Anda di halaman 1dari 19

1

PRESENTASI KASUS

TB PARU BTA (+) LESI LUAS KASUS PUTUS OBAT
ATELEKTASIS PARU SINISTRA

















Diajukan kepada Yth:
dr. Indah Rahmawati, Sp.P



Disusun oleh :
Wiwin Noviyanti G1A212092
Siti Maslikha G1A212093






SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2013


2

LEMBAR PENGESAHAN


PRESENTASI KASUS

TB PARU BTA (+) LESI LUAS KASUS PUTUS OBAT
ATELEKTASIS PARU SINISTRA




Disusun Oleh :
Wiwin Noviyanti G1A212092
Siti Maslikha G1A212093




Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo




Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal : 2013



Dokter Pembimbing :


dr. Indah Rahmawati, Sp.P
NIP.19670316200604200


3

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. R
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Status perkawinan : Menikah
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah tangga
Alamat : Kalibener RT 03 RW 06 Kranji Purwokerto Timur
Tanggal masuk : 3 Juni 2013
Autoanamnesis : 22 Juli 2013
Alloanamnesis : 22 Juli 2013

II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas dirasakan sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit
(08 juli 2013), pasien mengeluhkan sesak nafas di kedua dadanya namun
lebih terasa pada dada sebelah kiri, pasien merasakan adanya perubahan
nafas yang sangat cepat dan terkadang terdengar suara tambahan seperti ada
lendir yang menyangkut didaerah pangkal tengggorok. Sesak nafas dapat
terjadi selama 30 menit, sesak nafas dirasakan pasien sangat memberat
sampai mengganggu aktivitas ketika pasien merasa banyak pikiran atau
stress dan pada saat pagi hari. untuk menguranginya pasien duduk dan
beristirahat.
Selain sesak nafas, pasien juga mengeluhkan suaranya menjadi serak,
batuk berdahak, warna putih kekuningan, kental, dan sulit dikeluarkan.
Pasien juga mengeluh nafsu makan menurun dan mengalami penurunan
4

berat badan. Badan terasa lemas dan mudah lelah ketika beraktivitas, pasien
tidak mengeluhkan adanya gangguan BAK dan BAB.

3. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum pasien dirawat di RSMS, pasien pernah dirawat di rumah
sakit sinar kasih selama 4 hari pada bulan mei tanggal 16 tahun 2013
dengan keluhan yang sama dan pernah dicek dahaknya dengan hasil (+)
dan diberikan obat yang membuat BAK berwarna merah namun, pasien
merasakan belum ada perbaikan.
Sebelumnya pasien juga dirawat di rumah sakit pasien mengaku
pernah mempunyai riwayat batuk lebih dari 2 bulan disertai dengan sesak
nafas kemudian berobat ke BP4 dan dicek pada dahaknya dan hasil BTA
(+++), terdapat infiltrat pada foto rontgen dan pernah mengkonsumsi
obat-obatan yang membuat BAK merah 4FDC (2RHZE/4RH) minum
obat sebanyak 4 tablet per hari dan kontrol rutin selama 4 bulan untuk
pertama kalinya sejak tahun 2008, namun pasien merasa sudah sembuh
dan menghentikan pengobatan tersebut tanpa sepengetahuan dokter. Pada
awal tahun 2009 pasien datang ke RS. Sinar kasih dengan keluhan batuk
yang terus menerus, batuk disertai dahak dan tidak kunjung kembuh
kemudian dilakukan cek dahak kembali hasilnya BTA (++) dan pasien
mendapatkan pengobatan dengan kategori yang sama selama 4 bulan,
namun pasien hanya minum obat 3 tablet per hari. Pada tahun 2011 pasien
datang berobat kembali ke RS. Sinar Kasih karena batuk yang bertambah
berat kemudian dahaknya dicek kembali hasilnya (++) gambaran foto
rontgen terdapat infiltrat kemudian pasien kembali mengkonsumsi OAT
dengan kategori 1 yaitu 2RHZE/4RH dengan minum obat 4 tablet per
harinya dan kermbali berhenti setelah 4 bulan dan pada tahun 2012 pasien
menghentikan pengobatannya tanpa dibawah kontrol dari dokter.
a. Riwayat keluhan serupa : diakui
b. Riwayat mondok : di Rumah sakit Sinar Kasih
c. Riwayat OAT : diakui sejak tahun 2008
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
5

f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : Ibu
f. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di pedesaan. Rumah satu dengan yang lain berdekatan.
Hubungan antara pasien dengan anggota keluarga yang lain, tetangga
dan keluarga dekat baik. Anggota keluarga pasien lain yang tinggal satu
rumah dan tetangga sekitar pasien tidak ada memiliki keluhan seperti
pasien atau yang sering batuk-batuk dan sudah lama tidak sembuh-
sembuh. Namun, sebelumnya pada tahun 2008 pasien mengaku pernah
tinggal 1 kamar dengan temannya yang mempunyai TB (+) selama 4
bulan.
b. Home
Pasien tinggal bersama ibu dan suaminya. Hanya terdapat 3 orang yang
tinggal dalam 1 rumah dengan pasien, yaitu ibu dan suami pasien.
Rumah pasien terdiri dari 3 kamar dengan ukuran sedang. Rumah
pasien semi permanen, terdapat ventilasi dan jendela. Jendela kamar
hanya sesekali dibuka.
c. Occupational
Pasien merupakan Ibu rumah tangga dengan sumber penghasilan
berasal dari suami yang bekerja sebagai wiraswasta dengan pendapatan
sekitar 1.000.000 per bulan.
d. Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali dengan menu nasi, sayur, lauk-
pauk dan terkadang buah-buahan. Pasien mengaku jarang berolahraga.

6

III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
b. Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5
c. BB : 35 kg
d. TB : 158 cm
e. Vital sign
- Tekanan Darah : 90/60 mmHg
- Nadi : 64x/menit
- RR : 30x/menit
- Suhu : 36,4
o
C
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris
- Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut,
distribusi merata, tidak rontok
- Nyeri tekan : (-)
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor
- Exopthalmus : (-/-)
- Lapang pandang : tidak ada kelainan
- Lensa : keruh (-/-)
- Gerak mata : normal
- Tekanan bola mata : nomal
- Nistagmus : (-/-)
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
4) Hidung
7

- nafas cuping hidung (+/+)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (-)
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea terdorong ke arah yang
terkena atelektasis (kiri)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : 5+3 cmH2O
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada Asimetris, ketinggalan gerak (+),
retraksi (+), jejas (-)
bahu pada lengan kiri (yang mengalami
atelektasis) posisinya lebih rendah dibanding
yang kanan (sisi sehat)
- Palpasi : vocal fremitus kanan > kiri
ketinggalan gerak kiri + dari kanan
- Perkusi : sonor pada lapang paru kanan dan ditemukan
bunyi redup pada lapang paru kiri
Letak diafragma disebelah kiri (sisi atelektasis) meninggi.
- Auskultasi : suara vesikuler kiri lebih lemah dibandingkan
dengan suara vesikuler kanan
Ditemukan ada suara tambahan whezing +/+
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial
LMC sinistra (SIC cenderung menyempit)
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V jari medial LMC
sinistra, tidak kuat angkat
8

- Perkusi : batas jantung kanan atas : SIC II LMCD
Batas jantung kiri atas : SIC II LMCS
(SIC sebelah kiri cenderung menyempit)
Batas jantung kanan bawah : SIC V LMCD
Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari
medial LMCS
(SIC sebelah kiri cenderung menyempit)
- Auskultasi : S1>S2, reguler, wheezing (+), murmur (-),
gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani, tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)
- Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
9) Ekstrimitas
- Superior : deformitas (-), akral hangat (+/+), edema (-/-)
- Inferior : deformitas (-),akral hangat (+/+), edema (-/-)
2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium tanggal 3 Juni 2013 (dilakukan di RSMS)
Hb : 11,4 gr/dl Normal : 14 - 18 gr/dl
Leukosit : 7670 /l N Normal : 4.800 10.800/l
Hematokrit : 37 % Normal : 42%-52%
Eritrosit : 4,2 juta/l Normal : 4,7-6,1 juta/l
Trombosit : 295.000/l N Normal : 150.000-450.000/l
MCV : 87,7 fL N Normal : 79 -99fL
MCH : 27,0 pg N Normal : 27-31 pg
MCHC : 30,7 gr/dl Normal : 33 37gr/dl
RDW : 14,2 % Normal : 11,5-14.5
MPV : 10,4 fL N Normal : 7,2-11,1
Hitung Jenis
Eosinofil : 0,1 % N Normal : 2 4 %
Basofil : 0,9 % Normal : 0 1 %
Batang : 0,00 % Normal : 2 5 %
9

Segmen : 68,2 % N Normal : 40 70%
Limfosit : 9,1% Normal : 25-40%
Monosit : 21,0 % Normal : 2 8%
Ureum : 11,1 mg/dl Normal :14,98 38,52 mg/dl
Kreatinin : 0,6 mg/dl N Normal : 0,6-1,0 mg/dl
GDS : 119 mg/dl N Normal : <= 200 mg/dl
Laboratorium tanggal 9 Juni 2013
SGOT : 9 U/L Normal : 15 - 37 U/L
SGPT : 6 U/L Normal : 30 65 U/L
b. Tes sputum BTA SPS 20 Juli 2013 (dilakukan di RSMS)





c. Foto rongten thoraks 19 JULI 2013 (dilakukan di RSMS)



pemeriksaan hasil Nilai normal
BTA I + -
BTA II + -
BTA III - -
10

Foto Rontgen :
a. Pergeseran mediastinum: Trakhea dan jantung bergeser ke sisi yang
mengalami atelektasis .
b. Elevasi diafragma: Diafragma terangkat ke atas pada sisi paru yang
mengalami atelektasis .
c. Drooping of shoulder: bahu pada lengan yang alami atelektasis
posisinya lebih rendah dibanding sisi sehat.
d. Penyempitan ICS : ICS pada sisi yang mengalami nampak atelektasis
menyempit
e. Hyperinflasi / Emphisema Compensatory
Bagian paru yang tidak mengalami atelektasis, akan nampak lebih
hitam dan terjadi dilatasi pembuluh darah

IV. ASSESSMENT
Diagnosis Klinis:
TB paru BTA (+) lesi luas kasus putus obat dan Ateletaksis Paru kiri
Diagnosis Banding
Multidrugs resistant tuberculosis (MDR tb)

V. PLANNING
1. Diagnosis Kerja:
TB paru BTA (+) lesi luas kasus putus obat dan Ateletaksis Paru kiri
2. Terapi
a. Farmakologi
1. IVFD RL + 1 ampul aminofilin/12 jam
2. Inj. Ceftazidim 2x1 gr (iv)
3. Inj. Rantin 2x1 ampul (iv)
4. Inj. Streptomicin 1x500 mg
5. Inj. Metilprednisolon 3x125 mg
6. Nebulizer Ventholin/Flexotide 3x/hari
7. Po. OAT 4FDC 1 x II tab
8. Po. B 6 1x1 tab

11

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

VI. PENULISAN RESEP OAT
1. Sediaan FDC


























12

2. Dosis Tunggal
































13

BAB II
PEMBAHASAN

1. Penegakan Diagnosis
TB paru BTA (+) lesi luas kasus putus obat dengan atelektasis paru kiri
a. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Sesak nafas.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas dirasakan sejak dua minggu sebelum masuk rumah
sakit (08 juli 2013), pasien mengeluhkan sesak nafas di kedua dadanya
namun lebih terasa pada dada sebelah kiri, pasien merasakan adanya
perubahan nafas yang sangat cepat dan terkadang terdengar suara
tambahan seperti ada lendir yang menyangkut didaerah pangkal
tengggorok. Sesak nafas dapat terjadi selama 30 menit, sesak nafas
dirasakan pasien sangat memberat sampai mengganggu aktivitas ketika
pasien merasa banyak pikiran atau stress dan pada saat pagi hari. untuk
menguranginya pasien duduk dan beristirahat.
Selain sesak nafas, pasien juga mengeluhkan suaranya menjadi
serak, batuk berdahak, warna putih kekuningan, kental, dan sulit
dikeluarkan. Pasien juga mengeluh nafsu makan menurun dan
mengalami penurunan berat badan. Badan terasa lemas dan mudah lelah
ketika beraktivitas, pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan BAK
dan BAB.

b. Pemeriksaan Fisik Pulmo
Inspeksi : Dinding dada Asimetris, ketinggalan gerak (+)
Perkusi : redup pada lapang paru kiri dan sonor pada lapang paru kanan
Palpasi : Apex: Vocal Fremitus kanan > kiri
Basal:Vocal Fremitus kanan > kiri
Auskultasi : Suara dasar vesikuler pada apex dan basal paru melemah,
ronkhi basah kasar -/-, ronkhi basah halus -/-
wheezing +/+
14

c. Pemeriksaaan Penunjang
Tes sputum BTA SPS 22 Juni 2013 (sewaktu, pagi, sewaktu) : ++
Foto rongten thoraks 19 juli 2013 :
a. Gambaran TB paru
b. Atelektasis paru kiri
2. Tindak Lanjut Penanganan Pasien
Pada kasus ini pasien merupakan pasien TB paru kasus putus obat karena
pasien telah melakukan pengobatan selama empat bulan pada tahun sebelumnya
yaitu tahun 2008, 2009 dan 2011 namun pada setiap bulan ke lima pasien
menghentikan pengobatannya diluar pengawasan dokter, karena pasien
menganggap pasien ssudah mengalami perbaikan.
Setelah di cek ulang pada perawatan kali ini, ternyata BTA masih positif
setelah pengobatan lebih dari sama dengan empat bulan sehingga pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu yang
lebih lama. Pasien mendapat terapi OAT kategori 2 yaitu dengan menggunakan
2HRZES/HRZE/SH3R3E3 atau 2HRZES/HRZE/5HRE pada pasien ini dilakukan
pelaksanaan tahap intensif diberikan selama 6 bulan yang terdiri dari 2 bulan
dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap
hari . Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 4 bulan dengan HRE
yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan
streptomisin diberikan setelah pemderita selesai menelan obat. obat kategori 2
diberikan pada pasien kasus kambuh (relaps), pasien gagal pengobatan dan pasien
dengan pengobatan setelah lalai (after default).
Pada pasien ini, sudah melakukan pengobatan OAT dari tahun 2008 sampai
sekarang dengan kasus putus obat, dan dilihat dari riwayat pengobatannya yang
selalu mengulang pengobatan dengan menggunkan kategori pertama sedangkan
pemeriksaan tes sputum selalu positif maka untuk membuktikan apakah pasien
ini mengalami multidrug resistant tuberculosis (MDR-tb) Banyak faktor
penyebab MDR Tb. Beberapa analisis difokuskan pada ketidakpatuhan pasien.
Ketidakpatuhan lebih berhubungan dengan hambatan pengobatan seperti
kurangnya pelayanan diagnostik, obat, transportasi, logistik dan biaya
pengendalian program Tb. Ketidakpatuhan penggunaan obat pun terjadi pada
pasien ini sehingga perlu dilakukan pemeriksaan sebagai langkah awal
15

mendiagnosis resisten obat Tb yaitu dengan mengenal pasien dalam risiko dan
mempercepat dilakukannya diagnosis laboratorium. Deteksi awal MDR Tb dan
memulai sejak awal terapi merupakan faktor penting untuk mencapai
keberhasilan terapi. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur
M. Tb dan resistensi obat. Kemungkinan resistensi obat Tb secara simultan
dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA sewaktu menjalani paduan
terapi awal. Kegagalan terapi pada pasien ini dapat dipertimbangkan sebagai
kemungkinan resisten obat Tb sampai ada hasil uji resistensi obat beberapa
minggu kemudian yang menunjukkan terdapatnya paduan terapi yang tidak
adekuat. Identifikasi cepat pasien resistensi obat Tb dilakukan terutama pasien
memiliki risiko tinggi karena program pengendalian Tb lebih sering
menggunakan paduan terapi empiris, minimalisasi penularan, efek samping OAT,
memberikan terapi terbaik dan mencegah resistensi obat lanjut. Prediksi
seseorang dalam risiko untuk melakukan uji resistensi obat adalah langkah awal
deteksi resistensi obat. Prediktor terpenting resistensi obat adalah riwayat terapi
Tb sebelumnya, progresiviti klinis dan radiologi selama terapi Tb, berasal dari
daerah insidens tinggi resisten obat dan terpajan individu infeksi resisten obat Tb.
Setelah pasien dicurigai MDR Tb harus dilakukan pemeriksaan uji kultur M. Tb
dan resistensi obat.
Untuk mencegah adanya perburukan pada pasien perlu juga dilakukan
evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik. Evaluasi
bakteriologis sputum (BTA) bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi
dahak. Pemeriksaan BTA ini dilakukan pada 3 waktu yaitu, setelah 2 bulan fase
intensif, pada bulan ke-5 pengobatan, dan pada akhir pengobatan. Jika setelah 2
bulan fase intensif belum ada konversi dahak, maka diberikan fase sisipan selama
1 bulan.
Evaluasi radiologi dilakukan 2 kali yaitu setelah 2 bulan pengobatan dan
pada akhir pengobatan untuk melihat perbaikan gambaran paru pasien. Evaluasi
efek samping obat juga penting dilakukan selama pasien menjalani pengobatan.
Hal ini disebabkan obat-obat yang termasuk dalam OAT memiliki banyak efek
samping. Evaluasi dapat dilihat dari keadaan klinis pasien dan hasil pemeriksaan
laboratorium seperti tes fungsi hati, fungsi ginjal, gula, asam urat, tes fungsi
ginjal, tes visus, dan tes pendengaran.
16

. Pada pasien ini karena sudah melakukan putus obat dari tahun 2008
sampai sekarang sehingga perlu adanya Pengawas Minum Obat (PMO) selain
berguna sebagai pengingat terhadap pasien hal ini juga dilakukan sebagai
pencegahan terhadap penularan bakteri tuberkulosis yang disebabkan karena
kontak langsung dengan penderita TB. Kemungkinan penularan pada keluarga
pasien sangat besar, sehingga perlu dilakukan edukasi dan motivasi skrining TB
paru terhadap anggota keluarga yang lain dan tetangga sekitar. Untuk
mengevaluasinya sendiri pasien dapat menunjuk suaminya sebagai orang terdekat
untuk menjadi PMO atau bisa saja menunjuk salah satu petugas kesehatan dari
puskesmas. Dan ada beberapa Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk
disampaikan kepada pasien dan keluarganya bahwa TB dapat disembuhkan
dengan berobat teratur; TB bukan penyakit keturunan atau kutukan; Cara
penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya; Cara
pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan); Pentingnya
pengawasan supaya pasien berobat secara teratur; Kemungkinan terjadinya efek
samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke pelayanan kesehatan.
Dan pada pasien ini juga perlu dijelaskan bahwa TB dinyatakan sembuh
apabila memenuhi kriteria BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase
intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat,
pada foto torak, gambaran radiologi serial tetap sama/terdapat perbaikan dan bila
ada fasiliti biakan, maka kriteria sembuh ditambah hasil biakan negatif.

Jika pasien sudah dinyatakan sembuh, maka tetapi perlu dilakukan evaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, untuk mengetahui ada tidaknya
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah sputum BTA dan foto toraks. Sputum
BTA dilakukan pada 3, 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto
toraks dilakukan 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

Selain pemeriksaan TB yang positif pada pasien ini juga mempunyai
kelainan gambaran paru yaitu berupa atelektasis paru bagian kiri ditandai dengan
gangguan pernafasan, bunyi nafas berkurang, sesak nafas, panas tinggi (sumbatan
akibat adanya lendir/keradangan dalam saluran nafas). Kelainan atelektasis dapat
dilihat dari pemeriksaan fisik seperti pada saat inspeksi terlihat gerakan nafas
yang tertinggal, fremitus raba menurun, pada saat diperkusi terdengar suara redup
pada lapang paru sebelah kiri, selain itu juga terdengar suara nafas dan suara
17

percakapan yang melemah pada paru sebelah kiri. Kemudian, pada pemeriksaan
radiologi atelektasis dibuktikan dengan adanya gambaran berupa bergesernya
jantung dan trakhea ke sisi sebelah kiri, diafragma terangkat ke atas pada sisi
sebelah kiri, bahu pada lengan yang mengalami atelektasis posisinya lebih rendah
dibanding dengan yang sebelah kanan, ICS pada sisi kiri mengalami
penyempitan. Selain dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
radiologi, pada pemeriksaan Laboratorium darah terdapat leukositosis dan LED
meningkat pada sputum dengan menggunakan kultur daapat ditemukan BTA (+).
Penatalaksanaan untuk atelektasis meliputi langkah atau tindakan terapi seperti
pemberian terapi simtomatis (anti sesak, bronkodilator, antibiotik dan
kortikosteroid) Fisioterafi (masase atau latihan pernapasan).

18

BAB III
KESIMPULAN

1. Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
2. Penegakan diagnosis penyakit TB didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Gold standar pemeriksaan dan penegakan diagnosis penyakit TB berdasarkan
pemeriksaan dahak/sputum BTA.
4. Diagnosis kasus pasien ini adalah TB Paru BTA (+) lesi luas kasus putus obat
dengan atelektasis paru kiri.
5. Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, evaluasi bakteriologi dengan tes
sputum BTA, dan evaluasi radiologi serta dilakukan edukasi keteraturan obat.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto BS, Wilhan. 2006. Management of MDR TB Current and Future
dalam Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan
Ilmiah Berkala. PERPARI.Bandung.
2. World Health Organization . 2008. Guidelines for the programmatic
managementdrug resistant tuberculosis emergency edition ,Geneve.
3. PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika
4. Price, A. S., Wilson, M. L. 1990. Patofisiologi: . EGC, Jakarta, Indonesia.
5. Depkes RI. 2007. Pedoman Umum Promosi Penanggulangan Tuberculosis,
Jakarta , 2007
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang
Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB), Jakarta

Anda mungkin juga menyukai