Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

Efektivasi Metrformin pada Pasien Sirosis Hepatis dengan


Diabetes Mellitus

Nama : Satrio Fadlullah


NIM : 11-2015-091
Pembimbing:
dr. M. Julwan Pribadi, Sp. PD-KGEH

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


RSPAU. dr. Esnawan Antariksa
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Periode 2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat
Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Efektivasi Metrformin pada Pasien
Sirosis Hepatis dengan Diabetes Mellitus dengan tepat waktu.
Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang Efektivasi
Metrformin pada Pasien Sirosis Hepatis dengan Diabetes Mellitus dan merupakan salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. M. Julwan Pribadi, Sp.PD-KGEH sebagai
pembimbing telah memberikan saran, bimbingan dan dukungan dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan referat ini. Semoga
karya ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Jakarta, 26 Mei 2016

Penulis

BAB 1
2

PENDAHULUAN
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga perut di
bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat badan orang dewasa normal. Pada
kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah.1
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati
yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul - nodul regenerasi sel hati, yang tidak
berkaitan dengan vaskulatur normal. Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik dan
pada kasus lebih lanjut menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap.2
Berdasarkan data dari WHO tahun 2004 sirosis menempati urutan kedelapan belas
penyebab kematian dengan jumlah kematian 800.000 kasus dengan prevalensi 1,3%. Di Amerika
Serikat pada tahun 2007, sirosis hepatis menyebabkan 29.165 kematian dengan angka kematian
9,7 per 100.000 orang.3 Sedangkan di Eropa sirosis hepatis masih merupakan beban kesehatan
utama. Sekitar 0,1% dari populasi Eropa menderita dari sirosis. Tingkat kejadian sekitar 14-26
per 100.000 penduduk dan sekitar 170.000 orang meninggal akibat komplikasi sirosis per tahun.4
Pravelensi sirosis hepatis di Indonesia belum diketahui secara pasti, hanya berdasarkan
pada penelitian-penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pemerintah. Angka kematian
akibat sirosis hati masih tergolong tinggi di Indonesia. Berdasarkan profil kesehatan DIY tahun
2008, sirosis hati masuk dalam sepuluh besar penyebab kematian tertinggi di provinsi DIY
dengan prevalensi 1,87% pada urutan kesembilan.5
Hati memegang peranan penting dalam metabolisme glukosa dimana hati dapat
menyimpan glikogen dan memproduksi glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis.
Pada keadaan fisiologis, hepatosit merupakan tempat utama metabolisme glukosa hati, namun
metabolism insulin dilakukan oleh sel hati non parenkimal yaitu sel Kupffer, sel endotelial
sinusoidal dan hepatic stellate cells (HSC) yang berkontribusi terhadap degradasi insulin dan
terlibat dalam modulasi metabolisme glukosa hepatosit selama proses inflamasi via pengeluaran
sitokin. Insulin merupakan mediator utama pada hemostasis glukosa dan setiap perubahan
aksinya akan menyebabkan gangguan metabolisme glukosa.6
Pada penyakit hati kronis, seperti Sirosis hepatis dilaporkan terjadi gangguan sensitifitas
insulin yang diikuti dengan perubahan metabolisme glukosa seperti tingginya prevalensi
3

resistensi insulin dan intoleransi glukosa. Hampir semua pasien sirosis hepatis mengalami
resistensi insulin,dimana 60-80% adalah intoleransi glukosa, dan kira-kira 20% berkembang
menjadi Diabetes Melitus.
Hubungan antara penyakit hati kronis dengan gangguan metabolisme glukosa telah
diketahui dengan nama hepatogenous diabetes. Gangguan metabolisme glukosa menjadi lebih
buruk sejalan dengan progresi hepatitis kronis menjadi SH. Patogenesa terjadinya DM yang
terjadi pada pasien SH (hepatogenous diabetes) sangat kompleks dan belum sepenuhnya
dimengerti, tetapi diduga berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin yang ditandai dengan
hiperglikemia dan hiperinsulinemia.6
Dalam penatalaksanaan sirosis hapatis dengan diabetes mellitus dapat dengan berbagai
cara. Beberapa penelitian telah mengevaluasi terapi yang efektif untuk pada pasien sirosis
hepatis dengan diabetes mellitus dan dampak dari pengobatan DM pada perjalanan klinis
penyakit hati. Pengobatan pasien sirosis hati dengan diabetes mellitus memiliki karakteristik
tertentu (1) sekitar setengah pasien memiliki kekurangan gizi; (2) ketika DM klinis didiagnosis,
pasien telah maju penyakit hati; (3) sebagian besar obat hipoglikemik oral dimetabolisme di hati;
(4) pasien sering memiliki hipoglikemia. 6
Metformin, merupakan obat hipoglikemik oral yang umum diresepkan, memiliki efek
perlindungan terhadap perkembangan kanker dan kematian kanker pada pasien diabetes tipe 2.
penggunaan metformin dikaitkan dengan penurunan risiko karsinoma hepatoseluler (HCC) pada
perkembangan pasien diabetes dengan penyakit hati kronis. Metformin juga terkait dengan
penurunan kejadian HCC dan kematian terkait hati pada pasien dengan diabetes tipe 2 dengan
sirosis hepatis.7
Oleh karena itu muncul pertanyaan klinis yang diformulasikan pada pembahasan ini
Bagaimana Efektivasi Metrformin pada Pasien Sirosis Hepatis dengan Diabetes Mellitus?

BAB 2
4

TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Hepar
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga perut
di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat badan orang dewasa normal.
Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah. Hati terbagi
menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme. Lobus
kanan hati lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus
kanan atas, lobus caudatus, dan lobus quadratus.
Hati memiliki fungsi

untuk metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat.

Bergantung kepada kebutuhan tubuh, ketiganya dapat saling dibentuk. Untuk tempat
penyimpanan berbagai zat seperti mineral (Cu, Fe) serta vitamin yang lar =ut dalam lemak
(vitamin A,D,E, dan K), glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan dari
tubuh (contohnya : pestisida DDT). Untuk detoksifikasi dimana hati melakukan inaktivasi
hormon dan detoksifikasi toksin dan obat. Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit,
dan leukosit yang sudah tua atau rusak. Untuk sekresi, dimana hati memproduksi empedu
yang berperan dalam emulsifikasi dan absorbsi lemak.

A.

Pengertian Sirosis Hepatis


Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung secara progresif, ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative.8
Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis pada hepar dengan inflamasi dan
fibrosis hepar yang mengakibatkan distorsi struktur hepar dan hilangnya sebagian besar
fungsi hepar. Perubahan besar yang terjadi karena sirosis adalah kematian sel-sel hepar,
terbentuknya sel-sel fibrotik (sel mast), regenerasi sel dan jaringan parut yang
menggantikan sel-sel normal. Perubahan ini menyebabkan hepar kehilangan fungsi dan
distorsi strukturnya.9

Gambar 2.1 Liver Healthy and Liver Cirrhosis


B.

Etiologi Sirosis Hepatis8,9


Sirosis memiliki berbagai penyebab. Banyak orang dengan sirosis memiliki lebih
dari satu penyebab kerusakan hati. Berikut ini berbagai macam penyebab dari sirosis
hepatis

Hepatitis C kronis
Hepatitis C adalah akibat infeksi virus yang menyebabkan peradangan, atau
pembengkakan, dan kerusakan hati. Virus hepatitis C menyebar melalui kontak
dengan darah yang terinfeksi, seperti dari kecelakaan jarum suntik, penggunaan
narkoba suntikan, atau menerima transfusi darah sebelum tahun 1992. Pada
umum, hepatitis C dapat ditularkan melalui kontak seksual dengan orang yang
terinfeksi atau pada saat melahirkan dari ibu yang terinfeksi kepada bayinya.
Hepatitis C sering menjadi kronis, dengan persisten penyakit jangka panjang dari
infeksi virus. Hepatitis C kronis menyebabkan kerusakan pada hati yang, selama
bertahun-tahun, dapat menyebabkan sirosis.

Alkohol.
Alkoholisme adalah penyebab paling umum kedua sirosis di Amerika
Serikat. Kebanyakan orang yang mengonsumsi alkohol tidak menderita kerusakan
hati. Namun, penggunaan alkohol berat selama beberapa tahun membuat
seseorang lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit hati yang berhubungan
6

dengan alkohol. Jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk merusak hati bervariasi
dari orang ke orang. Penelitian menunjukkan bahwa minum dua atau lebih sedikit
minuman sehari untuk wanita dan tiga atau lebih sedikit minuman per hari untuk
laki-laki mungkin tidak melukai hati. Minum lebih dari jumlah tersebut
menyebabkan penumpukan lemak dan peradangan pada hati, yang lebih dari 10
sampai 12 tahun dapat menyebabkan sirosis alkoholik. Gambaran klinis sirosis
alkoholik bervariasi. Gejala dapat menyerupai hepatitis alkoholik yaitu
perdarahan gastrointestinal, ensefalopati hepatik, atau hipertensi portal [mis,
tekanan darah tinggi dalam sistem vena porta yang disebabkan oleh terhalangnya
aliran darah melalui hati]. Prognosis tergantung pada pantang dari alkohol dan
tingkat komplikasi, konsumsi Ethanol sudah dikembangkan menciptakan spesifik
dan severs kelainan gizi.

Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) and nonalcoholic steatohepatitis


(NASH).
Dalam NAFLD, lemak menumpuk di hati; Namun, penumpukan lemak tidak
karena penggunaan alkohol. Ketika lemak menyertai kerusakan peradangan dan
sel hati, kondisi ini disebut steatohepatitis alkohol, atau NASH, dengan "steato"
yang berarti lemak, dan "hepatitis" berarti peradangan hati. Peradangan dan
kerusakan dapat menyebabkan fibrosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
sirosis.
Lemak berlebih di hati memiliki banyak penyebab dan lebih sering terjadi pada:
o Kelebihan berat badan atau obesitas.
o Memiliki diabetes-kondisi yang ditandai oleh gula darah tinggi, juga
disebut gula darah tinggi.
o Memiliki kolesterol darah tinggi dan trigliserida, yang disebut
hiperlipidemia.
o Memiliki tekanan darah tinggi.
7

o Memiliki sindrom metabolik-kelompok sifat dan kondisi medis terkait


dengan kelebihan berat badan dan obesitas yang membuat orang lebih
mungkin untuk mengembangkan kedua penyakit kardiovaskular dan
diabetes tipe 2. Sindrom metabolik didefinisikan sebagai ukuran pinggang
besar, trigliserida tinggi dalam darah, kadar normal kolesterol dalam
darah, tekanan darah tinggi, dan lebih tinggi dari kadar glukosa darah
normal.
NASH dapat mewakili komponen hati dari sindrom metabolik. NASH sekarang
peringkat sebagai penyebab paling umum ketiga sirosis di Amerika Serikat.

Hepatitis B dan Hepatitis D


Virus hepatitis B mungkin adalah penyebab paling umum dari sirosis seluruh
dunia, tetapi kurang umum di Amerika Serikat dan dunia Barat. Hepatitis B,
seperti hepatitis C, menyebabkan peradangan hati dan luka yang selama beberapa
dekade dapat menyebabkan sirosis. Hepatitis D adalah virus lain yang
menginfeksi hati, tetapi hanya pada orang yang sudah memiliki hepatitis B.

Autoimmune hepatitis
Penyakit ini tampaknya disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh menyerang hati
dan menyebabkan peradangan, kerusakan, dan akhirnya jaringan parut dan sirosis.
Dalam bentuk hepatitis, sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel hati dan
menyebabkan peradangan, kerusakan, dan akhirnya sirosis. Biasanya, sistem
kekebalan tubuh melindungi orang dari infeksi dengan mengidentifikasi dan
menghancurkan bakteri, virus, dan zat-zat asing berbahaya lainnya. Pada penyakit
autoimun, sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel tubuh sendiri dan organ.
Para peneliti percaya genetika, atau gen yang diwariskan, mungkin membuat
beberapa orang lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit autoimun.
Setidaknya 70 % dari mereka dengan hepatitis autoimun adalah perempuan.4

Blocked bile ducts


8

Ketika saluran yang membawa empedu dari hati diblokir, empedu punggung dan
jaringan kerusakan hati. Pada bayi, saluran empedu diblokir yang paling sering
disebabkan oleh atresia bilier, penyakit di mana saluran empedu tidak ada atau
terluka. Pada orang dewasa, penyebab paling umum adalah primary biliary
cirrhosis, penyakit di mana saluran menjadi meradang, diblokir, dan bekas luka.
Sekunder sirosis bilier dapat terjadi setelah operasi kandung empedu jika saluran
secara tidak sengaja diikat atau cedera.

Obat-obatan, racun, dan infeksi


Reaksi parah obat resep, kontak yang terlalu lama racun lingkungan,
schistosomiasis infeksi parasit, dan serangan berulang dari gagal jantung dengan
kongesti hati semua dapat menyebabkan sirosis.

C.

Manifestasi Klinis
Banyak orang dengan sirosis tidak memiliki gejala pada tahap awal penyakit.
Namun, seperti jaringan parut menggantikan sel-sel sehat, fungsi hati mulai gagal dan
seseorang mungkin mengalami satu atau lebih dari gejala berikut: kelelahan, atau merasa
lelah, kelemahan, gatal, kehilangan selera makan, penurunan berat badan, mual, kembung
perut dari ascites-penumpukan cairan di perut, edema, penumpukan cairan di kaki,
pergelangan kaki, jaundice (suatu kondisi yang menyebabkan kulit dan putih mata
menjadi kuning).4,16
Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat dua tipe gangguan
fisiologis: gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal hepatoselular adalah
ikterus, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema palmaris, angioma spidernevi,
ensefalopati hepatik. Gambaran klinis yang terutama berkaitan dengan hipertensi portal
adalah splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta manifestasi sirkulasi kolateral
lainnya. Asites dapat dianggap sebagai manifestasi kegagalan hepatoselular dan hipertensi
portal.
a) Manifestasi kegagalan hepatoselular10

Menurunnya ekskresi bilirubin menyebabkan hiperbilirubin dalam tubuh, sehingga


menyebabkan ikterus dan jaundice. Ikterus intermiten merupakan gambaran khas
sirosis biliaris dan terjadi jika timbul peradangan aktif hati dan saluran empedu
(kolangitis).
Peningkatan rasio estradiol/testosteron menyebabkan timbulnya angioma spidernevi
yaitu suatu lesi vaskuler yang dikelilingi beberapa vena kecil sering ditemukan di
bahu, muka, dan lengan atas. Perubahan metabolisme estrogen juga menimbulkan
eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan.
Ginekomastia berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae laki-laki,
kemungkinan akibat peningkatan androstenedion.
Gangguan hematologi yang sering terjadi adalah perdarahan, anemia, leukopenia, dan
trombositopenia. Penderita sering mengalami perdarahan gusi, hidung, menstruasi
berat dan mudah memar. Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya faktor pembekuan
darah. Anemia, leukopenia, trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme.
Limpa tidak hanya membesar tetapi juga aktif menghancurkan sel-sel darah dari
sirkulasi sehingga menimbulkan anemia dengan defisiensi folat, vitamin B12 dan besi.
Asites merupakan penimbunan cairan encer intraperitoneal yang mengandung sedikit
protein. Hal ini dapat dikaji melalui shifting dullness atau gelombang cairan. Faktor
utama terjadinya asites ialah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus
(hipertensi portal) dan penurunan tekanan osmotik koloid akibat hipoalbuminemia.
Edema terjadi ketika konsentrasi albumin plasma menurun. Produksi aldosteron yang
berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
b) Manifestasi hipertensi portal10
Akibat dari hati yang sirotik, darah dari organ-organ digestif dalam vena porta yang
dibawa ke hati tidak dapat melintas sehingga aliran darah tersebut akan kembali ke
sistem portal yaitu dalam limpa dan traktus gastrointestinal. Adanya peningkatan
resistensi terhadap aliran darah melalui hati akan menyebabkan hipertensi portal.
Hipertensi portal didefiniskan sebagai peningkatan tekanan vena porta yang menetap

10

di atas nilai normal yaitu 6-12 cmH2O. Pembebanan berlebihan pada system portal ini
merangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises).
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotic juga
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrointestinal
dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh darah portal ke dalam pembuluh darah
dengan tekanan yang lebih rendah. Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis
dan hipertensi portal terdapat pada esofagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran
ini ke vena kava menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esofagus). Sirkulasi
kolateral juga melibatkan vena superfisial dinding abdomen dan timbulnya sirkulasi
ini mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilikus (kaput medusa). Sistem vena
rektal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan
dapat menyebabkan berkembangnya hemoroid interna.

D.

Klasifikasi Sirosis Hepatis10,11


a. Sirosis Laennec
Sirosis Laennec disebabkan oleh alkoholisme kronis. Perubahan pertama pada hati
yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara bertahap di dalam sel-sel
hati (infiltrasi lemak) dan alcohol menimbulkan efek toksik langsung terhadap hati.
Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolik yang
mencakup pembentukan trigliserida secara berlebihan, menurunnya pengeluaran
trigliserida dari hati dan menurunnya oksidasi asam lemak.
Sirosis alkohol memiliki tiga stadium:
a) Perlemakan hati alkoholik
Stadium pertama dari sirosis alkohol yang relatif jinak, ditandai oleh penimbunan
trigliserida di hepatosit dan terjadi pada 90% pecandu alkohol kronis (Corwin,
2009). Alkohol dapat menyebabkan penimbunan trigliserida di hati yang dapat
meluas hingga mengenai lobulus hati. Hati menjadi besar, lunak, berminyak dan
berwarna kuning.
11

b) Hepatitis alkoholik
Stadium kedua sirosis alkohol dan diperkirakan diderita oleh 20-40% pecandu
alkohol kronis. Kerusakan hepatosit mungkin disebabkan oleh toksisitas produk
akhir metabolism alkohol, terutama asetaldehida dan ion hidrogen. Nekrosis sel
hati (dalam bentik degenerasi ballooning dan apoptosis) di daerah sentrilobiler
dan juga terdapat pembentukan badan Mallory (agrerat eosinofilik intraselular
flamen intermediet), reaksi neutrofil terhadap hepatosit yang bergenerasi,
inflamasi porta, dan fibrosis (sinusoidal, perisentral, periportal).
c) Sirosis Alkoholik
Pada stadium ini, sel hati yang mati diganti oleh jaringan parut. Pita-pita fibrosa
terbentuk dari aktivasi respon peradangan yang kronis dan mengelilingi serta
melilit di antara hepatosit yang masih ada. Peradangan kronis menyebabkan
timbulnya pembengkakan dan edema interstisium yang membuat kolapsnya
pembuluh darah kecil dan meningkatkan resistensi terhadap aliran darah yang
melalui hati yang menyebabkan hipertensi portal dan asites. Hati mengalami
transformasi dari hati yang berlemak (fatty liver) dan membesar menjadi hati yang
tidak berlemak (non fatty), mengecil dan berwarna cokelat. Sirosis Laennec
ditandai dengan lembaran-lembaran jaringan ikat yang tebal terbentuk pada tepian
lobulus, membagi parenkim menjadi nodul - nodul halus. Nodul ini dapat
membesar akibat aktivitas regenerasi sebagai upaya hati mengganti sel yang
rusak. Pada stadium akhir sirosis, hati akan menciut, keras dan hampir tidak
memiliki parenkim normal yang menyebabkan terjadinya hipertensi portal dan
gagal hati. Penderita sirosis Laennec lebih beresiko menderita karsinoma sel hati
primer (hepatoselular).

b. Sirosis Pasca nekrotik

12

Sirosis pasca nekrotik terjadi setelah nekrosis berbercak pada jaringan hati, sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya. Hepatosit dikelilingi
dan dipisahkan oleh jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati dan di selingi
dengan parenkim hati normal, biasanya mengkerut dan berbentuk tidak teratur dan
banyak nodul.
c. Sirosis biliaris
Penyebab tersering sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris pasca hepatik. Statis
empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati dan kerusakan selsel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus, hati membesar, keras,
bergranula halus dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal dan
utama dari sindrom ini. Terdapat dua jenis sirosis biliaris: primer (statis cairan
empedu pada duktus intrahepatikum dan gangguan autoimun) dan sekunder
(obstruksi duktus empedu di ulu hati).
E.

Komplikasi
a. Varises Esofagus
Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat
pada esofagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena kava
menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esofagus). Varises ini terjadi pada
sekitar 70% penderita sirosis lanjut. Perdarahan ini sering menyebabkan kematian.
Perdarahan yang terjadi dapat berupa hematemesis (muntah yang berupa darah
merah) dan melena (warna feces/kotoran yang hitam). Manifestasi perdarahan yang
paling sering terjadi pada pasien sirosis hati ialah melena dan penyebab terjadinya
perdarahan yang paling sering ialah ruptur varises esofagus.17
b. Peritonitis bacterial spontan
Cairan yang mengandung air dan garam yang tertahan di dalam rongga abdomen
yang disebut dengan asites yang merupakan tempat sempurna untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri. Secara normal, rongga abdomen juga mengandung
sejumlah cairan kecil yang berfungsi untuk melawan bakteri dan infeksi dengan baik.
Namun pada penyakit sirosis hepatis, rongga abdomen tidak mampu lagi untuk
melawan infeksi secara normal. Maka timbullah infeksi dari cairan asites oleh satu
13

jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intraabdominal. Biasanya pasien tanpa
gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.
c. Sindrom hepatorenal
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang mengakibatkan
penurunan filtrasi glomerulus. Pada sindrom hepatorenal terjadi gangguan fungsi
ginjal akut berupa oliguria, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan
organik ginjal.9,18
d. Hiponatremia
Hiponatremia adalah umum pada sirosis. Hal ini sebagian besar terjadi pada stadium
lanjut dari penyakit dan berhubungan dengan komplikasi dan kematian meningkat.
Baik hipovolemik atau, lebih umum, hiponatremia hipervolemi dapat dilihat pada
sirosis. Gangguan ginjal natrium penanganan karena hipoperfusi ginjal dan
meningkatkan sekresi arginin-vasopresin sekunder untuk mengurangi volemia efektif
karena vasodilatasi arteri perifer merupakan mekanisme utama yang menuju ke
dilutional hiponatremia dalam pengaturan ini.18 Pasien dengan sirosis biasanya
berkembang perlahan-lahan maju hiponatremia. Dalam konteks klinis yang berbeda,
hal ini terkait dengan manifestasi neurologis karena meningkatnya kadar air otak, di
mana intensitas sering diperbesar oleh hiperamonemia bersamaan menyebabkan
ensefalopati. Hiponatremia berat yang membutuhkan infus saline hipertonik langka di
sirosis. Pengelolaan hiponatremia tanpa gejala atau gejala ringan terutama bergantung
pada identifikasi dan pengobatan faktor pencetus. Namun, resolusi berkelanjutan
hiponatremia seringkali sulit untuk dicapai. V2 blokade reseptor oleh Vaptans tentu
efektif, namun keamanan jangka panjang mereka, terutama bila dikaitkan dengan
diuretik diberikan untuk mengontrol ascites, belum ditetapkan belum. Seperti dalam
kondisi lain, koreksi yang cepat dari hiponatremia lama dapat menyebabkan
kerusakan otak ireversibel. Pengaturan transplantasi hati merupakan kondisi yang
berisiko tinggi untuk terjadinya komplikasi tersebut.19
e. Ensefalopati hepatikum
Intoksikasi otak oleh produk pemecahan metabolisme protein oleh kerja bakteri
dalam usus. Hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena terdapat penyakit pada
14

sel hati. NH3 diubah menjadi urea oleh hati, yang merupakan salah satu zat yang
bersifat toksik dan dapat mengganggu metabolisme otak.9
f. Karsinoma hepatoselular
Tumor hati primer yang berasal dari jaringan hati itu sendiri. Sirosis hati merupakan
salah satu faktor resiko terjadinya karsinoma hepatoselular. Gejala yang ditemui
adalah rasa lemah, tidak nafsu makan, berat badan menurun drastis, demam, perut
terasa penuh, ada massa dan nyeri di kuadran kanan atas abdomen, asites, edema
ekstremitas, jaundice, urin berwarna seperti teh dan melena.9
g. Asites
Asites berkaitan dengan ketahanan hidup jangka panjang yang rendah (5 year survival
rate 30% - 40%), peningkatan risiko infeksi dan gagal ginjal sehingga semua pasien
dengan asites sebaiknya dievaluasi untuk transplantasi. Sekitar 50% pasien dengan
sirosis hati akan mengalami asites dalam waktu 10 tahun dan meninggal dalam 2
tahun.4,20
F.

Diagnosis Sirosis Hepatis1,12


a)

Anamnesis
Riwayat medis dan riwayat keluarga. Mengambil riwayat medis dan keluarga
adalah salah satu hal pertama penyedia perawatan kesehatan mungkin lakukan untuk
membantu mendiagnosa sirosis. Dan menanyakan riwayat penggunaan alcohol.
Sebuah perawatan kesehatan mungkin mengkonfirmasi diagnosis dengan riwayat
medis dan keluarga, pemeriksaan fisik, tes darah, biopsi hati.

b)

Pemeriksaan Fisik

15

Pemeriksaan fisik. Selama pemeriksaan fisik, dokter dapat mengamati perubahan


dalam cara hati terasa atau seberapa besar itu (sirosis hepatis adalah bergelombang
dan tidak teratur).
c)

Pemeriksaan laboratorium
1) Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada
ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi Na dalam urine berkurang
(urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome
hepatorenal.
2) Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi
pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam
usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja
berwarna cokelat atau kehitaman.
3) Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang kadang
dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin
B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan
gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
4) Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi pe nderita
yang suda h disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik,
sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16
gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5 - 5,9 gr per
hari. Kadar normal albumin dalam darah 3,5 - 5,0 g/dL. Jumlah albumin dan
globulin yang masing - masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis
protein serum. Perbandinga n normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih.
Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka
untuk mendeteksi kelainan hati secara dini.
16

d)

Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah: pemeriksaan fototoraks,
splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP).

e)

Ultrasonografi (USG)12
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di hati,
termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya
penyakit.
Pemeriksaan dengan menggunakan ultrasonografi (USG) sudah secara rutin
digunakan pada kasus sirosis karena pemeriksaanya noninvasif dan mudah
digunakan. Penelitian dari Khan (2010) menyimpulkan bahwa gambaran nodulus
pada USG hati adalah metode diagnostik yang cukup akurat dalam mendiagnosa
pasien sirosis. Gambaran USG yang dinilai meliputi sudut hati, permukaan hati,
ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada gambaran USG sirosis hati dapat
ditemukan ekoparenkim hati yang kasar dan hiperkoik, permukaan hati sangat
ireguler karena fibrosis. Ukuran kedua lobus hati mengecil. Terlihat tanda sekunder
berupa asites, splenomegali dan adanya pelebaran vena lienalis dan vena porta.

f)

Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hepatis akan jelas
kelihatan permukaan yang berbenjol - benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil
dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan
pembesaran limpa.

g)

Biopsi Hati
Biopsi hati adalah prosedur yang melibatkan mengambil sepotong jaringan hati
untuk pemeriksaan dengan mikroskop untuk tanda-tanda kerusakan atau penyakit.
Penyedia perawatan kesehatan mungkin meminta pasien untuk berhenti minum obat
tertentu sementara sebelum biopsi hati. Penyedia perawatan kesehatan mungkin
meminta pasien untuk berpuasa selama 8 jam sebelum prosedur. Selama prosedur,
pasien berbaring di atas meja, tangan kanan beristirahat di atas kepala. Penyedia
layanan kesehatan berlaku bius lokal ke daerah di mana ia akan memasukkan jarum
biopsi. Jika diperlukan, penyedia layanan kesehatan juga akan memberikan obat
penenang dan obat nyeri. Penyedia layanan kesehatan menggunakan jarum untuk
17

mengambil sepotong kecil jaringan hati. Ia mungkin menggunakan ultrasound, CT


scan, atau yang lain untuk memandu jarum. Setelah biopsi, pasien harus berbaring di
sisi kanan hingga 2 jam dan dipantau tambahan 2 sampai 4 jam sebelum dikirim
pulang.
Sebuah penyedia layanan kesehatan melakukan biopsi hati di rumah sakit atau
pusat rawat jalan. Layanan kesehatan mengirimkan sampel hati ke laboratorium
patologi, di mana ahli patologi-dokter yang mengkhususkan diri dalam mendiagnosis
penyakit-terlihat pada jaringan dengan mikroskop dan mengirimkan laporan ke
dokter.
Biopsi hati dapat mengkonfirmasi diagnosis sirosis. Namun, seseorang tidak
selalu membutuhkan tes ini. Sebuah pelayanan kesehatan akan melakukan biopsi jika
hasilnya mungkin membantu menentukan penyebab atau mempengaruhi pengobatan.
Kadang-kadang dokter menemukan penyebab kerusakan hati selain sirosis selama
biopsi.
G.

Patofisologi Sirosis Hepatis


Adanya faktor etiologi menyebabkan peradangan dan nekrosis meliputi daerah
yang luas (hapatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan
parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati. Septa bisa dibentuk dari
sel retikulum penyangga kolaps dan berubah menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini
dapat menghubungkan daerah portal yang satu dengan yang lain atau portal dengan
sentral (bridging necrosis). Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan
berbagai ukuran, dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan
gangguan aliran daerah portal dan menimbulkan hipertensi portal.
Tahap berikutnya terjadi peradangan dan nekrosis pada sel duktules, sinusoid,
retikulo endotel, terjadi fibrogenesis dan septa aktif jaringan kologen berubah dari
reversibel menjadi irrevensibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada
daerah portal dan parenkhim hati sel limfosit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan
monokin sebagai mediator fibrinogen, septal aktif ini berasal dari portal menyebar
keparenkim hati. Kolagen sendiri terdiri dari 4 tipe yaitu dengan lokasi daerah sentral,
18

sinusoid, jaringan retikulin (sinusoidportal), dan membrane basal. Pada semua sirosis
terdapat peningkatan pertumbuhan semua jenis kologen tersebut. Pembentukan jaringan
kologen dirangsang oleh nekrosis hepatoseluluer dan asidosis laktat merupakan faktor
perangsang. Dalam hal mekanisme terjadinya sirosis secara mekanik dimulai dari
kejadian hepatitis viral akut, timbul peradangan luas, nekrosis luas dan pembentukan
jaringan ikat yang luas disertai pembentukan jaringan ikat yang luas disertai
pembentukan nodul regenerasi oleh sel parenkim hati, yang masih baik. Jadi fibrosis
pasca nekrotik adalah dasar timbulnya sirosis hati. Pada mekanisme terjadinya sirosis
secara imunologis dimulai dengan kejadian hepatitis viral akut yang menimbulkan
peradangan sel hati, nekrosis / nekrosis bridging dengan melalui hepatitis kronik agresif
diikuti timbulnya sirosis hati.
Distorsi arsitektur hati mengakibatkan obstruksi aliran darah portal ke dalam
hepar karena darah sukar masuk ke dalam sel hati. Sehingga Perkembangan sirosis
dengan cara ini memerlukan waktu sekitar 4 tahun sels yang mengandung virus ini
merupakan sumber rangsangan terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus
menerus sampai terjadi kerusakan hati.
H.

Tatalaksana Sirosis Hepatis19,21,22


1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang
teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein, lemak
secukupnya.
2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :

Alkohol dan obat - obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol


akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori
(300 kalori), kandungan protein makanan sekitar 70 - 90 gr sehari untuk
menghambat perkembangan kolagenik dapat dicoba dengan
penicilamine dan Cochicine.

Hemokromatis

19

pemberian D

Dihentikan

pemakaian

preparat

yang

mengandung

besi/

terapi

kelas

(desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x seminggu sebanyak 500 cc selama


setahun.

Autoimun hepatitis kronik


Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid

3. Terapi terhadap komplikasi yang timbul


a. Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat - obatan diuretik.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100 - 200 mg sekali
sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/
hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki.
Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan
furosemid dengan dosis 20 - 40 mg/ hari. Pemberian furosemid bisa ditambah
dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis
dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4 - 6 liter
dan dilindungi dengan pemberian albumin.
b. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan melena atau
melena saja)
a) Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk mengetahui
apakah perdarahan sudah berhenti atau masih berlangsung.
b) Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi diatas
100 x/menit atau Hb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD dengan
pemberian dextrose/ salin dan tranfusi darah secukupnya.
c) Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal salin
pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali.15
c. Ensefalopati
1) Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada
hipokalemia.
20

2) Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet sesuai.


3) Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada
varises.
4) Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi
sistemik.
5) Transplantasi hati.
d. Peritonitis bakterial spontan
Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim, amoxicillin, aminoglikosida.
e. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatic
Mengatur keseimbangan cairan dan garam

Gambar 2.2 Roadmap for preventing and treating complications in early cirrhosis7
I.

Diabetes Mellitus13
Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemi yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin dan atau kerja insulin,
sehingga terjadi abormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Secara klinik
Diabetes mellitus adalah sindroma yang merupakan gabungan kumpulan gejala-gejala
21

klinik yang meliputi aspek metabolik dan vaskuler yaitu hiperglikemi puasa dan post
prandial, aterosklerotik dan penyakit vaskuler mikroangiopati, serta hampir semua organ
tubuh akan terkena dampaknya.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain
badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria,
dan pruritus vulvae pada wanita. Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai
patokan diagnosis DM. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
Tabel 2.1 Kriteria penegakan diagnosis

Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan
paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal tinggi (>200 mg/dL)
pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari
hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan >200
mg/dL.
J.

Patofisologi Sirosis Hepatis dengan Diabetes Mellitus


22

Pada keadaan terjadinya kerusakan pada hati, maka terjadi gangguan pada
hemostasis metabolisme glukosa oleh karena terjadinya resistensi insulin dan gangguan
sensitivitas sel pankreas. Resistensi insulin terjadi pada jaringan otot, hati dan lemak.
Sementara itu, etiologi dari penyakit hati sangat penting terhadap insidensi diabetes, non
alkoholic fatty liver disease (NAFLD), alkohol, virus hepatitis C, dan hemokromatosis
sering dihubungkan dengan diabetes.
Intoleransi glukosa dan DM terjadi pada lebih dari 40% dan 17% pasien hepatitis
C kronik. Mekanisme bagaimana HCV menyebabkan terjadinya resistensi insulin masih
belum jelas diketahui. Telah diketahui bahwa HCV menginduksi resistensi tanpa
memandang index massa tubuh dan stadium fibrosis dan pada percobaan pada binatang
didapatkan bahwa protein core HCV dan TNF dapat menginduksi resistensi insulin,
steatosis, dan DM.

Gambar 2.2 Pengaruh HD dan resistensi insulin dapat mempengaruhi akhir


dari penyakit hati kronis5
Hepatogenous diabetes (HD) berhubungan dengan penurunan sustained viral
response (SVR) dan progresi fibrosis yang cepat pada pasien hepatitis C kronis. HD juga
dapat meningkatkan komplikasi dari sirosis seperti varises esofagus dan gagal hati serta
peningkatan mortalitas. HD juga merupakan faktor resiko untuk terjadinya komplikasi
hepatocellular carcinoma (HCC).
23

Patofisiologi dari HD sangat kompleks dan tidak diketahui pasti. Resistensi


insulin memegang peranan penting terhadap gangguan metabolisme glukosa. Disebutkan
bahwa penurunan ekstraksi insulin oleh hati yang rusak dan adanya shunt portosistemik
akan menghasilkan hiperinsulinemia dan diperberat dengan peningkatan kadar hormon
kontra insulin seperti glukagon, hormon pertumbuhan, insulin like growth factor, sitokin.
Namun studi terbaru pada pasien sirosis hati Child B menyatakan bahwa
hiperinsulinemia terjadi karena penurunan sensitifitas sel pankreas sementara gangguan
ektraksi insulin oleh hati tidak memegang peranan. Dan menjadi perdebatan juga apakah
faktor genetik dan lingkungan dan penyebab penyakit hati seperti HCV, alkohol dapat
mengganggu sekresi insulin oleh sel pankreas. Sebagai kesimpulan, tampaknya
gangguan toleransi glukosa dapat dihasilkan dari 2 gangguan yang terjadi secara simultan
yaitu resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi sel pankreas untuk mengeluarkan
insulin dalam mengatasi gangguan kerja insulin sehingga akhirnya menyebabkan
hiperglikemia puasa dan profil toleransi glukosa diabetes.

Gambar 2.3 Patofisiologi Hepatogenous Diabetes.5


Hiperglikemia pada SH disebabkan oleh sensitifitas terhadap insulin yang
berkurang (defek reseptor) dan/atau berkurangnya respon terhadap insulin (defek post
24

reseptor). Pada SH, sensitifitas dan respon insulin terhadap reseptor di otot dan hati
menurun. Akibatnya terjadi gangguan pemasukan glukosa di reseptor.
Hiperinsulinemia yang terjadi bukanlah disebabkan karena hipersekresi pankreas
tetapi karena menurunnya klirens insulin hepatik.22 Pada penyakit hati kronis seperti
juga pada kondisi inflamasi lainnya sitokin proinflamasi seperti tumour necrosis factoralpha (TNF-), interleukin (IL)-6, IL-1 yang berasal dari sirkulasi sistemik dan produksi
lokal, akan mengganggu kerja insulin serta merangsang terjadinya resistensi insulin.
K.

Penatalaksanaan Sirosis hepatis dengan Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan

dan

pengelolaan

DM

dititik

beratkan

pada

pilar

penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi
farmakologis
a. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk
memiliki perilaku sehat.
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes
untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali
masalah kesehatan komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih
reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri,
dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan
kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas
fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.8
b. Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang,
sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan
keteraturan jadwal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan
25

yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang lebih
30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobic seperti berjalan santai,
jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
d. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.1 Obat yang saat ini ada antara lain:
a)

OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)14


Pemicu sekresi insulin:
Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas
Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan
faal hati dan ginjal serta malnutrisi
Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid

Cara kerja sama dengan

sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama.


Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
Peningkat sensitivitas insulin:
Biguanid
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan
menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk,
disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin, dan pada sirosis
hepatis.
26

Tiazolidindion
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.
Tiazolidindion

dikontraindikasikan

pada

gagal

jantung

karena

meningkatkan retensi cairan.


Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin).
Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi
produksi glukosa hati.
Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan
kreatinin serum > 1,5 mg/ dL gangguan fungsi hati, serta pasien dengan
kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis.
Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonylurea.
Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun
bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa :
Acarbose
Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.
Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonylurea.
Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung
dan flatulens.
Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1
(GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L
di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk.
GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat
glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang
tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan
penglepasan insulin dan menghambat penglepasan glukagon.
b)

OBAT SUNTIKAN Insulin


27

Insulin kerja cepat


Insulin kerja pendek
Insulin kerja menengah
Insulin kerja panjang
Insulin campuran tetap
c)

Metformin dengan Sirosis Hepatis15


Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin mempunyai
beberapa efek terapi antara lain menurunkan kadar glukosa darah melalui
penghambatan produksi glukosa hati dan menurunkan resistensi insulin
khususnya di hati dan otot. Metformin tidak meningkatkan kadar insulin
plasma. Metformin menurunkan absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan
sensitivitas insulin melalui efek penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studistudi invivo dan invitro membuktikan efek metformin terhadap fluidity
membran palsma, plasticity dari reseptor dan transporter, supresi dari
mitochondrial respiratory chain, peningkatan insulin-stimulated receptor
phosphorylation dan aktivitas tirosine kinase, stimulasi translokasi GLUT4
transporters, dan efek enzimatik metabolic pathways.
Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuan untuk kendali glikemik,
tetapi juga kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena ancaman mortalitas
dan morbiditas justru datang dari berbagai komplikasi kronik terebut.
Dalam mencapai tujuan ini, Metformin salah satu jenis OHO ternyata
bukan hanya berfungsi untuk kendali glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki
disfungsi endotel, hemostasis, stress oksidatif, resistensi insulin, profil lipid
dan redistribusi lemak. Metformin terbukti dapat menurunkan berat badan,
memperbaiki sensitivitas insulin, dan mengurangi lemak visceral. Pada
penderita perlemakan hati (fatty liver), didapatkan perbaikan dengan
penggunaan Metformin. Metformin juga terbukti mempunyai efek protektif
terhadap komplikasi makrovaskular. Selain berperan dalam proteksi risiko
kardiovaskuler, studi-studi terbaru juga mendapatkan peranan neuroprotektif
Metformin dalam memperbaiki fungsi saraf, khususnya spatial memory
function15 dan peranan proteksi Metformin dalam karsinogenesis. Diabetes
28

tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena berbagai macam kanker
terutama kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektal, payudara, dan
kantong kemih. Banyak studi menunjukkan penurunan insidens keganasan
pada pasien yang menggunakan Metformin.leading

BAB 3
PEMBAHASAN
A. Metode
a. Formulasi Pertanyaan Ilmiah
Pertanyaan klinis yang diformulasikan pada pembahasan kasus berbasis bukti ini
ialah Bagaimana Efektivasi Metrformin pada Pasien Sirosis Hepatis dengan
Diabetes Mellitus?
b. Pencarian Bukti iImiah
Dalam menjawab pertayaan tersebut, di lakukan pencarian melalui PubMed. Pada
Pubmed penulis menggunakan tiga kata kunci, sebagai berikut metformin AND
cirrhosis liver AND diabetic mellitus. Berdasarkan strategi pencarian ini ,
ditemukan 16 artikel. Pada pencarian ini, dilakukan seleksi artikel yang tersedia
naskah lengkap, dan didapatkan 13 artikel dengan naskah lengkap. Dari tiga belas
artikel, hanya dua artikel yang focus menjawab pertanyaan penelitian sehingga 1
artikel tersebut yang masuk dalam telaah kritis (critical appraisal). Artikel tersebut
berjudul Continuation of metformin use after a diagnosis of cirrhosis significantly
improved survival of patients with diabetes.

29

16 Uji Klinis (Pubmed)

3 Artikel tidak tersedia naskah


lengkap
13 Artikel yang tersedia naskah
lengkap
12 artikel tidak menjawab
pertanyaan klinis

1 Artikel klinis fokus menjawab


pertanyaan klinis

1 Artikel masuk telah kritis uji klinis

Gambar 2.1 Sistematika Pencarian Bukti


c. Telaah Kritis (Critical Appraisal)
Telaah kritis yang pertama kali dilakukan adalah mengidientifikasi PICO
(Patients, Intervention, Comparison, Outcome) pada setiap studi. Deskripsi PICO
dari setiap studi yang sudah didapatkan dapat dilihat pada table 3.1
Tabel 3.1 PICO
Patient
Sirosis hepatis dengan

Intervesion
Metformin
30

Comperasion
Non Metformin

Outcome
Tingkat

kelangsungan

diabetes

hidup

Tabel 3.2 Studi Zang, et all (2014)


DOES THE STUDY
ADDRESS A CLEAR
QUESTION?
1. Is there a clearly focused question?
Consider
Patients
Disease/Condition
Outcome

YA

2. Was a defined, representative sample of


Tidak jelas, pada studi
patients assembled at a common (usually early) point tidak disebutkan sudah
in the course of their disease?
berapa lama pasien
menderita sirosis.
3. Was the follow-up of these patients sufficiently
long and complete?
4. Were objective and unbiased outcome criteria
used?
Consider:
Did the individual assessing the outcome criteria
know whether or not the patient had a potential
prognostic factor, i.e. were they blinded?
5. Was there adjustment for important prognostic
factors?
Consider:
Was there standardization for potentially important
prognostic factors e.g. age?
Were different sub-groups compared?
Was there validation in an independent group of
patients?
WHAT ARE THE RESULTS?
6. How likely are the outcome event(s) over a
specified period of time?

7.How precise are the estimates of this likelihood?


Consider:
31

YA

YA

Ya, sebagian

Studi ini menggunakan hazard


ratio. Pengguna Metformin0,43
kali lebih mengalami
kelangsungan hidup dengan baik
dibandingkan pasien yang tidak
menggunakan Metformin
CI 95% pada studi ini tidak lebar
dan tidak melebihi angka 1

Are the results presented with confidence intervals?


d. Diskusi
Dari hasil pencarian bukti yang sudah dilakukan, ditemukan 1 studi. Dari hasil
tersebut, Zhang et al yang mengatakan bahwa penggunaan Metformin berhubungan
dengan tingkat kelangsungan hidup pasien sirosis hepatis dengan diabetes. Studi oleh
Zhang et al merupakan analisa retrospektif mencakup 250 pasien dengan sirosis hati
dengan diabetes, 172 (68,8 %) menggunakan metformin dan 78 (31,2%) pasien yang
tidak menggunakan metformin, yang dilakukan pada pasien sirosis hepatis dengan
diabetes anatara tahun 200 dan 2010. Setelah dilakukan analisa univariat, didapatkan
bahwa masih ada beberapa variabel yang berbeda bermakna pada grup Metformin dan
non Metformin, yaitu usia, albumin, jenis kelamin, bilirubin, skor MELD, tingkat AFP,
etiologi sirosis. Zhang mendapatkan metformin meningkatkan kelangsungan hidup pada
saat pasien sirosis hepatis dengan diabetes mellitus dengan Hazard rasio 0,43 (95% CI:
0,24-0,78, P = 0,005).

32

BAB 4
Kesimpulan
Metformin merupakan salah satu penatalaksanaan pada pasien sirosis hepatis dengan
diabetes mellitus, Penggunaan metformin di duga dapat meningkat kualitas kelangsungan hidup
pasien pada pasien sirosis hepatis dengan diabetes mellitus menjadi lebih baik.
Dalam tinjauan teoeri yang penulis lakukan juga terdapat hal yang menguatkan bahwa
metformin merupakan salah satu penatalaksanaan pasien dengan sirosis hepatis dengan diabetes
mellitus.
Dalam hal ini penulis akan meyakinkan melalui pertanyaan klinis yang diformulasikan
pada pembahasan kasus berbasis bukti ini ialah Bagaimana Efektivasi Metrformin pada Pasien
Sirosis Hepatis dengan Diabetes Mellitus?
Hasil studi menunjukkan bahwa metformin dapat meningkatkan kualitas kelangsungan
hidup pasien sirosis hati dengan diabetes mellitus sebesar 0,43 kali lipat, dibandingkan pasien
yang tidak mengkonsumsi metformin.

DAFTAR PUSTAKA
33

1. Idris, Shadia, dan Ebtesam Al ali. 2013. Assessment of Dietary Management of


Patients with Cirrhosis Liver. International Journal of Science and Research [IJSR],
India Online ISSN: 2319-7064.
2. Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. (Brahm U. Pendit: Penerjemah). Ed. 6. Jakarta: EGC.
3. Sherlock S, Dooley J. 2002. Diseases of The Liver and Biliary System. 11th Ed.
Oxford: Blackwell Publishing.
4. Pinter, Matthias, et al. 2016. Cancer and liver cirrhosis: implications on prognosis
and management. Vienna: Journal online (http://dx.doi.org/10.1136/esmoopen-2016000042).
5. Nurdjanah S. 2009. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
6. Compean, Diego Garcia et all. 2009. Liver cirrhosis and diabetes: Risk factors,
pathophysiology, clinical implications and management. Mexico: Department of
Gastroenterology, Faculty of Medicine, University Hospital, Ave Madero y
Gonzalitos, Col Mitras Centro, Monterrey 64700.
7. Zhang, Xiaodan et all. 2014. Continuation of metformin use after a diagnosis of
cirrhosis significantly improved survival of patients with diabetes. USA: Division of
Gastroenterology and Hepatology, Mayo Clinic College of Medicine, Rochester,
Minnesota, USA.
8. Sudoyo, A. W. (2007). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta : Departemen ilmu
penyakit dalam FKUI.
9. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. 2014. Cirrhosis. New York:
American Liver Foundation.
10. Tsochatzis, Emmanuel A, Jaime Bosch, Andrew K Burroughs. 2014. Liver cirrhosis.
London, UK : Royal Free Sheila Sherlock Liver Centre, Royal Free Hospital and
UCL Institute of Liver and Digestive Health.
11. Corwin, E. J. (2009). Buku saku patofiologis. (Nike budhi, Penerjemah). Jakarta:
EGC.
34

12. Hutahaean, Rahmat. Ramli Hadji Ali. Elvie Loho. 2013. Hubungan Gambaran USG
Pada Penderita Sirosis Hati dengan Fibrosis Skor di Bagian Radiologi RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2013 Desember 2013. Manado: Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
13. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit diabetes Mellitus. Jakarta:
Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan alat Kesehatan.
14. Sugondo S. 2006.. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes mellitus tipe
2. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; hlm.1882-5.
15. Mari A. 2010. Metformin more than gold standard in the treatment of type 2
diabetes mellitus. Diabetologia Croatica ; 39-3
16. ) Rmi Coudroy. 2015. Is skin mottling a predictor of high mortality in non selected
patients with cirrhosis admitted to intensive care unit?. France: Journal Hepatology
17. Saragih, Garry G; Bradley J. Waleleng; Harlinda Haroen. 2016. Gambaran
gangguan hemostasis pada penderita sirosis hati yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou periode Agustyus 2013 Agustus 2015. Manado : Fakultas Kedokteraan
Universitas Sam ratulangi.
18. Poluan, Pamela M; Ventje Kawengian; Cerelia Sugeng. 2015. HUBUNGAN
DERAJAT KEPARAHAN SIROSIS HATI DAN NILAI LAJU GLOMERULUS PADA
SIROSIS HATI. Manado : Fakultas Kedokteraan Universitas Sam ratulangi.
19. Bernardi, Mauro; Carmen Serena Ricci and Luca Santi. 2015. Hyponatremia in
Patients with Cirrhosis of the Liver. Journal of Clinical Medicine ISSN 2077-0383
www.mdpi.com/journal/jcm
20. Hytiroglou, Prodromos et al. 2012. Beyond Cirrhosis A Proposal From the
International Liver Pathology Study Group. USA: American Society for Clinical
Pathology
21. Plauth, Mathias. 2006. A Guide for Patients with Liver Diseases including Guidelines
for Nutrition. Germany: S.-D. Mller-Nothmann Ditassistent/Diabetesberater DDG
Viktoriastr

35

22. Kummen, Martin, et all. 2013. Liver abnormalities in bowel diseases. Norwegia: Best
Practice & Research Clinical Gastroenterology.

36

Anda mungkin juga menyukai