Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS INTERNSIP

GAGAL GINJAL KRONIK

Disusun oleh :

dr. Alditra Fauzy Kurnia Rahman

Pendamping :

dr. Resti Kurniawati

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BATANG

2016

1
Nama peserta : dr. Alditra Fauzy Kurnia Rahman
Nama Wahana : RSUD Batang
Topik : Gagal Ginjal Kronik
Tanggal Kasus : 21 Agustus 2016
Nama Pendamping : dr. Resti Kurniawati
Tanggal Presentasi : 13 September 2016
Tempat Presentasi : Komite Medik RSUD Batang
Obyektif Presentasi
Keilmuan ● Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka ●
Diagnostik ● Managemen ● Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa ● Lansia Bumil
Deskripsi :
Tujuan :
Bahasan Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka ●
Cara Diskusi Presentasi Dan Email Pos
pembahasan Diskusi ●

Data pasien Nama : Tn. J No. RM : 353530


Nama RS : RSUD Kab Batang Terdaftar sejak : 21 Agustus 2016

BAB I

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
No. RM : 353530
Usia : 53 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 21 Agustus 2016
Alamat : Bawang, Batang
Ruang Rawat : Bougenville
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara auto dan alloanamnesis di IGD dan dilanjut di ruang
bougenville pada tanggal 22 Agustus 2016.
Keluhan Utama : Sesak nafas
Keluhan Tambahan : Lemas, pusing, bengkak di wajah, tangan dan kaki, batuk
berdahak warna kuning
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Batang atas rujukan Puskesmas Bawang dengan
keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan terus menerus,
memberat saat dibuat tiduran atau beraktivitas dan berkurang saat istirahat dengan posisi
setengah duduk. Jika pasien minum terlalu banyak sering terjadi sesak. Selain itu pasien
juga mengeluh seluruh badan terasa lemas, pusing, disertai bengkak pada wajah, kedua
lengan dan tungkai. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak warna kuning, tanpa
disertaidemam dan tanpa darah sejak 3 hari SMRS.
3 hari SMRS pasien telah mendapatkan pengobatan cuci darah (hemodialisa) di
RSUD Batang dikarenakan penyakit gagal ginjal yang dideritanya sejak 1 tahun ini. Pasien
rutin menjalani hemodialisa setiap 1 minggu sekali di RSUD Batang. Setelah menjalani
hemodialisa pasien diperbolehkan pulang.
1 hari SMRS saat di rumah pasien mengaku setelah minum 1 gelas besar tiba-tiba
menjadi sesak nafas dan badan terasa lemas. BAB (+)N, BAK (-). Oleh keluarga kemudian
pasien di bawa ke Puskesmas Bawang dan diberikan oksigen dan vitamin sebelum dirujuk
ke RSUD Batang.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat keluhan serupa diakui, 6 hari SMRS pasien mondok di RSUD Batang
 Riwayat penyakit gagal ginjal kronik diakui sudah 1 tahun ini
 Riwayat penyakit darah tinggi diakui
3
 Riwayat penyakit kencing manis disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit asma disangkal
 Riwayat alergi obat dan alergi makanan disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Riwayat keluhan serupa disangkal
 Riwayat penyakit gagal ginjal kronik disangkal
 Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
 Riwayat penyakit kencing manis disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit asma disangkal
 Riwayat alergi obat dan alergi makanan disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien tinggal di rumah bersama istri dan kedua orang anaknya yang masih
sekolah. Pasien bekerja sebagai pedagang di pasar. Biaya kesehatan ditanggung oleh BPJS
Non PBI. Kesan ekonomi pasien cukup.
Riwayat Kebiasaan :
Pasien mempunyai kebiasaan merokok sehari 3-5 batang perhari. Dahulu sebelum
sakit pasien suka minum minuman berenergi tinggi. Pasien suka makan makanan seperti
gorengan, daging, jeroan, dan suka makan sayur. Pasien jarang melakukan olahraga.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Fisik dilakukan di IGD dan dilanjutkan di Ruang Bougenville pada tanggal
22 Agustus 2016
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda Vital :
TD : 193/104 mmHg N: 110 x/m RR: 26 x/m S: 36,70C, BB : 70,4 kg TB: 165 cm
4. Kulit : Warna sawo matang, turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), pucat (-), spidernevi (-),
petechie (-), eritem (-), venektasi (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, luka (-), rambut rontok (-), makula (-), papula (-),
nodula(-)
Conjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), warna kelopak (putih), katarak (- /- )
6. Leher : Peningkatan vena leher/JVP (-), lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), deviasi trakea (-), tortikolis (-)
7. Thoraks : Bentuk normal, simetris, pernafasan thoracoabdominal, retraksi sela iga (-),
sela iga melebar (-), massa (-), kelainan kulit (-), nyeri (-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

4
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternal sinistra
pinggang jantung: ICS III linea parasternal sinistra
batas kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
kiri bawah; ICS VI 5 cm ke arah medial linea midclavicula
sinistra
Kesan : Kardiomegali
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-) Suara
tambahan jantung (-)
Paru :
Inspeksi : bentuk normal, simetris
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan, nyeri tekan (-/-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler ,wheezing (-/-), ronki (+/+) terutama
di basal paru

Tampak anterior paru Tampak posterior paru

Ronki +/+ Ronki +/+

8. Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, warna : sama dengan warna kulit sekitar, venektasi : (-)
Auskultasi: Bising usus (+) normal 10 x/menit, bruit (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-), defance muscular (-), hepar dalam batas normal,
lien dalam batas normal, ginjal dalam batas normal
Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen, pekak hati (+), pekak sisi (+) normal

9. Genital : Terpasang DC
10. Extremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem +/+ +/+

5
Sianosis -/- -/-
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal
5/5 5/5
5/5 5/5
Tremor -/- -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium (Darah Rutin, Ureum, Creatinin)
NO PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
Darah Rutin (WB
1.
EDTA)
1 Lekosit H 25.86 4.50- 11.00
2 Eritrosit L 3,54 4.50-5.30
3 Hemoglobin L 10.5 g/dL 14.0-18.0
4 Hematokrit L 30.7 % 37.0-49.0
5 MCV 86.7 fL 78.0-98.0
6 MCH 29.7 pg 25.0-35.0
7 MCHC 34.2 g/dL 31.0-37.0
8 Trombosit 261 150-450
9 RDW H 17.6% 11-16
10 Eosinofil 0.3 0.0-5.0%
11 Basofil 0.1 0-1
12 Neutrofil H 90.7 42-74
13 Limfosit L 4.9 17-45
14 Monosit 4.0 2.0-8.0
15 LED 1 jam H 35.0 <10
16 LED 2 jam H 60.0 <20
Kimia Klinik
2.
(serum)
1 Ureum H 105.0 10.0-50.0
2 Creatinin H 14 0.60-1.10
2
LFG= 5,747 (ml/mnt/1,73m )

V. DIAGNOSIS
Dispneu e.c Gagal Ginjal Kronik Stadium V dengan diagnosis banding
 Gagal Jantung Kongestif
 Oedem Paru
 Susp. Peumonia
VI. ASSESMENT
1. Ip Tx
a. Medikamentosa
- O2 Nasal Canul 2 Lpm
- Inf. RL mikro drops
- Inj. Furosemide 40 mg/12 jam
- Isosorbid Dinitrat 10 mg (Cedocard) syringe pump kecepatan 3 cc/jam
6
- CaCO3 tab 2x500 mg
- Asam Folat tab 2x400 mcg
- Candesartan tab 1x16 mg
- Nifedipine (Adalat Oros) tab 1x30 mg
- Amlodipine tab 1x10 mg
b. Non Medikamentosa
- Tirah baring
- Pasang DC
- Daftar Hemodialisa
2. Ip Dx
- Laboratorium darah rutin dan kimia darah
- X-Foto Thorax
3. Ip Mx
- Monitoring keadaan umum dan tanda vital
- Monitoring asupan makanan dan batasi minum
4. Ip Ex
- Menjelaskan penyakit yang diderita kepada pasien dan keluarganya
- Menjelaskan kepada keluarga untuk mengawasi makanan dan membatasi minum

VII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad malam

Foto Thorax 23/8/2016

7
Hasil
Tampak perselubungan basal pulmo
Sinus dan diafragma mengabur
Cor CTR >50%
Kesan : Pleuro Pneumonia
Cardiomegali

VIII. FOLLOW UP
Tanggal Subjective Objective Assesment Plan
23/8/2016 Sesak (+)↓, KU/Kes : Gagal Ginjal - O2 Nasal Canul 2
batuk Sakit Kronik Lpm
Pleuropneumonia - Inf. RL mikro drops
berdahak sedang/CM
- Inj. Ceftriaxon 1gr/12
TD: 156/91
(+) warna
jam
mHg, N: 95
kuning, - Inj. Furosemide 40
x/m, S:
bengkak mg/12 jam
0
36,5 C, RR : - Isosorbid Dinitrat 10
(+↓) di
22 x/m mg (Cedocard)
lengan dan
Cor: Kesan
syringe pump
tungkai
Kardiomegali
kecepatan 3 cc/jam
(+), BAK Pulmo:
- CaCO3 tab 2x500 mg
(-), BAB SDV+/+, - Asam Folat tab 2x400
(+) N ronkhi +↓/+↓ mcg
Extremitas - Candesartan tab 1x16
Atas: Oedem
mg
+↓/+↓ - Nifedipine (Adalat
Bawah:
Oros) tab 1x30 mg
Oedem +↓/+↓ - Amlodipine tab 1x10
mg
24/8/2016 Sesak (-), KU/Kes : Gagal Ginjal - Inf. RL mikro drops
- Inj. Ceftriaxon 1gr/12
batuk Sakit Kronik

8
berdahak sedang/CM Pleuropneumonia jam
TD: 167/81 - Inj. Furosemide 40
(+) warna
mHg, N: 105 mg/12 jam
putih,
- Isosorbid Dinitrat 10
x/m, S: 360C,
bengkak
mg (Cedocard)
RR : 20 x/m
(+↓) di
Cor: Kesan syringe pump →stop
lengan dan - CaCO3 tab 2x500 mg
Kardiomegali
- Asam Folat tab 2x400
tungkai Pulmo:
mcg
(+), BAK SDV+/+,
- Candesartan tab 1x16
(-), BAB ronkhi +↓/+↓
mg
Extremitas
(+) N - Nifedipine (Adalat
Atas: Oedem
Oros) tab 1x30 mg
+↓/+↓
- Amlodipine tab 1x10
Bawah:
mg
Oedem +↓/+↓
25/8/2016 Sesak (-), KU/Kes : Gagal Ginjal - Inf. RL mikro drops
Pagi - Inj. Ceftriaxon 1gr/12
batuk (-), Sakit Kronik
Sebelum Pleuropneumonia jam
bengkak ringan/CM
- Inj. Furosemide 40
HD TD: 180/90
(+↓) di
mg/12 jam
(07.30) mHg, N: 98
lengan dan - CaCO3 tab 2x500 mg
x/m, S: 360C, - Asam Folat tab 2x400
tungkai
RR : 20 x/m mcg
(+), BAK
Cor: Kesan - Candesartan tab 1x16
(-), BAB
Kardiomegali mg
(+) N Pulmo: - Nifedipine (Adalat
SDV+/+, Oros) tab 1x30 mg
- Amlodipine tab 1x10
ronkhi +↓/+↓
Extremitas mg
Atas: Oedem
+↓/+↓
Bawah:
Oedem +↓/+↓
Siang Sesak (-), KU/Kes : Gagal Ginjal - BLPL, obat pulang:
Sesudah - Furosemide tab 40
batuk (-), Baik/CM Kronik
HD TD: 155/80 Pleuropneumonia mg 1-0-0
bengkak
(14.00) - CaCO3 tab 2x500 mg
mHg, N: 88
(+↓) di - Asam Folat tab 2x400
9
lengan dan x/m, S: 360C, mcg
- Candesartan tab 1x16
tungkai RR : 20 x/m
Cor: Kesan mg
(+), BAK
- Nifedipine (Adalat
Kardiomegali
(-), BAB
Pulmo: Oros) tab 1x30 mg
(+) N - Amlodipine tab 1x10
SDV+/+,
mg
ronkhi +↓/+↓
- Cefixime tab 2x100
Extremitas
Atas: Oedem mg
+↓/+↓
Bawah:
Oedem +↓/+↓

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
GAGAL GINJAL KRONIK

A. DEFINISI
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai
dengan adanya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah). (2)
The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National
Kidney Foundation (NKF) menyatakan gagal ginjal kronik terjadi apabila berlaku
kerusakan jaringan ginjal atau menurunnya glomerulus filtration rate (GFR) kurang dari
60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih.

B. KRITERIA (2)
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (NKF-KDOQI, 2002)

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.

C. KLASIFIKASI (2)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30 – 59

11
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi


Penyakit Tipe mayor ( contoh )
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik,
diabetes obat, neoplasma)
Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopathi)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

D. ETIOLOGI (3)
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1
dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan dimana
terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan kerusakan pada
organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata.
Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang
jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal

12
kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat
menyebabkan gangguan pada ginjal antara lain :

- Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan


inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit ketiga
tersering penyebab gagal ginjal kronik
- Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis tubulus.
- Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si ibu.
Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran balik urin ke
ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada ginjal.
- Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)
- Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran glandula
prostat pada pria danrefluks ureter.
- Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin, Advil)
untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati analgesik sehingga berakibat
pada kerusakan ginjal.
- Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis.
- Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell, penyalahgunaan
heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan kanker.

E. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko gagal ginjal kronik diantara lain : pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan
riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta kumpulan
populasi yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti African Americans,
Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American Indians. (4)

F. EPIDEMIOLOGI (2)
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat

13
1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara – negara berkembang lainnya,
insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk pertahun.

G. ANATOMI GINJAL(1)
Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang rongga
abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit diatas garis pinggang. Setiap
ginjal diperdarahi oleh arteri renalis dan vena renalis, yang masing – masing masuk dan
keluar ginjal dilekukan medial yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti buncis.
Ginjal mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin
yang kemudian mengalir ke sebuah rongga pengumpul sentral (pelvis renalis) yang
terletak pada bagian dalam sisi medial di pusat (inti) kedua ginjal. Lalu dari situ urin
disalurkan ke dalam ureter, sebuah duktus berdinding otot polos yang keluar dari batas
medial dekat dengan pangkal (bagian proksimal) arteri dan vena renalis. Terdapat dua
ureter, yang menyalurkan urin dari setiap ginjal ke sebuah kandung kemih. Kandung
kemih ( buli – buli) yang menyimpan urin secara temporer, adalah sebuah kantung
berongga yang dapat diregangkan dan volumenya disesuaikan dengan mengubah – ubah
status kontraktil otot polos di dindingnya. Secara berkala, urin dikosongkan dari kandung
kemih keluar tubuh melalui sebuah saluran, uretra. Bagian – bagian sistem kemih diluar
ginjal memiliki fungsi hanya sebagai saluran untuk memindahkan urin keluar tubuh.
Setelah terbentuk di ginjal, komposisi dan volume urin tidak berubah pada saat urin
mengalir ke hilir melintasi sisi sistem kemih.
Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik
yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Susunan
nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus : daerah sebelah luar yang tampak
granuler (korteks ginjal) dan daerah bagian dalam yang berupa segitiga – segitiga
bergaris – garis, piramida ginjal, yang secara kolektif disebut medula ginjal. Setiap nefron
terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang keduanya secara struktural
dan fungsional berkaitan erat.
Komponen vaskuler dari nefron diantara lain :
- Arteriol aferen

14
merupakan bagian dari arteri renalis yang sudah terbagi – bagi menjadi pembuluh
– pembuluh halus dan berfungsi menyalurkan darah ke kapiler glomerulus
- Glomerulus
suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut
dari darah yang melewatinya
- Arteriol eferen
Tempat keluarnya darah yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus
meninggalkan glomerulus dan merupakan satu – satunya arteriol di dalam tubuh
yang mendapat darah dari kapiler
- Kapiler peritubulus
Merupakan arteriol eferen yang terbagi – bagi menjadi serangkaian kapiler yang
kemudian membentuk jalinan mengelilingi sistem tubulus untuk memperdarahi
jaringan ginjal dan berperan dalam pertukaran cairan di lumen tubulus. Kapiler –
kapiler peritubulus menyatu membentuk venula yang akhirnya mengalir ke vena
renalis, temoat darah meninggalkan ginjal
Komponen tubulus dari setiap nefron adalah saluran berrongga berisis cairan yang
terbentuk oleh satu lapisan sel epitel, di antara lain :
- Kapsula Bowman
Suatu invaginasi berdinding rapat yang melingkupi glomerulus untuk
mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus
- Tubulus proksimal
Seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku – liku) atau
berbelit si sepanjang perjalanannya. Tubulus proksimal menerima cairan yang
difiltrasi dari kapsula bowman
- Lengkung henle
Lengkung tajam atau berbentuk U atau yang terbenam ke dalam medula. Pars
desendens lengkung henle terbenam dari korteks ke dalam medula, pars assendens
berjalan kembali ke atas ke dalam korteks. Pars assendens kembali ke daerah
glomerulus dari nefronnya sendiri, tempat saluran tersebut melewati garpu yang
dibentuk oleh arteriol aferen dan arteriol eferen. Dititk ini sel – sel tubulus dan sel

15
– sel vaskuler mengalami spesialisasi membentuk aparatus jukstaglomerulus yang
merupakan suatu struktur yang berperan penting dalam mengatur fungsi ginjal.
- Tubulus distal
Seluruhnya terletak di korteks. Tubulus distal menerima cairan dari lengkung
henle dan mengalirkan ke dalam duktus atau tubulus pengumpul
- Duktus atau tubulus pengumpul
Suatu duktus pengumpul yang menerima cairan dari beberapa nefron yang
berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk
mengosongkan cairan yang kini telah berubah menjadi urin ke dalam pelvis ginjal
Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron jukstamedula yang
dibedakan berdasarkan lokasi dan panjang sebagian strukturnya. Nefron korteks
merupakan jenis nefron yang paling banyak dijumpai dan lengkung tajam dari
nefron korteks hanya sedikit terbenam ke dalam medula. Sebaliknya, nefron
jukstamedula terletak di lapisan dalam korteks di dekat medula dan lengkungnya
terbenam jauh ke dalam medula. Selain itu, kapiler peritubulus nefron
jukstamedula membentuk lengkung vaskuler tajam yang dikenal sebagai vasa
rekta, yang berjalan berdampingan erat dengan lengkung henle. Susuna paralel
dan karakteristik permeabilitas dan transportasi lengkung henle dan vasa rekta
berperan penting dalam kemampuan ginjal menghasilkan urin dalam berbagai
konsentrasi tergantung kebutuhan tubuh.

16
H. FISIOLOGI GINJAL(1)
Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan
ekskretorik yaitu :
(1) filtrasi glomerulus
Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam
kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus yaitu
dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai membran
basal dan lapisan dalam kapsula bowman.
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memiliki
lubang – lubang dengan banyak pori – pori besar atau fenestra, yang membuatnya
seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler di
tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di antara
glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural,
sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil. Walaupun protein
plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati pori – pori
diatas, pori – pori tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan
protein plasma terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan

17
menolak albumin dan pritein plasma lain, karena yang terakhir juga bermuatan
negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya tidak dapat di filtrasi
dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula
bowman.
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang
mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan memanjang
seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit
antara tonjolan yang berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi
cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula
bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan darah
kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsula
bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang ditimbulkan oleh
darah di dalam kapiler glomerulus. Tekana darah glomerulus yang meningkat ini
mendorong cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di
sepanjang kapiler glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi
glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang
melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan filtrasi, penurunan
konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR. Sedangkan
tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat mengurangi
laju filtrasi. Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh
otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.
Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri, karena
tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam kapiler glomerulus.
Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti oleh peningkatan GFR. Untuk
menyesuaikan aliran darah glomerulus agar tetap konstan, maka ginjal melakukannya
dengan mengubah kaliber arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah
dapat disesuaikan. Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri,
maka GFR akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang akan
menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.

18
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah
dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf
simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi
perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus difiltrasi
dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat glomerulus setiap
hari untuk GFR rata – rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per hari dengan
GFR 115 ml/menit untuk wanita.

(2) reabsorpsi tubulus


Merupakan proses perpindahan selektif zat – zat dari bagian dalam tubulus
(lumen tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena kemudian
ke jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini meupakan transport aktif dan pasif
karena sel – sel tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa
dan asam amino dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui
transport aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan
di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif di
sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars descendens. H2O, Cl-, dan urea
direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif. Berikut ini
merupakan zat – zat yang direabsorpsi di ginjal :
a. Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses
reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena
molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus
membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi.
b. Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 – 99% akan
direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi di
tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di lengkung henle dan 8% di tubulus
distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang direabsorpsi sebagian ada

19
yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan penting untuk
reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.
c. Reabsorpsi Air
Air secar apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus. Dari
H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa
henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus
distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.
d. Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif
mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang bermuatan
positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan
reabsorpsi Na
e. Reabsorpsi Kalium
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi
secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40% kalium akan
dirabsorpsi di ansa henle pars assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di
duktus pengumpul
f. Reabsorpsi Urea
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan
difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi sebagian
di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses sekresi. Sebagian
ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal karena tubulus
kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat mencapai duktus
pengumpul urea akan mulai direabsorpsi kembali.
g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium
Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan
kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 40%
direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa
henle pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan oleh homon
paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan direabsorpsi sebanyak 80% di

20
tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan dieksresikan ke dalam
urin.
(3) sekresi tubulus
Proses perpindahan selektif zat – zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam
lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan ion – ion organik.
Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di sepanjang tubulus, ion H +
akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai keseimbangan asam
basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium
yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan kontrol sekresi ion K+ tersebut
diatur oleh hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga proses tersebut adalah
terjadinya eksresi urin, dimana semua konstituen plasma yang mencapai tubulus,
yaitu yang difiltrasi atau disekresi tetapi tidak direabsorpsi, akan tetap berada di
dalam tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk eksresikan sebagai urin.

Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukan untuk
mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk Na +, Cl-, K+,
HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO4= dan H+
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam pengaturan
jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran ginjal
sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O

21
4. Membantu memelihara keseimbangan asam – basa tubuh, dengan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin
5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh, terutama
melalui pengaturan keseimbangan H2O
6. Mengeksresikan (eliminasi) produk – produk sisa (buangan) dari metabolisme tubuh.
Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat – zat sisa
tersebut bersifat toksik, terutama bagi otak
7. Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah pada makanan,
pestisida, dan bahan – bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke
dalam tubuh
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang pembentukan sel
darah merah
9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang
penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya

I. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa
setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron
yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran
setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya,
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal
Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan

22
hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. (2)
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : (5)
- Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi
eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan
anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan
diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK dapat
menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering
menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan
mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan
normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek
inhibisi eritropoiesis
- Sesak nafas
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan
penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu
oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH sehingga menyebabkan retensi
NaCl dan air  volume ekstrasel meningkat (hipervolemia)  volume cairan
berlebihan  ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer  LVH 
peningkatan tekanan atrium kiri  peningkatan tekanan vena pulmonalis 
peningkatan tekanan di kapiler paru  edema paru  sesak nafas

- Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar
bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal
ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah
nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin.
Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH
23
darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik
dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan
lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan
kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon
dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan
penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu
oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh
ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

- Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah
(hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan
kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang dan
nyeri
- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon peptida
natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila
fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron,
natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang
berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan
hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare
dan muntah.
- Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga fosfat
banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat

24
akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut.
Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-
turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
- Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang
(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam
plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun
terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak
berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal,
eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di
plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi
Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH
tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar
paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.
Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi
renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di
ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan dalam
menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini merangsang
absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan kalsitriol,
maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini memperberat
keadaan hipokalsemia
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat,
maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga
mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion
H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan
25
sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia.
Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot
jantung, rangka dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan
hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan
mental.
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan ginjal
pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria glomerular
berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa
mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu
terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein berukuran besar seperti
albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada
keadaan proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang
disebu dengan sindrom nefrotik.
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia pada
GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat terjadi
akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah
dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan
mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari
10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik.
Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi
dan menyebabkan koma uremikum.

J. DIAGNOSIS

GEJALA KLINIS
26
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari
pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama
kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada
stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan
berbagai organ seperti :
- Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik
- Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
- Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi
menurun, insomnia, gelisah
- Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
- Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai
terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal. (2)


GAMBARAN LABORATORIUM(2)
27
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria


GAMBARAN RADIOLOGIS(2)
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi


BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI GINJAL(2)
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang sudah
diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik, hipertensi
yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan
obesitas.

K. KOMPLIKASI(2)

28
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik
- Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
- Kelainan hematologi (anemia)
- Osteodistrofi renal
- Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)
- Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

L. PENATALAKSANAAN(2)
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :
o Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di
pecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
dieksresikan melalui ginjal selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya juga
dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein
pada penderita gagal ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan
substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan mengakibatkan sindrom
uremia. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
29
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang
sama dan untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LGF ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25 – 60 0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk < 10 g
> 0,35 gr/kg/hr nilai biologi
tinggi
5 -25 0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk < 10 g
> 0,35 gr/kg/hr protein nilai
biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g asam amino
esensial atau asam keton
<60(sind.nefrotik 0,8/kg/hari (+1 gr protein/ g < 9 g
) proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino
esensial atau asam keton

o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk memperkecil
resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerular dan hipertrofi glomerulus
4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
5) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
- Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi
serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity,
30
feritin serum), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11 – 12 g/dl.
- Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
i. Mengatasi hiperfosfatemia
 Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari
 Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium
hidroksida, garam magnesium. Diberikan secara oral untuk
menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3)
dan calcium acetate
 Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta
reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer
hidrokhlorida.
ii. Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal
dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat
meningkatkan absorpsi fosfat dan kaliun di saluran cerna sehingga
mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan
yang disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar
paratiroid.
iii. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan
kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang
masuk dianjurkan 500 – 800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit
yang harus diawasi asuapannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu,
pemberian obat – obat yang mengandung kalium dan makanan

31
yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi.
Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan
tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
6) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15 ml/mnt.
Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

M. PROGNOSIS
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk,
kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,
bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya
GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan
gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat. (3)

BAB III
PEMBAHASAN
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah). Pada kasus di atas diagnosis gagal ginjal kronik
didapat dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
Terjadinya sesak nafas dan bengkak pada extremitas karena terjadinya pelepasan renin
yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi
angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.

32
Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH sehingga menyebabkan retensi NaCl
dan air yang mengakibatkan volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) kemudian terjadi
volume cairan berlebihan.
Terjadinya hipertensi pada pasien di atas 193/10 mmHg disebabkan karena ada kerusakan
pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi
iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting
enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek
vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia pada GGK
adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam
darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang
mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi
glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat.
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan. Pada awalnya
tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan
laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi
peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita
menunjukkan gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti kelainan
saluran cerna (nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik), kelainan kulit (urea frost
dan gatal di kulit), kelainan neuromuskular (tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah), kelainan kardiovaskular (hipertensi, sesak nafas, nyeri
dada, edema), kangguan kelamin (libido menurun, nokturia, oligouria).
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap penyakit
dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat perburukan fungsi
ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular (pemberian obat seperti
candesartan, nifedipine, amlodipine pada kasus di atas), pencegahan dan terapi terhadap penyakit
komplikasi (pemberian asam folat untuk mencegah terjadinya anemia dan pemberian CaCo3
merupakan obat yang penting dikonsumsi untuk mengikat kadar phospor dalam makanan).
Terapi pengganti ginjal berupa dialisis pada kasus di atas merupakan terapi pilihan untuk Gagal
Ginjal Kronik Stadium V selain transplantasi ginjal.

33
Pleuropneumonia adalah proses peradangan pada pleura dan jaringan paru, ditandai
opasitas di mana diafragma menjadi kabur serta gambaran kalsifikasi dari pleura atau penebalan
pleura. Pada kasus di atas penyakit ini merupakan hasil diagnosis radiologis dan keluhan seperti
batuk, demam, sesak tidak terlalu dirasakan. Pemberian Ceftriaxon sebagai antibiotik golongan
cefalosporin merupakan pilihan untuk pengobatan pneumonia.

34
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503.


2. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.

Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040.


3. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UPH.
4. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and

stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.


5. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.

Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 – 115.


6. Corwin, Elizabeth. 2006. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
7. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FK UI

35

Anda mungkin juga menyukai