Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN SKENARIO 3

MODUL GANGGUAN SISTEM RESPIRASI


Diberikan Pada
Pengelola Modul Gangguan Sistem Respirasi
Tahun Ajaran 2019/2020

Oleh : Tutor 13

Andreia Stephanie Sinta 18011101023


Oktovianus The 18011101084
Iftitah Magfira Puteri Sonda 18011101101
Cynthia Laurent Mangindali 18011101108
Elna Datulande Sattu Rante 18011101053
Lafenia Monica Maun 18011101050
Komang Bram Krisna Nendra 18011101059
Steven Millenio Widjaja 18011101138
Alviolita Priskila Rondonuwu 18011101112
Rafi Hasan Herlambang 18011101119
Putri Fabiola Soetiman 18011101103

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami
dapat menyelesaikan laporan tutorial skenario 3 yang berhubungan dengan
Gangguan Sistem Respirasi.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bisa
memberikan manfaat bagi para pembaca. Kami sadar laporan ini masih memiliki
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritikan yang membangun guna kesempurnaan laporan
kami selanjutnya.

Dalam penulisan laporan ini kami mendapat banyak bantuan dari tutor dr.
Dina V. Rombot, MKes kami seluruh tutor 13 mengucapkan banyak terimakasih
karena berkat beliau laporan ini dapat kami selesaikan dengan baik. Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua dosen pakar dan sejawat yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan laporan ini. Terima kasih.

Manado, 17 September 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………….......3

BAB I PENDAHULUAN……………………………………….………..…………....4

1.1 Latar Belakang……………………………………………….…….……...4


1.2 Tujuan……………………………………………………………………..4
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………….......5

2.1 Kasus………………………………………………………….………….5
2.2 Kata Sulit………………………………………………………………...6
2.3 Kata Kunci……………………………………………………………….6
2.4 Masalah Dasar…………………………………………………………...6
2.5 Analisis Pertanyaan………………………………………………….......6
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………..35

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………...35

3.2 Saran…………………………………………………………….............35

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...36

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Modul Gangguan Respirasi merupakan modul ketiga di semester tiga


mahasiswa Program Studi Pendikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi. Modul ini mempelajari tentang ilmu dasar dan klinik yaitu Fisiologi,
Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Penyakit Dalam dan Ilmu Kesehatan Anak
sebagai dasar dalam mengetahui dan memahami patogenesis/patofisiologi dari
penyakit akibat gangguan pada sistem respirasi sesuai dengan SKDI 2012.

Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial skenario pertama sebagai bahan


pembelajaran agar mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan
mengidentifikasi Modul Gangguan Respirasi secara lebih baik dan mandiri.

1.2 Tujuan
1. Mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan definisi, penyebab,
patomekanisme, prosedur diagnosis dan penatalaksanaan serta prognosis
penyakit/kelainan yang berhubungan dengan skenario.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Skenario/Trigger
Perempuan 24 tahun datang ke UGD Puskesmas rawat inap dengan
keluhan batuk bercampur darah merah segar dan berbuih. Selama 1 bulan terakhir,
perempuan tersebut mengeluh batuk berdahak, disertai keringat malam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Tekanan darah : 120/70 mmHG, Heart Rate 82x/menit, Respirasi Rate : 20x/menit
Keadaan umum : sedang; kesadaran : compos mentis
Mata : conjungtiva anemis -/-
Paru : suara nafas vesikuler, rhonki kasar pada apex paru kanan, wheezing -/-
Cor : S1 dan S2 normal, mur-mur -, gallop-
Abdomen : datar, lemas, hepar/ lien tidak teraba, bising usus +, extremitas hangat,
edema -/-
Hasil pemeriksaan laboratorium :
Darah:
Hb : 10gr/dl
WBC : 7600/mm³
Trombosit : 236.000/mm³
LED : 90 mm/jam
SGOT : 23µ/L
SGPT : 32 µ/L
Ureum : 30 mg/dL
Creatinin : 0,8 mg/dL
Na : 135 mEq/L
K : 3,75 mEq/L
Cl : 103 mEq/L

5
2.2 Kata Sulit
1. Napas vesikuler : suara napas bernada rendah, terdengar lebih
Panjang pada fase inspirasi daripada ekspirasi dan kedua fase
sambung
2. Rhonki kasar : bunyi gaduh dalam yang terdengar selama ekspirasi
3. Gallop : getaran yang bernada rendah uang terjadi pada awal
diastole. Terdengar lemah dan bergemuruh
2.3 Kata Kunci
1. Perempuan 24 tahun
2. Keluhan batuk bercampur darah merah
3. 1 bulan terakhir, perempuan tersebut mengeluh batuk berdahak
disertai keringat malam
4. Pemeriksaan fisik terlampir
2.4 Masalah Dasar
“perempuan 24 tahun dating dengan keluhan batuk bercampur darah
selama satu bulan, dan berkeringat malam”

2.5 Analisis Pertanyaan

1. Anamnesis dari kasus ini adalah?


Pertanyaan Dasar

1. Nama
2. Umur
3. Pekerjaan
4. Alamat

Riwayat Penyakit Sekarang


1. Keluhannya apa?
2. Sudah dari kapan?
3. Apakah ada keluhan batuk ≥ 2 minggu disertai keringat
malam yang berlangsung lama?
4. Apakah nafsu makan menurun?

6
5. Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun tanpa
penyebab yang jelas ?
6. Demam subfebris yang berkepanjangan, terutama jika
berlanjut 2 minggu
7. Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila,
inguinal, atau tempat lain
8. Keluhan repsiratoris berupa batuk kronis lebih dari 3
minggu atau nyeri dada
9. Adakah keluhan gastrointestinal, seperti diare persisten
yang tidak sembuh dengan pengobatan baku

Riwayat Penyakit Dahulu


1. Sudah pernah sakit seperti ini sebelumnya? Kalau ya
bagaimana kelanjutannya?
2. Apakah keluarga atau lingkungan tempat tinggal juga ada
yang terkena TB paru ?
3. Apakah ada alergi obat?

2. Apa pemeriksaan fisik pada kasus ini?

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas


kelainan struktur paru. Apabila dilakukan pemeriksaan pada awal
perkembangan penyakit biasanya sulit atau tidak ditemukan kelainan..
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan kelainan dengan mendengarkan suara
nafas dengan menggunakan stetoskop, ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,dan pada tanda lain
adalah penarikan paru, diafragma & mediastinum(Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia,2006).

7
1. Apa pemeriksaan penunjang pada kasus ini?

Pemeriksaan Penunjang (PP) Pada Kasus (TB Paru)

a. Tuberculin Skin Test (TST)

Ket: Tuberculin skin test. Sumber: G Knobloch, G Benenson, PHIL


CDC, 2004.
Tes ini merupakan metode standar dalam menentukan
apakah seseorang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.
Konversi TST biasanya terjadi 3-6 minggu setelah paparan
terhadap kuman TB. Sekitar 20% pasien-pasien dengan TB aktif,
khususnya pada penyakit yang sudah berlanjut, memiliki hasil TST
yang normal.
Pembacaan hasil TST dilakukan antara 48 dan 72 jam
setelah dimasukkan 0,1 ml suntikan tuberkulin PPD secara
intradermal. Suntikan yang benar akan menimbulkan gelembung
kulit kecil pucat berdiameter 6-10 mm. Reaksi terhadap suntikan
akan teraba mengeras, atau membengkak, disebut sebagai indurasi
yang diukur diameternya dalam milimeter ke arah aksis
longitudinal pada lengan bawah bagian ventral. Eritema tidak ikut
diukur sebagai indurasi.
Uji TST positif jika indurasi ≥10 mm, meragukan dan perlu
diulang dalam jarak waktu minimal 2 minggu jika indurasi 5-9
mm, negatif jika indurasi <5 mm.
Beberapa orang dapat bereaksi terhadap TST meski mereka
tidak terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, hal ini disebut
reaksi false-positif. Penyebab reaksi false positif di antaranya
adalah:

8
1. Infeksi dengan Mycobacteria non-tuberkulosis

2. Riwayat vaksinasi BCG sebelumnya

3. Cara penyuntikan TST yang tidak benar

4. Intepretasi yang tidak benar terhadap reaksi TST

5. Antigen yang digunakan tidak benar.

b. Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik yaitu untuk menemukan kuman


tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan ini dapat diambil
dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan
biopsi.
Umumnya, sampel yang digunakan adalah dahak karena
lebih mudah untuk diambil. Dahak dapat diambil dengan cara
setiap pagi selama 3 hari berturut-turut.
Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah:

1. Apabila didapatkan 2 kali positif, dan 1 kali negatif →


dianggap basil tahan asam (BTA) positif

2. Apabila didapatkan 1 kali positif, dan 2 kali negatif → BTA


diulangi 3 kali, kemudian bila 1 kali positif, dan 2 kali negatif
maka dianggap BTA positif. Namun apabila 3 kali negatif maka
dianggap BTA negatif.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dapat


dibedakan menjadi TB paru BTA positif dan BTA negatif.

Yang dimaksud TB paru BTA positif adalah:

9
1. Apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
menunjukkan hasil BTA positif

2. Apabila hasil satu pemeriksaan spesimen dahak menunjukkan


BTA positif dan pemeriksaan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif

3. Apabila hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan


BTA positif dan hasil biakan positif.

Yang dimaksud TB paru BTA negatif adalah:

1. Apabila hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan hasil


negatif , namun gambaran klinis dan radiologik menunjukkan TB
paru aktif, dan tatalaksana dengan antibiotik sprektum luas tidak
berespon

2. Apabila hasil pemeriksaan dahak 3 kali negatif, namun biakan


positif.

Ket: Gambaran mikroskopis Mycobacterium tuberculosis. Sumber:


anonim, PHIL CDC.

c. Foto Toraks

10
Foto toraks dapat dilakukan dalam posisi lateral,
posteroanterior, dan lordotik apikal. Gambaran yang mungkin
didapatkan di antaranya adalah:

1. Kavitas, menandakan infeksi yang sudah berlanjut dan


diasosiasikan dengan adanya jumlah kuman TB yang tinggi

2. Infiltrat non-kalsifikasi berbentuk bulat, ini mesti


dibedakan dengan karsinoma paru

3. Nodul-nodul kalsifikasi yang homogenus, ukuran 5-20


mm, seperti tuberkuloma menunjukkan infeksi lama

Pasien dengan hasil foto toraks seperti diatas dan memiliki


gambaran klinis TB paru yang khas sudah dapat dikatakan terkena
TB paru walaupun tanpa dilakukan pemeriksaan sputum.
Sebaliknya, bila gambaran rontgen dada normal, tidak
menyingkirkan TB terutama pada pasien dengan kekebalan tubuh
menurun.

d. Interferon-Gamma Release Assay (IGRA)

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk skrining infeksi TB


laten. Konversi interferon-gamma release assay (IGRA) yang
positif merupakan cerminan reaksi hipersensitivitas yang lambat
terhadap protein Mycobacterium tuberculosis.
Meski tes IGRA lebih mahal, memerlukan teknik lab yang
lebih canggih, dan prosesnya lebih rumit, namun tes ini lebih
menguntungkan dibandingkan TST, karena pasien hanya perlu
sekali berkunjung ke tempat pemeriksaan. Selain itu, tes juga
dilakukan secara ex vivo, tidak ada efek booster setelah
pemeriksaan, dan tidak bergantung pada riwayat vaksinasi BCG.
Namun, perlu diingat bahwa baik TST atau IGRA tidak
cukup sensitif untuk menyingkirkan seorang pasien terkena TB.

11
Pada bayi dan orang dengan imunosupresif kedua tes ini
hendaknya diintepretasikan dengan hati-hati.

e. Pemeriksaan Penunjang Lainnya:

1. Tes Resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

2. Gene Xpert MTB/RIF Assay

3. DNA Sequencing

4. Pemeriksaan Serologi

5. Pemeriksaan Darah Tepi, LED, Urine dan Feses: rutin


sebagai pelengkap data, namun tidak berperan penting
dalam diagnostik TB

4. Apa diagnosis pada kasus ini?

Diagnosis Tuberculosis paru (TB) dikenal mulai dari keluhan-


keluhan klinik, gejala-gejala, kelainan fisik, kelainan radiologik sampai
kelainan mikrobiologik.
Gejala akibat TB paru adalah batuk produktif yang
berkepanjangan (>3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis. Gejala
sistemik termasuk demam, menggigil, keringat malam, kelemahan,

12
hilangnya nafsu makan, dan penurunan berat badan. Seseorang yang
dicurigai menderita TB harus dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan
fisik, tes tuberkulin Mantoux, foto toraks, dan pemeriksaan bakteriologi
atau histologi. Tes tuberkulin harus dilakukan pada semua orang yang
dicurigai menderita TB klinis aktif, namun tes tersebut dibatasi oleh
reaksi negatif palsu, khususnya pada seseorang dengan imunosupresif
misalnya TB dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Seseorang yang diperkirakan memiliki gejala TB, khususnya batuk
produktif yang lama dan hemoptisis, harus menjalankan foto toraks,
walaupun reaksi terhadap tes tuberkulin intradermalnya negatif.
Berdasarkan CDC, kasus TB diperkuat dengan kultur bakteriologi
organisme M. Tuberculosis yang positif. Diagnosis TB ditegakkan
berdasarkan terdapatnya paling sedikit 1 spesimen konfirmasi M.
Tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB atau bukti
klinik sesuai dengan TB.
Menurut ISTC diagnosis TB paru dan BTA negatif harus
berdasarkan kriteria: minimal 3 kali pemeriksaan dahak mikroskopik
hasilnya negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari), foto toraks
menunjukan gambaran TB, dan tidak ada respon terhadap pemberian
antibiotik spektrum luas. Pada pasien tersebut, kultur sputum BTA
sebaiknya dikerjakan bila fasilitas memungkinkan.
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis tersebut karena
fasilitas laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan.
Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum
secara mikroskopik biasa, sudah cukup untuk memastikan diagnosus
TB paru. Sangat penting untuk menanyakan orang yang diduga terkena
TB tentang riwayat terpajan dan infeksi TB sebelumnya. Harus
dipertimbangkan juga faktor-faktor demografi (misal negara asal, usia,
kelompok etnis atau ras) dan kondisi kesehatan (misalnya infeksi HIV)
yang memungkinkan meningkatkan risiko seseorang untuk terpajan TB.
Oleh sebab itu dalam diagnosis TB paru sebaiknya dicantumkan status
klinik, status radiologik, status mikrobiologik dan status kemoterapi.

13
5. Apa diagnosis banding pada kasus ini?
Diagnosis banding Tuberkulosis paru (TB paru) dibuat berdasarkan
gambaran klinis yang muncul. Beberapa penyakit yang bisa didiagnosis
banding dengan TB paru adalah:

1. Pneumonia
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil,
suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40ºC, batuk dengan dahak
mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas
dan nyeri dada.
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di
paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal
waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada
perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki
basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi.
2. Tumor/keganasan paru
Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak
berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif
dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan utama
dan perjalanan penyakit, serta faktor–faktor lain yang sering sangat
membantu tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa :
1. Batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih dan purulen)
2. Batuk darah
3. Sesak napas
4. Suara serak
5. Sakit dada
6. Sulit / sakit menelan
7. Benjolan di pangkal leher
3. Bronkiektasis
Bronkiektasis harus dicurigai pada setiap pasien dengan
batuk kronis dengan produksi sputum atau infeksi saluran napas
berulang. Hemoptisis, nyeri dada, penurunan berat badan,
bronkospasme, sesak napas dan penurunan kemampuan fisik juga

14
didapatkan pada pasien bronkiektasis. Sputum dapat bervariasi
mulai dari mukoid, mukopurulen, kental, dan liat. Gambaran
sputum 3 lapis yang meliputi lapisan atas yang berbusa, lapusan
tengah mukus, dan lapisan bawah purulen merupakan gambaran
patognomonik, namun tidak selalu dapat dijumpai. Batuk dengan
bercak darah dapat disebabkan erosi saluran napas terkait infeksi
akut.
4. Blastomikosis
Penyakit ini dimulai dengan timbulnya demam, menggigil dan
berkeringat banyak. Kemudian bisa disertai batuk berdahak
maupun kering, nyeri dada dankesulitan bernafas.Meskipun infeksi
paru yang terjadi pada penyakit ini biasanyamemburuk secara
perlahan, tapi kadang-kadang akan membaik tanpa pengobatan.
Gejala yang terjadi di antaranya adalah:
1. Batuk, yang mungkin menghasilkan lendir kecoklatan atau
berdarah
2. Tubuh bagian atas nyeri
3. Panas dingin
4. Demam
5. Berkeringat
6. Kelelahan
7. Masalah pernapasan
8. Pengurangan berat badan
9. Kekakuan dan nyeri sendi

6. Apa etiologi dari kasus ini?


Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ditemukan
oleh Robet Koch pada tahun 1882. Basil tuberculosis dapat hidup dan
tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam
cairan mati dalam suhu 600 C dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil
tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya
menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor terjadinya fibrosis
dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel.

Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan


pemanasan sinar matahari dan sinar ultraviolet. Ada dua macam

15
mikobakterium tuberculosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe
bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis
usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara
yang berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang rentan
terinfeksi TBC ini bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah
terinfeksi melalui udara. Bakteri juga dapat masuk ke sistem
pencernaan manusia melalui benda/bahan makanan yang terkontaminasi
oleh bakteri. Sehingga dapat menimbulkan asam lambung meningkat
dan dapat menjadikan infeksi lambung.

7. Apa komplikasi dan prognosis dari kasus ini?


Komplikasi

Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar


akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas:
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema,
laryngitis, TB usus
b. Komplikasi lanjut :obstruksi jalan nafas,
kerusakan parenkim berat (fibrosis paru), kor-
pulmonal, amiloidosis paru, sindrom gagal nafas
dewasa (ARDS), TB milier, jamur paru
(aspergillosis) dan kavitas.

Prognosis

Prognosis baik bila pengobatan dilakukan dengan


benar dan teratur serta tidak putus berobat jalan.
Prognosis buruk ditandai dengan adanya keterlibatan
ekstra pulmo.

8. Apa terapi dari kasus ini?


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis
(OAT).

16
Jenis , sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan adalah yang
tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan
pada tabel dibawah ini:

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai


berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,


dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.

17
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan


lanjutan.

Tahap intensif (awal)

1. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat.

2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,


biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu.

3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif


(konversi) dalam 2 bulan.

Tahap lanjutan

1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,


namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga


mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian


Tuberkulosis di Indonesia:

1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

18
3. Kategori Anak : 2HRZ/4HR.

4. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan


obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide,
sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and
etambutol.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan


(HRZE).

b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk


paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT
KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

c. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam
bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga


menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko


terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep.

3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian


obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

Panduan OAT lini pertama dan peruntukannya

19
a. Kategori 1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

1. Pasien baru TB paru BTA positif.

2. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.

3. Pasien TB ekstra paru.

b. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif


yang telah diobati sebelumnya:

1. Pasien kambuh.

2. Pasien gagal.

3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default).

20
Catatan :

1. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal


untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan
berat badan.

2. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan


khusus.

3. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan


menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi
4ml. (1ml = 250mg).

c. Obat Sisipan

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk


tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Pengobatan Tuberkulosis Multiple Drug Resistance (TB MDR) :

Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan


MDR adalah sebagai berikut:

21
1. Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.

2. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan


silang (cross-resistance).

3. pengunaan obat yang tidak aman.

4. Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuai


potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada
pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan
dengan kondisi program.

5. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan
lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.

6. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan


dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan
dengan jarak pemeriksaan 30 hari.

7. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap


lanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment,
dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader
kesehatan.

Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini
adalah paduan standar (standardized treatment). yaitu :

Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR


secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila :

1. Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat


penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya
resistensi terhadap etambutol.

2. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :

22
a.Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test,
kemudian hasil konfirmasi Drug Sensitive Testing (DST)
menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.

b. Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas


sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.

c.Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat
diidentifikasi penyebabnya.

d. Terjadi perburukan klinis.

Efek samping OAT dan penatalaksanaannya

Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan


pendekatan gejala.

9. Apa pathogenesis dari kasus ini?


Kuman TB mempunyai ukuran yang sangat kecil. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini

23
akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag
alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN. Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal.

Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer,


kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe
yang meradang (limfangitis). Waktu yang diperlukan sejak masuknya
kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut
sebagai masa inkubasi TB. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh cukup banyak sehingga dapat
merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi


pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya
belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan
sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB
primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif
terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih
negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh

24
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system
imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah
imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi


yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum
terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan
TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling

25
sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar
(occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau
lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi
dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang
akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang sempat terbentuk
dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap
hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut
menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi.

Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON.


Bertahuntahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus
TB ini dapat 5 mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ
terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. Bentuk penyebaran
hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal
ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara
akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
balita. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel
yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang
menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara
histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang

26
jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran
ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di
dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat
terjadi secara berulang. Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi
(terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut
Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran
limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB,
hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar
regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi
ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang
terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3
tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi
primer.

10. Apa manifestasi dari kasus ini?

27
Batuk, demam, dan dahak adalah presentasi klinis yang paling
seringi. Ada korelasi antara jumlah sel CD4 dengan meningkatkan
risiko infeksi oppurtunistic dan kematian.ii Investigasi penunjang
juga diperlukan sebelum menetapkan pengobatan yang tepat.
Infiltrasi dada adalah abnormalitas yang paling umumiiiiv. X-ray
toraks memerankan hal penting untuk diagnosis awal, karena tidak
invasif, cepat dan tidak mahalv. Bagaimana pun juga, harus
diperhatikan dalam interpretasinya karena ada risiko kesalahan.vi

Klasifikasi TBvii

Kela Tipe Deskripsi


s

0 Tanpa Tanpa riwayat


paparan TB paparan
Tidak Reaksi negatif
terinfeksi terhadapa tes
tuberkulin
1 Ada paparan Riwayat paparan
TB Reaksi negatif
Tanpa bukti terhadap tes
infeksi tuberkulin
2 Infeksi TB Reaksi positif
Tanpa terhadap tes
penyakit tuberkulin
Pemeriksaan
bakteriologi
negatif
Tanpa bukti klinis,
bakteriologi dan
radiografik
3 TB, aktif M.tuberculosis
secara klinis berhasil di kultur
dengan bukti
klinis,
bakteriologi dan
radiografik
4 TB, tidak Ada riwayat sakit

28
aktif secara TB
klinis Atau
Abnormal tapi
temuan
radiografik stabil
Reaksi positif
terhadap
tuberkulin
Pemeriksaan
bakteriologi
negatif
Dan
Tanpa bukti klinis
dan radiografik
penyakit sekarang
5 Curiga TB Pengobatan harus
dilaksanakan

11. Apa edukasi pada kasus ini?


Menurut Kemenkes RI dalam pelatihan tatalaksana TB bagi
pengelola program TB di fasilitas pelayanan kesehatan, terdapat hal-
hal penting mengenai informasi dan edukasi yang perlu diperhatikan
tentang tuberkulosis.

1. Informasi dan edukasi pada pasien TB


Pertemuan Awal
Sebelum memberikan informasi kepada pasien tentang TB,
ajukan terlebih dahulu pertanyaan untuk menjajaki pengetahuan
mereka saat ini tentang TB. Lalu gunakan alat bantu yang tersedia
seperti lembar balik untuk pasien dalam menyampaikan informasi
tentang TB.
Pesan-pesan yang perlu dikomunikasikan:
a. Penyakit TB
Ulangi pesan yang telah disampaikan pada saat pasien
datang sebagai suspek untuk memperkuat informasi tersebut.
b. TB dapat disembuhkan

29
Sampaikan kepada pasien bahwa penyakit TB dapat
disembuhkan secara tuntas bila ia menjalankan pengobatan dengan
teratur dan tidak putus berobat di tengah jalan.
c. Kesediaan pasien menjalankan pengobatan
Sebelum memberikan obat kepada pasien, sampaikan
bahwa pengobatan tidak boleh terputus. Putus berobat akan
menyebabkan kuman yang masih tersisa dalam tubuh menjadi
kebal terhadap obat yang saat ini tersedia di Indonesia dan
pengobatan tersebut mahal harganya. Obat yang saat ini diberikan
sangat berkualitas dan disediakan oleh pemerintah. Untuk itu
sebaiknya diperlukan kesungguhan pasien dalam menjalankan
pengobatan TB.
d. Bagaimana mencegah penularan TB
Pencegahan dapat dilakukan :
1. Menelan obat secara teratur dan tuntas.
2. Menutup mulut dan hidung ketika batuk atau bersin.
3. Membuka jendela atau pintu agar cahaya matahari dan
udara segar masuk kedalam rumah.
4. Tidak diperlukan diet khusus, tidak memisahkan alat
makan, dan mensterilisasi alat makan minum atau
perabot rumah tangga.
e. Kontak serumah
Semua anak yang berusia dibawah 5 tahun yang tinggal
serumah dengan pasien TB harus diperiksa, karena usia tersebut
sangat rentan terhadap berbagai penyakit. Anak-anak mungkin
membutuhkan pengobatan pencegahan atau rujukan ke dokter.
Anggota keluarga lain yang serumah yang mengalami gejala TB
harus segera diperiksa.
f. Perlunya pengawasan minum obat
Petugas kesehatan menjelaskan pentingnya pengawasaan
menelan obat bagi pasien. Jelaskan bahwa pasien menelan seluruh
obat dengan diawasi oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO),

30
untuk memastikan bahwa pasien menelan seluruh obat secara
benar, teratur dan sesuai waktu yang ditentukan.
g. Menjelaskan paduan obat
Penjelasan tentang paduan obat meliputi :
1. Lama waktu pengobatan
2. Jenis obat dan cara pemberiannya
3. Kualitas obat
4. Frekuensi kunjungan mengambil obat
5. Kemana pergi untuk mengambil obat
h. Pemeriksaan lanjutan pada akhir tahap awal
Jelaskan pada pasien untuk melihat kemajuan
pengobatan dan memastikan pasien dapat melanjutkan
pengobatan ke tahap lanjutan maka dahak perlu
diperiksa kembali.
i. Kemungkinan yang terjadi selama pengobatan
Pasien perlu tahu secara jelas apa yang mungkin terjadi
selama pengobatan TB, dan apa yang harus dilakukan
selanjutnya.
j. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada pasien
TB.

Perlu disampaikan bahwa pasien sebaiknya menjaga kesehatan


dengan hidup bersih dan sehat, misalnya :
1. Menjemur alat tidur
2. Membuka jendela dan pintu agar udara dan sinar matahari masuk.
Aliran udara dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara.
Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.
3. Makan makanan bergizi
4. Tidak merokok dan tidak minum minuman beralkohol
5. Olahraga teratur bila memungkinkan

Tahap lanjutan sepanjang pengobatan

31
Setelah pertemuan awal dengan pasien TB, lanjutkan memberikan
informasi yang tepat tentang TB pada setiap kunjungan. Selama masa
pengobatan, informasi yang perlu dikomunikasikan adalah :
1. Efek samping obat.
2. Jenis, warna kemasan, jumlah dan frekuensi obat.
3. Pentingnya kepatuhan pasien. Komunikasikan kepada pasien :
a. Kepatuhan berobat sangat penting.
b. Pasien harus menelan seluruh obat yang dianjurkan pada waktu
yang telah ditentukan agar bisa sembuh.
c. Apabila pasien merasa lebih baik, harus tetap melanjutkan
pengobatan sampai selesai.
d. Apabila pasien pindah atau berpergian harus menginformasikan
kepada petugas kesehatan atau PMO, sehingga kelangsungan
pengobatan dapat diatur lagi.
4. Pentingnya pemeriksaan dahak, frekuensi dan arti hasil pemeriksaan.

2. Informasi dan edukasi pada keluarga


Menginformasikan pesan kesehatan untuk keluarga pasien
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan di
semua sarana pelayanan kesehatan. Dukungan anggota keluarga ikut
menentukan hasil pengobatan TB. Untuk itu, keluarga juga harus diberikan
informasi tentang TB agar terus menerus mampu mendampingi pasien
selama pengobatan. Petugas kesehatan harus dapat memberikan informasi
dan edukasi kepada keluarga pasien dalam bahasa yang jelas dan tepat
mengenai penyakit, pengobatan dan efek samppingnya, tindakan atau
pemeriksaan yang akan dilakukan dan upaya pencegahan.
Peran keluarga dalam pengobatan
Setelah seseorang ditetapkan sebagai pasien TB maka keluarga
adalah orang yang paling dibutuhkan dukungannya dalam menjalankan
pengobatan. Beberapa peran keluarga dalam mendukung pengobatan
pasien TB, yaitu :

32
1. Memotivasi pasien untuk menjalani pengobatan sampai sembuh,
dengan :
a. Kenali faktor yang dapat mendukung ataupun
menghambat pengobatan bagi pasien serta membantu
mencari alternative solusinya.
b. Meyakinkan kepada pasien bahwa pengobatan yang
dijalani akan memberikan kebaikan bagi pasien
maupun keluarganya.
2. Mendampingi dan memberikan dukungan moral kepada pasien agar
dapat menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur, yaitu :
a. Memotivasi pasien untuk tetap menelan obat saat
pasien mulai bosan.
b. Memastikan pasien menelan obat dengan disaksikan
oleh keluarga.
c. Mendengarkan setiap keluhan pasien, menghiburnya
dan menumbuhkan rasa percaya diri.
d. Hal yang jangan sampai terlupa adalah beri waktu bagi
pasien untuk mengekspresikan perasaanya. Jika
dibutuhkan cari dan ikut sertakan pasien dalam
pertemuan kelompok pasien.
e. Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping
obat dan merujuk ke puskesmas.
f. Menanyakan dan memperhatikan apakah pasien
mengalami keluhan setelah menelan obat.
g. Segera merujuk pasien ke puskesmas bila ada efek
samping
h. Menenangkan pasien dan meyakinkan bahwa keluhan
yang dialami dapat ditangani.
Pesan-pesan yang harus disampaikan kepada keluarga.
Petugas kesehatan harus memberikan informasi dan edukasi
penting seputar TB dan pengobatan TB kepada keluarga mengenai

33
pentingnya dukungan keluarga bagi pasien dalam menghadapi
penyakitnya.
1. Saat kunjungan pertama setelah pasien didiagnosis TB
Pesan-pesan yang penting untuk disampaikan kepada keluarga
pasien TB adalah :
a. Penjelasan tentang TB gejala dan penyebab TB
b. TB dapat disembuhkan
c. Pengobatan TB
d. Rencana pengobatan
e. Dosis dan cara pemberian obat TB
f. Keteraturan menelan obat sampai tuntas sesuai anjuran
dokter.
g. Efek samping obat dan pastikan keluarga mengetahui kapan
dan ke mana harus mencari pertolongan.
h. Pentingnya pengawasan keteraturan menelan obat selama
pengobatan.
i. Penularan TB

2. Pencegahan penularan TB dapat berupa:


a). Menyediakan tempat pembuangan dahak agar pasien tidak
membuang dahaknya sembarangan.
b). Pentingnya pemeriksaan dahak ulang secara teratur.
c). Pentingnya pola hidup bersih dan sehat bagi pasien dan
keluarganya.
d). Hentikan kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol
pada pasien.
e). Saran untuk membersihkan rumah atau lingkungan secar teratur.
f). Olahraga bagi pasien
g). Konseling dan perbaikan gizi pasien
h). Tidak diperlukan diet khusus, mensterilisasi atau memisahkan
peralatan makan minum.

34
3. Kunjungan berikutnya selama masa pengobatan
Pada pertemuan berikutnya, apabila pasien datang bersama
keluarganya, petugas kesehatan dapat mengulang pesan-pesan
seperti pada pertemuan pertama. Meyakinkan keluarga tentang
pentingnya pengobatan sampai selesai. Jika seorang pasien tidak
datang untuk mengambil obat atau tampak tidak bersemangat,
petugas kesehatan dapat mencari tahu lewat anggota keluarga apa
yang menjadi masalah dan turut mencari solusi sesuai kebutuhan
dan kemampuan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien menderita panyakit
tuberculosis

35
3.2 Saran
Kasus bisa diberi keterangan ataupun arahan yang lebih agar
mahasiswa dapat menyelesaikan kasus sesuai dengan sasaran
pembelajaran dan tidak lari dari topik yang sudah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto, C. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 1. Jakarta: Media


Aesculapius;2014

36
2. International Standards for Tuberculosis Care:Diagnosis, Treatment,
Public Health.Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA).
2006

3. Aditama T, Soedarsono, Thabrani Z, Wirokusumo H, Sembiring H, Rai I,


dkk. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2006.

4. Australia Department of Health. Chronic respiratory conditions -


including asthma and chronic obstructive pulmonary disease (COPD).
November 2015.

5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing, 2014.
6. Price AS, Wilson LMC. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6 Vol 2. Jakarta : EGC, 2006.
7. Crofton J, Horne N, Miller F. Tuberkulosis Klinis. Edisi 2. Jakarta: Widya
Medika, 2002.
8. Hariyanto W. Bronkiektasis. Jurnal Respirasi, vol. 2, no. 2;2016.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker Paru Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. 2003
11. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2005. Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Infomedika
12. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II.
Jakarta: EGC.
13. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
14. Kemenkes RI 2012
15. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis oleh Kemeterian Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan 2011

16. Nissapatorn V, Kuppusamy I, Anuar A.K. Tuberculosis: Clinical


Manifestasions and Outcomes. Department of Parasitology: University of
Malaya Medical Center. 2003; 149. Vol 34

37
38
i
ii
iii
iv
v
vi.

vii

Anda mungkin juga menyukai