Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS KECIL

CONGESTIVE HEART FAILURE

Pembimbing :
dr. Abraham Avicenna, Sp. JP

Pratiwi Sekar G4A016059


Sofyan Hardi G4A016062
Ayu Tiara Nurpratomo 1620221181
Nur Khalifah 1620221197
Renjana Rizkika 1620221199

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN
1

PRESENTASI KASUS KECIL

CONGESTIVE HEART FAILURE

Disusun oleh :
Pratiwi Sekar G4A016059
Sofyan Hardi G4A016062
Ayu Tiara Nurpratomo 1620221181
Nur Khalifah 1620221197
Renjana Rizkika 1620221199

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu PenyakitDalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal: Juli 2017

Purwokerto, Juli 2017


Pembimbing,

dr. Abraham Avicenna, Sp. JP

I. STATUS PASIEN

A. INDENTITAS PENDERITA
2

Nama : Ny. K
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Kutayu RT 01/01 Tonjong Brebes
Pasien tiba di : Poli Jantung
Tanggal masuk RS : 20 Juni 2017
Tanggal periksa : 21 Juni 2017
Ruang rawat : Mawar wanita

B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
1. Keluhan utama
Dada terasa sesak
2. Keluhan tambahan
Nyeri dada menjalar sampai ke punggung dan nyeri kepala sebelah
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke Poli Jantung RSMS rujukan dari Rumah Sakit
Banyuwangi, Pasien dirawat di RS Banyuwangi selama 5 hari namun belum
membaik. Pasien datang dengan keluhan utama dada terasa sesak. Keluhan
dirasakan sejak 7 hari sebelum masuk RSMS. Keluhan dirasakan terus menerus
sepanjang hari dan sangat mengganggu aktivitas dengan berjalan 4 meter sudah
sesak, pasien mengaku sesaknya bertambah berat ketika beraktivitas dan tidur
terlentang. Pasien sering terbangun di malam hari karena sesak nafas, untuk
mengurangi sesak tersebut pasien istirahat dan tidur dengan menggunakan 3
bantal. Napas dirasakan cepat dan dalam. Sesak napas dirasakan seperti tertindih
sesuatu. Sesak nafas tidak disertai bunyi mengi dan timbulnya tidak dipengaruhi
oleh udara dingin, asap, debu, bulu binatang ataupun makanan tertentu.
Pasien juga mengeluh mudah lelah, dada berdebar-debar, kadang-kadang
pasien merasakan nyeri dada yang menjalar sampai ke punggung, neri kepala
3

sebelah, nyeri ulu hati, nafsu makan berkurang, dan mual. Keluhan kedua kaki
dan tangan bengakk disangkal. Keadaan ini mengganggu aktivitas pasien dan
waktu istirahatnya.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat operasi : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat cuci darah : disangkal
h. Riwayat penyakit paru : disangkal
i. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit paru : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat sosial dan ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di rumah bersama suami dan anaknya, di lingkungan pedesaan
yang cukup padat penduduknya. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan
keluarga dekat dan baik.
b. Home
Rumah pasien terdiri dari 3 kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang
keluarga, satu dapur, dan satu kamar mandi. Satu kamar masing-masing dihuni oleh
1-2 orang. Kamar mandi dan jamban di dalam rumah. Atapnya memakai genteng
dan lantai terbuat dari keramik.
4

c. Occupational
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pembiayaan kebutuhan sehari-hari
terpenuhi dari pendapatan suaminya. Pembiayaan rumah sakit ditanggung BPJS
Kesehatan.
d. Diet
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali sehari, dengan nasi, sayur dan lauk
pauk seadanya. Pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi alkohol, ataupun
mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Pasien mengaku sering mengkonsumsi
makanan yang asin dan gorengan.

C. OBJEKTIF
1. Keadaan umum : Lemah
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign
TD : 120/70 mmHg
N : 83 x/menit
RR : 22 x menit
S : 36.3 oC
4. Berat badan : 38 kg
5. Tinggi badan : 150 cm
6. Indeks Massa Tubuh : 16.89 kg/m2

D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan kepala
a. Bentuk kepala : Simetris, mesocephal
b. Rambut : Distribusi merata, warna hitam
c. Venektasi temporal : tidak ada
2. Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva : Anemis (-/-)
b. Sklera : Ikterik (-/-)
c. Palpebra : Oedem (-/-)
5

d. Reflek cahaya langsung/ tidak langsung : (+/+) / (+/+)


3. Pemeriksaan telinga
a. Simetris
b. Kelainan bentuk : (-)
c. Discharge : (-)
4. Pemeriksaan Hidung
a. Discharge : (-)
b. Nafas Cuping Hidung : (-)
5. Pemeriksaan mulut
a. Bibir sianosis : (-)
b. Lidah sianosis : (-)
c. Lidah kotor : (-)
6. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+3 cm
7. PemeriksaanThorax
Pulmo
Inspeksi
Simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi
Vokal fremitus lobus superior kanan sama dengan kiri.
Vokal fremitus lobus inferior kanan sama dengan kiri.
Perkusi
Sonor di kedua lapang paru, batas paru hepar di SIC V LMCD.

Auskultasi
Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/+), RBH (-/-), RBK(-/-)
Jantung
Inspeksi
Ictus cordis tampak di SIC VI 2 jari lateral LMCS, pulsasi epigastrium (-).
6

Palpasi
Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari lateral LMC sinistra, tak kuat angkat.
Perkusi
Batas atas kanan : SIC II LMCD
Batas atas kiri : SIC II LMCS
Batas bawah kanan : SIC V LMCD
Batas bawah kiri : SIC VI, 2 jari lateral LMCS
Auskultasi
S1>S2, reguler, murmur (+), gallop (-).
8. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
Datar, jaringan parut (-)
Auskultasi
Bising usus (+) normal.
Perkusi
Timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi
Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar : Teraba 3 jari BACD, batas paru hepar SIC V
Lien : Tidak teraba
9. Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium tanggal 20 Juni 2017
20/07/17 Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11.9 g/dL 11.7 – 15.5
Leukosit 8710 U/L 4500 - 12500
Hematokrit 36 (L) % 35 – 47
7

Eritrosit 4.4 (L) x106 /uL 3.8 – 5.2


Trombosit 128000 (L) /uL 154000 – 386000
MCV 80.7 (L) fL 80 – 100
MCH 27 (L) pg/cell 26 – 34
MCHC 33.5 (L) % 32 – 36
RDW 18.2 (H) % 11.5 – 14.5
Hitung Jenis
- Basofil 0.5 % 0–1
- Eosinofil 1.7 (L) % 2–4
- Batang 0.3 (L) % 3–5
- Segmen 77.5 (H) % 50 – 70
- Limfosit 12.4 (L) % 25 – 40
-Monosit 7.6 % 2–8
Kimia Klinik
Ureum 22.8 mg/dL 14.98 – 38.52
Kreatinin 0.75 mg/dL 0.55 – 1.02
GDS 124 mg/dL <=200
Natrium 141 mmol/L 134 – 146
Kalium 3.6 mmol/L 3.4 – 4.5
Klorida 101 mmol/L 96 - 108
Kalsium 8.4 (L) mmol/L 9 - 11
8

2. EKG

Laporan Hasil EKG :


a. HR : 77x/ menit
b. Irama atrial fibrillation
c. PR Interval tidak ada
d. Kompleks QRS sempit
e. Sumbu/ Axis : Right Axis Deviation
f. Morfologi : Right ventricular hypertrophy
g. Gelombang ST Normal
Kesimpulan : AF normoventricular respon, RVH
9

3. Foto Thoraks

Kesan: Right ventricular hypertrophy, pembesaran pada LA, pembesaran pada


RA, terdapat gambaran Kerley B line dan efusi pleura

F. DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis etiologi : Penyakit jantung rematik
2. Diagnosi anatomi : RVH, MS, MR
3. Diagnosis fungsional : CHF NYHA 4
4. Diagnosis lain : AF
G. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Bed rest
b. Diet TKTP (Tinggi kalori tinggi protein) lunak
2. Medikamentosa
1. O2 4 LPM
10

2. IVFD RL 10 tpm
3. Inj Furosemide 2x1 amp
4. Po Spironolacton 2x25 mg
5. Po Digoxin 2x1/2 tab
6. Po Simarc 1x1 tab
7. Po Curcuma 3x1 tab

H. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad Bonam
Ad fungtionam : Dubia ad Bonam
Ad sanationam : Dubia ad Bonam
11

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal jantung merupakan keadaan klinis dan bukan suatu diagnosis, sehingga
penyebabnya harus selalu dicari (Gray et al, 2005). Menurut Carleton dan O’Donnell
(2005), gagal jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.
Sedangkan menurut Setiati S, et al, 2014, gagal jantung merupakan sindroma klinis
kompleks, yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
keselruh tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari
jantung. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan
fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama
jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Gagal jantung dapat dibagi
menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi
menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung
(Mariyono dan Santoso, 2007).

B. Etiologi
1. Faktor yang mendasari
Di Amerika Serikat dan Eropa Barat, penyakit jantung iskemik adalah
tiga perempat dari seluruh kasus, kardiomiopati menempati urutan kedua dan
penyakit congenital, kelainan katup serta hipertensi adalah penyebab yang
lainnya (Braunwald, 2005).
2. Faktor presipitasi
a. Infeksi
b. Aritmia
c. Fisik, makanan, cairan, lingkungan, dan ledakan emosi
d. Infark miokard
e. Embolisme paru
f. Anemia
12

g. Tirotoksikosis dan kehamilan


h. Hipertensi berat
i. Rematik, virus, dan bentuk lain miokarditis
j. Infeksi endokarditis
Pasien dengan faktor pencetus yang teridentifikasi, terawat dan
tereliminasi mempunyai prognosis lebih baik daripada yang tidak dapat
terdeteksi.

C. Epidemiologi
Risiko terjadinya gagal jantung semakin meningkat sepanjang waktu. Menurut
data WHO 2013, 17,3 juta orang meninggal akibat gangguan kardiovaskular pada
tahun 2008 dan lebih dari 23 juta orang akan meninggal setiap tahun dengan
gangguan kadiovaskular (WHO, 2013). Lebih dari 80% kematian akibat gangguan
kardiovaskular terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (Yancy,
2013). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal jantung di Indonesia
sebesar 0,3%. Data prevalensi penyakit ditentukan berdasarkan hasil wawancara pada
responden umur ≥ 15 tahun berupa gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis
dokter atau kasus yang mempunyai gejala penyakit gagal jantung (Riskesdas, 2013).
Prevalensi faktor risiko jantung dan pembuluh darah, seperti makan makanan asin
24,5%, kurang sayur dan buah 93,6%, kurang aktivitas fisik 49,2%, perokok setiap
hari 23,7% dan konsumsi alkohol 4,6% (Depkes RI, 2009)

D. Patomekanisme
Berbagai faktor bisa berperan menimbulkan gagal jantung. Faktor –faktor ini
kemudian merangsang timbulnya mekanisme kompensasi, yang apabila berlebihan
dapat menimbulkan gejala-gejala gagal jantung. Gagal jantung paling sering
mencerminkan adanya kelainan fungsi kontraktilitas ventrikel (suatu bentuk gagal
sistolik) atau gangguan relaksasi ventrikel (suatu bentuk gagal sistolik) (Sitompul dan
Sugeng, 1996).
13

Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang


menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Sedangkan
disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan
gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik (Mariyono dan Santoso, 2007).
Gagal jantung kiri sejauh ini adalah penyebab umum dari edema hidrostatik
yang kemudian disebut sebagai “cardiogenic” edema pulmonal. Apabila ventrikel kiri
oleh karena sesuatu kelemahan, gagal mengeluarkan darah yang sama banyaknya
dengan venous return maka banyaknya darah yang berkumpul dalam jantung
bertambah. Hal ini menyebabkan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat,
tekanan ini diteruskan secara retrograde ke atrium kiri, vena pulmonalis, venule dan
akhirnya ke kapiler paru (Gondokusumo, 1973; Miller, 2006).
Dalam keadaan ini, tekanan vena paru – paru meninggi di atas maximal
(normal ± 10 mmHg). Bila tekanan hidrostatik melebihi 25 – 35 mmHg, yaitu
tekanan osmotik dari protein plasma, maka terjadi kebocoran cairan melalui
pembuluh darah kapiler paru – paru masuk ke dalam jaringan interstitial paru – paru.
Penderita dapat mengalami dyspnea d’effort, batuk dan menggah – menggah. Pada
pemeriksaan fisik tidak terdengar ronkhi di paru – paru, terkecuali bila terjadi
eksudasi atau transudasi di dalam alveoli. Di dalam keadaan ini, kegagalan jantung
kiri dapat dikenal radiologis, sebelum ada gejala – gejala klinis, juga sebelum ada
pembesaran jantung yang nyata (Gondokusumo, 1973; Miller, 2006). Gagal jantung
kanan biasanya disebabkan karena kongesti paru pada gagal jantung kiri (Gray et al,
2005)
14

Gambar 2.1 Patogenesis gagal jantung

Gambar 2.2 Patofisiologi gagal jantung


15

E. Penegakkan Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1. Gejala dan tanda sesak nafas
Sesak napas selama melakukan aktivitas (paling sering), saat istirahat, atau saat
tidur, yang mungkin datang tiba-tiba dan membangunkan. Pasien sering
mengalami kesulitan bernapas sambil berbaring datar dan mungkin perlu untuk
menopang tubuh bagian atas dan kepala di dua bantal. Pasien sering mengeluh
bangun lelah atau merasa cemas dan gelisah.
2. Gejala kardiak lainnya seperti nyeri dada dan jantung berdebar
3. Gejala nonkardiak umum dan gejala gagal jantung meliputi anoreksia, mual,
penurunan berat badan, kembung, kelelahan, kelemahan, oliguria, nokturia, dan
gejala serebral dari berbagai tingkat keparahan, mulai dari kecemasan, gangguan
memori, dan kebingungan (Lam, 2011).
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen dada: pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan
redistribusinya ke apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks),
peningkatan tekanan vascular pulmonari, kadang-kadang ditemukan efusi pleura.
2. Elektrokardiografi: membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark,
iskemia, hipertrofi dll) dapat ditemukan low voltage, T inverse, QS, depresi ST.
3. Laboratorium

Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin, tes


fungsi tiroid, tes fungsi hati, dan lipid darah. Urinalisa untuk mendeteksi
proteinuria atau glukosuria
4. Ekokardiografi
Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang funsi dan
struktur jantung, katup dan perikard.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, radiografi dada, elektrocardiografi,
pengukuran natriuretik peptide tipe β dan tingkat Nteminal natriuretik peptide tipe β.
Tes laboratorium lainnya (tes darah lengkap, tes fungsi ginjal, pengukuran jumlah
16

elektrolit, kadar glukosa, transaminase, waktu protrombin, level troponin, level D-


dimer dan tekanan gas darah arteri, tes fungsi thyroid dan urinalisis (Allen and
O’Connor, 2007). Selain itu kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis
gagal jantung:
5. Kriteria mayor
a. Paroksismal nocturnal dispnea
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular
6. Kriteria minor
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardi (>120/menit)
7. Mayor atau minor
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor danm2
kriteria minor (Panggabean, 2006). Disamping itu, manifestasi klinis dari gagal
jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat latihan fisik yang
menyebabkan timbulnya gejala. Pada permulaan, secara khas gejala-gejala hanya
muncul pada latihan/aktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung,
toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal
dengan aktivitas yang ringan.
17

F. Klasifikasi
Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA ) umum
dipakai untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik,
klasifikasinya sebagai berikut (Gray et al., 2005):
Kelas I : tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa
Kelas II : timbul gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa
Kelas III : timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan
Kelas IV : timbul gejala pada saat istirahat
Sedangkan klasifikasi menurut American Heart Association/American College
of Cardiology (ACC/AHA) adalah sebagai berikut:
Stadium A : Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak
terdapat gangguan struktural atau fungsional jantung.
Stadium B : Telah terbentuk penyakit struktural jantung yang berhubungan dengan
perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda dan gejala.
Stadium C : Gagal jantung yang simptomatis berhubungan dengan penyakit struktural
jantung yang mendasari
Stadium D : Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal jantung yang
sangat bermakna saat istirahat walaupun telah mendapat terapi.

G. Gambaran Radiologis Gagal Jantung


Pada foto thorax dapat terlihat gambaran berikut ini:
1. Pembesaran jantung
2. Penonjolan vascular pada lobus atas: akibat meningkatnya tekanan vena
pulmonalis.
3. Efusi pleura: terlihat sebagai penumpukan sudut kostofrenikus, namun dengan
semakin luasnya efusi, terdapat gambaran opak yang homogeny di bagian basal
dengan tepi atas yang cekung.
4. Edema pulmonal interstitial: pada awalnya, merupakan penonjolan pembuluh
darah pada lobus atas dan penyempitan pembuluh darah pada lobus bawah.
18

Seiring meningkatnya tekanan vena, terjadi edema interstitial dan cairan


kemudian berkumpul di daerah interlobular dengan garis septal di bagian perifer
(garis Kerley B).
5. Edema pulmonal alveolus. Dengan demikian meningkatnya tekanan vena, cairan
melewati rongga alveolus (bayangan alveolus) dengan kekaburan dan gambaran
berkabut pada region perihilar. Pada kasus yang berat, terjadi edema pulmonal di
seluruh kedua lapangan paru. Sepertiga bagian luar paru dapat terpisah, edema
sentral bilateral digambarkan sebagai ‘bat’s wing’ (sayap kelelawar) atau
“butterfly appearance”(Patel, 2007).
Kriteria gambaran radiologis gagal jantung menurut Slutsky and Brown, 1985
adalah sebagai berikut:
Grade 0 : normal
Grade 1 : redistribusi aliran darah paru
Grade 2 : edema interstisial paru (garis kerley B)
Grade 3 : edema alveoler paru terlokalisir (butterfly appearance)
Grade 4 : edema alveolar paru tersebar (efusi pleura)
Berdasarkan klasifikasi di atas, secara teknis dalam penelitian terdapat grade –
grade antara, yaitu:
Grade 1-2 : tampak gambaran redistribusi darah paru dan garis kerley B yang kurang
jelas.
Grade 2-3 : tampak garis kerley B dan gambaran butterfly appearance yang kurang
jelas
Grade 3-4 : tampak gambaran butterfly appearance dan efusi pleura yang masih tipis

H. Penatalaksanaan
1. Tujuan terapi
Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kberdasarkan American Heart
Association (Yancy et al., 2013) antara lain sebagai berikut :
a. Mencegah terjadinya CHF pada orang yang telah mempunyai faktor resiko.
b. Deteksi dini asimptomatik disfungsi LV.
19

c. Meringankan gejala dan memperbaiki kualitas hidup.


d. Progresifitas penyakit berjalan dengan lambat.
2. Terapi Nonfarmakologis
a. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
b. Aktivitas fisik yang berat sebaiknya dikurangi untuk mengurangi beban kerja
jantung karena demand oksigen yang tinggi. Aktivitas sosial dan pekerjaan
diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik
dengan profesi yang masih bisa dilakukan. Aktivitas fisik (latihan jasmani
jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu
selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
c. Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
d. Pemberian oksigen bisa diberikan jika pasien merasa sangat sesak.
e. Merokok bisa menurunkan curah jantung, meningkatkan denyut jantung, dan
meningkatkan resistensi vascular sistemik dan pulmonal sehingga harus
dihentikan.
f. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
g. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 gram pada gagal jantung ringan dan
1 gram pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung
berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
h. Edukasi mengenai hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
3. Terapi Farmakologis
Penggolongan obat sangat erat kaitannya dengan algoritma pada terapi
gagal jantung kongestif. Berdasarkan Pharmacoterapy Handbook edisi 9tahun
2015 (Dipiro et al., 2015), penggolongan obat pada terapi gagal jantung kongestif
(CHF) adalah sebagai berikut :
a. Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE I)
Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja menurunkan
sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim yang
20

dapat mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Termasuk juga dapat


mengurangi kejadian remodeling jantung serta retensi air dan garam.
b. Beta bloker
Berdasarkan guideline dari ACC/AHA direkomendasikan menggunakan β-
blocker pada semua pasien gagal jantung kongestif yang masih stabil dan
untuk mengurangi fraksi ejeksi jantung kiri tanpa kontraindikasi ataupun
adanya riwayat intoleran pada β-blockers. Mekanisme kerja dari β- blocker
sendiri yaitu dengan menghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung,
pembuluh darah perifer sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker
dapat memperlambat konduksi dari sel jantung dan juga mampu
meningkatkan periode refractory.
c. Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada subtipe
AT1. Penggunaan obat golongan ARB direkomendasikan hanya untuk
pasien gagal jantung dengan stage A, B, C yang intoleran pada penggunaan
ACE I. Food and Drug Approval (FDA) menyetujui penggunaan
candesartan dan valsartan baik secara tunggal maupun kombinasi dengan
ACE I sebagai pilihan terapi pada pasien gagal jantung kongestif.
d. Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan
meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik
sistemik maupun paru. Penggunaan diuretik pada terapi gagal jantung
kongestif ditujukan untuk meringankan gejala dyspnea serta mengurangi
retensi air dan garam (Figueroa dan Peters, 2006). Diuretik yang banyak
digunakan yaitu dari golongan diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid (HCT)
dan golongan diuretik lengkungan yang bekerja pada lengkung henle di
ginjal seperti furosemid.
e. Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat reabsorpsi
Na dan eksresi K. Spironolakton merupakan obat golongan antagonis
21

aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg perhari dan 25 mg perhari pada


kasus klinik yang bersifat mayor.
f. Digoksin
Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat
inotropik positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan
meningkatkan dari kerja jantung. Digoxin memiliki indeks terapi sempit
yang berarti dalam penggunaan dosis rendah sudah memberikan efek terapi.
Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan digoxin dan
diperlukan monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik.
g. Nitrat dan hidralazin
Nitrat dan hidralazin mempunyai efek hemodinamik yang saling
melengkapi. Hidralazin sebagai vasodilator pembuluh darah arteri yang
dapat mengurangi resisten pembuluh darah sistemik serta meningkatkan
stroke volum dan cardiac output. Hidralazin memiliki mekanisme yaitu
dengan menghambat inositoltrifosfat (IP3) pada retikulum sarkoplasma yang
berfungsi untuk melepaskan ion kalsium intraseluler dan terjadi penurunan
ion kalsium intraseluler. Nitrat sebagai venodilator utama (dilatasi pembuluh
darah) dan menurunkan preload (menurunkan beban awal jantung) dengan
mekanisme aktivasi cGMP (cyclic Guanosine Monophosphate) sehingga
menurunkan kadar ion kalsium intraseluler.

Yancy et al. (2013) juga memaparkan mengenai algoritma terapi dari


penggolongan obat-obat CHF berdasarkan klasifikasi AHA (Gambar 2.4) dan NYHA
(Gambar 2.5). Algoritma dari kedua klasifikasi tersebut dapat disesuaikan dengan
keluhan dan perburukan penyakit yang dialami oleh pasien CHF.
22

Gambar 2.4 Terapi CHF klasifikasi AHA

Gambar 2.5 Lokasi reaksi obat

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan:
1. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal
jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami gangguan yang sangat
luas. Otot jantung kehilangan kontraktilitasnya, mengakibatkan penurunan curah
jantung dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung, otak,
23

ginjal). Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat
dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi,
penurunan keluaran urine, serta kulit yang dingin.
2. Gagal Ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah menuju ginjal yang akan
menyebabkan gangguan fungsi ginjal apabila tidak diatasi dengan baik. Penderita
gagal ginjal yang disebabkan oleh gagal jantung biasanya memerlukan terapi
dialisis.
3. Kelainan Katup
Seiring dengan bertambahnya pembesaran jantung dan tekanan di dalam jantung
maka katup katup jantung akan berisiko tidak berfungsi dengan baik. Tanda yang
dapat ditemukan dalam pemeriksaan yaitu tersengarnya murmur pada katup-
katup jantung.
4. Kerusakan Hati
Gagal jantung dapat menimbulkan bendungan pada organ-organ yang dilewati
oleh darah sebelum kembali ke jantung, salah satunya adalah hati. Akan terjadi
penumpukan cairan dan peregangan kapsula hati yang menimbulkan nyeri dan
penurunan fungsi hati. Kongesti ini akan disertai oleh pelebaran vena hepatika.

J. Prognosis
CHF memiliki sifat letal dan menyebabkan risiko kematian yang tinggi.
Prognosis lebih baik ditemukan pada wanita dan orang dengan usia muda. (Anderson,
et al, 1993). Prognosis penyakit ini akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak
dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung memiliki resiko tinggi
meninggal dunia dalam empat tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada gagal
jantung berat, lebih dari 50% akan meninggal dalam waktu satu tahun (Manggioni,
2005). Sementara prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu
(Hauser et al., 2005):
Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
24

Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%


Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%
25

DAFTAR PUSTAKA

Allen L.A. and O’Connor C.M. 2007. Management of acute decompensated heart
failure. Canadian Medical Association or its licensors. 176(6): 797-805.

Braunwald, E. 2005. Heart failure and cor pulmonale. In: Kasper D.L., Fauci A.S.,
Longo D.L., Braunwald E., Hauser S.L., and Jameson J.L. (eds). Harrison’s
Principal of Internal Medicine. Vol II, 16th ed. New York: McGraw-Hill
Medical Publishing Division,pp: 1367-1372

Carleton P.F. dan O’Donnell M.M. 2005. Gangguan fungsi mekanis jantung dan
bantuan sirkulasi. Dalam: Price S.A. and Wilson L.M. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC, pp: 630-633.

Clark A.L. 2006. Origin of symptom in chronic heart failure. Heart. 92:12-16.

DeBeasi L.C. 2005. Anatomi sistem kardiovascular. Dalam: Price S.A. and Wilson
L.M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta:
EGC, pp: 517-519.

Gondokusumo S. 1973. Gambaran Radiologis dari Sembab Paru – paru yang Dini.
Dalam Buku Naskah Lengkap Konggres Nas. Kedua Rdiologi Indonesia.
Jakarta: Ikatan Ahli Radiologi Indonesia.

Gray H.H., Dawkins K.D., Morgan J.M. dan Simpson I.A. 2005. Lecturer Notes
Kardiologi edisi keempat. Jakarta: Erlangga

Holm T.P.E.S. dan Lehtinen P.E. 1992. Atlas teknik radiologi. Alih bahasa:
Sulistianingsih, Noer, Hartono L. Jakarta: EGC.

Kengne A.P., Dzudie A., Sobngwi E. 2008. Heart failure in sub- Saharan Africa: A
literature review with emphasis on individuals with diabetes. Vascular health
and risk management. 4(I): 123-130.

Manurung D. 2006. Gagal jantung akut. Dalam: Sudoyo A.R., Setiyohadi B., Alwi I.,
Simadibrata M. dan Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4.
Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, p: 1505

Mariyono H.H. dan Santoso A. 2007. Gagal Jantung. J Peny Dalam. 8:3.

Miller, W.T. 2006. Diagnostic Thoracic Imaging. New York: Mc Graw-Hill Medical
Publishing Division, pp: 3-4.
26

Panggabean M.M. 2006. Gagal jantung. Dalam: Sudoyo A.R., Setiyohadi B., Alwi I.,
Simadibrata M. dan Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4.
Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, pp: 1503-1504.

Patel P.R. 2007. Lecturer Notes Radiologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Sitompul B. dan Sugeng J.I. 1996. Gagal jantung. Dalam: Rilantono L.I., Baraas F.,
Karo S.K. dan Roebiono P.S. (eds). Buku Ajar Kardiologi FK UI. Jakarta:
Gaya Baru, pp: 115-117.

Slutsky R.A. and Brown J.J. 1985. Diagnostic radiology: chest radiographs in
congestive heart failure. Radiology:154 (3): 577.
http://radiology.rsnajnls.org/cgi/reprint/154/3/577 (23 Juli 2017).

Snell R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC,
pp: 101-103.

Anda mungkin juga menyukai