Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

TETANUS

Oleh :
Waode Indri Lestari Kalimin, S.Ked
K1A1 15 046

Pembimbing
dr. H. Mustaring, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Waode Indri Lestari Kalimin, S.Ked
Stambuk : K1A1 15 046
Judul Kasus : Tetanus
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan
klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu
Oleo.

Kendari, Desember 2019


Mengetahui
Pembimbing,

dr. H. Mustaring, Sp.A


NIP.19520717 198107 1 001

2
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : An. W
Umur : 6 tahun 2 bulan
Alamat : Tampo
Agama : Islam
Suku : Muna
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
No RM : 03 03 84
Tanggal Masuk RS : 5 Desember 2019 (20.30 WITA)
B. Anamnesis (Alloanamnesis)
1. Keluhan Utama
Kaku leher ke arah kanan sejak 3 hari SMRS
2. Anamnesis terpimpin
Pasien masuk IGD RSUD RAHA rujukan dari Puskesmas Tampo
dengan diagnosa sementara Tortikolis e.c. trauma leher. Kekakuan leher
dirasakan sejak 3 hari SMRS. Pasien juga merasakan nyeri pada bagian
rahang sehingga sulit untuk membuka mulutnya. Akibat dari hal
tersebut, pasien sudah tidak makan selama 2 hari SMRS, dan hanya
minum air putih. Pasien juga merasa nyeri pada bagian dadanya. Bapak
pasien mengatakan pasien sering nampak kesakitan terutama apabila
disentuh atau ada sedikit pergerakan dari badannya. Pasien riwayat
jatuh 10 hari SMRS, dan terdapat luka terdapat di bagian punggung
kaki kiri. Luka dibersihkan secara mandiri oleh ibu pasien. Selain itu,
pasien juga merasakan nyeri pada area dada dan perutnya. Keluhan lain
seperti demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), batuk (-)
disangkal. BAB terakhir 3 hari SMRS, BAK kesan normal.

3
Riwayat imunisasi pasien tidak pernah, begitu pula dengan ke-5
saudaranya yang lain dengan alasan biaya. Riwayat penyakit
sebelumnya disangkal. Riwayat kelahiran pasien dilahirkan dari ibu
G5P4A0 secara normal oleh bidan di rumah bersalin. Selama hamil, ibu
pasien jarang sakit. Riwayat tumbuh kembang pasien : berbalik usia 6
bulan, duduk usia 10 bulan, berdiri usia ±12 bulan, jalan ±12 bulan,
bicara ±12 bulan.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status generalis
a) Keadaan umum : sakit berat
b) Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
c) Tanda Vital
Tekanan darah : sulit dinilai
Nadi : 92x/ menit
Suhu : 36,5oC
Pernapasan : 50 x/menit
d) Pucat : (-)
e) Ikterus : (-)
f) Sianosis : (-)
g) Turgor : kesan normal
h) Tonus : meningkat
i) Edema : (-)
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephal
Muka : simetris kiri dan kanan
Rambut : hitam dan tidak mudah tercabut
Ubun-ubun besar : sudah tertutup
Telinga : otitis (-/-), serumen (-/-), otorhea (-/-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-)
Hidung : epiktasis (-/-), rinore (-/-)
Bibir : pucat (-), kering (+) sianosis (-)

4
Lidah : sulit dinilai
Sel mulut : sulit dinilai
Tenggorok : sulit dinilai
Tonsil : sulit dinilai
Bentuk dada : normochest
Jantung
Ictus cordis : tidak teraba
Batas kiri : ICS 5 linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS 4 linea parasternalis sinistra
Irama : BI/BII murni reguler
Paru
Inspeksi : simetris kiri kanan, retraksi (-)
Palpasi : krepitasi (-), nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : sonor kiri dan kanan
Auskultasi : bunyi napas vesikuler (+/+), bunyi napas
tambahan rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : cekung
Auskultasi : peristaltik menurun
Perkusi : bunyi timpani
Palpasi : kaku, nyeri tekan (-)
Limfa : tidak teraba
Hepar : tidak teraba
Alat kelamin : edema (-)
Kelenjar limfe : tidak teraba pembesaran
Kulit : tidak terdapat kelainan
Anggota gerak : akral hangat, vulnus eksoriatum regio
dorsum pedis sinistra (furunkel (+), pus (+), hiperemis (+))
KPR : SDN
APR : SDN

5
Refleks Patologis : kaku kuduk (+), brudzinski (SDN),
babisnki (-), chaddock (-), hoffman (SDN), tromner (SDN)
Columna vertebralis : DBN
LILA : 15 cm
Lingkar Kepala : 52 cm
Lingkar dada : 56 cm
Lingkar perut : 46 cm
Berat Badan : 17 Kg
Panjang Badan : 110 cm
D. Ringkasan Riwayat Penyakit
An. W jenis kelamin laki-laki usia 6 tahun 2 bulan rujukan dari
Puskesmas Tampo dengan diagnosis tortikolis e.c. trauma. Pasien datang
dengan keluhan kaku leher ke arah kanan sejak 3 hari SMRS. Keluhan
disertai ketidakmampuan membuka mulut dan nyeri pada area sub
mandibula serta nyeri dada. Pasien sering nampak kesakitan bila disentuh
atau terdapat sedikit pergerakan pada badannya. Keluhan lain tidak ada.
Riwayat imunisasi tidak pernah dengan alasan biaya. Riwayat pengobatan
tidak pernah.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan darah rutin dan kimia darah pada tanggan 5
Desember 2019.
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap

Jenis Tes Hasil Nilai Rujukan


Hb 11,0 g/dL 14-18 g/dL
Leukosit 12,870 /L 4.000-10.000 /L
Gol. Darah O Rh (+)

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Kimia Darah

Jenis Tes Hasil Nilai Rujukan


GDS 94 mg/dL <140 mg/dL

6
Albumin 3,7 mg/dL 3,5-5 mg/dL
Kreatinin 0,6 mg/dL
SGOT 21 U/L <35 U/L
SGPT 15 U/L <140 U/L

2. Radiologi
Tidak dilakukan pemeriksaan radiologi
E. Perencanaan
1. Rencana Diagnostik
Tetanus
2. Rencana Terapi
a. Non Medikamentosa
1) Rawat isolasi
2) Stop intake oral
3) Pasang NGT
4) Cek residu
5) Rawat luka 2 hari sekali
6) Beri O2 ½ - 1 lpm
b. Medikamentosa
1) IVFD KAEN 3B 20 tpm
2) Inj. Paracetamol 170 mg/6 jam/i.v (K/P)
3) Inj. Cefotaxime 550 mg/8 jam/i.v (awal drips 100 cc NaCl
habis dalam 1 jam lalu selanjutnya bolus pelan)
4) Inj. Metronidazol 170 mg/8 jam/i.v (habis dalam 30 menit)
5) Inj. Diazepam 4,5 mg/i.v (pelan)
6) Inj. Ranitidin 20 mg/ 12 jam/i.v
7) Inj. Omeprazol 20 mg/24 jam/i.v
F. Perkembangan Pasien
Tabel 3. Perkembangan pasien saat perawatan di RSUD Raha
Tanggal Perjalanan Penyakit Rencana Terapi
5/12/2019 S : kaku leher (+), nyeri dada dan  IVFD KAEN 3B 20
sub mandibula (+), trismus (+), tpm

7
spasme (+), kaku kuduk (+),  O2 ½ - 1 lpm
opistotonus (+)  Rawat isolasi
O : KU=sakit berat/gizi  Stop intake oral
kurang/compos mentis  Pasang NGT
N : 92x/menit  Cek residu - coklat
P : 50x/menit  Rawat luka 2 hari
S :36,5ºC sekali
Kepala : rambut hitam tidak
 Inj. Paracetamol 170
mudah tercabut, mata cekung (-),
mg/6 jam/i.v (K/P)
napas cuping hidung (-), bibir
 Inj. Cefotaxime 550
kering (+), caries (+)
mg/8 jam/i.v (awal
Thorax : normochest,
drips 100 cc NaCl
pengembangan dada simetris,
habis dalam 1 jam
retraksi (-), vesikuler, Rh (-/-),
lalu selanjutnya bolus
Wh (-/-)
pelan)
Abdomen : cekung, kaku,
peristaltik usus menurun,  Inj. Metronidazol 170
timpani, H/L DBN mg/8 jam/i.v (habis
Ektermitas : akral hangat, dalam 30 menit)
vulnus eksoriatum regio dorsum  Inj. Diazepam 4,5
pedis sinistra (pus +, furunkel +, mg/i.v (pelan)
hiperemis +)  Inj. Ranitidin 20 mg/
A : Tetanus 12 jam/i.v
GIT Bleeding  Inj. Omeprazol 20
mg/24 jam/i.v
6/12/2019 S : kaku leher ↓, nyeri dada dan  IVFD KAEN 3B 18
sub mandibula (+), trismus ↓, tpm
spasme (+), kaku kuduk (+),  IVFD Diazepam 250
opistotonus (+) mg dalam 450 cc D5
O : KU=sakit berat/gizi % - drisp 15 tpm
kurang/compos mentis makro
N : 111x/menit  O2 1 - 2 lpm
P : 45x/menit  Rawat isolasi
S :37,8ºC  Stop intake oral
Kepala : rambut hitam tidak  NGT terpasang
mudah tercabut, mata cekung (-),
 Cek residu - coklat
napas cuping hidung (-), bibir
 Rawat luka
kering (+), caries (+), stomatitis
(+)  Observasi TTV
Thorax : normochest,  Suction (K/P)
pengembangan dada simetris,  Inj. Paracetamol 170
retraksi (-), vesikuler, Rh (-/-), mg/6 jam/i.v (K/P)
Wh (-/-)  Inj. Cefotaxime 550
Abdomen : cekung, kaku, mg/8 jam/i.v
peristaltik usus menurun,  Inj. Metronidazol 166
timpani, H/L DBN mg/8 jam/i.v

8
Ektermitas : akral hangat,  Inj. Ranitidin 20 mg/
vulnus eksoriatum regio dorsum 12 jam/i.v
pedis sinistra (pus +, furunkel +,  Inj. Omeprazol 20
hiperemis +) mg/24 jam/i.v
A : Tetanus  Nystatin drops 4x1
GIT Bleeding mL
Stomatitis
7/12/2019 S : kaku leher ↓, trismus ↓,  IVFD KAEN 3B 18
spasme (-), kaku kuduk (+), tpm
opistotonus (-)  IVFD Diazepam 250
O : KU=sakit berat/gizi kurang mg dalam 450 cc D5
N : 98x/menit % - drisp 15 tpm
P : 28x/menit makro
S :36,5ºC  O2 1 - 2 lpm
E3V3M4  Rawat isolasi
Kepala : rambut hitam tidak  Stop intake oral
mudah tercabut, mata cekung (-), NGT terpasang
napas cuping hidung (-), bibir
 Cek residu - coklat
kering (+), caries (+), stomatitis
 Rawat luka
(+), hipersalivasi
Thorax :  Observasi TTV
normochest,
pengembangan dada simetris,  Suction (K/P)
 Inj. Paracetamol 170
retraksi (-), vesikuler, Rh (-/-),
Wh (-/-) mg/6 jam/i.v (K/P)
Abdomen : cekung, kaku,  Inj. Cefotaxime 550
peristaltik usus menurun, mg/8 jam/i.v
timpani, H/L DBN  Inj. Metronidazol 166
Ektermitas : akral hangat, mg/8 jam/i.v
vulnus eksoriatum regio dorsum  Inj. Ranitidin 20 mg/
pedis sinistra (pus +, furunkel +,12 jam/i.v
hiperemis +)  Inj. Pantoprazol 20
A : Tetanus mg/24 jam/i.v
GIT Bleeding  Nystatin drops 4x1
Stomatitis mL
Penurunan kesadaran post inj.  Sucralfat syr 5 mL/8
diazepam jam/NGT
 Konsul dr. Karma,
Sp.S
 Observasi TTV per
15 menit
8/12/2019 S : kaku leher ↓, trismus ↓,  IVFD KAEN 3B 12
spasme (-), kaku kuduk (+), tpm
opistotonus (-)  IVFD Diazepam 250
O : KU=sakit berat/gizi mg dalam 450 cc D5
kurang/compos mentis % - 8 tpm makro
N : 98x/menit  O2 1 lpm

9
P : 28x/menit  Rawat isolasi
S :36,5ºC  Stop intake oral
Kepala : rambut hitam tidak  NGT terpasang
mudah tercabut, mata cekung (-),  Pasang kateter urin
napas cuping hidung (-), bibir  Mulai minum air
kering (+), caries (+), stomatitis putih 2x40cc
(+), hipersalivasi  Cek residu setiap
Thorax : normochest, sebelum intake per
pengembangan dada simetris, ngt, bila jernih intake
retraksi (-), vesikuler, Rh (-/-), susu 50 cc/3 jam
Wh (-/-)
 Rawat luka
Abdomen : cekung, kaku,
 Observasi TTV
peristaltik usus menurun,
timpani, H/L DBN, buli-buli  Suction (K/P)
penuh  Inj. Paracetamol 170
Ektermitas : akral hangat, lesi mg/6 jam/i.v (K/P)
post hecting  Inj. Cefotaxime 550
A : Tetanus mg/8 jam/i.v
GIT Bleeding  Inj. Metronidazol 166
Stomatitis mg/8 jam/i.v
 Inj. Ranitidin 20 mg/
12 jam/i.v
 Inj. Pantoprazol 20
mg/24 jam/i.v
 Nystatin drops 4x1
mL
 Sucralfat syr 5 mL/8
jam/NGT
 Tetagram 500 IU/24
jam/i.m
 Konsul dr. Karma,
Sp.S
 NB: jika sudah
masukkan obat, tutup
selang NGT dengan
spoit selama 2 jam
 Observasi TTV tiap
jam
 Ekstraksi kayu +
hecting
9/12/2019 S : kaku leher ↓, trismus ↓,  IVFD KAEN 3B 6
spasme (+), kaku kuduk (+), tpm
opistotonus (+)  IVFD Diazepam 70
O : KU=sakit berat/gizi mg dalam 450 cc D5
kurang/compos mentis % - 20 tpm makro
N : 90x/menit

10
P : 27x/menit  O2 ½ lpm
S :36,5ºC  Rawat isolasi
E3V4M5  AFF NGT
Kepala : rambut hitam tidak  Kateter urin terpasang
mudah tercabut, mata cekung (-),  Intake peroral susu 75
napas cuping hidung (-), bibir cc/3 jam
kering (+), caries (+), stomatitis  Rawat luka
(+), hipersalivasi
 Observasi TTV
Thorax : normochest,
 Suction (K/P)
pengembangan dada simetris,
retraksi (-), vesikuler, Rh (-/-),  Inj. Paracetamol 170
Wh (-/-) mg/6 jam/i.v (K/P)
Abdomen : cekung, kaku,  Inj. Cefotaxime 1 gr/8
peristaltik usus menurun, jam/i.v
timpani, H/L DBN  Inj. Metronidazol 166
Ektermitas : akral hangat, lesi mg/8 jam/i.v
post hecting  Inj. Ranitidin 20 mg/
A : Tetanus 12 jam/i.v
GIT Bleeding  Inj. Pantoprazol 20
Stomatitis mg/24 jam/i.v
 Nystatin drops 4x1
mL
 Sucralfat syr 5 mL/8
jam/p.o
 Tetagram 500 IU/24
jam/i.m
 Rawat bersama dr.
Karma, Sp.S
 Observasi TTV tiap 3
jam
10/12/2019 S : kaku leher ↓, trismus ↓,  IVFD KAEN 3B 6
spasme (+), kaku kuduk (+), tpm
opistotonus (+)  IVFD Diazepam 170
O : KU=sakit berat/gizi mg dalam 500 cc D5
kurang/compos mentis % - 20 tpm makro
N : 95x/menit  O2 ½ lpm
P : 30x/menit  Rawat isolasi
S :36,6ºC  Stop intake oral
Kepala : rambut hitam tidak  NGT dipasang
mudah tercabut, mata cekung (-), kembali
napas cuping hidung (-), bibir
 Cek residu setiap
kering (+), caries (+), stomatitis
sebelum intake
(+), hipersalivasi
peroral, bila jernih
Thorax : normochest,
intake susu 100 cc/3
pengembangan dada simetris,
jam
retraksi (-), vesikuler, Rh (-/-),

11
Wh (-/-)  Rawat luka
Abdomen : cekung, kaku,  Observasi TTV
peristaltik usus menurun,  Suction (K/P)
timpani, H/L DBN  Inj. Paracetamol 170
Ektermitas : akral hangat, lesi mg/6 jam/i.v (K/P)
post hecting  Inj. Cefotaxime 1 gr/8
A : Tetanus jam/i.v
GIT Bleeding  Metronidazol syr 5
Stomatitis mL/8 jam/NGT
 Inj. Ranitidin 20 mg/
12 jam/i.v
 Inj. Pantoprazol 20
mg/24 jam/i.v
 Nystatin drops 4x1
mL
 Sucralfat syr 5 mL/8
jam/NGT
 Tetagram 500 IU/24
jam/i.m
 Rawat bersama dr.
Karma, Sp.S
 Observasi TTV tiap 3
jam
11/12/2019 S : flebitis, kaku leher ↓, trismus  AFF IVFD KAEN 3B
↓, spasme (+), kaku kuduk (+),  IVFD Diazepam 170
opistotonus (+), nyeri perut (+) mg dalam 500 cc D5
O : KU=sakit berat/gizi % - 20,8 cc/jam
kurang/compos mentis  O2 1 lpm
N : 100x/menit  Rawat isolasi
P : 35x/menit  Stop intake oral
S :37,8ºC  NGT dipasang
Kepala : rambut hitam tidak kembali
mudah tercabut, mata cekung (-),
 Cek residu setiap
napas cuping hidung (-), bibir
sebelum intake
kering (+), caries (+), stomatitis
peroral, bila jernih
(+), hipersalivasi
intake susu 100 cc/3
Thorax : normochest,
jam
pengembangan dada simetris,
 Rawat luka
retraksi (-), vesikuler, Rh (-/-),
Wh (-/-)  Observasi TTV
Abdomen : cekung, kaku,  Suction (K/P)
peristaltik usus menurun,  Inj. Paracetamol 170
timpani, H/L DBN mg/6 jam/i.v (K/P)
Ektermitas : akral hangat, lesi  Inj. Cefotaxime 1 gr/8
post hecting jam/i.v

12
A : Tetanus  Metronidazol syr 5
GIT Bleeding mL/8 jam/NGT
Stomatitis  Inj. Ranitidin 20 mg/
12 jam/i.v
 Inj. Pantoprazol 20
mg/24 jam/i.v
 Nystatin drops 4x1
mL
 Sucralfat syr 5 mL/8
jam/NGT
 Tetagram 500 IU/24
jam/i.m
 Inj. Ketorolac ½
amp/8 jam/i.v
 Lactosa syr 2x5mL
 Hidrocortison zalf
2x1
 Gentamicin zalf 2x1
 Edukasi rawat ICU
 Rawat bersama dr.
Karma, Sp.S
 Observasi TTV tiap 6
jam
12/12/2019 S : flebitis, kaku leher ↓, trismus  IVFD Diazepam 170
↓, spasme (+), kaku kuduk (+), mg dalam 500 cc D5
opistotonus (+), nyeri perut (+) % - 20,8 cc/jam
O : KU=sakit berat/gizi  Inj. Diazepam 5 mg +
kurang/compos mentis 2 mL NaCl 0,9%/i.v
N : 98x/menit (K/P)
P : 32x/menit  O2 1 lpm
S :37,5ºC  Rawat isolasi
Kepala : rambut hitam tidak  Stop intake oral
mudah tercabut, mata cekung (-),  NGT terpasang
napas cuping hidung (-), bibir
 AFF kateter urin
kering (+), caries (+), stomatitis
 Cek residu setiap
(+), hipersalivasi
sebelum intake
Thorax : normochest,
peroral, bila jernih
pengembangan dada simetris,
intake susu 100 cc/3
retraksi (-), vesikuler, Rh (-/-),
jam
Wh (-/-)
Abdomen : cekung, kaku,  Rawat luka
peristaltik usus menurun,  Observasi TTV
timpani, H/L DBN  Suction (K/P)
Ektermitas : akral hangat, lesi  Inj. Paracetamol 170
post hecting mg/6 jam/i.v (K/P)

13
A : Tetanus  Inj. Cefotaxime 1 gr/8
GIT Bleeding jam/i.v
Stomatitis  Metronidazol syr 5
mL/8 jam/NGT
 Inj. Ranitidin 20 mg/
12 jam/i.v
 Inj. Pantoprazol 20
mg/24 jam/i.v
 Nystatin drops 4x1
mL
 Sucralfat syr 5 mL/8
jam/NGT
 Tetagram 500 IU/24
jam/i.m
 Inj. Ketorolac ½
amp/8 jam/i.v
 Lactosa syr 2x5mL
 Hidrocortison zalf
2x1
 Gentamicin zalf 2x1
 Edukasi rawat ICU
 Rawat bersama dr.
Karma, Sp.S
 Observasi TTV tiap 6
jam
13/12/2019 S : flebitis, kaku leher ↓, trismus  IVFD Diazepam 170
↓, spasme (+), kaku kuduk (+), mg dalam 500 cc D5
opistotonus (+), nyeri perut (+) % - 20,8 cc/jam
O : KU=sakit berat/gizi  O2 1 lpm
kurang/compos mentis  Rawat isolasi
N : 95x/menit  Stop intake oral
P : 30x/menit  NGT terpasang
S :36,7ºC  Cek residu setiap
Kepala : rambut hitam tidak sebelum intake
mudah tercabut, mata cekung (-), peroral, bila jernih
napas cuping hidung (-), bibir intake susu 100 cc/3
kering (+), caries (+), stomatitis jam
(+), hipersalivasi
 Rawat luka
Thorax : normochest,
 Observasi TTV
pengembangan dada simetris,
retraksi (-), vesikuler, Rh (-/-),  Suction (K/P)
Wh (-/-)  Inj. Paracetamol 170
Abdomen : cekung, kaku, mg/6 jam/i.v (K/P)
peristaltik usus menurun,  Inj. Cefotaxime 1 gr/8
timpani, H/L DBN jam/i.v

14
Ektermitas : akral hangat, lesi  Metronidazol syr 5
post hecting mL/8 jam/NGT
A : Tetanus  Inj. Ranitidin 20 mg/
GIT Bleeding 12 jam/i.v
Stomatitis  Inj. Pantoprazol 20
mg/24 jam/i.v
 Sucralfat syr 5 mL/8
jam/NGT
 Tetagram 500 IU/24
jam/i.m
 Inj. Ketorolac ½
amp/8 jam/i.v
 Lactosa syr 2x5mL
 Pindah rawat ICU
 Rawat bersama dr.
Karma, Sp.S
 Observasi TTV tiap 6
jam
14/12/2019 S : flebitis, kaku leher ↓, trismus  AFF IVFD KAEN 3B
↓, spasme (+), kaku kuduk (+),  IVFD Diazepam 170
opistotonus (+), nyeri perut (+) mg dalam 500 cc D5
O : KU=sakit berat/gizi % - 20,8 cc/jam
kurang/compos mentis  O2 1 lpm
N : 90x/menit  Rawat isolasi
P : 25x/menit  Stop intake oral
S :36,4ºC  NGT terpasang
Kepala : rambut hitam tidak
 Cek residu setiap
mudah tercabut, mata cekung (-),
sebelum intake
napas cuping hidung (-), bibir
peroral, bila jernih
kering (+), caries (+), stomatitis
intake susu 100 cc/3
(+), hipersalivasi
jam
Thorax : normochest,
 Rawat luka
pengembangan dada simetris,
retraksi (-), vesikuler, Rh (-/-),  Observasi TTV
Wh (-/-)  Suction (K/P)
Abdomen : cekung, kaku,  Inj. Paracetamol 170
peristaltik usus menurun, mg/6 jam/i.v (K/P)
timpani, H/L DBN  Inj. Cefotaxime 1 gr/8
Ektermitas : akral hangat, lesi jam/i.v
post hecting  Metronidazol syr 5
A : Tetanus mL/8 jam/NGT
GIT Bleeding  Inj. Ranitidin 20 mg/
Stomatitis 12 jam/i.v
 Inj. Pantoprazol 20
mg/24 jam/i.v

15
 Sucralfat syr 5 mL/8
jam/NGT
 Tetagram 500 IU/24
jam/i.m
 Lactulosa syr 2x5mL
 Edukasi rawat ICU
 Rawat bersama dr.
Karma, Sp.S
 Observasi TTV tiap 6
jam

16
BAB 3

ANALISIS KASUS

Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan

imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan

oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus

dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi

sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang

cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh

dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan

tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 30 tahun terakhir,

hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai

pencegahan dan tata laksana tetanus. Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah

satu dari sepuluh besar penyebab kematian pada anak. Meskipun insidens tetanus

saat ini sudah menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai

angka 60%. Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap

tahunnya, namun penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun

pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Saat

ini, penatalaksanaan tetanus meliputi pemberian imunoglobulin tetanus untuk

menetralisir toksin, obat-obatan untuk mengontrol spasme, antibiotik untuk

mematikan kuman serta pengobatan untuk mengatasi komplikasi dan perawatan

suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan yang cepat, efektif dan efisien

17
diharapkan penanganan pasien tetanus dapat menjadi lebih optimal sehingga

angka kematian dapat diturunkan.

Aspek lain yang juga sangat penting adalah pencegahan. Pencegahan dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pemberian imunisasi dan perawatan luka.

Saat ini imunisasi yang aman dan murah sudah tersedia di berbagai belahan dunia,

sehingga diharapkan cakupan imunisasi akan semakin luas, dan pada akhirnya

akan semakin menurunkan angka kejadian tetanus.

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk

batang dengan sifat :

 Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti

pemukul genderang

 Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan

anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela

 Menghasilkan eksotoksin yang kuat

 Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu

tinggi, kekeringan dan desinfektan.

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan

hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan

tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam

bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan

dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam

lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8

°F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan

18
agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan

secara fisik dan biologik. Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh

melalui luka. Adanya luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak

dilakukan pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi

kronik seperti ulkus dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost

bite, infeksi telinga tengah, pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan

intravena atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka

yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya

benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil

atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki

yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan. Spora C.

tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh

tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob),

sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini

tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh

toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani

menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin

menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis

tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya

di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis,

(3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan

dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat

badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram pada orang dengan

19
berat badan 70 kg. 11,14 Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari

tempat luka lewat motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior

sumsum tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak

dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini

melewati saraf motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion

menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui

proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra

aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim

yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi

sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul

yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan

menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme

terutama pada otot yang besar. Dampak toksin antara lain :

 Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena

eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan

koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

 Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida

serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.

 Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan

menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,

hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.

Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau

hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari

20
tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP);

secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi

akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi

kemungkinan terjadinya kematian.

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :

 Generalized tetanus (Tetanus umum)

Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka

bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang

terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari

jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.

Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher,

kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa

trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan

dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah,

hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot

punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal,

mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang

kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga

3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

 Localized tetanus (Tetanus lokal)

Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta

memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak

umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga

21
beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal

dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan.

Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.

 Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah

infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik

(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga

tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis

biasanya buruk.

 Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada

negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian

neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang

terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi.

Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum

ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.

Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus

dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan

I : Ringan

Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan

pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan

II : Sedang

22
Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang dalam waktu

singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan

III : Berat

Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas>40x/menit; laju

nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat

IV : Sangat berat

(derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular) Hipertensi

berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan

bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap

Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena

pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya

didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan

diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap.

Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi

(imunokompeten).Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:

 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka

dengan nanah atau gigitan binatang?

 Apakah pernah keluar nanah dari telinga?

 Apakah pernah menderita gigi berlubang?

 Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang

terakhir?

 Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme

lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

23
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :

 Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk

membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut

mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis

untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.

 Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak

dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan

kebawah.

 Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot

punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat

berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur. Otot dinding perut

kaku sehingga dinding perut seperti papan.

 Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya

terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau

terkena sinar yang kuat. Lambat laun .masa istirahat. spasme makin pendek

sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

 Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan

cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi

tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan

menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.

 Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat

spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat

menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom

24
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan

pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau

berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi

retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan

kompresi tulang belakang.

 Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan

menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika

terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa

refleks muntah.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.

 Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.

Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak

mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.

Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain

mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.

Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat

diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.

 Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

 Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.

 Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai

imunisasi dan bukan tetanus.

 Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

25
 EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan

pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati

setelah potensial aksi.

 Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :

1. Penanganan spasme.

2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.

3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan

dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis

tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin

tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan.

Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar

dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.

4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya

kuman, untuk memusnahkan .pabrik. penghasil tetanospasmin. Pada tetanus

neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.

5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.

6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena

biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme

berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus

yang berat, disfagia atau hidrofobia.

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari

kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi,

26
mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga seperti

karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian

antibiotik dan serum anti tetanus. Tatalaksana Khusus berupa pemberian Anti

serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG). Dosis ATS yang

dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Bila

fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular

(IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal.

Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi

pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan

secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari

dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk

mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat

diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika

terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50

mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh

bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral

dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari

direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan

bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan

menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).

Prognosis tetanus dubia at bonam. Rata-rata angka kematian akibat tetanus

berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30

persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan

27
penting dalam prognosis tetanus.Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan,

jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi,

prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin

buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang

peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis.

Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat,

karena mempunyai prognosis buruk.Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki

prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka

kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.

28

Anda mungkin juga menyukai