Anda di halaman 1dari 50

PRESENTASI KASUS

TB PARU MILIER BTA (-) RONTGEN (+) LESI LUAS KASUS BARU

Diajukan kepada :
dr. Asep Purnama, Sp.PD

Disusun oleh :
Dr. Made Anggara Wisesa Mahayasa

RSUD TC HILLERS MAUMERE


MAUMERE
2017
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. Paulina Dima Lado
Usia : 42 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Status : Belum menikah
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Jalan El Tari ( rumah dekat susteran) RT 011/RW 002, Kota Uneng, Alok,
Kab Sikka.
Tanggal masuk : 1 Agustus 2018
Tanggal periksa : 1 Agustus 2018
No. CM : 226867

II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke Unit gawat darurat RSUD Tc Hillers maumere dengan keluhan
sesak nafas yang makin memberat dalam 3 hari terakhir, disertai batuk keras. Keluhan
ini sudah dialami sekitar 7 bulan lalu dan makin memberat. Keluhan sesak ini
mempengaruhi aktivitas pasien, menurut penuturan yang bersangkutan semenjak sakit
aktivitasnya menjadi terbatas. Untuk berjalan sekitar 4-5 langkah saja ia sudah merasa
kelelahan, sehingga selama sakit ia hanya di rumah dan melakukan aktivitas ringan saja.
Keluhan ini membaik dengan berisitirahat. Pasien juga mengeluh sulit tidur dan lebih
nyaman dengan posisi setengah duduk.
Keluhan batuk-batuk juga dialami jauh sebelum pasien mengeluh sesak, kira-kira
sejak bulan November 2017. Batuk awalnya sesekali, dan lama-lama menjadi semakin
sering. Batuk disertai lendir, namun tidak ada darah. Batuk dialami sepanjang hari,
namun lebih beat pada malam hari. Selain itu pasien juga mengatakan ia mengalami
penurunan berat badan yang drastis. Keluhan lainnya tidak ada.
Pasien juga mengaku memiliki sakit lambung. Sering merasa perih pada ulu hati
jika terlambat makan. Pasien menghubungkan kondisi penurunan berat badannya karena
keluhan sulit menelan, yang kemudian mempengaruhi nafsu makannya.
3. Riwayat perjalanan penyakit dan riwayat pengobatan
Pasien sudah mengalami batuk sejak bulan November 2018, yang bersangkutan
masih aktif berjualan aksesoris di pasar. Namun karena semakin parah pasien sempat
dibawa ke RS untuk diperiksa. Dilakukan foto rontgen pada bulan Januari dan hasil foto
mengarah ke TB milier. Kemudian dokter ahli menyarankan untuk dilakukan
pemeriksaan Dahak dan hasilnya positif. Hasil pemeriksaan HIV non reaktif.
Berdasarkan hasil pemeriksaan maka pasien mulai diprogramkan untuk mengkonsumsi
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) sejak tanggal 11 januari 2018. Saat minum OAT pertama
kali pasien langsung mengalami reaksi alergi berupa mual muntah, sesak menjadi
bertambah berat, kepala sakit, badan sakit, sehingga pasien menunda minum obat pada
hari berikutnya dan melanjutkannya 2 hari setelah konsumsi obat pertama. Namun
seketika didapatkan reaksi yang sama dan akhirnya pasien tidak mau mengkonsumsi
obatnya lagi. Total hanya 5 tablet yang dikonsumsi oleh pasien. Keluhan reaksi obat
tersebut membuat ia lemah dan tidak bisa berjalan/beraktifitas selama 1 bulan. Setelah
itu sekitar bulan Februari 2018 pasien sudah mulai bisa jalan-jalan walaupun masih
lemas.
Pada bulan maret 2018 pasien kemudian pergi ke Papua untuk berobat, pasien
berobat ke papua karena ada saudaranya disana. Pasien berangkat ke papua
menggunakan transportasi udara, transit di Kalimantan, makasar kemudian ke papua.
Saat itu keluarga sempat dihubungi oleh pihak Puskesmas yang mengobati pasien,
namun karena pasien sudah pindah sehingga tidak ditindak lanjuti lagi oleh pihak
puskesmas. Di papua pasien periksa ke RS tentara dan dikatakan sakit paru-paru.
Kemudian diberikan banyak macam obat namun yang bersangkutan mengalami reaksi
alergi lagi sehingga hanya sekali saja minum obat. Pasien menetap di papua selama 3
bulan dan sering keluar masuk RS 4 kali. Ia mengakui kondisinya di papua sempat lebih
baik dan berat badannya sempat naik. Namun untuk keluhan batuk dan sesak masih
menetap. Karena alasan kesibukan saudaranya, pasien disarankan balik ke maumere dan
dirawat disana, namun ketika di dalam pesawat dari pihak maskapai penerbangan tidak
mengijinkan pasien naik pesawat karena kondisi pasien yang jelek. Menurut penuturan
keluarga saturasi oksigen 78%, sehingga pasien batal berangkat. Berbekal surat rujukan
kemudian pasien dapat pulang ke maumere melalui jalur udara.
Di maumere pada bulan juni pasien istirahat di rumah selama sebulan, tinggal Bersama
adiknya. Belum sempat dibawa ke RS karena tidak ada yang urus. Baru kemudian
tanggal 2/8/2018 pasien dibawa ke unit gawat darurat RSUD Tc Hillers untuk di lakukan
perawatan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan serupa : mulai merasakan batuk bulan November
b. Riwayat OAT : minum hanya 5 hari
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Home
Pasien tinggal Bersama keluarga adiknya, terdiri dari seorang adik perempuannya,
suami adiknya, dan 2 orang anak.
b. Occupational
Pasien bekerja sebagai penjual aksesoris di pasar. Mulai bekerja pada pagi hari jam
8 dan sore jam 4 pulang kerumah.
c. Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali sehari, dengan nasi, sayur dan lauk pauk yang
cukup. Pasien mengaku tidak pernah merokok, pasien mengaku tidak pernah
mengkonsumsi alkohol, ataupun mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Pasien
mengaku jarang berpergian.

III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : tampak sesak
b. Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5 (15)
c. BB : 31 kg
d. TB : 150 cm
e. IMT : 13,78 (underweight)
f. Vital sign
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 112x/menit
- RR : 32x/menit
- Suhu : 36,1oC
- SpO2 : 94%

d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata, tidak
rontok
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (+/+)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor Ø 3 mm
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
- discharge (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (+/+)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
- rinorhea (-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (+ )
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : normal
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris,
Jejas (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (+)
- Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru kiri
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (+/+), ronki basah halus (-/-)
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial LMCS
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS, tidak kuat
angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan atas di SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas di SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah di SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah di SIC V 2 jari medial LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costovertebrae (-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrik, undulasi (-)
- Hepar : tidak teraba
- Lien : tidak teraba
9) Ekstrimitas
- Superior : edema (-/-), sianosis (-/-)
- Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-)

2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium darah 1 Agustus 2018
WBC : 7.63 103/mm3
RBC : 5.53 106/mm3
HGB :12.6 g/dl %
HCT : 38.3 %
PLT : 324 103/mm3
SGOT : 15
SGPT : 20
b. Foto thoraks
Foto Thorax Januari 2018.
RSUD Kewapante

 Hasil pemeriksaan Foto Thorax


Lesi milier di kedua pulmo dengan infiltrate minimal di suprahilar dextra. TB Milier
Cor Normal
Tulang – tulang intak
Foto Rontgen 1 Agustus 2018

Kesan
 Peningkatan coracan bronkovaskular bilateral, dengan corakan milier merata di
apex sampai basal bilateral, fibrosis minimal di suprahiler dextra mengarah ke
suspek TB pulo aktif lama DD TB milier DD TB pulmo lama aktif dengan
infeksi sekunder (bronchopneumeonia non spesifik). Disbanding foto 8 januari
2018, tampak corakan milier menetap dengan peningkatan corakan
bronchovaskular dan fibrosis
 Besar cor normal
 Tulang yang tervisualisasi intak.
c. Mikrobiologi 3 Agustus 2018

BTA I : negatif
BTA II : negatif

Gene Xpert : MTB not detected

IV. DIAGNOSIS
1. TB paru milier BTA (-) Rontgen (+) Kasus baru
2. Dyspepsia

V. PLANNING
a. Farmakologi
1) O2 NRM 6-8 lpm
2) IFVD D5% : RL 1000cc : 1000 cc/24 jam
3) OAT KAT 1
4) Ranitidine 2x150 po

VI. PROGNOSIS
a. Ad vitam : dubia
b. Ad fungsionam : dubia
c. Ad sanationam : dubia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
1. Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat kronik, berulang dan merupakan penyakit infeksi pulmo dan
ekstrapulmo yang dikarakteristikan dengan terbentuknya granuloma dengan kaseosa,
fibrosis serta kavitas. 1 Tuberkulosis paru merupakan bentuk TB yang sering terjadi
yaitu sekitar 80% dari kasus. Tuberkulosis ekstrapulmo dapat menyerang beberapa
organ selain paru. 2
2. Tuberkulosis Milier
Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat
penyebaran Mycobacterium tuberculosis (tuberculosis diseminata) dari kompleks
primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan setelah infeksi awal. TB milier
juga menyebabkan acute respiratory distress syndrome (ARDS).

Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan 3-
7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi. Terjadinya TB milier
dipengaruhi 3 faktor yaitu bakteri Mycobacterium tuberculosis (jumlah dan virulensi),
status imunologis penderita (non spesifik dan spesifik) dan faktor lingkungan. Beberapa
kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat menyebabkan timbulnya TB milier,
seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal,
keganasan, penggunaan kortikosteroid jangka lama. 2

B. EPIDEMIOLOGI
1. Epidemiologi TB Milier
Dari seluruh kasus TB, sekitar 1,5% mengalami TB milier. WHO melaporkan
bahwa sekitar 2-3 juta pasien meninggal tiap tahunnya akibat TB Milier. Insidensi TB
Milier nampak lebih tinggi di Afrika. Hal ini disebabkan faktor risiko sosial ekonomi
yang rendah, jenis kelamin yaitu lelaki lebih banyak dibanding perempuan dan tidak
dibuktikan adanya peran genetik dalam hal ini. 8,9
TB milier ini, selalu diikuti oleh infeksi primer, dengan atau tanpa periode laten
yang pendek. Infeksi yang terjadi pada TB milier dikarakteristikan sebagai jumlah
yang besar dari basil TB. Walaupun dengan foto thorax, TB Milier dapat didiagnosis
tetapi bila tidak ditangani dengan segera maka dapat menyebabkan kematian pada
pasien. Sekitar 25% pasien dengan TB Milier dapat terjadi penyebarluasan ke
meningens. 9

C. ETIOLOGI
1. Etiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang merupakan
bakteri berbentuk batang (basil) lengkung, gram positif, pleomorfik, tidak bergerak,
dan tidak membentuk spora. Basil tuberkel ini mempunyai panjang sekitar 2-4µm.
Bakteri ini merupakan aerob obligat yang tumbuh pada media biakan sintetik yang
mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan garam ammonium sebagai sumber
nitrogen. Oleh sebab itu bakteri ini lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya seperti tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada
bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis. 5,10
Bakteri ini tumbuh paling baik pada suhu 37-41ºC. Dinding selnya kaya akan
kompleks lipid yaitu mengandung mycolic acid, wax-D dan fosfatid. Mycolic acid ini
yang membuat bakteri tersebut tahan asam sehingga warnanya tidak dapat dihilangkan
dengan asam alkohol setelah diberi warna. Ketahanan terhadap asam ini menyebabkan
bakteri memiliki kapasitas untuk membentuk kompleks mikolat stabil dengan
pewarnaan arilmetan. Bila diwarnai maka bakteri ini akan melawan perubahan warna
dengan etanol dan hidrokhlorida atau asam lain. Wax-D merupakan komponen aktif
yang berguna untuk melawan respon imun dan dapat menimbulkan resistensi terhadap
daya bakterisid, antibodi dan komplemen. Sedangkan fosfatid berperan terhadap
terjadinya nekrosis kaseosa. Di dalam jaringan, bakteri hidup sebagai parasit
intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag.10
Cord factor (trehalose dimycolate) yang dimiliki oleh bakteri ini berhubungan
dengan virulensi bakteri. Bakteri ini dapat hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es. Hal ini terjadi karena
bakteri bersifat dormant. Sifat dormant inilah yang menyebabkan bakteri dapat bangkit
kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi. 5,10

Gambar 2.3. Mycobacterium tuberculosis. Panah putih menunjukkan basil tahan asam
pada pewarnaan Ziehl Neelson10

Gambar 2.4. Mycobacterium tuberculosis yang dilihat pada mikroskop elektron

Mikobakterium tumbuh lambat dengan waktu pembentukannya 12-24 jam.


Isolasi dari spesimen klinis pada media sintetik padat biasanya memerlukan waktu 3-6
minggu, dan uji kerentanan obat memerlukan 4 minggu tambahan. Namun
pertumbuhan dapat dideteksi dalam 1-3 minggu pada medium cairan selektif dengan
menggunakan nutrien radiolabel (system radiometric BACTEC). 10
2. Faktor yang mempengaruhi TB Milier
Terjadinya TB Milier, dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu basil M. Tuberculosis
(jumlah dan virulensinya) dan status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik).
Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat memudahkan timbulnya
TB Milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili, pertusis, diabetes mellitus,
gagal ginjal, keganansan dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Faktor-faktor
lain, yang juga ikut mempengaruhi perkembangan penyakit ini ialah faktor lingkungan,
yaitu kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap
rokok, penggunaan alkohol serta sosial ekonomi yang rendah. 9,10

D. CARA PENULARAN
Sumber penularan TB paru yaitu penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak)
dengan diameter1-5μm yang mengandung Mycobacterium tuberculosis. Droplet yang
mengandung bakteri dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Risiko
infeksi tergantung dari beberapa faktor seperti sumber infeksi, kedekatan dengan kontak dan
banyaknya basil yang terinhalasi. Orang dapat terinfeksi apabila droplet tersebut terhirup
kedalam saluran pernapasan. Selama Mycobacterium tuberculosis masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernapasan, bakteri tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh
lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.8,11

Tabel 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan penularan Mycobacterium


tuberculosis4

Faktor Deskripsi
Suseptibilitas Status imun dari individu yang terekspos
(Susceptibility)

Infeksius Jumlah tuberkel basilus yang dikeluarkan oleh


(Infectiousness) orang dewasa dengan TB aktif.
Lingkungan sirkulasi udara yang buruk memperbesar
(Environment ) penularan.

Paparan Kedekatan (proximity), frekuensi dan durasi dari


paparan
(Exposure)

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang
dikeluarkan dari paru. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat bakteri ), maka
penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.4,8
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2 %. Pada daerah dengan ARTI
sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi.
Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari
yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB sehingga dapat diperkirakan bahwa daerah
dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita
tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang
rendah diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS. 10
E. PATOGENESIS
Setelah paparan dan inhalasi dari basil TB melalui drophlet infection, maka basil TB
ini akan masuk ke saluran pernafasan dan ke daerah paru. Hal ini diikuti dengan terbentuknya
limfangitis paru dan limfadenopati hilus. Kemudian dalam waktu 3 bulan, apabila kondisi
pasien mengalami penurunan, sanitasi buruk dan keadaan gizi kurang, maka basil TB akan
menyebar secara hematogen, setelah terjadi infeksi primer. Akan tetapi TB milier, dapat
terjadi sebagai TB primer atau mungkin merupakan perkembangan setelah adanya infeksi
awal. 11,12
Droplet yang terinhalasi dapat melewati sistem imun yang berada di bronkus karena
ukurannya yang terlalu kecil dan berpenetrasi ke dalam alveoli. Hal ini kemudian
mengaktifkan mekanisme imunologis non spesifik. Basil tersebut mengaktifkan makrofag
alveolar dan sel dendritik yang berfungsi memfagosit patogen tersebut melalui reseptor
makrofag yang dimilikinya. Lipoarabinomannan mycobacterial yang dimiliki oleh basil ini
dapat menyebabkan basil dapat berikatan dengan reseptor makrofag alveolar sehingga C3
sebagai komplemen protein dapat bekerja dengan mengikat dinding sel dan meningkatkan
perlawanan terhadap Mycobacterium. M. tuberculosis juga dapat menginfeksi sel non
fagositik pada alveolar space yaitu M cells, alveolar endothelial, type 1 dan type 2 epithelial
cells (pneumocytes). 11
Pada reaksi awal, makrofag alveolus akan menfagositosis bakteri dan
menghancurkan sebagian besar bakteri tersebut. Makrofag ini juga akan menginisiasi
terbentuknya berbagai reaksi yang berkelanjutan dan mengontrol terjadinya infeksi akibat
bakteri ini, lalu diikuti terjadinya fase latent tuberculosis atau perubahan. M.tuberculosis
diinternalisasi oleh sel imun fagositik dan bereplikasi secara intrasel sehingga dapat melewai
barier alveolar yang menyebabkan penyebaran secara sistemik. Replikasi intrasel dan
penyebaran secara simultan dari patogen ke kelenjar limfe pulmo dan ekstrapulmo
menyebabkan respon imun adaptif. Kemampuan bakteri ini untuk bertahan sangatlah kuat
sehingga dapat mencegah eliminasi oleh sistem imun. 11
Pada individu yang terinfeksi, cell-mediated immune response (CMI) berkembang 2-
8 minggu setelah infeksi yang dapat menghentikan multiplikasi tuberkel basil. Limfosit T
teraktivasi oleh makrofag dan sel imun lain sehingga membentuk granuloma yaitu dinding
dari jaringan nekrotik yang berfungsi untuk membatasi replikasi dan penyebaran tuberkel
basil. 11
Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan biasanya dapat menghancurkan
sebagian besar kuman TB . Makrofag ini juga akan menginisiasi terbentuknya berbagai
reaksi yang berkelanjutan dan mengontrol terjadinya infeksi akibat basil ini, lalu diikuti
terjadinya fase latent tuberculosis atau perubahan menjadi aktifnya penyakitnya TB yang
disebut sebagai primary progressive tuberculosis. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus,
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam
makrofag yang terjadi setiap 25-32 jam. Akibat reaksi makrofag dan mycobacterium
selanjutnya, akan menghasilkan enzim proteolitik dan sitokin. Produksi dari sitokin akan
merangsang limfosit T pada proses imunitas. Makrofag akan menggiring antigen dari basil
ini ke permukaan sel T untuk terus bereaksi melawan bakteri ini. Selain itu, bakteri ini yang
tidak dapat dilawan oleh beberapa proses tersebut akan terus berkembang biak di dalam
makrofag sehingga makrofag tidak mampu menghancurkan bakteri ini dan bakteri tersebut
bereplikasi di dalam makrofag. Bakteri dalam makrofag yang terus berkembang biak
akhirnya akan menyebabkan makrofag lisis dan bakteri tersebut akhirnya akan membentuk
koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni bakteri di jaringan paru disebut fokus
primer GOHN. 11
Dari fokus primer, Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di
lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlihat adalah kelenjar limfe parahilus
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru maka yang akan terliat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya Mycobacterium tuberculosis hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB
biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103 -104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Tabel 2.4. Timetable Tahapan Perjalanan Infeksi Mycbacterium Tuberculosis 11


Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, mikroorganisme basil tersebut akan
berlanjut tumbuh sampai jumlah yang dicapai cukup untuk bereaksi dengan sistem imun
tubuh. Sehingga, terjadi perubahan pada jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tubekulin. Sekitar 3-8 minggu terjadi perkembangan sensitivitas serta konversi
reaktivitas dermal terhadap tuberkulin. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah,
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, sistem imun seluler berkembang dan proliferasi
bakteri terhenti tetapi sejumlah kecil bakteri dapat tetap hidup dalam granuloma. Granuloma
ini terbentuk akibat adanya reaksi dengan sistem imunitas. Selain itu, lesi yang terbentuk
merupakan tipe nodular yang terbentuk akibat adanya akumulasi dari pengaktifan limfosit T
dan makrofag yang terbentuk akibat upaya dalam mempertahankan replikasi basil TB. Hal
ini dapat berlanjut membentuk nekrosis padat di tengah dari lesi yang terbentuk. Setelah itu,
M.tuberculosis dapat merubah ekspresi fenotipnya seperti protein regulation untuk tetap
bertahan. 4,11
Sekitar 2 sampai 3 minggu, nekrosis yang terjadi berubah menjadi nekrosis perkejuan
atau nekrosis kaseosa, yang dikarakteristikan dengan kadar oksigen yang rendah, pH rendah,
nutrisi yang terbatas. Kondisi ini akan menghambat pertumbuhan basil tersebut dan
mempertahankan fase laten yang akan terus berlanjut. Bila imunitas seluler telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. 4,11
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Bakteri dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut sehingga area bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkejuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa keju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 1,2
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan
adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. 2,13
Apabila virulensi kuman rendah atau jumlah kuman sedikit atau daya tahan tubuh
yang baik kompleks Primer akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
dan kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Begitu juga kelenjar
limfe regional akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi resolusinya biasanya tidak
sesempurna Fokus Primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini (dormant). Selain mengalami resolusi Kompleks
Primer dapat juga mengalami komplikasi dan dapat menyebar. Penyebaran dapat terjadi
secara bronkogen, limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Penyebaran hematogen kuman TB dapat berupa 13
a) Occult hematogenic spread (penyebaran hematogenik tersamar).
b) Acute generalized hematogenic spread (penyebaran hematogenik generalisata akut).
c) Protracted hematogenik spread (penyebaran hematogenik berulang-ulang).
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi yaitu dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB
akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang
akan membatasi pertumbuhannya. 2,7
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus
potensial di apeks paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang dan lain-lain. 2

Gambar 2.6. Patogenesis TB Milier 14

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread


dengan jumlah kuman yang besar. Pada bentuk ini, sejumlah besar Mycobacterium
tuberculosis masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata atau TB milier. TB milier ini timbul dalam waktu 3-6 bulan setelah terjadi
infeksi. 6
Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir
padi-padian atau jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang tersebar merata (difus) pada paru.yang secara histologi
merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkejuan menyebar ke
saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di
dalam darah. Secara klinis, sakit.TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.4,12
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu kuman M. tuberkulosis (jumlah
dan virulensi), status imnologis penderita (nonspesifik dan spesifik) dan faktor lingkungan
(kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, merokok,
penggunaan alkohol, obat bius serta sosio ekonomi). Beberapa kondisi yang menurunkan
sistem imun juga dapat menyebabkan timbulnya TB milier.2

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis TB Milier bermacam-macam, bergantung pada banyaknya
kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering dijumpai adalah keluhan kronik
yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya anoreksia dan BB turun demam
lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak nafas.2,5
Pada dewasa, gejala menggigil, keringat malam hari, hemoptisis dan batuk
produkstif sering ditemukan. Tuberkulosis milier, juga dapat diawali dengan serangan
akut berupa demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), pasien tampak sakit
berat dalam beberapa hari, tetapi gejala dan tanda respiratorik belum ada. Sekitar 50%
pasien akan mengalami limfadenopati superfisial, splenomegali, dan hepatomegali yang
akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi dan
berlangsung terus menerus atau kontinu, tanpa diserti gejala respiratorik atau disertai
gejala minimal dan foto rontgen thorax biasanya masih normal. Beberapa minggu
kemudian, hampir diseluruh organ terbentuk tuberkel difus multipel, terutama diparu,
limpa, hati dan sumsum tulang. 7
Gejala klinis, biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik
seperti batuk dan sesak nafas yang disertai ronkhi atau mengi. Pada kelainan paru yang
berlanjut, dapat timbul sindrom sumbatan alveolar, sehingga timbul gejala gangguan
pernafasan, hipoksia, pneumothorax, dan pneumomediastinum. Dapat juga terjadi
gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan serta syok. (4)
Gejala lain yang dapat
ditemukan ialah kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula nekrotik, nodul atau purpura.
13

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Tuberculin Skin Test (TST)
Tuberculin Skin Test (TST) disebut juga Mantoux Test. Ada 2 jenis tuberkulin
yang dipakai yaitu OT (Old Tuberkulin) dan Tuberkulin PPD (Purified Protein
Derivatif) dan ada 2 jenis tuberkulin PPD yang dipakai yaitu PPD-S (Seibert) dan
PPD-RT23. Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikan 0,1 ml PPD-RT 23 2TU,
PPD-S 5 TU atau OT 1/2000 secara intrakutan. Pembacaan dilakukan 48-72 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi.
Seseorang yang menerima vaksin BCG dapat memberikan hasil yang positif pada
TST. Hal ini dikarenakan efek BCG pada hasil TST kurang lebih bermakna selama
15 tahun dan akan minimal terjadi pada setelah 10 tahun. Interpretasi hasil test
Mantoux 7 :
1) Indurasi 10 mm atau lebih → reaksi positif
Arti klinis adalah sedang atau pernah terinfeksi dengan kuman Mycobacterium
tuberculosis.
2) Indurasi 5 – 9 mm → reaksi meragukan
Arti klinis adalah kesalahan teknik atau memang ada infeksi dengan
Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu diulang dengan konsentrasi yang
sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10 mm atau lebih berarti infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis. Kalau tetap 6 – 9 mm berarti cross reaction atau
BCG, kalau tetap 6 – 9 mm tetapi ada tanda – tanda lain dari tubeculosis yang
jelas maka harus dianggap sebagai mungkin sering kali infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis.
3) Indurasi 0 – 4 mm → reaksi negatif.
Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.

b. Funduskopi
Tuberkuloid koroid dapat dikarakteristikan sebagai tuberkel single atau
multipel, berwarna putih keabuan atau kekuningan dan berdiameter 0,5–3 mm dapat
dilihat di koroid mata. Tuberkel koroid tidak terlihat di semua pasien tetapi
ditemukan pada 13-87% pasien, dan jika ditemukan dini dapat menjadi tanda yang
sangat spesifik dan sangat membantu diagnosis TB Milier oleh karena itu pada
pasien TB Milier perlu dilakukan funduskopi untuk menemukan tuberkel koroid. 13

Gambar 2.16. Tuberkel Koroid 3

c. Uji serologis
TB umumnya dilakukan dengan cara ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay), untuk mendeteksi antibodi IgG terhadap cord factor berguna
untuk serodiagnosis paru aktif. Titer antibodi faktor anti cord menurun sampai
normal setelah pemberian obat anti tuberkulosis. Uji peroksidase-anti-peroksidase
(PAP) merupakan uji serologis imunoperoksidase yang menggunakan kit histogen
imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil
TB . 12
d. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA,
e. Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen
tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut
telah tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan
interferon gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga
saat ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB .

f. Teknik biomolekuler
Reaksi rantai polimerase (PCR-Polimerase Chain Reaction) merupakan
pemeriksaan yang sensitif. PCR menggunakan DNA spesifik yang dapat mendeteksi
meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam bahan pemeriksaan seperti sputum,
bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau darah. Dengan PCR
mungkin juga dapat dideteksi adanya resistensi basil TB terhadap obat anti
tuberkulosis. Teknik biomolekular PCR merupakan harapan meskipun manfaatnya
dalam bidang klinik berlum cukup diteliti.
g. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang
meragukan. Pada TB bisa didapatkan leukositosis dan Laju Endap Darah (LED)
yang meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan
laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. 13
Mekanisme imunologi telah berimplikasi menyebabkan supresi sumsum
tulang dan TB milier sehingga menyebabkan pasnsitopenia dan anemia hipoplastik.
Hiponatremia pada TB milier disebabkan oleh gangguan fungsi neurohipofisis yang
tidak dapat meregulasi pegeluaran Antidiuretic hormone (ADH), antidiuretik pada
jaringan paru dipengaruhi oleh TB sehingga terjadi gangguan pengeluaran ADH
dari hipofisis posterior. 5
Tabel 2.5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium darah pada
TB milier 5
Laboratorium Darah

Hematologi Anemia
Leukositosis
Neutrofilia
Lymfositosis
Monositosis
Thrombositosis
Leukopeni
Limfopenia
Thrombositopeni
Peningkatan ESR (Erythrocyte Sedimentation
Rate)
Peningkatan CRP (C-reactive protein)

Biokimia Hiponatraemia
Hipoalbuminaemia
Hipercalcaemia
Hipophosphatemia
Hiperbilirubinaemia
Peningkatan serum transaminase
Peningkatan serum alkaline phosphatase
Peningkatan serum ferritin

h. Pemeriksaan bakteriologis TB
Pemeriksaan bakteriologis untuk mendapatkan bahan pemeriksaan
bakteriologis berupa sputum, sebagai gantinya biasanya dilakukan bilasan lambung
karena cairan lambung mengandung sputum yang tertelan. Cairan ini pun
sebenarnya kurang memuaskan disamping kesulitan untuk mendapatkan biakan
metode pembiakan basil TB memerlukan waktu cukup lama sehingga dibutuhkan
suatu metode pembiakan yang lebih baik. Saat ini dipakai sistem BACTEC.5
i. T-cell-based interferon-gamma release assay (IGRAs)
IGRAs memiliki spesifitas yang sangat baik (lebih tinggi dibandingkan tuberkulin)
dan tidak dipengaruhi oleh vaksinasi BCG.
j. Gambaran Radiologis
Gambaran radiologis yang khas, juga merupakan salah satu alat bantu
diagnostik pada tuberkulosis milier ini. Lesi milier dapat terlihat pada foto Rontgen
Thorax dalam waktu 2-3 minggu setelah penyebaran basil secara hematogen. TB
milier secara klasik digambarkan sebagai “millet-like” yaitu bintik bulat atau
tuberkel halus (millii) 1-3mm yang tersebar merata di seluruh lapangan paru.
Bentukan ini terlihat sekitar 1-3% dari semua kasus TB . Sekitar 1-2 minggu setelah
timbulnya penyakit, pada foto Rontgen thorax, dapat dilihat lesi yang tidak teratur
seperti kepingan salju.5

Gambar 2.17. Gambaran Rontgen Thorax Pasien Tuberkulosis Milier 3

Pasien yang terdiagnosis TB milier, harus dipikirkan mengalami TB tulang.


Oleh karena itu dapat dilakukan pemeriksaan foto polos vertebrae dan ditemukan
osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebrae, disertai penyempitan diskus
intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan
adanya massa abses paravetebral. pada foto AP, abses paravetebral di daerah
servikal berbentuk sarang burung ( bird’s nest ), di daerah torakal berbentuk bulbus
dan pada daerah lumbal abses berbentuk fusiform pada stadium lanjut terjadi
destruksi vertebrae yang hebat sehingga timbul kifosis pemeriksaan foto dengan zat
kontras sedangkan pemeriksaan melografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala
penekanan sumsum tulang atau dapat juga dilakukan pemeriksaan CT scan atau CT
dengan mielografi serta pemeriksaan MRI.13
k. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal
Pasien yang terdiagnosis TB milier harus dipikirkan menderita Meningitis
TB. Diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan lumbal pungsi dengan analisis
cairan serebro spinal (CSF) untuk mengetahui terdapatnya organisme atau
antigennya dalam CSF. Pada pemeriksaan cairan CSF akan didapatkan warna
xantokrom, peningkatan protein, jumlah sel 200 – 500/mm.limfosit, glukosa
menurun (lebih dari 50% gula darah) dan kultur 50% positif. 13
l. Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma
tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans (multinucleat
giant cell). 13
3. Penegakkan diagnosis berdasarkan WHO
1) Dicurigai TB ( suspected tuberculosis)
Riwayat kontak penderita TB dengan BTA positif:
keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan, berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas, batuk dan mengi yang tidak membaik dengan
pengobatan antibiotika untuk penyakit pernafasan
pembesaran kelenjar superfisial yang tidak sakit
2) Mungkin TB (probable tuberculosis)
Uji tuberculin positif (10 mm atau lebih)
Foto roentgen paru sugestif TB
Pemeriksaan histopatologis biopsy sugestif TB
Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT
3) Pasti TB (confirmed tuberculosis)
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.
J. PENATALAKSANAAN
1. Aspek Medikamentosa
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid
merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid,etambutol, dan
streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah paraaminosalicylic acid (PAS),
cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin,
mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin,
yang digunakan jika terjadi MDR. 16

16
Tabel 2.7. OAT Lini Pertama
Dosis
Dosis harian
Nama Obat maksimal Efek Samping
(mg/kgBB/hari)
(mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis
perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal,
reaksi kulit,
hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan
enzim hati,
cairan
tubuh berwarna
oranye
kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati,
atralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik,
ketajaman
penglihatan
berkurang,
buta warna
merah-hijau,
penyempitan
lapang
pandang,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis,
nefrotoks
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui
sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
Hal yang mencurigakan Bila > 3 positif
TB : Dianggap TB
Mempunyai sejarah
kontak erat dengan Beri OAT
penderita TB dengan
BTA (+) Memburuk/tetap
Membaik
Tes uji tuberkulin yang
TB kebal obat (MDR)
Bukan TB
positif (>10 mm) Membaik
Gambaran foto Rö Rujuk ke RS
sugestif TB OAT
Terdapat reaksi PERHATIAN Rumah Sakit/Rumah
kemerahan yang cepat Bila terdapat tanda- Sakit Pendidikan :
tanda bahaya : Gejala klinis
Kejang Uji tuberkulin
Kesadaran menurun Foto Rö
Kaku kuduk Pemeriksaan
Benjolan di mikrobiologi dan
punggung serologi
Dan kegawatan lain Pemeriksaan
Segera rujuk ke patologi anatomi
Rumah Sakit Prosedur diagnosis
dan tatalaksana yang
sesuai dengan
prosedur RS yang
bersangkutan
16
Gambar 2.18. Alur Penatalaksanaan TB

a. OAT Lini Pertama


1) Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang
sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap
kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi
ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan
asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang
sangat rendah. 16
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-
15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga
tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan
CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam.
Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. 2,16
2) Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal
pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai
dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari.
Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15
mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan
isoniazid. 11,16
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum dan air mata,
menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah
gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis)
yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang
asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan
risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian
isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan
trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan
dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin,
teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya
tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg.16
3) Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan
diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis
15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45
μg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena
pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul akibat
jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping lainnya adalah
hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Pirazinamid tersedia dalam
bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan
makanan 2,16
4) Etambutol
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis
tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam
bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.16
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optikus dan
buta warna merah-hijau. 15,16
5) Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh
kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB
tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB
dan MDR-TB . Streptomisin diberikan secara intramuscular dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 μg/ml dalam waktu 1-2
jam. 15,16
Tabel 2.8. Obat-obatan Lini Kedua Tuberkulosis 13

b. Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga
macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase
lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk
membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang,
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. OAT diberikan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi ketidak teraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat
tidak ditelan setiap hari. 16
Penatalaksanaan TB milier pada fase intesif (selama 2 bulan pertama)
diberikan 4-5 macam OAT kombinasi rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan
etambutol atau streptomisin. Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid
sampai 9-12 bulan sesuai dengan perkembangan klinis. Terapi adjuvan seperti
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis,
maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4
minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off hingga 2-6 minggu. 7,16
Kortikosteroid mempunyai kemanpuan mencegah atau menekan
berkembangnya manifestasi inflamasi dan juga mempunyai nilai yang tinggi pada
pengobatan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan reaksi imun, baik kondisi
yang berhubungan dengan imnunitas humoral maupun seluler. Penggunaan
kortikosteroid memberi bermacam-macam efek, tetapi yang penting dalam
kaitannya dengan infeksi khususnya tuberkulosa adalah sifat anti inflamasi.
Mekanis kerja korikosteroid yaitu dengan menembus membran sel, kemudian
didalam sitoplasma berikatan dengan suatu reseptor protein interseluler spesifik.
Komplek reseptor steroid selanjutnya meninggalkan sitoplasma dan menuju inti sel,
didalam inti sel mensintesa suatu protein baru yang mempengaruhi transkripsi dan
translasi asam inti, sehingga terjadi perubahan inti sel. Kortikosteroid tidak hanya
menghambat fenomena awal dari inflamasi, tetapi juga mampu menghalau
manifestasi lanjutannya. Dalam proses inflamasi bahan ini selain mampu
mempertahankan tonus pembuluh darah. Agar peristiwa diapedesis leukosit,
ekstravasasi cairan yang menyebabkan terjadinya odema setempat, serta migrasi
sel-sel leukosit ke lokasi radang dapat dihambat. Proliferasi sel-sel fibroblas yang
merupakan bagian dari proses reparasi juga dihambat oleh kortikosteroid. 2,10
Penatalaksanaan yang tepat akan memberikan perbaikan radiologis TB milier
dalam waktu 4 minggu. Respons keberhasilan terapi antara lain hilangnya demam
setelah 2-3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup
sehari-hari dan peningkatan berat badan. Gambaran milier pada foto toraks berangsur-
angsur menghilang dalam 5-10 minggu tetapi mungkin juga belum ada perbaikan
sampai beberapa bulan. 4,16
Sedangkan, menurut WHO 2006 dalam Guidance for National Tuberculosis
Programmes on the management of tuberculosis in children, pada TB Milier
direkomendasikan diberikan kortikosteroid, yaitu yang sering dipakai ialah prednison
dengan dosis 2mg/kgbb/hari selama 4 minggu full dose (dibagi dalam 3 dosis) kemudian
diturunkan secara perlahan (tappering off) selama 1-2 minggu sebelum obat tersebut
dihentikan. 17

c. Evaluasi Hasil Pengobatan


Evaluasi hasil pengobatan sebaiknya dilakukan tiap bulan. Evaluasi hasil
pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi
yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan
klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan,
hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila
respon pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan. 1,16
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,
kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi
pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu
diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura
TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah
dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi
penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut
mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis,
mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana
kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi. 16
Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis
OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta
evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis,
pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak
perlu dilakukan secara rutin. Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk
meminimalisasi residu subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-
obatan) bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan
terjadinya kekambuhan.11,16

d. Evalusai Efek Samping Pengobatan


OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup
sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek
samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas. 16
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak
melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15
mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum
Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat
Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40
U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta
peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai dengan
ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.4
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang
terjadi.
16

Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali


batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar
enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT
diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya
dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang
dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan
laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada
pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (fulldose)
dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan. 1

2. Aspek Non Medikamentosa


a. Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien
menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan.
Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta
mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan
keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan
(directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS)
adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan
program penanggulangan TB , dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. 16
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu
16
sebagai berikut :
1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.
2) Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
3) Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung
oleh pengawas minum obat (PMO).
4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB .
b. Sumber penularan dan case finding
Sumber penularan adalah menderita TB aktif dan kontak erat dengan
penderita. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis
dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). 16
c. Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena
pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang
cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga
penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin dan
mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan
medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan
kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. 16
d. Pencegahan
Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer
diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. 16

K. KOMPLIKASI
Tuberkulosis milier dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Komplikasi pada TB milier terbagi atas 3 bagian, yakni paru,
hematogen dan limfogen. Pada paru dapat menyebabkan pneumothorax dan abses paru.
Hematogen dapat menyebabkan meningitis TB , tuberculoma dan TB enteritis. Sedangkan
penyebaran secara limfogen ialah lymphodenitis TB .5
Pasien yang mengalami tuberkulosis milier dapat mengakibatkan terjadinya
pneumothorax. Insidensi pneumothorax jarang, sekitar 1,3%-1,5% pada tuberkulosis milier.
Gejala-gejala klinis yang dapat terlihat pada pasien tuberculosis milier yaitu terdapat tanda
kesulitan bernafas, batuk kering dan perubahan fungsi dan struktur anatomi jantung. Gejala-
gejala ini, juga terlihat pada pasien TB milier dengan pneumothorax, akan tetapi jika dengan
pneumothorax akan terlihat peningkatan dispneu dan nafas pendek pada pasien. Sehingga,
dalam pemeriksaan fisik sukar untuk dibedakan antara TB milier saja atau TB milier dengan
pneumothorax. Patogenesis pneumothorax dalam tuberkulosis milier belum diketahui secara
pasti, akan tetapi diduga akibat proses kaseosa atau nekrosis di subpleural akibat nodul milier
dan hal ini dapat terjadi ruptur sehingga memicu terperangkapnya udara yang menyebabkan
pneumothorax. Selain itu, tuberkulosis milier akut dapat menyebabkan emphysematous lung.
Hal ini dapat disebabkan karena penyebarannya bilateral, simultan dan atau adanya
pneumothorax rekuren pada pasien, sehingga memicu timbulnya gambaran emphysematous
lung.6,12
Tuberkulosis enteritis juga merupakan manifestasi ekstrapulmoner dari tuberkulosis
pulmoner, dan hal ini terjadi sekitar 15-20% dari pasien tuberculosis pulmoner yang aktif.
Chung dkk (2006) melaporkan bahwa tuberkulosis intestinal dapat merupakan salah satu
komplikasi tuberkulosis milier yang ditandai dengan nyeri abdomen dan demam.5

Tabel 2.11. Komplikasi TB Milier12


Komplikasi Tuberkulosis Milier
Sistemik Cryptic miliary tuberculosis
Pireksia yang tidak diketahui asalnya
Syok, disfungsi multi organ
Pulmo Acute respiratory distress syndrome
“Air leak” syndrome
(pneumothorax, pneumomediastinum)
Empiema akut
Hematologi Myelopthisic anaemia
Immune haemolytic anaemia
Endocrinological
Thyrotoxicosis
Renal Failure due to granulomatous destruction of
the interstitium
Immune complex glomerulonephritis
Kardiovaskular Perikarditis dengan atau tanpa efusi perikardial
Sudden cardiac death
Mycotic aneurysm of aorta
Native valve, prosthetic valve endocarditis
Hepatik Cholestatic jaundice
Lainnya Presentation as focal extra-pulmonary tuberculosis

Berdasarkan hal tersebut maka tuberkulosis enteritis merupakan suatu differential


diagnosis pada pasien yang memiliki keluhan bagian abdomen terutama riwayat
tuberkulosis pulmner sebelumnya. Tuberkulosis intestinal didiagnosis dengan konfirmasi
laparotomi dan biopsi darurat. Oleh karena itu, pasien diberikan OAT selama 12 bulan dan
kortikosteroid. Sekitar 25% pasien dengan TB milier, dapat berlanjut sampai mengenai
sistem saraf pusat yaitu meningitis TB dan tuberculoma. Setelah mendapatkan beberapa
minggu terapi yang efektif, maka diharapkan pasien mengalami perbaikan klinis yang
signifikan, dan memiliki hasil negatif pada pemeriksaan sputum basil tahan asam, dan
retraksi nampak minimal. Namun, yang harus diyakini bahwa pasien benar-benar tidak lagi
menular. Tidak adanya hasil sputum yang positif pada pasien tersebut, sehingga dapat
menjamin perlindungan saat paparan dengan orang lain. Terapi harus diawasi secara
langsung, sehingga hasil dapat optimal untuk memastikan kepatuhan dan mencegah
kekambuhan pada pasien.7

H. PROGNOSIS
Prognosis tuberkulosis milier dipengaruhi oleh lama infeksi, luas lesi, gizi, sosial
ekonomi, diagnosis dini, pengobatan adekuat dan infeksi lain. Adanya infeksi HIV, multydug
resistance (MDR) dan reaksi obat (rash, hepatitis dan trombositopenia) dengan TB milier
berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pada TB milier terjadi
peningkatan morbiditas dan mortilitas sebesar 20-25%. 4,12
Prognosis penderita penyakit tuberkolosis milier adalah baik bila diagnosa dini
dapat diketahui dan dilakukan pengobatan yang tepat. Komplikasi yang sering adalah
menigitis tuberkolosis terutama pada dewasa muda. Angka mortalitas yang diakibatkan oleh
TB milier bila tidak diobati 100% dan bila diobati dengan tepat akan berkurang menjadi
10% hal ini dapat di dapati di Amerika Serikat , di negara lain angka kematian bervariasi
berkisar 10%-28%.2

BAB III
PEMBAHASAN

Dasar diagnosis pada pasien ini adalah:


1. Anamnesis
a. Hasil anamnesa pasien menunjukan adanya gejala lokal atau gejala respiratorik dan gejala
sistemik TB yaitu :
Gejala respiratorik :
1). Batuk ≥ 3 minggu
2). Batuk darah
3). Sesak napas
Gejala sistemik
1). Demam
2). Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
b. Adanya konversi dari batuk tidak berdahak menjadi produktif mengarahkan ke CAP. Selain
itu, keluhan batuk dan sesak terjadi sebelum pasien berada di rumah sakit.
c. Kriteria diagnosis TB milier menurut pedoman nasional pelayanan kedokteran tatalaksana
tuberculosis (Kementerian Kesehatan RI, 2013) antara lain:
1). Presentasi klinis sesuai dengan diagnosis tuberkulosis seperti demam
dengan peningkatan suhu di malam hari, penurunan berat badan, anoreksia, takikardi,
keringat malam menetap setelah pemberian antituberkulosis selama 6 minggu.
2). Foto toraks menunjukkan gambaran klasik pola milier
3). Lesi paru berupa gambaran retikulonodular difus bilateral di belakang bayangan milier
yang dapat dilihat pada foto toraks maupun HRCT
4). Bukti mikrobiologi dan atau histopatologi menunjukkan tuberkulosis
d. Faktor risiko lingkungan: Pasien tinggal di daerah pedesaan bersama kedua orang tuanya,
nenek, 5 saudara kandung, dan 1 keponakan. Rumah pasien berdinding kayu, lantai dari
semen, atap dari seng. Pasien menyebutkan bahwa cukup ventilasi di rumahnya sehingga
dapat terkena sinar matahari. Rumah pasien berukuran sekitar 14 meter x 10 meter.
Terdapat 1 ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang keluarga dan ruang makan, 5 kamar
tidur, 1 dapur, dan 1 kamar mandi. Sumber air menggunakan air sumur. Kamar pasien
berukuran 2 meter x 2,5 meter. Di dalam kamar pasien terdapat 1 jendela berukuran 1 meter
x 0,5 meter yang dapat dibuka sehingga kamar pasien dapat terkena sinar matahari.
Disamping rumah pasien terdapat peliharaan kambing milik orang lain.
e. Faktor risiko pekerjaan: Pasien adalah lulusan SMP yang telah bekerja di pabrik pembuatan
bulu mata sebagai buruh. Pekerjaan pasien membuat bulu mata palsu yang pekerjaannya
dapat dilakukan di rumah. Penghasilan pasien dari hasil membuat bulu mata adalah sekitar
Rp 600.000/ bulan.
f. RPD : Pasien pernah mengalami batuk berdarah selama 2 hari sekitar bulan Juli 2014.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : tampak sesak
Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5 (15)
BB : 31 kg
TB : 150 cm
IMT : 13,78 (underweight)
Vital sign
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 112x/menit
- RR : 32x/menit
- Suhu : 36,1oC
b. Mata
- Konjungtiva : anemis (+/+)
c. Mulut
- Bibir kering (+ )
d. Dada
Paru
- Inspeksi : Retraksi epigastrik (+)
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (+/+), ronki basah halus (-/-)

a. Foto thoraks

Foto Thorax 9 Februari 2015 di RSUD Dr Goeteng Taroenadibrata


Hasil pemeriksaan Foto Thorax
Cor : Besar cor normal
Pulmo : Bercak konsolidasi di kedua paru ec bronchopneumonia (milier)
DD: TB paru tipe milier
Tak tampak efusi pleura

3. Penatalaksanaan
Pada pasien ini terapi yang dapat diberikan adalah terapi farmakologi dan non farmakologi.
Panduan penatalaksaan TB milier yang direkomendasikan oleh PDPI adalah :
a. Rawat Inap
b. Pemberian oksigenasi
c. Pengobatan TB Milier dilakukan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
Kategori I dan kortikosteroid.
OAT Kategori I, terdiri dari :
a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan :
Isoniasid (H) dan Rifampisin (R).
Dosis obat :
a. Isoniasid (H)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari
pengobatan. Dosis harian : 5 mg/kg BB, dosis intermiten 3 x / minggu : 10 mg/kg BB.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang tidak bisa dibunuh oleh Isoniasid.
Dosis harian dan dosis intermiten sama, yaitu : 10 mg/kg BB.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada di dalam sel dengan suasana asam.
Dosis harian : 25 mg/kg BB, dosis intermiten 35 mg/kg BB.
d. Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, dosis harian : 15 mg/kg BB, dosis intermiten : 30 mg/kg BB.
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dilakukan dengan dosis 30-40 mg/kg BB per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/kg BB, dan lama pemberian disesuaikan
dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi
d. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi, dan evaluas
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai dengan 7bulan 2RHZE/
7 RH

a. Ranitidin 2 x 1 tab PO diberikan untuk mengatasi mual yang kemungkinan dapat


disebabkan oleh salah satu OAT
b. Terasma syr 3x1 Cth PO diberikan karena pasien ada batuk berdahak.Terasma mempunyai
mekanisme kerja sebagai bronkodilator dan ekspektoran sehingga memiliki efek
mengeluarkan dahak dan melegakan saluran nafas.
c. 4-FDC PO pada pasien ini karena baru memasuki fase intensive dari pengobatan TB maka
untuk OAT yang diberikan berupa FDC (fix Drug Combination) yang berisi Rifampisin
150 mg, INH 75 mg, pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275 mg
d. Disamping digunakan untuk diagnosis pemeriksaan dahak bermanfaat untuk monitoring
pengobatan TB. Untuk monitoring pengobatan, WHO merekomendasikan pemeriksaan
pada akhir Intensif fase (bulan ke-2) pada pasien kasus baru baik pada inisial pengobatan
mempunyai hasil BTA +, atau (-) bahkan yang tidak dilakukan pemeriksaan awal sama
sekali serta dilakukan ulangan lagi pada bulan ke-5 dan ke-6 (akhir pengobatan). Khusus
pada pasien TB paru yang diawal pengobatan tidak dilakukan pemeriksaan sputum maka
jika hasil pemeriksaan pada bulan ke-2 menunjukan hasil negative maka pengobatan tetap
dilanjutkan tetapi tidak dilakukan pengulangan pemeriksaan sputum pada bulan ke-5 atau
akhir pengobatan dan monitoringnya dilakukan secara klinis serta dapat menggunakan
peningkatan berat badan sebagai salah satu prediktor (WHO, 2008)
BAB IV
KESIMPULAN

1. Penegakkan diagnosis tuberkulosis paru mencakup dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tidak cukup hanya menggunakan foto thorax
saja, akan tetapi membutuhkan pemeriksaaan sputum sewaktu-pagi-sewaktu.
2. Pada kasus TB paru milier BTA (+) lesi luas kasusbaru, diberikan OAT kategori 1 yaitu
dilakukan dengan pemberian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Kategori I dan kortikosteroid.
OAT Kategori I, terdiri dari :
a. Tahap Intensif , 60 hari minum obat setiap hari dengan perpaduan obat : Isoniazid (H),
Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E).
b. Tahap lanjutan, 54 hari minum obat selama 4 bulan (3x/minggu), dengan paduan : Isoniasid
(H) dan Rifampisin (R).
Pemberian kortikosteroid dilakukan dengan dosis 30-40 mg/kg BB per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/kg BB, dan lama pemberian disesuaikan dengan
jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
3. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang sputum dilakukan pada akhir tahap intensif, sebulan
sebelum pengobatan terakhir, dan akhir pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja ES. Skrofuloderma pada Dada. Disampaikan pada


Pertemuan Berkala Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin XIV. Surabaya. 1 April, 2002.
2. Bartlett JG, Breiman RF, Mandell LA, File TM Jr: Community Acquired Pneumonia in adults:
Guidelines for management. Clin Infect Dis 26:811-838, 1998
3. Centers for Disease Control and Prevention : Premature deaths, monthly mortality and monthly
physician contacs-United States. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 46:556, 1997.
4. Crofton J, Douglas A. Pneumonia. In: Respiratory disease. Singapore: PG Publ Pte Ltd, 165,
1983.
5. Cunha BA, Gingrich D, Rosenbaum GS. Pneumonia syndromes: a clinical approach in the
olderly. Geriatrics, 45-49, 1990.
6. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume two, United States,
119:2097-2114, 2008.
7. Gleckman RA, Bergman MH. Bacterial pneumonia: specific diagnosis and treatment of the
elderly. Geriatrics 1987; 42: 29.
8. Grossman M. Tuberculosis. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD, penyunting.
Buku ajar Pediatri Rudolph. Edisi ke-20. EGC;1997.h.687-97.
9. Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan suplementasi besi pada anak. Sari Pediatri
2009;11(3):207-11.
10. Harris GD, Johanson WG. Pathogenesis of bacterial pneumonia. In: Guenter CA, Welch MG.
ed. Pulmonary medicine. Second ed. Philadelphia: lB Lippincott Co. 347, 1982.
11. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. Diagnostic ATLAS of
intrathoracic tuberculosis in children. Paris;2003.
12. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,
penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta. IDAI;2008.h.162-261.
13. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia 2010;3(2):1-
5.Maltezau HO, Spyridis P, Kafetzis DA. Extra-pulmonary tuberculosis in children. Arch Dis
Child. 2000;83:342-46.
14. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
15. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia 2010;3(2):1-5.
16. Kiss TG. Infections of the lung parenchyma. In: Diagnosis and management of pulmonary
disease in primary practice. Sydney: Addison-Wesley Pubi Co. 122, 1982.
17. Niederman MS, Sarosi GA. Respiratory infection. In: George RB, Light RW, Matthay MA,
2nd eds. Chest medicine essentials of pulmonary and critical care medicine. Baltimore:
Williams & Wilkins, 307, 1990.
18. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
19. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberkulosis anak.
Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI;2007.
20. Rogelio Hernández-Pando, Rommel Chacón-Salinas, Jeanet Serafín-López, and Iris Estrada.
Immunology, pathogenesis, virulence. In: tuberculosis 2007 from basic science to patient care.
2007:157-205. Diunduh dari www.tuberculosistextbook.com.
21. Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, Kliegman R, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia; Saunders;2011.h.960-71.
22. Stein D. Managing pneumonia acquired in nursing homes: special concerns. Geriatrics 42: 81-
90, 1987.
23. Schlesinger LS. Phagositosis and toll-like receptors in tuberculosis. Dalam: Rom W, Garay
SM, Levitzky, penyunting. Pulmonary pathophysiology. Edisi ke-5. Volume I;2004.
24. Ven Katesen Pet al. A hospital study of community acquired pneumonia in the elderly. Thorax,
5: 254, 1990.
25. WHO. Anti tuberculosis treatment in children. Dalam: Guidance for national tuberculosis
programmes on the management of tuberculosis in children. Geneva: World Health
Organization;2006;1205-11.

Resep Non FDC


RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
SIP. G4A0130787980
Jl. Dr. Gumbreg No 1, Purwokerto
Telp. (0278) 1234567890

Purwokerto, 7 Maret 2015


BB : 31 kg
Dosis Terapi
R/ Rifampisin kaps 300 mg No. XXX (243- 372 mg)
∫ 1 dd kaps 1 ac pagi_______________________ λ
R/ Isoniazid tab 300 mg No. XV (124- 186 mg)
∫ I dd tab ½ pc pagi_________________________λ
R/ Pirazinamid tab 500 mg No XLV (620- 930 mg)
__∫ 1 dd tab 1 ½ pc siang______________________λ
R/ Etambutol tab 500 mg No. XXX (465- 620 mg)
∫ 1 dd tab 1 pc sore__________________________λ
Pro : Nn. S
Umur : 32 Tahun
Alamat : Bojanegara 02/02, Padamara, Purbalingga

Resep FDC
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
SIP. G4A0130787980
Jl. Dr. Gumbreg No 1, Purwokerto
Telp. (0278) 1234567890

Purwokerto, 7 Maret 2015


BB : 31 kg

R/ 4 FDC tab No. LX


∫ I dd tab 2 ac pagi_____________________λ

Pro : Nn. S
Umur : 32 Tahun
Alamat : Bojanegara 02/02, Padamara, Purbalingga

Anda mungkin juga menyukai