Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 2

BLOK SISTEM RESPIRASI 2

Disusun Oleh:

Nama : Sigarni Muliana

NIM : 020.06.0077

Kelas :B

Kelompok : 8

Tutor : dr. Muhammad Ashhabul Kahfi Mathar

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya saya dapat melaksanakan dan menyusun laporan LBM 1 ini, yang
berjudul “Aky Batuk-Batuk” tepat pada waktunya. Laporan ini disusun untuk
memenuhi persyaratan sebagai syarat nilai SGD (Small Group Discussion).
Dalam penyusunan laporan ini, saya mendapat banyak bantuan, masukan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan
saya menyampaikan terima kasih kepada :

a. dr. Muhammad Ashhabul Kahfi Mathar selaku tutor dan fasilitator SGD
(Small Group Discussion) kelompok 8.
b. Bapak/Ibu Dosen Universitas Islam Al-Azhar yang telah memberikan
masukan terkait laporan yang saya buat.
c. Serta kepada teman-teman yang memberikan masukan dan dukungannya
kepada saya.

Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, saya berharap
semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Mataram, 2 Februari 2022

Sigarni Muliana

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ...i


DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 4
Skenario LBM 4.................................................................................................4
Deskripsi Masalah .............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 6
BAB III PENUTUP............................................................................................. 26
Kesimpulan..................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 27

3
BAB I
PENDAHULUAN
Skenario LBM 1
“Aku Sesak Napas”
Seorang laki-laki berusia 60 tahun datang ke UGD RS di antar oleh
keluarga dengan keluhan sesak. Sesak dirasakan sejak 7 hari yang lalu dan
memberat sejak 3 jam yang lalu. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak
dua minggu yang lalu.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain. Keluarga pasien tidak
memiliki keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 20 tahun.
Pasien rata-rata merokok 1 bungkus per hari dan baru berhenti sejak 3 tahun yang
lalu.
Pemeriksaan fisik, didapatkan TD: 130/70 mmhg, Nadi: 109x/m, suhu
36,9°C, RR : 35 x/m. Napas cuping hidug, dyspneu, otot-otot bantu napas aktif,
retraksi subcosta, dan menurunnya rasio inspirasi/ekspirasi, ronkhi difus (-),
wheezing eskpiratorik (-). Suara dasar vesikuler kanan menurun dari SIC II -
bawah.
Dari pemeriksaan penunjang TCM dahak didapatkan media deteksi MTB
detected medium
Deskripsi Masalah
Dari skenario tersebut, diketahui bahwa seorang laki-laki berusia 60 tahun
dengan keluhan sesak. Sesak dirasakan sejak 7 hari yang lalu dan memberat sejak
3 jam yang lalu. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak 2 minggu yang
lalu. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain. Keluarga pasien tidak memiliki
keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 20 tahun. Pasien
rata-rata merokok 1 bungkus per hari dan baru berhenti sejak 3 tahun yang lalu.
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan TD : 130/70 mmhg (sistolik
prehipertensi), Nadi : 109x/m (meningkat), suhu 36,9℃ (normal), RR : 35x/m
(meningkat). Napas cuping hidung, dyspneu, otot-otot bantu napaf aktif, retraksi
subcosta, dan menurunnya rasio inspirasi/ekspirasi, ronkhi diffuse (-), wheezing
ekspiratorik (-). Suara dasar vesikuler kanan menurun dari SIC II - bawah.

4
Dari diskusi yang telah kami lakukan, orang yang berpotensi terkena penyakit
paru atau saluran napas adalah pada usia lanjut. Hasil ini kemungkinan karena
pada pasien usia lanjut sistem kardiorespirasi mengalami penurunan daya tahan
serta penurunan fungsi. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak dua
minggu yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain. Keluarga pasien
tidak memiliki keluhan serupa yang menandakan bahwa penyakit yang dialami
oleh pasien ini tidak didapatkan dari faktor genetik. Pasien memiliki riwayat
merokok sejak usia 20 tahun. Merokok dapat menganggu pegerakan silia,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hipersekresi
kelenjar mukus, dan pajanan yang masif dapat menyebabkan perubahan
emfisematus. Paparan akut dari rokok ini sendiri dapat menyebabkan kerusakan
paru tetapi apabila bersamaan dengan faktor genetik maka akan menyebabkan
kerusakan yang lebih parah. Pasien rata-rata merokok 1 bungkus per hari dan baru
berhenti sejak 3 tahun yang lalu. Meskipun pasien sudah berhenti merokok sejak 3
tahun yang lalu tetapi masih sesak napas karena sesak napas saat berhenti
merokok merupakan salah stau gejala putus rokok. Selama merokok, bahan kimia
pada rokok memberikan beragam reaksi pada tubuh. Pada saat berhenti dari
kebiasaan ini, tubuh perlu menyesuaikan diri sehingga akan menimbulkan
berbagai efek samping. Timbul sesak napas setelah berhenti merokok karena asap
rokok dan bahan kimia lainnya yang masuk ke tubuh dapat merusak paru-paru,
yakni menebalkan lendir pada alat pernapasan. Saat berhenti merokok, paru-paru
akan kembali memulihkan diri dan lendir akan semakin berkurang. Proses
pemulihan inilah yang bisa menyebabkan sesak napas, terus batuk, atau sakit
tenggorokan. (Kemenkes, 2021).
Pemeriksaan fisik, didapatkan TD : 130/70 mmhg, Nadi : 109x/m, suhu
36,9℃, RR : 35x/m. Napas cuping hidung, dyspneu, otot-otot bantu napaf aktif,
retraksi subcosta adalah tarikan akibat tubuh berusaha lebih keras untuk bernapas,
dan menurunnya rasio inspirasi/ekspirasi, ronkhi diffuse (-), wheezing
ekspiratorik (-) wheezing ekspiratorik atau bunyi napas mengi adalah sebuah
keadaan dimana suara napas ketika ekspiras terdengar tinggi atau seperti meniup
peluit. Suara dasar vesikuler kanan menurun dari SIC II - bawah. Dari

5
pemeriksaan penunjang TCM dahak, TCM dahak adalah Tes Cepat Molekuler
untuk memeriksa kuman pada dahan serta menetukan apakah pasien positif TBC,
pada pasien dalam skenario didapatkan hasil MTB detected medium yang
menandakan terdeteksi mycobacterium tuberculosis. Untuk bernapas
menggunakan cuping hidung merupakan salah satu tanda sesak nafas, atau
meningkatnya usaha bernafas.
Dari keluhan pasien berusia 60 tahun tersebut ada beberapa dugaan
penyakit yang bisa saja terjadi pada pasien. Dalam pelaksanaan SGD yang telah
kami lakukan, kami mendapatkan 4 diagnosis diferensial yaitu Efusi Pleura,
Empiema, PPOK, dan TBC dengan komplikasi. Manifestasi klinis dari keenam
diagnosis diferensial tersebut hampir sama dengan keluhan yang dirasakan oleh
pasien laki-laki berusia 60 tahun tersebut. Dari keempat DD tersebut akan
ditentukan diagnosis kerja pada pasien.

6
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Gejala Sesak Napas
Sesak napas adalah kondisi ketika seseorang mengalami kesulitan dalam
bernapas, kondisi ini juga dikenal sebagai dyspnea. Sesak napas dapat menjadi
tanda suatu penyakit. Sesak napas dapat terjadi secara tiba-tiba dan dalam
jangka waktu yang singkat (akut) yang berlangsung kurang dari 1 bulan , tapi
bisa juga terjadi dalam jangka waktu yang panjang atau berulang (kronis)
yang berlangsung lebih dari 1 bulan. Adapun mekanisme sesak nafas
(dyspnea) yaitu berawal dari aktivasi sistem sensorik yeng terlibat dalam
sistem respirasi lalu kemudian informasi sensorik sampai pada pusat
pernapasan di otak dan memproses respiratoryrelated signals dan
menhasilkan pengaruh kognitif, kontekstual, dan perilaku sehingga terjadi
sensasi dyspnea.
Sesak napas dapat disebabkan karena ganguan di paru-paru, jantung, ginjal
dan keseimbangan elektrolit dalam darah. Jika tidak mendapat penanganan
tepat, sesak napas dapat mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen dan
menimbulkan komplikasi serius. Beberapa kondisi yang menimbulkan hal
tersebut terjadi, antara lain yaitu efusi pleura, merupakan kondisi terjadinya
penumpukan cairan didalam rongga pleura di paru-paru, penyakit peradangan
pada paru-paru seperti pneumonia, Tb paru, edema paru merupakan kondisi
menumpuknya cairan di dalam paru-paru. (Hasniati, Arianti. 2018).
1.2 Gejala Batuk Berdahak
Batuk dapat diklasifikasikan berdasarkan produktivitasnya yaitu batuk
produktif dan non-produktif. Batuk produktif adalah batuk yang menghasilkan
dahak atau lendir (sputum) sehingga lebih dikenal dengan sebutan batuk
berdahak. (Hanifah Mutiara, 2018).
Pada kasus diskenario, batuk yang dialami merupakan jenis batuk
berdahak. Hal ini menandakan terjadi suatu kondisi reaksi terhadap benda
asing yang masuk ke dalam sistem pernapasan. Hal yang dapat membuat

7
sekresi lendir atau mukus ini meningkat seperti adanya kondisi infeksi.
(Hanifah Mutiara, 2018).
Pada skenario, diduga penyebab batuknya adalah akibat infeksi. Saat
bakteri penyebab penyakit (contohnya tuberkulosis) masuk ke dalam tubuh,
tubuh akan melakukan mekanisme pertahanan untuk melawan bakteri
tersebut. Salah satunya adalah dengan memperbanyak pembentukan makrofag
yang berasal dari monosit. Makrofag ini merupakan salah satu jenis sel darah
putih yang ketika bekerja, ia akan memproduksi suatu molekul kimiawi yang
disebut dengan TNF-alfa (Tumor Necrosis Factor - alfa). Molekul inilah yang
kemudian memberikan signal pada otak untuk meningkatkan set
point termoregulator di hipotalamus, sehingga suhu tubuh akan meningkat dan
terjadilah demam. Adanya suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
menular yamg berpotensi serius yang terutama mempengaruhi paru-paru.
Batuk dalam waktu lama akan membuat refleks muntah meningkat dan dapat
membakar banyak kalori dalam tubuh. (Hanifah Mutiara, 2018).

1.3 Hubungan Riwayat Merokok dengan Keluhan Pasien


Merokok merupakan salah satu gaya hidup yang tidak sehat, Kurang lebih
25 jenis penyakit yang menyerang berbagai organ tubuh manusia telah
terbukti disebabkan oleh kebiasaan merokok. Berbagai temuan ilmiah
menunjukkan bahwa untuk mencegah terjadinya penyakit-penyakit yang
disebutkan tadi adalah dengan cara menghentikan kebiasaan merokok.
Seseorang yang merokok 10 batang atau lebih per hari, memiliki harapan
hidup rata-rata 5 tahun lebih pendek dan berisiko 20 kali lebih tinggi terkena
kanker paru-paru daripada yang tidak pernah merokok. PPOK dan TB paru
merupakan salah satu penyakit yang sering diderita oleh perokok. (Indah Dwi.
2020)
Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LiTBangkes)
menunjukkan bahwa mereka yang merokok (termasuk mereka yang masih
merokok dan yang telah berhenti merokok) mempunyai risiko menderita TB 3
kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok. Paparan

8
tembakau baik secara aktif maupun pasif dapat meningkatkan risiko terkena
sakit TB. Risiko terkena TB akan meningkat 9 kali lipat bila ada 1 perokok
dalam satu rumah. 50% kematian akibat TB berhubungan dengan kebiasaan
merokok pada pria dewasa. Separuh dari kematian 78 karena TB paru pada
laki-laki disebabkan merokok dan 3,25 dari perokok berkembang menjadi
penderita tuberkulosis paru. (Indah Dwi. 2020)
Saat berhenti merokok, paru-paru akan kembali memulihkan diri dan
lendir akan semakin berkurang. Proses pemulihan inilah yang bisa
menyebabkan merasa sesak napas, batuk, atau sakit tenggorokan. (Indah Dwi.
2020)
1.4 Hubungsn Usia dengan Keluhan Pasien
Orang yang berpotensi terkena penyakit paru atau saluran napas adalah
pada usia lanjut. Hasil ini kemungkinan karena pada pasien usia lanjut sistem
kardiorespirasi mengalami penurunan daya tahan serta penurunan fungsi.
Terjadinya perubahan pada dinding dada menyebabkancompliance dinding
dada berkurang dan terdapat penurunan elastisitas parenkim paru,
bertambahnya kelenjar mukus dan penebalan pada mukosa bronkus. Terjadi
peningkatan tahanan saluran napas dan penurunan faal paru seperti kapasitas
vital paksa/ Force Vital Capacity (FVC) dan volume ekspirasi paksa detik
pertama/ Force Expiration Volume 1 (FEV1).
1.5 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Skenario Rujukan Interpretasi
Fisik
Tekanan Darah 130/70 Sistol : 100-120 Hipertensi
mmHg mmHg
Diastil : 60-80
mmHg
Frekuensi Nadi 109 60-100 x/menit Takikardi
x/menit
Suhu 36,9°C 36,5-37,5 Normal

9
Frekuensi Nafas 35 x/menit 12-20 x/menit Hiperventilasi
(takipneu)
Adanya napas cuping hidung, dyspneu, otot-otot bantu napaf aktif,
retraksi subcosta adalah tarikan akibat tubuh berusaha lebih keras untuk
bernapas, dan menurunnya rasio inspirasi/ekspirasi. Tidak ditemukan ronkhi
diffuse, wheezing ekspiratorik. Terdengar suara dasar vesikuler kanan
menurun dari SIC II - bawah.
 Pemeriksaan Penunjang
TCM dahak didapatkan media deteksi MTB detected medium yaitu
adanya microbacterium tuberculosis.
1.6 Pembahasan DD
A. Efusi Pleura
 Definisi
Efusi pleura adalah kondisi yang ditandai oleh penumpukan cairan di
antara dua lapisan pleura. Pleura merupakan membran yang memisahkan
paru-paru dengan dinding dada bagian dalam. Cairan yang diproduksi pleura
ini sebenarnya berfungsi sebagai pelumas yang membantu kelancaran
pergerakan paru-paru ketika bernapas. Namun ketika cairan tersebut
berlebihan dan menumpuk, maka bisa menimbulkan gejala-gejala tertentu.
(PDPI, 2017)
 Etiologi

Efusi pleura umumnya dibagi menjadi dua, yaitu transudatif dan


eksudatif. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh meningkatnya tekanan
dalam pembuluh darah atau rendahnya kadar protein dalam darah. Hal ini
mengakibatkan cairan merembes ke lapisan pleura. Sedangkan efusi pelura
eksudatif disebabkan oleh peradangan, cedera pada paru-paru, tumor, dan
penyumbatan pembuluh darah atau pembuluh getah bening. (PDPI, 2017)
 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala efusi pelura antara lain adalah nyeri dada saat menarik dan
membuang napas, batuk, demam, dan sesak napas. Gejala biasanya terasa
jika efusi pleura sudah memasuki level menengah hingga parah, atau terjadi

10
peradangan. Jika penumpukan cairan masih tergolong ringan biasanya
penderita tidak akan merasakan gejala apa-apa. (PDPI, 2017).
B. Empiema
 Definisi
Empiema adalah kumpulan cairan eksudatif di rongga pleura yang
berhubungan dengan terjadinya infeksi paru. Empiema sering disebabkan
karena komplikasi dari pneumonia tetapi dapat juga disebabkan karena
adanya infeksi dari tempat lain. Empiema dapat juga disebabkan oleh suatu
trauma, tindakan operasi, keganasan, kelainan vaskuler, penyakit
imunodefisiensi, dan adanya infeksi di tempat yang berdekatan seperti di
orofaring, esophagus, mediastinum atau jaringan di subdiafragma yang
memberikan manifestasi klinik bermacam-macam, tergantung dari organ
utama atau tempat yang terinfeksi, mikroba pathogen dan penurunan daya
tahan tubuh. (Helma Hasan, 2018)
 Etiologi

Empiema terjadi akibat infeksi yang menyebar dari paru-paru. Infeksi


inilah yang menyebabkan penumpukan nanah di rongga pleura yang akhirnya
mengganggu fungsi dan kerja paru-paru. (Kemenkes, 2020).
Ada beberapa penyakit dan kondisi yang dapat meningkatkan risiko
seseorang terserang empiema, antara lain:
 Pneumonia
 Abses paru
 Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
 Tuberkulosis (TBC)
 Bronkiektasis
 Cedera serius di bagian dada, misalnya akibat terjatuh atau kecelakaan
 Infeksi di bagian tubuh lain yang menyebar ke rongga dada melalui
aliran darah
 Komplikasi akibat operasi di bagian dada, misalnya operasi
pengangkatan kanker paru-paru atau operasi jantung. (Kemenkes, 2020).

11
 Manifestasi Klinis

Seperti disebutkan di atas, empiema biasanya terjadi setelah seseorang


mengalami pneumonia. Bisa jadi, pneumonia yang tak kunjung sembuh
dalam waktu lama adalah gejala terjadinya empiema.
Beberapa gejala lainnya di antaranya demam, nyeri dada, dahak mengandung
nanah, bunyi berderak di dada, sulit bernapas, hilang nafsu makan, batuk
kering, keringat berlebih, merasa bingung dan susah berkonsentrasi, bunyi
pekak saat dada ditepuk (biasanya diketahui ketika dilakukan pemeriksaan
oleh dokter), bahkan ketika melakukan pemeriksaan X-ray, akan terlihat
penumpukan cairan berlebih di paru-paru. (PDPI, 2019).
C. PPOK
 Definisi
PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
bersifat progresif berhubungan dengan inflamasi kronik saluran napas dan
parenkim paru akibat pajanan gas atau partikel berbahaya. Hambatan aliran
udara pada PPOK terjadi karena perubahan struktur saluran napas yang
disebabkan destruksi parenkim dan fibrosis paru. (PDPI, 2019).
 Etiologi

Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran,


dan partikel gas berbahaya. Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat
irreversible dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil
yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan napas. Kebiasaan merokok merupakan satu-
satunya penyebab kausal yang terpenting dari faktor penyebab lainnya. (Adi
Napanggala, 2017)
 Manifestasi Klinis

Gejala dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah seperti


susah bernapas, kelemahan badan, batuk kronik, nafas berbunyi, mengi atau
wheezing dan terbentuknya sputum dalam saluran nafas dalam waktu yang
lama. Salah satu gejala yang paling umum dari Penyakit Paru Obstruktif

12
Kronik (PPOK) adalah sesak nafas atau dyosnea. Pada tahap lanjutan dari
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dypsnea dapat memburuk bahkan
dapat dirasakan ketika penderita sedang istirahat atau tidur. (Putra, 2014).
D. TBC dengan Efusi Pleura
 Definisi
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M.Tb yang
dikenal juga dengan nama pleuritis TB (Mason, 2005).Secara global, TB
masih menjadi salah satu penyebab efusi pleura yang paling sering. Awalnya,
patogenesis penyakit ini murni dianggap sebagai hasil dari reaksi
hipersensitivitas tipe lambat namun sekarang juga diyakini sebagai akibat dari
infeksi langsung ke dalam rongga pleura melalui rangkaian kejadian termasuk
respon imunologi.
 Etiologi
Efusi pleura TB paling banyak disebabkan oleh infeksi TB primer
paru. Peradangan pada pleura umumnya berhubungan dengan
berkembangnyareaksi hipersensitivitas tipe lambat melawan tubercle bacilli
yang terdapat pada atau dekat dengan permukaan pleuradan biasanya sembuh
dengan sendirinya(Iseman MD dan Madsen LA, 1991).Pada tuberkulosis post
primer, efusi pleura terjadi karena kumanM. Tbmasuk secara langsung
kedalam rongga pleura melalui lesi kavitas paru, aliran darah dan sistem
limfatik. Hal ini disebut juga fenomena reaktivasi dengan ditemukan adanya
infiltrat atau kavitas di parenkim paru.
 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang paling sering adalah batuk (70%), nyeri dada (75%)
dan demam dengan derajat yang rendah hingga tinggi (86%). Gejala TB lain
seperti penurunan berat badan, malaise, keringat malam hari dapat terjadi.
Gejala klinis yang berat berupa demam tinggi yang menetap lebih dari 2
minggu atau kondisi gagal napas dilaporkan terjadi pada 7% kasus. Pleuritis
TB hampir selalu melibatkan salah satu hemitoraks saja (90-95). Kadang-
kadang efusi pleura TB asimptomatik jika cairan efusinya masih sedikit dan
sering terdeteksi pada pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk tujuan

13
tertentu. Namun jika cairan efusi dalam jumlah sedang sampai banyak maka
akan memberikan gejala dan kelainan dari pemeriksaan fisik
1.7 Penentuan Diagnosis Kerja
Dari keluhan yang dialami seorang laki-laki berusia 60 tahun datang ke
UGD RS di antar oleh keluarga dengan keluhan sesak. Sesak dirasakan sejak 7
hari yang lalu dan memberat sejak 3 jam yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
batuk berdahak sejak dua minggu yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat
penyakit lain. Keluarga pasien tidak memiliki keluhan serupa. Pasien memiliki
riwayat merokok sejak usia 20 tahun. Pasien rata-rata merokok 1 bungkus per
hari dan baru berhenti sejak 3 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan peningkatan tekanan darah 130/70
mmhg keadaan hipertensi, Nadi: 109x/m mengalami peningkatan, suhu 36,9°C,
RR : 35 x/m menglami pningkatan. Napas cuping hidug, dyspneu, otot-otot bantu
napas aktif, retraksi subcosta, dan menurunnya rasio inspirasi/ekspirasi, tidak
adanya ronkhi difus, wheezing eskpiratorik. Suara dasar vesikuler kanan menurun
dari SIC II - bawah. Dari pemeriksaan penunjang TCM dahak didapatkan media
deteksi MTB detected medium
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pasien mengidap penyakit efusi
pleura et causa tuberkulosis. Efusi pleura adalah kondisi yang ditandai oleh
penumpukan cairan di antara dua lapisan pleura. Pleura merupakan membran
yang memisahkan paru-paru dengan dinding dada bagian dalam. Cairan yang
diproduksi pleura ini sebenarnya berfungsi sebagai pelumas yang membantu
kelancaran pergerakan paru-paru ketika bernapas. Pasien didiagnosis efusi pleura
et causa tuberkulosis dikarenakan gejala yang dirasakan seperti sesak dan batuk
berdahak dan dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, hal ini terjadi akibat
adanya tuberkulosis yang dilihat dari hasil pemeriksan penunjang yaitu TCM
dahak didapatkan hasil MTB detected medium yaitu adanya microbacterium
tuberculosis.

14
1.7 Pembahasan Diagnosis Kerja
 Epidemiologi
Insiden terjadinya efusi pleura sulit untuk ditentukan karena banyaknya
etiologi penyakit yang menyebabkan kelainan tersebut. Namun insiden efusi
pleura di Amerika diperkirakan sekitar 1,5 juta kasus/tahun dan umumnya sering
disebabkan karena gagal jantung, pneumonia karena bakteri serta keganasan.
Sedangkan insiden efusi pleura secara internasional sekitar 320 kasus/100.000
penduduk. Di Indonesia sendiri penyebab terbanyak efusi pleura dalah karena
penyakit tuberkulosis paru.
Pada efusi pleura tidak ditemukan adanya perbedaan jenis kelamin yang
signifikan antara pria dan wanita. Sedangkan untuk usia, efusi pleura ini relatif
lebih banyak ditemukan pada usia dewasa muda dan orang tua. Namun efusi
pleura ini sering ditemukan pada anak terutama anak dengan pneumonia. (dr.
Richard, 2020)
 Faktor resiko
Faktor risiko terjadinya efusi pleura diakibatkan karena lingkungan yang
tidak bersih, sanitasi yang kurang, lingkungan yang padat penduduk, kondisi
sosial ekonomi yang menurun, serta sarana dan prasarana kesehatan yang kurang
dan kurangnya masyarakat tentang pengetahuan kesehatan. (Berta dkk, 2015)
 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Pasien lemas dan tampak sesak nafas
b. Tingkat kesadaran : Composmetis
c. TTV : RR : Takhipnea, N : Takhikardi, S : Jika infeksi bisa hipertermi, TD :
Bisa Hipotensia
d. Pemeriksaan Kepala: Inspeksi : bentuk mesochepal, Palpasi : Tidak ada
nyeri tekan
e. Pemeriksaan mata: Inspeksi : Konjungtiva anemis, Palpasi : tidak ada nyeri
tekan
f. Pemeriksaan Hidung: Inspeksi : Terlihat sesak nafas, adanya pergerakan
cuping hidung, Palpasi : Tidak ada neri tekan pada hidung.
g. Pemeriksaan Pulmo

15
- Inspeksi : adanya peningkatan frekuensi / takipnea, peningkatan kerja
napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, leher, retraksi
intercostal, ekspirasi abdominal akut, gerakan dada tidak sama
(paradoksik) bila trauma, penurunan pengembangan torak (area yang
sakit).
- Palpasi : terjadi ketertinggalan gerak antara area yang sakit dengan area
yang sehat. Atau fremitus menurun pada sisi yang terkena cairan.
(Mariza, 2013).
 Pemeriksaan Penunjang
a) Foto Thoraks
Kelainan pada foto rontgen PA baru akan terlihat jika akumulasi cairan
pleura mencapai 300 mL. Pada mulanya, cairan berkumpul pada dasar
hemitoraks di antara permukaan inferior paru dan diafragma terutama
disebelah posterior, yaitu sinus pleura yang dalam. Jika cairan pleura
terus bertambah banyak, maka cairan akan menuju ke atas yaitu ke daerah
paru yang cekung dan mencapai ke bagian atas. Diafragma dan sinus
kostofrenikus tidak akan terlihat jika cairan pleura mencapai 1000 mL.
Jika pada foto PA efusi pleura tampak tidak jelas maka dapat dilakukan
foto lateral decubitus. Gambaran khas efusi pleura adalah meniscus sign
atau penumpulan sudut kostofrenikus. (Darmanto, 2016)
Pemeriksaan foto toraks merupakan pemeriksaan dasar dan rutin dalam
mendeteksi cairan efusi pleura.Efusi plera berdasarkan jumlah volumenya
dibedakan menjadi small ,moderat dan large ( masif ) efusi pleura.(dr.
Richard, 2020)
Gambaran small efusi pleura ditunjukkan dengan sinus
costophrenicus dan sinus cardiophrenicus yang tumpul.Volume small
efusi pleura sekitar 300 ml. Kadang didapatkan gambaran meniscus sign.

16
Small pleural efusion
Menurut koncijanci small efusi pleura dapat ditandai dengan
adanya displacement sinus costophrenicus kearah medial dan small
meniscus sign terdapat sekitar ± 175 – 500 ml cairan pada stadium awal
penyakit.Volume small efusi pleura sekitar < 600 ml. .(dr. Richard, 2020)

Foto erect terdapat small meniscus sign pada sinus costophrenicus


lateral.

Foto erect terdapat small meniscus sign pada sinus costophrenicus


lateral. .(dr. Richard, 2020)

17
b) Pemeriksaan Mikroskopik dan Sitologi
Jika dalam cairan pleura disapatkan sel darah putih sebanyak >1000/mL,
keadaan tersebut menunjukan empyema. Neutrophil menunjukan
kemungkinan adanya pneumonia, infark paru, tuberculosis paru fase
awal, atau pankreatitis. Limfosit dalam jumlah banyak mengacu pada
tuberculosis, limfoma maupun keganasan. Jika pada torakosintesis di
dapat banyak eosinophil maka tuberculosis dapat disingkirkan.
(Darmanto, 2016)
c) Sputum
Kultur sputum positif pada 30-50% pasien penderita TB paru dan efusi
pleura TB, hanya4% pasien efusi pleura TB dengan kultur sputum positif.
Untuk diagnosis efusi pleura TB, sensitivitas kultur cairan pleuraadalah
10-35%, biopsi jarum pada pleuraantara 56-82%, dan kultur biopsi jarum
pada pleura antara 39-65%. Dan ternyatakultur mikobakterium dengan
menggunakan mesin BACTECbisa mengatasi masalah keterlambatan
hasil kultur. Kultur positif bisa diperoleh dalam 18 hari, sedangkan
dengan metode konvensional didapat dalam 33 hari. Selain itu,
sensitivitas kultur mikobakteriumdengan mesin BACTEC bisa mencapai
50%. Sekurang-kurangnya haruslah diperoleh empat spesimen biopsy
pleura parietal terpisah. Tiga harus dikirimkan untuk pemeriksaan
histologi dan satu lainnya harus dikultur untuk mikobakterium, karena
terkadang kultur biopsi pleura ada kalanya positif bila tidak ditemukan
granuloma pada pleura. Pernah dilaporkan bahwa dengan pemeriksaan
histologi dan mikrobiologi pleura, akurasi diagnostik mencapai 86%.
Thoracoscopyjarang digunakan untuk menetapkan diagnosis efusi pleura
TB. Dalam sebuah penelitian, hasil diagnostik dari biopsi jarum Abram
dan thoracoscopy dievaluasi secara prospektif pada 40 pasien penderita
efusi pleura TB, dengan hasil sensitivitas biopsi jarum Abrams, yang
dikombinasikan denganpemeriksaan histologi dan kultur adalah 86%,
sementara untuk thoracoscopysendiri adalah 98%. Terdapat tujuh pasien

18
dengan biopsi jarum Abram negatif, namun positif dengan thoracoscopy.
(Zainul, Akbar. 2017)
d) Pemeriksaan kimia pH
Selain pemeriksaan mikroskopik dan sitology dilakukan, pemeriksaan
lainnya adalah dengan pemeriksaan kimia dan pH. Yang di periksa adalah
glukosa, amylase dan enzim-enzim lainnya. (Darmanto, 2016)
Gold standard dari efusi pleura TB adalah menemukan mycobacterium
tuberculosis di cairan pleura atau jaringan pleura. Dalam pemeriksaan
penunjang gold standard adalah foto rontgen. (Darmanto, 2016).
 Patofisiologi
Efusi pleura TB paling banyak disebabkan oleh infeksi TB primer paru.
Peradangan pada pleura umumnya berhubungan dengan berkembangnya reaksi
hipersensitiviti tipe lambat melawan tubercle bacilli yang terdapat pada atau dekat
dengan permukaan pleuradan biasanya sembuh dengan sendirinya. Efusi pleura
tuberkulosis biasanya terjadi setelah yang disebut periode laten 3-6 bulan setelah
infeksi awal akibat pecahnya fokus Ghon ke dalamrongga pleura. (Zainul, Akbar.
2017)
Protein mikrobakterium masuk ke rongga pleura 6-12 minggu setelah
infeksi primer dan jarang berasal dari penyebaran secara langsung dari lesi pada
vertebra, antigen ini biasanya masuk melalui robeknya fokus subpleura kemudian
terjadi reaksi lokal hipersensitiviti tipe lambat yang diperantarai oleh sel CD4.
Proses ini dapat terjadi selama tuberkulosis primer atau tuberkulosis postprimer
dengan atau tanpa adanya keterlibatan kuman Mycobacterium tuberculosis masuk
ke dalam rongga pleura. Antigen mikobakterium yang masuk ke dalam rongga
pleura, akan menimbulkan respon kekebalan tubuh, dimulai dengan neutrofil dan
makrofag kemudian oleh interferon gamma dihasilkan oleh sel T- helper (Th) tipe
I limfosit mengakibatkan efusi pleura eksudat didominasi oleh limfosit. Reaksi
hipersensitivitas tipe lambat ini merupakan reaksi imunologi, bukan merupakan
infeksi kuman mikobakterium secara langsung pada rongga pleura. Pada keadaan
ini hasil pemeriksaan pewarnaan langsung bakteri tahan asam dan kultur cairan
pleura rendah. (Zainul, Akbar. 2017)

19
Pada tuberkulosis postprimer, efusi pleura terjadi karena kuman
mikobakterium tuberkulosis masuk secara langsung kedalam rongga pleura
melalui lesi kavitas paru, aliran darah dan sistem limfatik. Hal ini disebut juga
fenomena reaktivasi dengan ditemukan adanya infiltrat atau kavitas di parenkim
paru. Ketika sejumlah besar material kaseus yang berasal dari kavitas di
parenkim, kelenjar paratrakea, atau abses paravertebra yang berjalan langsung ke
rongga pleura menyebabkan efusi pleura atau empiema. (Zainul, Akbar. 2017)
Sampai saat ini efusi pleura TB diduga terjadi terutama sebagai akibat dari
reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Penyuntikan tuberkulin ke rongga pleura
marmut yang sudah tersensitisasi oleh M.Tb, akan menghasilkan efusi pleura yang
kaya protein selama periode 24 jam, yang seluruhnya ditekan oleh serum
antilimfosit. (Zainul, Akbar. 2017)
Berdasarkan percobaan ini dan fakta bahwa peneliti tidak menemukan
M.Tb dari kultur cairan pleura, patogenesis efusi pleura TB diduga disebabkan
oleh hipersensitivitas tipe lambat daripada infeksi langsung dari rongga pleura.
Berkembangnya media untuk kultur saat ini memungkinkan untuk kultur M.Tb
baik dari cairan pleura maupun jaringan pleura samapai 70% dari kasus-kasus
yang ada, dan mengikuti postulat Koch untuk infeksi, ini menunjukkan suatu
hubungan kausal. Suatu efusi pleura kemungkinan akibat manifestasi dari
paucibacillary mikobakterium di dalam rongga pleura, yang diperoleh dari lesi
awal pada parenkim serta respon imunologi yang kemudian meningkatkan
produksi cairan pleura dan mengurangi absorpsi cairan pleura. (Zainul, Akbar.
2017)
Pada awalnya, terjadi respon inflamasi dengan peningkatan neutrofil yang
cepat dalam rongga pleura dan menimbulkan gejala. Hal ini perlahan-lahan diikuti
oleh limfosit dan dengan reaksi imunologi yang menyebabkan pembentukan
granuloma pleura dan pelepasan ADA. Oleh karena itu masuk akal jika
kemungkinan kultur cairan pleura yang positif semakin berkurang seiring
berjalannya waktu, kemudian efusi pleura akan didominasi oleh limfosit dan
mikobakterium yang masih tersisa. Serupa dengan TB paru, hipotesis patogenesis
efusi pleura TB menunjukkan bahwa sel T-helper tipe 1 (Th-1) yang kuat seperti

20
imunitas (dominan interferon) sangat penting untuk menahan M.Tbsedangkan
efek protektif ini diantagonis oleh sel T-helper tipe 2 sitokin, terutama interleukin
(IL)-4. CD3+ dan CD4+ diaktifkan Th-1 sel melalui pelepasan interferon gamma
(IFN-γ) dan sitokin Th-1 lainnya mengaktifkan makrofag untuk membunuh M.Tb,
sedangkan sitokin Th2mengantagonis efek ini. (Zainul, Akbar. 2017)
Dominasi sel Th-1 imunitas pada efusi pleura TB ditandai dengan
tingginya kadar IFN-γ dan sitokin inflamasi lainnya (misalnya IL-12), dimana
proporsi sel Thelper dalam cairan pleura lebih tinggi dibandingkan sel T-helper
dalam serum atau darah perifer. Frekuensi IL-4 sel T yang mewakili kekebalan
Th2, secara signifikan lebih rendah dalam cairan pleura dibandingkan di dalam
darah perifer. Compartmentalisation ini mungkin tidak terjadi segera setelah
infeksi, seperti yang ditunjukkan hewan-hewan penelitian. Leukosit
polimorfonuklear adalah sel pertama yang merespon dan mendominasi dalam 24
jam pertama, kemudian diikuti oleh makrofag yang puncaknya pada 96 jam
pertama, dan kemudian akan didominasi oleh limfosit. Tampaknya masuknya
leukosit polimorfonuklear adalah respon spesifik untuk cedera pleura baik
polimorfonuklear sendiri atau interaksinya dengan makrofag, keduanya berperan
dalam mekanisme pertahanan host melawan basil tuberkulosis. (Zainul, Akbar.
2017)

Respon imunologi terjadinya efusi pleura tuberkulosis. (Zainul, Akbar.


2017).

21
 Tata laksana
Non Farmakologi
a) Torakosintesis
- Untuk membuang cairan pleura
- Mendapatkan specimen untuk analisis
- Menghilangkan dispnea
b) Pemasangan selang dada atau drainage
Hal ini dilakukan jika torakosintesis menimbulkan nyeri, penipisan protein
dan elektrolit.
c) Pemberian nitrogen mustard atau tetrasiklin melalui selang dada (Saferi &
Mariza, 2013).

Farmakologi
Efusi pleura umumnya disebabkan oleh penyakit lain. Oleh karena itu,
penanganan terhadap penyebab yang mendasari dilakukan untuk mengatasi efusi
pleura. Beberapa contoh penanganan yang akan dilakuka adalah:
 Pemberian diuretik dan obat-obatan untuk penyakit jantung, bila efusi
pleura disebabkan oleh gagal jantung
 Pemberian antibiotik, bila efusi pleura disebabkan oleh penyakit infeksi
 Kemoterapi dan terapi radiasi, bila efusi pleura disebabkan oleh kanker
(Kemenkes, 2019).
Penatalaksanaan Efusi Pleura Berdasarkan Etiologi

Etiologi Penatalaksanaan
Penyakit jaringan ikat: artritis Steroid : umumnya resolusi tercapai 2
rheumatoid, lupus minggu.
Tuberkulosis Obat antituberkulosis
Amebiasis Metronidazole 3x800mg/hari selama
5-10 hari, dilanjutkan diloxanide
furoate 3x500mg/hari selama 10 hari.
Pleural hydatidosis Albendazole 1x400mg selama 1 bulan

22
sebelum pembedahan eksisi kista
Pankreatitis Somatostatin + octretide
Gagal jantung kongenstif Diuretik
Empyema Antibiotik + drainase pus.
(Karkhanis, 2012).
Komplikasi
a) Fibrothoraks
Efusi pleura eksudat yang sudah tidak dapat ditangani oleh tindakan drainase
dengan baik maka akan menimbulkan perlekatan pada fibrosa antara pleura
viseralis dan pleura parietalis. Jika fibrothoraks meluas dapat menimbulkan
hambatan mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada
dibawahnya dan harus segera dilakukan pembedahan. (Somantri, 2012).
b) Atelectasis
Atelectasis merupakan pengembangan paru-peru yang tidak sempurna di
sebabkan karena adanya penekanan akibat efusi pleura. (Somantri, 2012).
c) Fibrosis
Fibrosis paru merupakan suatu keadaan patologis dimana terdapat jaringan
ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis dapat timbul akibat proses
perbaikan jaringan sebagai lanjutan dari sebuah penyakit paru yang
menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura atelaktasis yang berkepanjangan
dapat juga menyebabkan pergantian jaringan baru yang terserang dengan
jaringan fibrosis. (Somantri, 2012).
 Prognosis
Prognosis efusi pleura yaitu dubia at bonam. Morbiditas dan mortalitas
efusi pleura berhubungan langsung dengan penyebabnya, stadium penyakit,
dan temuan biokimia dalam cairan pleura. Pada efusi pleura ganas dikaitkan
dengan prognosis yang sangat buruk dengan kelangsungan hidup rata-rata 4
bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Yang paling umum
keganasan terkait pada pria adalah kanker paru-paru, dan keganasan yang
paling umum pada wanita adalah kanker payudara. Efusi dari kanker yang
lebih responsif terhadap kemoterapi, seperti limfoma atau kanker payudara,

23
lebih dihubungkan dengan kelangsungan hidup berkepanjangan, dibandingkan
dengan kanker paru-paru atau mesothelioma (Nurul, 2015)
KIE
Edukasi dan promosi kesehatan efusi pleura terutama agar pasien
memahami bahwa efusi pleura hanya merupakan kondisi yang diakibatkan oleh
penyakit lain. Oleh karena itu, pasien harus mematuhi pengobatan penyakit yang
menyebabkan efusi pleura hingga tuntas.
Aspek edukasi untuk efusi pleura lainnya adalah sebagai berikut:
- Hindari sumber infeksi, baik dari udara, air, makanan
- Tidak merokokSegera kontrol ke layanan kesehatan jika mengalami sesak
napas, nyeri dada yang memburuk, batuk berkelanjutan, atau demam
- Risiko komplikasi bila efusi pleura tidak ditangani dengan baik
- Bila terpasang selang drainase atau kateter interkostal: segera beritahu
petugas medis bila merasa nyeri dada atau sesak bertambah, tidak
mengubah posisi atau melakukan manuver apapun pada selang drainase,
serta risiko komplikasi akibat pemasangan selang drainase. (Kemenkes,
2019).

24
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skenario
LBM 2 yang berjudul “Aku Sesak Napas” dapat disimpulkan bahwa pasien
didiagnosis efusi pleura et causa TB dilihat dari keluhan yang dirasakan yaitu
sesak. Sesak dirasakan sejak 7 hari yang lalu dan memberat sejak 3 jam yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak 2 minggu yang lalu. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit lain. Keluarga pasien tidak memiliki keluhan serupa.
Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 20 tahun. Pasien rata-rata merokok 1
bungkus per hari dan baru berhenti sejak 3 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan penunjang TCM didapatkan Myctobacterium
Tuberculosis detected medium. Gold standard dari efusi pleura et causa TB adalah
menemukan mycobacterium tuberculosis di cairan pleura atau jaringan pleura.
Dalam pemeriksaan penunjang gold standard adalah foto rontgen yang mendakan
gambaran khas adalah meniscus sign atau penumpulan sudut kostrofrenikus.
Efusi pleura adalah kondisi yang ditandai oleh penumpukan cairan di
antara dua lapisan pleura. Efusi pleura umumnya dibagi menjadi dua, yaitu
transudatif dan eksudatif. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh meningkatnya
tekanan dalam pembuluh darah atau rendahnya kadar protein dalam darah. Hal ini
mengakibatkan cairan merembes ke lapisan pleura. Sedangkan efusi pelura
eksudatif disebabkan oleh peradangan, cedera pada paru-paru, tumor, dan
penyumbatan pembuluh darah atau pembuluh getah bening. Gejala-gejala efusi
pelura antara lain adalah nyeri dada saat menarik dan membuang napas, batuk,
demam, dan sesak napas. Gejala biasanya terasa jika efusi pleura sudah memasuki
level menengah hingga parah, atau terjadi peradangan.

25
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Zainul. 2017. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Pleura Yang Dilakukan
Pemeriksaan Adenosine Deaminase (Ada) Dan Gene Xpert Di Rsup Haji
Adam Malik Medan. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Departemen
Pulmonologi Dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan.
Dr. Richard Yan Marvellini, Sprad. 2020. Gambaran Volume Efusi Pleura.
Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Uki Jakarta

Dwi. Indah Destiana. 2020. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian


Penyakit Paru Pada Pasien Bpjs Di Bagian Penyakit Dalam Rsup Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2019. Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya

Esri, Rusminingsih. 2017. “Pemeriksaan Fisik Paru”. Klaten.


Hasniati, Arianti, Philip, William. 2018. Penerapan Metode Bayesian Network
Model Untuk Menghitung Probabilitas Penyakit Sesak Nafas Bayi.
3program Studi Informatika, Stmik Kharisma Makassar . Jurti, Vol.2
No.1.

Kementerian Kesehatan RI. Profil kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta; 2016
Kementrian Kesehatan RI. 2019 “Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis”. 2 Desember 2019.
Kementrian Kesehatan RI. 2020. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran.
Mutiara, Hanifah. 2018. Hubungan Batuk Berdahak Pada Pasien Tb Paru
Dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks Pada Pasien Tb Paru Di Poli
Paru Rsup Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2015 Sampai
Desember 2017. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan.

PDPI. “Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia”.


Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2015.

26
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. “Outbreak Pneumonia di Tiongkok”. 2020.
Jakarta.
Pranawa, Artaria, Tjempakasari. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Universitas AIrlangga RS dr. Soetomo. Hipertensi. Edisi 2.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI

27

Anda mungkin juga menyukai