Disusun Oleh :
Pembimbing:
LAPORAN KASUS
Disusun oleh:
Pembimbing,
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pekerja Proyek
Alamat : Rawamangun
No CM : 02-51-35-35
Tanggal Masuk RS : 21 Agustus 2019, pukul 15.00 WIB
Tanggal Keluar : 8 September 2019
B. DATA DASAR
Diperoleh dari pasien Aautoanamnesis, dan catatan rekam medik,
dilakukan pada tanggal 6 September 2019, pukul 13.00 WIB di bangsal
Cempaka Atas
C. KELUHAN UTAMA
Nyeri pada punggung bawah sejak 2 Jam SMRS
D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluhkan nyeri pada punggung bawah sejak 2 jam SMRS post
tertimpa tembok ambruk di tempat kerjanya. Saat itu pasien sedang
beristirahat sambil berdiri membelakangi sebuah tembok, tiba-tiba tembok
di belakangnya rubuh dan menimpa bagian punggung dirinya. Tembok
dikatakan terbuat dari batu bata dan memiliki tinggi kurang lebih 2 meter.
Pasien sempat tidak sadarkan diri selama kurang lebih 2-3 menit setelah
sadar pasien langsung muntah berisi makanan sebanyak 1 kali sebelum
akhirnya di bawa ke RS Persahabatan. Pasien mengeluhkan sangat sulit
untuk berjalan kedua kaki terasa kebas dan terasa lemas Pasien juga
mengeluhkan mata seperti berkunang-kunang dan nyeri kepala. Pasien juga
mengeluhkan BAK yang sulit untuk dikendalikan sehingga pasien sering
mengompol tanpa ia sadari. Pasien menyangkal adanya kejang setelah
kejadian. Saat kejadian pasien hanya menggunakan alat pelindung diri
berupa sepatu boots dan helm proyek. Pasien menyangkal adanya cedera
pada kepala dan bagian tubuh lain. Pasien menyangkal pernah mengalami
hal serupa sebelumnya.
E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat operasi : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat cuci darah : disangkal
h. Riwayat penyakit paru : disangkal
i. Riwayat penyakit jantung : disangkal
j. Riwayat stroke : disangkal
k. Riwayat penyakit hati : disangkal
l. Riwayat asam urat : disangkal
m. Riwayat kolesterol : disangkal
n. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
F. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit paru : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal
G. RIWAYAT SOSIAL DAN EXPOSURE
a. Community
Pasien tinggal di rumah bersama istri, dan anaknya. Hubungan
antar keluarga dan tetangga baik.
b. Home
Rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur, satu ruang tamu, satu
ruang keluarga, satu dapur, dan satu kamar mandi. Kamar mandi
dan jamban di dalam rumah. Atapnya memakai genteng dan
lantai terbuat dari keramik.
c. Occupational
Sebelum sakit pasien merupakan pekerja proyek bangunan.
Namun saat ini pasien telah berhenti bekerja akibat penyakit yang
dideritanya.
d. Diet
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali sehari, dengan nasi dan
lauk pauk seadanya.
e. Habit
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak remaja. Kebiasaan
minum-minuman beralkohol disangkal
JVP 5 ± 2 cm
Pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan gerak (-
), jejas (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-/-),
ekspirasi memanjang (-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tampak di ICS V linea midclavicula sinistra
kaudolateral, pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra
kaoudolateral dan kuat angkat
Fungsi Motorik
Kanan Kiri
Gerak Bebas Bebas
Terbatas Terbatas
Kekuatan 5555 5555
3333 3333
Tonus Normal nomal
Normal normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
Fungsi Sensorik
Kanan Kiri
Rasa Nyeri Terasa Terasa
Terasa Terasa
Rasa Raba Terasa Terasa
Terasa Terasa
Diskriminatif Terasa Terasa
Terasa Terasa
Propioseptif Terasa Terasa
Terasa Terasa
Refleks Patologis:
Babinski - -
Chaddock - -
gordon - -
Schaeffer - -
Rosolimo - -
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium darah
Na 138 134-146
K 3.6 3.50-5.00
Cl 110 98-107
Ur 37 18-55
Cr 1.0 0.6-1.2
PT/APTT 1.0x/0.8x 1x
GDS 89 70-200
Na 133 134-146
K 4.5 3.50-5.00
Cl 102 98-107
Ur 41 18-55
Cr 1.0 0.6-1.2
PT/APTT 1.0x/0.8x 1x
GDS 89 70-200
Na 135 134-146
K 3.6 3.50-5.00
Cl 110 98-107
Ur 48 18-55
Cr 0.7 0.6-1.2
PT/APTT 1.0x/0.8x 1x
GDS 89 70-200
2. Pemeriksaan Rontgen
Tanggal 21/8/19
RO Thorakal
Alignment baik
Pedikel baik
Soft tissue tidak terdapat kelainan
RO Lumbal
Kedudukan lumbosacral baik
Kompresi frakturlumbalis 2
Tampak spur formation anterior L3-L5
Tidak tampak penyempitan diskus intervertrebralis dan foramen intervertrebralis
Kesimpulan:
Kesan:
Spondilosis lumbails
Spondilosis torakalis
Assesment
Planning
Cefotaxime 3x1 gr
Ketorolac amp
Dexamethasone 4x5 mg IV loading 10 mg bolus
Ranitidin amp
Cek GDS/hari
MRI Thoracolumbacal
Cek lab lengkap
Rawat Bedah
Tanggal 28/8/19
MRI Lumbosacral
Morfologi dan intensitas signal diskus
intervertrebralis tampak normal
Anterior Wedging terlihat pada corpus
lumbal1 dan lumbal 2 disertai fluid signal
MRI Lumbosacral
Morfologi dan intensitas signal diskus
intervertrebralis tampak normal
Anterior Wedging terlihat pada corpus lumbal1 dan
lumbal 2 disertai fluid signal
Kesan
Kesan:
Konsul fisioterapi
Cefotaxime 3x1gr
Ketorolac 3x30mg
Ranitidin 2x50mg
Dexametason 2x5mg
Transamin 3x 500mg
Vit K 3x1 mg
Diet bertahap
Aff NGT
Evaluasi sistotomi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a.
Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu
ventralis.
b.
Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks merupakan
respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal ataupun
eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh. Refleks
yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan refleks
yang melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut refleks
otonom atau visceral.
c.
Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.
d.
Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
II.2.1 Definisi
II2.2 Epidemiologi
Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar
5.596.000 orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi
fungsional yang digunakan dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi
Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis
dikarenakan oleh cedera medula spinalis. Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab
cedera medula spinalis yang terbanyak di Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) ,
diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan (4%) dan
penyebab lain (9%). Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang
bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar
49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di
Taiwan.
II.2.3. Etiologi
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi
sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level sensorik yang
digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling kaudal dari medulla
spinalis dengan fungsi sensorik normal. Level motorik juga didefenisikan hampir
sama, sebagai fungsi motorikpada otot penanda yang paling rendah dengan
kekuatan paling tidak 3/5. Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi
sensorik dan/ atau motorik dibawah segmen normal terendah hal ini disebut dengan
zone preservasi parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan level
trauma pada kedua sisi sangat penting. Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi
diatas dan dibawah T1.
b.1. Trauma C5
b.2. Trauma C6
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma pada level
ini menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi siku, dan terjadi
paraplegia. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan
bernapas melemah.
b.3 Trauma C7
b.4. Trauma C8
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek yang
digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi
tersebut sesuai dengan keinginan dengan bantuan alat.
Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal, dan otot
punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang menyebabkan gangguan
ekstremitas atas.
Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung tergantung dari level
trauma medulla spinalis. Biasanya trauma menyebabkan keluhana paraplegia
dengan kekuatan ekstremitas atas dalam kondisi normal. Pasien masih mampu
mengendalikan kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu
batuk produktif selama otot abdominal masih intak. Biasanya tidak terdapat
gangguan berkemih ataupun defekasi.
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki. Tidak
terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi
tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dengan
bantuan alat. Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin memerlukan alat bantu
untuk berjalan.
Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan kaki. Tidak
terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih
atau defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan
dengan bantuan alat. Pasien mampu berjalan cukup baik.
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien dengan
cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak
membingungkan pemeriksa.
a. Complete transaction
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan
sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya trauma
hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis stenosis servikal
sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya riwayat jatuh kedepan dengan
dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang servikal
atau dislokasi.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen
pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas
bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan
jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama
disebabkan karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan
kerusakan paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan
hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan
tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark
pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior.
Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya.
Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap
raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik.
d. Brown Sequard Syndrome
Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat luka
tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni,
sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus
kortikospinalis) dan hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan
hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah
level trauma (traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma
tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi
perbaikan. Kindisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai
kehilangan fungsi sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan
kehilangan sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.
II.2.4.6 Patofisiologi
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan tanda
yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk
pertama kalinya sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi
selanjutnya. Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh
fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf
pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur
axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam
beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga
perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian. Efek trauma
terhadap tulang belakang bisa bisa berupa frakturdislokasi, fraktur, dan dislokasi.
Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah Fraktur tidak mempunyai tempat
predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempat-tempat antara bagian
yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-
12. Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa
kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan
lesi yang nyata di medulla spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan
dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis dikenal sebagai
trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash
(lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya
eksplosi bom.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior dan
posterior.
a. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang
terkena
b. Paraplegia
c. Paralisis sensorik motorik total
d. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih)
e. Penurunan keringat dan tonus vasomotor
f. Penurunan fungsi pernapasan
a. Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan
mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai
dengan dislokasi.Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka
dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-
C2. Evaluasi radiologis yang lengkap sangat penting untuk menentukan adanya
cedera spinal.Pemeriksan radiologis tulang servical diindikasikan pada semua
pasien trauma dengan nyeri leher di garis tengah, nyeri saat palpasi, defisit
neurologis yang berhubungan dengan tulang servical, atau penurunan kesadaran
atau dengan kecurigaan intoksikasi. Pemeriksaan radiologis proyeksi lateral,
anteroposterior (AP) dan gambaran odontoid open mouth harus dilakukan.
Pada proyeksi lateral, dasar tengkorak dan ketujuh tulang cervicla harus
tampak. Bahu pasien harus ditarik saat melakukan foto servikal lateral, untuk
menghindari luputnya gambaran fraktur atau fraktur dislokasi di tulang servikal
bagian bawah. Bila ketujuh tulang servikal tidak bisa divisualisasikan pada foto
latural, harus dilakukan swimmer view pada servical bawah dan thorakal atas.
Proyeksi open mouth odontoid harus meliputi seluruh prosessus odontoid dan
artikulasi C1-C2 kanan dan kiri. Proyeksi AP tulang servikal membantu
indenfitikasi adanya diskolasi faset unilateral pada kasus dimana sedikit atau
tidak tampak gambaran dislokasi pada foto lateral. CT-scan aksial dengan irisan
3 mm juga dapat dilakukan pada daerah yang dicurigai dari gambaran foto polos
atau pada servikal bawah bila tidak jelas tampak pada foto polos. Gambaran
CT aksial melalui C1-C2 juga lebih sensitif daripada foto polos untuk mencari
adanya fraktur pada vertebra. Bila kualitas filmnya baik dan diinterpretasikan
dengan benar, cedera spinal yang tidak stabil dapat dideteksi dengan sensitivitas
lebih dari 97%. Jika pada skrining radiologis seperti dijelaskan normal,foto X-
ray fleksi ekstensi perlu dilakukan pada pasien tanpa penurunan kesadaran, atau
pada pasien dengan keluhan nyeri leher untuk mencari adanya instabilitas okult
atau menentukan stabilitas fraktur, seperti pada fraktur kompresi atau lamina.
Mungkin sekali pasien hanya mengalami cedera ligamen sehingga mengalami
instabilitas tanpa adnaya fraktur walaupun beberapa penelitian menyebutkan
bahwa bila 3 proyeksi radiologis ditambah CT scan menunjukkan gambaran
normal (tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau angulasi abnormal) maka
instabilitas jarang terjadi. Untuk tulang torakolumbal, indikasi melakukan
skrining radiologis sama dengan pada kejadian di tulang servikal. Foto polos
AP dan lateral dengan CT scan aksial irisan 3 mm pada daerah yang divutigai
dapat mendeteksi lebih dari 99% cedera yang tidak stabil. Pada proyeksi AP
kesegarisan vertikal pedikel dan jarak antar pedikel pada masing-masing tulang
harus diperhatikan. Fraktur yang tidak stabil sering menyebabkan pelebaran
jarak antar pedikel. Foto lateral dapat mendeteksi adanya subluksasi, fraktur
kompresi, dan fraktur Chance. CT scan sendiri berguna untuk mendeteksi
adanya faktur pada elemen posterior (pedikel, lamina, dan prosessus spinosus)
jdan menentukan derajat gangguan kanalis spinalis yang disebabkan burst
fraktur. Rekonstruksi sagital dari CT Scan aksial mungkin diperllukan untuk
menentukan fraktur Chance.
b. Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan
likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt
menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat
tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi
fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan
antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma
pada daerah vertebra servikalis tersebut.
c. Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada
daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis
II.2.4.11 Penatalaksanaan
b. Cairan Intravena
II.2.4.12 Prognosis
Medulla spinalis berawal dari ujung bawah medulla oblongata di foramen magnum.
Pada dewasa biasanya berakhir disekitar tulang L1 berakhir menjadi konus
medularis. Selanjutnya akan berlanjut menjadi kauda equina yang lebih tahan
terhadap cedera. Dari berbagai traktus di medulla spinalis, ada 3 traktus yang telah
dipelajari secara klinis, yaitu traktus kortikospinalis, traktus sphinotalamikus, dan
kolumna posterior. Setiap pasang traktus dapat cedera pada satu sisi atau kedua
sisinya.
2. Traktus Asenden
1. PENDAHULUAN
1) Observasi
2. OBSERVASI
Dokter melakukan observasi terhadap pasien dengan gangguan motorik pada waktu ia masuk
ke kamar periksa. Apakah ia berjalan sendiri ? Apakah ia dipapah ? Bagaimana gaya
berjalannya ? Setiap gangguan somatomotorik yang ringan dapat diketahui dari observasi
terhadap gerakan menutup/ membuka kancing baju, menggantungkan pakaian, melepaskan
sandal, menaiki tempat periksa, merebahkan diri dan sebagainya. Bilamana pasien sudah
berbaring di atas tempat periksa, simetri tubuh pasien harus diperhatikan.
Gerakan volunter yang dimaksud ialah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa. Penilaian
ini bersifat umum, yaitu untuk mengetahui apakah pasien masih dapat menekukkan lengannya
di sendi siku, mengangkat lengan di sendi bahu, mengepal dan meluruskan jari-jari tangan,
menekukkan di sendi lutut dan panggul serta menggerakkan jari-jari kakinya.
Teknik pemeriksaan :
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi bahu yang meliputi : abduksi-adduksi,
elevasi, fleksi-ekstensi, endorotasi-eksorotasi.
Perhatikan apakah pasien dapat melakukan gerakan-gerakan tersebut dengan mudah (bebas),
dapat melakukan tetapi tidak sempurna, misalnya bisa melakukanabduksi tetapi tidak
mencapai 90o (bebas terbatas), atau tidak dapat melakukan gerakan sama sekali.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi siku yaitu : fleksi-ekstensi, pronasi
supinasi.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi tangan yaitu : fleksi-ekstensi, pronasi-
supinasi.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi panggul yang meliputi : fleksi-ekstensi,
abduksi-ekstensi, endorotasi-eksorotasi.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi lutut yang meliputi : fleksi-ekstensi,
endorotasi-eksorotasi.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi kaki yang meliputi :
dorsofleksi-plantar fleksi, inversi-eversi.
Pada waktu lengan bawah digerakkan pada sendi siku secara pasif, otot-otot ekstensor dan
fleksor lengan membiarkan dirinya ditarik dengan sedikit tahanan yang wajar. Tahanan ini
dikenal sebagai tonus otot. Jika tonus otot meningkat, maka pemeriksa mendapat kesulitan
untuk menekukkan dan meluruskan lengan. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak
merasakan tahananSyarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat hasil pemeriksaan yang
baik meliputi :
Tonus yang meningkat berarti bahwa pemeriksa mendapat kesulitan untuk menggerakkan
sendi bahu. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak merasakan tahanan.
Pemeriksa menggerakkan sendi siku secara pasif, yaitu fleksi dan ekstensi berulang-ulang dan
merasakan adanya tahanan pada otot-otot di lengan atas dan nilailah tahanan tersebut apakah
normal, meningkat atau menurun.
Jika tonus otot meningkat, maka pemeriksa mendapat kesulitan untuk memfleksikan dan
mengekstensikan lengan. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak merasakan tahanan.
Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan kaki pasien pada articulatio coxae dan
merasakan tahanan pada otot-otot pinggul, apakah normal, meningkat atau menurun.
Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan kaki pasien pada sendi lutut dan merasakan
tahanan pada otot paha (m. quadriceps femoris), apakah normal, meningkat atau menurun.
Pemeriksa melakukan dorsofleksi dan plantar-fleksi secara pasif pada kaki pasien dan
merasakan adanya tahanan pada otot betis (m. gastrocnemius), apakah normal, meningkat atau
menurun.
Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan jari kaki pasien dan merasakan adanya tahanan
pada otot kaki (dorsum dan plantar pedis), apakah normal, meningkat atau menurun.
Pemeriksaan trofi otot dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pengukuran.
a. Inspeksi :
- Perhatikan bentuk dan ukuran otot, baik masing-masing atau sekelompok otot, adanya
gerakan abnormal, adanya kontraktur dan deformitas.
- Perhatikan apakah otot tampak normal (eutrofi), membesar (hipertrofi) atau tampak kecil
(atrofi).
- Perkembangan otot ditentukan oleh faktor keturunan, profesi, cara hidup, gizi dan latihan/
olahraga.
b. Pengukuran :
Bila terdapat asimetri, maka pengukuran kelompok otot yang sama harus dilakukan, meliputi
panjang otot dan lingkaran otot. Patokan untuk mengukur lingkaran anggota gerak kedua sisi
harus diambil menurut bangunan anggota gerak yang sama, misalnya 10 cm diatas olekranon.
c. Palpasi :
Otot yang normal akan terasa kenyal pada palpasi, otot yang mengalami kelumpuhan Lower
Motor Neuron (LMN) akan lembek, kendor dan konturnya hilang.Periksalah bentuk otot pada
otot bahu, lengan atas, lengan bawah, tangan, pinggul,
a. Otot bahu :
b. Otot lengan :
Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi siku kemudian tangan pemeriksa
menahannya. Pemeriksaan ini terutama menilai kekuatan otot bisep dan
brachioradialis.
Meminta pasien untuk melakukan ekstensi pada sendi siku kemudian tangan pemeriksa
menahannya. Pemeriksaan ini terutama menilai otot trisep.
c. Otot tangan :
Meminta pasien untuk menekuk jari-jari tangan (fleksi pada sendi interphalang),
kemudian tangan pemeriksa menahannya.
d. Otot panggul :
Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi panggul, kemudian tangan
pemeriksa menahannya.
e. Otot paha :
Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi lutut, kemudian tangan pemeriksa
menahannya. Pemeriksaan ini untuk menilai kekuatan m. biseps femoris.
f. Otot kaki :
Meminta pasien untuk melakukan dorsofleksi pada kaki, kemudian tangan pemeriksa
menahannya.
Refleks Kremaster
Refleks ini dilakukan dengan cara (1) meraba halus daerah paha dalam secara vertikal dengan
menggunakan handscoen yang menyebabkan (2) kontraksi pada muskulus kremaster yang
menimbulkan elevasi pada testis.
Refleks Bulbocavernosum
Refleks ini dilakukan dengan cara menjepit gland penis secara tibatiba dengan tangan yang satunya
berada didalam anus. Hasil ditemukan positif bila menyebabkan kontraksi pada spinchter ani
DAFTAR PUSTAKA
1. Spinal chord injury who
2. The International Spinal Cord Society. International perspectives on spinal cord injury
(ISCOS). Geneva: WHO; 2013.
3. Basuki A. Cedera medula spinalis akut. Dalam: Basuki A, Dian S, editors.
Kegawatdaruratan neurologi. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD/RSHS;
2010. hlm. 123-49.
4. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2003.h.
35-36.
5. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi ke-5. Jakarta
: EGC; 2007.h.1-16.
6. DeGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-42.
7. ASIA. Spinal cord injury. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu.
8. PERDOSSI. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma medula spinalis.
Jakarta: Prikarsa Utama; 2006
9. Baehr,M., Frotscher., 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda,
dan Gejala. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
10. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of Neurology, 7th
ed. McGraw-Hill, New York, 2001.