Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS BESAR

TETANUS PADA ANAK

Disusun Oleh :
dr. R.R. Dyana Wisnu Satiti
dr. Anggun Pratiwi
dr. Masribuana
dr. Nofran Firnando
dr. Zahnia
dr. Trisna Fajar

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RS MARDI WALUYO METRO
2022
KATA PENGANTAR

Pertama kami ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat-Nya sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“TETANUS PADA ANAK” tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan
laporan kasus ini adalah sebagai salah satu tugas dalam melaksanakan program
internsip dokter di Rumah Sakit Mardi Waluyo Metro.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Elisa Agustina Brenda, dr.
Huminsa Ranto Morison Panjaitan, Sp.A., dr. Herbert Erwin Yunismar, Sp.A., dr.
Antonius Janes, Sp.PA., dan yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari banyak
sekali kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun sangat kami harapkan.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk penulis,
tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.

Metro, Juli 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tetanus adalah penyakit akut yang mengenai sistem saraf, yang disebabkan
oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Ditandai dengan
kekakuan dan kejang otot rangka.1 Tetanus dapat menyerang semua orang, namun
penyakit ini banyak terjadi pada bayi baru lahir dan wanita hamil yang belum
diimunisasi dengan vaksin yang mengandung tetanus-toksoid. Tetanus selama
kehamilan disebut maternal tetanus, dan tetanus dalam 28 hari pertama kehidupan
disebut neonatal tetanus.2
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. 3 Selama 30 tahun
terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials)
mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Sekitar 76 negara, termasuk di
dalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak
memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar
3% tetanus neonatorum yang dilaporkan.4
Selama 20 tahun terakhir, insidensi tetanus telah menurun seiring dengan
peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak
memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program
imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk
perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal
imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak, misalnya akibat perang
dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih
berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program
imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi
primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun
seiring berjalannya waktu.5 Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan.
Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan
20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7 kasus/100 kelahiran hidup di perkotaan
dan 11-23 kasus/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian
tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-
9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya pada
bayi <12 bulan.6.
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab
kematian pada anak.7 Meskipun insidensi tetanus saat ini sudah menurun, namun
kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu, meskipun
angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih
belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah
diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian
mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka
kematian penderita tetanus, khususnya pada anak.8

1.2 Batasan Masalah


Case report ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis, dasar diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis tetanus serta membandingkan dengan kasus yang
ditemukan di RS Mardi Waluyo.

1.3 Tujuan Penulisan


Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis,
manifestasi klinis, dasar diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis tetanus
serta membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di RS Mardi Waluyo.

1.4 Metode Penulisan


Laporan kasus ini diulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka
yang dirujuk dari berbagai literatur.
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. RRS
Usia : 5 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Way Serdang, Mesuji
Bangsal : Isolasi Flamboyan
Tgl Masuk : 26 Juni 2022
Tgl Keluar : 03 Juli 2022

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kaku seluruh badan dan tidak bisa membuka mulut.

Riwayat Penyakit Sekarang


2 bulan lalu : Keluar cairan berwarna putih dari telinga pasien disertai demam
yang hilang timbul.
Sekarang : Kaku seluruh badan dan tidak bisa membuka mulut sejak 3 hari.
Keluhan tersebut muncul mendadak saat anak sedang aktivitas seperti biasa di
rumah. Pasien lemas karna tidak bisa makan karena tidak bisa membuka mulut.
Demam naik turun sejak 3 hari setiap demam keluar cairan berwarna putih dari
kedua telinga. Leher kaku dan miring ke kiri.

Riwayat Penyakit Dahulu


OMSK (+) 2 bulan lalu
Kejang demam (-)
Asma (-)
Alergi (-)

Riwayat penyakit Keluarga


Riwayat keluarga dengan penyakit serupa tidak diketahui
Riwayat alergi disangkal

Riwayat Personal Sosial


Sosial dan Ekonomi : Ibu pasien mengatakan anak sangat aktif dan sudah bisa
mengungkapkan keinginannya, Ayah bekerja sebagai pegawai swasta dan ibu
sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan keluarga mencukupi kebutuhan sehari-hari
dan membiayai kebutuhan rumah tangga.
Lingkungan : Menurut pengakuan orang tua pasien lingkungan rumah rumahnya
cukup bersih. Rumah pasien dilengkapi dengan jendela yang cukup, lantai terbuat
dari keramik.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Riwayat Kehamilan: Usia ibu 26 tahun, anak kedua, riwayat keguguran (-). Usia
Kehamilan: ±37 minggu, kontrol rutin di bidan puskesmas.
Keluhan selama hamil : hipertensi (-) diabetes mellitus (-) penyakit jantung (-)
asma (-)
Riwayat Persalinan: Ibu melahirkan secara normal di bidan dengan usia
kehamilan ±37 minggu. BBL 3200 gram, PB ibu pasien lupa. Keadaan bayi saat
lahir langsung menangis (+). Pemberian injeksi vitamin K dan tetes mata
antibiotik pada bayi setelah lahir tidak diketahui.

Riwayat Imunisasi
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
HR : 110 x/menit
RR : 22 x/menit
S : 36,8C
SpO2 : 99%
Antopometri
BB : 12 kg
TB : 98 cm
BMI : 12,49 (underweight)
Status Gizi
Status Gizi Berdasarkan Kurva WHO:
TB/U : -3 s/d -2 SD (pendek)
BB/U : -3 SD (gizi buruk)
BMI/U : -3 s/d -2 SD (kurus)
Kesan :Perawakan pendek, gizi buruk dan kurus

Status Generalis
a. Kepala
• Kepala : Normocephali.
• Mata : Bentuk mata dbn. Simetris, Konjungtiva pucat (-),sklera ikterik
(-), mata cekung (+), pupil simetris 3mm, reflex cahaya (+/+)
• Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), sekret (-) jernih, epistaksis (-).
• Mulut : Trismus (+), sianosis (-).
• Telinga : Normotia, hiperemis (-), nyeri tekan (+), otore (+).
b. Leher
Simetris, pembesaran limfonodi (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
c. Thorax
• Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi subcostal (-).
Palpasi : Fokal fremitus sama kanan dan kiri, tidak meningkat.
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
• Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak. Thrill (-)
Palpasi : Massa (-)
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-) gallop (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Datar, jejas (-), peristaltic usus (-)
Auskultasi : Bising peristaltik (+) normal
Perkusi : Timpani (+) di seluruh regio abdomen
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-), turgor kulit normal, hepar dan lien tak
teraba
e. Ekstremitas
Akral hangat (+/+), edema (-/-), sianosis (-), CRT <2 detik,

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
DIAGNOSIS
Tetanus (grade II)
OMSK Bilateral

PENATALAKSANAAN
IGD
O2 nasal kanul 1 lpm
IVFD RL 500cc/12jam
Inj. Diazepam 3 mg bolus lambat
Inf. Paracetamol 4x150mg
Konsul Sp.A
Inj. Dexametason 3x3mg
Inj. Ceftriaxone drip 2x250mg
IVFD D5 ¼ NS 500cc/12jam
NGT No. 12
Diit cair
Head CT Scan
Konsul Sp.THT
Akilen 3x4tetes ADS
Inj. Metronidazole drip 3x110mg

Spesialis Anak
IVFD D5 ¼ NS 500cc/12jam
Inj. Tetagam 3000 IU IM
Inj. Ceftriaxone 2x550mg
Inj. Metronidazole 3x165mg
Inj. Dexametason 5mg
Inj. Diazepam 2,5mg bolus lanjut 4 mg IV tiap 2 jam
Inj. Paracetamol 4x150mg
Pasang NGT
Rawat ruang isolasi
Hindari rangsang suara dan cahaya

CPPT
Tgl SUBJEKTIF OBJEKTIF ASSESMENT PLANNING
27/06/ Kejang disertai KU : lemah Tetanus IVFD D5 ¼ NS
HR : 100 x/menit OMSK ADS 500cc/12jam
2022 dengan kaku
S : 37C Inj. Tetagam 3000
leher dan sulit RR : 20 x/menit IU IM
Trismus (+) Inj. Ceftriaxone
buka mulut
Kaku kuduk (+) 2x550mg
Kejang rangsang Inj. Metronidazole
(+) 3x165mg
Perforasi Inj. Dexametason
5mg
membrane
Inj. Diazepam
timpani 2,5mg bolus lanjut
4 mg IV tiap 2 jam
Inj. Paracetamol
4x150mg
Pasang NGT
Rawat ruang
isolasi
Hindari rangsang
suara dan cahaya
28/06/ Kejang 1 kali KU : lemah Tetanus IVFD D5 ¼ NS
jam 03.00 HR : 110 x/menit OMSK ADS 500cc/12jam
2022
kurang lebih 10 S : 36,7C Inj. Ceftriaxone
menit RR : 20 x/menit 2x550mg
Mulut kaku Trismus (+) Inj. Metronidazole
Telinga keluar 3x165mg
Inj. Diazepam
cairan
4mg/2jam
Inj. Paracetamol
4x150mg
Akilan 3x4 tetes
ADS
H2O2 2x0,2cc
29/06/ Kejang 1 kali KU : lemah Tetanus IVFD D5 ¼ NS
2022 jam 03.00 HR : 100 x/menit OMSK ADS 500cc/12jam
kurang lebih 15 S : 36,5C Inj. Ceftriaxone
menit RR : 20 x/menit 2x550mg
Mulut kaku Trismus (+) Inj. Metronidazole
3x165mg
Inj. Diazepam
2,5mg bolus lanjut
4 mg IV tiap 2 jam
Inj. Paracetamol
4x150mg
Akilan 3x4 tetes
ADS
H2O2 2x0,2cc
30/06/ Kejang 2 kali KU : lemah Tetanus IVFD D5 ¼ NS
2022 jam 04.00 dan HR : 110 x/menit OMSK ADS 500cc/12jam
05.00 kurang S : 36,8C Inj. Ceftriaxone
lebih 5 menit RR : 20 x/menit 2x600mg
Mulut kaku Trismus 1 jari (+) Inj. Metronidazole
3x165mg
Inj. Diazepam
4mg/2jam (STOP)
Inj. Sibital
2x35mg
Inj. Paracetamol
4x150mg
Nistatin drop 4x1
Akilan 3x4 tetes
ADS
H2O2 2x0,2cc
01/07/ Kejang 1 kali KU : lemah Tetanus IVFD D5 ¼ NS
2022 jam 18.00 HR : 100 x/menit OMSK ADS 500cc/12jam
kurang lebih 10 S : 36,5C Inj. Ceftriaxone
menit RR : 20 x/menit 2x600mg
Mulut kaku Trismus 1 jari (+) Inj. Metronidazole
3x165mg
Inj. Sibital
2x40mg
Inj. Paracetamol
4x150mg
Nistatin drop 4x1
(STOP)
Akilan 3x4 tetes
ADS
H2O2 2x0,2cc
Diit cair 4x200ml
02/07/ Kejang 1 kali KU : lemah Tetanus IVFD D5 ¼ NS
2022 jam 04.00 HR : 110 x/menit OMSK ADS 500cc/12jam
kurang lebih 10 S : 36,8C Inj. Ceftriaxone
menit RR : 20 x/menit 2x600mg
Mulut kaku Trismus 1 jari (+) Inj. Metronidazole
3x165mg
Inj. Sibital
2x40mg
Inj. Paracetamol
4x150mg
Akilan 3x4 tetes
ADS
H2O2 2x0,2cc
Asam Valproat
2x2cc
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut yang mengenai sistem saraf, yang disebabkan
oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Ditandai dengan
kekakuan dan kejang otot rangka. Kekakuan otot biasanya melibatkan rahang
(lockjaw), leher dan kemudian menjadi seluruh tubuh.1 Gejala klinis tetanus
hampir selalu berhubungan dengan kerja eksotoksin (tetanospasmin) pada sinaps
ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuro
muscular junction) dan saraf otonom.9
Tetanus dapat menyerang semua orang, namun penyakit ini banyak terjadi
pada bayi baru lahir dan wanita hamil yang belum diimunisasi dengan vaksin
yang mengandung tetanus-toksoid. Tetanus selama kehamilan disebut maternal
tetanus, dan tetanus dalam 28 hari pertama kehidupan disebut neonatal tetanus.2

2.2. Epidemiologi Tetanus


Bakteri Clostridium tetani ditemukan di seluruh dunia, di tanah, pada benda
mati, di kotoran hewan, dan terkadang dalam kotoran manusia. Tetanus
merupakan penyakit dominan negara-negara belum berkembang, di negara-
negara tanpa program imunisasi yang komprehensif. Tetanus terutama terjadi
pada neonatus dan anak-anak. Tetanus merupakan penyakit target Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) Expanded Program on Immunization.10
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu
nonimun, individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal
mempertahankanimunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun
tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang
membebani di seluruh dunia. Kejadian tetanus yang dilaporkan WHO pada 2018
sebanyak 15.103 kasus, dengan jumlah populasi yang mendapat vaksin DPT3
86%.11
Gambar 2.1 Epidemiologi berdasarkan WHO

Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma


akut, seperti luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma
di dalam rumah atau selama bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang
lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa lukabesar tetapi dapat
juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis,
bahkan pada beberapa kasus pasien tidak dapat diidentifikasi adanya
trauma. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi teling
tengah, pembedahan, aborsi, dan persalinan.
Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini
menurun denganbertambahnya usia; hanya 30% individu berusia di atas 70
tahun (pria 45%,wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang
adekuat.9
Kejadian tetanus meningkat pada daerah yang mengalami bencana alam,
termasuk tsunami di Indonesia pada 2004 dan gempa bumi di Pakistan pada
2005. Kebanyakan kasus yang dilaporkan berhubungan dengan kelahiran,
terjadi pada negara berekonomi rendah dengan kurangnya angka vaksin
maternal-neonatus serta buruknya higinitas persalinan dan perawatan tali
pusat.12 Data rekam medik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto
Mangunkusumo, mencatat 99 kasus dalam 10 tahun terakhir (2000 – 2010),
dengan kematian pada 8 pasien. Khusus pada tahun 2009 tercatat 9 kasus
tetanus, dan pada tahun 2010 terdapat 6 kasus, tanpa ada kematian.13

2.3. Etiologi Tetanus

Tetanus dapat diperoleh di luar ruangan serta dalam ruangan. Sumber


infeksi biasanya luka (sekitar 65% dari kasus), yang sering adalah luka kecil
(misal, dari kayu atau logam serpihan atau duri). Tetanus bisa menjadi
komplikasi dari kondisi kronis seperti abses dan gangren. Mungkin
menginfeksi jaringan yang rusak oleh luka bakar, radang dingin, infeksi
telinga tengah, prosedur gigi atau bedah, aborsi, melahirkan, dan intravena
(IV) atau subkutan penggunaan narkoba. Selain itu, mungkin sumber biasanya
tidak berhubungan dengan tetanus meliputi intranasal dan benda asing lainnya
dan lecet kornea.10 Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium
tetani, dengan ciri-ciri:9
 Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran pemukul genderang
 Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella
 Menghasilkan eksotosin yang kuat.
 Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam
suhu tinggi 249,8 ° F (121 ° C) selama 10-15 menit.,kekeringan dan
desinfektans.
 Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di
daerah pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana,
mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan
dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam
lingkungan yang anaerob dapat berubahmenjadi bentuk vegetative yang
akan menghasilkan eksotoksin.9
 C. tetani menghasilkan dua eksotoxins, tetanolisin dan tetanospasmin.
Fungsi tetanolisin tidak diketahui dengan pasti,diperkirakan Tetanolisin
mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi
sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
multiplikasi bakteri.. Tetanospasmin merupakan racun saraf dan
menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Dosis minimum yang
diperkirakan manusia mematikan adalah 2,5 nanogram per kilogram berat
badan. 10

Port d’entre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:

1. luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka


bakar yang luas
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridemant) dengan baik Otitis
media, karies gigi, luka kronik
3. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat
dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun- daunan
adalah penyebab utama tetanus neonatorum.

2.4. Patofisiologi Tetanus

C. tetani biasanya memasuki tubuh melalui luka.


masuk ke dalam tubuh manusia dalam bentuk spora. Dalam keadaan anaerob
(oksigen rendah) kondisi, spora berkecambah menjadi bentuk vegetatif dan
menghasilkan racun tetanospasmin dan tetanolisin.1 Tetanolisin mampu secara
lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi
dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Klinis
khas tetanus disebabkan ketika toksin tetanospasmin yang mengganggu
pelepasan neurotransmiter, menghambat impuls inhibitor yang mengakibatkan
kontraksi otot yang kuat dan spasme otot.14
Racun yang diproduksi dan disebarkan melalui darah dan limfatik.
Racun bertindak di beberapa tempat dalam sistem saraf pusat, termasuk motor
endplate, sumsum tulang belakang, dan otak, dan di saraf simpatis. 1 Transport
terjadi pertama kali di saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf autonom.
Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk
dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitor
spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor interneuron
retrogard lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang otak dan
otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaps dengan
mekanisme yang tidak jelas.5
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana
setelah toksin menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaps, ia akan
memblokade pelepasan neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam
aminobutirat (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa
yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi
inhibisinya. Lalu karena jalur yang lebih panjang, neuron simpatetik
preganglion pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi.
Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan
asetilkolin ke dalam celah neuromuskular dikurangi.14 Dengan hilangnya
inhibisi sentral, terjadi hiperaktif otonom serta kontraksi otot yang tidak
terkontrol (kejang) dalam menanggapi rangsangan yang normal seperti suara
atau lampu.9,10 Spasme otot rahang, wajah dan kepala sering terlihat pertama
kali karena jalur aksonalnaya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh
mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat.14
Setelah toksin menetap di neuron, toksin tidak dapat lagi dinetralkan dengan
antitoksin. Pemulihan fungsi saraf dari racun tetanus membutuhkan
tumbuhnya terminal saraf baru dan pembentukan sinapsis baru. Tetanus lokal
berkembang ketika hanya saraf yang memasok otot yang terkena terlibat.
Genelized Tetanus terjadi ketika racun dirilis pada luka menyebar melalui
sistem limfatik dan darah ke terminal saraf.

2.5. Manifestasi Klinis Tetanus


Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.
Secara umum, semakin pendek masa inkubasi angka kematian akibat tetanus
kesempatan semakin tinggi. Pada tetanus neonatal, gejala biasanya muncul 4-
14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari. 1 Ada beberapa jenis klinis
tetanus, biasanya ditunjuk sebagai generalized, local, dan cephalic.
a. Generalized Tetanus ini adalah bentuk paling umum. Mungkin dimulai
sebagai tetanus lokal yang menjadi umum setelah beberapa hari, atau
mungkin menyebar dari awal. Trismus sering merupakan manifestasi
pertama. Dalam beberapa kasus didahului oleh rasa kaku pada rahang atau
leher, demam, dan gejala umum infeksi. Kekakuan otot lokal dan kejang
menyebar dengan cepat ke otot bulbar, leher, batang tubuh, dan anggota
badan. Timbul gejala kekakuan pada semua bagian seperti trismus, risus
sardonicus (Dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah), mulut mencucu, opistotonus (kekakuan yang
menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan, trunk
muscle), perut seperti papan. Bila kekakuan semakin berat, akan timbul
kejang yang terjadi secara spontan atau direspon terhadap stimulus
eksternal. Pada tetanus yang berat terjadi kejang terus menerus atau
kekuan pada otot laring yang menimbulkan apnea atau mati lemas.
Pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi
(gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah). Kematian
biasanya disebabkan oleh asfiksia dari laringospasme, gagal jantung,
atau shock, yang dihasilkan dari toksin pada hipotalamus dan sistem saraf
simpatik.9,14,15 Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot dan apabila
berat disfungsiotonomik.14
b. Local Tetanus adalah bentuk yang paling jinak. Gejala awal adalah
kekakuan, sesak, dan nyeri di otot-otot sekitar luka, diikuti oleh
twitchings dan kejang singkat dari otot yang terkena. Tetanus lokal terjadi
paling sering dalam kaitannya dengan luka tangan atau lengan bawah,
jarang di perut atau otot paravertebral. Bisa terjadi sedikit trismus yang
berguna untuk menegakkan diagnosis. Gejala dapat bertahan dalam
beberapa minggu atau bulan. Secara bertahap kejang menjadi kurang dan
akhirnya menghilang tanpa residu. Prognosis tetanus ini baik.1,10,14,15
c. Cephalic tetanus merupakan bentuk tetanus lokal pada luka pada wajah
dan kepala. Masa inkubasi pendek, 1 atau 2 hari. Otot yang terkena
(paling sering wajah) menjadi lemah atau lumpuh. Bisa terjadi kejang
wajah, lidah dan tenggorokan, dengan disartria, disfonia, dan disfagia.
Banyak kasus fatal.15

Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi dari


klasifikasi Ablett’s dapat dibagi menjadi IV diantaranya, yaitu

a. Derajat 1 (ringan): Trismus ringan sampai sedang, Kekakuan umum: kaku


kuduk, opistotonus, perut papan, tidak dijumpai disfagia atau ringan, tidak
dijumpai kejang, tidak dijumpai gangguan respirasi
b. Derajat II (sedang): Trismus sedang, rigiditas/kekakuan yang tampak jelas,
spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang
dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30 x/ menit disfagia ringan.

c. Derajat III (berat): Trismus berat, spastisitas generalisata: otot spastis,


kejang spontan,spasme reflex berkepanjangan frekuensi pernafasan lebih
dari 40x/ menit, serangan apneu disfagia berat dan takikardia lebih dari
120.
d. Derajat IV (sangat berat): derajat III ditambah dengan gangguan otonomik
berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dengan takikardia
terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat
menetap
2.6. Diagnosis Tetanus
Diagnosis tetanus ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a. Anamnesa
 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan atau patah tulang
terbuka, lukadengan nanah atau gigitan binatang?
 Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
 Apakah sedang menderita gigi berlubang?
 Apakah sudah mendapatkan imunisasi DT atau TT, kapan
melakukan imunisasi yang terakhir?
 Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal) dengan kejang yang pertama.9
b. Pemeriksaan fisik
 Trismus yaitu kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga
sukar membuka mulut. Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan
mulut mencucut seperti mulut ikan, sehingga bayi tidak dapat
menyusui. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan,
lebar membuka mulut diukur setiap hari.
 Risus sardonicus terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik,
sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut
mulut tertarik keluar dan ke bawah
 Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti
otot punggung,otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan
yang sangat berat dapatmenyebabkan tubuh melengkung seperti
busur.
 Perut papan
 Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang
awalnya hanya terjadi setelah dirangsang, misalnya dicubit,
digerakkan secara kasar atau terkena sinar yang kuat. Lambat
laun masa istirahat kejang semakin pendek sehingga anak jatuh
dalam status konvulsivus.
 Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai
akibat kejang yang terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring
yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian. Pengaruh toksin
pada saraf autonom menyebabkan gangguan sirkulasi dan dapat
pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat
banyak. Kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga
terjadi retentio alvi, retentio urinae, atau spasme laring. Patah
tulang panjang dan kompresi tulang belakang.9

c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium untuk penyakit tetanus tidak khas,
yaitu
 Lekositosis ringan
 Trombosit sedikit meningkat
 Glukosa dan kalsium darah normal
 Enzim otot serum mungkin meningkat
 Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat14

d. Penunjang lainnya
 EKG dan EEG normal
 Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil
dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh
dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum
seringnya tidak ditemukan.

2.7. Diagnosis Banding9

a. Meningitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai


adanya trismus, rhisus sardonikus, dijumpai gangguan kesadaran dan
kelainan cairanserebrospinal.
b. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia, secara klinik dijumpai adanya
spasmekarpopedal.
c. Rabies, dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan,
sedangkan waktu anamnesa diketahui digigit binatang pada waktu
epidemi.
d. Trismus oleh karena proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses
tonsilar,biasanya asimetris.9

2.8. Tatalaksana Tetanus

Tujuan terapi ini berupa: Memulai terapi suportif, debridement luka


untuk membasmi spora dan mengubah kondisi untuk perkecambahan,
menghentikan produksi toksin dalam luka, menetralkan racun terikat,
mengendalikan manifestasi penyakit dan mengelola komplikasi.10
a. Jika mungkin bangsal / lokasi yang terpisah harus ditunjuk untuk pasien
tetanus. Pasien harus ditempatkan di daerah yang teduh tenang dan
dilindungi dari sentuhan dan pendengaran stimulasi sebanyak mungkin.
Semua luka harus dibersihkan dan debridement seperti yang
ditunjukkan.16
b. Imunoterapi: jika tersedia, berikan dosis tunggal TIHG 3000-6000 IU
dengan injeksi intramuskular atau intravena (tergantung pada persiapan
yang tersedia) sesegera mungkin.10,14,15 WHO menganjurkan pemberian
TIHG dosis tunggal secara intramuskular dengan dosis 500 IU. 15
ditambah dengan vaksin TT 0,5 cc injeksi intramuskular. Penyakit
Tetanus tidak menginduksi imunitas, oleh karena itu pasien tanpa
riwayat imuniasi TT primer harus menerima dosis kedua 1-2 bulan
setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan kemudian.16 Dosis
anti tetanus serum (ATS) yang dianjuran adalah 100.000 IU
dengan50.000 IU intramuskular dan 50.000 IU intravena. Pemberian
ATS harus berhari-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak
pemeberian anti serum dapatdisertai dengan imunisasi aktif DT setelah
anak pulang dari rumah sakit.17

c. Pengobatan antibiotik :
 Lini pertama yang digunakan metronidazole 500 mg setiap enam
jam intravena atau secara peroral selama 7-10 hari. 9,10 Pada anak-
anak diberikan dosis inisial 15 mg/kgBB secara IV/peroral
dilanjutkan dengan dosisi 30 mg/kgBB setiap enam jam selama 7-
10 hari.1
 Lini kedua yaitu Penisilin G 1,2 juta unit/ hari selama 10
hari.14(100.000-200.000 IU / kg / hari intravena, diberikan dalam 2-
4 dosis terbagi).
 Tetrasiklin 2 gram/ hari, makrolida, klindamisin, sefalosporin dan
kloramfenikol juga efektif10,15,16
d. Kontrol kejang: benzodiazepin lebih disukai. Untuk orang dewasa,
diazepam intravena dapat diberikan secara bertahap dari 5 mg, atau
lorazepam dalam kenaikan 2 mg, titrasi untuk mencapai kontrol kejang
tanpa sedasi berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak-anak, mulai
dengan dosis 0,1-0,2 mg / kg setiap 2-6 jam, titrasi ke atas yang
diperlukan). jumlah besar mungkin diperlukan (sampai 600 mg / hari).
sediaan oral dapat digunakan tetapi harus disertai dengan pemantauan
hati untuk menghindari depresi pernafasan atau penangkapan.
Magnesium sulfat dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi
dengan benzodiazepin untuk mengendalikan kejang dan disfungsi
otonom: 5 gm (atau 75mg / kg) dosis intravena, kemudian 2-3 gram
per jam sampai kontrol kejang dicapai. Untuk menghindari overdosis,
memantau refleks patela sebagai arefleksia (Tidak adanya patela
reflex) terjadi di ujung atas dari rentang terapeutik (4mmol / L). Jika
arefleksia berkembang, dosis harus dikurangi. agen lain yang digunakan
untuk mengendalikan kejang termasuk baclofen, dantrolen (1-2 mg / kg
intravena atau dengan mulut setiap 4 jam), barbiturat, sebaiknya short-
acting (100-150 mg setiap 1-4 jam di orang dewasa; 6-10 mg / kg
pada anak-anak), dan chlorpromazine (50-150 mg secara
intramuskular setiap 4-8 jam pada orang dewasa; 4-12 mg
intramuskular setiap 4-8 jam di anak-anak).10,16
e. Kontrol disfungsi otonom: magnesium sulfat seperti di atas; atau
morfin. Catatan: β-blocker seperti propranolol digunakan di masa lalu
tetapi dapat menyebabkan hipotensi dan kematian mendadak; hanya
esmalol saat ini dianjurkan.10,14-16
f. Kontrol pernafasan: obat yang digunakan untuk mengontrol kejang dan
memberikan sedasi dapat mengakibatkan depresi pernafasan. Jika
ventilasi mekanik tersedia, ini adalah kurang dari masalah; jika tidak,
pasien harus dipantau dengan cermat dan dosis obat disesuaikan.
Kontrol disfungsi otonom sambil menghindari kegagalan pernafasan.
ventilasi mekanik dianjurkan bila memungkinkan. trakeostomi untuk
mencegah terjadinya apneu.10,14-16
g. Cairan yang memadai dan gizi harus disediakan, kejang tetanus
mengakibatkan metabolisme yang tinggi dan keadaan katabolik.
Dukungan nutrisi akan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. 14-

16

2.9. Pencegahan Tetanus


Pencegahan sangat penting mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan
mahal.Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
a. Perawatan luka. Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada
luka tusuk,luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora
tetanus. Terutama perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan
anaerob.
b. Pemberian ATS dan tetanus toksoid pada luka. Profilaksis dengan
pemberianATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) dan
harus segeradilanjutkan dengan imunisasi aktif.
c. Imunisasi aktif. Imuniasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau
tetanustoksoid. Jenis imuniasi tergantung dari golongan umur dan jenis
kelamin. Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3
kali, DPT IV pada usia 18bulan dan DPT V pada usia 5 tahun dan saat
usia 12 tahun diberikan DT. Tetanustoksoid diberikan pada setiap
wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun dan ibuhamil. DPT atau
DT diberikan setelah pasien sembuh dan dilanjutkan imuniasiulangan
diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak
menimbulkankekebalan yang berlangsung lama.9

2.10. Komplikasi Tetanus


Komplikasi yang dapat terjadi yaitu:
 sepsis,
 bronkopneumonia akibat infeksi sekunder bakteri,
 kekakuan otot laring dan otot jalan nafas,
 aspirasi lendir/ makanan/ minuman,
 patah tulang belakang (fraktur kompresi).9,14
2.11. Prognosis Tetanus
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, onset, jenis luka dan status
imunitas pasien.9,10 Sebuah skala rating telah dikembangkan untuk menilai
tingkat keparahan tetanus dan menentukan prognosis. Pada skala ini, 1 poin
diberikan untuk masing-masing sebagai berikut.:
 masa inkubasi lebih pendek dari 7 hari
 Periode onset kurang dari 48 jam
 Tetanus diperoleh dari luka bakar, luka bedah, patah tulang
majemuk, aborsi septik, pemotongan tali pusat, atau injeksi
intramuscular
 Generalized tetanus
 Suhu yang lebih tinggi dari 38.4 C
 Takikardia melebihi 120 denyut / menit (150 denyut / menit pada
neonatus)

Total skor menunjukkan keparahan penyakit dan prognosis sebagai berikut:


 0 atau 1 – Mild tetanus; kematian di bawah 10%
 2 atau 3 – Moderate tetanus; mortalitas 10-20%
 4 – Severe tetanus; mortalitas 20-40%
 5 atau 6 – Very severe tetanus; mortalitas di atas 50%
 Cephalic tetanus selalu parah atau sangat parah.
 Tetanus neonatal selalu sangat parah.10

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan


didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut
dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan,
(b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat
Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1

Internal dan umbilikal 5


Leher, kepala, dinding tubuh 4
Ekstremitas atas 3
Lokasi infeksi
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1

Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada 8
neonatus)

Status imunisasi > 10 tahun yang lalu 4


< 10 tahun yang lalu 2
Imunisasi lengkap 0

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 10


Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 8
Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Faktor pemberat
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1
DAFTAR PUSTAKA

1. CDC. Tetanus Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable


Diseases.
2015availablefrom:https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/
tetanus.pdf
2. World Health Organization. 2018. Tetanus. Diakses pada Juli 2022.
https://www.who.int/news-room/fact-sheet/detail/tetanus
3. World Health Organization. 2011. Progress towards the global elimination of
neonatal tetanus. Wkly Epidemiol Rec. 74:73-80.
4. Thwaites CL, Farrar JJ. 2003. Preventing and treating tetanus. BMJ. 326:117-
8.
5. Stanfield JP, Galazka A. 2002. A neonatal tetanus is the world today. Bull
World Health Organ. 62:647-9
6. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Game JW, Behrman RE. 2011. Nelson
textbook of pediatrics 19th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. pp. 991-
4
7. Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP. 2004.
Standar pelayanan medis kesehatan anak, edisi ke-1. hlm. 99-108.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan tetanus
pada anak. Jakarta: DEPKES RI
9. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015
10. Hinfey PB, co autor Ripper J. Tetanus. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview. Update on 2016
June 16th
11. World Health Organization. 2019 Immunization, vaccines, and biological:
Tetanus. Diakses pada Juli 2022.
http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/survei
llance_type/passive/tetanus/en/
12. Manitoba Public Health Branch. 2017 Communicable disease management
protocol: Tetanus. Diakses pada Juli 2022.
https://www.gov.mb.ca/health/publichealth/cdc/protocol

13. Leman MM, Tumbelaka AR. Laporan Kasus: Penggunaan anti tetanus serum
dan human tetanus immunoglobulin pada tetanus anak. Jakarta: Sari Pediatri.
2010. 12 (4). h. 283 – 288
14. Sudoyo A., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. Tetanus. Dalam:
IlmuPenyakit Dalam jilid III Ed 4th . FK Universitas Indonesia. Jakarta. 2008.
Hal: 1799-807
15. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor's Principles of
Neurology. 10th ed. United State: McGraw-Hill education; 2014.
16. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies. Geneva: Disease Control in Humanitarian Emergencies
Department of Global Alert and Response; 2010 Available
from:http://www.who.int/diseasecontrol_emergencies/who_hse_gar_dce_201
0_en.pdf

Anda mungkin juga menyukai