Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

ASMA BRONKIAL PADA ANAK

Disusun oleh
Ingriani Wionika

Pembimbing
dr. Indra Harsanti, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
PERIODE 27 JANUARI – 05 APRIL 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus
Asma Bronkial Pada Anak

Disusun oleh
Ingriani Wionika
406182048
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, 3 Maret 2020

dr. Indra Harsanti, Sp. A

2
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus
Asma Bronkial pada Anak

Disusun oleh
Ingriani Wionika
406182048
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui,
Kepala SMF Ilmu Kesehatan
Anak

dr. Ity Sulawati, Sp. A, M. Kes

3
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MA
Umur : 5 tahun 1 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Bogor, 2 Februari 2015
Agama : Islam
Alamat : KP Loji
Suku Bangsa : Sunda

II. ANAMNESIS (28/05/2019)


Dilakukan secara Allo-Anamnesis dari ibu pasien
A. Keluhuan Utama
Sesak napas sejak 2 hari SMRS

B. Keluhan Tambahan
Batuk berdahak sejak 4 hari SMRS

C. Riwayat Penyakit Sekarang


● 4 hari SMRS  Batuk berdahak namun dahak sulit dikeluarkan, darah
(-)
● 2 hari SMRS  Sesak napas disertai bunyi mengi. Rasa sesak
menyebabkan pasien kesulitan untuk makan.
● Demam (-) pilek (-) muntah (-) kejang (-) BAB&BAK normal.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pertama kali mengalami sesak napas saat berusia 2 tahun. Serangan
asma kambuh 1 kali setiap kurang lebih dua bulan. Orang tua pasien
mengatakan sesak napas sering kali kambuh apabila pasien sedang batuk-
batuk atau sedang berada di tempat dingin/berdebu. Sesak napas berkurang
bila pasien diuap (orang tua pasien tidak ingat nama obat yang diberikan).
Riwayat alergi obat (-), alergi makanan (-).

4
E. Riwayat Penyakit Keluarga
 Kakak perempuan pasien juga mengalami keluhan sesak napas yang
serupa.
 Riwayat keluarga mengalami alergi makanan, alergi obat, dan rhinitis
disangkal oleh orang tua pasien.

F. Riwayat Pengobatan
Pasien tidak sedang dalam pengobatan tertentu.

G. Riwayat Tumbuh Kembang (Sesuai Usia)


Pasien saat ini berusia 5 tahun, pertumbuhan dan perkembangan pasien
sesuai dengan anak seusianya. Tidak terdapat keterlambatan tumbuh
kembang.

H. Riwayat Perinatal (Baik)


Lahir spontan di bidan, usia kehamilan 36 minggu. BBL 3000gr PBL 49cm.
Penyulit persalinan tidak ada. Orang tua pasien mengatakan pasien
langsung menangis kencang saat lahir. Pasien merupakan anak kedua.

I. Riwayat Imunisasi
Pasien melakukan imunisasi dasar lengkap sesuai usia di bidan.
 Usia 0 bulan : HBO (+)
 Usia 1 bulan : BCG, Polio 0 (+)
 Usia 2 bulan : DPT+HiB+HB, Polio 1 (+)
 Usia 3 bulan : DPT+HiB+HB, Polio 2 (+)
 Usia 4 bulan : DPT+HiB+HB, Polio 3 (+)
 Usia 9 bulan : Campak (+)

J. Riwayat Asupan Nutrisi


 Lahir – 8 bulan : ASI eksklusif
 8 bulan – 2 tahun : MPASI

5
 2 tahun – sekarang : Makan 3x/hari, nasi dengan lauk pauk berupa
daging dan sayur-sayuran, buah-buahan (+) susu (+).

III. STATUS GENERALIS (28/05/2019)


- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Nadi : 120x/menit, reguler
- Pernapasan : 28x/menit
- Suhu : 36,5°C
- Berat badan : 13 kg
- Tinggi badan : 94 cm
- Status Gizi : Baik
 Berdasarkan kurva CDC untuk anak perempuan usia 2-20 tahun
13
BB/TB : Gizi baik 𝑥 100% = 92,85%
15

IV. PEMERIKSAAN FISIK (21/02/2020)


- Kepala : Normocephali, UUB cekung (-)
- Mata: Air mata (+/+), mata cekung(-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis
(-/-)
- Telinga : bentuk normal, liang telinga lapang, serumen (-/-), sekret (-/-)
- Hidung : bentuk normal, sekret (-/-), tidak ada septum deviasi, mukosa hidung
tidak hiperemis, napas cupping hidung (-)
- Tenggorokan : uvula di tengah, dinding faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
- Mulut : Sianosis bibir(-) , Coated toungue (-)
- Leher : tidak teraba pembesaran KGB
- Paru :
• Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dada simetris, Retraksi dinding
dada interkostal (-), subkostal (-)
• Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris
• Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
• Auskultasi : Rhonki(+/+), wheezing (+/+)
- Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

6
• Palpasi : Ictus cordis teraba
• Perkusi : Batas jantung tidak melebar
• Auskultasi: Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
• Inspeksi : Datar
• Palpasi : Turgor kulit normal, Hepar dan lien normal.
• Perkusi : Timpani
• Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Tulang belakang : tidak ada gibus, skoliosis, lordosis, kifosis
- Kulit : sianosis (-), ikterik (-), petechiae (-)
- Ekstremitas : akral hangat, CRT 2 detik, tak tampak edema

V. RESUME

Telah diperiksa seorang anak perempuan berusia 5 tahun dengan keluhan utama
sesak napas. Berdasarkan hasil pemeriksaan:
● Anamnesis:
- 4 hari SMRS  Batuk berdahak namun dahak sulit dikeluarkan.
- 2 hari SMRS  Sesak napas disertai bunyi mengi. Rasa sesak
menyebabkan pasien kesulitan untuk makan.
● Pada pemeriksaan fisik di dapatkan Nadi 120x/ menit, RR 28 x/ menit,
Suhu :36,5 ºC, status gizi baik, rhonki +/+, dan wheezing +/+.
● Pada pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran rontgen thorax BP
dd TB paru.

VI. DIAGNOSIS BANDING


 Tuberkulosis
 Refluks gastroesofageal
 Bronkiolitis

7
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah:
Hematologi 21/02/2020
Hasil Normal
Hemoglobin 12,5 g/dL 11,5 - 13,5 g/dL
Hematokrit 36,3 % 40 - 52 %
Leukosit 6.600/ µL 6.000 - 15.000 µL
Trombosit 332.000/ µL 150.000 - 440.000/ µL

Pemeriksaan rontgen thorax (22 februari 2020)


 Cor : Ukuran kesan tak membesar
 Pulmo : Tampak patchy infiltrate di parahiler paracardial kanan kiri
 Bronchovascular pattern kasar
 Hilus kanan kiri menebal
 Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
 Diafragma dan tulang-tulang baik
 Kesan : Bronchopneumonia DD TB Paru

8
VIII. DIAGNOSIS AKHIR
• Asma Bronkial

IX. RENCANA TERAPI


- Tatalaksana Umum
• Inhalasi (salbutamol + budesonide) dan (Ipratropium bromide,
salbutamol sulphate + Nacl) selang seling tiap 6 jam
• Injeksi dexamethasone 3 x 2 mg IV
• Injeksi Cefotaxime 3 x 435 mg IV
• Paracetamol drip 130 mg IV bila perlu
• Infus Kaen 3B 12 tpm

X. PROGNOSIS
- Ad Vitam : Dubia ad Bonam
- Ad functionam : Dubia ad Bonam
- Ad sanationam : Dubia

XI. EDUKASI
- Menjelaskan tentang alasan pasien dirawat
- Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit yang diderita
- Menjelaskan kepada keluarga pasien cara pencegahan agar asma tidak
kambuh
- Menyakinkan orangtua bahwa asma bronkial umumnya memiliki prognosis
baik
- Menjelaskan cara penanganan asma bronkial
- Memberikan informasi mengenai kemungkinan asma kembali

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pedoman Nasional Asma Anak mendefinisikan asma sebagai penyakit saluran
pernapasan dengan dasar inflamsi kronik yang menyebabkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran pernapasan dengan derajat bervariasi. Manifestasi
klinik asma meliputi batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul
secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam
atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus. Sedangkan eksaserbasi
(serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara progresif.
3

2.2 Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%
pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara
berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di
Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk
usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health
Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah
57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38
per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma
pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja
prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita
asma dibanding wanita.4
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade
terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.
Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per
100 ribu. Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma
yang meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak.
Namun secara umum kematian pada anak akibat asma jarang.4

10
2.3 Faktor Resiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan, kejadian penyakit,
berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor
tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam
penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, atopi,
lingkungan, ras, asap rokok, polusi, infeksi, obesitas.5
1. Jenis kelamin

Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma


pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak
perempuan. Menurut laporan MMH, prevalens asma pada anak laki-laki lebih
tinggi daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun dan
meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa, rasio ini
berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun.5

2. Usia

Umumnya, pada kebanyakan kasus asme persisten, gejala seperti asma pertama
kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan. Dari
Australia, dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat
serangan mengi pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi
pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas
dari gejala asma pada usia 28-35 tahun, 60% menetap menunjukkan gejala
seperti saat anak-anak, dan sisanya masih sering mendapat serangan meskipun
lebih ringan daripada saat masa kanak.5
3. Riwayat atopi

Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten dan


beratnya asma. Pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan
terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah megalami
hay fever, rhinitis alergi, eksema. Anak dengan mengi persisten dalam kurun
waktu 6 bulan pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada
anak yang tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan.5

11
4. Lingkungan

Adanya allergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit


asama. Allergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah
serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa.5
5. Ras

Dilaporkan prevalens asma dan kejadian asma pada ras kulit hitam lebih tinggi
daripada kulit putih.5
6. Asap rokok

Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak
yang tidak terpajan asap rokok. Resiko asap rokok sudah dimulai sejak janin
dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak di lahirkan.5
7. Outdoor air pollution

Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat oksida, karbon
monoksida, atau SO2 diduga berperan pada penyakit asma, meningkatkan gejala
asma, tetapi belum didapatkan bukti yang pasti.5
8. Infeksi respiratorik

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa adanya hubungan terbalik antara atopi


dengan infeksi respiratori.5
9. Obesitas
Obesitas meningkatkan mediator inflamasi sistemik yang mengaktifkan
eosinofil sehingga mengakibatkan eksaserbasi inflamasi saluran napas dan paru.
Pada obesitas terjadi peningkatan leptin yang berkorelasi dengan massa jaringan
lemak. Leptin merupakan mediator proinflamasi. Leptin mengakibatkan
peningkatan ekspresi molekul adhesi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-
1) yang merangsang kemokinesis eosinofil dan menginduksi dihasilkannya
sitokin seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α).11

Anak resiko tinggi dibawah usia 3 tahun yang memiliki 4 atau lebih episode
mengi dalam 1 tahun terakhir yang berlansung lebih dari 1 hari dan mengganggu
tidur, memiliki faktor resiko yang lebih besar mengalami asma persisten
(seumur hidup) setelah usia 5 tahun jika memiliki salah satu faktor resiko
berikut ini :12

12
Mayor :
- Orang tua menderita asma
- Eczema / dermatitis atopi yang didiagnosis oleh dokter
- Tersensitisasi oleh alergen inhalan

Minor :
- Mengi muncul selain dari udara dingin
- Tersensitisasi oleh alergen makanan
- Rhinitis alergi
- Eosinofilia >4%

2.4 Patogenesis
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang
timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.
Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus,
sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.4,5
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik
yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya
aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya
inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan
sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini
terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.4,5
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada
populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita
asma anak dan dewasa.4,5
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada
awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh
sel plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil.
Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma
cepat (immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan
mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2
(PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut
menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan

13
permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis
yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali
serangan asma hilang dengan pengobatan.4,5

Gambar 1. Patogenesis asma (GINA)3

Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang


meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator
inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga
bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan
terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non
spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka
terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan
berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.6
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus
merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan
struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang
dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang
berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF).
TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami
hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling
tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa
menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi
sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan

14
perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang
persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.6

Gambar 2. Proses inflamasi dan remodeling pada asma3

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat


kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis.
Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai
profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas
menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian
terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai
asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis.
Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau
bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera
setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk
mencegah terjadinya proses remodeling.6

15
2.5 Patofisiologi
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan
hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa
saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang
merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas
sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon
hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk
sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok,
infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan
menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara
yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis
utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa,
kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi
ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di
saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi
aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi
memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko
obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil
elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil,
hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral
(pori cohn) antar alveolus.6,8

2.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada
anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas, dada
terasa berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu
dengan infeksi pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat
tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah.
Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya
dapat menunjang penegakan diagnosis.6
GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma
didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan
algoritme kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk
dan/atau mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah

16
melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun
keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma.5
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil.,
khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat
bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit
lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6
tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang
sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer.
Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara
kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis. 6

Gambar 3. Alur Diagnosis Asma pada Anak3

17
2.7 Klasifikasi
Dalam GINA asma di klasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit
asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran nafas. Walaupun berbagai
usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena
dapat kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar pasien.5
Derajat penyakit asma ditemukan berdasarkan gabungan penelaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis-β2 untuk mengatasi gejala, dan
pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien.5

Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan GINA3


Derajat Gejala/hari Gejala/malam PEF atau FEV1
PEF variability
1 (Intermiten) < 1x/minggu, asimtomatik ≤ 2x/bulan ≥80%
dan nilai PEF normal < 20 %
diantara serangan
2 (Persisten >1x/minggu, < 1xhari, > 2x/bulan ≥ 80%
ringan) serangan mengganggu 20%-30%
aktivitas
3 (Persisten 1x/hari, serangan >1x/minggu 60-80%
sedang) mengganggu aktivitas >30%
4 (Persisten Terus menerus sepanjang Sering ≤ 60%
berat) hari, aktivitas fisik terbatas >30%

Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3


yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut
ini tabel klasifikasi asma berdasarkan PNAA5:

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan PNAA5


Parameter klinis, Asma episodik Asma episodik Asma persisten
kebutuhan obat, jarang sering
faal paru
Frekuensi serangan <1x/bulan ≥1x/bulan Sering
Lama serangan <1x/minggu >1 minggu Hampir sepanjang
tahun, hampir tidak
ada remisi
Intensitas serangan Ringan Sedang Berat
Di antara serangan Tanpa gejala Sering gejala Gejala siang malam

18
Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
PF diluar serangan Normal Mungkin Tidak pernah normal
terganggu
Obat pengendali Tidak perlu Perlu, steroid Perlu, steroid
(antiinflamasi)
Uji faal paru (diluar PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60- PEF/FEV1<60%
serangan) 80% variabilitas 20-30%
Variabilitas faal paru >15% >30% >50%

Tabel 3. Klasifikasi derajat serangan asma


Parameter Ringan Sedang Berat
klinis, Tanpa Dengan
fungsi paru, ancaman henti ancaman henti
lab nafas nafas
Sesak Berjalan, bayi: Berbicara, Istirahat
menangis keras Bayi: tangis Bayi: tidak mau
pendek dan minum/ makan
lemah, kesulitan
menyusu atau
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk topang
duduk lengan
Bicara kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Irritable Irritable Kebingungan
irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada sepanjang terdengan tanpa terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi ± stetoskop
inspirasi sepanjang
ekspirasi dan
inspirasi
Penggunaan Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradox
otot bantu torako-abdominal
respiratorik
Retraksi Dangkal, Sedang ditambah Dalam, Dangkal/ hilang
retraksi retraksi ditambah nafas
interkostal suprasternal cuping hidung

19
Frekuensi Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea
nafas
Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:
Usia frekuensi nafas normal
< 2 bulan <60 x/ menit
2-12 bulan <50 x/ menit
1-5 tahun <40 x/menit
6-8 tahun <30 x/menit
Frekuensi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
nadi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia laju nadi normal
2-12 bulan <160 x/menit
1-2 tahun <120 x/menit
3-8 tahun <110 x/ menit
Pulsus Tidak ada Ada Ada Tidak ada, tanda
paradoksus <10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg kelelahan otot
nafas
PEFR atau
FEV1
Pra-
bonkodilator >60% 40-60% <40%
Pasca- >80 % 60-80% <60 %, respon <
brokodilator 2 jam
Sa O2 >95% 91-95% ≤ 90%
Pa O2 Normal >60 mmHg <60 mmHg
(biasanya tidak
perlu diperiksa)
Pa CO2 < 45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

2.8 Pemeriksaan Penunjang


2.8.1 Pemeriksaan Fungsi Paru
Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak
banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai
dari pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus
puncak ekspirasi (APE), pulse oximetry, spirometri, sampai pengukuran
kompleks yaitu muscle strength testing, volume para absolut, serta kapasitas
difusi. Pemeriksaan paru yang objektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam

20
evaluasi diagnostic anak dengan batuk, mengi rekuren, aktifitas terbatas, dan
keadaan lain yang berkaitan dengan system respiratorik. Pemeriksaan fungsi
paru ini terutama bermanfaat apabila ada manifestasi gejala asma yang tidak
khas. Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi
paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi jalan napas, 3) pertukaran gas.
Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru restriktif seperti
kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau penyakit interstitial paru,
serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan nafas.5
Walau pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk
menilai parameter pertukaran gas, pulse oximetry masih merupakan
pemeriksaan yang berguna dan efisien.
Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan
maneuver ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini tertutama berguna pada
penyakit dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik.
Pengukuran dengan maneuver ini yang dapat dilakukan pada anak di atas 6
tahun adalah forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity
(VC) dengan alat spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau
arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas
dan reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendignosis
asma, melalui derajar berat penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi
pedoman pengelolaan asma.5
Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran
fungi paru lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan
dengan nilai terbaik anak sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi
PEF harus diukur secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama
beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline
melainkan oleh variabilitas, terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah
perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PEF dalam 1 hari. Metode yang
dianggap merupakan cara mengukur nilai diural PEF terbaik adalah pengukuran
selama paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai
terbaik dari selisih nilai PEF pagi hari terendah dan nilai PEF malam hari
tertinggi.5
Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu
diupayakan. Meskipun pemeriksaan ini digunakan salah satu parameter untuk

21
menentukan derejar penyakit asma, namun masih sedikit yang
menggunakannya.
Pada pemeriksaan spirometry, adanya perbaikan FEV1 sebanyak
minimal 12% setelah pemberian bronkodilator inhalasi dengan atau tanpa
glukokortikoid mendukung diagnosis asma.5
Pada PNAA, untuk mendukung diagnosis asma anak dipakai batasan:
1. Variabilitas PEF atau FEV1 ≥ 15%,

2. Kenaikan PEF atau FEV1 ≥ 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator,

3. Penurunan PEF atau FEV1 ≥ 20% setelah provokasi bronkus.

Pengukuran variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama ≥ 2


minggu.

2.8.2 Pemeriksaan Hiperreaktivitas Saluran Nafas


Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, olahraga, udara kering dan
dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis. Pada pasien
yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian
respons saluran nafas terhadap metakolin, histamine, atau olahraga dapat
membantu menegakkan diagnosis asma. Artinya hasil yang negative dapat
membantu menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasi positif
tidak selalu berarti bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan
Karena hiperreaktivitas saluran nafas juga terdapat pada pasien rhinitis alergi
dan kondisi lain seperti fibrosis kistik, bronkieltasis, dan penyakit paru obstruksi
menahun.5

2.8.3 Pengukuran Petanda Inflamasi Saluran Nafas Non Invasif


Penilaian terhadap inflamasi saluran nafas akibat asma dapat dilakukan dengan
cara memeriksa eosinophil sputum, baik yang spontan maupun yang diindukso
dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukutan kadar NO ekshalasi juga
merupakan cara menilai petanda inflamasi yang noninvasive. Walaupun pada
pasien asma (yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi) didapatkan
eosinosilia pada sputum pasien dan peningkatan kadar NO ekshalasi
dibandingkan dengan orang yang tidak menderita asma, hasil ini tidak spesifik

22
untuk asma dan belum terdapat penlitian yang menyatakan bahwa hal yang
dapat membatu dalam diagnosis asma.5

2.8.4 Penilaian Status Alergi


Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam
serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat
membantu menentukan faktor resiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk
kelompok usia <5 tahun dapat digunakan:
1. Menentukan apakah anaknya atopi

2. Mengarahkan manupulasi lingkungan

3. Memprediksi prognosis anak dengan mengi.

2.9 Diagnosis Banding


Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma.
Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma
meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan
silent-disease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak
memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengan adanya nyeri tekan local pada
daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit
komorbid yang sering pada asma, sehingga membuat terapi spesifik pada asma
tidak diberikan dengan tepat.5,7
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi
pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas
congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3
bulan, mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan
kelainan jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang
disebabkan oleh respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang
umum.pada anak yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi
pita suara. Selain itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis
terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.5,7

23
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak
- Rinosinusitis
- Refluks gastroesofageal
- Infeksi respiratorik bawah viral berulang
- Bronkiolitis
- Displasia bronkopulmoner
- Tuberkulosis
- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran
respiratorik
- Intratorakal
- Aspirasi benda asing
- Penyakit jantung bawaan

2.10 Penatalaksanaan
1. Komunikasi, Informasi dan Edukasi terhadap pasien dan keluarga8
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu komunikasi, informasi
dan edukasi pada keluarga dalam mencegah, menilai, dan mengobati asma
merupakan kunci keberhasilan mengontrol asama:
- Komunikasi antara pasien dan dokter untuk mengetahui keluhan pasien.

- Pengertian terntang kenyataan yang mendasar, penyebab, dan pencetus


asma.

- Mengidentifikasi dan mengontrol faktor-faktor yang memperburuk gejala


asma dan pencetus serangan.

- Pengertian tentang pentingnya penggunaank obat yang tepat dan benar dari
spacer dan inhaler untuk kontrol jangka panjang dan ketaatan pemakaian.

Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan
pada pasien dan keluarganya:7,8,9
- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi
paparan terhadap faktor pencetus
- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller

24
- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan
keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna
mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga
memungkinkan penderita dan dokter menyesuaikan rencana pengelolaan
asma guna mencapai pengendalian asma jangka panjang dengan efek
samping minimal.
Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu penderita
menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:
- Penggunaan obat-obatan dengan benar
- Pemantauan gejala, aktivitas dan PEF
- Mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana
yang sudah diprogramkan;
- Segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara
efektifdengan dokter yang memeriksa;
- Menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparan
alergen dan iritan;
Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan
keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh keterampilan pengelolaan
mandiri (self management) untuk berperan-serta aktif. Penelitian yang
dilakukan Guevara menunjukkan bahwa edukasi dapat meningkatkan fungsi
paru dan perasaan mampu mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari
absensi sekolah, mengurangi kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan
tidur pada malam hari sehingga sangat penting program edukasi sebagai salah
satu penatalaksanaan asma pada anak.9
2. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma
Kriteria asma terkontrol
- Tidak ada gejala asma atau minimal
- Tidak ada gejala asma malam
- Tidak ada keterbatasan aktivitas
- Nilai APE/VEP1 normal
- Penggunaan obat pelega napas minimal
- Tidak ada kunjungan ke UGD

25
Klasifikasi
- Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi
- Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol
- Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3 buah

3. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko


Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang
cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang
berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi.
Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan
terhadap saluran respiratorik.8,9

4. Tatalaksana asma jangka panjang


Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang
ingin dicapai adalah :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan
berolahraga
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Asma Episodik Jarang


Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti β2-
agonis dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk meredakan serangan asma
biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat
inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit
untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak
yang sudah mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik

26
penggunaan yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila
obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral.
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam
tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di
Indonesia obat β-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin
dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu
penggunaan β-agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan
efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi
dosisnya serta dikombinasikan dengan teofilin.6,7,8
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak
tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk
asma episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu
memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya
pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu
steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian
β2-agonis hirupan lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-
aktivitas fisik) atau serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan
yang diberikan sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak
menunjukkan respon yang baik maka tatalaksananya berpindah ke asma
episodik sering.8,9

Asma Episodik Sering


Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa
menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi
lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi.Tahap pertama obat pengendali pada asma
episodic sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid
hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga
digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan
100-200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari
flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan
beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara
flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka

27
panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat
pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan
efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu,
yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah
pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak
menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau
aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan
dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam
tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma
sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka
derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika
asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih
ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan
penggunaannya.4,5,6
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan
penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang
mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis.dan dengan
penatalaksanaan rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma
yang terjadi secara bersamaan.4,5

Asma Persisten
Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan
menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside
200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason)
untuk anak berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif
pengganti dengan menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan
LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow
Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.).4,5,6
Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat
gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat
meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian
>400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang
dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak

28
berusia di atas 12 tahun atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA,
atau TSR, atau ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak
dibuktikan keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala
asmanya, dan memperbaiki kualitas hidupnya.5,6,7
Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap
tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi
penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan
terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah
dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar
daripada bahaya efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat
diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil
yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik
harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.5
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya
peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi.
Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada
rekomendasi.5
Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya
ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak
dengan asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini
penggunaan kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak
lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.5
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang
optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis
steroid dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa
mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat
pereda tetap diteruskan.5
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan
anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai
alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar
dan berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan
dengan usia.5

29
5. Pengobatan eksaserbasi akut
Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma
secara progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat pajanan terhadap faktor
pencetus, sedangkan serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan
kegagalan pengobatan jangka panjang. Menurut buku Pedoman Nasional Asma
Anak UKK Pulmonologi IDAI 2002, penyakit asma dibagai dalam 3 kelompok
berdasarkan frekuensi serangan dan kebutuhan obat, yaitu asma ringan, sedang,
dan berat. Selain klasifikasi derajat penyakit asma di atas, asma juga dapat
dinilai berdasarkan derajat serangannya, yaitu serangan ringan, sedang, dan
berat. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan
derajat serangan asma (aspek akut). Seorang penderita asma berat (persisten)
dapat mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya seorang penderita asma
ringan (episodik/jarang) dapat mengalami serngan asma berat, atau bahkan
serangan ancaman henti nafas yang dapat mengakibatkan kematian. Terapi yang
diberikan bergantung pada beratnya derajat serangan asma.5
Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan
penyempitan jalan nafas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia,
mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, dan merenacanakan
tatalaksana mencegah kekambuhan.

Tatalaksana Serangan
1. Tatalaksana di rumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau
teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih
cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis
inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau
nebulizer.5
Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau
bahkan terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.
2. Tatalaksana di ruang gawat darurat
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat
serangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi.
Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa
dapat diulang dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat

30
ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi
sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian
derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.

Gambar 4. Alur Penatalaksanaan Serangan Asma Akut pada Anak3

31
Berikut ini pentalaksanaan serangan asma sesuai derajat serangan:5
1. Serangan Asma ringan
Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat menunjukkan
respon yang baik. Pasien dengan derajat serangan asma ringan diobservasi 1-2
jam, jika respon tersebut bertahan pasien dapat dipulangkan dan jika setelah
observasi selama 2jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai
serangan asma derajat sedang.6-9
Sebelum pulang pasien dibekali obat ß2-agonis (hirupan atau oral) yang
harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus serangannya adalah infeksi virus,
dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek selama 3-5 hari. Pasien juga
dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk
evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien sudah mendapat
obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan
di klinik rawat jalan.5
2. Serangan Asma sedang
Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali
pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response) dan pasien
perlu diobservasi di ruang rawat sehari (One day care) dan walaupun belum
tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat, pasien yang akan diobservasi
di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak di unit gawat
darurat (UGD).5
Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik oral
metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.
3. Serangan Asma berat (status asmatikus)
Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak
menunjukkan respon yaitu gejala dan tanda serangan masih ada. Pada keadaan
ini pasien harus dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala dan ancaman
henti napas pasien harus langsung dirawat diruang intensif. Pasien diberikan
oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk saat dilakukan nebulisasi, dipasang
jalur parenteral dan dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan asidosis,
diatasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi terhadap asidosis dan
pada pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus
langsung dibuat untuk mendeteksi kemungkinan pneumotoraks dan
pneumomediastinum. Pada ancaman henti napas hipoksemia tetap terjadi

32
walaupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan atau PaCO2>45
mmHg). Pada ancaman henti napas diperlukan ventilasi mekanik.7,8,9
Nebulisasi dengan β- agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan
tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam.
Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari per
bolus setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena dengan beberapa ketentuan
sebagai berikut:8
Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya, diberikan aminofilin
dosis awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa 5% atau gram
fisiologis sebanyak 20 ml diberikan dalam 20-30 menit.9 Jika pasien telah
mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 8 jam), dosis yng diberikan
adalah setengah dari dosis inisial.9 Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah
diukur dan dipertahankan sebesar 10-20μ/ml. Selanjutnya, aminofilin dosis
rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.9
Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24
jam dan pemberian aminofilin dan kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam
stabil pasien dapat dipulangkan dengan dibekali β2-agonis (hirupan atau oral)
yang diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral dilanjutkan
hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi ulang
tatalaksana.9

Preparat terapi:5
I. Bronkodilator
a. Beta adrenergic kerja pendek (short acting)
Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan b2 agonis selektif.
- Epinefrin/adrenalin
Digunakan jika tidak terdapat obat b2-agonis selektif. Epinefrin terutama
diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau angioudem. Obat ini dapat diberikan
secara subkutan atau dengan inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah
sebagai berikut: larutan epinefrin 1:1000 (1mg/ml) dengan dosis 0,01 ml/kgbb
(maksimum 0,3 ml), dapat diberikan 3 kali dengan selang waktu 20 menit.

33
- Β2-agonis selektif
Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis
salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam, dosis
terbutalin oral adalah 0,05-0,1 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam. Pemberian
secara peroral akan memberikan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dalam 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 5 jam.
Pemberian secara noninvasive(inhalasi) lebih disukai daripada
pemebrian subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan
kegelisahan pasien. Untuk serangan ringan dapat diberikan metered dosed
inhaler (MDI) 2-4 semprotan tiap 3-4 jam, serangan sedang diberikan 6-10
semprotan tiap 1-2 jam sedangkan serangan berat diberikan 10 semprotan.
Pemberian MDI lebih dari 6 semprotan harus dibawah pengawasan dokter.
Salbutamol dapat diberikan dengan nebulizer dengan dosis 0,1-0,15
mg/kgBB(dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menit atau nebulisasi
secara kontiniu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam). Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1
respules/nebulisasi.
Pemberian intravena dapat dipertimbangkan jika pasien tidak berespon
dengan nebulisasi b2 agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin serta ipratropium
bromide. Salbutamol iv dapat diberikan dengan dosis mulai dari
0,2mcg/kgBB/menit dan dinaikkan 0,1mcg/kgBB setiap 15 menit dengan dosis
maksimal 4mcg/kgBB/menit. Terbutalin IV dapat diberikan dengan dosis
10mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1-4
µg/kgBB/jam dengan infuse kontiniu.
Methyl xanthine (teofilin kerja cepat): dosis dan sedian dapat dilihat
pada penjelasan tatalaksana serangan asma berat diatas.
- LABA (long acting β2-agonis)
Ada 2 preparat inhalasi yaitu salmeterol dan formoterol, dan 1 obat oral yaitu
procaterol. Tersedia kombinasi steroid hirupan dengan LABA, yaitu kombinasi
fluticasone propionate dan salmeterol menjadi seretide, kombinasi budesonide
dan formoterol menjadi Symbicort. Seretide dalam MDI (Metered Dosed
Inhaler) sedangkan Symbicort dalam DPI(Dry Powder Inhaler).

34
II. Antikolinergik 5
- Ipratropium bromide
Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga
diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai berikut: untuk anak
usia>6 tahun: 8-20 tetes; usia < 6 tahun: 4-10 tetes. Efek sampingnya adalah
kekeringan minimal atau rasa tidak enak di mulut (dosis oral 0,6-8mg/kgBB
pada orang dewasa) secara umum tidak ada efek samping yang berarti.

III. Kortikosteroid
Preparat oral yang dipakai adalah prednisone, prednisolon atau triamsinolon
dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali sehari selama 3-5 hari.
Kortikosteroid IV diberikan pada kasus asma yang dirawat di rumah sakit.
Metilprednisolon merupakan pilihan yang utama karena memiliki kemampuan
penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek antiinflamasi yang lebih besar,
serta efek mineralokortikoid minimal. Dosis yang dianjurkan adalah 1
mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus
intravena, dengan dosis ½-1 mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari , diberikan
setiap 6-8 jam.

IV. Antileukotrien (Leukotriene receptor antagonist, LTRA) 5


- Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Obat ini dapat
diberikan sejak usia 2 tahun. Dosis peroral hanya 1 kali sehari sehingga
memudahkan penggunaan dan meningkatkan ketaatan pemakaian obat.
- Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia (Accolate, Astra Zeneca), digunakan untuk
anak > 7 tahun.bekerja dengan menekan produksi cystenil leukotriene yang
setara dengan montelucast. Sayangnya obat ini dapat mengganggu fungsi hati
(meningkatkan tranaminase), sehingga pada bulan-bulan pertama
penggunaannya diperlukan pemeantauan terhadap fusngsi hati. Dosis dibagi
menjadi 2 kali dalam sehari, diberikan saat perut kosong.

35
2.11 Prognosis
Pada umumnya bila segera di tangani dan adekuat, prognosis asma adalah baik.
Mortalitas akibat asma sedikit nilainnya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko
yang berjumlah kira-kira 10 juta. Informasi mengenai perjalanan klinis asma
mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien,
khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention
asthma in children. 2011

2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah


Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI

3. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia. 2003.

4. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan


Anak FKUI-RSCM, Jakarta.

5. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrhman RE. Nelson ilmu
kesehatan anak esensial. Singapore: Elsevier; 2011. 339-49.

6. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi


pertama. Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia; 2012. 71- 158.

7. Hendarto A, Trihono P, Oswari H, Gunardi H. State of art:common problems


in hospitalized children. Jakarta: Ikatan dokter anak Indonesia cabang DKI
Jakarta; 2011.32-9.

8. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Dapertemen Kesehatan RI. 2009.

9. Matondang MA, Lubis HM, Daulay RMpe. Peran Komunikasi, Informasi, dan
Edukasi pada Asma Anak. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 10,
Nomor:5, 5 Februari. Sari Pediatri.

10. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Jakarta: FKUI, RSCM;
2008.

11. Grotta, M. B., Squebola-Cola, D. M., Toro, A. A., Ribeiro, M. A., Mazon, S.
B., Ribeiro, J. D. & Antunes, E. Obesity increases eosinophil activity in
asthmatic children and adolescents. BMC Pulm Med; 2013.

37
12. Castro-Rodriguez JA, et al. A clinical index to define risk of asthma in young
children with recurrent wheezing. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162:
1403-1406.

38

Anda mungkin juga menyukai