Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK XIII KELAINAN TORAKS


MODUL 1 BATUK

Disusun Oleh : Kelompok 1


Sofia Apriyanti 1710015035
Sri Jatul Zannah 1710015010
Wa Ode Nurul Azkiah 1710015117
Dealita Titus Bandi 1710015044
Nurul Fadhila Lestari 1710015109
Fadhila Aliyah 1710015113
Elsa Syafira Hidayah 1710015020
Daffa Raditya U 1710015037
M. Fachrian Akbar 1710015001
Fajar Rahmat 17100150

Tutor :
Dr.dr. Endang Sawitri, M. Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena terselesaikannya
laporan DKK (Diskusi Kelompok Kecil) mengenai Kelainan Thoraks. Laporan ini dibuat
sesuai dengan gambaran jalannya proses DKK kami, lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan
dan jawaban yang disepakati oleh kelompok kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam
proses pembuatan laporan DKK ini. Pertama, kami berterima kasih kepada Dr. Dr. Endang
Sawitri, M. Kes selaku tutor kami yang telah dengan sabar menuntun kami selama proses
DKK. Terima kasih pula kami ucapkan atas kerja sama rekan sekelompok di Kelompok 6.
Tidak lupa juga kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
mencari informasi maupun membuat laporan DKK.
Akhir kata, kami sadar bahwa kesempurnaan tidak ada pada manusia. Oleh sebab itu,
kami mohon kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga
laporan ini bermanfaat bagi pembaca, baik sebagai referensi atau perkembangan
pengetahuan.

Hormat Kami,

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................ i


Daftar Isi ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Tujuan dan Manfaat .................................................................................. 1
BAB II ISI
2.1. Skenario ................................................................................................... 2
2.2. Step 1 Identifikasi Istilah .............................................................................
2.3. Step 2 Identifikasi Masalah..........................................................................
2.4. Step 3 Analisis Masalah ...............................................................................
2.5. Step 4 Kerangka Konsep ..............................................................................
2.6. Step 5 Learning Objective............................................................................
2.7. Step 6 Belajar Mandiri.................................................................................
2.8. Step 7 Sintesis ............................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan ..............................................................................................
3.2. Saran ........................................................................................................
Daftar Pustaka .................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk hidup selalu bernapas untuk memenuhi kebutuhan


oksigen. Bernapas merupakan suatu proses pengambilan oksigen dari lingkungan dan
pengeluaran karbondioksida dari dalam tubuh dimana yang menjalankan fungsi
tersebut yaitu sistem respirasi. Saluran pernapasan yang merupakan bagian sistem
respirasi ini selalu berhubungan dengan dunia luar sehingga sistem ini rentan untuk
berhubungan dengan partikel asing, substansi-substansi yang mungkin dapat merugikan
bagi tubuh kita seperti mikroorganisme patogen maupun lainnya.
Sistem respirasi kita memiliki pertahanan alami untuk menjaga agar udara yang
masuk tetap bersih sampai ke paru, misalnya melalui refleks bersin dan batuk jika benda
asing masuk ke saluran pernapasan, hingga pengeluaran mukus oleh sel goblet di lapisan
mukosa saluran pernapasan untuk mengeluarkan benda asing. Begitu juga kerja silia
untuk membersihkan benda asing dengan mendorongnya keluar.
Namun ada kalanya sistem pertahanan tubuh tidak mampu mengatasi serangan dari
bakteri, virus, maupun benda asing lainnya, sehingga bisa menyebabkan penyakit baik
itu peradangan maupun infeksi pada saluran pernapasan yang mana sampai saat ini
masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi
mahasiswa kedokteran untuk mempelajari dan memahami penyakit-penyakit tersebut.

1.2 Tujuan dan Manfaat


Tujuan dan manfaat dari modul ini adalah :
Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana dari
berbagai penyakit berikut yaitu Infeksi saluran pernapasan meliputi pneumonia,
bronchitis, bronkiolitis, serta abses paru.

1
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

SKENARIO

Demam Tingi dan Sesak

Iqbal (20 thn) datang berobat ke Puskesmas karena batuk berdahak, yang dialami
sejak 2 hari yang lalu disertai dengan demam dan sulit bernapas. Sebelumnya Iqbal
mengunjungi temannya di Rumah Sakit yang sedang dirawat karena sesak napas. Selain itu
beberapa hari terakhir ini Iqbal kurang tidur karena belajar sampai larut untuk persiapan
ujian akhir semester. Hasil pemeriksaan fisik, keadaan umm tampak sakit berat, sesak napas
disertai batuk, T : 110/80 mmHg, N : 100 x/menit, RR : 32 x/menit, Suhu : 40,1 0C.

Karena tampak sakit berat akhirnya dokter puskesmas merujuk Iqbal ke Rumah Sakit.

2.1 Identifikasi Istilah

1. Sakit berat : Keaadaan tubuh yang tidak normal yang dapat mengganggu kualitas
hidup manusia, perlu penanganan cepat. Keadaan ini dapat bersifat objektif maupun
subjektif.
2. Batuk berdahak : reflex membersihkan saluran pernapasan. Mukus yang
dihasilkan secara berlebih ini adalah tanda tubuh mengalami infeksi

2.2 Identifikasi Masalah

1. Apakah ada hubungannya keluhan Iqbal dengan riwayatnya menjenguk teman yang
sedang sakit di Rumah Sakit?
2. Apa hubungan Iqbal yang kurang tidur dengan keluhannya?
3. Bagaimana mekanisme terjadinya batuk berdahak, demam, dan sesak napas?
4. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik Iqbal?
5. Tata laksana apa yang harus dilakukan?
6. Mengapa Iqbal dirujuk ke Rumah Sakit?
7. Pemeriksaan penunjang apa saja yang harus dilakukan?
8. Apa diagnosis sementara dari keluhan Iqbal?

2.3 Analisis Masalah

2
1. Keluhan yang dialami Iqbal dengan temannya ada yang mirip yaitu sesak napas,
kemungkinan Iqbal tertular temannya yang kini dirawat.
2. Kurang tidur karena mempersiapkan ujian adalah salah satu faktor stress, hal ini akan
menyebabkan penururan sekresi hormone kortisol yang berefek pada penurunan sel
B dan sel T yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh atau imunitas seseorang.
Hal ini dapat menyebabkan seseorang lebih mudah terkena atau tertular penyakit.
3. – Demam : tanda tubuh mengalami infeksi.
Mikroba/Agen Infeksi  Inflamasi  melepas pyrogen endogen  Asam
Arakidonat  Prostaglandin  Peningkatan set point  Peningkatan produksi
panas dan penurunan pengeluaran panas  Demam
- Sesak : respon terhadap masuknya agen infeksi dan atau penurunan perfusi, dapat
diakibatkan oleh sumbatan jalan napas, perubahan fungsi paru, penumpukan sel
radang, dan penurunan daya elastisitas paru.
- Batuk berdahak : refleks pertahanan tubuh, dahak diakibatkan oleh peningkatan
produksi mukus yang disebabkan agen infeksi.
Mekanisme batuk :
Inspirasi penuh  penutupan epiglotis dan pita suara  kontraksi otot abdomen
 peningkatan tekanan paru-paru  epiglotis dan pita suara terbuka secara
mendadak  batuk
4. Interpretasi :
- Tekanan darah : 110/80 mmHg (Normal)
- Nadi : 100 bpm (Normal)  60-100 bpm
- Respiratory rate : 32 x/menit (Meningkat)  12-20 x/menit
- Suhu : 40,10C (Meningkat)  36,50C - 37,50C’
5. Tata laksana yang harus dilakukan :
a. Selamatkan / bersihkan jalan napas
b. Berikan oksigen/ventilator
c. Obati sesuai causa
6. Indikasi rujuk ke rumah sakit :
- Terlihat sakit berat
- Fasilitas kurang
- Suspek pasien penyakit paru
- Untuk pemeriksaan penunjang
- Jika suspek pneumonia :
3
o Usia lanjut
o Ada komorbiditas
o Gangguan kesadaran
o Sesak napas
o Pernapasan cepat (>30 x/menit)
o Gangguan kesadaran
o Bradikardi atau takikardi
o Shock
7. Pemeriksaan yang harus dilakukan :
a. Anamnesis
i. Usia
ii. Keluhan utama
iii. Keluhan penyerta
iv. Riwayat pasien
b. Pemeriksaan fisik
i. Inspeksi : simetris atau tidaknya gerakan napas, kelainan pada
bentuk dada, dll.
ii. Palpasi : simetris atau tidaknya gerakan napas
iii. Perkusi : menilai apakah terdapat bunyi yang tidak
normal yang menandakan terdapatnya cairan, dll.
iv. Auskultasi : stridor, wheezing, ronkhi, dll
c. Pemeriksaan penunjang
i. Pemeriksaan darah rutin
ii. Uji sputum
iii. Foto thorax
8. ISPA, Bronkhitis, Pneumonia

4
2.4 Strukturisasi Konsep

5
2.5 Learning Objective

1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang patomekanisme batuk


2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang patomekanisme sesak
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang ISPA
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang :
A.Definisi
B.Etiologi
C.Patogonesis
D.Manifestasi Kinis
E.Diagnosis
F.Tata laksana
G.Komplikasi
H.prognosis
5. Pencegahan Penularan Penyakit infeksi saluran nafas

2.6 Belajar Mandiri


Mahasiswa melakukan belajar mandiri dari berbagai macam sumber bacaan dan dapat
dipertanggungjawabkan dari tanggal 5 September sampai 7 September 2017.

2.7 Sintesis

1. Pneumonia

 PENGERTIAN PNEUMONIA
Pneumonia adalah keradangan parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan sel
radang, dengan/atau tanpa infiltrasi sel radang ke dalam dinding alveol dan rongga
intestisium.

 ETIOLOGI PNEUMONIA
Sebagian besar disebabkan oleh infeksi, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh bahan-
bahan lain, sehingga dikenal :
a. Pneumonia lipid
Oleh karena aspirasi minyak mineral
b. Pneumonia Kimiawi (Chemical pneumonitis)
Inhalasi bahan-bahan organik dan anorganik atau uap kimia seperti berillium.

6
c. Extrinsic allergic alveolitis
Inhalasi bahan debu yang mengandung allergen, seperti spora aktinomisetes termofilik
yang terdapat pada ampas tebu di pabrik gula.
d. Pneumonia karena obat
Nitrofurantoin, busulfan, metotreksat
e. Pneumonia karena radiasi
f. Pneumonia dengan penyebab tak jelas;
Desquamative interstitial pneumonia, eosinofilic pneumonia

Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi dapat dilihat pada table berikut ini

Group Penyebab Tipe Pneumonia


Bakteri - Streptokokus pneumonia Pneumonia Bakterial
- Streptokokus piogenesis
- Stafilokokus aureus
- Klebsiela pneumonia
- Eserkia koli
- Yersinia pestis
- “Legionnaires” bacillus Legionnaires disease
Aktinomisetes - A. Israeli Aktinomikosis pulmonal
- Nokardia asteroides Nokardiosis pulmonal
Fungi - Kokidiodes imitis Kokidioidomikosis
- Histoplasma kapsulatum Histoplasmosis
- Blastomises dermatitidis Blastomikosis
- Aspergilus Aspergilosis
- fikomisetes Mukormikosis
Riketsia Koksiela burnetti Q fever
Klamidia Klamidia psittaci Psitakosis
Ornitosis
Mikoplasma Mikoplasma pneumonia Pneumonia mikoplasma
Virus - Influenza virus Pneumonia viral
- Respiratory syncytial

7
adenovirus
Protozoa Pneumositisis karinii Pneumonia pneumositisis
(pneumonia plasma sel)

A. Pneumonia Pneumokok

 DEFINISI
Pneumonia pneumokok disebabkan oleh steptokokus pneumonia dimana merupakan
suatu infeksi paru akut yang dapat berupa pneumonia lobaris atau bronkopnemonia.
Dimana Timbulnya beberapa hari setelah penderita mengalami infeksi saluran
pernapasan bagian atas. Penderita-penderita dengan hipogamaglonulinemia atau multiple
myeloma peka terhadap infeksi ini, begitu juga pada peminum alkohol.
 PATOGENESIS
Kuman yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveol menyebabkan reaksi
radang berupa sembab seluruh alveol yang terkena disusul dengan infiltrasi sel-sel
radang. Sebagai awal pertahanan tubuh, terjadi fagositosis kuman penyakit oleh sel-sel
radang melalui proses psedopodi sitoplasmik yang mengelilingi dan memakan bakteri.
Pada waktu terjadi proses infeksi, akan tampak empat zona pada daerah keradangan
tersebut yaitu:
1. Zona luar
Alveol yang terisi kuman Pneumokok dan cairan sembuh
2. Zona permulaan konsolidasi
Terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah
3. Zona Konsolidasi yang luas
Daerah terjadinya fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak
4. Zona resolusi
Daerah terjadinya resolusi dengan banyak bakteri yang mati, lekosit dan makrofag
alveolar.
Hepatisasi merah : Merupakan daerah perifer yaitu terdapatnya sembab dan pendarahan.
Hepasitasis kelabu: Merupakan daerah konsolidasi luas.
 MANIFESTASI KLINIS
Gejala bersifat akut, penderita merasa badannya panas dingin disertai menggigil dan
disusul dengan peningkatan panas badan 400C. panas badan meninggi pada pagi dan sore
hari, atau mempunyai variasi diural.
Batuk-batuk terdapat pada 75% penderita, batuk disertai dahak berwarna merah
coklat (sputa ruva), kadang-kadang berwarna hijau dan purulent. Dapat pula batuk
disertai darah yang bervariasi dari sedikit sampai banyak. Nyeri dada atau nyeri pleuritik
dirasakan waktu menarik napas dalam (pleuritic pain).Gejala lain yang sering

8
dikeluhkan ialah myalgia terutama didaerah lengan, tungkai dan herpes labialis dijumpai
pada 10% pertama.

 DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi, penderita tampak sangat sakit, berkeringat, panas tinggi dan
menggigil. Oleh karena nyeri dada, maka penderita berusaha memfiksir hemitoraks yang
sakit, gerakan napas pada bagian yang sakit tertinggal. Pada palpasi didapatkan fremitus
raba meningkat disisi yang sakit. Perkusi di daerah sakit didapatkan redup dan auskultasi
didapatkan sura napas bronkial, ronki basah halus, bronkofoni, whispherred
pectoriloquoy. Kadang-kadang terdengar bising gesek pleura.

Laboratorium

Pada pemeriksaan sputum didapatkan banyak sel PMN diplokokus gram positif yang
berbentuk lancet. Jumlah lekosit meningkat 10.000-30.000/mm3. Hitung jenis shift to the
left dan LED selalu tinggi. Bilirubin direct dan indirect naik oleh karena pemecahan sel
darah merah yang terkumpul dalam alveoli dan disfungsi hepar karena hipoksia.

Radiologis

Terdapat bayangan kesuraman yang homogen pada satu lobus atau lebih.

 TATALAKSANA
Obat pilihan penisilin dengan dosis 300.000-600.000 U dalam bentuk penisilin-
prokain diberikan 1-2 kali setiap hari selama 7-10 hari atau 300.000 U aqueous sodium
penisilin 2-4 kali sehari. Penisilin peroral dalam bentuk tablet atau kapsul dapat
diberikan dengan dosis 4 dd 250 mg. Dapat juga dipakai eritromisin, kloramfenikol,
tetrasiklin, linkomisin, sefalotin.
Oksigen dapat diberikan melalui kateter nasal atau masker pada penderita dengan
sianosis. Observasi tekanan darah, respirasi dan denyut jantung perlu dilakukan terus
menerus karena hipotensi merupakan tanda hipoksia berat bakterimia.

B. Pneumonia Streptokok

 DEFINISI
Kuman penyebab pneumonia streptokok adalah streptokokus beta hemolitik group A
(streptokokus piogenesis). Insiden pneumonia yang disebabkan oleh streptokokus dan

9
penyulit bakteriemia yang timbul karena pneumonia streptokok menurun setelah
pemakaian penisilin. Banyak dijumpai kematian karena pneumonia streptokok dan
umumnya mengenai kelompok umur tertentu yaitu orang muda, usia lanjut dan pada
kelompok anak debil.

 MANIFESTASI KLINIS
Pneumonia streptokok timbul mendadak, disertai menggigil, panas badan meningkat
dan batuk yang banyak mengeluarkan dahak. Pada penderita pneumonia streptokok
sering dijumpai batuk darah (hemoptoe) serta nyeri dada.

 DIAGNOSIS
Radiologis
Pada pemeriksaan radiologis terdapat gambaran satu atau dua fokus pneumonitis.

Laboratorium
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan leukosit yang meningkat dengan jumlah
PMN matur dan immatur yang lebih banyak dari normal. Diperlukan pengecatan gram
pada sputum guna memperoleh:
- Kokus gram positif
- Sel PMN
- Leukosit
Untuk menentukan pemberian antibiotika yang tepat perlu dilakukan kultur sputum dan
uji kepekaan kuman.

 TATALAKSANA
Penisilin prokain G adalah obat pilihan dengan dosis 600.0000 U 2 kali/hari, tetapi
bila penyebab penyakit suatu kuman anaerob Streptokokus yang resisten, maka
dibutuhkan 3-6 juta per hari. Sedangkan obat pilihan untuk kuman ini adalah
klindamisin. Dapat juga dipakai sefaloporin generasi 1 dan linkomisin. Bila kuman
penyebab adalah grup B, C, atau G, maka perlu dilakukan studi in vitro.

C. Penumonia Stafilokok

 DEFINISI

10
Peradangan paru-paru yang disebabkan oleh bakteri Stafilokokus. Pneumonia jenis ini
biasanya menyerang pada :
1. Bayi dan anak-anak dibawah umur dua tahun.
2. Penderita yang pernah mengalami operasi sebelumnya dan sering terjadi infeksi pada
kulit karena stafilokok.
3. Penderita dengan penyakit paru kronis seperti tuberculosis, kanker, kistik fibrosis
yang menglami infeksi (nosocomial hospital acquired infection).
4. Penderita yang mengalami infeksi virus influenza.

 PATOGENESIS
Stafilokok aureus merupakan penyebab utama pneumonia stafilokok bronkogenik.
Pneumonia stafilokok sering menyerang bayi, penderita yang mendapat antibiotika
jangka lama, serta pada penderita yang mendapat kortikosteroid jangka lama. Sering pula
dijumpai sebagai suatu infeksi nosocomial dirumah sakit bersamaan dengan klebsiela,
pseudaomona dan Eserisia koli.
Melalui aliran darah akan terjadi penyebaran sekunder ke organ lain sehingga dapat
terjadi endokarditis dan bakteriemia, infeksi stafilokuk areus sering menyebabka
kerusakan jaringan dan abses. Kerusakan jaringan atau destruksi parenkim paru
merupakan keadaan rawan untuk terjadi pneumotoraks spontan, pio-pneumotoraks.
Sedangkan kerusakan jaringan dan abses paru bila sembuh akan menimbulkan kista
paru.

 MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala yang timbul akibat pneumonia stafilokok tidak mendadak, terutama pada
penderita yang berada diluar rumah sakit, dan terjadi setelah penderita mengalami
infeksi virus influenza.
2. Panas badan tidak konstan, dirasakan naik turun dan timbul di luar serangan.
3. Penderita menrasakan nyeri pleuritik, menggigil, batuk yang produktif dengan dahak
yang pirulen atau blood streak. Pada sebagian kecil penderita terdapat batuk darah.
4. Pada penderita rawat inap. Infeksi sekunder oleh stafilokok biasanya timbul
mendadak. Gejala yang menonjol adalah panas badan, menggigil, sesak napas dan
sianosis. Dapat pula disertai nyeri dada yang ringan.
5. Pada pemerisaan fisik didapatkan penderita tampak sakit keras, takipneu, takikardi.
Keluhan nyeri dada bersifat setempat atau nyeri bertambah bila bernapas dalam.
Ronki basah halus yang disertai satu atau lebih daerah yang redup dan kadang-
kadang terdengar bisik gesek pleura. Pada kasus-kasus yang berat dapat dijumpai
sianosis

 DIAGNOSIS
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan penderita tampak sakit keras, takipneu, takikardi.
Keluhan nyeri dada bersifat setempat atau nyeri bertambah bila bernapas dalam. Ronki

11
basah halus yang disertai satu atau lebih daerah yang redup dan kadang-kadang
terdengar bising gesek pleura. Pada kasus-kasus yang berat dapat dijumpai sianosis

Laboratorium

 Pengecatan gram
Pengecatan gram pada dahak diperlukan guna melihat sel lekosit PMN, kokus
intraseluler dan ekstraselular.
 Kultur Sputum
Pada kultur kuman dengan media agar darah, bila ada Stafilokok hemolitik akan
terlihat yellow pigmented colonies dalam 24 jam.
 Kultur darah
Pemeriksaan kultur darah sering kali negatif. Pada bayi, insiden bakteriemia tinggi
dan pada pemeriksaan darah tampak lekosit meningkat dengan PMN yang dominan.
Bila lekosit meningkat sampai 20.000/mm3 pertanda prognosis jelek.

Radiologis

Gambaran radiologis pada foto thorax PA yang khas ialah terdapat konsolidasi pada
lobus, lobules atau segmen dari satu atau lebih lobus paru. Terlihat patchy infiltrate
sehingga menyerupai bronkopneumonia. Pada foto thorax, mungkin disertai gambaran
yang menunjukkan ada cairan di pleura atau fisura interlober.

Terlihat pula single atau multiple radiolucencies pada daerah terdapatnya infiltrate.
Pada bayi sering terjadi pneumotocele dan pada orang dewasa sering terjadi abses, tetapi
dengan pengobatan yang cepat dan tepat keduanya dapat menghilang secara spontan.

 TATALAKSANA
Mortalitas yang disebabkan oleh pneumonia Stafilokok kira-kira 15-50% dan
besarnya mortalitas ini tergantung pada:
1. Virulensi kuman penyebab
2. Daya tahan tubuh
3. Berat ringan penyakit dasar
Lebih dari 50% kasus pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau non
hospitalization acquired pneumonia resisten dengan penisilin G. oleh karena itu dosis

12
penisilin G yang dianjurkan 3,6-20 juta U per hari diberikan secara i.m. atau i.v. Bila
telah resisten terhadap penisilin dapat diberi:
- Kloksasilin: 4-8 gram/hari
- Linkomisin: 2,4 – 2,8 g/hari i.v
- Klindamisin: 1,2 g/hari
- Vankomisin: 2,3 gram/24jam
- Kanamisin: 1,5-2 gr/hari
- Basitrasin

D. Pneumonia Klebsiela

 DEFINISI
Pneumonia yan di sebabkan kuman klebsiela yang berbentuk batang, polimorfik,
berkapsul, gram negative dan tumbuh cepat pada media biasa secara aerobik yang
ditemuan pada tahun 1882 oleh friedlander. Pada tahun 1886 escheric juga menemukan
aerogenes yang sifat antigennya sama dengan kuman yang dijumpai oleh Friedlander
sehingga kuman tersebut digolongkan dalam group klebsiela aerobakter.

 MANIFESTASI KLINIS
Klebsiela pneumonia merupakan 2% dari keseluruhan penderita pneumonia bakteri
yang dirawat dirumahsakit. Biasanya timbul mendadak dan disertai panas, batuk-batuk
dan nyeri dada. Pada sebagian kecil penderita menunjukkan batuk produktif dengan riak
yang kental, seperti gelatin dan berwarna merah . kebanyakan penderita mengeluarkan
riak kental berwarna hijau, pirulen dan kadang-kadang dengan bercak darah atau dengan
batuk darah profus.

 DIAGNOSIS
Pemeriksaan Fisik
Penderita tampak sakit, disertai sesak berat, takipneu, sianosis dan hipotensi. Disertai
tanda-tanda dari konsolidasi.

Laboratorium
Pada pengecatan gram ditemukan PMN dan kokus gram negatif. Jumlah leukosit
bervariasi umumnya normal. Predileksi pneumonia Klebsiela pada lobus bawah dan
segmen posterior dari lobus atas.

13
Radiologis
Tampak adanya konsolidasi massif pada paru dengan fisura interlobaris yang
cembung kea rah lobus yang sehat. Hampir 25-50% kasus terdapat satu atau lebih abses
yang tidak tampak dengan jelas pada pemeriksaan fisik atau radiologis.

 TATALAKSANA
- Harus diberikan dengan segera dan secara intensif, karena keterlambatan pengobatan
dapat meningkat mortalitas sampai 20%
- Pada percobaan in vitro ternyata Klebsiela peka terhadap:
o Streptomisin, dengan dosis 2 g/hari
o Tetrasiklin dan kloramfenikol dengan dosis yang sama yaitu 2 g/hari
- Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosid merupakan terapi utama pada
pneumonia Klebsiela
- Bila ada hipoksia berikan oksigen
- Bila ada anemi: koreksi anemi
- Keluhan sesak napas akibat sekret yang kental dan penyempitan saluran napas dapat
dikurangi dengan mengencerkan dahak serta pemberian bronkodilator.

 PROGNOSIS

Dengan pengobatan, sebagian tipe dari pneumonia karena bakteri dapat diobati dalam
satu sampai dua minggu.Pneumonia karena virus mungkin berakhir lama, pneumonia karena
mycoplasma memerlukan empat sampai lima minggu untuk memutuskan sama sekali. Hasil
akhir dari episode pneumonia tergantung dari bagaimana seseorang sakit, kapan dia di
diagnosa pertama kalinya.

2. ISPbA (Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut)

 DEFINISI

ISPbA adalah radang akut pada saluran pernapasan bawah yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, parasit, maupun riketsia ataupun sebab lain
misal lipid, senyawa kimiawi, obat-obatan, ataupun sebab lain yang belum diketahui

14
(idiopatik) yang onsetnya tidak lebih dari 2 minggu. Pada laporan ini, penulis membahas
ISPbA yang meliputi bronkitis, bronkiolitis, dan abses paru.

 ETIOLOGI

Untuk etiologi dari ISPbA sendiri bermacam-macam, dan dikelompokkan sebagai berikut :

1. Virus
Grup virus orthomyxovirus (sub grup virus influenza tipe A, B, C), grup virus
paramyxovirus (sub grup virus para influenza tipe 1 – 4), grup virus metamyxovirus (sub
grup Respiratory Syncytial Virus (RSV)), grup virus adenovirus tipe 1 – 31, grup virus
picornavirus (sub grup rhinovirus tipe 1 – 55, sub grup coxsackie virus A tipe 1 -21, sub
grup coxsackie virus B tipe 1 – 6, sub grup echovirus), dan grup virus coronavirus.

2. Bakteri
Dari genus Streptococcus (penyebab tersering), Staphylococcus, Pneumococcus,
Haemophyllus, Bordetelia, Corynebacterium.
3. Jamur
Pathogen : histoplamosis, blastomikosis, dan kriptokokosis
Oportunistik : aspergilus, mukomikosis, kandida
4. Parasit : Pneumonia carinii
5. Di luar mikroorganisme : lipid, senyawa kimiawi, fisik, obat-obatan, dan idiopatik

 FAKTOR RISIKO

Faktor resiko untuk terjadinya ISPbA dapat terjadi baik dari faktor host, agent,
maupun environment. Dan dijabarkan sebagai berikut :

1. Host

Banyak dari faktor host yang berperan dalam terjadinya penyakit ISPbA. Umur bisa
mempengaruhi terjadinya ISPbA, dimana umur yang sering terserang penyakit ini adalah
usia balita dan lansia, hal ini dikarenakan pada lansia imunitasnya sudah menurun,
sedangkan pada balita imunitasnya belum terbentuk sempurna sehingga memudahkan dari
transmisi penyakit ISPbA. Selain itu faktor nutrisi juga mempengaruhi, orang yang
mengalami malnutrisi rentan untuk terkena ISPbA dikarenakan pada kondisi malnutrisi,
imunitas seseorang juga menurun. Gaya hidup merokok dan alkoholime juga bisa
mempengaruhi terjadinya ISPbA dikarenakan asap rokok dapat menurunkan kemampuan
makrofag untuk memfagosit bakteri dan alkohol menurunkan mobilitas dari sel makrofag
sehingga mempermudah terjadinya infeksi.

15
Selain itu, terdapat pula faktor dari saluran pernapasan sendiri. Infeksi
mikroorganisme akan lebih mudah terjadi pada seseorang yang epitel mukosanya telah rusak
akibat infeksi terdahulu. Selain itu bisa juga dikarenakan tidak adanya silia yang menggiring
benda asing keluar ataupun silianya tidak dapat bergerak (sindroma imotil). Dan juga
terjadinya defisiensi IgA dapat mempengaruhi dimana IgA merupakan antibodi yang
terdapat dalam saluran napas sehingga ketiadaan IgA akan mempermudah dari infeksi
mikroorganisme penyebab ISPbA.

2. Agent

Faktor dari agent yaitu faktor mutasi dan juga oportunistik. Dari faktor mutasi
sendiri dapat terjadi dikarenakan mikroorganisme tertentu yang seharusnya tidak menyerang
manusia, misalnya virus avian influenza (flu burung) telah mengalami mutasi sedemikian
rupa sehingga dapat menginfeksi manusia. Dan faktor oportunistik maksudnya adalah
terdapatnya flora normal di tempat yang tidak seharusnya yang bisa disebabkan oleh banyak
faktor sehingga flora normal tersebut menginfeksi saluran pernapasan. Contohnya adalah
bakteri S. Aureus yang merupakan flora normal kulit, namun karena kondisi tertentu malah
masuk ke dalam saluran pernapasan bagian distal dan menyebabkan infeksi.

3. Environment

Faktor dari environment (lingkungan) yang berpengaruh pada terjadinya ISPbA


antara lain lingkungan yang terdapat banyak polusi seperti kandungan gas SO2 dalam
konsentrasi yang besar akan mempermudah terjadinya ISPbA yang disebabkan oleh aspirasi
dan bahan kimia. Selain itu, orang yang tinggal dalam lingkungan orang merokok dan
perokok itu sendiri dapat menurunkan pertahanan tubuh melalui degenerasi epitel dan silia
ataupun dapat juga mengakibatkan ISPbA oleh sebab aspiasi dan bahan kimia. Faktor
lingkungan lain yang berpengaruh pada terjadinya ISPbA adalah kamar yang pengap dan
banyak terdapat orang di dalamnya misalnya pada asrama atau panti jompo. Karena
berdasarkan dari panduan depkes RI, kamar yang ideal minimal seluas 8 m 2 dan ditempati
oleh 1 orang, terkecuali anak di bawah 5 tahun dapat ditempati oleh 2 orang. Dikarenakan
jika ruangan tidak ideal, maka orang akan kesulitan dalam mendapatkan suplai oksigen dan
hasil metabolisme manusia juga mengeluarkan panas yang dapat meningkatkan kelembaban
dalam ruangan dan mikroorganisme kebanyakan menyukai tempat yang memiliki
kelembaban tinggi.

 PATOGENESIS

Untuk patogenesis pada ISPbA sama dengan uraian patogenesis pada pneumonia.

 TATALAKSANA ISPbA

Pada pengobatan ISPbA, perlu diberikan antibiotik yang memiliki sifat bakterisid sedini
mungkin. Dan juga perlu diketahui terlebih dahulu penyebabnya dan apakah
mikroorganisme yang ada dalam tubuh pasien telah mengalami resistensi atau tidak. Oleh

16
karena itu, pemeriksaan laboratorium dari sputum dan biakan bakteri penting untuk
menentukan kausa dan pengobatan yang tepat.

Dari segi biaya, pengobatan untuk ISPbA yang cukup efektif adalah amoksilin dan
kotrikmosazol. Amoksilin dapat diperkuat dengan pemberian asam klavulanat, khusus untuk
mengatasi mikroorganisme yang memproduksi enzim beta-laktamase sehingga sudah
resisten terhadap amoksilin. Dapat pula diberikan pengobatan dengan menggunakan obat
golongan cefalosporin, aminoglikosida, ataupun kuinolon (khususnya ofloksasin dan
levofloksasin yang memiliki afinitas tinggi terhadap jaringan paru. Terhadap
mikroorganisme yang bersifat anaerob, dapat diberikan metronidazol atau klindamisin.

Untuk terapi suportif, dapat diberikan oksigen dengan dosis sebaiknya disesuaikan
dengan hasil analisa gas darah. Bila analisa gas darah tidak memungkinkan, dosis untuk
oksigen yang diberikan adalah 2 liter/menit. Perlu juga diperhatikan untuk pemberian diet
(diet sebaiknya tinggi kalori dan protein), dan juga untuk mengatasi dehidrasi dapat
diberikan cairan intravena. Untuk penanganan awal, dapat diberika terapi simtomatik yaitu
pemberian antipiretik untuk mengatasi demam dan pemberian antitusif (ekspektoran) untuk
mengatasi batuk.

A. Bronkitis Akut

 DEFINISI
Bronkitis akut merupakan peradangan akut membran mukosa bronkus yang disebabkan
oleh infeksi mikroorganisme. Penyakit ini sering melibatkan trakea sehingga lebih tepat jika
disebut trakeobronkitis akut.

 ETIOLOGI
Penyebab yang paling sering adalah virus seperti virus influenza, parainfluenza,
adenovirus, sera rhinovirus. Bakteri yang sering menjadi penyebab adalah Mycoplasma
pneumonia, tetapi biasanya bukan merupakan infeksi primer. Penyakit ini biasanya sembuh
dengan sendirinya, namun jika dilatarbelakangi oleh penyakit kronik seperti emfisema,
bronchitis kronik, serta bronkiektasis, infeksi bakteri ini harus mendapat perhatian khusus.

 MANIFESTASI KLINIS
Biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan bagian atas seperti hidung
buntu (stuffy), pilek (runny nose) dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan
sampai berat, biasanya dimulai dengan batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat
mengganggu di waktu malam, udara dingin, banyak bicara, napas dalam, serta tertawa akan

17
merangsang terjadinya batuk. Pasien akan mengeluh ada nyeri retrosternal dan rasa gatal
pada kulit. Setelah beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang banyak, dapat bersifat
mukus tetapi dapat juga mukopurulen.

 DIAGNOSIS
Anamnesis
Biasanya pasien bronkitis yang termasuk infeksi saluran pernafasan diduga dengan
adanya batuk, karena banyaknya penyakit infeksi saluran pernafasan bawah yang
mengalami batuk. Penegakkan diagnosis pada bronkitis perlu dipertimbangkan.

Pemeriksaan fisik
Sesak napas hanya terjadi jika terdapat penyakit kronik kardiopulmonal. Pada
pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan keadaan normal, dan kadang-kadang terdengar
suara wheezing di beberapa tempat, ronki dapat terdengar jika produksi sputum
meningkat.

Pemeriksaan penunjang
 Foto thoraks menunjukkan gambaran normal.
 Analisis darah lengkap tidak banyak membantu, karena selalu berbeda-beda. Tetapi
kadar procalcitonin sangat membantu diagnosis untuk infeksi yang disebabkan
bakteri dengan kadar lebih dari atau sama dengan 0,25 mcgL pada pasien yang tidak
berada di ruang ICU dan lebih dari 0.5 mcg/L pada pasien di ruang ICU. Jika kadar
ini ditemukan maka dapat inisiasi terapi dengan antibiotik.
 Spirometri mungkin berguna untuk pasien yang memiliki bronkospasme yang
signifikan, yakni dengan adanya penurunan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
(FEV1). Ini umumnya kembali normal dalam 4-6 minggu.

 TATALAKSANA
Biasanya simtomatik, yaitu tirah baring, menghindari udara dingin dan kering. Kadang-
kadang inhalasi uap air akan sangat membantu. Pada pasien yang menderita batuk yang
sangat mengganggu, dapat diberikan obat batuk yang mengandung kodein atau

18
dekstrometorfan. Antibiotik hanya diberikan jika terdapat infeksi sekunder bacterial atau
pada PPOK.
Kebanyakan kasus bronchitis pada seseorang sangat sulit ditegakkan sehingga
penyebabnya tidak spesifik. Oleh karena itu, berdasarkan etiologinya yang sebagian besar
disebabkan oleh virus, maka virus sebagai asumsi penyebab bronchitis.

Viral
 Influenza virus (khususnya dengan demam, mengigil, sakit kepala, batuk, dan mialgia)
o Oseltamivir 75 mg PO 2 kali sehari selama 5 hari atau
o Zanamivir (10 mg) 2 kali inhalasi sehari selama 5 hari
 Dosis ini digunakan pada parainfluenza virus, respiratory syncytial virus, coronavirus,
adenovirus dan rhinovirus)

Bordetella pertussis (periode inkubasi 1-3 minggu, kadang ada demam, diduga jika batuk
terus menerus selama >2 minggu)
 Lini pertama adalah golongan makrolida:
o Azithromycin 500 mg PO pada hari pertama, kemudian 250 mg PO setiap 24 jam
pada hari 2-5 atau
o Erythromycin 500 mg PO 4 kali sehari selama 14 hari atau
o Clarithromycin 500 mg PO 2 kali sehari selama for 7 hari
 Lini kedua:
o Trimethoprim-sulfamethoxazole (160 mg/800 mg) PO dua kali sehari selama 14 hari

Mycoplasma pneumoniae
 Azithromycin 500 mg PO pada hari pertama kemudian 250 mg pada hari 2-5 atau
 Doxycycline 100 mg PO 2 kali sehari selama 5 hari atau
 Pertimbangkan golongan quinolon jika ada resistensi makrolida

Chlamydophila pneumoniae (periode inkubasi 3 minggu, onset bertahap dari tenggorokan


kering sebelum batuk)
 Azithromycin 500 mg PO pada hari pertama kemudian 250 mg pada hari 2-5 atau
 Doxycycline 100 mg PO 2 kali sehari salama 5 hari atau
 Hanya terapi suportif.

19
B. Bronkiolitis

 DEFINISI
Inflamasi bronkus kecil dan bronkiolus disebut bronkiolitis. Biasa bronkiolitis terjadi
pada anak-anak sebagai akibat infeksi virus. Tetapi tidak jarang bronkiolitis terjadi pada
orang dewasa. Jika pada akhirnya terjadi proses pembentukan jaringan parut, penyakit
ini disebut sebagai Bronkiolitis Obliterans.

 ETIOLOGI

Bronkiolitis tidak hanya disebabkan oleh infeksi, penyebab lainnya adalah

- Inhalasi gas toksik, karbon tetraklorida, asam klorida, gas klorin, amonia dan sulfur
dioksida;
- Infeksi virus yaitu respiratori sinsitial virus, adenovirus, rhinovirus, virus parainfluenza,
dan Mycoplasma pneumoniae ;
- Penyakit jaringan ikat; dan
- Faktor idiopatik

 MANIFESTASI KLINIS

Gejala utamanya adalah sesak napas, takipnea yang tidak proporsional dengan gejala
lainnya yang timbul. Penderita akan mengalami demam seperti influenza selama 4-10 hari.
Penyakit ini akan berkembang menjadi organizing pneumonia, yaitu perubahan eksudat
intraalveolar menjadi massa fibromiksoid yang berisi fibroblas dan sel-sel peradangan
kronik. Gambaran foto paru pada bronkiolitis bervariasi; mulai dari normal, hiperinflasi, dan
kadang-kadang tampak adanya infiltrat difus. Pada pemeriksaan fungsi paru akan ditemukan
kapasitas vital ↓, FEV1↓ dan hipoksemia.

C. ABSES PARU

 DEFINISI
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang
terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus/nekrotik debris) dalam
parenkim paru pada satu lobus atau lebih yang disebabkan oleh infeksi mikroba.

20
 ETIOLOGI

Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, yaitu :

 Kelompok bakteri anaerob merupakan etiologi terbanyak abses paru (bisa mencapai
89%) terutama pada orang immunocompetent dan biasanya diakibatkan oleh pneumonia
aspirasi.
- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
- Bacillus intermedius
- Prevotella melaninogenica
- Fusobacterium nucleatum
- Microaerophilic streptococcus
- Clostridium perfringens
- Clostridium barati
Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85-100% dari spesimen yang
didapat melalui aspirasi transtrakheal.

 Kelompok bakteri aerob, predominan pada orang dengan immunocompromised :


Gram positif : sekunder oleh sebab lain aspirasi
- Staphylococcus aureus
- Streptococcus microaerophilic
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumonia
- Streptococcus viridans
- Streptococcus milleri

Gram negatif : biasanya merupakan sebab nosokomial


- Klebsiella pneumonia
- Pseudomonas aeruginosa
- Escherichia coli
- Haemophilus Influenza
- Actinomyces Species

21
- Nocardia Species
- Gram negatif bacilli

Pada beberapa pasien, oragnisme aerobik dengan virulensi kuat seperti Fusobacterium
Nucleatum atau Peptostreptococcus species bisa ditemukan sebagai satu-satunya
organisme.

 Kelompok non bakteri dan bakteri atipik, biasanya dijumpai pada orang dengan
immunocompromised
- Jamur : histoplasma, coccidiodes, blastomyces, mucoraceae, aspergilus species,
cryptococcus, zygomycetes, pneumocystitis
- Parasit : paragonimus westermani, entamuba histolitytica, echinococcus
- Mikobakterium tuberkulosis dan non tuberkulosis

 PATOGENESIS

Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru seperti daya
tahan tubuh dan tipe dari mikroorganisme patogen penyebab. Terjadinya abses paru
biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan penyebaran secara hematogen. Yang paling
sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi,
stasis sekresi, benda asing, tumor dan striktur bronkial.

Dimulainya gangguan akibat aspirasi paru (lung insult) bisa disebabkan oleh injuri
langsung bahan kimia dari asam lambung yang teraspirasi, atau pada daerah obstruksi yang
disebabkan oleh unsur lain, seperti makanan, yang akan disusul dengan infeksi sekunder
oleh bakteri dan terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan terjadinya infeksi
pada daerah distal obstruksi tersebut. Bila bakteri yang masuk banyak/virulen atau
mekanisme pertahanan seperti mukosilier dan makrofag alveolar memungkinkan, infeksi
dapat terjadi tanpa didahului oleh lung insult.

Abses akibat aspirasi ini banyak terjadi pada pasien bronkitis kronis karena banyaknya
mukus pada saluran napas bawahnya yang merupakan media kultur yang sangat baik bagi
organisme yang teraspirasi. Nekrosis jaringan dengan pembentukan abses paru
membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah terjadinya aspirasi. Abses akibat aspirasi paling
sering terjadi pada segmen posterior lobus atas kanan disusul dengan lobus atas kiri dan
segmen apikal/superior lobus bawah kanan atau kiri. Abses paru sering terjadi pada paru
kanan, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri, walaupun posisi tubuh saat

22
aspirasi juga menentukan letak abses. Pada perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa
merupakan dasar untuk terjadinya abses paru. Pada pasien berumur lebih dari 50 tahun, 50%
abses paru ada hubungannya dengan keganasan paru akibat terjadinya obstruksi saluran
napas.

Penyebaran secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubuhnya
seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk
abses multipel dan biasanya disebabkan oleh kelompok Stafilokokus. Penanganan abses
yang multipel dan kecil-kecil lebih sulit daripada abses tunggal walaupun ukurannya besar.
Secara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa milimeter sampai dengan lima
sentimeter atau lebih.

Selain itu abses paru biasanya timbul setelah terjadi peradangan yang mengakibatkan
nekrosis jaringan dan kavitasi, terjadi akibat necrotizing pneumonia dan ganggren paru yang
menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami konsolidasi,
dengan organisme virulen sebagai penyebab, paling sering ialah Staphylococcus aureus,
Klebsiella pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya multipel dan
berukuran kecil-kecil (<2cm).

Bula atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista bronkogenik
yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur untuk tumbuhnya
mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi oleh mikroorganisme yang virulens
maka akan terjadilah abses paru.

Abses hepar bakteri atau amebik bisa mengalami ruptur dan menembus diafragma yang
akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga pleura.

Abses paru biasanya satu (tunggal), tapi bisa multipel yang biasanya unilateral pada satu
paru yang terjadi pada pasien dengan keadaan umum yang jelek atau pasien yang mengalami
penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan imunologis yang menyebabkan
daya tahan tubuh menurun, atau penggunaan sitostatika.

Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya diekspektrorasikan keluar
dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses ruptur ke
rongga pleura (bisa mencapai 1/3 kasus) sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti dengan
terjadi fistula bronkopleura.

23
 FAKTOR RISIKO

 Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi :


- Gangguan kesadaran : Alkoholisme, epilepsi/kejang sebab lain, gangguan
serebrovaskular, anestesi umum, penyakit susunan syaraf pusat, penyalahgunaan
obat intravena, koma, trauma, sepsis
- Gangguan esofagus dan saluran cerna lainnya : Gangguan motilitas
- Trakeal atau nasogastrik tube yang menghilangkan pertahanan mekanik saluran
napas
- Fistula trakeoesopageal

 Defisiensi atau stasis transpor sekresi melalui saluran napas seperti :


- Kartagener’s syndrome
- Disfagi
 Sebab-sebab iatrogenik
 Penyakit-penyakit periodontal
 Kebersihan mulut yang buruk
 Pencabutan gigi
 Pneumonia akut
 Immunosupresi
 Bronkiektasis
 Kanker paru
 Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi. Pasien HIV yang terkena
abses paru pada umumnya mempunyai status immunocompromised yang sangat jelek
(kadar CD4 <50/mm3), dan kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi paru.

 MANIFESTASI KLINIS

Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut. Disebut abses akut bila
terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan
penyakit 1-3 minggu dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan,
penurunan berat badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai
menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4ºC atau lebih. Tidak ada demam tidak

24
menyingkirkan adanya abses paru. Setelah beberapa hari dahak bisa menjadi purulen dan
bisa mengandung darah.

Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses tersebut
menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum purulen dalam beberapa jam sampai
dengan beberapa hari yang bisa mengandung jaringan paru yang mengalami ganggren.
Sputum yang berbau amis berwarna anchovy menunjukkan penyebabnya bakteri anaerob
dan disebut dengn putrid abscesses. Tetapi tidak didapatkannya sputum dengan ciri di atas
tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Bila terdapat nyeri dada menunjukkan
keterlibatan pleura. Batuk bisa dijumpai, biasanyan ringan tetapi ada yang masif.

Pada beberapa kasus penyakit berjalan sangat akut dengan mengeluarkan sputum yang
berjumlah banyak dengan lokasi abses biasanya di segmen apikal lobus atas. Seringkali
ditemukan adanya faktor predisposisi seperti disebutkan di atas. Sedangkan abses paru
sekunder seperti yang disebabkan oleh septik emboli paru dengan infark, abses sudah timbul
hanya dalam waktu 2-3 hari. Pasien abses paru akibat komplikasi dari infeksi subdiafragma
(abses hati amuba, pancreatic phlegmon), bisa disertai dengan gejala abdomen selain gejala
di paru. Kejang-kejang yang disebabkan oleh abses otak kadang-kadang bisa dijumpai akibat
bakteremia dari abses paru.

 DIAGNOSIS

Anamnesis

Anamnesis pasien abses paru akan kita dapatkan batuk yang mengeluarkan banyak
sputum mengandung jaringan paru yang mengalami ganggren. Sputum biasanya berbau
amis dan berwarna anchovy (putrid abcesses) yang disebabkan bakteri anaerob. Selain
itu bisa didapatkan keluhan nyeri dada dan batuk darah ringan sampai dengan masif.

Pemeriksaan Fisik

Ditemukan demam sampai dengan 40ºC. Pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri
tekan lokal pada dada, pada lesi yang disertai konsolidasi bisa dijumpai penurunan suara
napas, perkusi redup, suara napas bronkial atau ronki. Bila abses luas dan letaknya dekat
dengan dinding dada kadang-kadang terdengar suara amforik. Suara napas bronkial atau
amforik terjadi bila kavitasnya besar dan karena bronkus masih tetap dalam keadaan
terbuka disertai oleh adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik.

25
Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks (empiema
torakis) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding dada tertinggal
pada tempat lesi, fremitus vokal menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi napas
menghilang dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama pendorongan
jantung ke arah kontra lateral tempat lesi. Pada abses paru bisa dijumpai jari tabuh, yang
proses terjadinya berlangsung cepat.

Laboratorium

Hitung leukosit tinggi berkisar 10.000-30.000/mm3 dengan hitung jenis bergeser


ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama neutrofil yang immatur. Bila
abses berlangsung lama sering ditemukan adanya anemia dan peningkatan LED.
Pemeriksaan dahak dapat membantu dalam menemukan mikroorganisme penyebab
abses, namun dahak tersebut hendaknya diperoleh dari aspirasi transtrakeal, transtorakal,
torakosintesis atau bilasan/sikatan bronkus, karena dahak yang dibatukkan akan
terkontaminasi dengan organisme anaerobik normal pada rongga mulut dan saluran
napas atas. Prosedur invasif ini tidak biasa dilakukan, kecuali bila respons terhadap
antibiotika tidak adekuat.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dari dahak adalah pewarnaan langsung


dengan teknik gram, biakan mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, Nokardia, basil
mikobakterium tuberkulosis dan mikobakterium lain. Penting ditekankan di sini
penggunaan pengecatan Gram untuk mendiagnosis infeksi paru karena kuman anaerob
karena biakan sering tidak dapat menemukan organisme tersebut, dan penting
diperhatikan material yang dikirim untuk biakan hendaknya didapatkan sebelum
pemberian antibiotika dan hendaknya ditempatkan dalam kondisi anaerob sebelum
dikirim ke laboratorium.

Komponen infeksi oleh kuman anaerob tetap dipertimbangkan dalam


penatalaksanaan walaupun kita hanya menemukan kuman aerob. Dahak bisa
mengandung Spirochaeta, Fusiform bacilli atau sejumlah besar bakteri baik yang
patogen maupun flora manusia seperti Streptococcus viridan. Clostridium dapat
ditemukan dari aspirasi transtrakeal. Kultur darah dapat membantu menemukan etiologi
walaupun jarang positif, sedangkan pemeriksaan serologi juga dapat dilakukan untuk
jamur dan parasit.

26
Bronkoskopi

Bronkoskopi dengan biopsi sikatan yang terlindung dan bilasan bronkus merupakan
cara diagnostik yang paling baik dengan akurasi diagnostik bakteriologi melebihi 80%.
Cara ini hendaknya dilakukan pada pasien AIDS sebelum dimulai pengobatan karena
banyaknya kuman yang terlibat dan sulit diprediksi secara klinis.

Selain itu 10-25% dari penyebab abses paru pada orang dewasa adalah karsinoma
bronkogenik, dan 60% di antaranya dapat didiagnosa dengan memakai bronkoskopi.

Aspirasi Jarum Perkutan

Cara ini mempunyai akurasi tinggi untuk diagnosis bakteriologis, dengan spesifisitas
melebihi aspirasi transtrakeal.

Radiologi

Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan bentuk
abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan gambaran
opak dari satu atau lebih segmen paru, atau hanya berupa gambaran densitas homogen
yang berbentuk bulat. Kemudian akan ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan
infiltrat yang padat. Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga terjadi
drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka baru akan tampak kavitas
irregular dengan dinding tebal dikelilingi oleh infiltrat/konsolidasi dan sering ditemukan
gambaran batas cairan dan permukaan udara (air fluid level) di dalamnya. Gambaran
spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakukan foto dada PA dengan posisi
berdiri.

Lokasi terbanyak terdapat di segmen superior lobus bawah atau segmen posterior
lobus atas, sedangkan segmen basilar lobus bawah sering dijumpai pada pasien yang
mengalami aspirasi pada posisi berdiri. Khas pada abses paru anaerobik kavitasnya
tunggal (soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru primer, sedangkan abses
paru sekunder (aerobik, nosokomial atau hematogen) lesinya bisa multipel. Sepertiga
kasus abses paru bisa disertai dengan empiema. Empiema yang terlokalisir dan disertai
dengan fistula bronkopleura akan sulit dibedakan dengan gambaran abses paru. Untuk
suatu gambaran abses paru simpel, noduler dan disertai limfadenopati hilus maka harus
dipikirkan sebabnya adalah suatu keganasan paru.

27
CT Scan bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi endobronkial,
dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan kavitasi sentral. CT
Scan juga bisa menunjukkan lokasi abses berada dalam parenkim paru dan
membedakannya dari infark paru atau empiema.

Lesi-lesi yang bisa mengakibatkan terjadinya abses paru bakteri meliputi


karsinoma bronkogenik dengan kavitas, bronkiektasis, empiema sekunder dari fistula
bronkopleura, tuberkulosis paru, cocciodomycosis dan infeksi jamur pada paru, bula
atau kista udara yang mengalami infeksi, perlunakan/skuesterisasi paru, nodul silikat
dengan sianosis sentral, abses hepar atau subfrenik akibat amuba atau hidatid yang
menembus ke bronkus dan Wagener’s granulomatosis. Pemeriksaan diagnostik secara
seksama seperti yang disebutkan di atas harus dilakukan untuk membedakannya dari
abses paru biasa (simpel). Klinisi harus tetap waspada bahwa kavitas paru yang ada
bukan suatu abses paru.

 TATALAKSANA

Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari patogen
penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat dari empiema dan
pencegahan komplikasi yang terjadi.

Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup. Bila abses paru pada foto dada
menunjukkan diameter 4 cm atau lebih sebaiknya pasien dirawat inap. Posisi berbaring
pasien hendaknya miring dengan paru yang terkena abses berada di atas supaya gravitasi
drainase lebih baik. Bila segmen superior lobus bawah yang terkena, maka hendaknya
bagian atas tubuh pasien /kepala berada di bagian terbawah (posisi trendelenberg). Diet
biasanya bubur biasa dengan tinggi kalori tinggi protein. Bila abses telah mengalami resolusi
dapat diberikan nasi biasa.

Penyembuhan sempurna abses paru tergantung dari pengobatan antibiotika yang adekuat
dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel dahak dan darah diambil untuk kultur
dan tes sensitivitas. Kebanyakan kasus abses paru yang disebabkan bakteri anaerob
kumannya tidak dapat ditentukan dengan pasti, sehingga pengobatan diberikan secara
empirik. Kebanyakan pasien terutama dengan abses yang kecil dan kondisi umum baik

28
mengalami perbaikan hanya dengan antibiotika dan postural drainage, sedangkan kira-kira
10% harus dilakukan tindakan operatif.

Antibiotika yang paling baik adalah klindamisin oleh karena mempunyai spektrum yang
lebih baik pada bakteri anaerob. Respon perbaikan didapatkan dengan klindamisin yang
diberikan mula-mula dengan dosis 3 x 600 mg intravena sampai dengan terjadi perbaikan,
kemudian 4 x 300 mg oral/hari atau diberikan amoksisilin asam klavulanat 2 x 875 mg.
Regimen alternatif adalah penisilin G 2-10 juta unit/hari, ada yang memberikan sampai
dengan 25 juta unit atau lebih/hari dikombinasikan dengan streptomisin, kemudian
dilanjutkan dengan penisilin oral 4 x 500-750 mg/hari.

Antibiotika parenteral diganti ke oral bila pasien tidak panas lagi dan merasa sudah
baikan yaitu dengan memberikan klindamisin 300-600 mg 3x/hari atau flagyl 3 x 500
mg/hari. Kombinasi penisilin (amoksisilin 500 mg 3x/hari atau penisilin G, 1-2 juta unit 4-
6x/hari, bisa sampai dengan 12-18 juta unit/hari) dan metronidazol 2 gram/hari dengan dosis
terbagi, 500 mg oral atau intravena tiap 2-3x/hari (untuk penyebab bakteri anaerob) yang
diberikan selama 10 hari dikatakan sama efektifnya dengan klindamisin, walaupun begitu
harus diingat bahwa beberapa bakteri anaerob (15-25%), seperti Prevotella, Bakteriodes
Spp. dan Fusobacterium karena memproduksi penisilinase dan beta-laktamase, resisten
terhadap penisilin. Kombinasi β-laktam dan β-laktamase inhibitor seperti tikarkilin
klavulanat, amoksisilin + asam klavulanat atau piperasilin + tazobaktam juga aktif terhadap
kebanyakan bakteri anaerob dan pada kebanyakan strain basil gram negatif.

Pengobatan alternatif dapat diberikan carbapenem atau quinolone yang aktif terhadap
kuman anaerob (moxifloxacine). Pengobatan kombinasi di atas biasanya digunakan pada
pasien dengan sakit yang serius dan pasien abses paru nosokomial. Dosis pengobatan
tunggal metronidazol (Flagyl) diberikan dengan dosis 15 mg/kgBB intravena dalam waktu
lebih dari 1 jam, kemudian diikuti 6 jam kemudian dengan infus 7,5 mg/kgBB 3-4x/hari,
tetapi pengobatan tunggal dengan metronidazol ini tidak dianjurkan karena beberapa
anaerobic cocci dan kebanyakan microaerophilic streptococci sudah resisten sehingga
didapatkan kegagalan pengobatan mencapai 50%.

Pengobatan terhadap penyebab patogen aerobik kebanyakan dipakai klindamisin +


penisilin atau klindamisin + sefalosporin. Cefoksitin (Mefoxin) 3-4 x 2 gram/hari intravena
yang merupakan generasi kedua sefalosporin, aktif terhadap bakteri gram positif, gram

29
negatif resisten penisilinase dan bakteri anaerob, diberikan bila abses paru tersebut diduga
disebabkan oleh infeksi polimikroba.

Kemudian antibiotika diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas. Abses paru yang
disebabkan stafilokokus harus diobati dengan penicillinase-resistant penicilin atau
sefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk Staphylococcus aureus yang methicillin
resistant seperti yang disebabkan oleh emboli paru septik nosokomial, pilihannya adalah
vankomisin. Abses paru yang disebabkan nocardia pilihannya adalah sulfonamide 3 x 1
gram oral. Abses paru amebik diberikan metronidazole 3 x 750 mg, sedangkan bila
penyakitnya serius seperti terjadi ruptur dari abses harus ditambahkan emetin parenteral
pada 5 hari pertama.

Antibiotika diberikan sampai dengan pneumonitis telang mengalami resolusi dan


kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi sisa yang kecil dan stabil dalam waktu lebih dari 2-3
minggu. Resolusi sempurna biasanya membutuhkan waktu pengobatan 6-10 minggu dengan
pemberian antibiotika oral sebagai pasien rawat jalan walaupun pada beberapa studi
menunjukkan klindamisin efektif dengan pengobatan 3 minggu. Pemberian antibiotika yang
kurang dari waktu ini sering menyebabkan kekambuhan dengan melibatkan organisme yang
resisten terhadap antibiotika yang diberikan sebelumnya.

Perbaikan klinis berupa berkurang atau hilangnya demam tercapai dalam 3-4 sampai
dengan 7-10 hari. Bakteremia yang resisten atau panas tinggi yang menetap lebih dari 72
jam atau tidak didapatkan perubahan produksi dan karakter dahak atau perubahan gambaran
radiologis setelah 7-10 hari, menunjukkan kegagalan pengobatan. Pada kasus ini bila
diperiksa lebih lanjut akan ditemukan adanya obstruksi bronkus oleh benda asing,
neoplasma atau disebabkan infeksi bakteri yang resisten, mikobakteria, parasit atau jamur.
Respons yang lambat atau tidak respons sama sekali juga bisa dijumpai pada beberapa
keadaan yaitu kavitas yang besar (lebih dari 6 cm), keadaan umum pasien yang jelek, seleksi
antimikroba yang salah, diagnosa salah, ada empiema, abses yang memerlukan drainase,
komplikasi pada organ yang jauh seperti abses otak dan demam obat.

Bronkoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penaganan abses paru seperti
pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi, pengeluaran benda asing
dan untuk melebarkan striktur. Di samping itu dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi
dan pengosongan abses yang tidak mengalami drainase yang adekuat, serta dapat
diberikannya larutan antibiotika melewati bronkus langsung ke lokasi abses.

30
Drainase dengan tindakan operasi jarang diperlukan namun tindakan ini merupakan
prosedur yang aman pada pasien-pasien yang gagal dengan pengobatan antibiotika jangka
pendek apalagi bila kavitasnya besar, obstruksi saluran napas yang menghambat drainase
yang dijumpai bila ada tumor atau benda asing. Tindakan ini merupakan tindakan kuratif
dengan risiko dan komplikasi yang minimal serta bisa mencegah berkurangnya fungsi
parenkim paru dan kontaminasi pada rongga pleura.

Pada era preantibiotika 45% pasien memerlukan tindakan operasi, namun pada era
antibiotika sekarang tindakan operasi hanya diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus

Indikasi operasi adalah sebagai berikut :

 Abses paru yang tidak mengalami perbaikan


 Komplikasi : empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura.
 Pengobatan penyakit yang mendasari : karsinoma obstruksi primer/metastasis,
pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesopageal, malformasi
atau kelainan kongenital.
 Infark paru, nekrosis masif (ganggren paru) atau infeksi yang berkembang cepat dan
progresif.
Abses paru yang berkembang cepat antara lain yang terjadi pada pasien
immunocompromised dengan etiologi seperti mucoraceae membutuhkan reseksi paru
dengan segera disamping pemberian antibiotika. Reseksi paru juga diindikasikan pada abses
paru yang responnya minimal dengan antibiotika, abses paru dengan ukuran yang besar
(kavitas >8 cm), infark paru, neoplasma obstruksi dan perdarahan masif. Lobektomi
merupakan prosedur yang paling sering, sedangkan reseksi segmental biasanya cukup untuk
lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses multipel atau ganggren paru
yang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan. Angka mortalitas setelah
pneumoektomi mencapai 5-10%.
Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat dilakukan
drainase perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah kebocoran isi abses ke dalam
rongga pleura.

 PENCEGAHAN

Perhatian khusus ditujukan kepada kebersihan mulut. Kebersihan mulut yang jelek dan
penyakit-penyakit periodontal bisa menyebabkan kolonisasi bakteri patogen orofaring yang

31
akan menyebabkan infeksi saluran napas sampai dengan abses paru. Setiap infeksi paru akut
harus segera diobati sebaik mungkin terutama bila sebelumnya diduga ada faktor yang
memudahkan terjadinya aspirasi seperti pasien manula yang dirawat di rumah, batuk yang
disertai muntah, adanya benda asing, kesadaran yang menurun dan pasien yang memakai
ventilasi mekanik. Malahan untuk pasien dengan kesanggupan yang berkurang dalam
melindungi saluran napas dari aspirasi masif (batuk, reflek muntah) dipertimbangkan untuk
pemakaian intubasi dini. Menghindari pemakaian anestesi umum pada tonsilektomi,
pencabutan abses gigi dan operasi sinus paranasal akan menurunkan insiden abses paru.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Infeksi Saluran Pernapasan Akut terdiri dari saluran pernapasan atas akut dan
saluran pernapasan bawah akut yang bisa disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan
benda asing yang teraspirasi. Pada mulanya terjadi reaksi radang yang menyebabkan
dampak pada sistem pernapasan, seperti terjadi hipersekresi mukus, batuk, bahkan
bisa sesak jika saluran napas yang merupakan jalan masuk udara terganggu, serta
bisa disertai demam tergantung pada mikroba penyebab.

ISPA bawah yang kami bahas di topik kali ini pneumoni, bronkitis,
bronkiolitis dan abses paru. Pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis
adalah dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang baik itu
pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan radiologi. Tatalaksana yang
diberikan menggunakan terapi suportif dan kausal, pemberian antibiotik disesuaikan
dengan bakteri penyebab gangguan tersebut.

3.2 Saran

32
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok, maupun penulisan laporan, untuk itu kami mengharapkan kritik
dan saran dari dosen-dosen dan rekan-rekan angkatan 2015 serta berbagai pihak.
Semoga laporan ini dapat membawa manfaat bagi para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.
Darmanto Djojodibroto,R. 2014. Respirologi . Jakarta : EGC

dr.Halim Danusantoso, S. (2012). Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: EGC.

Buku Medicine Respiro


Medscape.(2017, 9 Februari). Bronchitis Workup.Diperoleh 8 September 2017, dari
http://emedicine.medscape.com/article/297108-workup#showall

Medscape.(2017, 9 Januari). Bronchitis Organism-Specific Therapy.Diperoleh 8


September 2017, dari http://emedicine.medscape.com/article/2012633-overview

33

Anda mungkin juga menyukai