janin.
Selain berfungsi sebagai sistein protease inhibitor, cystatin E juga memiliki sifat
antivirus. Hal itu juga menunjukkan bahwa pertumbuhan beberapa spesies bakteri
benar-benar terhambat ketika mereka melakukan kontak langsung dengan membran
amnion (Cirman, 2013).
6. Proliferasi Sel
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa membran amnion dapat menjadi substrat
yang baik untuk proliferasi sel. Membran amnion bertindak sebagai substrat untuk
epitelisasi dengan bertindak sebagai membran basement yang ditransplantasikan.
Membran amnion diduga berfungsi sebagai pembawa kondrosit dalam perbaikan
tulang rawan. Ekspresi acetylcholine, catecholamines, dopamine, faktor
neurotropik, aktivin telah ditemukan di sel membran basal epitel dan amnion.
20
Cangkok saraf dengan sel epitel amnion dalam hewan coba dengan Parkinson
menghasilkan sintesis dan pelepasan faktor katekolamin dan neurotropik, seperti
faktor pertumbuhan saraf, neurotrophin-3 dan neurotropik yang diturunkan dari
otak.
7. Khasiat anti kanker
Membran amnion merupakan jenis stem cell yang memiliki potensi ploriferative
yang tinggi secara in vitro dan in vivo pada regenerative medicine dan anti kanker.
Membran amnion diduga mengekspresikan beberapa faktor sitokin. Ketika
membrane amnion dikultur dengan karsinoma sel pada manusia, didapatkan
penurunan viability dari sel kanker. Hal ini terjadi dapat dijelaskan dari pemeriksaan
cytokine array analysis dan reverse transcription-PCR menunjukan membrane
amnion menghasilkan faktor sitokin seperti tumor necrosis factor-a, tumor necrosis
factor-b, transforming growth factor-b, interferon, IL-2, IL-3, IL-4, macrophage
colony-stimulating factor dan IL-8. Penelitian terbaru membrane amnion
menghasilkan beberapa sitokin lain seperti CCL18 (a chemokine), brain-derived
neutrophic factor, granulocyte chemotactic protein (GCP-2) dan conserved
dopamine neutrophic factors. Secara singkat beberapa sitokin ini diekpresikan oleh
membrane amnion untuk mengaktifkan natural killer cell yang mentarget sel kanker
manusia.
Novel teori menduga membran amnion juga memiliki potensi mentransfer gen
terapeutik ke dalam formasi sel kanker dalam terapi GEPC (gene directed
enzyme/prodrug combination). Sehingga membrane amnion dapat dijadikan alat
baru yang memiliki potensial efek untuk terapi tumor.
Pada penelitian lain yang dilakukan menggunakan hewan coba tikus yang dikultur
dengan MDA-MB-231 breast cancer cells, human amniotic embrionik stem cell
(hAECs) dapat mensupresi volume tumor. Hal ini terjadi karena hAECs
menghasilkan mediator yang menginhibit pertumbuhan tumor dengan cara yang
sama mengeluarkan sitokin.
Sel-sel mesenchymal ketuban berkurang secara signifikan dalam hal proliferasi sel
kanker hematopoietik dan asal non-hematopoietik, di kedua kontak sel-sel sehingga
diduga keterlibatan faktor terlarut penghambat yang belum diketahui dalam
'pembatasan pertumbuhan sel ini. Efek anti-proliferasi amniotik sel mesenchymal
dikaitkan dengan induksi sel dalam penangkapan siklus fase G0 / G1. Analisis
ekspresi gen menunjukkan bahwa sel mesenchymal ketuban dapat menurunkan
21
ekspresi gen mRNA sel kanker terkait dengan perkembangan siklus sel, seperti
cyclins (cyclin D2, cyclin E1, cyclin H) dan cyclin-dependent kinase (CDK4, CDK6
dan CDK2), sementara mengatur regulasi negatif siklus sel seperti p15 dan p21,
konsisten dengan blok dalam fase G0 / G1 tanpa perkembangan ke fase S (Cirman,
2013)
26
penyembuhan luka kedua tikus memiliki kekuatan yang sama. Kekuatan
penyembuhan kedua luka tersebut sekitar 90% dari jaringan normal. (Pierce, 1991)
Selain pengamatan dari kekuatan penyembuhan luka, dilakukan juga
pengamatan secara seluler dan pemantauan pembentukan jaringan granulasi setelah
pemberian single dose PDGF-BB. Pengamatan ini dilakukan selama 21 hari setelah
luka dibuat. Luka yang diberika aplikasi PDGF-BB menunjukkan peningkatan
respon inflamasi yang signifikan dalam 12 jam awal yang ditandai degan influx dari
neutrophil. Selain itu terdapat peningkatan yang signifikan dari makrofage.
Peningkatan signifikan makrofage terjadi dalam 1-4 hari pertama. Sementara itu
peningkatan influx fibroblast terjadi mulai hari ke 2 sampai hari ke 21. Prokolagen
yang mengandung fibroblast mulai terdeteksi pada hari ke 2 dan berlangsung
sampai hari ke 21. Setelah hari ke 29, perbandingan anatara luka yang diberkan
PDGF BB dengan luka control sudah sama yang menandakan akselerasi proses
penyembuhan dari PDGF sudah berakhir (Pierce, 1991).
Gambar 2.9 seluler influx setelah pemberian PDGF BB pada tikus (Pierce,
1991).
Pada penelitian lain dilakukan dengan membuat luka pada kelinci. Luka ini
terdapat di bagian telinga dengan diameter 6 mm. Luka dilakukan ditelinga dengan
tujuan untuk menghindari kemungkinan efek dari adanya lapisan otot superfisial
dari dermis. Setelah luka dibuat dilakuakan pemberian single dose PDGF BB 20
pm. Dalam 7 hari didapatkan volume jarinngan granulosit pada luka yang
diaplikasikan PDGF BB mencapai 200% daripada luka kotrol dalam rentang & hari.
Jaringan granulasi yang diinduksi oleh PDGF BB sebagian besar adalah fibroblast.
27
Jaringan ekstraseluler matriks juga didapatkan meningkat secara signifikan.
Penngkatan ini mencapai puncak pad hari ke 7 (Pierce, 1991).
PDGF memiliki peran paling besar sebelum hari 7 dari proses penyembuhan
luka. PDGF berperan dalam mempercepat respon awal inflamasi yang akan
mempercepat proses penyembuhan luka. Selain itu PDGF merupakan major player
dalam proses penyembuhan luka. (Pierce, 1991)
Sebuah penelitian lain menyebutkan bahwa berkurangnya PDGF pada fase
awal akan menyebabkan terhambatnya penyembuhan luka. Adanya hambatan dari
kinerja PDGF dengan pemberian PDGF receptor blocker (imatinib mesylate)
menyebabkan terhambatnya penutupan luka, menghambat miofibroblast, ekspresi
dari fibronektin dan kolagen tipe 1. Kondisi ini terjadi paling tampak pada mulai
hari ke 3 dan mencapai puncak pada hari hari ke 7 dari awal terjadinya luka. Pada
hari ke 10, sudah tidak ada perbedaan yang signifikan. (Rajkumar, 2016).
Dalam proses penyembuhan luka, PDGF menstimulasi proses penyembuhan
luka melalui 3 fase, yaitu
a. Menarik neutrophil, makrofage, dan fibroblast ke dalam luka dalam
beberapa hari pertama
b. Mengaktivasi makrofage pada luka dan fibroblast pada luka yang akan
memicu produksi growth factors endogen, sintesis provisional
ekstraseluler matriks, proliferasi fibroblast,dan sintesis kolagen pada
minggu ke dua sampai ke tiga
c. Remodeling luka melalui mekanisme turn over aktif dan cross linking
dari kolagen mulai dari 2 miinggu paska luka sampai dengan 1 tahun
setelahnya. (Pierce, 1991).
Beberapa faktor endogen yang menginduksi migrasi seluler ke dalam luka dan
adanya aktivasi makrofag serta fibroblast diduga dipicu oleh aktivitas dari platelet,
makrofag dan fibroblast. Fibroblast berperan pentiing dalam penyembuhan luka.
Peran fibroblast ini penting dikarenakan fibroblast merupakan sumber dari
prokolagen tipe 1. Prokolagen tipe 1 merupakan kolagen utama yang berperan
dalam menentukan dari kekuatan dari proses penyembuuhan luka (Pierce, 1991).
Makrofag juga memiliki peran yang penting dalam penyembuhan luka. Dalam
proses penyembuhan luka, semakin sedikit makrofag yang terlibat di dalamnya akan
menyebabkan berkurangnya sintesis kolagen. Selain itu juga akan menyebabkan
berkurangnya produksi fibroblas (Pierce, 1991).
28
Selain platelet-derived growth factors, terdapat beberapa jenis growth factor
lain yang berperan dalam proses penyembuhan luka.
29
Tabel 2.1 Growth Factor & Sitokin yang berperan dalam penyembuhan luka
(Barentios, 2018)
Berdasar tabel, terdapat dua growth factor yang berperan dalam setiap proses
penyembuhan luka inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, reepitelisasi,
pembentukan matriks, dan remodeling. Growth factors tersebut adalah PDGF dan
TGF- β. PDGF dan TGF- β memilik peran pada setiap fase yang kurang lebih
sama. (Barrientos, 2018)
Penggunaan membrane amnion dalam perawatan luka sudah banyak
digunakan. Membrane amnion yang dapat digunakan dapat berasal dai manusia atau
sapi. Human amnioticmembrane digunakan sebagai terapi pada luka partial
thickness. Amniototic membrane mempercepat reepitelisasi pada luka bakar,
memiliki aktivitas anti mikroba, mengurangi nyeri, dan pembentukan scar.
Dehydrated human amniotic/chorion membrane (dHACM) mengandung growth
factor yang terdiri dari platelet-derived growth factor A dan B, basic fibroblast
30
growth factor, dan transforming growth factor beta 1.. (Tenenhaus, 2018; Werner,
2002)
Pemberian PDGF secara topical terbukti efektif dalam membantu
penyembuhan luka, namun metode ini memiliki kerugian yaitu membutuhkan dosis
berulang (Bilska, 2003). Selain itu, adanya peningkatan PDGF dalam proses
penyembuhan luka juga memiliki beberapa kerugian. Salah satunya adalah PDGF
diduga merupakan factor yang turut berperan dalam pathogenesis dari parut
hipertrofik dan keloid. Dalam kondisi ini, PDGF memiliki peran dalam peningkatan
proliferasi fibroblast dan produksi dari matriks ekstraseluler. Hal ini dibuktikan
dengan didapatkannya level PDGF yang diatas normal pada luka engan parut
hipertrofik dan juga didapatkan meningkatnya respon fibroblast pada jaringan
keloid (Werner, 2002).
31
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
Insisi Abdomen
rendah
Defek Dinding
Obstruksi post Abdomen
operasi
Infeksi
Stoma
+
Proses Faktor Sistemik
Membran Amnion Penyembuhan Luka Faktor Lokal
PDGF
Menarik Neutrofil, makrofag, fibroblast ke dalam luka
Memicu growth factor endogen
Membantu remodeling ( turn over aktif dan cross linking)
Diteliti
Tidak Diteliti
32
3.1.1 Penjelasan Kerangka Konseptual
Defek dinding abdomen dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain insisi
abdomen letak rendah, obstruksi post operasi, infeksi dan pembuatan stoma. Dalam proses
penyembuhan luka dipergaruhi oleh faktor sistemik dan faktor lokal. Adanya intervensi
pemberian MAK sapi dan tanpa MAK sapi akan berpengaruh pada faktor lokal dala proses
penyembuhan luka. Di dalam proses penyembuhan luka terdapat beberapa fase, yaitu
hemostasis dainflamasi, proliferasi, serta remodelling dan maturasi. Fase- fase teresbut
dipengarui oleh beberapa faktor, antara lain eritrosit, leukosist, makrofage, limfosit, neutrofil,
sel endotel, fibroblast, dan platelet. Adanya luka akan mengganggu integritas jaringan, yang
menyebabkan pembuluh darah pecah dan menyebabkan paparan langsung dari matriks ekstra
selular ke platelet. Platelet-granules akan melepaskan sejumlah zat aktif luka seperti PDGF,
TGF, dan platelet activating factor. PDGF merupakan faktor yang yang sangat berperan
penting pada hampir setiap fase dalam proses penyembuhan luka. PDGF memiliki peran
penting yang dapat menarik neutrofil, makrofag, fibroblast ke dalam luka, memicu growth
factor endogen, dan membantu remodeling ( turn over aktif dan cross linking). Membran
amnion sapi merupakan suatu prostesi biologis, membran amnion sapi mengandung kolagen
dan growth factor dengan molekul yang tinggi yang dapat merangsang proliferasi sel, epitelisasi
sel, diferensiasi sel, peradangan, fibrosis. Penggunaan amnion kering sapi diharapkan dapat
merangsang pertumbuhan jaringan baru dimulai dari ekspresi growth factor.
3.2 Hipotesis
Terdapat perbedaan ekspresi PDGF di gambaran patologi anatomi pada defek fascia
abdomen mencit wistar yang dilakukan penutupan dengan menggunakan membran amnion
kering sapi dan tanpa menggunakan membran amnion kering sapi.
33
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
34
4.2.3 Besar sampel
Untuk mendapatkan besarnya sampel pada penelitian ini maka rumus yang dipakai
adalah rumus untuk data nominal pada uji hipotesis terhadap dua proporsi
independen:
Keterangan rumus:
n = jumlah sampel
α = tingkat kemaknaan yang ditetapkan peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti
menetapkan α = 0,05 sehingga Zα yaitu kesalahan tipe I penelitian ini sebesar 1,96.
P1 = 0,60; Q1 = 0,40
P2 = 0,10; Q2 = 0,90
P = 0,35
Nilai n yang diperoleh dari rumus ini adalah 7 sampel (untuk antisipasi drop out
ditambah 2 ekor) dengan jumlah 1 perlakuan. Pada kelompok pertama terdapat 8
mencit yang diperiksa secara imunohistokimia pada hari ke-21. Pada kelompok kedua
terdapat 8 mencit yang diperiksa secara imunohistokimia pada hari ke-21. Jadi secara
keseluruhan ada 16 mencit yang digunakan pada penelitian ini. Seluruh hewan coba
diperlakukan sesuai dengan aturan Animal Care and Use Committee Universitas
Airlangga.
4.3 Variabel
4.3.1 Variabel bebas
Membran amnion sapi yang dijahitkan kepada fascia
4.3.2 Variabel tergantung
Efek ekspresi PDGF dilihat secara Patologi Anatomi
4.4 Definisi Operasional
4.4.1 Membran amnion
Membran amnion yang dipergunakan adalah berbentuk fresh dried Amnion yang
didapatkan dari bank jaringan RSUD Dr. Soetomo
35
4.4.2 Manipulasi dinding abdomen
Manipulasi dinding abdomen adalah tindakan yang dilakukan untuk membentuk defek
pada fascia dengan cara memotong fascia berukuran 2 x 2 cm.
4.4.3 PDGF (Platelet Derived Growth Factor)
PDGF adalah aktifator sel yang potent yang berasal dari jaringan mesenkim. PDGF
menstimulasi kemotaksis, proliferasi, dan ekspresi gen baru yang esensial pada perbaikan
jaringan. PDGF diperiksa dengan mengambil full thickness dari jaringan luka, dan
memeriksakannya dengan pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi anti PDGF-BB.
PDGF BB dapat mewakili seluruh reseptor yang ada pada jaringan luka (α dan β).
PDGF akan diukur menggunakan pemeriksaan immunohistokimia. Kadar ekspresi
PDGF akan diukur secara subyektif oleh 2 orang ahli Patologi Anatomi secara terpisah
dengan sistem scoring. Pengukuran ekspresi dari PDGF dilakukan dengan menilai intensitas
dan persentase dari sel yang positif untuk mengevaluasi immunureactivity. Intensitas dari
PDGF akan dinyatakan dalam dengan grade I, II, dan III dengan mengacu pada jumlah PDGF
yang terwarnai. Score akan dihasilkan dengan mengkalikan nilai intensitas dengan ekstensi
dari PDGF yang terwarnai. Pengukuran ekspresi dari PDGF dilakukan dengan menilai
intensitas dan persentase dari sel yang positif untuk mengevaluasi immunureactivity.
Intensitas dari PDGF akan dinyatakan dalam dengan 0 - 3 dengan mengacu pada intensitas
PDGF yang terwarnai. Ekstensi dari sel yang terwarnai dinyatakan dalam grade 0 untuk 1 –
9%, 0,5 untuk 10 – 50%, dan 1 untuk ekstensi lebih dari 50%. Score akan dihasilkan dengan
mengkalikan nilai intensitas dengan ekstensi dari PDGF yang terwarnai. (Madsen, 2012)
Kappa statitics akan digunakan untuk menilai konsistennsi dari 2 orang ahli Patologi
Anatomi dalam menilai intensitas dari PDGF.
36
4.6 Prosedur Operasional
Dipilih 32 ekor mencit Rattus novergicus strain Wistar yang berusia 12 minggu,
dengan berat badan antara 300 – 400 gram. Mencit dibius dengan Ketamin 10% 1ml/kg berat
badan intramuscular. Desinfeksi dengan pavidon iodine 10%.
Mencit coba akan dibagi menjadi dua kelompok, dengan masing-masing jumlah
sampel yang sama. Kedua kelompok dilakukan flap sampai diatas fascia dengan ukuran 5 x 3
cm dan manipulasi dinding abdomen berupa pembuatan defek pada fascia sebesar 2 x 2 cm.
38
DAFTAR PUSTAKA
Barrientos S, et al. Growth Factors and cytokines in wound healing. Wound Rep Reg. 2008.
16: 585 - 601
Bellow, et al. Abdominal wall reconstruction using biological tissue graft: presen status and
future opportunities. Future Drugs Ltd. 2006. p 657-75
Bergen et al. Improving patient outcomes following glaucoma surgery: state of the art and
future perspectives. Clinical Ophthalmology 2014
Bilska A . 2003. Wound Healing: The Role of growth Factor. Drugs of Today 39 (10): 787-
800.
Brunicardi et al., Schwart’s Principles of Surgery 9th edition., The McGraw-Hill Companies,
Inc. United States of America: 2010
Cirman, T., Beltram, M., Schollmayer, P., Rožman, P., & Kreft, M. E. (2013). Amniotic
membrane properties and current practice of amniotic membrane use in
ophthalmology in Slovenia. Cell and Tissue Banking, 15(2), 177–92.
Garfias, Y., Zaga-Clavellina, V., Vadillo-Ortega, F., Osorio, M., & Jimenez-Martinez, M. C.
(2010). Amniotic Membrane is an Immunosuppressor of Peripheral Blood
Mononuclear Cells. Immunological Investigations, 40(2), 183–96
Greenhalgh, David G. The Role of Growth Factors in Wound Healing. The Journal of
Trauma: Injury, Infection, and Critical Care: July 1996 - Volume 41 - Issue 1 - p
159-67
Henry C, et al. Complex Abdominal Wall Reconstruction An outcomes Review. Annals of
Plastic Surgery (71) 3
Ingargiola M, et al. Abdominal Wall Reconstruction. ResearchGate. 2014.
Jang TH et al. 2017. Cryopreservation and its clinical applications. Integr Med Res. 6: 12-18
39
Leppaniemi A, Tukiainen E. Reconstruction of Complex Abdominal Wall Defect.
Scandinavian Journal of Surgery 102: 14–19, 2013
Ledbetter D. Gastroschisis and Omphalocele. Surgical Clinic of North America. 2006 (86):
249 – 60
Mansen et al. Immunohistochemical Expression of Platelet-Derived Growth Factor
Receptors in Ovarian Cancer Patients with Long-Term. Hindawi Publishing
Corporation. Pathology Research International Volume 2012, Article ID 851432, 8
pages doi:10.1155/2012/851432
Miki, T and Storm S. Amnion-Derived Pluripotent/Multipotent Stem Cells. Stem Cell
Reviews and Reports. 2006, 133-43
Min S, et al. Clinical effect of bovine amniotic membrane and hydrocolloid on wound by
laser treatment: Prospective comparative randomized clinical trial. Wound Rep Reg
(2014) 22 212–19
Moore KL et al. Moore’s Clinically Oriented Anatomy Seventh Edition. Wolters Kluwer.
2014.
Siswanto R, et al. Bovine Freeze Dried Amniotic Membrane (FD-AM) Covered Sterile
Gauze for Wound Dressing.
40
Tenenhaus M, Rennenkampff H. 2018. Topical agents and dressings for local burn wound
care – UpToDate
Townsend, C. M., Beauchamp, R. D., Evers, B. M., & Mattox, K. L. (2017). Sabiston
textbook of surgery: The biological basis of modern surgical practic (20th edition.).
Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.Trelease R. Netter’s Surgical Anatomy Review
2nd ed. Elsevier. 2018
Werner S. Grose R. 2003. Regulation of Wound Healing by Growth Factors and Cytokines.
Physiol Rev. 83(3):835-70
Yilmaz KB, Akinci M, Dogan L, Karaman N, Cihangir O & Atalay C. 2013. A prospective
evaluation of the risk factors for development of wound dehiscence and incisional
hernia. Ulusal Cer Derg. 29: 25-30
41
ix