Anda di halaman 1dari 18

PRESENTASI KASUS

BLOK 7.4 FOUNDATION FOR CLINICAL ROTATION


ABSES BARTHOLIN

Pembimbing :
dr. Marta Isyana Dewi, Sp.OG

Disusun oleh :

Maharani Kartika Dewi G1A016012


Silvymay Nurbasuki G1A016013
Marhamdani G1A016014
Aviasenna Andriand G1A016015

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KANDUNGAN DAN KEBIDANAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :


ABSES BARTHOLIN

Pada tanggal, 14 Desember 2019

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


Blok 7.4 di Bagian Ilmu Kandungan dan Kebidanan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto

Disusun oleh :
Maharani Kartika Dewi G1A016012
Silvymay Nurbasuki G1A016013
Marhamdani G1A016014
Aviasenna Andriand G1A016015

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Marta Isyana Dewi, Sp.OG


NIP. ..…………………………..
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Pawit Asa Amindar
Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Karangklesem, RT 3/RW 5, Purwokerto Selatan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Menikah : Menikah
Nama Suami : Aji Noto Pambudi
Umur : 23
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Alamat : Karangklesem, RT 3/RW 5, Purwokerto Selatan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Buruh
Tanggal Masuk RSMS : 12 Desember 2019
Nomor CM : 02122230

B. Anamnesis
Diambil autoanamnesis pada hari Jumat, 13 Desember 2019 Pukul 06.30 WIB
1. Keluhan Utama
Nyeri dan benjolan pada alat kelamin
2. Keluhan Tambahan
-
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri dan benjolan pada alat kelamin
bagian kanan sejak 8 hari yang lalu. Awalnya nyeri hanya dirasakan ketika
berhubungan seksual, namun semakin lama semakin memberat dan
benjolan bertambah besar. Nyeri dirasakan seperti tersayat dan memberat
ketika berjalan, duduk serta menggerakkan kaki. Keluhan berkurang saat
pasien istirahat atau tidak ada yang bersinggungan dengan benjolan
tersebut. Sebelumnya pasien mengalami demam (+) dan keputihan (+)
bening lengket, riwayat keluar darah dari kemaluan (-) disangkal.
Dua tahun yang lalu timbul benjolan tanpa disertai nyeri pada alat
kelamin dengan ukuran kecil. Keluhan muncul sebelum pasien hamil dan
pasien tidak memeriksakan keadaan tersebut karena dirasa tidak
mengganggu. Delapan hari SMRS benjolan membesar disertai rasa nyeri,
demam dan keputihan. BAK (+), BAB (+).

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat kelainan darah : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat hipertensi : disangkal
f. Riwayat diabetes melitus : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal
h. Riwayat keganasan : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat kelainan darah : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat hipertensi : disangkal
f. Riwayat diabetes melitus : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal
h. Riwayat keganasan : disangkal
6. Riwayat Menstruasi
a. Menarche : 13 tahun
b. Lama haid : 7 hari
c. Siklus haid : teratur
d. Dysmenorrhea : tidak ada
e. Jumlah darah haid : normal (2-3 kali ganti pembalut)
7. Riwayat Nikah
Jumlah / Lama : 1 kali / 2,5 tahun
8. Riwayat Kontrasepsi
KB Implan 13 bulan
9. Riwayat Obstetri
P1A0
Anak ke-1 : Laki-laki/17 bulan/SC (Fetal distress)/Dokter/3900 gram
10. Riwayat Ginekologi
a. Riwayat operasi : Sectio caessaria
b. Riwayat kuret : Tidak ada
c. Riwayat keputihan : ada / bening
d. Riwayat perdarahan pervaginam : tidak ada
11. Riwayat Nutrisi
Pasien makan 3 – 4 kali sehari, konsumsi sayur, gorengan, dan senang
konsumsi mie instan dan bakso.
12. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berasal dari kalangan menengah ke bawah. Pasien merupakan ibu
rumah tangga dan suami pasien bekerja sebagai buruh pabrik. Pasien
tinggal Bersama suami, anak, dan mertua. Pasien umum. Pasien memiliki
kebiasaan cebok dari belakang ke depan.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum / kesadaran : Baik / Kompos mentis
2. Tanda vital :
- Tekanan darah : 107/74 mmHg
- HR : 83x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 36,5°C
3. Antropometri :
- Tinggi badan : 164 cm
- Berat badan : 60 kg
- IMT : 22,3 (normal)
4. Pemeriksaan kepala
- Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
- Hidung : Nafas cuping hidung (-), discharge (-)
- Mulut : Sianosis (-) / kering (-)
5. Pemeriksaan leher
- Tiroid : pembesaran tiroid (-)
6. Pemeriksaan dada
- Pulmo :
Inspeksi : simetris (+), retraksi (-)
Palpasi : fokal fremitus (+/+) normal, simetris (+)
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
- Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis pada SIC V linea midclavicular sinistra
Perkusi : Batas kanan atas SIC II linea parasternal dextra
Batas kiri atas SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan bawah SIC IV linea parasternal dextra
Batas kanan bawah SIC V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
7. Abdomen :
Dinding perut : cembung (-)
Hepar : tidak teraba pembesaran
lien : tidak teraba pembesaran
Usus : BU (+) normal
8. Pemeriksaan punggung : dbn
9. Pemeriksaan coxae : dbn
10. Pemeriksaan ekstremitas :
Superior : edem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-)
Inferior : edem (-/-), akral hangat (+/+), CRT <2dtk
11. Pemeriksaan Limphonodi : tidak terasa pembesaran
12. Pemeriksaan turgor kulit : capillary refill < 2 detik
13. Pemeriksaan akral : hangat

D. Pemeriksaan Status Lokalis


Genitalia externa
Terdapat sebuah benjolan pada daerah vulva, bentuk oval, ukuran 5 x 2 cm,
permukaan rata, berbatas tegas, konsistensi fluktuatif, bebas bergerak (mobile),
tampak eritem (+), hangat (+), dan nyeri tekan (+).

E. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Darah
Darah Lengkap
Hemaglobin N 13 g/dL 11,7-15,5
Hematocrit N 40 % 35-47
Eritrosit N 4.61 10^6/uL 3,8-5,2
Leukosit H 133440 U/L 3600-11000
Trombosit N 432000 /uL 150000-440000
MCV N 85,9 fl 80-100
MCH N 28,2 Pg/sel 26-34
MCHC N 32,8 % 32-36
RDW N 12,4 % 11,5-14,5
MPV L 8,6 fl 9,4-12,3
Hitung Jenis
Basofil N 0,2 % 0-1
Eosinofil L 0,4 % 2-4
Batang L 0,4 % 3-5
Segmen H 86,3 % 50-70
Limfosit L 8,5 % 25-40
Monosit N 4,1 % 2-8
PT N 11,6 detik 9,9-11,8
APTT N 35,6 detik 26,4-37,5
Neutrofil H 86,7 % 50-70
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu N 125 mg/dL ≤ 200
HBsAg N Non
reactive

F. Diagnosa
Ny. Pawit Asa Amindar, usia 23 tahun, P1A0 dengan abses bartholin dextra
G. Tindakan dan Terapi
1. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pasien mengenai penyakit dan
terapi yang akan dilakukan
2. Monitoring keadaan umum, tanda vital, dan hasil laboratorium
3. Terapi non-medikamentosa
- Insisi dan drainase abses
- IVFD Ringer Lactat 20 tpm
- Dower Cateter
4. Terapi medikamentosa
- Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gram
- Metronidazol infus 3 x 500 mg
5. Edukasi :
Pertahankan posisi nyaman, berikan dukungan emosional, dan melatih
teknik relaksasi nafas dalam.

H. Diagnosis Akhir
Ny. Pawit Asa Amindar, usia 23 tahun, P1A0 post insisi dan drainase abses
dextra H-0.
I. Prognosis
Qou ad vitam : Ad bonam
Qou ad sanationam : Ad bonam
Qou ad functionam : Ad bonam

I. PENDAHULUAN
Kelenjar bartolin merupakan kelenjar yang secara simetris terletak pada

bagian introitus vagina pada posisi arah jam 4 dan 8. Kelenjar ini berukuran sebesar

kacang dan pada umumnya tidak teraba kecuali pada saat dalam keadaan penyakit

atau infeksi. Kelenjar ini berperan dalam mensekresikan mukus yang berfungsi

untuk menjaga kelembaban vagina serta berfungsi sebagai lubrikasi dalam kegian

sexual (Lee et al, 2015).

Kelenjar Bartholini dapat tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi,

peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami

infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan

timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian

terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista.

Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi (Lilungulu et al., 2017)

Kista bartholini adalah salah satu bentuk tumor kistik yang terletak pada

bagian vulva. Kista barhtolini merupakan kista yang terbentuk akibat adanya

sumbatan pada duktus kelenjar bartolini, yang menyebabkan retensi mukus dan

dilatasi kistik. Dimana isi di dalam kista ini dapat berupa nanah yang dapat keluar

melalui duktus atau bila tersumbat dapat dapat mengumpul di dalam menjadi abses.

Kista bartolini ini merupakan masalah pada wanita usia subur, kebanyakan kasus

terjadi pada usia 20 sampai dengan 30 tahun dengan sekitar 1 dalam 50 wanita akan

mengalami kista bartolini atau abses dalam hidup mereka. Kista bartholini bisa

tumbuh dari ukuran seperti kacang polong menjadi besar dengan ukuran seperti

telur (Prawirohardjo, 2008).


II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Kista Bartholin merupakan penyumbatan pada duktus bagian distal

vagina berupa pembesaran berisi cairan dan memiliki struktur seperti kantong

bengkak. Apabila pada lubang kelenjar tersumbat, lendir yang dihasilkan

pada kelenjar akan terakumulasi sehingga terjadi dilatasi pada duktus yang

menyebabkan terbentukya kista pada duktus (Istri & Martodihardjo, 2017).

Pada kista bartholin yang mengalami obstuksi dan terinfeksi dapat

berkembang menjadi abses (Lee et al., 2015). Abses Bartolini adalah

penumpukan nanah yang membentuk benjolan (pembengkakan) di salah satu

kelenjar Bartholin yang terletak di setiap sisi lubang vagina (Endang, 2015).

B. Epidemiologi

Penyakit ini biasanya terjadi pada wanita usia 20 sampai 30 tahun.

Pembesaran kelenjar Bartolini pada pasien yang lebih dari 40 tahun adalah

jarang dan harus dirujuk ke dokter kandungan untuk kemungkinan dilakukan

tindakan biopsi. Kista Bartolini, merupakan pertumbuhan kistik yang paling

umum di vulva, terjadi di labia mayora. Abses hampir tiga kali lebih sering

daripada kista. Perempuan kulit putih dan hitam lebih mungkin untuk

mendapatkan kista bartolini atau abses daripada wanita hispanik, dan wanita

paritas tinggi berada pada risiko terendah (Lee, 2015).

C. Anatomi dan Fisiologi

Kelenjar Bartolini yang terdapat pada wanita homolog dengan kelenjar

Cowper pada pria. Pada masa pubertas, kelenjar ini mulai berfungsi, untuk

memberikan kelembapan pada daerah vestibular vagina. Kelenjar ini terletak

bilateral di dasar labia. Kelenjar biasanya berukuran seperti kacang polong


dan jarang melebihi 1 cm. Kelenjar ini tidak teraba kecuali pada penyakit atau

infeksi .

Gambar 1: Anatomi kelenjar bartoli

Kelenjar berjumlah satu pasang dengan ukuran sekitar 0,5cm dan

ditemukan di labia minora pada jam 4 dan 8. Biasanya tidak dapat diraba.

Setiap kelenjar mengeluarkan lendir ke dalam saluran yang berukuran sekitar

2,5cm. Kedua saluran muncul ke bagian depan di kedua sisi lubang vagina.

Fungsinya adalah untuk mempertahankan kelembaban permukaan vestibular

mukosa vagina (Lee, 2015).

D. Etiologi

Di antara 78 kasus yang dikaji, tampak hasil positif mikroba sebanyak

73,9%. Abses bartolini umumnya disebabkan oleh organisme oportunistik,

baik sebagai agen tunggal atau infeksi polymicrobial. Abses dapat

berkembang dari kista bartolini yang terinfeksi. Dan kadang kelenjar itu

sendiri terinfeksi yang semakin memburuk dan menjadi abses. Banyak jenis

kuman (bakteri) dapat menginfeksi kista Bartolini atau kelenjar yang

menyebabkan abses. Kebanyakan kuman yang menyebabkan infeksi kulit


atau urin, seperti Staphylococcus spp dan Escherichia coli. Beberapa kasus

disebabkan kuman menular seksual seperti gonorrhea atau klamidia

(Pipingas, 2007).

E. Patofisiologi

Mukus yang diproduksi untuk lubrikasi vulva berasal dari Glandula

Bartholin. Glandula Bartholin dapat membentuk kista dan abses pada wanita

usia reproduktif. Kista dan abses secara klinis dapat dibedakan. Kista

Bartholin terbentuk ketika ostium ductus mengalami obstruksi, menyebabkan

terjadinya akumulasi cairan di dalam glandula dan ductus. Obstruksi biasanya

merupakan efek sekunder dari parut setelah infeksi, inflamasi non-spesifik

ataupun trauma. Abses Bartholin terbentuk dari infeksi primer kelenjar

ataupun kista yang terinfeksi (Boujenah et al., 2017; Hoffman et al., 2015;

Lee et al., 2015).

Obstruksi distal saluran Bartolin mengakibatkan retensi cairan, dengan

dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat

terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam glandula. Kista saluran

Bartolin bisa saja tidak tampak sebelum menjadi abses. Jika kista saluran

Bartolin tampak kecil dan tidak menjadi inflamasi, akan tampak

asimptomatik. Jika kista menjadi infeksi, akan tampak bentuk abses (Heller

et al., 2014; Sabrina dan Juliansyah, 2011).

Kista kelenjar bartolini dapat menimbulkan nyeri oleh karena tekanan

pada jaringan sekitar kista yang timbul akibat cairan dalam kista tidak
terakumulasi, sedangkan pada abses nyeri yang dirasakan dapat timbul karena

infeksi atau penyebaran selulitis pada jaringan disekitar abses (Kovac dan

Zimmerman, 2007). Pembengkakan yang terjadi pada abses diakibatkan oleh

produksi secret mukus yang tidak terakumulasi. Pembengkakan tersebut juga

dapat menimbulkan rasa nyeri, sensitif dan hangat ketika dipalpasi (Wahyuni,

et al., 2012).

F. Tanda dan Gejala

Kista bartholin pada umumnya memiliki rata-rata ukuran kecil 1-3 cm,

biasanya unilateral, dan amsimtomatik. Pasien dengan kista dan abses

bartolin pada umumnya mengeluhkan nyeri pada vulva yang akut,

berkembang secara cepat, dan bersifat progresif. Keluhan pasien pada

umumnya adalah demam, malaise, dispareunia, duduk, atau pada saat posisi

jalan. Pada abses bartholin dapat ditemukan kelenjar menjadi eritem, nyeri,

dan lebih panas dari sekitarnya (Istri & Martodihardjo, 2017).

Abses Bartolini biasa terjadi sendiri karena infeksi pada kelenjar

Bartolini ataupun dari infeksi sekunder yang berlaku pada kista Bartolini

(Dwiky & Made, 2019). Pada kasus infeksi langsung kelenjar bartholin

banyak disebebkan karena mikroorganisme yang berkolonisasi dari regio

perianal dan biasanya beragam seperti Gonokokkus dan Chlamydia

Trachomatis. Namun bisa juga disebabkan oleh bakteri Staphylococcus,

Escheria Coli, atau Streptococcus faecalis (Burns et al, 2010). Infeksi

sekunder pada kista bartholin dapat disebebkan karena kista yang terinfeksi,

dan abses yang berkembang dalam kelenjar yang tersumbat (Lee et al., 2015).
G. Penegakan Diagnosis

Anamnesis

Massa atau lesi pada genitalia eksterna lazim ditemukan. Lesi ini

mungkin berkaitan dengan penyakit kelamin, tumor, atau infeksi. Pasien

dengan abses bertolini mungkin datang dengan massa yang sangat nyeri di

vulva. Tanyakan sejak kapan pasien menyadari ada lesi(massa), apakah nyeri

atau tidak, apakah ukuran massa berubah atau tidak, apakah pasien pernah

menderita penyakit yang sama sebelumnya dan tanayakan pula apakah pernah

menderita penyakit kelamin sebelumnya (Lee, 2015).

Penemuan Klinis3

Berikut temuan pemeriksaan fisik terlihat di abses bartolini, seperti

yang ditunjukkan pada gambar di bawah (Quinn, 2012):

Gambar 2. Abses Bartolini

- Tampak ada benjolan lembut, massa labial berfluktuasi dengan eritema

sekitarnya dan edema


- Dalam beberapa kasus, daerah sekitar abses mungkin dapat tampak

selulitis.

- Demam. Meskipun tidak khas, dapat terjadi.

- Jika abses telah pecah secara spontan, dapat tampak discharge purulen.

Jika benar-benar telah terkuras, tidak ada massa yang jelas dapat

diamati.

Test/laboratorium

Biasanya tidak ada test laboratorium yang dilakukan untuk mendiagnosa

abses bartolini.

H. Diagnosis Banding

Diagnosis Banding Lokasi Karakteristik


Kista Bartholini Vestibulum Unilateral, tidak memberikan
gejala jika ukurannya kecil
Kista epidermal Labia majora Jinak, mobile, terjadi karena
trauma atau obstruksi pada
pilosebaceous
Mocous cyst of the Labia minora, Lunak, diameter kurang dari
vestibule vestibulum, 2 cm, permukaan rata, soliter
periclitoris atau multi soliter

I. Tatalaksana
Tujuan penanganan abses bartholin adalah untuk memelihara dan

mengembalikan fungsi dari kelenjar bartholini. Metode penanganan kista

bartholini yaitu insisi dan drainase, insersi word catheter untuk kista dan abses
kelenjar bartholini, dan marsupialisasi untuk kista kelenjar bartholini yang

rekuren menjadi abses (Dwiky & Made, 2019).

1. Insisi dan drainase abses : Tindakan ini dilakukan bila terjadi

simptomatik Bartholin's gland abscesses dan jika sering terjadi

rekurensi.

2. Drainase definitif menggunakan word kateter: Word catheter biasanya

digunakan ada penyembuhan kista duktus bartholin dan abses bartholin.

Sebuah sayatan kecil dapat mengeringkan abses. Hal ini mengurangi

gejala dan memberikan pemulihan tercepat. Prosedur ini dapat

dilakukan dengan anestesi lokal. Sebuah kateter (tabung) dapat

dimasukkan dan dibiarkan di tempat selama 4 - 6 minggu untuk terus

memungkinkan pengeringan sementara daerah menyembuhkan. Tidak

dapat berhubungan seksual sampai kateter dilepas.

3. Marsupialisasi: Digunakan juga untuk abses kelenjar bartholin karena

memberi hasil yang sama efektifnya. Marsupialisasi adalah suatu tehnik

membuat muara saluran kelenjar bartholin yang baru sebagai alternatif

lain dari pemasangan word kateter. Prosedur ini dilakukan dengan

pembukaan permanen untuk membantu menguras kelenjar. Prosedur

mungkin perlu dilakukan di bawah anestesi umum di rumah sakit.

Pasien tidak dapat berhubungan seksual selama 4 minggu setelah

operasi. Dapat menggunakan obat nyeri oral setelah prosedur

komplikasi berupa dispareuni, hematoma, infeksi.


DAFTAR PUSTAKA

Boujenah, J., Le, S.N.V., Benbara, A., Bricou, A., Murtada, R., Carbillon, L.
2017. Bartholin gland abscess during pregnancy: Report on 40
patients. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 212:65-68.
Burns T, Breathnach S, Cox N, et al. 2010. The Genital, Perianal, and Umbilical
Regions In: Rook’s Textbook of Dermatology. Oxford, UK:
Blackwell Publishing Ltd.
Dwiky Hendro Chaesar Male , Made Ni Astijani Giri. Management Of
Bartholin’s Gland Abscess In Non Pregnan Woman.
Endang tri Wahyuni, Muhammad Dali Amiruddin, Alwi Mapiasse. 2015.
Bartholin’s abscess caused by Escherichia Coli. 1 (1): 68-72.
Heller, D.S., Bean, S. 2014. Lesions Of The Bartholin Gland: A Review. J Low
Genit Tract Dis. Vol. 18 (4):351-7.
Hoffman, B.L., Schorge, J.O., Bradshaw, K.D., Halvorson, L.M., Schaffer, J.I.,
Corton, M.M. 2016. Williams Gynecology. Third Edition. United
States: McGraw-Hill Education.
Istri Tjokorde Nindya Vaniary, Martodihardjo Sunarko. 2017. Studi
Retrospektif: Kista dan Abses Bartholin. Periodical of Dermatology
and Venereology. Vol 29 (1).
Kovac, S. R., Zimmerman C.W. 2012. Advances in Reconstructive: Vaginal
Surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Lee, M.Y., Dalpiaz, A., Schwamb, R., Miao, Y., Waltzer, W., Khan, A. 2015.
Clinical Pathology of Bartholin's Glands: A Review of the
Literature. Current Urology. Vol. 8 (1):22-5.
Lilungulu Athanase, Bonaventura C. T., Mpondo, Abdallah Mlwati, Dismas
Matovelo, Albert Kihunrwa et al. 2017. Recurrent Huge Left
Bartholin’s Gland Abscess for One Year in a Teenager. Case Reports
in Infectious Diseases. Vol 1. No: 1-3.
Pipingas, Y Dangor, F Radebe HG Fehler, S Khumalo, L De Gouveia. 2007.
Microbiological In Investigation Og Bartholin’s Gland Abscess In
Urban Women In Johannesburg. Dermatology. 44(5): 18-22
Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Quinn A. 2012. Bartholin Gland Abscess. Plos One .08: 65-66.
Sabrina, N., Juliansyah, R. Kista Bartholin and Bartholinitis. 2011. Case Report
Session. Bagian Obstetri dan Ginekologi RS Al-Ihsan Bandung.
Wahyuni, Tri, E. Amiruddin, A.D. dan Mappiasse, A. 2012. Bartholin’s Abcess
Caused by Escherichia Coli. Indonesian Journal of Dermatology and
Venereology. Vol. 1 (1) : 68-72.

Anda mungkin juga menyukai