Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN KASUS

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

Disusun Oleh :

Frida Ayu Nawangsih 1820221074

Pembimbing:

dr. Iqbal Rivai Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM


PUSAT PERSAHABATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 26 AGUSTUS 2019 – 2 NOVEMBER 2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

Disusun oleh:

Frida Ayu Nawangsih 1820221074

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Bedah RSUP Persahabatan Jakarta

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada Tanggal : Oktober 2019

Jakarta, Oktober 2019

Pembimbing,

dr. Iqbal Rivai Sp.BS

STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pekerja Proyek
Alamat : Rawamangun
No CM : 02-51-35-35
Tanggal Masuk RS : 21 Agustus 2019, pukul 15.00 WIB
Tanggal Keluar : 8 September 2019
B. DATA DASAR
Diperoleh dari pasien Aautoanamnesis, dan catatan rekam medik,
dilakukan pada tanggal 6 September 2019, pukul 13.00 WIB di bangsal
Cempaka Atas
C. KELUHAN UTAMA
Nyeri pada punggung bawah sejak 2 Jam SMRS
D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluhkan nyeri pada punggung bawah sejak 2 jam SMRS post
tertimpa tembok ambruk di tempat kerjanya. Saat itu pasien sedang
beristirahat sambil berdiri membelakangi sebuah tembok, tiba-tiba tembok
di belakangnya rubuh dan menimpa bagian punggung dirinya. Tembok
dikatakan terbuat dari batu bata dan memiliki tinggi kurang lebih 2 meter.
Pasien sempat tidak sadarkan diri selama kurang lebih 2-3 menit setelah
sadar pasien langsung muntah berisi makanan sebanyak 1 kali sebelum
akhirnya di bawa ke RS Persahabatan. Pasien mengeluhkan sangat sulit
untuk berjalan kedua kaki terasa kebas dan terasa lemas Pasien juga
mengeluhkan mata seperti berkunang-kunang dan nyeri kepala. Pasien juga
mengeluhkan BAK yang sulit untuk dikendalikan sehingga pasien sering
mengompol tanpa ia sadari. Pasien menyangkal adanya kejang setelah
kejadian. Saat kejadian pasien hanya menggunakan alat pelindung diri
berupa sepatu boots dan helm proyek. Pasien menyangkal adanya cedera
pada kepala dan bagian tubuh lain. Pasien menyangkal pernah mengalami
hal serupa sebelumnya.
E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat operasi : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat cuci darah : disangkal
h. Riwayat penyakit paru : disangkal
i. Riwayat penyakit jantung : disangkal
j. Riwayat stroke : disangkal
k. Riwayat penyakit hati : disangkal
l. Riwayat asam urat : disangkal
m. Riwayat kolesterol : disangkal
n. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
F. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit paru : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal
G. RIWAYAT SOSIAL DAN EXPOSURE
a. Community
Pasien tinggal di rumah bersama istri, dan anaknya. Hubungan
antar keluarga dan tetangga baik.
b. Home
Rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur, satu ruang tamu, satu
ruang keluarga, satu dapur, dan satu kamar mandi. Kamar mandi
dan jamban di dalam rumah. Atapnya memakai genteng dan
lantai terbuat dari keramik.
c. Occupational
Sebelum sakit pasien merupakan pekerja proyek bangunan.
Namun saat ini pasien telah berhenti bekerja akibat penyakit yang
dideritanya.

d. Diet
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali sehari, dengan nasi dan
lauk pauk seadanya.
e. Habit
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak remaja. Kebiasaan
minum-minuman beralkohol disangkal

H. PEMERIKSAAN FISIK 6/8/19


1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign :
TD : 100/70 mmHg
N : 90 X/ menit
RR : 22 X/ menit
S : 36 oC
Status Generalis

Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-)


Rambut : Warna putih-hitam, tidak mudah dicabut,
terdistribusi merata
Mata : Simetris, mata tidak cekung, edema palpebra (-/-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil
(+/+) normal isokor 3 mm
Telinga : Discharge (-/-), serumen (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir pucat (+), bibir kering (-), mukosa pipi kering (-),
sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi papil lidah (-), palatum
terdapat bercak merah
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),

JVP 5 ± 2 cm

Pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan gerak (-
), jejas (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-/-),
ekspirasi memanjang (-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tampak di ICS V linea midclavicula sinistra
kaudolateral, pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra
kaoudolateral dan kuat angkat

Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD


Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : (+) Normal
Perkusi : Timpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral hangat (+/+), sianosis (-/-),
Inferior : Edema (+/+), akral hangat (+/+), sianosis (-/-),

Fungsi Motorik
Kanan Kiri
Gerak Bebas Bebas

Terbatas Terbatas
Kekuatan 5555 5555
3333 3333
Tonus Normal nomal
Normal normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi

Fungsi Sensorik
Kanan Kiri
Rasa Nyeri Terasa Terasa

Terasa Terasa
Rasa Raba Terasa Terasa
Terasa Terasa
Diskriminatif Terasa Terasa
Terasa Terasa
Propioseptif Terasa Terasa
Terasa Terasa

Refleks Patologis:

Babinski - -
Chaddock - -
gordon - -
Schaeffer - -
Rosolimo - -

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium darah

Tanggal 21/ 08/ 2019 Nilai normal

Hemoglobin 14.4 13-16

Hematokrit 39.9 40-48

Leukosit 12.86 5.00-10.00

Trombo 212.000 150.000-400.000

Na 138 134-146

K 3.6 3.50-5.00

Cl 110 98-107

Ur 37 18-55

Cr 1.0 0.6-1.2

PT/APTT 1.0x/0.8x 1x

GDS 89 70-200

Tanggal 4/ 09/ 2019 Nilai normal

Hemoglobin 12.5 13-16

Hematokrit 34.5 40-48


Leukosit 12.86 5.00-10.00

Trombo 333.000 150.000-400.000

Na 133 134-146

K 4.5 3.50-5.00

Cl 102 98-107

Ur 41 18-55

Cr 1.0 0.6-1.2

PT/APTT 1.0x/0.8x 1x

GDS 89 70-200

Tanggal 7/ 09/ 2019 Nilai normal

Hemoglobin 9.9 13-16

Hematokrit 27.5 40-48

Leukosit 11.11 5.00-10.00

Trombo 251.000 150.000-400.000

Na 135 134-146

K 3.6 3.50-5.00

Cl 110 98-107

Ur 48 18-55

Cr 0.7 0.6-1.2
PT/APTT 1.0x/0.8x 1x

GDS 89 70-200

2. Pemeriksaan Rontgen
Tanggal 21/8/19
RO Thorakal
Alignment baik
Pedikel baik
Soft tissue tidak terdapat kelainan
RO Lumbal
Kedudukan lumbosacral baik
Kompresi frakturlumbalis 2
Tampak spur formation anterior L3-L5
Tidak tampak penyempitan diskus intervertrebralis dan foramen intervertrebralis

Kesimpulan:

Kesan:

Kompresi fraktur Lumbalis 2

Spondilosis lumbails
Spondilosis torakalis

Assesment

Fraktur kompresi lumbal 2 dan spinal cord injury

Planning
Cefotaxime 3x1 gr
Ketorolac amp
Dexamethasone 4x5 mg IV loading 10 mg bolus
Ranitidin amp
Cek GDS/hari
MRI Thoracolumbacal
Cek lab lengkap
Rawat Bedah

Tanggal 28/8/19
MRI Lumbosacral
Morfologi dan intensitas signal diskus
intervertrebralis tampak normal
Anterior Wedging terlihat pada corpus
lumbal1 dan lumbal 2 disertai fluid signal
MRI Lumbosacral
Morfologi dan intensitas signal diskus
intervertrebralis tampak normal
Anterior Wedging terlihat pada corpus lumbal1 dan
lumbal 2 disertai fluid signal

Kesan

Tampak gambaran acute compression fracture L2 dan


edema L1 dengan tanda-tanda neurogenic bladder
Pada Tanggal 5/9/19
Dilakukan sistotomi dengan Guide USG
1. Dicoba insersi FC no 14, kesan tahanan pada pars bulbar
2. Dilakuakn sistotomi dengan guide USG
3. Keluar urine kurang jernih
4. Operasi dilanjutkan oleh TS bedah saraf

Dilakukan Operasi Laminektome dekompresi + Stabilisasi Posterior

(Laminektomi L2, Partial Laminektomi L1 dan L3)


Laporan Pembedahan
1. Pasien dibaringkan prone dalam anestesi umum
2. Dilakuakn a dan antisepsis area operasi dan sekitarnya
3. Identifikasi segmen L2 dengan bantuan C arm
4. Dilakukan Insisi dari L1 hingga L3 midline, dilakukan diseksi
periostealmelepaskan otot dari struktur tulang
5. Dilakukan pemasangan pedikel screw pada L1 dan L3, dilanjutkan
dengan pemasangan rod dan koreksi kurvatura lumbal
6. Dilakukan laminektomi L2 dan laminektomi parsial L1 dan L3
7. Tmpak dura terkompresi dan tidak ada penyempitan
8. Dilakukan pemasangan epidural drain dilanjutkan dengan
pemasangan crossline
9. Dilakukan control perdarahan
10. Luka operasi ditutup
11. Operasi selesai
Tanggal 6/8/19

Kesan:

Tak tampak penyempitan diskus intervertebralis dan


foramen intervertebralis

Terpasang fiksasi interna di L1-L3 kedudukan baik

Foto Klinis Post operasi 6/8/19


Planning Post Operasi

Observasi produksi drain dan tanda vital

Cek leb lengkap post op

Konsul fisioterapi

IVFD RL 2000cc/24 jam

Cefotaxime 3x1gr

Ketorolac 3x30mg

Ranitidin 2x50mg
Dexametason 2x5mg

Transamin 3x 500mg

Vit K 3x1 mg

Diet bertahap

Aff NGT

Evaluasi sistotomi

Ro lumbal AP lateral post OP

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Spinal


Medulla spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang terletak di
kanalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater, arakhnoid
dan piamater. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament, meningen
spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla
spinalis di dalam ruang subarachnoid. Bagian superior dimulai dari bagian foramen
magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya dengan medulla oblongata. Medula
spinalis berakhir di inferior di region lumbal. Dibawah medulla spinalis menipis
menjadi konus medularis dari ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu
fillum terminale yang berjalan kebawah dan melekat dibagian belakang os
coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda
Equina. Setiap pasangan syaraf keluar melalui foramen intervertebral. Syaraf
Spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal
dan LCS (liquor cerebrospinal).

Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui radiks


anterior atau radiks motorik dan radiks posterior atau radiks sensorik. Masing-
masing radiks melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia yang
membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai. Masing-
masing radiks saraf memiliki sebuah ganglion radiks posterior, yaitu sel-sel yang
membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal diantaranya yaitu :

1. 7 pasang saraf servikal


2. 12 pasang saraf torakal
3. 5 pasang saraf lumbal
4. 5 pasang saraf sakral
5. 1 pasang saraf koksigeal
Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea) yang
dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan melintang, substansia
grisea terlihat seperti huruf H dengan kolumna atau kornu anterior atau posterior
substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea yang tipis.
Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari medula spinalis
merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal. Substansi grisea mengandung
badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, saraf sensoris dan
motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian posterior sebagai input atau
afferent, anterior sebagai Output atau efferent, comissura grisea untuk refleks silang
dan substansi alba merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.
Fungsi medula spinalis :

a.
Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu
ventralis.
b.
Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks merupakan
respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal ataupun
eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh. Refleks
yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan refleks
yang melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut refleks
otonom atau visceral.
c.
Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.
d.
Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

II.2 Trauma Medulla Spinalis

II.2.1 Definisi

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke


susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh
tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris,
gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan
dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun
permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut
sebagai cedera medula spinalis.

II2.2 Epidemiologi

Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu


mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak
183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara
tersebut. Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak
berdayaan, rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi
yang tinggi. Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama
dengan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian
untuk mengetahui epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan yang
mengalami paralisis di Amerika Serikat.

Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar
5.596.000 orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi
fungsional yang digunakan dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi
Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis
dikarenakan oleh cedera medula spinalis. Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab
cedera medula spinalis yang terbanyak di Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) ,
diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan (4%) dan
penyebab lain (9%). Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang
bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar
49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di
Taiwan.

II.2.3. Etiologi

Cedera medulla spinalis di bedakan atas 2 jenis, yaitu:

a) Cedera medulla spinalis traumatik : terjadi ketika benturan fisik


eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Hagen dkk (2009)
mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik
pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau
paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and
Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine,
cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio
dari kolum vertebra.

b) Cedera medulla spinalis non-traumatik : terjadi ketika kondisi


kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan
pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera
medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik,
penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
II.2.4. Klasifikasi

Cedera medulla spinalis diklasifikasikan berdasarkan Level, complete/incomplete,


dan sindroma medulla spinalis

II.2.4.1 Berdasarkan Level

Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi
sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level sensorik yang
digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling kaudal dari medulla
spinalis dengan fungsi sensorik normal. Level motorik juga didefenisikan hampir
sama, sebagai fungsi motorikpada otot penanda yang paling rendah dengan
kekuatan paling tidak 3/5. Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi
sensorik dan/ atau motorik dibawah segmen normal terendah hal ini disebut dengan
zone preservasi parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan level
trauma pada kedua sisi sangat penting. Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi
diatas dan dibawah T1.

Cedera pada segmen 8 medulla spinalis servikal akan menyebabkan


tetraplegi, dan lesi dibawah T1 menyebabkan paraplegi. Level trauma pada tulang
adalah pada tulang vertebra yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis. Level neurologis trauma dapat ditentukan pertama
kali dengan pemeriksaan fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang
dan neurologis karena nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui foramen
dan naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelum benar-benar masuk ke medulla
spinalis. Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The
Christopher & Dana Reeve Foundation mengkategorikan trauma medulla spinalis ,
menjadi :

a. High Cervical Nerves ( C1-C4)


Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia. Pasien
mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan kemampuan
sendiri juga kehilangan kemampuan mengontrol defekasi, berkemih.
Terkadang kemampuan untuk berbicara juga terganggua atau menurun.
b. Low Cervical Nerves (C5 – C8)
Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas dan bicara
normal seperti sebelumnya.

b.1. Trauma C5

Pasien mampu menggerakkan tangan meraih siku, tetapi terjadi paraplegia.


Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas
melemah.

b.2. Trauma C6

Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma pada level
ini menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi siku, dan terjadi
paraplegia. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan
bernapas melemah.

b.3 Trauma C7

Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan gangguan


ekstensi siku dan ekstensi jari – jari tangan. Tidak terdapat gangguan
kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi
tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan
dengan bantuan alat.

b.4. Trauma C8
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek yang
digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi
tersebut sesuai dengan keinginan dengan bantuan alat.

c. Thoracic Nerves (T1-T5)

Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal, dan otot
punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang menyebabkan gangguan
ekstremitas atas.

d. Thoracic Nerves (T6 – T12)

Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung tergantung dari level
trauma medulla spinalis. Biasanya trauma menyebabkan keluhana paraplegia
dengan kekuatan ekstremitas atas dalam kondisi normal. Pasien masih mampu
mengendalikan kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu
batuk produktif selama otot abdominal masih intak. Biasanya tidak terdapat
gangguan berkemih ataupun defekasi.

e. Lumbar Nerves (L1-L5)

Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki. Tidak
terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi
tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan dengan
bantuan alat. Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin memerlukan alat bantu
untuk berjalan.

f. Sacral Nerves ( S1-S5)

Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan kaki. Tidak
terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih
atau defekasi tetapi pasien dapat mengatur fungsi tersebut sesuai dengan keinginan
dengan bantuan alat. Pasien mampu berjalan cukup baik.

II. 2.4.2 Berdasarkan beratnya defisit neurologis


Terdapat beberapa klasifikasi dalam menentukan trauma medulla spinalis apakah
complete atau partial diantaranya menggunakan kriteria Frankel dan ASIA.

II. 2.4.3 Berdasarkan sindrom medulla spinalis

Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien dengan
cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak
membingungkan pemeriksa.

a. Complete transaction

Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus menyebabkan


semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di bawah level semua terganggu
dan terjadi kerusakan permanen. Secara klinis menyebabkan kehilangan
kemampuan motorik berupa tetraplegia pada transeksi cervical dan paraplegia jika
terjadi pada level thorakal. Terjadi flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi
sensoris dibawah level terabsseksi. Kehilangan tonus vasomotor area tubuh
dibawah lesi menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak stabil. Kehilangan
kemampuan perspirasi menyebabkan kulit kering dan pucat, juga terjadi gangguan
pernapasan.

b. Incomplete transaction : Central cord syndrome

Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan
sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya trauma
hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis stenosis servikal
sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya riwayat jatuh kedepan dengan
dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang servikal
atau dislokasi.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen
pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas
bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan
jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama
disebabkan karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan
kerusakan paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.

c. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome

Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan
hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan
tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark
pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior.
Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya.
Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap
raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik.
d. Brown Sequard Syndrome

Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat luka
tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni,
sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus
kortikospinalis) dan hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan
hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah
level trauma (traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma
tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi
perbaikan. Kindisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai
kehilangan fungsi sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan
kehilangan sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.

II.2.4.6 Patofisiologi
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan tanda
yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk
pertama kalinya sama pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi
selanjutnya. Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh
fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf
pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur
axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam
beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga
perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian. Efek trauma
terhadap tulang belakang bisa bisa berupa frakturdislokasi, fraktur, dan dislokasi.
Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah Fraktur tidak mempunyai tempat
predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempat-tempat antara bagian
yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-
12. Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa
kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan
lesi yang nyata di medulla spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan
dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis dikenal sebagai
trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash
(lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya
eksplosi bom.

II.2.4.6 Mekanisme rusaknya Medula spinalis dan radiks

1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom.


Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh
korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus
vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.

2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan,


hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap
regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.

3. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan


gangguan aliran darah kapiler dan vena.

4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior dan
posterior.

II.2.4.7 Manifestasi lesi traumatic

a. Komosio Medula Spinalis

Komosio medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla


spinalis hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai
fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberapa
menit hingga beberapa jam / hari tanpa meninggalkan gejala sisa. Kerusakan
yang medasari komosio medulla spinalis berupa edema, perdarahan
perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada inspeksi
makroskopik medulla spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan hilangnya
sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh
sempurna menipis dan perubahan pada medulla spinalis lebih mengarah ke
perubahan patologik daripada fisiologik.

b. Kontusio Medula Spinalis


Berbeda dengan komosio medulla spinalis yang diduga hanya merupakan
gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan makroskopik, maka pada kontusio
medulla spinalis didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla
spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan (edema), perubahan neuron,
reaksi peradangan. Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan
adanya bercak-bercak degenerasi Wallerian dan pada kornu anterior terjadi
hilangnya neuron.
c. Laserasio Medula Spinalis
laserasio medulla spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat
diskontinuitas medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka
tembak atau bacok/tusukan, fraktur dislokasi vertebra.
d. Perdarahan
Akibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural,
subdural maupun hematomiella.Hematom epidural dan subdural dapat
terjadi akibat trauma maupun akibat dari sepsis.Gambaran klinisnya adalah
adanya trauma yang ringan tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat
penekanan medulla spinalis.Kedua keadaan diatas memerlukan tindakan
darurat bedah. Hematomiella adalah perdarahan di dalam substansia grisea
medulla spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi,
trauma Whisplash atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya
eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah
hilangnya fungsi medulla spinalis di bawah lesi, yang sering menyerupai
lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap
maka terdapat perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan posterior
medulla spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran klinis yang khas
hematomiella sebagai berikut : terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot
setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis otot, dengan utuhnya
sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.
e. Kompresi Medula Spinalis
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun
perdarahan epidural dan subdural.Gambaran klinisnya sebanding dengan
sindrom kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam
kanalis vertebralis.Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis flaksid
setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi. Akibat hiperekstensi,
hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash) radiks saraf tepi
dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).Pada trauma lecutan radiks C5-
7 dapat mengalami hal demikian, dan menimbulkan nyeri radikuler
spontan.Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis, yang
sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis. Di bawah lesi
kompresi medulla spinalis akan didapati paralisis otot dan gangguan
sensorik serta otonom sesuai dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi
konus medularis terjadi akibat fraktur-dislokasi L1, yang menyebabkan
rusaknya segmen sakralis medulla spinalis. Biasanya tidak dijumpai
gangguan motorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada
segmen sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum dan
bokong. Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa
retensio urine serta pada pria terdapat impotensi. Kompresi kauda ekuina
akan menimbulkan gejala, yang bergantug pada serabut saraf spinalis mana
yang terlibat. Akan dijumpai paralisis flaksid dan atrofi otot. Gangguan
sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat. Kompresi pada saraf
spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilangnya
control dari vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
f. Hemiseksi Medula Spinalis
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medulla
spinalis. Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu
setinggi lesi terdapat kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN) ipsilateral
pada otot-otot yang disarafi oleh motoneuron yang terkena hemilesi. Di
bawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsilateral kelumpuhan neuron motorik
sentral (UMN) dan neuron sensorik proprioseptif, sedangkan pada sisi
kontralateral terdapat neuron sensorik protopatik.

II.2.4.8 Gejala klinis


Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah

a. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang
terkena
b. Paraplegia
c. Paralisis sensorik motorik total
d. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih)
e. Penurunan keringat dan tonus vasomotor
f. Penurunan fungsi pernapasan

II.2.4.9 Pemeriksaan Fisik

Penilaian pada trauma medulla spinalis menggunakan American Spinal


Injury Association Impairment Scale (ASIA) yang merupakan uji standar yang
terdiri dari myotomal berbasis pemeriksaan motorik, dermatomal berbasis
pemeriksaan sensorik, dan pemeriksaan anorektal. Pada pemeriksaan ini,
tingkat keparahan cedera atau level di dapatkan dari ASIA tersebut (Gambar ).
Pemeriksaan sensorik mengevaluasi 28 dermatoma spesifik secara bilateral
untuk sentuhan ringan (umumnya sepotong kapas) dan pinprick (umumnya
menggunakan peniti). Setiap komponen pemeriksaan dicatat untuk masing-
masing dermatom dan lateralitas. Nilai 0 menunjukkan tidak ada sensasi, 1
menunjukkan gangguan atau perubahan sensasi, dan 2 menunjukkan sensasi
normal. Pemeriksaan sensor normal unilateral terdiri dari 28 dermatom dengan
masing-masing 2/2 poin untuk sentuhan ringan dan 2/2 poin untuk pinprick,
menghasilkan 112 total poin. Skor 224 bilateral adalah sepenuhnya
pemeriksaan sensorik normal. Ketidakmampuan untuk membedakan sensasi
pinprick dari sentuhan ringan secara teknis dinilai sebagai 0.
Gambar American Spinal Injury Association Impairment Scale
(ASIA)

Pemeriksaan motorik terdiri dari penilaian lima pesifik kelompok otot di


ekstrimitas atas dan lima kelompok otot spesifik di ektrimitas bawah, mewakili
mayor myotom serviks dan lumbal (Tabel 1). Kekuatan motor itu dinilai
menggunakan skala enam poin universal (dinilai sebagai 0-5) (Tabel 2).
Kekuatan motorik dicatat untuk setiap otot kelompok secara bilateral. Skor
motorik bilateral maksimum dalam invidu sehat adalah 100, 50 untuk skor 5/5
di semua ekstremitas kanan atas dan bawah, dan 50 lainnya di semua ekstrimitas
kiri atas dan bawah.

Pemeriksaan anorektal sangat penting untuk menetukan kelengkapan cedera


dan mengevaluasi untuk adanya syok tulang belakang. Sfingter anal eksternal
diperiksa secara digital untuk kontraksi motorik sukarela dan kemampuan untuk
merasakan tekanan anal yang dalam. Kedua hal tersebut dinilai secara bersama,
0 untuk “tidak ada” dan 1 untuk “ada”. Refleks bulbocavernosus dinilai melalui
pemeriksaan rektal digital, dimana kontraksi sfingter anal internal dan eksternal
teraba jika meremas glans penis atau klitoris. Menarik kateter emih yang ada di
dalam tubuh juga dapat menyebabkan refleks.

ASIA juga mencakup tingkat cedera neurologis dalam klasifikasinya


sebagai cedera komplit dan inkomplit. Cedera komplit medulla spinal
didefinisikan sebagai tidak adanya semua fungsi motorik dan sensorik, termasuk
kumpulan saraf sakralis, distal ke lokasi cedera. Trauma ini ditetapkan sebagai
Grade A pada ASIA. Trauma inkomplit didefinisikan sebagai trauma motorik
atau fungsi sensorik dibawah lokasi trauma. Ini dinilai Grade B sampai E pada
ASIA (Tabel). Pasien dengan trauma Grade B memiliki beberapa fungsi sensorik
tetapi tidak memiliki fungsi motorik. Trauma Grade C memiliki grade motorik
kurang dari 3 dibawah tingkat trauma neurologis sedangkan Grade D memiliki
grade motorik setidaknya 3 dibawah level trauma neurologis. Pasien dengan
trauma Grade E memiliki pemeriksaan motorik dan sensorik yang normal, tetapi
masih mungkin memiliki refleks abnormal atau fenomena neurologis lainnya.

Penentuan trauma medulla spinal komplit atau inkomplit membutuhkan


resolusi spinal shock atau syok medulla spinal. Stok medulla spinal adalah
respons fisiologis terhadap trauma yang ditandai dengan depolarisasi awal
jaringan aksonal segera setelah trauma. Selama syok medulla spinalis, pasien
menunjukkan periode lemah kelumpuhan dimana pasien tidak berespons
terhadap stimuli. Terutama, termasuk tidak didaptkannya refleks
bulbocavernosus. Setelah kembalinya refleks ini, pasien dapat dinilai secara
akurat untuk trauma komplit atau inkomplit. Pemeriksaan yang lengkap dan
bermakna tidak dapat dilakukan pada pasien dengan kesadaran yang berubah
atau terbatas (seperti intoksikasi, trauma kepala, intubasi) atau trauma mayor
yang tidak diobati.

II.2.4.10 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan


laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan
pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra
servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada
kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan
dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging
merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di medulla
spinalis akibat cedera/trauma

a. Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan
mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai
dengan dislokasi.Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka
dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-
C2. Evaluasi radiologis yang lengkap sangat penting untuk menentukan adanya
cedera spinal.Pemeriksan radiologis tulang servical diindikasikan pada semua
pasien trauma dengan nyeri leher di garis tengah, nyeri saat palpasi, defisit
neurologis yang berhubungan dengan tulang servical, atau penurunan kesadaran
atau dengan kecurigaan intoksikasi. Pemeriksaan radiologis proyeksi lateral,
anteroposterior (AP) dan gambaran odontoid open mouth harus dilakukan.
Pada proyeksi lateral, dasar tengkorak dan ketujuh tulang cervicla harus
tampak. Bahu pasien harus ditarik saat melakukan foto servikal lateral, untuk
menghindari luputnya gambaran fraktur atau fraktur dislokasi di tulang servikal
bagian bawah. Bila ketujuh tulang servikal tidak bisa divisualisasikan pada foto
latural, harus dilakukan swimmer view pada servical bawah dan thorakal atas.

Proyeksi open mouth odontoid harus meliputi seluruh prosessus odontoid dan
artikulasi C1-C2 kanan dan kiri. Proyeksi AP tulang servikal membantu
indenfitikasi adanya diskolasi faset unilateral pada kasus dimana sedikit atau
tidak tampak gambaran dislokasi pada foto lateral. CT-scan aksial dengan irisan
3 mm juga dapat dilakukan pada daerah yang dicurigai dari gambaran foto polos
atau pada servikal bawah bila tidak jelas tampak pada foto polos. Gambaran
CT aksial melalui C1-C2 juga lebih sensitif daripada foto polos untuk mencari
adanya fraktur pada vertebra. Bila kualitas filmnya baik dan diinterpretasikan
dengan benar, cedera spinal yang tidak stabil dapat dideteksi dengan sensitivitas
lebih dari 97%. Jika pada skrining radiologis seperti dijelaskan normal,foto X-
ray fleksi ekstensi perlu dilakukan pada pasien tanpa penurunan kesadaran, atau
pada pasien dengan keluhan nyeri leher untuk mencari adanya instabilitas okult
atau menentukan stabilitas fraktur, seperti pada fraktur kompresi atau lamina.
Mungkin sekali pasien hanya mengalami cedera ligamen sehingga mengalami
instabilitas tanpa adnaya fraktur walaupun beberapa penelitian menyebutkan
bahwa bila 3 proyeksi radiologis ditambah CT scan menunjukkan gambaran
normal (tidak ada pembengkakan jaringan lunak atau angulasi abnormal) maka
instabilitas jarang terjadi. Untuk tulang torakolumbal, indikasi melakukan
skrining radiologis sama dengan pada kejadian di tulang servikal. Foto polos
AP dan lateral dengan CT scan aksial irisan 3 mm pada daerah yang divutigai
dapat mendeteksi lebih dari 99% cedera yang tidak stabil. Pada proyeksi AP
kesegarisan vertikal pedikel dan jarak antar pedikel pada masing-masing tulang
harus diperhatikan. Fraktur yang tidak stabil sering menyebabkan pelebaran
jarak antar pedikel. Foto lateral dapat mendeteksi adanya subluksasi, fraktur
kompresi, dan fraktur Chance. CT scan sendiri berguna untuk mendeteksi
adanya faktur pada elemen posterior (pedikel, lamina, dan prosessus spinosus)
jdan menentukan derajat gangguan kanalis spinalis yang disebabkan burst
fraktur. Rekonstruksi sagital dari CT Scan aksial mungkin diperllukan untuk
menentukan fraktur Chance.

b. Pungsi Lumbal

Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan
likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt
menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat
tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi
fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan
antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma
pada daerah vertebra servikalis tersebut.

c. Mielografi

Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada
daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis

II.2.4.11 Penatalaksanaan

Berdasarkan ATLS (Advance Trauma Life Support), manajemen umum pada


pasien dengan trauma spinal dan medulla spinalis meliptui immonilisasi, cairan
intravena, obat-obatan, dan rujukan dilkukan saat kondisi pasien sudah stabil.
a. Immobilisasi

Semua pasien dengan kecurigaan trauma spinal harus diimobilisasi sampai di


atas dan dibawah daerah yang dicurigai sampai adanya fraktur dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan radiologi. Harus diingat bahwa proteksi
spinal harus dipertahankan sampai cedera cervical dapat disingkirkan.
Imobilisasi yang baik dicapai dengan meletakkan pasien dalam posisi netral-
supine tanpa memutar atau menekuk kolumna vetebralis. Jangan dilakukan
usaha/tindakan untuk mengurangi deformitas. Anak-anak mungkin mengalami
tortikolis, sedangkan orang yang lebih tua mungkin menderita penyakit
degenerasi spinal berat yang mengakibatkan mereka mengalami kifosis
nontraumatik atau deformitas angulasi spinal. Pasien sperti ini diimobilisasi
pada backboard pada posisi yang tepat. Padding tambahan juga diperlukan.
Usaha untuk meluruskan spinal guna immobilisasi di atas backboard tidak
dianjurkan bila menimbulkan nyeri. Immbolisasi leher dengan semirigid collar
tidak menjamin stabilisasi komplit tulang cervical. Imobilisasi dengan
menggunakan spine board dengan bantal ganjalan yang tepat lebih efektif dalam
membatasi pergerakan leher. Cedera tulang cervical memerlukan immobilisasi
yang terus menerus dengan menggunakan cervical collar, immoblisasi kepala,
backboard, dan pengikt sebelum dan selama pasien dirujuk ke tempat perawatan
definitif. Ekstensi atau fleksi leher harus dihindari karena geraka seperti ini
berbahaya bagi medulla spinalis. Jalan nafas adalah hal yang penting pada
pasien dengan cedera medulla spinalis dan intubasi segera harus dilakukan bila
terjadi gangguan respirasi. Selama melakukan intubasi, leher harus
dipertahankan dalam posisi netral,

Perhatian khusus dalam mempertahankan imbolisasi yang adekuat


diberikan pada pasien yang gelisah, agitatif, atau memberontak. Hal ini dapat
disebabkan oleh nyeri, kesadaran menurun akibat hipoksia atau hipotensi,
penggunaan alkohol atau obat-obatan, atau gangguan kepribadian. Dokter harus
mencari dan memperbaiki penyebab bila mungkin. Jika diperlukan dapat
diberikan sedatif atau obat paralitik, dengan tetap diingat mengenai proteksi
jalan nafas yang kuat, kontrol, dan ventilasi. Pneggunaan sedasi atau obat
paraitik dalam keadaan ini memerlukan ketepatan dalam keputusan klinis,
keahlian dan pengalaman. Saat pasien tiba di ruang gawat daruratm harus
diusahakan agar pasien bisa dilepaskan dari spine board yang keras untuk
mengurangi risiko terjadinya ulkus dekubitus. Pelepasan alas keras sering
dilakukan sebagai bagian dari secondary survey saat dilakukan log roll untuk
inspeksi dan palpasi tubuh bagian belakang. Jangan sampai hal ini ditunda
hanya untuk pemeriksaan radiologis, apalagi bila pemeriksaan radiologis tidak
bisa dilakukan dalam beberapa jam. Gerakan yang aman atau log roll, pad
apasien dengan tulang belakang yang tidak stabil memerlukan perencana dan
bantuan 4 orang atau lebih, tergantung ukuran pasien. Kesegarisan anatomis
netral dari seluruh tulang belakang harus dijaga pada saat memutar atau
mengangkat pasien. Satu orang ditugaskan untuk menjaga kesegarisan leher dan
kepala. Yang lain berada di sisi yang sama dari pasien, secara manual
mencegahh rotasi, fleksi, ekstensi, tekukan lateral, atau tertekuknya thorax atau
abdomen secara manual selama transfer pasien. Otang keempat bertanggung
jawab menggerakkan tungkai dan memindahkan spine board dan memeriksa
punggung pasien.

b. Cairan Intravena

Pada penderita dengan kecurigaan trauma spinal, cairan intravena diberikan


seperti pada resusitasi pasien trauma. Jika tidak ada atau tidak dicurigai adanya
perdarahan aktif, adanya hipotensi setelah pemberian cairan 2 liter atau lebih
menimbulkan kecurigaan adanya syok neurogenik. Pasien dengan syok
hipovolemik biasanya mengalami takikardia sementara pasien dengan syok
neurogenik secara klasik akan mengalami bardikardia. Jika tekanan darah tidak
meningkat setelah pemberian cairan, maka pemberian vasopressor secara hati-
hati diindikasikan. Fenielfrin HCL, dopaminm atau norepinefrin
direkomendasikan. Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan
edema paru pada pasien dengan syok neurogenik. Bila status cairan tidak jelas
maka pemasangan monitor invasif bisa menolong. Kateter urine dipasang untuk
memonitor pengeluaran urine dan mencegah distensi kandung kemih.
c. Medikasi

Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan


dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula
spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi
medulla spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam
pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis
tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi
sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan
adalah lebih dari 50% Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum
digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh
National Institute of Health di Amerika Serikat. Namun demikian
penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika masih
dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh
Braken dalam Cochrane Library menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis
tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada
uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera
medula spinalis traumatika. Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci
utama dalam penanganan pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi
okupasi, dan bladder training pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin.
Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM (Range of
Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otototot
yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS biasanya mengalami
pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga dapat berjalan
dengan bantuan ataupun tidak. Terapi okupasional terutama ditujukan untuk
memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan
kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living (ADL).
Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat
bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien

Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program


rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi,elektroterapi, psikoterapi,
penatalaksanaan gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan
secara signifikan nilai status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.

II.2.4.12 Prognosis

Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata


harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi
normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera.
Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik yaitu :
pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal. Penelitian Muslumanoglu
dkk terhadap 55 pasien cedera medula spinalis traumatik (37 pasien dengan lesi
inkomplet) selama 12 bulan menunjukkan bahwa pasien dengan cedera medula
spinalis inkomplet akan mendapatkan perbaikan motorik, sensorik, dan fungsional
yang bermakna dalam 12 bulan pertama. Penelitian Bhatoe dilakukan terhadap 17
penderita medula spinalis tanpa kelainan radiologik (5 menderita CentralCord
Syndrome). Sebagian besar menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens
pada T2, mengindikasikan adanya edema. Seluruh pasien dikelola secara
konservatif, dengan hasil: 1 orang meninggal dunia, 15 orang mengalami perbaikan,
dan 1 orang tetap tetraplegia. Pemulihan fungsi kandung kemih baru akan tampak
pada 6 bulan pertama pasca trauma pada cedera medula spinalis traumatika. Curt
dkk mengevaluasi pemulihan fungsi kandung kemih 70 penderita cedera medula
spinalis; hasilnya menunjukkan bahwa pemulihan fungsi kandung kemih terjadi
pada 27% pasien pada 6 bulan pertama.
PR Laporan Kasus
Traktus Medulla Spinalis

Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris


memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atlas
(C1) sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla spinalis
akan berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang medulla
spinalis setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medulla spinalis dibungkus oleh duramater,
arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan
komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.

Medulla spinalis berawal dari ujung bawah medulla oblongata di foramen magnum.
Pada dewasa biasanya berakhir disekitar tulang L1 berakhir menjadi konus
medularis. Selanjutnya akan berlanjut menjadi kauda equina yang lebih tahan
terhadap cedera. Dari berbagai traktus di medulla spinalis, ada 3 traktus yang telah
dipelajari secara klinis, yaitu traktus kortikospinalis, traktus sphinotalamikus, dan
kolumna posterior. Setiap pasang traktus dapat cedera pada satu sisi atau kedua
sisinya.

1. Traktus kortikospinalis, yang terletak dibagian posterolateral medulla


spinalis, mengatur kekuatan motorik tubuh ipsilateral dan diperiksa dengan
melihat kontraksi otot volunter atau melihat respon involunter dengan
rangsangan nyeri.
2. Traktus spinotalamikus adalah suatu jalur asenden yang berasal dari
medulla spinalis dan berjalan disepanjang medulla spinalis sampai
bersinaps di talamus. Terdapat dua jalur yang tergabung dalam sistem ini,
yakni traktus spinotalamikus lateral dan traktus spinotalamikus anterior.
Traktus spinotalamikus, yang terletak di anterolateral medula spinalis,
membawa sensasi nyeri dan suhu dari sisi kontralateral tubuh. Diameter
bilateral medulla spinalis bila selalu lebih panjang dibandingkan diameter
ventrodorsal. Hal ini terutama terdapat pada segmen medulla spinalis yang
melayani ekstremitas atas dan bawah. Pelebaran ke arah bilateral ini disebut
intumesens, yang terdapat pada segmen C4-T1 dan segmen L2-S3
(intumesens lumbosakral). Pada permukaan medulla spinalis dapat dijumpai
fisura mediana ventalis, dan empat buah sulkus, yaitu sulkus medianus
dorsalis, sulkus dorsolateralis, sulkus intermediodorsalis dan sulkus
ventrolateralis. Pada penampang transversal medulla spinalis, dapat
dijumpai bagian sentral yang berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal
dengan istilah gray matter. Gray matter adalah suatu area yang berbentuk
seperti kupu-kupu atau huruf H. Area ini mengandung badan sel neuron
beserta percabangan dendritnya. Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf
yang tidak berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler-kapiler
darah. Hal inilah yang mengakibatkan area ini berwarna menjadi lebih
gelap. Gray matter dapat dibagi kedalam 10 lamina atau 4 bagian, yaitu :
a. kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik, terdiri
atas lamina VIII, IX, dan bagian dari lamina VII.
b. Kornu posterior/ventralis, yang membawa serat serat saraf sensorik,
terdiri atas lamina I-IV.
c. Kornu intermedium, yang membawa serat-serat asosiasi, terdiriatas
lamina VII.Kornu lateral, merupakan bagian dari kornu intermedium
yang terdapat pada segmen torakal dan lumbal yang membawa serat
saraf simpatis.
Setiap segmen medula spinalis memiliki empat radix, sebuah radix ventralis dan
sebuah radix posterior pada sisi kiri dan sepasang di sisi kanan. Radix saraf ini
keluar dari kolumna vertebralis melalui foramina intervetebralis. Pada spina
servikalis, radix keluar melewati bagian atas kolumna vertebralis, sedangkan pada
segmen bawah T1 radix keluar melewati bagian bawah korpus vertebralis. Radix
ventralis berfungsi sebagai traktus motoris yang keluar dari medula spinalis,
sedangkan radix posterior bersifat sensoris terhadap struktur superfisial dan
profunda tubuh.
Perjalanan serabut saraf dalam medulla spinalis terbagi menjadi dua jalur, jalur
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat
perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum
berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat
mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1)
informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot
dan sendi
Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:
1. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-
gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota gerak.
2. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron
motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena itu,
kemungkinan mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas
refleks.
3. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural sebagai
respon terhadap stimulus verbal.
4. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan
gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot
ekstensor atau otot-otot antigravitasi.
5. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat
aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas postural yang
berhubungan dengan keseimbangan.
6. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.
Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari:
1. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan
berperan dalam diskriminasi lokasi.
2. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan
ringan.
3. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.
4. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan
perpindahan, traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan posisi
dan perpindahan.
5. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama.
1. Traktus spinalis anterior dan lateral

2. Traktus Asenden

Cara Membaca CT Scan


Cara membaca CT Scan:
1. Midline shift (ada atau tidak ? Membaca pada potongan axial yang berisi ventrikel lateral dan
ventrikel III. Bila ada, berapa mm? Bila > 5 mmà indikasi operasi
2. Sulcus gyrus (mengabur/ tidak)
3. Sisterna ambiens (mengabur/ tidak)
4. Sistem ventrikel (apakah ada penyempitan atau pergeseran)
5. Massa hiperdens/ hipodens (bila ada, diregio mana, berapa cc?) potongan axial yang masa
hiperdens paling besar PxLx jumlah slice yang terdapat perdarahan: 2 untuk irisan setebal 1 cm,
dibagi 4 untuk irisan setebal 0.5 cm.
6. Terdapat bone defect (fraktur, impresi, depressed, diatase, komunikatif)
7. Soft tissue (edema/ hematom subgaleal ada atau tidak? Jika ada terdapat diregio mana)
Pemeriksaan Fungsi Motorik

1. PENDAHULUAN

Pemeriksaan fungsi motorik, meliputi :

1) Observasi

2) Penilaian terhadap ketangkasan gerakan volunter

3) Penilaian tonus otot

4) Pemeriksaan trofi otot

5) Pemeriksaan kekuatan ekstremitas

2. OBSERVASI

Dokter melakukan observasi terhadap pasien dengan gangguan motorik pada waktu ia masuk
ke kamar periksa. Apakah ia berjalan sendiri ? Apakah ia dipapah ? Bagaimana gaya
berjalannya ? Setiap gangguan somatomotorik yang ringan dapat diketahui dari observasi
terhadap gerakan menutup/ membuka kancing baju, menggantungkan pakaian, melepaskan
sandal, menaiki tempat periksa, merebahkan diri dan sebagainya. Bilamana pasien sudah
berbaring di atas tempat periksa, simetri tubuh pasien harus diperhatikan.

3. PENILAIAN TERHADAP KETANGKASAN GERAKAN VOLUNTER

Gerakan volunter yang dimaksud ialah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa. Penilaian
ini bersifat umum, yaitu untuk mengetahui apakah pasien masih dapat menekukkan lengannya
di sendi siku, mengangkat lengan di sendi bahu, mengepal dan meluruskan jari-jari tangan,
menekukkan di sendi lutut dan panggul serta menggerakkan jari-jari kakinya.

Teknik pemeriksaan :

a. Gerakan pada sendi bahu :

Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi bahu yang meliputi : abduksi-adduksi,
elevasi, fleksi-ekstensi, endorotasi-eksorotasi.
Perhatikan apakah pasien dapat melakukan gerakan-gerakan tersebut dengan mudah (bebas),
dapat melakukan tetapi tidak sempurna, misalnya bisa melakukanabduksi tetapi tidak
mencapai 90o (bebas terbatas), atau tidak dapat melakukan gerakan sama sekali.

b. Gerakan pada sendi siku :

Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi siku yaitu : fleksi-ekstensi, pronasi
supinasi.

Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.

c. Gerakan pada sendi tangan :

Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi tangan yaitu : fleksi-ekstensi, pronasi-
supinasi.

Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.

d. Gerakan jari-jari tangan :

Mintalah pasien untuk mengepalkan tangan, abduksi-adduksi ibu jari.

Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.

e. Gerakan pada sendi panggul :

Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi panggul yang meliputi : fleksi-ekstensi,
abduksi-ekstensi, endorotasi-eksorotasi.

Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.

f. Gerakan pada sendi lutut :

Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi lutut yang meliputi : fleksi-ekstensi,
endorotasi-eksorotasi.

Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.

g. Gerakan pada sendi kaki :

Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi kaki yang meliputi :
dorsofleksi-plantar fleksi, inversi-eversi.

Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.

4. PENILAIAN TONUS OTOT

Pada waktu lengan bawah digerakkan pada sendi siku secara pasif, otot-otot ekstensor dan
fleksor lengan membiarkan dirinya ditarik dengan sedikit tahanan yang wajar. Tahanan ini
dikenal sebagai tonus otot. Jika tonus otot meningkat, maka pemeriksa mendapat kesulitan
untuk menekukkan dan meluruskan lengan. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak
merasakan tahananSyarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat hasil pemeriksaan yang
baik meliputi :

- Pasien harus tenang dan santai.

- Ruang periksa harus nyaman dan tenang.

Teknik pemeriksaan tonus otot :

a. Memeriksa tonus otot bahu :

Pemeriksa menggerakkan sendi bahu seperti abduksi-adduksi dan elevasi, kemudian


merasakan adanya tahanan pada m. deltoideus. Nilailah tahanan tersebut apakah normal,
meningkat atau menurun.

Tonus yang meningkat berarti bahwa pemeriksa mendapat kesulitan untuk menggerakkan
sendi bahu. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak merasakan tahanan.

b. Memeriksa tonus otot pada lengan atas :

Pemeriksa menggerakkan sendi siku secara pasif, yaitu fleksi dan ekstensi berulang-ulang dan
merasakan adanya tahanan pada otot-otot di lengan atas dan nilailah tahanan tersebut apakah
normal, meningkat atau menurun.

Jika tonus otot meningkat, maka pemeriksa mendapat kesulitan untuk memfleksikan dan
mengekstensikan lengan. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak merasakan tahanan.

c. Memeriksa tonus otot pada lengan bawah :


Pemeriksa menggerakkan tangan pasien secara pasif (pronasi-supinasi) dan merasakan adanya
tahanan pada otot-otot di lengan bawah dan nilailah tahanan tersebut apakah normal meningkat
atau menurun.

d. Memeriksa tonus otot pada tangan :

Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan jari-jari tangan pasien (menggenggam dan


membuka) dan merasakan adakah tahanan pada otot tangan, apakah normal, meningkat atau
menurun.

e. Memeriksa tonus otot pada pinggul :

Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan kaki pasien pada articulatio coxae dan
merasakan tahanan pada otot-otot pinggul, apakah normal, meningkat atau menurun.

f. Memeriksa tonus otot pada paha :

Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan kaki pasien pada sendi lutut dan merasakan
tahanan pada otot paha (m. quadriceps femoris), apakah normal, meningkat atau menurun.

g. Memeriksa tonus otot pada betis :

Pemeriksa melakukan dorsofleksi dan plantar-fleksi secara pasif pada kaki pasien dan
merasakan adanya tahanan pada otot betis (m. gastrocnemius), apakah normal, meningkat atau
menurun.

h. Memeriksa tonus otot pada kaki :

Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan jari kaki pasien dan merasakan adanya tahanan
pada otot kaki (dorsum dan plantar pedis), apakah normal, meningkat atau menurun.

5. PEMERIKSAAN TROFI OTOT

Pemeriksaan trofi otot dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pengukuran.

a. Inspeksi :

- Perhatikan bentuk dan ukuran otot, baik masing-masing atau sekelompok otot, adanya
gerakan abnormal, adanya kontraktur dan deformitas.
- Perhatikan apakah otot tampak normal (eutrofi), membesar (hipertrofi) atau tampak kecil
(atrofi).

- Perkembangan otot ditentukan oleh faktor keturunan, profesi, cara hidup, gizi dan latihan/
olahraga.

- Bandingkan kanan dan kiri.

b. Pengukuran :

Bila terdapat asimetri, maka pengukuran kelompok otot yang sama harus dilakukan, meliputi
panjang otot dan lingkaran otot. Patokan untuk mengukur lingkaran anggota gerak kedua sisi
harus diambil menurut bangunan anggota gerak yang sama, misalnya 10 cm diatas olekranon.

c. Palpasi :

Otot yang normal akan terasa kenyal pada palpasi, otot yang mengalami kelumpuhan Lower
Motor Neuron (LMN) akan lembek, kendor dan konturnya hilang.Periksalah bentuk otot pada
otot bahu, lengan atas, lengan bawah, tangan, pinggul,

paha, betis dan kaki.

PEMERIKSAAN KEKUATAN EKSTREMITAS

a. Otot bahu :

 Meminta pasien untuk melakukan elevasi (mengangkat tangan) kemudian tangan


pemeriksa menahannya.

 Meminta pasien untuk melakukan abduksi kemudian tangan pemeriksa menahannya.

b. Otot lengan :

 Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi siku kemudian tangan pemeriksa
menahannya. Pemeriksaan ini terutama menilai kekuatan otot bisep dan
brachioradialis.

 Meminta pasien untuk melakukan ekstensi pada sendi siku kemudian tangan pemeriksa
menahannya. Pemeriksaan ini terutama menilai otot trisep.
c. Otot tangan :

 Meminta pasien untuk menekuk jari-jari tangan (fleksi pada sendi interphalang),
kemudian tangan pemeriksa menahannya.

 Meminta pasien untuk meluruskan jari-jari tangan, kemudian tangan pemeriksa


menahannya.

 Meminta pasien untuk mengepalkan tangan dan mengembangkan jari-jari tangan.

d. Otot panggul :

 Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi panggul, kemudian tangan
pemeriksa menahannya.

 Setelah fleksi maksimal, pemeriksa meluruskan sendi panggul tersebut.

e. Otot paha :

 Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi lutut, kemudian tangan pemeriksa
menahannya. Pemeriksaan ini untuk menilai kekuatan m. biseps femoris.

 Setelah fleksi maksimal, pemeriksa meluruskan sendi lutut tersebut.

f. Otot kaki :

 Meminta pasien untuk melakukan dorsofleksi pada kaki, kemudian tangan pemeriksa
menahannya.

 Meminta pasien untuk melakukan plantar fleksi kemudian tangan pemeriksa


menahannya.

Derajat tenaga otot ditetapkan sebagai berikut :

0, jika tidak timbul kontraksi otot.

1, jika terdapat sedikit kontraksi otot.

2, jika tidak dapat melawan gravitasi.


3, jika dapat melawan gravitasi tanpa penahanan.

4, jika dapat melawan gravitasi dengan penahanan sedang.

5, jika dapat melawan gravitasi secara penuh.

Refleks Kremaster

Refleks ini dilakukan dengan cara (1) meraba halus daerah paha dalam secara vertikal dengan
menggunakan handscoen yang menyebabkan (2) kontraksi pada muskulus kremaster yang
menimbulkan elevasi pada testis.

Refleks Bulbocavernosum

Refleks ini dilakukan dengan cara menjepit gland penis secara tibatiba dengan tangan yang satunya
berada didalam anus. Hasil ditemukan positif bila menyebabkan kontraksi pada spinchter ani
DAFTAR PUSTAKA
1. Spinal chord injury who
2. The International Spinal Cord Society. International perspectives on spinal cord injury
(ISCOS). Geneva: WHO; 2013.
3. Basuki A. Cedera medula spinalis akut. Dalam: Basuki A, Dian S, editors.
Kegawatdaruratan neurologi. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD/RSHS;
2010. hlm. 123-49.

4. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2003.h.
35-36.
5. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi ke-5. Jakarta
: EGC; 2007.h.1-16.
6. DeGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-42.
7. ASIA. Spinal cord injury. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu.
8. PERDOSSI. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma medula spinalis.
Jakarta: Prikarsa Utama; 2006
9. Baehr,M., Frotscher., 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda,
dan Gejala. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
10. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of Neurology, 7th
ed. McGraw-Hill, New York, 2001.

Anda mungkin juga menyukai