Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

Gravida 4 Para 2 Abortus 1 Usia 36 Tahun Hamil 42 Minggu, Janin Tunggal


Hidup Intrauterine Presentasi Kepala Punggung Kanan belum Inpartu dengan
Oligohidramnion dan Postterm

Pembimbing :
dr. Herman Sumawan, MSc, Sp.OG (K) FM

Disusun Oleh:

Dhuhita Ghassanizada G4A018034


Talitha Apta Nitisarah G4A018035
Zuhra Fahlisa N G4A018090

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :


“Gravida 4 Para 2 Abortus 1 Usia 36 Tahun Hamil 42 Minggu, Janin Tunggal
Hidup Intrauterine Presentasi Kepala Punggung Kanan belum Inpartu dengan
Oligohidramnion dan Postterm.”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :

Dhuhita Ghassanizada G4A018034


Talitha Apta Nitisarah G4A018035
Zuhra Fahlisa N G4A018090

Purwokerto, Juli 2019

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Herman Sumawan, M.Sc, Sp.OG (K) FM.

2
BAB I
PENDAHULUAN

Persalinan postterm merupakan salah satu penyebab faktor penyebab dari


angka kematian bayi di Indonesia pada usia 0-6 tahun sebesar 2,80% (Kemenkes
RI, 2013). Angka prevalensi kejadian persalinan postterm di negara berkembang
adalah 0,40-11% (Ayyavoo, et. al., 2014). Penelitian lain yang dilakukan oleh
Diflayzer, et. al., (2014) menunjukkan bahwa sebagian besar kasus gawat obstetri
di RSUD Dr. Rasidin Padang adalah kehamilan serotinus atau kehamilan lewat
bulan yang berlanjut pada persalinan postterm.
Persalinan postterm dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas dan
morbiditas perinatal termasuk ketuban yang mengandung mekonium, sindrom
aspirasi mekonium, oligohidramnion, makrosomia, cedera lahir janin atau
gangguan janin intrapartum. Angka morbiditas di wilayah Asia lebih rendah
daripada wilayah Ethiopia, yaitu 9,10% (Mengesha, et. al., 2016). Penelitian yang
dilakukan di Karnataka Institute of Medical Sciences, Hubli menunjukkan dari
total kasus persalinan postterm, 41,80% diantaranya dilakukan dengan operasi
sesar. Indikator operasi tersebut yaitu fetal distress, oligohidramnion, sungsang,
Cephalo Pelvic Dispropotion (CPD), dan tidak adanya kontraksi (Hemalatha &
Shankar, 2017).
Persalinan postterm cukup berisiko karena dapat menimbulkan komplikasi
baik pada ibu maupun pada bayi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
persalinan postterm dapat meningkatkan risiko kejadian endometritis, perdarahan
postpartum, dan thromboembolic disease pada ibu bersalin (Vitale, et. al., 2015).
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa persalinan postterm dapat meningkatkan
risiko penurunan nilai Activity, Pulse, Grimace, Appearance, Respiration
(APGAR) pada bayi baru lahir pada menit pertama dan kelima, serta
meningkatkan risiko kejadian disabilitas pada intelektual bayi (Seikku, et. al.,
2016).

3
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. SR
2. Usia : 36 tahun
3. Alamat : Sidabowa 04/08 Patikraja
4. Waktu datang : Rabu, 19 Juni 2019 di Poli Kandungan

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Hamil lewat bulan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto rujukan Puskesmas Patikraja
karena hamil sudah lewat bulan. Ny. SR mengaku belum merasakan
kencang-kencang yang teratur, nyeri pinggang, atau keluhan yang
dirasakan ketika akan melahirkan seperti pada kehamilan sebelum-
sebelumnya. Pasien mengatakan tidak terdapat rembesan air dari jalan
lahir, dan tidak terdapat lendir darah. Pasien mengatakan masih dapat
merasakan gerakan janin. Pasien juga mengeluhkan keluhan keputihan
berwarna putih dengan jumlah sedikit dan terkadang gatal. Pasien
menyampaikan bahwa anak ke-dua lahir lebih dari hari perkiraan lahir
bidan, namun lupa lebih berapa hari.
Haid Pertama Haid Terakhir (HPHT) : 29-08-2018
Hari Perkiraan Lahir (HPL) : 05-06-2019
Usia Kehamilan (UK) : 42 minggu 1 hari

Riwayat obstetrik : G4P2A1


1. Perempuan/16th/dukun/spontan/3500gr
2. Perempuan/7th/bidan/spontan/3000gr
3. Abortus/8minggu/tidak kuret

4
4. Hamil ini
Riwayat ANC : Rutin di puskesmas/ 10 kali
Riwayat nikah : Menikah 1x, 30 tahun
Riwayat menstruasi : Teratur / 6-7 hari per bulan
Riwayat kontrasepsi : suntik setelah melahirkan anak pertama (3 tahun),
implan setelah melahirkan anak kedua (2 tahun)

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat penyakit jantung : disangkal
f. Riwayat penyakit paru : disangkal
g. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
h. Riwayat penyakit lain : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit kandungan : disangkal

5. Riwayat nutrisi
Pasien jarang mengonsumsi hidangan sayuran dan buah, hanya
sekitar 1-2 kali setiap minggunya. Sehari-hari pasien mengonsumsi nasi
putih dengan lauk-pauk yang dimasak sendiri. Pasien mengaku sangat
jarang makan daging selama hamil, mungkin hanyak sekitar 3 kali makan
daging. Pasien sangat menyukai gorengan. Pasien juga sangat menyukai
cemilan roti kering. Pasien selama hamil hanya meminum obat yang

5
diberikan oleh puskesmas. Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi
alkohol. Riwayat memelihara binatang peliharaan disangkal, riwayat
makan makanan setengah matang/panggang disangkal. Pasien mengaku
tidak pernah berolahraga.

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berasal dari sosial ekonomi menengah ke bawah, suami
pasien bekerja sebagai buruh bangunan serabutan. Pasien menggunakan
pembayaran BPJS non PBI.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum/kesadaran : Sedang/compos mentis
2. Tinggi badan : 152 cm
Berat badan : 75 kg
Berat badan sebelum hamil : 71 kg
Delta kenaikan berat badan : 4 kg
BMI sebelum hamil : 30,869 kg/m2
BMI sesudah hamil : 32,6 09 kg/m2
3. Vital sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 89 x/menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu : 36.7 0C
4. Pemeriksaan kepala
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : discharge (-/-), napas cuping hidung (-/-)
Mulut : sianosis (-)
5. Pemeriksaan leher
Tiroid : tak ada kelainan
6. Pemeriksaan dada
Cor : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

6
Pulmo : Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-),
rhonki (-/-)
Dinding dada : Simetris, ketinggalan gerak (-/-)
7. Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : Cembung gravid
Hepar/lien : sulit dinilai
Usus : bising usus (+) normal
8. Pemeriksaan punggung : tak ada kelainan
9. Pemeriksaan coxae : tak ada kelainan
10. Pemeriksaan genitalia eksterna : lendir darah (-), pengeluaran air (-) fluor
albus (-)
11. Pemeriksaan ekstremitas : Edema -/-/-/-
12. Pemeriksaan limphonodi : tak ada pembesaran kelenjar getah bening
13. Pemeriksaan reflek : reflek fisiologis (+), reflek patologis (-)
14. Pemeriksaan turgor kulit : capillary refill < 2 detik
15. Pemeriksaan akral : hangat +/+/+/+

D. PEMERIKSAAN LOKAL
1. Status lokalis abdomen
a. Inspeksi : cembung gravid, umbilicus cembung, spider nevi
(-), caput medusa (-), venektasi kolateral (-)
b. Auskultasi : bising usus (+) normal.
c. Perkusi : pekak janin
d. Palpasi : nyeri tekan (-)
Tinggi Fundus Uteri (TFU) : 29 cm
Taksiran Berat Janin (TBJ) : 2,790 gr
Leopold I : Teraba bagian bulat lunak di fundus uteri kesan
bokong
Leopold II : Teraba tahanan memanjang di bagian kanan ibu
Leopold III : Teraba bagian keras kesan kepala, imobile
Leopold IV : Divergen
DJJ : 12 13 12

7
2. Pemeriksaan dalam :
a. Inspeksi : vulva vagina tenang, tidak ada lesi, kondiloma, tidak ada
kista, tidak ada varises vagina, tidak ada massa
b. Dinding vagina licin, supel
c. Portio : tebal, konsistensi lunak, effacement 60%
d. Pembukaan (-)
e. Kulit ketuban (+)
f. Presentasi belakang kepala
g. Janin: penurunan Hodge I
h. Point of direction (POD) : tidak dapat dinilai
i. STLD (+)
j. AK (-)

E. PERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah lengkap dan kimia klinik
Tabel 1. Pemeriksaan Darah Tanggal 19 Juni 2019
PEMERIKSAAN HASIL NILAI SATUAN
DARAH NORMAL
Darah Lengkap
Hemoglobin L 11,5 11,7-15,5 g/dL
Leukosit 13660 3600-11000 U/L
Hematokrit 35 35-47 Δ
Eritrosit 4,2 3,8-5,2 10^6/Ul
Trombosit 350.000 150.000-440.000 /uL
MCV 84,1 80-100 fL
MCH 27,3 26-34 Pg
MCHC 32,5 32-36 Δ
RDW 13,5 11,5-14,5 Δ
MPV 9,4 9,4-12,3 fL
Hitung Jenis
Basofil 0,5 0.0-1,0 %
Eosinofil L 0,1 2,0-4,0 %
Batang L 2,5 3,0-5,0 %
Segmen H 79,4 40,0-70,0 %
Limfosit L 13,0 25,0-40,0 %

8
Monosit 4,5 2,0-8,0 %
PT H 12,8 9,3-11,4 Detik
APTT H 47,6 29,0-40,2 Detik
Kimia Klinik
Albumin L 2,89 3,40-5,00 mg/dL
Glukosa Sewaktu 92 <=200 mg/dL
Natrium 141 134-146 mEq/L
Kalium 3,2 3,4-4,5 mEq/L
Klorida 104 96-108 mEq/L
Sero Imunologi
HbsAg Non reaktif

2. Pemeriksaan Urin
Tabel 2. Pemeriksaan Urin
Urin Lengkap HASIL NILAI NORMAL
Fisis
Warna Kuning Kuning muda-kuning tua
Kejernihan Agak keruh Jernih
Bau Khas Khas
Kimia
Berat Jenis 1,020 1,010-1,030
Eritrosit 0 Negatif
pH 7,0 5.0-9.0
Nitrit Negatif Negatif
Protein 30 Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton 15 Negatif
Urobilinogen 0,1 mg/dL 0.1-1.0
Bilirubin Negatif Negatif
Eritrosit Negatif Negatif
Sedimen
Eritrosit 0-1 Negatif
Leukosit 10-20 Negatif

9
Epitel 20-40 Negatif

Bakteri >30 Negatif

F. DIAGNOSA KLINIK DI POLI


Gravida 4 para 2 abortus 1 usia 36 tahun hamil 42 minggu, janin tunggal hidup
intrauterine presentasi kepala punggung kanan belum inpartu dengan
oligohidramnion dan postterm.

G. TINDAKAN DAN TERAPI


1. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pasien mengenai penyakitnya
dan rencana terapi atau tindakan yang akan diberikan.
2. Rawat ruang bersalin
3. Rencana induksi kehamilan dengan oksitosin 5 IU drip, KTG print, dan
observasi DJJ ketat.

H. FOLLOW UP BANGSAL
Tabel 3. Catatan Perkembangan Pasien di Ruang Bersalin
Persalinan Kala I
Tanggal Tanda Vital His DJJ Keadaan umum dll
Jam
19/06/ TD : 121/79 - 140 KU : baik
2019 N : 89x/ TFU 30 cm
15.30 menit DJJ - VT belum ada
RR : 20 pembukaan
S : 36,5 A : G4P2A1 usia 36 tahun
hami 41 minggu, JTHIU
serotinus, presentasi kepala,
punggung kanan , dengan
oligohidramnion, post term
P: cek lab DL, PT, APTT,
GDS, HbSAg.
Rencana induksi persalinan
dengan oxytosin 5 IU
KTG print
Observasi DJJ ketat
16.00 Nadi : 84x/ - 138 KU: baik
menit

10
16.30 Nadi : 82x/ - 142 KU: baik
menit VT : pembukaan 1 cm
KK (+)
Kepala turun Hodge I
Porsio tebal lunak
17.00 Nadi : 80x/ - 138 KU: baik
menit Instruksi DPJP : induksi
persalinan dengan oxytosin
5 IU
Drip oxytosin 5 IU mulai 8
TPM
17.30 Nadi : 84x/ 1X/10’/10’’ 138 Drip oxytosin 5 IU 12 TPM
menit
18.00 Nadi : 80x/ 1X/10’/10’’ 142 Drip oxytosin 5 IU 16 TPM
menit
18.30 Nadi : 80x/ 1X/10’/10’’ 148 Drip oxytosin 5 IU 20 TPM
menit
19.00 Nadi : 85x/ 1X/10’/10’’ 147 KU: baik
menit
19.30 TD: 121/802 1X/10’/10’’ 146 KU: baik
N : 85x/
menit
20.00 Nadi : 83x/ 2X/10’/15’’ 150 KU: baik
menit
20.30 Nadi : 82x/ 2X/10’/15’’ 151 KU: baik
menit
21.00 Nadi : 80x/ 2X/10’/15’’ 134 KU : baik
menit VT 1 jari
KK(+)
Kepala Hodge I
Porsio tebal lunak
21.30 Nadi : 83x/ 2X/10’/15’’ 140 KU: baik
menit
22.00 Nadi : 80x/ 2X/10’/15’’ 136 KU: baik
menit
22.30 Nadi : 84x/ 2X/10’/20’’ 130 KU: baik
menit
23.00 Nadi : 86x/ 2X/10’/20’’ 134 KU: baik
menit
23.30 TD: 125/79 2X/10’/20’’ 137 KU: baik
mmHg
N : 85x/
menit
20/06/20 Nadi : 80x/ 2X/10’/20’’ 142 KU: baik
19 menit
00.00

11
00.30 Nadi : 85x/ 2X/10’/20’’ 152 KU: baik
menit
01.00 Nadi : 86x/ 2X/10’/20’’ 145 KU: baik
menit
01.30 Nadi : 83x/ 2X/10’/20’’ 138 KU: baik
menit
02.00 Nadi : 84x/ 2X/10’/20’’ 143 KU: baik drip oxytosin 5 IU
menit botol 1 habis  VT
pembukaan 2 cm KK (+)
Kepala Hodge I porsio tebal
lunak
02.30 Nadi : 88x/ 2X/10’/20’’ 136 KU: baik
menit
03.00 Nadi : 86x/ 2X/10’/20’’ 140 KU: baik
menit
03.30 TD: 124/79 2X/10’/20’’ 145 KU: baik
mmHg
N : 86x/
menit
04.00 Nadi : 80x/ 2X/10’/20’’ 134 KU: baik
menit
04.30 Nadi : 84x/ 2X/10’/20’’ 132 KU: baik
menit
05.00 Nadi : 83x/ 2X/10’/20’’ 139 KU: baik
menit
05.30 Nadi : 82x/ 2X/10’/20’’ 141 KU: baik
menit Lapor dr. Ragam hasil KTG
print ulang  hasil reaktif
Instruksi : drip oxitosin 5 IU
sambung botol ke-2
06.00 Nadi : 82x/ 2X/10’/20’’ 137 KU: baik
menit VT pembukaan 2 cm, KK
(+), kepala turun H1, porsio
tebal lunak
Dikerjakan drip oxitosin 5
IU botol ke-2
06.30 Nadi : 84x/ 2X/10’/20’’ 136 KU: baik
menit
07.00 Nadi : 84x/ 2X/10’/20’’ 139 KU: baik
menit
07.30 TD: 121/81 2X/10’/20’’ 153 KU: baik
mmHg
N : 80x/
menit
08.00 Nadi : 84x/ 2X/10’/20’’ 152 KU: baik
menit
08.30 Nadi : 80x/ 2X/10’/20’’ 143 KU: baik
menit

12
09.00 Nadi : 80x/ 2X/10’/20’’ 142 KU: baik
menit
09.30 Nadi : 82x/ 2X/10’/20’’ 143 KU: baik
menit
10.00 Nadi : 86x/ 2X/10’/20’’ 143 KU: baik
menit
10.30 TD: 119/83 2X/10’/20’’ 146 KU: baik
mmHg VT pembukaan 2 cm, KK
N : 80x/ (+), kepala turun H1, portio
menit tebal lunak
11.00 Nadi : 84x/ 2X/10’/20’’ 143 KU: baik
menit
11.30 Nadi : 80x/ 2X/10’/25’’ 138 KU: baik
menit
12.00 Nadi : 82x/ 2X/10’/25’’ 140 KU: baik
menit
12.30 Nadi : 82x/ 2X/10’/25’’ 145 KU: baik
menit
13.00 Nadi : 80x/ 2X/10’/25’’ 156 KU: baik
menit
13.30 Nadi : 88x/ 2X/10’/25’’ 146 KU: baik
menit dr. Marta, Sp.OG periksa :
VT pembukaan 2 cm, KK
(+), kepala turun H1, portio
tebal lunak
Intruksi dr. Marta, Sp. OG :
Inj. Cefazolin 2 gr
14.00 Nadi : 80x/ 2X/10’/25’’ 144 KU: baik
menit Skin test cefazolin (+)
14.30 TD: 120/80 2X/10’/25’’ 142 KU: baik
mmHg Inj. Cefazolin 2 gr diberikan
N : 83x/
menit
15.00 Nadi : 82x/ 2X/10’/25’’ 142 KU: baik
menit
15.30 Nadi : 80x/ 2X/10’/25’’ 152 KU: baik
menit
16.00 Nadi : 85x/ 2X/10’/25’’ 148 KU: baik
menit
16.30 Nadi : 87x/ 2X/10’/25’’ 148 KU: baik
menit
17.00 Nadi : 86x/ 2X/10’/25’’ 152 KU: baik
menit
17.30 Nadi : 80x/ 2X/10’/25’’ 144 KU: baik
menit Drip oxitosin 5 IU botol ke-
2 habis, ganti RL kosong
dr. ragam lapor dr. Marta,
Sp. OG

13
18.00 Nadi : 81x/ 2X/10’/25’’ 140 KU: baik
menit
18.30 TD: 123/82 2X/10’/25’’ 135 KU: baik
mmHg VT pembukaan 2 cm, KK
N : 80x/ (+), kepala turun H1, portio
menit tebal lunak
dr. Ragam lapor dr. Marta,
Sp. OG
instruksi : KTG ulang
19.00 Nadi : 82x/ 2X/10’/25’’ 146 KU: baik
menit
19.30 Nadi : 82x/ 2X/10’/25’’ 148 KU: baik
menit
20.00 Nadi : 83x/ 2X/10’/25’’ 140 KU: baik
menit dr. Ragam lapor dr. Marta,
Sp. OG hasil KTG (+)

20.30 Nadi : 87x/ 2X/10’/25’’ 138 KU: baik


menit
21.00 Nadi : 86x/ 2X/10’/25’’ 138 KU: baik
menit
21.30 Nadi : 84x/ 2X/10’/25’’ 142 KU: baik
menit
22.00 Nadi : 80x/ 2X/10’/25’’ 141 KU: baik
menit
22.30 TD: 120/80 2X/10’/25’’ 140 KU: baik
mmHg VT pembukaan 2 cm, KK
N : 88x/ (+), kepala turun H1, portio
menit tebal lunak
23.00 Nadi : 83x/ 2X/10’/25’’ 139 KU: baik
menit
23.30 Nadi : 80x/ 2X/10’/25’’ 140 KU: baik
menit
21/06/20 Nadi : 81x/ 2X/10’/25’’ 11 KU: baik
19 menit
00.00
00.30 Nadi : 80x/ 2X/10’/25’’ 142 KU: baik
menit
01.00 Nadi : 84x/ 2X/10’/25’’ 150 KU: baik
menit
01.30 Nadi : 88x/ 2X/10’/25’’ 146 KU: baik
menit
02.00 Nadi : 84x/ 2X/10’/25’’ 154 KU: baik
menit
02.30 TD: 120/80 2X/10’/25’’ 150 KU: baik
mmHg
N : 80x/
menit

14
03.00 Nadi : 88x/ 2X/10’/25’’ 152 KU: baik
menit
03.30 Nadi : 87x/ 2X/10’/25’’ 155 KU: baik
menit
04.00 Nadi : 80x/ 2X/10’/25’’ 140 KU: baik
menit
04.30 Nadi : 79x/ 2X/10’/25’’ 136 KU: baik
menit
05.00 TD: 120/80 2X/10’/25’’ 152 KU: baik
mmHg VT pembukaan 2 cm, KK
N : 85x/ (+), kepala turun H1, portio
menit tebal lunak
Lapor dr. Ragam  tunggu
dr. Marta, Sp. OG visite
05.30 Nadi : 88x/ 2X/10’/25’’ 150 KU: baik
menit
06.00 Nadi : 89x/ 2X/10’/25’’ 147 KU: baik
menit
06.30 Nadi : 85x/ 2X/10’/25’’ 152 KU: baik
menit
07.00 Nadi : 80x/ 2X/10’/25’’ 154 KU: baik
menit
07.30 TD: 120/80 2X/10’/25’’ 143 KU: baik
mmHg dr. Ragam lapor dr. Marta,
N : 80x/ Sp.OG
menit
08.00 Nadi : 86x/ 2X/10’/20’’ 150 KU: baik
menit
08.30 Nadi : 78x/ 2X/10’/20’’ 144 KU: baik
menit
09.00 Nadi : 88x/ 2X/10’/20’’ 142 KU: baik
menit
09.30 Nadi : 89x/ 2X/10’/20’’ 142 KU: baik
menit DR. Marta, Sp. OG periksa
Intstruksi :
SC cito
Inform consent SC+MOW+
konsul anestesi
Inj. Cefazolin 1 gr (+)
Menghubungi VK IGD dan
OK IGD
10.00 Nadi : 87x/ 2X/10’/20’’ 142 KU: baik
menit
10.15 Nadi : 83x/ 2X/10’/20’’ 139 KU: baik
menit Acc anestesi
Pasien dibawa ke OK IGD

15
Tabel 3. Catatan Perkembangan Pasien di Bangsal Flamboyan
Tanggal S O A P
22/06/2016 Nyeri KU/ Kes: Baik/compos P3A1 36 tahun -Klindamisin
perut, mentis post SCTP+ 2x300mg
BAK (+) , TD: 130/80 mg MOW a.i -Asam
flatus (+) N: 88 x/mnt mefenamat
induksi tak
RR: 20 x/mnt 3x500mg
S: 36,0 C respon, -Adfer 2x1
Status Generalis postterm, -Kontrol poli
Mata: CA (-/-) oligohidramnion 1 minggu
SI (-/-)
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/-
C/ S1>S2, reg, ST -
Status Lok. Abd.
I: datar, bekas luka OP
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: NT – TFU 2 jr
bawah pusat
Status GE:
Lochea rubra (+),
FA (-)

I. DIAGNOSA AKHIR
P3A1 36 tahun post SCTP+MOW a.i induksi tak respon, oligohidramnion dan
postterm

J. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam

16
BAB III
MASALAH DAN PEMBAHASAN

Diagnosis awal kasus saat di Poliklinik adalah Gravida 4 Para 2


Abortus 1 Usia 36 Tahun Hamil 41 Minggu 6 Hari , Janin Tunggal Hidup
Intra Uterine Presentasi Kepala Serotinus, dan Oligohidramnion Berat.
Sedangkan diagnosis keluar pada pasien adalah Para 3 Abortus 1 Post
SCTP+MOW atas indikasi Induksi Tak Respon, Post Term, dan
Oligohidramnion. Adapun masalah yang perlu dibahas terkait dengan kasus
tersebut antara lain:

A. Kehamilan Postterm
Hasil pemeriksaan pada kasus ini Leopold I didapatkan bagian keras
pada fundus uteri kesan kepala, Leopold II teraba tahanan pada sisi kanan ibu,
dan Leopold III bagian bawah janin teraba bagian lunak kesan bokong.
Sementara itu USG menunjukkan adanya 1 janin letak sungsang yang
menunjukkan adanya kelainan posisi janin.

B. Oligohisramnion
Pada kasus ini Ny.RA, G1P0A0 usia 37 tahun dengan diagnosis Intra
Uterine Fetal Death (IUFD). Diagnosis IUFD ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. IUFD menurut
ICD 10 – International Statistical Classification of Disease and Related
Health Problemsadalahkematian fetal atau janin pada usia gestasional ≥ 22
minggu (Petersson, 2002). WHO dan American College of Obstetricians and
Gynecologist (1995) menyatakan IUFD adalah janin yang mati dalam rahim
dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim
pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Petersson, 2003; Winknjosastro,
2008).

C. Induksi Tidak Respon

17
Induksi tidak respon pada kasus ini ditegakkan berdasarkan tidak adanya
pola kontraksi adekuat yang diikuti kemajuan persalinan meliputi penipisan
dan pembukaan serviks, penurunan kepala, serta putaran paksi dalam setelah
diberikannya induksi sesuai algoritma tanpa adanya malformasi pada ibu
maupun janin.
Pada kasus ini, pasien datang ke Poliklinik Kebidanan dan Kandungan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto rujukan Puskesmas Patikraja
karena hamil sudah lewat bulan. Kondisi tersebut menyebabkan rencana
tindakan ada pasien adalah terminasi kehamilan dengan pemberian induksi
karena pasien belum inpartu. Pasien diberikan oxytosin 5 IU dan diawasi
kemajuan persalinan dan keadaan ibu serta janin secara ketat. Pada 4 jam
pertama pemberian oxytocin, hasil pemeriksaan dalam menunjukkan
pembukaan servix 1 cm, kulit ketuban positif, kepala turun hodge 1, dan
porsio tebal lunak. Pada 4 jam kedua setelah induksi, hasil pemeriksaan
dalam menunjukkan pembukaan servix 2 cm, kulit ketuban positif, kepala
turun hodge 1, dan porsio tebal lunak. Pada 4 jam ketiga, induksi
ditambahkan dengan pemberian oxytocin 5 IU botol kedua dengan kondisi
belum ada perubahan dan kemajuan persalinan dibanding pemeriksaan
sebelumnya. Pada 4 jam keempat hingga kedelapan hasil pemeriksaan dan
pengawasan pasien menunjukkan bahwa belum ada perubahan ataupun
kemajuan persalinan. Keadaan umum ibu daan janin baik, risiko cephalo
pelvic dispropostion kecil, dan tanda-tanda malformasi ibu maupun janin
lainnya tidak ditemukan, sehingga dalam kasus ini pasien dinyatakan tidak
respon terhadap induksi.

18
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. Oligohidramnion
1. Definisi
Oligohidramnion didefinisikan sebagai penurunan abnormal dari
volume cairan amnion. Oligohidramnion ditandia dengan volume cairan
amnion <500 mL pada usia kehamilan 32-36 minggu (Moise, 2013;
Morris, et al., 2014). Marcks dan Divon (1992) mendefinisikan
oligohidramnion bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan
Amnion Fluid Index (AFI) kurang dari sama dengan 5 cm.
2. Epidemiologi

19
Oligohidramnion merupakan komplikasi yang terjadi pada sekitar
4,5% dari seluruh kehamilan. Oligohidramnion lebih sering terjadi pada
kehamilan postterm, yaitu sebanyak 12% kehamilan yang berlangung
lebih dari sama dengan 42 minggu (Luton et al., 2014)
Insidensi oligohidramnion 5-8% dari seluruh kehamilan.
Diagnosis oligohidramnion dapat dicurigai jika tinggi fundus uteri secara
signifikan kurang dari usia kehamilan. Dari ultrasonografi dapat
diketahui total volume cairan amnion <300 mL, hilangnya kantong
ventrikel tunggal yang berukuran 2cm, atau AFI <5cm pada kehamilan
aterm atau <5 persentil sesuai usia kehamilan (Norwitz, 2013).
3. Anatomi dan Fisiologi Amnion
Amnion adalah selaput tipis fetus yan mulai terbentuk pada hari ke
8 setelah konsepsi sebagai kantong kecil yang membungkus permukaan
dorsal dari embryonic disc. Secara gradual amnion akan mengellingi
embryo dan kemudian cairan amnion akan mengisi rongga amnion
tersebut (Gambar 4.6) (Norwitz, 2013).
Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi
kuat. Bagian dalam selaput yang berhubungan dengan cairan merupakan
sel kuboid yang asalnya dari ektoderm (Gambar 4.7). Jaringan ini
berhubungan dengan intersisial yang mengandung kolagen I, III, dan IV.
Bagian terluar dari selaput adalah jaringan mesenkim yang berasal dari
mesoderm yang berhubungan dengan korion leave (Gambar 4.8)
(Prawirohardjo, 2009).
Cairan amnion memiliki Ph 7.2 dan massa jenis 1,0085. Cairan
amnion biasanya mengandung sedikit partikel padat yang berasal dari
kulit fetus (lanugo, sel epitel, sebasea) dan epitel amnion. Warnanya bisa
berubah menjadi hijau atau coklat jika terkena mekonium. Volume cairan
pada kehamilan aterm rata-rata sekitar 800 mL, dengan kisaran dari 400-
1500 mL pada kasus normal. Pada usia kehamilan 10 minggu volume
rata-rata ialah 30 Ml, 20 minggu sekitar 300 ml, dan pada 30 minggu
sekitar 600 ml. Dengan demikian peningkatannya perminggu yakni
sekitar 30 ml, tetapi ini akan menurun kerika mendekati aterm (Gambar

20
4.9). Adapun kandungan penting yang terdapat pada cairan amnion
ketika mendekatia term yaitu natrium 130 mmol/l, urea 3-4 mmol/l,
protein 3g/l, lesitin 30-100 mg/l, alpha –fetoprotein 0.5-5mg/l, dan
hormon serta enzim yang ebrsifat bakteriostatik (Chamberlain, 1997).
Cairan amnion berasal dari maternal dan fetal. Pada awal
kehamilan sekresi utama cairan amnion berasal dari amnion yang
kemudian berdifusi di kulit fetus. Pada kehamian 20 minggu, kulit fetus
kehilangan permeabilitasnya dan sejak saat itu cairan amnion dihasilkan
dari ginjal fetus (Gambar 4.10). pada kasus agenesis ginjal dapat terjadi
oligohidramnion (Chamberlain, 1997).
Cairan amnion memiliki fungsi penting untuk meringankan
dampak trauma eksternal pada fetus, melindungi tali pusat dari kompresi,
memudahkan pergerakan fetus sehingga membantu perkembangan sistem
muskuloskeletal fetus, untuk perkembangan paru paru,lubrikasi kulit
fetus, mencegah maternal korioamnionitis dan infeksi fetus dengan
adanya bakteriostatik, dan mengontrol suhu fetus (Norwitz, 2013).
4. Etiologi
Penyebab oligohidramnion antara lain sebagai berikut (Morris et
al., 2014):
a. Faktor Janin meliputi:
1) Kromosom
2) IUGR
3) Kehamilan postterm
4) Ketuban pecah dini
5) Kematian janin
b. Faktor Plasenta meliputi
1) Solusio plasenta
2) Twin to twin transfusion syndrome
c. Faktor Maternal meliputi
1) Dehidrasi
2) Insufisiensi uteroplasenta
3) Hipertensi

21
4) Preeklamsi
5) Diabetes
6) Hipoksia kronik
7) Obat-obatan
5. Penegakan Diagnosis
Oligohidramnion didefinisikan sebagai penuruna abnormal dari
volume cairan amnion. Oligohidramnion memiliki karakteristik sebagai
berikut ( Moise, 2013; Morris et al., 2014):
1) Volume cairan amnion <500 ml pada usia kehamilan 32-36 minggu
2) Single deepest pocket (SDP) <2cm
3) Amniotic Fluid Index (AFI) <5 cm atau <5 persentil dari umur
kehamilan
6. Patofisiologi
Penyebab pasti terjadinya oligohidramnion masih belum diketahui,
namun oligohidramnion bisa terjadi karena peningkatan
absorpsi/kehilangan cairan (seperti pada ketuban pecah dini) dan
penuruna produksi cairan amnion (seperti pada kelainan ginjal
kongenital, ACE inhibitor, obstrusi uretra, insufisiensi uteroplasenta,
infeksi kongenital, NSAIDs) (Norwitz, 2013). Adanya penyakit
hipertensi dalam kehamilan juga dapat memberikan efek langsung
terhadap terjadinya oligohidramnion, hal tersebut dikarenakan konstriksi
pada pembuluh daarah plasenta, sehingga janin menjadi oliguri bahkan
disuri (Benson, 2009).
Pecahnya membran adalah penyebab tersering dari
oligohidramnion. Namun, karena cairan ketuban terutama adalah urin
janin di paruh kedua kehamilan, tidak adanya produksi urin janin atau
penyumbatan pada saluran kemih janin dapat juga menyebabakn
oligohidramnion. Janin yang menelan cairan amnion yang terjadi secara
fisiologis , juga dapat mengurangi jumlah cairan (Charter, 2015).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan oligohidramnion berdasarkan usia kehamilan.
Rujuk merupakan pilihan yang tepat jika oligohidramnion bersfat berat.

22
Berikut penanganan oligohidramnion berdasarkan usia kehamilann,
antara lain (Mozurkewich et al., 2009):
a. Preterm
1) Manajemen ekspektatif merupakan tindakan tepat, bergantung
pada kondisi ibu dan janin
2) Pemantauan antepartum (termasuk penilaian pertumbuhan janin
dan monitoring volume cairan amnion)
3) Pemantauan denyut jantung janin secara berkala
b. Aterm
Oligohidramnion pada kehamilan aterm mungkin dilakukan
penanganan aktif dengan cara induksi persalina atau penanganan
ekspektatif dengan cara hidrasi dan pemantauan janin, dan atau USG
reguler untuk menilai volume cairan amnion. Ketika kedua pilihan
tersedia, penangan aktif adalah pendekatan yang umum dilakukan
pada wanita hamil aterm dengan atau tanpa faktor resiko pada ibu
maupun fetus.
c. Postterm
Oligohidramnion pada usia kehamilan postterm dapat diatasi
dengan penanganan aktif dengan cara induksi persalinan. Selain itu
dkenal dengan juga istilah amnioinfusi (Mozurkewich et al., 2009).

B. Postterm
1. Definisi
Kehamilan posterm atau prolonged pregnancy merupakan
kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu atau (294 hari) atau
lebih, dihitung dari hari pertama haid terakhir (Prawiroharjo, 2010).
Kasus ini mencakup 12 % dari seluruh kehamilan (Oxon, 2010). Pada
umumnya kehamilan secara normal berlangsung selama 40 minggu (280
hari). Adanya perpanjangan masa kehamilan dapat berpengaruh terhadap
peningkatan morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin. Menurut
Muchtar (2012) ibu yang mengalami kehamilan postterm saat peralinan
akan dihadapi dengan komplikasi seperti partus lama, inersia uteri,

23
atonia uteri sampai perdarahan post partum. Pada janin, kehamilan
postterm akan menghasilkan bayi besar yang dapat menyebabkan
disproporsi sefalopelvik. Oligohidramnion yang terjadi akibat postterm
dapat menyebabkan kompresi tali pusat, gawat janin sampai bayi
meninggal. Komplikasi pada janin berupa kejadian asfixia, setiap
tahunnya diperkirakan 3,6 juta dari 120 juta bayi lahir mengalami asfixia,
sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia
disebabkan oleh asfixsia neonatorum dengan proporsi lahir mati yang
lebih besar (WHO, 2010).
2. Etiopatofisiologi
Menjelang persalinan terdapat penurunan progesteron,
peningkatan oxytocin tubuh dan reseptor terhadap oxytocin, sehingga otot
rahim semakin sensitif terhadap rangsangan.Pada kehamilan lewat waktu,
terjadi sebaliknya, otot rahim tidak sensitif terhadap rangsangan, karena
ketegangan psikologis atau kelainan pada rahim (Manuaba, 2012).
Kehamilan lewat waktu disebabkan juga karena defisiensi sulfatase
placenta yang disebabkan karena penurunan kadar estrogen (Nugroho,
2012).
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
kehamilan postterm. Jenis kelamin laki – laki memberikan konrtibusi
sebesar 5% lebih banyak dari pada jenis kelamin perempuan terhadap
kejadian postterm. Kondisi ini diduga sebagai akibat pada janin laki –
laki produksi hormon kortisol lebih rendah (Puji, 2010). Berdasarkan
data persalinan di RSUD Demang Sepulau Raya Lampung Tengah tahun
2013, terdapat persalinan postterm sebanyak 61 (53,9%) bayi berjenis
kelamin laki –laki. Data ini menggambarkan bahwa jenis kelamin laki –
laki memberikan kontribusi sebesar 7% lebih banyak dari pada jenis
kelamin perempuan terhadap persalinan postterm.
Faktor penyebab lainnya terhadap kejadian persalinan postterm
adalah usia ibu. Usia ibu merupakan faktor resiko berkaitan dengan
kesiapan alat reproduksi. Seorang ibu bersalin berusia < 20 tahun atau >
35 tahun, maka ibu tersebut masuk dalam katagori berisiko tinggi.

24
Kondisi ini disebabkan pada usia kurang dari 20 tahun organ reproduksi
belumlah terbentuk dengan sempurna dan pada usia 30 – 35 tahun
merupakan usia peralihan. Hasil penelitian diperoleh ibu bersalin dengan
usia yang berisiko sebanyak 31,5%. Hasil penelitian ini lebih banyak jika
dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yasinta (2012)
di RSU Jendaral Ahmad Yani Kota Metro dengan hasil bahwa ibu
dengan usia berisiko sebanyak 26,4%. Satu faktor yang penting dalam
kehamilan dan persalinan adalah umur ibu. Karena umur ibu
mempengaruhi proses kehamilan bahkan berpengaruh pada kehamilan
yang berisiko. Angka kejadian postterm meningkat pada umur ibu
dibawah 19 tahun dan diatas 30 tahun (Cunningham, 2005). Pada usia
kurang dari 19 tahun, alat kandungan belum terbentuk sempurna, ukuran
dan kekuatan rahim belum sempurna, demikian pula alat-alat yang
melengkapi rahim. Otot-otot rahim dan tulang panggul, fungsi hormon
indung telur belum sempurna, kondisi fisik dan psikis yang belum
matang dapat menyebabkan kontraksi tidak adekuat sehingga dapat
menyebabkan persalinan lebih bulan, (Nadesul, 2005).
Kejadian ini selain berkaitan dengan belum sempurnanya
perkembangan organ reproduksi pada ibu usia < 19 tahun atau
kemunduran organ reproduksi pada ibu > 30 tahun juga dapat berkaitan
dengan kurangnya pengetahuan ibu usia muda tentang mengukur umur
kehamilannya serta pada ibu grandemulti yang kurang memperhatikan
kehamilannya dan menganggap kehamilan bukan hal baru yang harus
dikhawatirkan. Untuk itu, perlu diberikan konseling pada ibu tentang
perlunya mempertimbangkan usia ketika bermaksud untuk hamil lagi
khususnya jika ibu berada pada usia reproduksi yang berisiko, serta
penyuluhan mengenai pentingnya melakukan antenatal care guna
mengetahui secara pasti usia kehamilan ibu.
3. Komplikasi
Hubungan antara kehamilan postterm dengan risiko morbiditas
perinatal, dimana terdapat hubungan yang sangat bermakna dan
meningkatnya kehamilan postterm secara signifikan meningkatkan

25
morbiditas bayi dan besarnya risiko untuk terjadinya asfiksia bayi pada
menit pertama setelah lahir pada kehamilan postterm dan aterm
menunjukkan perbedaan yang bermakna, dimana risiko terjadinya
asfiksia cukup besar pada kehamilan postterm yaitu 3 kali lebih besar
dibandingkan dengan kehamilan aterm.
Kehamilan postterm terjadi penurunan jumlah cairan amnion
(oligohidramnion). Dengan adanya oligohidramnion akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya kompresi tali pusat, sehingga sirkulasi dan
oksigenasi ke janin terganggu dan akhirnya dapat terjadi kegawatan pada
janin akibat hipoksia janin intrauterin. Volume cairan amnion mencapai
puncaknya pada umur kehamilan 34 -36 minggu mencapai jumlah kurang
lebih 1000 ml kemudian secara bertahap berkurangdengan semakin
tuanya kehamilan.
Pada umur kehamilan 40 minggu volume cairan ketuban berkurang
menjadi kurang lebih 800 ml dan pada kehamilan 42 minggu atau lebih
volume cairan ketuban menunjukkan penurunan yang cukup besar
menjadi 250-300 ml. Berkurangnya cairan ketuban ini akan
meningkatkan adanya kompresi tali pusat sehingga sirkulasi dan
oksigenasi ke janin terganggu dan akhirnya akan terjadi asfiksia pada
saat bayi lahir akibat hipoksia janin intrauterin. Dan adanya cairan
amnion yang diwarnai oleh mekonium merupakan faktor risiko
meningkatnya morbiditas bayi baru lahir mengingat kemungkinan
aspirasi mekonium dapat terjadi terutama selama proses persalinan.
Adanya aspirasi mekonium akan menyebabkan obstruksi pada saluran
nafas yang berakibat gawat nafas pada bayi baru lahir disamping juga
akibat reaksi kimiawi yang ditimbulkan akan menyebabkan hipoksi janin
sampai kematian. Dan hal ini dapat mengakibatkan asfiksia intrauterin
dan aspirasi mekonium yang berlanjut ke astiksia pada daat bayi baru
lahir. Prawirohardjo (1999) menyebutkan bahwa adanya mekonium dapat
dikarenakan proses fisiologis sebagai tanda dari semakin maturnya fungsi
atau akibat aktivitas refleks vagal dari traktus gastrointestinal, namun

26
lebih sering akibat hipoksia janin dalam rahim terutama pada kehamilan
postterm dimana terjadi insufisiensi uteroplasenta.

C. Induksi persalinan
1. Definisi Induksi Persalinan
Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai
terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan
adalah meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus
dalam persalinan. (Saifuddin, 2002). Induksi dimaksudkan sebagai
stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi persalinan spontan, dengan atau
tanpa rupture membrane. Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap
kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi
serviks dan penurunan janin. (Cunningham, 2013). Induksi persalinan
adalah upaya memulai persalinan dengan cara-cara buatan sebelum atau
sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya his
(Sinclair, 2010).
Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan
terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun
medisinal, untukm merangsang timbulnya atau mempertahankan
kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Atau dapat juga diartikan
sebagai inisiasi persalinan secara buatan setelah janin viable (Llewellyn,
2002).
2. Indikasi Induksi Persalinan
Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi
kesehatannya atau kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut.
Induksi persalinan mungkin diperlukan untuk menyelamatkan janin dari
lingkungan intra uteri yang potensial berbahaya pada kehamilan lanjut
untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan
ibu (Llewellyn, 2002).
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini,
kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi
berat, hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan

27
pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, perdarahan
antepartum, dan umbilical abnormal arteri dopple (Oxford, 2013).
3. Kontra Indikasi Induksi Persalinan
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi
untuk menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya
yaitu: disproporsi sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli,
polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan
letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital
aktif. (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002).
4. Komplikasi dan Risiko Induksi Persalinan
Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi
persalinan maupun setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan
antara lain: atonia uteri, hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat,
rupture uteri, solusio plasenta, hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi
intra uterin, perdarahan post partum, kelelahan ibu dan krisis emosional,
serta dapat meningkatkan pelahiran caesar pada induksi elektif.
(Cunningham, 2013; Winkjosastro, 2002).
5. Persyaratan Induksi persalinan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi
beberapa kondisi/persyaratan sebagai berikut (Oxorn, 2010):
a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar
dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop.
Jika kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan
pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau
dengan metode mekanis.
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
6. Proses Induksi
Proses Induksi ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai
proses induksi, yaitu kimia dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua

28
cara ini dilakukan untuk mengeluarkan zat prostaglandin yang berfungsi
sebagai zat penyebab otot rahim berkontraksi.
a. Secara kimia atau medicinal/farmakologis
1) Prostaglandin E2 (PGE2)
PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat
dimasukkan intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini
yang digunakan secara lokal akan menyebabkan pelonggaran
kolagen serviks dan peningkatan kandungan air di dalam jaringan
serviks. PGE2 memperlunak jaringan ikat serviks dan
merelaksasikan serabut otot serviks, sehingga mematangkan
serviks. PGE2 ini pada umumnya digunakan untuk mematangkan
serviks pada wanita dengan nilai bishop antara 5 - 7. (Sinclair,
2010; Llewellyn, 2002).
Bentuk gelnya (prepidil) tersedia dalam suntikan 2,5 ml untuk
pemberian intraserviks berisi 0,5 mg dinoprostone. Ibu dalam
posisi terlentang, ujung suntikan yang belum diisi diletakkan di
dalam serviks, dan gel dimasukkan tepat di bawah ostium serviks
interna. Setelah pemberian, ibu tetap berbaring selama setidaknya
30 menit. Dosis dapat diulang setiap 6 jam, dengan maksimum
tiga dosis yang direkomendasikan dalam 24 jam.
Cervidil (dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan
serviks. Bentuknya yang persegi panjang (berupa wafer
polimerik) yang tipis dan datar, yang dibungkus dalam kantung
jala kecil berwarna putih yang terbuat dari polyester. Kantungnya
memiliki ekor panjang agar mudah untuk mengambilnya dari
vagina.pemasukannya memungkinkan dilepaskannya obat 0,3
mg/jam (lebih lambat dari pada bentuk gel) (Cunningham, 2013).
Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan
melintang pada forniks posterior vagina. Pelumas harus
digunakan sedikit, atau tidak sama sekali, saat pemasukan.
Pelumas yang berlebihan dapat menutupi dan mencegah
pelepasan dinoprostone. Setelah pemasukan, ibu harus tetap

29
berbaring setidaknya 2 jam. Obat ini kemudian dikeluarkan
setelah 12 jam atau ketika persalinan aktif mulai terjadi. Cervidil
ini dapat dikeluarkan jika terjadi hiperstimulasi. American
College of Obstetricians and Gynecologists (1999)
merekomendasikan agar pemantauan janin secara elektronik
digunakan selama cervidil digunakan dan sekurang-kurangnya
selama 15 menit setelah dikeluarkan. (Sinclair, 2010;
Cunningham, 2013).
Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam
adalah peningkatan aktivitas uterus, menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists (1999) mendeskripsikannya
sebagai berikut:
a) Takisistol uterus diartikan sebagai ≥6 kontraksi dalam periode
10 menit.
b) Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang
berlangsung lebih lama dari 2 menit
c) Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan
pola denyut jantung janin yang meresahkan.
Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah
bagi janin bisa berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum
adanya persalinan spontan, maka penggunaannya tidak
direkomendasikan. Kontra indikasi untuk agen prostaglandin
secara umum meliputi asma, glaucoma, peningkatan tekanan
intra-okular. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013)
2) Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui
sebagai tablet 100 atau 200 μg. Obat ini telah digunakan secara
off label (luas) untuk pematangan serviks prainduksi dan dapat
diberikan per oral atau per vagina. Tablet ini lebih murah daripada
PGE2 dan stabil pada suhu ruangan. Sekarang ini, prostaglandin
E1 merupakan prostaglandin pilihan untuk induksi persalinan atau

30
aborsi pada Parkland Hospital dan Birmingham Hospital di
University of Alabama. (Sinclair, 2010; Cunningham, 2013).
Misoprostol oral maupun vagina dapat digunakan untuk
pematangan serviks atau induksi persalinan. Dosis yang
digunakan 25 – 50 μg dan ditempatkan di dalam forniks posterior
vagina. 100 μg misoprostol per oral atau 25 μg misoprostol per
vagina memiliki manfaat yang serupa dengan oksitosin intravena
untuk induksi persalinan pada perempuan saat atau mendekati
cukup bulan, baik dengan rupture membrane kurang bulan
maupun serviks yang baik. Misoprostol dapat dikaitkan dengan
peningkatan angka hiperstimulasi, dan dihubungkan dengan
rupture uterus pada wanita yang memiliki riwayat menjalani
seksio sesaria. Selain itu induksi dengan PGE1, mungkin terbukti
tidak efektif dan memerlukan augmentasi lebih lanjut dengan
oksitosin, dengan catatan jangan berikan oksitosin dalam 8 jam
sesudah pemberian misoprostol. Karena itu, terdapat
pertimbangan mengenai risiko, biaya, dan kemudahan pemberian
kedua obat, namun keduanya cocok untuk induksi persalinan.
Pada augmentasi persalinan, hasil dari penelitian awal
menunjukkan bahwa misoprostol oral 75 μg yang diberikan
dengan interval 4 jam untuk maksimum dua dosis, aman dan
efektif. (Saifuddin, 2002, Cunningham, 2013).
3) Donor Nitrit Oksida
Beberapa temuan telah mengarahkan pada pencarian zat
yang menstimulusi produksi nitrit oksida (NO) lokal yang
digunakan untuk tujuan klinis diantaranya yakni, nitrit oksida
merupakan mediator pematangan serviks, metabolit NO pada
serviks meningkat pada awal kontraksi uterus, dan produksi NO
di serviks sangat rendah pada kehamilan lebih bulan. Dasar
pemikiran dan penggunaan donor NO yaitu isosorbide
mononitrate dan glyceryl trinitrate. isosorbide mononitrate
menginduksi siklo-oksigenase 2 serviks, agen ini juga

31
menginduksi pengaturan ulang ultrastruktur serviks, serupa
dengan yang terlihat pada pematangan serviks spontan. Namun
sejauh ini uji klinis belum menunjukkan bahwa donor NO sama
efektifnya dengan prostaglandin E2 dalam menghasilkan
pematangan serviks, dan penambahan isosorbide mononitrate
pada dinoprostone atau misoprostol tidak meningkatkan
pematangan serviks pada awal kehamilan atau saat cukup bulan
dan tidak mempersingkat waktu pelahiran pervaginam.
(Cunningham, 2013).
4) Pemberian Oksitosin Intravena
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan
aktifitas uterus yang cukup untuk menghasilkan perubahan
serviks dan penurunan janin. Sejumlah regimen oksitosin untuk
stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (1999). Oksitosin diberikan
dengan menggunakan protokol dosis rendah (1 – 4 mU/menit)
atau dosis tinggi (6 – 40mU/menit), awalnya hanya variasi
protokol dosis rendah yang digunakan di Amerika Serikat,
kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis
tinggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan
untuk induksi dan augmentasi persalinan karena tidak ada
regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk
memperpendek waktu persalinan. (Cunningham, 2013).
Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin
dapat terjadi dari hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri
dapat pula terjadi, lebih-lebih pada multipara. Untuk itu
senantiasa lakukan observasi yang ketat pada ibu yang mendapat
oksitosin. Dosis efektif oksitosin bervariasi, kecepatan infus
oksitosin untuk induksi persalinan dapat dilihat pada table
berikut:

32
Dublin (tahun 1984) menguraikan protokol untuk
penatalaksanaan aktif persalinan yang menggunakan oksitosin
dosis awal dan tambahan 6 mU/menit. Dan di Parkland Hospital,
Satin, dkk (1992) mengevaluasi regimen oksitosin dengan dosis
tersebut, peningkatan dengan interval 20 menit jika diperlukan,
menghasilkan rata-rata waktu masuk ke persalinan yang lebih
singkat, lebih sedikit induksi yang gagal, dan tidak ada kasus
sepsis neonatus. Dan dengan percobaan pada sampel yang
berbeda, mereka yang mendapat regimen 6 mU/menit memiliki
durasi waktu persalinan yang lebih singkat, persalinan forseps
yang lebih sedikit, pelahiran caesar karena distosia yang lebih
sedikit, dan menurunnya korioamnionitis intrapartum atau sepsis
neonatorum.

Dengan demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan


dengan memberikan regimen dosis yang lebih tinggi
dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland hospital
penggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6
mU/menit secara rutin telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan
di Birmingham Hospital di University Alabama memulai
oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai
kebutuhan setiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan
30 mU/menit. Walaupun regimen yang pertama tampaknya sangat
berbeda, jika tidak ada aktifitas uterus, kedua regimen tersebut
mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam infuse.
(Cunningham, 2013)

33
Di bawah ini merupakan tabel untuk salah satu protab
kecepatan infus oksitosin untuk induksi persalinan:

Jika setelah mengikuti protokol berdasarkan tabel di atas


tetap belum terbentuk pola kontraksi yang baik dengan
penggunaan konsentrasi oksitosin yang tinggi maka pada
multigravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan
section caesar. Pada primigravida dapat diberikan infuse oksitosin
konsentrasi tinggi (10 unit dalam 500 ml) sesuai dengan protokol
berikut.

34
Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis
maksimal, lahirkanlah janin melalui sectio caesar. Dalam
pemberian infuse oksitosin, selama pemberian ada beberapa hal
yang harus diperhatikan oleh petugas diantaranya adalah sebagai
berikut.

a) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara


cermat
b) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik,
pertahankan kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran.
c) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri
d) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20
mIU/ml) pada multigravida dan pada ibu dengan riwayat
section caesar.

35
e) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya
sampai terbentuk pola kontraksi yang baik, kemudian
pertahankan infus pada kecepatan tersebut. (Saifuddin, 2002)
2) Secara mekanis atau tindakan
a) Kateter Transservikal (Kateter Foley)
Kateter foley merupakan alternatif yang efektif
disamping pemberian prostaglandin untuk mematangkan
serviks dan induksi persalinan. Akan tetapi tindakan ini tidak
boleh digunakan pada ibu yang mengalami servisitis,
vaginitis pecah ketuban, dan terdapat riwayat perdarahan.
Kateter foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis
servikalis (os seviks interna) di dalam segmen bawah uterus
(dapat diisi sampai 100 ml). tekanan kearah bawah yang
diciptakan dengan menempelkan kateter pada paha dapat
menyebabkan pematangan serviks. Modifikasi cara ini, yang
disebut dengan extra-amnionic saline infusion (EASI), cara
ini terdiri dari infuse salin kontinu melalui kateter ke dalam
ruang antara os serviks interna dan membran plasenta. Teknik
ini telah dilaporkan memberikan perbaikan yang signifikan
pada skor bishop dan mengurangi waktu induksi ke
persalinan. (Cunningham, 2013).
Penempatan kateter, dengan atau tanpa infuse salin
yang kontinu, menghasilkan perbaikan favorability serviks
dan sering kali menstimulasi kontraksi. Sherman dkk. (1996),
merangkum hasil dari 13 percobaan dengan metode ini
menghasilkan peningkatan yang cepat pada skor bishop dan
persalinan yang lebih singkat. Chung dkk. (2003) secara acak
mengikutsertakan 135 wanita untuk menjalani teknik induksi
persalinan dengan kateter foley ekstra amnion dengan inflasi
balon sampai 30 ml juga menghasilkan waktu rata-rata
induksi ke pelahiran memendek secara nyata. Dan Levy dkk.
(2004) melaporkan bahwa penggunaan balon kateter foley

36
transservikal 80 ml lebih efektif untuk pematangan serviks
dan induksi dari pada yang 30 ml. (Cunningham, 2013).
Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai
berikut:
a) Pasang speculum pada vagina
b) Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik dengan
menggunakan cunam tampon.
c) Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri
internum
d) Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml
air
e) Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina
f) Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi
uterus atau maksimal 12 jam
g) Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan
kemudian lanjutkan dengan infuse oksitosin.
(Saifuddin, 2002)
3) Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
Dilatasi serviks dapat juga di timbulkan menggunakan dilator
serviks osmotik higroskopik. Teknik yang dilakukan yakni
dengan batang laminaria dan pada keadaan dimana serviks masih
belum membuka. Dilator mekanik ini telah lama berhasil
digunakan jika dimasukkan sebelum terminasi kehamilan, tetapi
kini alat ini juga digunakan untuk pematangan serviks sebelum
induksi persalinan. Pemasangan laminaria dalam kanalis
servikalis dan dibiarkan selama 12-18 jam, kemudian jika perlu
dilanjutkan dengan infus oksitosin. (Cunningham, 2013)
4) Stripping membrane
Stripping membrane yaitu cara atau teknik melepaskan atau
mamisahkan selaput kantong ketuban dari segmen bawah uterus.
Induksi persalinan dengan “stripping” membrane merupakan
praktik yang umum dan aman serta mengurangi insiden

37
kehamilan lebih bulan. Stripping dapat dilakukan dengan cara
manual yakni dengan jari tengah atau telunjuk dimasukkan dalam
kanalis servikalis. (Cunningham, 2013)
5) Induksi Amniotomi
Ruptur membrane artifisial atau terkadang disebut dengan
induksi pembedahan, teknik ini dapat digunakan untuk
menginduksi persalinan. Pemecahan ketuban buatan memicu
pelepasan prostaglandin. Amniotomi dapat dilakukan sejak awal
sebagai tindakan induksi, dengan atau tanpa oksitosin. Pada uji
acak, Bacos dan Backstrom (1987) menemukan bahwa amniotomi
saja atau kombinasi dengan oksitosin lebih baik dari pada
oksitosin saja. Induksi persalinan secara bedah (amniotomi) lebih
efektif jika keadaan serviks baik (skor Bishop > 5). Amniotomi
pada dilatasi serviks sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan
spontan selama 1 sampai 2 jam, bahkan Mercer dkk. (1995)
dalam penelitian acak dari 209 perempuan yang menjalani induksi
persalinan baik itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm ataupun
amniotomi lanjut pada dilatasi 5 cm didapatkan awitan persalinan
yang lebih singkat yakni 4 jam (Cunningham, 2013; Sinclair,
2010)
Namun ada komplikasi atau resiko yang dapat timbul setelah
dilakukan amniotomi yakni: sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali
pusat, infeksi (jika jangka waktu antara induksi-persalinan > 24
jam), perdarahan ringan, perdarahan post partum (resiko relatif 2
kali dibandingkan dengan tanpa induksi persalinan),
hiperbilirubinemia neonatus (bilirubin > 250 μmol/l) (Llewellyn,
2002).
6) Stimulasi putting susu
Untuk stimulasi payudara gunakan pedoman CST dan pantau
DJJ dengan auskultasi atau pemantauan janin dengan
cardiotografi. Observasi adanya hiperstimulasi pada uterus.
(Varney, 2002)

38
7) Hubungan seksual
Hanya dilakukan apabila ketuban dalam keadaan utuh.
Orgasme pada wanita akan menyebabkan kontraksi uterus. semen
atau sperma mengandung prostaglandin, sehingga dapat pula
merangsang kontraksi. (Varney, 2002).
Tanda-tanda induksi baik yaitu: respons uterus berupa
aktifitas kontraksi miometrium baik, kontraksi simetris, dominasi
fundus, relaksasi baik (sesuai dengan tanda-tanda his yang
baik/adekuat), dan nilai serviks menurut bishop. Prinsip penting:
monitor keadaan bayi, keadaan ibu, awasi tanda-tanda rupture
uteri dan harus memahami farmakokinetik, farmakodinamik,
dosis dan cara pemberian obat yang digunakan untuk stimulasi
uterus (Saifuddin, 2002).

BAB V
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

39
Ayyavoo, A., Derraik, G. B., Hofman, P. L., & Cutfield, W. S. 2014. Postterm
births: are prolonged pregnancies too long? The Journal of Pediatrics,
164(3), 647–651.
Diflayzer, Syahredi, S. A., & Nofita, E. 2014. Gambaran faktor risiko
kegawatdaruratan obstetri pada ibu bersalin yang masuk di bagian
obstetri dan ginekologi RSUD Dr. Rasidin Padang tahun 2014. Jurnal
Kesehatan Andalas, 6(3), 634–640.
Hemalatha, K. R., & Shankar, P. 2017. Study of maternal and foetal outcome in
post-term pregnancies. International Journal of Reproduction,
Contraception, Obstetrics and Gynecology, 6(7), 3147–3150.
Kemenkes RI. 2013. Laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013.
Jakarta.
Mengesha, H. G., Lerebo, W. T., Kidanemariam, A., Gebrezgiabher, G., &
Berhane, Y. 2016. Pre-term and post-term births : predictors and
implications on neonatal mortality in Northern Ethiopia. BMC Nursing,
15(48), 1–11.
Seikku, L., Gissler, M., Andersson, S., Rahkonen, P., Stefanovic, V., Tikkamen,
M., Rahkonen, L. 2016. Asphyxia, neurologic morbidity, and perinatal
mortality in early- term and postterm birth. Pediatrics, 137(6), 1– 9.
Vitale, S. G., Marilli, I., & Cianci, A. 2015. Diagnosis, antenatal surveillance and
management of prolonged pregnancy: current perspectives. Minerva
Ginecol, 67(4), 365– 373.

40

Anda mungkin juga menyukai