Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Lanjut usia (lansia) merupakan bagian dari proses tumbuh kembang dan

merupakan proses fisiologis, dimana terjadi kemunduran fisik, mental dan sosial

secara bertahap. Lanjut usia bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan proses

alami setiap individu yang ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk

beradaptasi dengan lingkungan.1 Pada lansia kehilangan massa otot yang sangat

signifikan sebagai hal yang sangat penting yang menurunkan kapasitas dan

aktivitas fungsional usia lanjut atau sering disebut dengan sarkopenia.1

Proses penuaan diketahui melibatkan seluruh tubuh, termasuk komponen

musculoskeletal. Massa otot dan kekuatan otot mencapai puncaknya antara

dekade kedua dan keempat kehidupan, kemudian menurun sejalan dengan usia.4

Hasil Sensus Penduduk tahun 2010, Indonesia saat ini termasuk ke dalam lima

besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni 18,1

juta jiwa atau 9,6% dari jumlah penduduk. Berdasarkan proyeksi Bappenas,

jumlah penduduk lansia 60 tahun atau lebih diperkirakan akan meningkat dari

18,1 juta di tahun 2010 menjadi 29,1 juta pada tahun 2020 dan 36 juta pada tahun

2025. Perubahan itu antara lain meliputi perubahan fisik, perubahan kognitif,

perubahan spiritual, dan perubahan psikososial. Perubahan tersebut apabila tidak

ditangani dengan baik dapat menimbulkan masalah bagi individu lanjut usia,

maupun keluarga dan lingkungannya.3 Salah satu masalah yang dapat timbul

1
akibat perubahan tersebut adalah masalah gizi pada lansia dan pada keadaan

sarkopenia.2

Salah satu cara untuk mencegah dan menyelamatkan terhadap keadaan ini

diperlukan latihan atau olahraga yang teratur dan rutin serta suplementasi asam

amino seperti leusin. tambahan asam amino kaya leusin dalam asupan makanan.

Gangguan gizi seperti sindrom metabolik dan sarkopenia menyebabkan penyakit

sistemik yang dapat menurunkan kualitas hidup pada lanjut usia. Oleh sebab itu,

masalah gizi pada lansia perlu diperhatikan untuk meningkatkan derajat kesehatan

lansia agar tetap sehat, mandiri dan berdaya guna sehingga tidak menjadi beban

bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat.3,4,5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Sarkopenia berasal dari bahasa Yunani yaitu sarx yang berarti daging dan

penia yang berarti kehilangan. Kata sarkopenia digunakan untuk mendeskripsikan

adanya kehilangan masa otot yang progresif yang berhubungan dengan proses

penuaan.7

Pada keadaan sarkopenia disini saat di kaitkan dengan kebutuhan asam amino

yang bisa membantu dalam pemberian nutrisi. Leusin adalah asam amino esensial

yang digunakan dalam hati, jaringan lemak, dan jaringan otot. Leusin juga diduga

menjadi satu-satunya asam amino yang dapat merangsang pertumbuhan otot, dan

juga dapat membantu mencegah kerusakan otot yang terjadi karena faktor

pertambahan usia.12

Sedangkan menurut Evans tahun 2010 sarkopenia didefinisikan sebagai

menurunnya massa dan fungsi otot skeletal terkait dengan usia. Diagnosis

sarkopenia harus dipertimbangkan pada lansia yang mengalami penurunan fungsi

fisik dan kesehatan. Sarkopenia harus dipertimbangkan pada pasien yang

mengalami tirah baring, tidak dapat berdiri sendiri dari kursi tanpa bantuan,

dengan kecepatan berjalan (gait speed) <1.0 m/detik, skeletal muscle index (SMI)
3
laki-laki< 6.87 kg/m2, Wanita: < 5.46 kg/m2, kekuatan otot: laki-laki <30 kg,

wanita <20 kg. 6,7

2.2 EPIDEMIOLOGI

Menurut New Mexico Elder Health Survey sarkopenia terjadi pada 20% pria

usia 70-75 tahun, 50% kejadiannya pada pria diatas 80 tahun, sedangkan pada

wanita sebesar 25% pada usia 70-75 tahun dan 40% pada usia diatas 80 tahun.8,9

2.3 Patofisiologi

Perubahan pada jaringan otot salah satu akibat dari penuaan adalah hilangnya

massa, kekuatan dan fungsi otot secara diluar kendali. Massa otot mengalami

penurunan kira-kira 3-8% per dekade sesudah usia 30 tahun dan laju penurunan

ini lebih cepat terjadi sesudah usia 60 tahun.6 Hilangnya massa, kekuatan dan

fungsi otot ini merupakan penyebab fundamental dan kontributor disabilitas pada

lansia. Sarkopenia meningkatkan risiko jatuh dan kerentanan terhadap injury yang

mengakibatkan ketergantungan fungsional dan disabilitas.7,10,11

Ada beberapa mekanisme yang mengakibatkan onset dan progresivitas

dari sarkopenia. Mekanisme yang terlibat adalah sintesis protein, proteolisis,

integritas neuromuskular, dan komposisi lemak pada otot.12

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Sarkopenia

European working Group on Sarcopenia in Older People (EWGSOP)

mengkategorikan sarkopenia menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Sarkopenia

primer adalah sarkopenia yang terjadi berkaitan dengan penuaan (age related) dan
4
tidak ada penyebab lain yang ditemukan menjadi penyebab sarkopenia.

Sarkopenia sekunder jika ditemukan satu atau lebih sebagai penyebab sarkopenia.

Berikut tabel dari sarkopenia primer dan sekunder.13,14,15

Kategori Sarkopenia berdasarkan penyebab

Primer sarkopenia

Usia → tidak ada penyebab lain selain

penuaan.

Sekunder sarkopenia

Aktivitas – sarkopenia Dapat dilakukan bed rest, sedentary life

style, deconditioning atau kondisi zero-

gravity.

Penyakit – sarkopenia Terkait dengan gagal organ

(otak,jantung,paru,hati,ginjal ), penyakit

inflamasi, keganasan atau penyakit

endokrin.

Nutrisi – sarkopenia Diakibatkan asupan diet energy dan atau

protein yang tidak adekuat, seperti pada

kondisi malabsorbsi, Gangguan

gastrointestinal atau penggunaan

medikasi yang menyebabkan anoreksia.

Tabel 1. Etiologi sarkopenia

5
2.5 Sarkopenia di Tingkat Seluler

Mekanisme sarkopenia di tingkat selular, terjadi beberapa perubahan spesifik

terkait usia meliputi reduksi jumlah sel otot, twitch time dan twitch force otot,
16
volume retikulum sarkopl asma dan kapasitas pemompaan kalsium. Perubahan

biokimia dan metabolik juga terjadi seiring penuaan. Mutasi delesi DNA

mitokondria sesudah kerusakan oksidatif dan reduksi sintesis protein mitokondria

telah dilaporkan dan mungkin terkait dengan reduksi aktivitas enzim glikolitik dan

oksidatif, simpanan creatine phosphate dan ATP di dalam sel otot.6,17

Perubahan metabolik otot ini berperan dalam kapasitas kebugaran fisik umum

lansia dan merupakan komponen penting dari reduksi kemampuan sebesar sekitar

30% menggunakan oksigen selama exercise yaitu VO2max.9,18 Disamping

perubahan spesifik otot yang ditekankan diatas, perubahan terkait usia lainnya

dalam hal fungsi endokrin dan responsivitas terhadap stimulus hormonal, nutrisi

atau responsivitas terhadap gizi, dan aktivitas fisik bisa bertanggung jawab

terhadap terjadinya sarkopenia dan pemburukan sarkopenia .15

Sarkopenia kemungkinan besar merupakan masalah multifaktorial. Tetapi,

diantara semua kemungkinan penyebabnya, reduksi fungsi endokrin, aktivitas

fisik dan nutrisi tepat kemungkinan besar dapat diobati dengan intervensi perilaku

atau obat farmakologi.19

6
Berikut adalah berbagai etiologi dan faktor risiko yang diperkirakan menjadi

penyebab sarkopenia ;16

1) Kurangnya Latihan Fisik

Penyebab penting dari sarkopenia adalah kurangnya aktivitas fisik,

inaktivitas otot dapat mereduksi massa dan kekuatan otot. Sebagai contoh adalah

tirah baring dan weightlessness (keadaan tanpa bobot). 16 Perubahan otot ini dapat

dikembalikan dengan latihan fisik, biasanya latihan fisik dengan resistance


17
exercise. Beberapa peneliti melaporkan bahwa resistance exercise dapat

meningkatkan sintesis protein otot miofibril pada orang dewasa muda maupun

tua. Resistance exercise training yang progresif juga terbukti menginduksi

hipertrofi otot dan meningkatkan kekuatan pada lansia yang mempunyai


20
kelemahan fisik. Kerugian dari resistance exercise training adalah diperlukan

peralatan yang khusus dan supervisi, kemungkinan bahwa latihan tersebut bisa

tidak diindikasikan pada kondisi-kondisi tertentu yang sering ditemukan pada

lansia (contohnya, hipertensi, stroke), dan fakta bahwa mengangkat beban/barbel

bukan merupakan aktivitas yang menarik bagi manula.21

Dalam beberapa penelitian, aerobic exercise terbukti meningkatkan

VO2max, densitas dan aktivitas mitokondria, sensitivitas terhadap insulin dan

pengeluaran energi pada individu muda dan tua. Dua penelitian menunjukkan

7
bahwa aerobic exercise yang panjang dan intens dapat meningkatkan sintesis

protein otot pada individu muda aktif. 18

2) Hilangnya fungsi neuromuskular

Faktor neurologi yang berperan pada sarkopenia adalah penurunan dari akson

alfa motor neuron. Dari penelitian ditemukan bahwa setelah dekade ketujuh

terjadi penurunan akson alfa motor neuron sebesar 50% dan lebih mengenai pada

ekstremitas bawah dibandingkan ektremitas atas karena akson ekstremitas bawah

aksonnya lebih panjang. 22

3) Perubahan fungsi endokrin

Berbagai perubahan hormonal pada proses penuaan yang bisa berperan dalam

menyebabkan hilangnya otot seiring penuaan antara lain testoteron, estrogen,

insulin dan growth factor.22

4) Vitamin D dan Hormon Paratiroid

Kadar 25-OH- vitamin D menurun dengan penuaan. Beberapa penelitian

mendapatkan adanya asosiasi antara kadar rendah 1,25 OH vitamin D dengan

penurunan masa otot, kekuatan otot dan peningkatan risiko jatuh. Kadar vitamin

D yang rendah berkaitan dengan peningkatan kadar hormon paratiroid.19,20

5) Tingginya kadar dari sitokin

Pada kondisi penyakit kronis seperti penyakit paru obstruktif kronis, gagal

jantung, kanker berkaitan dengan peningkatan kadar sitokin proinflamsi,

penurunan berat badan termasuk lean body mass. Kondisi ini dapat terjadi pada

usia tua maupun muda dan disebut sebagai cachexia. Cachexia diasosiasikan

8
dengan inflamasi, resistensi insulin, anoreksia, dan peningkatan pemecahan

protein otot. Sehingga pada individu yang mengalami kaheksia juga akan terjadi

sarkopenia, akan tetapi pada individu yang sarkopenia belum tentu kaheksia.23,24

Kondisi akut hiperkatabolisme( kaheksia) ini berbeda dengan sarkopenia

dimana proses lebih lama. Proses penuaan terjadi peningkatan sitokin secara

gradual dan kronis, terjadi peningkatan kadar IL-6 dan IL-1. Proses penuaan

berkaitan dengan peningkatan stimulus yang bersifat katabolik. Kondisi obestitas

juga berkaitan dengan inflamasi. Pada individu yang mengalami sarkopenia dan

obesitas disebut sebagai sarcopenic obesity.21 Kondisi ini lebih merupakan faktor

prediktor terjadinya disabilitas dibandingkan dengan sarkopenia. Pada kondisi ini

terjadi infiltrasi lemak pada otot skeletal yang berkaitan dengan penurunan

kekuatan otot.22,25

6) Disfungsi mitokondria dan apoptosis

Adanya peranan disfungsi mitokondria pada sarkopenia tetap kontroversial.

Fungsi mitokondria dipengaruhi oleh kerusakan kumulatif yang terjadi pada

muscle mitochondrial DNA (mtDNA) yang terjadi akibat penuaan. Akibat dari hal

tersebut adalah penurunan metabolisme rate dari sintesis protein otot, sintesis

adenosin trifosfat, dan akhirnya mengakibatkan kematian pada serabut otot dan

penurunan dari masa otot. Akan tetapi adanya aktivitas yang terbatas pada lansia

dapat menjadi penyebab utama dari disfungsi mitokondria.26,27

7) Pengaruh genetika

9
Beberapa faktor genetika merupakan kontributor utama terhadap variasi

kekuatan otot dan keretanan terhadap sarkopenia. Studi epidemiologi genetik

menemukan sebesar 36-65% kekuatan otot, 57% performa dari ekstremitas

bawah, dan 34% dari kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari

dijelaskan dengan faktor keturunan. 28

8) Pengaruh kekurangan nutrisi dan intake protein yang rendah

Sintesis protein otot menurun sebesar 30% pada lansia. Penuaan juga

berkaitan dengan reduksi progresif asupan makanan, yang menimbulkan

predisposisi terhadap malnutrisi energi-protein. Malnutrisi mengakibatkan muscle

wasting.

Jadi, intervensi nutrisi merupakan cara potensial yang menarik untuk

mencegah dan mengobati sarkopenia pada manula disebabkan oleh aplikabilitas

yang mudah dan keamanan. Penelitian untuk meningkatkan masa, kekuatan, dan

sintesis protein otot dengan suplemen nutrisi komersial atau diet berprotein tinggi

sebagian besar tidak berhasil. Suplementasi nutrisi atau makanan berprotein tinggi

yang ditambahkan pada resistance exercise tidak menyebabkan peningkatan

massa, kekuatan, atau sintesis protein otot dibandingkan dengan latihan fisik saja

.29,

Setidaknya terdapat dua kemungkinan penjelasan mengenai

ketidakmampuan suplemen nutrisi atau peningkatan asupan protein untuk

memacu pertumbuhan dan kekuatan otot. Pertama, adanya karbohidrat dalam

suplemen nutrisi untuk manula tidaklah bermanfaat dan bahkan bisa melemahkan

10
respons anabolik protein otot terhadap efek positif asam amino saja. Kedua,

terdapat laporan bahwa orang dewasa tua, yang diberi suplemen tanpa adanya

peningkatan aktivitas fisik, menurunkan asupan diet mereka, sehingga asupan

energi total harian mereka tetap tak berubah. Hal ini mengindikasikan bahwa

suplemen nutrisi bagi manula sebaiknya digunakan sebagai pengganti diet.

Suplemen nutrisi untuk mencegah atau pengobati sarkopenia seharusnya hanya

mengandung gizi yang mutlak diperlukan untuk menstimulasi anabolisme protein

otot, untuk mencapai efisiensi anabolik tertinggi (efek anabolik per unit energi).
30,31

2.6 Hubungan sarkopeni , sindroma geriatri dan frailty

Sindroma Frailty dan sarkopenia terjadi suatu tumpang tindih, hampir

setiap lansia yang mengalami frailty mengalami sarkopenia, beberapa lansia yang

sarkopenia mengalami frailty. Secara umum konsep frailty tidak hanya meliputi

faktor fisik akan tetapi juga meliputi faktor psikologis, sosial yang juga meliputi

status kognitif, dukungan sosial dan faktor lingkungan lainnya.33

2.7 DIAGNOSIS

Berdasarkan European Working Group on Sarcopenia in Older People

(EWGSOP) tahun 2010 oleh Cruz-Jentoft AJ et al, kriteria sarkopenia harus

memenuhi yaitu adanya massa otot yang kurang disertai kekuatan otot yang

berkurang dan atau perfoma aktivitas fisik yang menurun.2

Menurut EWGSOP sarkopenia dibagi menjadi tiga tahap yaitu presarkopenia,

sarkopenia dan sarkopenia berat. Dimana pada stadium presarkopenia hanya


11
ditemukan penurunan masa otot tanpa adanya penurunan kekuatan dan performa

otot, sedangkan pada sarkopenia ditemukan adanya penurunan masa otot disertai

dengan penurunan kekuatan otot atau performa otot, sedangkan pada sarkopenia

berat ditemukan penurunan dari ketiga hal tersebut.35

Stage Muscle mass Muscle strength Performance

Presarcopenia ↓

Sarcopenia ↓ ↓ or ↓

Severe sarcopenia ↓ ↓ ↓

Tabel 2. Stadium Sarkopenia

Untuk penegakkan diagnosis pada anamnesis harus ditanyakan faktor

risiko dari sarkopenia, kemudian pada pemeriksaan fisik dan penunjang

diperlukan pengukuran kuantitatif dan kualtitatif terhadap otot. Secara

keseluruhan kita harus melalukan pemeriksaan geriatric asessment.

Diagnosis sarcopenia didasarkan pada adanya gabungan dari dua kriteria sebagai

berikut (1):

 Masa otot yang rendah, yaitu persentase masa otot 2 standar deviasi di

bawah rata-rata yang diukur pada orang dewasa muda dengan jenis

kelamin dan etnis yang sama. Pasien yang berusia 18-39 tahun di

NHANES 3 populasi dapat digunakan sebagai referensi. Diagnosis T-

12
score berbasis disarankan sarcopenia berkaitan erat dengan diagnosis

osteoporosis.

 Kemampuan jalan kecepatan rendah, misalnya kecepatan berjalan dibawah

0.8 m/detik, saat dilakukan tes berjalan 4-m.

Gambar 3. Algoritma Diagnosis Sarkopenia menurut EWGSOP2

2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Antropometri

Antropometri merupakan teknik yang sederhana dan mudah

diaplikasikan secara klinis pada populasi yang besar.Pengukuran

skinfold thicknesst (ketebalan kulit) memberikan estimasi lemak

tubuh dan lingkar tungkai merefleksikan otot tungkai dan status

nutrisi protein. Variabilitas antar pemeriksa membatasi sensitivitas

13
untuk mendeteksi perubahannya. Pemeriksaan antropometri dengan

skinfoldnya bisa mengukur lemak subkutan dan bukan lemak viscera

(Martin et al. 1990), sehingga menjadi faktor risiko indipenden pada

beberapa kondisi seperti DM, penyakit kardiovaskular dan kanker. 5

b. Bioelectrical impedance analysis (BIA)

BIA merupakan teknik portabel dan sederhana, mudah diterima

oleh pasien dan mudah dilakukan di bangsal rawat inap. BIA

melibatkan dialirkannya arus listrik AC berdaya rendah ke dalam

tubuh. Saat arus listrik dikonduksikan oleh cairan dalam tubuh

impedansi akan berbanding terbalik sehubungan dengan total cairan

dalam tubuh selanjutnya bisa menghitung total massa otot yang

merupakan jaringan yang paling kaya akan cairan dalam tubuh (Jansen

et al. 1998 & 2000). Metode ini bisa dilakukan dengan cepat dan

tidak membutuhkan keterampilan khusus dan relatif murah. Namun

ada beberapa kelemahan yaitu pengukuran massa otot bisa dikacaukan

dengan status hidrasi dan adanya edema.6

c . Dual energy X-ray absorptiometry (DEXA)

DEXA secara klinis aplikatif dan mudah ditoleransi.

Pengukurannya berdasarkan penyangatan relatif dua energi X ray yang

berbeda pada tubuh. Waktu pengukuran sangat singkat dan paparan

radiasinya minimal. Sehingga menghasilkan tiga model komponen

14
tubuh yaitu lemak, tulang dan mineral, serta jaringan bebas lemak. Juga

bisa menghasilkan analisis regional, terutama distribusi jaringan bebas

lemak pada ekstremitas dan lemak tubuh, sehingga memungkinkan

untuk mengukur massa otot total dan massa otot appendikular, yang

kemudian dijumlahkan massa otot keempat ekstremitas. Data

penelitian terkini menyatakan bahwa perhitungan persentase massa

otot skelet(massa otot total /berat x 100) menghasilkan estimasi

perhitungan sarkopenia dengan kegemukan yang dibandingkan dengan

appendicular muscle mass. 6

Meskipun tidak semahal CT dan MRI, DEXA masih relatif

mahal, sehingga pasien harus pergi ke center yang mempunyai

fasilitas tersebut, selain itu membutuhkan personel yang terlatih

sehingga tidak bisa dilakukan secara rutin di praktek klinis dan terbatas

digunakan pada penelitian.6

d. Computer tomography (CT) / Magnetic resonance imaging(MRl)

Skaning CT dan MRI menghasilkan detail anatomi yang

khususnya digunakan untuk menganalisa volume otot skelet dan

merupakan satu-satunya teknik yang bisa secara langsung menilai isi

lemak viscera abdominal (Woodrow 2009). Teknik ini memungkinkan

penghitungan massa otot segmental dan total serta menilai infiltrasi

lemak pada otot yang akan mempengaruhi kualitas otot dan

perkembangan secara maksimal.7


15
Metode ini sangat mahal dan tidak mudah dijangkau dan tidak

diindikasikan secara rutin untuk mempelajari massa otot, namun telah

digunakan secara luas untuk penelitian. Keterbataan CT ini terpapar

radiasi.7

e. Ultrasounografi (USG)

Ultrasounografi (USG) merupakan pemeriksaan yang sederhana,

mudah diterapkan pada praktik klinis dan survei populasi yang besar.

Pemeriksaan ini membutuhkan peralatan yang mudah di bawah

disamping bed pasien namun tidak bisa mengukur massa otot dan

sangat tergantung dengan kemampuan operator. USG bisa

mengevaluasi massa otot dan kualitasnya, peningkatan intensitas echo

menunjukkan perubahan yang disebabkan peningkatan jaringan

fibrosa intramuskular dan jaringan adiposa.8

f. Kekuatan genggaman tangan (Handgrip)

Kekuatan genggaman tangan (handgrip) dihitung dalam kilogram

dengan strain-gauged dynamometer (Takei TKK 5401, Takei Scientific

Instruments Co, Ltd., japan). Partisipan ditanya mengenai kekuatan

maksimal dalam posisi berdiri. Kekuatan genggaman dua kali untuk

tiap tangan, kemudian bergantian dengan tangan yang lain. Skor

kekuatan genggaman tangan akan diambil dirata-rata tertinggi untuk

tiap tangan.8

16
2.9 PENATALAKSANAAN

Tujuan dari penatalaksanaan sarkopenia adalah tercapainya perbaikan dari

keluaran primer dan sekunder. Untuk terapi yang bersifat intervensi EWGSOP

merekomendasikan tiga variabel keluaran yaitu masa otot, kekuatan otot dan

performa fisik.4,5

2.9.1 Penatalaksanaan Non Farmakologis

1) Olahraga

Tidak ada terapi farmakologis atau terapi perilaku yang lebih efektif

seperti olahraga dalam memperbaiki kondisi sarkopenia. Olahraga yang efektif

adalah olahraga dengan resistance training. Masa otot, kekuatan dan kualitas otot

mengalami perbaikan setelah dilakukan latihan tersebut. The American College of

Sport Medicine (ASCM) dan American Heart Association (AHA) menganjurkan

latihan dimulai antara 70-90% repetisi maksimal pada dua hari atau lebih setiap

minggu untuk memperoleh masa otot dan kekuatan pada lansia.8,9

Olahraga aerobik tidak menghasilkan hipertropi otot seperti pada

resistance training, akan tetapi olahraga ini lebih disukai orang tua karena tidak

membosankan. Aerobik dapat menstimulasi sintesis protein otot, aktivasi sel

satelit, dan peningkatan serabut otot pada daerah sekitarnya. Keuntungan lainnya

olahraga ini dapat mengurangi lemak tubuh termasuk lemak didalam sel otot10.

17
2. Nutrisi

Pada prinsipnya kebutuhan gizi pada lanjut usia mengikuti prinsip gizi

seimbang. Konsumsi makanan yang cukup dan seimbang bermanfaat bagi lanjut

usia untuk mencegah atau mengurangi risiko penyakit degeneratif dan kekurangan

gizi. Kebutuhan gizi pada lansia sarcopenia dihitung secara individu.32

Pada lansia yang mengalami malnutrisi, intake protein yang kurang akan

menyulitkan produksi masa otot dan kekuatan sebagai hasil dari olahraga. Proses

sarkopenia pada lansia dapat diminimalkan dengan meningkatkan intake protein.

Intervensi nutrisi memiliki peran penting. Banyak usia lanjut yang tidak

mengkonsumsi protein dalam jumlah cukup sehingga terjadi penurunan lean body

mass, kekuatan otot dan penurunan status fungsional. 12,13

3. Peran Leusin

Rekomendasi saat ini mencegah sarkopenia adalah dengan asupan protein

1-1,5 gram/kg/hari. Suplementasi protein sebaiknya digabungkan dengan

olahraga, karena jika diberikan tunggal hasilnya tidak memuaskan.34

Ketika usia bertambah tua, dapat diikuti dengan pengecilan jaringan dan

massa otot yang dikenal dengan nama sarkopenia. Keadaan sarkopenia dapat

menyebabkan terjadinya kelemahan otot, yang mengakibatkan berkurangnya

gerakan (immobile), cenderung untuk jatuh, dan meningkatkan gangguan kegiatan

lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara untuk mencegah dan

menyelamatkan terhadap keadaan ini diperlukan latihan atau olahraga yang teratur

dan rutin serta suplementasi asam amino seperti leusin. tambahan asam amino

18
kaya leusin dalam asupan makanan. Suplementasi asam amino sendiri atau

bersamaan dengan latihan jasmani untuk sarkopenia masih perlu di teliti lebih

lanjut. Pemberian asupan protein ini tetap harus memperhatikan pula kondisi

setiap orang usia lanjut, terkait gangguan fungsi ginjal.35,36

Leusin adalah asam amino esensial yang digunakan dalam hati, jaringan

lemak, dan jaringan otot. Leusin juga diduga menjadi satu-satunya asam amino

yang dapat merangsang pertumbuhan otot, dan juga dapat membantu mencegah

kerusakan otot yang terjadi karena faktor pertambahan usia. Leusin merupakan

asam amino yang tidak diproduksi oleh tubuh. Oleh karena itu, tubuh perlu

mengkonsumsi makanan yang mengandung leusin untuk memenuhi kebutuhan zat

ini terutama pada sarkopenia.38

Fungsi dan manfaat Leusin (Leucine) dalam menjalankan fungsinya,

Leusin bekerja dengan isoleusin dan valin untuk memperbaiki kerusakan dan

membangun otot, mengatur gula darah, dan memberikan tubuh energi. Selain

itu Leusin juga dapat meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan

membantu membakar lemak yang terletak di lapisan terdalam dari tubuh.37

Semua jenis asam amino esensial memiliki fungsi untuk mengatur

metabolisme gula dan lemak sehingga tidak mengherankan jika kebanyakan

fungsi dari asam amino untuk menciptakan energi salah satunya adalah leusin

tersebut. Metabolisme gula dan lemak yang ada di dalam tubuh akan dibakar dan

diubah menjadi energi. Orang yang mengkonsumsi leucine setiap harinya akan

memiliki energi yang prima dalam menajalankan setiap aktivitasnya.10

19
Leusin merupakan asam amino esensial yang berarti bahwa

kebutuhannya harus didapakannya dari luar karena tubuh tidak dapat

memproduksinya. Leusin dapat kita peroleh secara alami dengan mengkonsumsi

beberapa jenis makanan.Sumber alami dari leusin termasuk beras merah, kacang-

kacangan, daging, kacang-kacangan, kedelai, keju, daging ayam, biji labu,

kacang tanah, ikan tuna dan gandum.23

Pertimbangan pemberian asupan makanan yang mengandung leusin pada

sarkopenia bisa juga dapat memperoleh Leusin dalam bentuk suplemen, akan

tetapi perlu diingat bahwa leusin harus dikonsumsi bersama dengan dua jenis

asam amino lainnya yaitu isoleusin dan valin agar pemberian nya maksimal

adekuat pada sarkopenia.37

Untuk bisa mencukupi kebutuhan leucine dalam sehari, tubuh

membutuhkan leucine setiap harinya. Jumlah leusin yang dapat dikonsumsi yaitu

sekitar 12 mg per hari. Studi menunjukkan bahwa tambahan diet 360 kkal perhari

bersamaan dengan program resistance training dapat meningkatkan kekuatan otot

dalam waktu 10 minggu. Suplementasi asam amino essensial menunjukkan

perbaikan kekuatan genggam tangan dan 6 minute walking distance pada usia

lanjut setelah 3 bulan. 7,8,9

Pada lansia yang tidak mengalami lansia malnutrisi suplemantasi ini tidak

memberikan hasil yang jelas terhadap peningkatan masa dan kekuatan otot.

Cara perhitungan kebutuhan gizi:5

1. Perhitungan Kebutuhan Energi.

20
Berikut ini beberapa cara untuk menghitung kebutuhan energi:

a. Harris dan Benedict

Merupakan cara yang banyak digunakan untuk menetapkan kebutuhan

energi seseorang. Rumusnya dibedakan antara kebutuhan untuk laki-

laki dan perempuan.

Laki-laki : BEE = 66 + 13,7 (BB) + 5 (TB) - 6,8 (umur)

Perempuan : BEE = 655 + 9,6 (BB) + 1,7 (TB) - 4,7 (umur)

Faktor koreksi BEE untuk berbagai tingkat stress adaiah:

Stress ringan = 1,3 x BEE

Stress sedang = 1,5 x BEE

Stress berat = 2,0 x BEE

Kanker = 1,6 x BEE

b. Rule of Thumb (menggunakan BB ideal)

Cara cepat untuk menghitung kebutuhan energi adalah:

Laki-laki : 30 Kkal/ kgBB

Perempuan: 25 Kkal / kgBB

2. Perhitungan kebutuhan protein

a. Kecukupan protein sehari yang dianjurkan pada lanjut usia adalah

sekitar 0,8 gram/ kgBB atau 10-15% dari kebutuhan energi. Pada

sarcopenia 1-1,5 gram/kg/hari.

b. Dianjurkan memenuhi kebutuhan protein nabati lebih banyak dari

protein hewani. Sumber protein nabati yang dianjurkan adalah kacang-

21
kacangan dan produk olahannya. Sumber protein hewani yang dianjurkan

adaiah ikan, daging dan ayam tanpa lemak, susu tanpa lemak. Pemberian

asupan protein ini tetap harus memperhatikan pula kondisi setiap orang

usia lanjut, terkait gangguan fungsi ginjal.12

3. Perhitungan kebutuhan lemak

a. Pada lanjut usia konsumsi lemak dianjurkan tidak melebihi 20-25% dari

kebutuhan energi dengan rasio lemak tidak jenuh : lemak jenuh = 2: 1

b. Konsumsi kolesterol harus dibatasi, tidak melebihi 300 mgr/hari

didalam makanan.

4. Perhitungan kebutuhan karbohidrat

Penggunaan karbohidrat relatif menurun pada lanjut usia dan sarcopenia ,

karena kebutuhan energi juga menurun. Lanjut usia disarankan

mengkonsumsi karbohidrat komplek daripada karbohidrat sederhana,

karena mengandung vitamin, mineral dan serat. Perhitungan kebutuhan

karbohidrat didasarkan kepada sisa dari total energi setelah dikurangi

energi dari protein dan lemak. Lanjut usia dianjurkan mengkonsumsi

karbohidrat 60-65% dari total kebutuhan energi.

5. Perhitungan kebutuhan vitamin dan mineral

Perhitungan kebutuhan vitamin dan mineral didasarkan kepada angka

kecukupan gizi yang dianjurkan. Namun untuk kondisi tertentu, vitamin

dan mineral diberikan dalam jumlah yang lebih tinggi atau lebih rendah

dibandingkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan.

22
6. Serat

Kebutuhan serat 25-30 gram/ hari

7. Kebutuhan cairan

Masukan cairan perlu diperhatikan karena adanya mekanisme rasa haus

dan menurunnya cairan tubuh total (penurunan massa lemak). Lanju usia

dan sarkopenia membutuhkan cairan antara 1,5 - 2 liter per hari (6-8 gelas)

4. Pemberian protein dengan tujuan Balance Nitrogen seimbang

Protein : 1 - 1,5 g/kgBB/hari

Non protein kalori/Nitrogen ratio =

Total energy intake-protein x 4 (kkal) /protein intake (dalam gr)

6,25 (nitrogen)

Penelitian yang terbaru menyarankan terapi nutrisi bersifat spesifik,

seperti contohnya diberikan asam amino essensial yaitu leusin memberikan efek

anabolik. Pada penelitian pada lansia didapatkan yang memberikan efek adalah

asam amino essensial dibandingkan dengan asam amino non essensial. Pemberian

asam amino essensial dianjurkan pada dosis besar satu kali saat makan

dibandingkan pemberian intermitten. 21

Pada studi-studi besar lainnya pemberian leusin tidak memberikan hasil

untuk sintesis otot. Pencegahan terhadap sarkopenia harus dilangsungkan terus

23
menerus selama hidup. Sebaiknya intake kalsium dan makanan yang cukup sejak

dari muda dipertahankan terus menerus untuk mencegah terjadinya sarkopenia.5,6

Keadaan gizi sangat diperlukan untuk mempertahankan kondisi kesehatan

lansia dan mempercepat penyembuhan penyakit yang diderita. Lansia yang tidak

dapat mencerna makanan dengan baik, kesadaran menurun, menderita penyakit

kronis, mempunyai masalah saluran cerna (malabsorpsi, maldigesti, gangguan

motilitas) memerlukan dukungan gizi.9 Dukungan gizi peroral diutamakan, namun

apabila ada gangguan pada saluran cerna bagian atas maka makanan enteral dapat

diberikan. Namun bila saluran cerna tidak dapat difungsikan, maka pilihan

terakhir adalah nutrisi parenteral.15,16

Pada pemberian peroral, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan

frekuensi tergantung pada kemampuan makan pasien. Seorang lansia dianjurkan

untuk mengkonsumsi normal diet seoptimal mungkin disesuaikan dengan

kemampuannya. Pembatasan dapat diberikan sesuai dengan kondisi penyakit

pasien, namun pembatasan yang terlalu ketat dapat menyebabkan asupan makanan

menurun.16

Pemberian makanan enteral pada lansia dengan gangguan saluran cerna

bagian atas terbukti efektif memperbaiki status gizi. Pemberian makanan melalui

pipa akan cost-effective dalam menyediakan makro dan mikronutrien yang

adekuat dan memelihara fungsi usus. Pemilihan formula makanan enteral pada

lansia harus memperhatikan lama penggunaan tube, komposisi makro dan

24
mikronutrien, kemampuan pasien untuk mencerna makanan, penyakit yang

diderita, dan harga produk.9

Pemberian makanan enteral memiliki komplikasi, antara lain iritasi, pipa

yang berpindah tempat atau tersumbat, serta banyak lansia tidak dapat mentolerir

pipa yang masuk melalui hidung. Perasaan tidak nyaman pada pasien

menyebabkan gelisah dan bahkan mencabut pipa yang sudah terpasang. Selain itu,

diare merupakan salah satu komplikasi yang sering muncul pada lansia yang

mendapatkan makanan melalui pipa nasogastrik. Diare ini dapat disebabkan oleh

adanya intoleransi laktosa, efek samping polifarmasi yang diberikan, kontaminasi

bakteri atau kekentalan makanan cair yang diberikan.34,35

Nutrisi parenteral diberikan pada lansia dengan asupan enteral yang tidak

mencukupi kebutuhan atau tidak memungkinkan diberikan makanan melalui

enteral (kontra indikasi diberikan makanan enteral). Bila nutrisi parenteral hanya

digunakan sebagai dukungan gizi tambahan, maka dapat diberikan melalui vena

perifer dengan cairan perifer.36

Namun apabila terdapat indikasi untuk restriksi cairan, maka pilihan vena

sentral lebih tepat dengan lipid sebagai sumber energi utama.15,16Penghitungan

kebutuhan kalori per hari pada lansia dapat dilakukan dengan formula Harris

Benedict atau rule of thumb. Glukosa merupakan sumber utama nutrisi parenteral.

Namun pada lansia seringkali terjadi gangguan toleransi glukosa, sehingga

glukosa diberikan mulai dosis kecil namun tidak kurang dari 100 gram/hari untuk

mencegah terjadinya ketosis dengan maksimal pemberian 4 mg/kgBB/menit.5

25
Pada lansia yang memerlukan pembatasan cairan atau gangguan toleransi

glukosa, pemberian energi dapat berupa lemak. Emulsi lemak 10-20% dapat

diberikan pada nutrisi parenteral untuk membantu pencapaian kebutuhan energi. 37

Pemberian protein pada cairan parenteral harus memperhatikan fungsi

ginjal dan fungsi hati. Pada lansia tanpa gangguan fungsi ginjal, dosis awal

pemberian protein adalah 1-1,5 g/kgBB/hari pada lansia yang dirawat di rumah

sakit. Pemberian cairan dan elektrolit pada pasien lansia memerlukan monitoring

khusus dengan adanya penurunan fungsi ginjal, jantung, dan endokrin.38

2.9.2 Penatalaksanaan Farmakologis

Masih terus dilakukan penelitian terhadap pendekatan terapi yang lain

penggunaan testosterone, estrogen, DHEA, GH, IGF-1, creatin, inhibitor

myostatin, vitamin D dan angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE-1 ).4

26
BAB III

KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

Sarkopenia adalah kehilangan masa otot yang progresif yang berhubungan

dengan proses penuaan. Salah satu masalah yang dapat timbul akibat perubahan

tersebut adalah masalah gizi pada keadaan sarkopenia. Gangguan gizi seperti

sindrom metabolik dan sarkopenia menyebabkan penyakit sistemik yang dapat

menurunkan kualitas hidup pada lanjut usia. Nutrisi merupakan unsur penting

untuk pencapaian derajat kesehatan yang baik. Berbagai penelitian pada

sarkopenia sebagian besar merupakan masalah gizi lebih yang merupakan faktor

risiko timbulnya penyakit degeneratif. Selain itu disarankan pula tambahan asam

amino kaya leusin dalam asupan makanan. Suplementasi asam amino sendiri atau

bersamaan dengan latihan jasmani untuk sarcopenia masih perlu di teliti lebih

lanjut. Pemberian asupan protein ini tetap harus memperhatikan pula kondisi

setiap orang usia lanjut, terkait gangguan fungsi ginjal. Dukungan gizi peroral

diutamakan, namun apabila ada gangguan pada saluran cerna bagian atas maka

makanan enteral dapat diberikan. Namun bila saluran cerna tidak dapat

difungsikan, maka pilihan terakhir adalah nutrisi parenteral.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Rubby Yu, Liu Ying, et all, Managemen of sarcopenia to improve Quality of life

in Geriatric populations, libertas Academica, 2016, : 7-11.

2. Rolland, Yves and Vellas, Bruno. Sarcopenia. Brocklehurst’s Textbook of

Geriatric Medicine and Gerontology. Elsevier: Philadelphia, 2010: 587-593.

3. Cruz-Jentoft, A J. et al. Report Sarcopenia: European Consensus on definition and

diagnosis. Report of the European Working Group on Sarcopenia in Older People.

Age and Ageing. 2010; 39: 412–423

4. Lynch, GS. Overview of Sarcopenia. Sarcopenia-Age related Muscle Wasting and

Weakness. Springer: Melbourne, 2011: 1-5.

5. Lau, Edith M C; Lynn, Henry S. et al. Prevalence of and Risk Factors for

Sarcopenia in Elderly Chinese Men and Women. The Journals of

Gerontology;Medical Sciences. 2005;60: 213-216.

6. Hwang Byungkwan; Lim, JY. et al. Prevalence Rate and Associated Factors of

Sarcopenic Obesity in Korean Elderly Population. J Korean Med Sci. 2012; 27:

748-755.

7. Holloszy, J.O..The Biology of Aging. Mayo Clinic Proc. 2000; 75 (Suppl): 53-58.

8. Wolfson, L., et al. Strength is a Major factor in Balance, Gait, and The Occurence

of Falls. J.Gerontol.A Biol.Sci.Med.Sci. 1995; 50: 64-67.

9. Evans, W.J. What is sarcopenia? J.Gerontol.A Biol.Sci.Med.Sci. 1996;50: 5-8.

28
10. Volpi, E., et al. Muscle tissue changes with aging. Journal of Endocrinology and

Diabetes. 2010; 56;173-76.

11. Lexel, J. Human Aging , muscle mass, and fiber type composition. J. Gerontol. A

Biol.Sci.Med.Sci. 1995; 50: 11-16.

12. McCormick, K.M., Thomas, D.P., Exercise-induced satelite cell activation in

senescent soleus muscle. J. Appl. Physiol. 1992 ;72:888-898.

13. Cortopassi, G.A., et al. A pattern of accumulation of a somatic deletion of

mitochondrial DNA in aging human tissues. Proc Natl Acad Sci U S A.

1992..;89:7370–7374.

14. Welle, S., et al. Myofibrillar protein synthesis in young and old men. Am J

Physiol Endocrinol Metab. 1993; 264:E693–E698.

15. Volpi, E., Kobayashi, H., Mittendorfer, B. Essential amino acids are primarily

responsible for the amino acid-stimulation of muscle protein anabolism in healthy

older adults. Am J Clin Nutr. 2003;78:250–258.

16. Roubenoff, R., Castaneda, C., Sarcopenia : understanding the dynamics of aging

muscle. JAMA. 1998; 286:1230-1231.

17. Ferrando, A.A., et al. Magnetic resonance imaging quantitation of changes in

muscle volume during 7 days of strict bed rest. Aviat Space Environ Med.

1995;66:976–981.97

18. Ferrando, A.A., Lane, H.W., Stuart, C.A. Prolonged bed rest decreases skeletal

muscle and whole body protein synthesis. Am J Physiol Endocrinol

Metab.1996.;270:E627–E633.

29
19. Yarasheski, K.E., Zachwieja, J.J., Bier, D.M. Acute effects of resistance exercise

on muscle protein synthesis rate in young and elderly men and women. Am J

Physiol Endocrinol Metab. 1993;265:E210–E214.

20. Hasten, D.L., Pak-Loduca, J., Obert, K.A., Yarasheski, K.E. Resistance exercise

acutely increases MHC and mixed muscle protein synthesis rates in 78–84 and

23–32 years old. Am J Physiol Endocrinol Metab. 2000 ;278:E620–E626.

21. Jozsi, A.C., Campbel, W.W., Joseph, L. Changes in power with resistance training

in older and younger men and women. J. Gerontol.A.Biol.Sci.Med.Sci.1999; 54:

M591-M595.

22. Tseng, B.S., et al. Strength and aerobic training attenuate muscle wasting and

improve resistance to the development of disability with aging. J Gerontol A Biol

Sci Med Sci . 1995;50:113–119.

23. Carraro, F., Stuart, C.A., Hartl, W.H.Effect of exercise and recovery on muscle

protein synthesis in human subjects. Am J Physiol. 1990;.259: E470-E476.

24. Coggan, A.R. et al. Skeletal muscle adaptations to endurance training in 60- to 70-

yr-old men and women. J Appl Physiol.1992;72:1780–1786.

25. Charifi, N., Kadi, F., Feasson, L., Denis, C. Effects of endurance training on

satellite cell frequency in skeletal muscle of old men. Muscle and Nerve.

2003.;28:87–92

26. Tracy, B.L et al. Muscle quality. II. Effects Of strength training in 65- to 75-yr-

old men and women. J Appl Physiol. 1999 ;86:195–201

30
27. Schroeder, E.T., Terk, M., Sattler, F.R. Androgen therapy improves musclemass

and strength but not muscle quality: results from two studies. Am J Physiol

Endocrinol Metab.2003;285:E16–E24.

28. Lamberts, S.W., van den Beld, A.W., van der Lely, A.J. The endocrinology of

aging. Science. 1997.;278:419–424.

29. Tenover, J.S., et al. Age-related alterations in the circadian rhythms of pulsatile

luteinizing hormone and testosterone secretion in healthy men. J Gerontol A Biol

Sci Med Sci 1988.;43:M163–M169.

30. Morley, J.E., Perry, H.M III., Kaiser, F.E. Effects of testosterone replacement

therapy in old hypogonadal males: a preliminary study. J Am Geriatr Soc

.1993;41:149–152.

31. Bhasin, S., Buckwalter, J.G. 2001. Testosterone supplementation in older men : a

rational idea whose time has not yet come. J Androl. p. 22: 728-731.

32. Melton, L.J., Khosla, S., Crowson, C.S. Epidemiology of sarcopenia.

J.Am.Geriatric.Soc.2000; 48: 625-630.

33. Gower, B.A., Nyman, L. Associations among oral estrogen use, free testosterone

concentration, and lean body mass among postmenopausal women. J Clin

Endocrinol Metab .2000;.85:4476–4480.

34. Flynn, M.A., Weaver-Osterholtz, D., Sharpe-Timms, K.L.

Dehydroepiandrosterone replacement in aging humans. J Clin Endocrinol Metab.

1999;84:1527–1533.

31
35. Blackman, M.R., Sorkin, J.D., Munzer, T. Growth hormone and sex steroid

administrationin healthy aged women and men : a randomized controlled trial.

JAMA. 2002; 288: 2282-2292.

36. Ferrannini, E., Vichi, S., Beck-Nielsen, H. Insulin action and age. European

Group for the Study of Insulin Resistance. Diabetes.1999;45:947–953.

37. Thompson, J.L., Butterfield, G.E., Marcus, R. The effects of recombinant human

insulin-like growth factor-I and growth hormone on body composition in elderly

women. J Clin Endocrinol Metab.1995 ;80:1845–1852.

38. Smith, K., Reynolds, N., Downie, S. Effects of flooding amino acids on

incorporation of labeled amino acids into human muscle protein. Am J Physiol.

1998 ;275:E73–E78.

32

Anda mungkin juga menyukai