Anda di halaman 1dari 51

PRESENTASI KASUS

“SUSPEK TB PARU & COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA”

Diajukan kepada:
dr. Wisuda Moniqa Silviyana, Sp. P, M.Kes

Disusun oleh:
Moh. Rezza Rizaldi
G4A016047

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
“SUSPEK TB PARU & COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA”

Disusun oleh:
Moh. Rezza Rizaldi
G4A016047

Telah dipresentasikan pada tanggal


Juli 2019

Pembimbing,

dr. Wisuda Moniqa Silviyana., Sp.P, M.Kes


I. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SM
Usia : 57 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Status : Sudah menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Purwokerto Barat
Tanggal masuk : 22 Juli 2019
Tanggal periksa : 24 Juli 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Batuk Berdarah

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhan batuk berdarah. Batuk
berdarah dirasakan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya
pasien merasakan batuk saja yang hilang timbul sejak 6 bulan sebelum
pasien masuk rumah sakit, kemudian 2 bulan yang lalu pasien kontrol ke
poli penyakit dalam RSMS dan disarankan oleh dokter untuk di cek dahak
akan tetapi pasien saat itu tidak melakukan cek dahak. Hingga, batuk
semakin lama semakin memberat. Batuk akan bertambah berat jika pasien
berada dalam posisi berbaring dan akan berkurang jika pasien dalam posisi
½ duduk.
Selain mengeluhkan batuk berdarah, pasien juga mengeluhkan
sesak nafas semenjak 2 minggu sebelum masuk RS, awalnya sesak nafas
tidak terlalu menganggu tapi semakin hari sesak nafas mengganggu
aktivitas pasien. Sesak nafas dirasakan ketika batuknya terus menerus. 1
bulan sebelum masuk RS pasien pergi ke puskesmas untuk memeriksakan
diri, kemudian pukesmas menganjurkan untuk ke RS hermina, 2 minnggu
yang lalu pasien dirujuk ke RS Hermina dan dilakukan cek foto rontgen
serta dilakukan pentalaksanaan awal, Setelah itu pasien dirujuk ke RSMS.
Selain itu pasien mengeluhkan munculnya keringat dingin dan demam
yang naik turun, saat malam hari biasanya demam semakin tinggi namun
membaik pada pagi dan siang hari. Beberapa minggu terakhir nafsu makan
pasien menurun, terdapat penurunan berat badan sebesar 6 kg dalam waktu
2 bulan terakhir. Pasien saat waktu kontrol 2 bulan yang lalu di RSMS
diberi obat 8 macam, dan salah satunya ada yang berwarna merah untuk 6
bulan, saat itu dokter hanya memberi obat untuk 1 bulan akan tetapi pasien
setelah itu tidak kontrol lagi dan tidak minum obat. BAB dan BAK pasien
tidak ada keluhan. Pasien saat ini tidak sedang dalam pengobatan TB.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya.
Pada saat itu, pasien merupakan buruh di pabrik. Menurut penuturan
pasien, ia kemungkinan tertular dari temannya yang pada saat itu
mengalami batuk-batuk lama. Pasien mengaku ia sudah menggunakan
masker walaupun tidak setiap saat.Semenjak pasien sakit, pasien sudah
berhenti bekerja.
Pasien adalah seorang penderita penyakit diabetes yang tidak rutin
kontrol, biasanya pasien memeriksakan diri di RSMS poli penyakit dalam.
Selain itu pasien jika batuk tidak pernah memeriksakan dirinya ke dokter
dan hanya membeli obat di warung sebelumnya.

a. Riwayat keluhan serupa : disangkal


b. Riwayat OAT : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat diabetes mellitus : diakui
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat magh : disangkal
i. Riwayat asam urat : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat OAT : disangkal
c. Riwayat hipertensi : diakui (orang tua)
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat magh : disangkal
i. Riwayat asam urat : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Community
Pasien tinggal bersama istri, anak, adik ipar, hubungan pasien dan
keluarga baik.
b. Home
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Rumah pasien dekat
dengan jalan raya. Rumah pasien ditempati oleh 6 orang. Rumah
pasien juga sering terkena sinar matahari. Ventilasi di rumah pasien
cukup baik. Lantai rumah pasien menggunakan ubin. Pasien sudah
memasak menggunakan kompor gas.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang uruh pabrik. Pembiayaan rumah sakit
ditanggung BPJS Kesehatan.
d. Personal Habit
Pasien mengaku makan dan minum 2-3 kali dalam sehari. Nafsu
makan pasien awalnya baik. Namun, semenjak sakit pasien mengaku
nafsu makannya berkurang. Pasien mengatakan tidak merokok atau
meminum minuman keras.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum :Tampak sakit
2. Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5 (15)
3. BB : 60kg
4. TB : 164 cm
5. IMT : 22.3 (normal)
6. Vital sign
Tekanan Darah : 120/70mmHg
Nadi : 85x/menit, kuat angkat, regular
RR : 20x/menit, simetris
Suhu : 37.0oC

Status Generalis
Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala : Mesochepal, simetris, wajah facies cholerica (-)
Rambut : Warna hitam, mudah rontok (-), distribusi merata

Pemeriksaan Mata
Palpebra : Edema (-/-), ptosis (-/-)
Konjunctiva : Anemis (-/-), SI (-/-), produksi air mata (+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-),
pembesaran KGB (-)
Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),
rinore (-/-)
Pemeriksaan Mulut : Bibir kering (+), tepi hiperemis (-), bibir
sianosis (-), lidah kotor (-), tremor (-), ikterik
(-), sariawan (-), dinding posterior faring
hiperemis
Pemeriksaan Leher
Trakea : Deviasi trakea (-)
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
Kel. Limfonodi : Tidak membesar, nyeri tekan (-)

Status Lokalis
Paru-Paru
Inspeksi : Gerak hemithorax simetris, tidak terdapat ketinggalan
gerak, retraksi -
Palpasi : Vocal fremitus apex sinistra sama dengan apex dextra
Perkusi : Sonor pada hemithorax dekstra dan sinistra
Auskultasi : SD vesikuler +/+, Ronkhi basah kasar -/-, Ronkhi
basahhalus +/+, Wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra,
kuatangkat (+)
Perkusi : Batas Jantung
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah: SIC VI LPSD
Kiri bawah : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran

Ekskremitas
Edema : -/- // -/-
Sianosis : -/- // -/-
Ikterik : -/- // -/-
Akral : Hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboraturium 23 Juli 2019
Hb : 15,5 gr/dl N Normal : 11.7 – 15.5 gr/dl
Leukosit : 18200 /ul H Normal : 4.500 – 12.500/ul
Hematokrit : 44 % N Normal : 35 % - 47 %
Eritrosit : 5.1/ul N Normal : 3,8 – 5,2 juta/ul
Trombosit : 132.000/ul L Normal: 154.000 - 386.000/ul
MCV : 86 fL N Normal : 80 - 100 fL
MCH : 30.5 pg N Normal : 25 - 34 pg
MCHC : 35 gr/dl N Normal : 32 – 36 gr/dl
RDW : 13.2 % N Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 11,7fL N Normal : 9,4 - 12,3 fL
Hitung jenis
Basofil : 0.1 % N Normal : 0 -1 %
Eosinofil :0% L Normal : 2 – 4 %
Batang : 0.8 % L Normal : 3 – 5 %
Segmen : 87,3 % H Normal : 50 – 70 %
Limfosit : 4,4 % L Normal : 25 – 40 %
Monosit : 7,4 % N Normal : 2-8 %
SGOT : 122 U/L H Normal : 15 - 37
SGPT : 841 U/L H Normal : 14 – 59
GDS : 526 mg/dl H Normal: 70 – 130
Ureum : 68,82 gr/dl H Normal: 14,98-38,52
Kreatinin : 1,18 mg/dl N Normal: 0,7-1,3
Natrium : 130 mmol/L L Normal: 134-146
Kalium : 3.9mmol.L N Normal: 3,4-4,5
Klorida : 89 mmol/L L Normal: 96-108

2. Pemeriksaan TCM Juli 2019


Tes Result : Positif
Rif Resistance : Negatif
3. Pemeriksaan Radiologi

4. Pemeriksaan EKG

E. DIAGNOSIS
1. Haemoptysis Masif
2. Community Acquired Pneumonia Class Risk IV
3. Suspek TB kasus putus obat
4. DM Tipe II
5. CHF
F. TATALAKSANA
1. Farmakologis
a. O2 NK 3 liter per menit
b. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
c. Inj Vicillin SX (Ampicillin + B Lactam) 1500 mg/8jam IV
d. Inj Omeprazole 1 Amp/12 jam IV
e. Inj Asam Traneksamat 500 mg/8 jam IV
f. Inj Vitamin K 10m mg/8 jam IV
g. Inj. Vitamin C 100 mg/8jam IV
h. PO Curcuma 3x1 tab
i. PO Codein 3x10 mg

2. Non Farmakologis
a. Screening pada anggota keluarga yang lain untuk tindakan pencegahan
dan pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.
b. Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit, penularan,
pengobatan, efek samping obat dan komplikasi dari penyakit TB.
c. Edukasi keluarga agar selalu menggunakan pengaman saat kontak
dengan pasien.
d. Edukasi pasien untuk selalu memakai masker, tidak batuk dan bersin
sembarangan dan tidak membuang dahak sembarangan.
e. Edukasi pasien dan keluarga mengenai kebersihan lingkungan rumah,
pentingnya membuka ventilasi agar pencahayaan matahari dan udara
masuk, menjemur kasur secara rutin, serta menjaga kesehatan dan
kebersihan diri, serta makan makanan bergizi untuk menghindari
penularan.
f. Edukasi pasien untuk melakukan olahraga ringan, mengurangi stress,
menghindari kafein, dan makanan tinggi purin.
3. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
yang timbul (cek fungsi hepar, ginjal, dan pemeriksaan gula darah)
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, pemeriksaan fisik, dan perbaikan
KU.
d. Evaluasi penunjang
Sputum bakteriologis
e. Evaluasi komplikasi penyakit dan efek samping obat
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin, asam urat)
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran
4. Prognosis
Prognosis penyakit tuberkulosis pada pasien ini dipengaruhi oleh :
a. Resistensi obat memperburuk prognosis penyakit
b. Respon pasien terhadap terapi
c. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
d. Umur penderita
e. Penyakit yang menyertai

G. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungtional : Dubia ad malam
Ad sanationam : Dubia ad malam
II. TINJAUAN PUSTAKA TB

A. Definisi
Definisi Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan
adalah TBC) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini biasanya menyerang paru-paru
(disebut sebagai TB Paru), walaupun pada sepertiga kasus, organ-organ lain
ikut terlibat. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang disebabkan oleh
kompleks Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat
disembuhkan. Tanpa terapi tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam
lima tahun pertama pada lebih dari setengah kasus. (PDPI, 2006).Penyakit ini
menyebar lewat udara atau droplet yang mengandung bakteri Mycobacterium
tuberculosis dari penderita TB(Yoga et al., 2011).

B. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan
termasuk dalam ordo Actinomycetales.Kompleks Mycobacterium tuberculosis
meliputi M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M.
canettii.Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis merupakan jenis
yang terpenting dan paling sering dijumpai. (Mansjoer, 2001) Bakteri ini
memiliki bentuk batang, aerob, obligat intraselular dengan ukuran panjang 1-4
µm dan tebal 0,3-0,6 µ, dan bersifat tahan asam, oleh karena itu dikenal juga
sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Sumber penularannya ialah penderita
tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Pada saat batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Kuman yang berada dalam droplet dapat bertahan di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam (Prasad et al., 2012).
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia
melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat
kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi
tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Prasad et al., 2012).

C. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) 2013, melaporkan bahwa penyakit
tuberkulosis (TB) diperkirakan terdapat 8.6 juta kasus pada tahun 2012
dimana 1.1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV
positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun
2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan
170.000 orang diantaranya meninggal dunia. Meskipun kasus dan kematian
karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi angka kesakitan dan
kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2.9 juta
kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian TB mencapai 410.000
kasus termasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita dengan HIV positif.
Separuh dari orang HIV positif meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah
wanita (Kemenkes RI, 2014).
Pada tahun 2012, diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh
kasus tuberculosis (TB) secara global mencapai 6% (530.000 pasien TB
nak/tahun). Sedangkan kematian anak (dengan status HIV negatif)
yangmenderita TB mencapai 74.000 kematian/tahun, atau sekitar 8% dari total
kematian yang disebabkan TB. Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah
kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan
disembuhkan tetap fakta juga menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian
TB. Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan
dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012),
angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun
1990 (Kemenkes RI, 2014).
D. Klasifikasi
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2006), TB paru
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
a. TB paru BTA (+)
Pasien dikatakan mengalami TB paru BTA (+) apabila sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum menunjukkan hasil BTA (+) atau
satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+) ditambah dengan gambaran
tuberkulosis pada foto toraks.
b. TB paru BTA (-)
Pasien dikatakan mengalami TB paru BTA (-) apabila dalam 3 kali
pemeriksaan sputum didapatkan hasil BTA (-), namun dari gambaran
klinis dan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif dan tidak respon
dengan pemberian antibiotik spektrum luas.

2. Berdasarkan tipe penderita


a. Kasus baru
TB paru kasus baru adalah penderita yang belum pernah minum
obat anti tuberkulosis atau sudah pernah minum obat anti tuberkulosis
kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh
TB paru kasus kambuh adalah penderita yang pernah mendapatkan
pengobatan tuberkulosis dan sudah dinyatakan sembuh, namun kembali
lagi dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (+).
c. Kasus pindahan
Kasus pindahan adalah penderita yang sedang mendapatkan
pengobatan tuberkulosis di suatu kabupaten dan pindah ke kabupaten
lain. Pasien tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
d. Kasus lalai berobat
Kasus lalai berobat adalah penderita yang telah menerima
pengobatan tuberkulosis sekurang-kurangnya satu bulan dan telah
berhenti berobat selama dua minggu atau lebih, kemudian pasien datang
berobat kembali dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (+).
e. Kasus gagal berobat
Kasus gagal berobat adalah penderita BTA (+) yang masih tetap
positif atau kembali menjadi positif pada akhir pengobatan bulan ke-5,
atau penderita dengan BTA (-) radiologik positif yang berubah menjadi
BTA (+) pada akhir pengobatan bulan ke-5.
f. Kasus kronik
Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan sputum
BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.

E. Patomekanisme
TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah
infeksi yang menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan
spesifik, sehingga tubuh melawan dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini
kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell yang khas sehingga uji
PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus primer
dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut
komplek primer.Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman
dalam dahak (Silbernagl dan Lang, 2007).
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang
di jaringan paru sehinggaakan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
akan mengalami salah satu nasib berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (resuscitation
ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn,
garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya
adalah epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi
bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier,
meningitis TB, dll. (PDPI, 2006)
TB paru post primer adalah TB paru yang menyerang orang yang
telah mendapatkan infeksi primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah
ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi ini berasal dari reinfeksi dari
luar atau reaktivasi dari infeksi sebelumnya. Proses awal berupa satu atau
lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat
sembuh sendiri atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan,
timbul kavitas yang menahun dan mengadakan penyebaran ke beberapa
tempat.(Depkes, 2005)

Gejala penting TB paru post primer adalah :


1) Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering
dijumpai, biasanya ringan dan makin lama makin berat.
2) Batuk darah atau bercak saja.
3) Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal.
4) Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis, atau
rusaknya parenkim paru yang luas
5) Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endo-bronkhial.
6) Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia,
berat badan turun
1. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru, kemudian akan membentuk suatu sarang
pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini
dapat timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional).Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut (Borgdorff, et al., 2011):
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum).
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) (Naik, et al., 2011).
c. Menyebar dengan cara (Borgdorff, et al., 2011):
1) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi
basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier,
meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini
juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.
Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan (Borgdorff,
et al., 2011):
a) Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma).
b) Meninggal

2. Tuberkulosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis
bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut
(Borgdorff, et al., 2011):
a. Direabsorbsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak
meninggalkan cacat.
b. Sarang tadi mulanya meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus
diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam
bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi
aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila
jaringan keju dibatukkan keluar.
c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kavitas sklerotik). Selanjutnya kavitas ini dapat
(Borgdorff, et al., 2011):
1) Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik
baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti
yang disebutkan diatas.
2) Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi.
3) Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang
(stellate shaped).

Gambar 2.1. Skema perkembangan sarang tuberculosis post


primer dan perjalanan penyembuhannya(Borgdorff, et al., 2011).

F. Penegakkan diagnosis
1. Anamnesis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka
gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
(Bing, 2012).
a. Gejala respiratorik
1) batuk-batuk lebih dari 2 minggu
2) batuk darah
3) sesak napas
4) nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2), serta daerah apeks
lobus inferior (S6).Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma & mediastinum (Werdhani, 2014).
3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquorcerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan
jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) (Bing, 2012).
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) (Bing, 2012).
1) Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
2) Pagi ( keesokan harinya )
3) Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi
3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/
ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau
lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila
ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas
objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium (Bing, 2012).
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila (Bing, 2012) :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif :BTA positif.
2) 1 kali positif, 2 kali negative :ulang BTA 3 kali kecuali bila ada
fasilitas foto toraks, kemudian
a) bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
b) bila 3 kali negatif : BTA negatif
4. Tes Mantoux
Test mantoux adalah  suatu cara yang digunakan untuk mendiagnosis
TB. Tes mantoux itu dilakukan dengan menyuntikan suatu protein yang
berasal dari kuman TB sebanyak 0,1ml dengan jarum kecil di bawah lapisan
atas kulit lengan bawah kiri. Pembacaan test mantoux adalah sebagai berikut
(Prasad et al., 2012) :
a. Hasil tes Mantoux dibaca dalam 48-72 jam, lebih diutamakan pada 72
jam.
b. Tentukan indurasi (bukan eritem) dengan cara palpasi.
c. Ukur diameter transversal terhadap sumbu panjang lengan dan catat
sebagai pengukuran tunggal.
d. Catat hasil pengukuran dalam mm (misalnya 0 mm, 10 mm, 16 mm)
serta catat pula tanggal pembacaan dan bubuhkan nama dan tandatangan
pembaca.
e.  Apabila timbul gatal atau rasa tidak nyaman pada bekas suntikan dapat
dilakukan kompres dingin atau pemberian steroid topikal.
5. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto
toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
(Prasad et al., 2012).:
a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif (Prasad et al., 2012) :
a. Fibrotik
b. Kalsifikasi
c. Schwarte atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) (Prasad et al.,
2012) :
a. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak
di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta
tidak dijumpai kavitas.
b. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal
Gambar 2.2. Alur Dignosis TB paru (PDPI, 2006)

G. Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien dan memperbaiki
produktivitas serta kualitas hidup, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, menurunkan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT (Kemenkes RI, 2014).
1. Jenis, sifat dan dosis OAT
OAT yang digunakan untuk penderita TB dibagi menjadi dua lini.
Lini pertama merupakan obat utama yang direkomendasikan untuk terapi,
terdiri dari Rifampicin, Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol, dan
Streptomisin. Sedangkan obat lini kedua adalah obat yang dapat dipilih
apabila pengobatan lini pertama mengalami resistensi atau hipersensitivitas,
yang terdiri dari amikasin, kuinolon, dan lain-lain. Berikut contoh obat lini
pertama untuk penderita TB beserta sifat dan dosisnya (Kemenkes RI,
2014):
a. Isoniazid
Isoniazid merepresentasikan agen bakterisida yang sangat efektif
untuk melawan metabolically-active replicating bacilli (aktif
secarametabolisme dan mampu menggandakan diri). Isoniazid masuk ke
dalam sel Mycobacterium tuberculosis dalambentuk prodrug. Kemudian,
INH akan diaktivasi oleh enzim katalase peroksidase (KatG) yang
dikodeoleh gen KatG. Bentuk aktif INH kemungkinan adalah suatu
radikal isonicotinic acyl yang selanjutnya membentuk adduct (produk
dari penambahan langsung dua atau lebih molekul berbeda sehingga
terbentuk produk reaksi tunggal dengan kandungan semua atom dari
semua komponen dengan radikal NAD. Adduct yang terbentuk adalah
isonicotinic acyl NADH (dalam beberapa jurnal disebut sebagai bentuk
aktif INH). Adduct ini bersifat toksik didalam sel bakteri (Ma dkk.,
2007; Brennan dkk., 2008) dan berturut-turut mempengaruhi target
intraseluler seperti biosintesis asam mikolat yang merupakan komponen
penting pada dinding sel bakteri. Kekurangan biosintesis asam mikolat
menghasilkan hilangnya integritas seluler sehingga bakteri mati.
b. Pirazinamid
Pirazinamid bertanggung jawab untuk membunuh persistent
tubercle bacilli di awal terapi fase intensif (Somoskovi dkk., 2001).
Namun, selama 2 hari pertama terapi, pirazinamid tidak memiliki
aktivitas bakterisida terhadap bacilli yang tumbuh cepat (Zhang dan
Mitchison, 2003). Meskipun demikian, akibat aktifitas sterilisasinya
dalam kondisi asam di dalam makrofag ataujaringan yang inflamasi,
pirazinamid mampu untuk memperpendek durasi terapi dari 12 bulan
menjadi 6 bulan dan mencegah risiko kekambuhan (WHO, 2010).
Aktivitas PZA sangat spesifik terhadap M. tuberculosis karena tidak
berefek pada mikobakteria lain (Johnson dkk., 2005).
Pirazinamid adalah suatu prodrug sehingga perlu dikonversi ke
dalam bentuk aktifnya, yaitu asam pirazinoat (POA), oleh enzim
pirazinamidase (PZase) atau nikotinamidase mikobakteri. Mekanisme
aksi pirazinamid masih belum jelas. Asam pirazinoat diperkirakan
bekerja melalui penghambatan sistem enzim fatty acid synthase (FAS) I
yang berperan penting dalam sintesis asam mikolat M. tuberculosis yang
sedang memperbanyak diri (Steinhilber dkk., 2010). Kemungkinan
mekanisme aksi lainnya yaitu gangguan potensial membran di bawah
kondisi pH asam atau penghambatan translasi setelah berikatan dengan
komponen S1 dari subunit 30s ribosomal (Zhangdkk., 2003; Zumla dkk.,
2013). Gangguan potensial membran terjadi akibat adanya akumulasi
asam pirazinoat. Asam pirazinoat diekskresi oleh pompa effux lemah.
Pada kondisi asam, asam pirazinoatterprotonasi akan direabsorbsi ke
dalam sel dan terakumulasi di dalam sitoplasma karena pompa efflux
yang tidak efisien. Akumulasi asam pirazinoat menghasilkan penurunan
pH intraseluler hingga nilai dimana menonaktifkan sintesis asam lemak
penting atau terjadi kerusakan seluler (Zhang dkk., 2003;Zimhony dkk.,
2004). Berdasarkan mekanisme tersebut, pirazinamid hanya aktif
melawan M.tuberculosis pada pH asam dimana asam pirazinoat
terakumulasi di dalam sitoplasma (Zimhony dkk.,2004). Pada jurnal lain
dihipotesiskan bahwa anionpirazinoat di bawah kondisi asam berfungsi
sebagai pembawa proton yang mentransport proton dari luar membran ke
dalam ruang intraseluler. Proses ini mengurangi proton motive force dan
berpengaruh pada produksi energi bakteri (Ma dkk., 2007).
c. Rifampisin
Rifamisin mengandung suatu inti aromatik yang dihubungkan pada
ke dua sisi oleh suatu jembatan alifatik. Rifamisin mudah menyebar
melalui membrane sel M. tuberculosis karena obat ini bersifat lipofil
(Wade dan Zhang, 2004). Aktivitas bakterisida dikaitkan dengan
kemampuan obat ini untuk menghambat transkripsi akibat ikatan dengan
afinitas tinggi pada DNA-dependent RNA polimerase. Walaupun target
molekuler rifampin telahdikarakterisasi dengan baik, mekanisme
tepatnya dari kelas obat ini masih belum terlalu jelas (Anastasiadkk.,
2012).

d. Etambutol
Obat ini menghambat enzim arabinosil transferase (embB) yang
terlibat dalam biosintesis dinding sel. EMB menghambat transfer
arabinoglaktan ke dalam dinding sel M. smegmatis sehingga terjadi
akumulasi asam mikolat. Interaksi EMB dengan targetmolekulernya
sangat stereospesifik, hanya 1 dari 4enantiomer yaitu (S,S)-etambutol
yang aktif melawan M. tuberculosis. Optimisasi lebih lanjut dilakukan
sehingga menghasilkan suatu komponen baru, yaitu SQ-109, suatu
senyawa sangat lipofilik dan memiliki mekanisme aksi berbeda dari
etambutol (Ma dkk., 2007).
e. Streptomisin
Streptomisin aktif melawan bacilli yang tumbuh aktif. Streptomisin
bekerja dengan menghambat inisiasi translasi pada sintesis protein.Lebih
spesifiknya, streptomisin berikatan pada 4 nukleotida 16S rRNA dan
asam amino tunggal pada ribosomal protein S12 yang masing-masing
dikode oleh gen rrs dan rpsL. Ikatan ini memicu perubahan ribosomal
sehingga terjadi salah pembacaan mRNA danpenghambatan sintesis
protein, akibatnya terjadi kematian sel (Johnson dkk., 2005).

Tabel 2.1Jenis, sifat dan dosis OAT


Jenis OAT Sifat Dosis yang
direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 15
(12-18) (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)
(Kemenkes RI, 2014)

Tabel 2.2Jenis, dan Efek Samping OAT


Jenis OAT Efek samping
Isoniazid (H) Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang
Rifampicin (R) Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik
Pyrazinamide (Z) gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati, gout artritis
Streptomycin (S) Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni
Ethambutol (E) Gangguan pengelihatan, buta warna, neuritis
perifer
(Kemenkes RI, 2014)

2. Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut (Kemenkes RI, 2014) :
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.
b. Diberikan dalam dosis yang tepat.
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO) sampai selesai pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
3. Tahapan pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan (Kemenkes RI, 2014) :
a. Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
4. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (Kemenkes RI, 2014)
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
1) Pasien baru TB paru BTA positif.
2) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
3) Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.3Dosis untuk paduan OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) untuk
Kategori 1
Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 x seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
(Kemenkes RI, 2014)

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) (Kemenkes RI, 2014)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:
1) Pasien kambuh
2) Pasien gagal
3) Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel 2.4Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Badan tiap hari 3 x seminggu
RHZE (150/75/400/275)+S RH (150/150)+E(275)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg + 2 tab Etambutol
Streptomisin
inj.
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg + 3 tab Etambutol
Streptomisin
inj.
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg + 4 tab Etambutol
Streptomisin
inj.
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg + 5 tab Etambutol
Streptomisin
inj.
(Kemenkes RI, 2014)

Catatan (Kemenkes RI, 2014):


a. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
b. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
c. Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan.
d. Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida
(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan
kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut
jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
e. OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna
memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

H. Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah (PDPI, 2006):
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Gagal napas
4. Gagal jantung
5. Efusi pleura
Setelah diketahui bahwa TB paru terutama menyerang paru-paru,
kerusakan paru-paru merupakan salah satu komplikasi yang paling sering, dan
mungkin menyebabkan kegagalan paru-paru. Komplikasi TB paru antaranya
adalah gangren paru. Selain itu ditemukan juga trombosis vaskular dan arteritis.
Apabila penyakit ini tidak diobati atau belum diobati pada waktu yang tepat
dan cara yang tepat, penyakit ini bisa menjadi sangat serius bahkan mengancam
nyawa. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh, sehingga
membuat pengobatan lebih sulit, terutama jika menyebar ke tulang, karena
kerusakan pada sendi diikuti dengan rasa sakit sangat mungkin akan dialami
kemudian. Selain itu terjadi juga pneumotoraks dan efusi pleura (Kemenkes RI,
2014).
Ginjal dan kelenjar getah bening adalah organ yang paling umum untuk
komplikasi tuberkulosis yang berkembang di luar paru-paru. Tuberkulosis juga
dapat mempengaruhi tulang, otak, rongga perut, membran sekitar jantung
(pericardium), sendi (pinggul dan lutut), dan organ reproduksi (Croft, 2002).

Tabel 2.3 Efek samping ringan (Depkes RI, 2014).


Tabel 2. 4Efek samping berat (Depkes RI, 2014).

I. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
1. Kepatuhan minum obat
2. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
3. Umur penderita
4. Penyakit yang menyertai
5. Resistensi obat
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Tabel 2.5 Hasil pengobatan TB (Depkes RI, 2014).

II. Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


A. Definisi
Hepatitis Imbas Obat Anti Tuberculosis merupakan suatu imbas
dari penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang gejala nya mirip
dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas
dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga
simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll.Enzim hati
transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut.
(Kishore, dkk, 2010).
Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan
OAT dan memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal
ini dapat dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah
terjadi. Individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning,
keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, sclera ikterik,
jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat.
B. Efek Hepatotoksik OAT
Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati
alanine transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau
paling tidak terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu
pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh
lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-
obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih
dibandingkan dengan normal, sementara yang lain merekomendasikan
lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan
potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas.
(Kishore, dkk, 2010)

Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi
memiliki disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan
dan sementara serum AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa
pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif
danmenyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH
bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST
meningkat menjadi lebih dari 5 kalinilai normal. Sebuah penelitian
prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang menerima terapi
pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis lebih
rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan
0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis.
Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat
Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan
antara pasien hepatitis dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang
menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg per hari (untuk
mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada
anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif,
kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram
per kilogram per hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari)
untuk profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian,
kejadian hepatotoksisitas pada anak-anak yang menerima INH dan
rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430
anak-anak). (Kishore, dkk, 2010).

Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang
umum pada tahap awal terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat
menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan
penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk
mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati.
Rifampicin menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya
dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari
1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas.
Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan
meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden
hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang
menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan
diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan
bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis
(Kishore, dkk, 2010).

Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah
hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan
dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease Control (CDC)
Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB
dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000
dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari
48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan terapi.
(Kishore, dkk, 2010)
Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam
pengobatan TB. Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada
beberapa pasien yang menggunakan etambutol yang dikombinasi dengan
OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)

Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. (Kishore, dkk, 2010)

C. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat


Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan
obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2),
maka OAT distop
- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan
pengawasan
Paduan obat yang dianjurkan
- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium
kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan
Isoniazid (H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama
itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis
penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan
Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat
badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.
- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)
Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV
mempunyai risiko hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima
kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg positif dan HBeAg
negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek,
yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan
syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan.
Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid
mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam
minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respon
adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak
tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai
batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang
berkembang menjadi seperti hepatitis viral, 50% kasus terjadi pada 2
bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian.
(Xial, Yin Yin, dkk, 2010).

D. Rekomendasi Mengelola OAT


Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas
obat dapat diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif.
Rekomendasi Nasional untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT
antara lain:
-Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT
tersebut harus dihentikan
-Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahuluJika jaundice
muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan dua
bulan Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan
Etambutol.
-Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan
Etambutol sampai 8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi
(SCC) atau 12 bulan untuk rejimen standar. (Kishore, dkk, 2010)
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi
pada pasien hepatotoksisitas
• INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan
perlahan sampai 300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi,
lanjutkan.
• Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin
dengan dosis 75 mg / harilalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari,
dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk
berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang terjadi,lanjutkan.
• Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari,
meningkat menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg)
atau 2 g (> 50 kg). (Kishore, dkk, 2010)

E. Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT


Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB
dan sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada
kelompok berisiko seperti pasien dengangangguan hati yang sudah ada,
alkoholik, yang lansia dan kurang gizi. Hal ini tidak hanya menjadi
tanggung jawab para profesional kesehatan akan tetapi pendidikan
kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang menjalani
pengobatan TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat
dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien harus waspada dan
melaporkan segera jika terjadi gejala yang mengarah pada hepatitis seperti
hilangnya nafsu makan, mual, muntah, jaundice, yang terjadi selama
pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus dinilai tidak hanya
dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan tanda-tanda
hepatitis pada mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada
kecurigaan klinis reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi hati harus diperiksa
seperti ALT, AST dan kadar bilirubin. (Kishore, dkk, 2010)
F. Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan
Hepatotoksisitas Imbas OAT
1. Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT
2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum
memulai pemberian OAT
3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis
standar, sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum
pengembangan kimia hati yang abnormal.
4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau
untuk AST> 120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5
mg / dl (normal, 1,5 mg / dl).
5. Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati.
6. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya
peningkatan 50% dari kimia hati yang abnormal. (Jaime, Ungo, dkk, 2010)

G. Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas


Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced
hepatitis, yang memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan
dapat menyebabkan hepatitis: Pirazinamid, INH dan Rifampicin (dalam
urutan penurunan frekuensi). Hal ini tidak mungkin untuk membedakan
antara tiga penyebab murni berdasarkan yanda-tanda dan gejala.Tes fungsi
hati harus diperiksa pada awal pengobatan, tetapi, jika normal, tidak perlu
diperiksa lagi, pasien hanya perlu memperingatkan gejala hepatitis.Dalam
hal ini, tes hanya perlu dilakukan dua minggu setelah memulai pengobatan
dan kemudian setiap dua bulan selanjutnya, kecuali ada masalah yang
terdeteksi. Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi akibat pemakaian
Rifampicin (blok ekskresi bilirubin) dan namun biasanya kembali normal
setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk mengimbangi produksi).
Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang utama di tiga
minggu pertama pengobatan.Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak
berlebihan maka tidak ada tindakan yang perlu diambil.Beberapa ahli
menganggap pengobatan harus dihentikan jika penyakit kuning menjadi
bukti klinis.
Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka
semua obat harus dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal.
Jika pengobatan TB tidak dapat dihentikan, maka dapat diberikan
Streptomycin dan Etambuto sampai kadar transaminase kembali normal
(kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis).
Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak
dapat dilakukan dalam suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah
pengawasan ketat. Seorang perawat harus hadir untuk mengambil nadi
pasien dan tekanan darah pada 15 interval menit selama minimal empat
jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang paling akan terjadi
dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan terjadi).
Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit dan akses ke fasilitas perawatan
intensif harus tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam urutan ini.:

Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua
obat lain harus dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan.
Maka pada hari 4, misalnya, pasien hanya menerima RMP dan tidak ada
obat lain yang diberikan. Jika pasien melengkapi sembilan hari dosis tes,
maka wajar untuk menganggap bahwa PZA telah menyebabkan hepatitis
dan tidak ada dosis uji PZA perlu dilakukan.
Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan
adalah karena kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH
dan RMP, jadi ini adalah diuji pertama: PZA adalah obat yang paling
mungkin menyebabkan hepatitis dan juga merupakan obat yang bisa
paling mudah dihilangkan .EMB berguna ketika pola kepekaan organisme
TB tidak diketahui dan dapat dihilangkan jika organisme diketahui sensitif
terhadap INH.
Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut
pertimbangan sebagai berikut:
 Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu,
karena tidak adanya obat-obatan dari rejimen pengobatan sangat
merusak kemanjurannya
 Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai
paling akhir (dan mungkin tidak perlu diuji sama sekali).
III. TINJAUAN PUSTAKA PNEUMONIA

1. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan
dan lain-lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2018).
2. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,
yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia
komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan
bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak
disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak
disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota
di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan
dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negative (PDPI,
2018).
3. Klasifikasi Pneumonia
Berdasarkan klinis dan epideologis (PDPI, 2018):
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
Berdasarkan bakteri penyebab (PDPI, 2018).
a. Pneumonia bakterial / tipikal.
Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi
menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
4. Diagnosis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 40C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada (PDPI, 2018).
Faktor risiko
 Umur, lebih rentan pada usia >65 tahun.
 Infeksi saluran napas atas yang tidak ditangani.
 Merokok.
 Penyakit penyerta: DM, PPOK, gangguan neurologis, gangguan
kardiovaskuler.
 Terpajan polutan/ bahan kimia berbahaya.
 Tirah baring lama.
 Imunodefisiensi, dapat disebabkan oleh penggunaan steroid jangka
panjang, malnutrisi, HIV.
b. Pemeriksaan fisik
 Pasien tampak sakit berat, kadang disertai sianosis
 Suhu tubuh meningkat dan nadi cepat.
 Respirasi meningkat tipe cepat dan dangkal.
 Sianosis.
 Nafas cuping hidung.
 Retraksi interkostalis disertai tanda pada paru, yaitu:
- Inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas
- Palpasi fremitus dapat meningkat,
- Perkusi redup,
- Auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial
yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi
ronki basah kasar pada stadium resolusi.
c. Periksaan penunjang
 Gambaran radiologi
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa
infiltrat sampai konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab
bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti (PDPI, 2018).
 Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED (PDPI, 2018).
5. Terapi
Terapi definitif dapat dilakukan menggunakan antibiotik sebagai berikut
(PDPI, 2018):
a. Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP), yaitu:
 Golongan Penisilin: penisilin V, 4x250-500 mg/hari (anak 25-50
mg/kbBB dalam 4 dosis), amoksisilin 3x250-500 mg/hari (anak 20-40
mg/kgBB dalam 3 dosis), atau sefalosporin golongan 1 (sefadroksil
500-1000mg dalam 2 dosis, pada anak 30 mg/kgBB/hari dalam 2
dosis)
 TMP-SMZ
 Makrolid
b. Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP), yaitu (PDPI, 2018):
 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan), Sefotaksim,
Seftriakson dosis tinggi.
 Makrolid: azitromisin 1x500 mg selama 3 hari (anak 10 mg/kgBB/hari
dosis tunggal).
 Fluorokuinolon respirasi: siprofloksasin 2x500 mg/hari.
6. Edukasi
a. Edukasi
Edukasi diberikan kepada individu dan keluarga mengenai pencegahan
rekurensi dan pola hidup sehat, termasuk tidak merokok.
b. Pencegahan
Dilakukan dengan vaksinasi, terutama bagi golongan risiko tinggi, seperti
orang usia lanjut, atau penderita penyakit kronis. Vaksin yang dapat
diberikanadalah vaksinasiinfluenza (HiB) dan vaksin pneumokokal (PDPI,
2018).
7. Komplikasi
a. Efusi pleura.
b. Empiema.
c. Abses paru
d. Pneumotoraks
e. Gagal napas.
f. Sepsis.
8. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
III. KESIMPULAN

1. Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis.
2. Community Acquired Pneumonia merupakan peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
3. Penegakkan diagnosis penyakit TB dan CAP didasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
4. Hal-hal yang perlu dievaluasi selama pengobatan TB antara lain: keadaan
klinis, sputum bakterologis, foto radiologis, efek samping obat dan keteraturan
pengobatan.
5. Keberhasilan pengobatan TB berdasarkan pada kepatuhan minum obat, faktor
pencetus, dan penyakit yang menyertai.
6. Komplikasi tuberkulosis seperti batuk darah, pneumotoraks, gagal napas, gagal
jantung, dan efusi pleura
DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, S., Kolyva & Petros, C., 2012, Old and New TB Drugs: Mechanisms of
Action and Resistance, Understanding Tuberculosis - New Approaches to
Fighting Against Drug Resistance, dalam Dr. Pere-Joan, C. (Ed.), ISBN:
978-953-307-948-6, InTech.

Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2006. Pengobatan TB termutakhir. In: Buku ajar
IPD. Jakarta: Balai pnerbit FKUI

Bing, K. 2012. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru.Semarang : Medika

Borgdorff, M., Peter D., Guy M., Michael A., and Nadia A., 2015. 46th World
Conference on Lung Health of the International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease (The Union). The International Journal of Tuberculosis
and Lung Disease,19 (12)

Brennan dkk, 2008, Handbook of Anti-Tuberculosis Agents, Global Alliance for


TB DrugDevelopment, 88 (2), 85-170.

Croft, J., Norman, H., andFred, M., 2002. Tuberkulosis Klinik. Edisi 2.
Jakarta :Widya Medik

Johnson, R., Streicher, E.M., Gail E., Louw, Robin, M., Warren, Paul, D.,
Thomas, C. & Victor, 2005, Drug Resistance in Mycobacterium
tuberculosis, Curr.Issues Mol. Biol, 8, 97–112.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.


Edisi 2. Jakarta : Kemenkes RI

Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced
Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties
in Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2,
Issue 18, 256-260

Ma, Z., Ginsberg, A.M. & Spigelman, 2007, Antimycobacterium Agents, Global
Alliance forTB Drug Development, New York, USA.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra
Grafika.

Persatuan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI

Prasad, J., Behera D., Lalit K., Rohit S., Khatri G.R. et al., 2012. Relationship
between sputum smear grading and smear conversion rate and treatment
outcome in the patients of pulmonary tuberculosis undergoing DOTS- A
prospective cohort study. Indian Journal of Tuberculosis, 59 (3)

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2018. Press Release World Day Pneumonia.
Jakarta: PDPI

Somoskovi, A., Parsons, L.M. & Salfinger, M., 2001, The Molecular Basis of
Resistance to Isoniazid, Rifampin, and Pyrazinamide in Mycobacterium
tuberculosis, Respir. Res., 2, 164–168.

Werdhani. 2014. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi


Tuberkulosis.Jakarta:FKUI-Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas

World Health Organization, 2010, Treatment of Tuberculosis Guidelines, 4th Ed.

World Health Organization. 2014. Global Tuberculosis Report 2014. Geneva:


WHO

Yoga, T., Aditama M. S., Dyah E. M., Asik S., Adi U., et al., 2014. Strategi
Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Menkes RI

Zhang, Y. & Mitchison, D., 2003, The Curious Characteristics of Pyrazinamide: a


Review, Int. J. Tuberc. Lung Dis., 7, 6–21.
Lampiran 1. Resep OAT 4FDC

dr. TN
11226374
Jl.Gumbreg No. 62, Berkoh, Purwokerto, Banyumas
085659797337

Purwokerto, 26 November 2018

R/

Pro :
BB :
Usia :
Alamat:
Lampiran 2. Resep OAT fase intensif

dr. TN
11226374
Jl.Gumbreg No. 62, Berkoh, Purwokerto, Banyumas
085659797337

Purwokerto, 26 November 2018

R/

Pro :
BB :
Usia :
Alamat:

Anda mungkin juga menyukai