Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

HIPOALDOSTERONISME





Pembimbing:
dr. Eddy Setijoso, Sp.PD-KGEH


Penyaji:
Gabriela Christy (2012-061-028)

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Periode 24 Maret 31 Mei 2014
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Indonesia
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang maha esa karena atas rahmatNya
referat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Adapun judul referat ini adalah
Hipoaldosteronisme yang dibuat pada bulan Mei tahun 2014.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Eddy Setijoso, Sp.PD-KGEH selaku
pembimbing referat atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama proses pembuatan
referat ini hingga referat ini selesai.
Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam referat ini sehingga
masukan yang diberikan dapat menjadi kritik yang membangun demi kemajuan bersama.

Jakarta, Mei 2014
Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........i
DAFTAR ISI..ii
BAB I PENDAHULUAN..1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA2
2.1. Definisi2
2.2. Gambaran Klinis.....2
2.3. Pemeriksaan Penunjang...2
2.4. Defisiensi Aldosteron Primer..3
2.5. Defisiensi Aldosteron Sekunder..7
2.6. Resistensi Mineralokortikoid12

BAB III KESIMPULAN..18

DAFTAR PUSTAKA......19

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Aldosteron merupakan salah satu dari banyak hormon yang dihasilkan oleh korteks
kelenjar adrenal dan termasuk golongan hormon mineralokortikoid, yaitu hormon yang
berfungsi dalam regulasi elektrolit (natrium dan kalium) dalam tubuh. Aldosteron dihasilkan
oleh zona glomerulosa korteks kelenjar adrenal dan dipengaruhi oleh kadar angiotensin II dan
kalium dalam darah. Sembilan puluh persen aktivitas mineralokortikoid tubuh bergantung
pada aldosteron.
Aldosteron bekerja pada tubulus distal dan duktus kolektivus nefron pada ginjal.
Aldosteron berfungsi untuk meningkatkan absorpsi natrium dan meningkatkan sekresi
kalium. Dengan kata lain, aldosteron menyebabkan retensi natrium dalam cairan ekstraseluler
dan meningkatkan ekskresi kalium dalam urin.
Kekurangan sekresi aldosteron dapat menyebabkan keluarnya natrium melalui urin
sebanyak 10 hingga 20 gram per hari, yaitu sebanyak 10-20% kadar natrium tubuh. Pada
waktu yang bersamaan, kalium akan tersimpan dalam jumlah banyak pada cairan
ekstraseluler. Kehilangan sekresi adrenokortikal total dapat menyebabkan kematian dalam
waktu 3 hari hingga 2 minggu kecuali pasien tersebut menerima terapi mineral ekstensif atau
pemberian mineralokortikoid. Tanpa mineralokortikoid, konsentrasi ion kalium dalam cairan
ekstraseluler meningkat tajam, natrium dan klorida keluar secara cepat dari dalam tubuh, dan
volume darah dan cairan ekstraseluler menurun drastis. Pasien tersebut akan segera
mengalami penurunan cardiac output, yang akan berlanjut menjadi keadaan shock, kemudian
diakhiri oleh kematian.
1

Hipoaldosteronisme atau defisiensi aldosteron memiliki berbagai macam sebab seperti
kelainan bawaan hingga pengaruh dari obat-obatan. Selain defisiensi aldosteron, terdapat
suatu keadaan yang disebut resistensi mineralokortikoid, yaitu kurangnya respon tubuh
terhadap aldosteron.
2
Dalam referat ini akan dibahas mengenai hipoaldosteronisme dan
resistensi mineralokortikoid.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Hipoaldosteronisme adalah defisiensi aldosteron selektif tanpa disertai perubahan
dalam produksi kortisol. Hipoaldosteronisme dapat disebabkan kelainan bawaan dalam
proses biosintesis, kerusakan zona glomerulosa, kelainan fungsi sistem renin-angiotensin,
adrenalektomi, atau pengaruh obat-obatan. Resistensi mineralokortikoid, atau
pseudohipoaldosteronisme, adalah rendahnya respon tubuh terhadap aldosteron meskipun
kadarnya dalam tubuh cukup memadai.
2


2.2. Gambaran Klinis
Gejala-gejala defisiensi mineralokortikoid berupa nyeri perut, mual, muntah, pusing,
dan pasien merasa ingin makan makanan yang asin atau mengandung banyak garam.
3,4
Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan hipotensi (tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg)
dan hipotensi postural. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada penderita
hipoaldosteronisme adalah peningkatan kreatinin serum (karena deplesi volume),
hiponatremia, dan hiperkalemia.
3,4


2.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk mengevaluasi pasien
hipoaldosteronisme adalah kadar kalium serum, natrium serum, kreatinin serum, kalium urin,
natrium urin, kadar aldosteron serum, dan renin serum.
5

Tabel 1. Diagnosis banding penurunan kadar aldosteron serum.
5

Diagnosis Banding Pemeriksaan Tambahan
Penurunan aldosteron disertai peningkatan renin
Insufisiensi adrenokortikal primer Darah lengkap, natrium, kalium, kalsium,
keseimbangan asam-basa, glukosa, ureum,
kreatinin, kortisol, ACTH, uji stimulasi
ACTH
Kelainan kongenital sintesis steroid (sindrom Natrium, kalium, kortisol,
adrenogenital) dihidroepiandrostenedion, androstenedion,
17-OH progesteron
Penurunan aldosteron disertai penurunan renin
Pseudohiperaldosteronisme (syndrome of
apparent mineralocorticoid excess, sindrom
Liddle, sindrom Cushing, sindrom resistensi
kortisol, tumor yang memproduksi 11-
deoksikortisol)
Natrium dan kalium urin, keseimbangan
asam-basa, kortisol, 11-deoksikortisol.
Hiponatremia Natrium serum dan urin
Hiperkalemia Kalium serum dan urin
Konsumsi licorice berlebih Natrium dan kalium dalam serum dan urin
Obat-obatan (beta-blocker, reserpin,
metildopa, klonidin, carbenoksolon, glikosida
kardiak, antiinflamasi, heparin, vasopressin,
kortikosteroid, litium dosis rendah)
Natrium dan kalium dalam serum dan urin

2.4. Defisiensi Aldosteron Primer
2.4.1. Kelainan Bawaan
Kelainan bawaan dalam proses oksidasi kortikosteron menjadi aldosteron
dideskripsikan sebagai defisiensi kortikosteron metiloksidase tipe I (corticosterone methyl
oxidase type I deficiency/CMO I) dan defisiensi kortikosteron metiloksidase tipe II
(corticosterone methyl oxidase type II deficiency/CMO II). Kortikosteron pertama-tama akan
dihidroksilasi dan dioksidasi pada posisi 18 untuk menghasilkan aldosteron. CMO I disebut
juga 18-hidroksilase; CMO II disebut juga aldosteron sintase atau aldosteron oksidase.
Defisiensi CMO II lebih sering terjadi dibandingkan defisiensi CMO I. Enzim CMO I dan
CMO II memiliki aktivitas di dalam isozim steroid 11b-hidroksilase; aktivitas isozim ini
terbatas pada zona glomerulosa. Aktivitas 18-hidroksilase dan 18-oksidase diperlukan dalam
produksi aldosteron. Mutasi gen yang membentuk isozim tersebut akan mengakibatkan defek
dalam sintesis aldosteron.




Gambar 1. Langkah-langkah terminal dalam biosintesis aldosteron. Defisiensi CMO tipe I
dan tipe II menunjukkan defek dalam reaksi hidroksilase-oksidase. Dalam defisiensi CMO
tipe I, kadar produk 18-hidroksilase, 18-OH-kortikosteron menurun. Dalam defisiensi CMO
tipe II, produksi 18-OH-kortikosteron meningkat. Pada keduanya terjadi defisiensi
aldosteron.

Defisiensi CMO I sangat jarang terjadi. Secara biokimiawi, defisiensi CMO I ditandai
dengan peningkatan produksi kortikosteron oleh zona glomerulosa korteks adrenal tanpa
peningkatan kadar 18-hidroksikortikosteron disertai tanda kekurangan aldosteron. Sebagian
kecil laporan kasus menunjukkan keraguan mengenai penentuan defisiensi CMO tipe I dan
tipe II karena pengukuran 18-hidrokortikosteron tidak tersedia.
Defisiensi CMO II diturunkan secara autosomal resesif. Defisiensi ini jarang terjadi
tetapi menurut pengamatan, terdapat peningkatan angka kejadian pada kelompok orang
Yahudi dan Iran.
Pada defisiensi CMO I dan CMO II, tingkat keparahan manifestasi klinis berbanding
terbalik pada usia pasien saat diagnosis. Manifestasi klinis akan semakin ringan seiring
dengan bertambahnya usia anak tersebut. Defisiensi CMO II bila dikenali secara klinis,
memiliki onset pada usia 1 minggu hingga 3 bulan dan ditandai oleh dehidrasi berat, muntah,
dan gagal tumbuh. Hiponatremia, hiperkalemia, dan asidosis metabolik ditemukan pada
semua kasus. Aktivitas renin plasma meningkat, dan kadar aldosteron plasma rendah. Selain
itu, kadar 18-hidroksikortikosteron meningkat dan rasio 18-hidroksikortikosteron:aldosteron
plasma melebihi 5. Pada anak-anak yang lebih besar, remaja, dan orang dewasa, pola steroid
abnormal yang dikemukakan tadi dapat terjdi dan menetap seumur hidup tanpa manifestasi
klinis.
Mineralokortikoid (fludrokortison) diberikan pada masa kanak-kanak awal, tetapi
pada sebagian besar kasus terapi ini tidak perlu diberikan terus menerus. Kesembuhan
spontan dapat terjadi pada pasien yang tidak diterapi. Masih belum jelas mengapa defisiensi
aldosteron jauh lebih berbahaya pada masa kanak awal dibandingkan pada dewasa.
Hipoaldosteron yang disebabkan sekresi renin yang rendah pada pasien tua memiliki
signifikansi klinis, tetapi pasien dengan hipoaldosteronisme herediter asimptomatik yang
disebabkan defisiensi CMO I atau CMO II tidak menunjukkan manifestsi hipoaldosteronisme
hiporeninemik. Hal yang sama juga terjadi pada pasien dengan pseudohipoaldosteronisme.
2


2.4.2. Kegagalan Fungsi Glomerulosa Adrenal
2.4.2.1. Kegagalan Adrenal Autoimun
Seiring dengan perjalanan penyakit kegagalan adrenal autoimun, defisiensi aldosteron
selektif dapat muncul sementara fungsi zona fasikulata tetap terjaga. Meskipun respon
glukokortikoid terhadap kortikotropin (ACTH), metirapon, atau hipoglikemia karena insulin
bisa normal, aktivitas renin plasma meningkat dan kadar kortikotropin rendah atau tidak
terdeteksi. Hal ini disertai asidosis metabolic ringan dan terkadang dapat disertai
hiponatremia. Pada tahap akhir penyakit ini dapat terjadi progresifitas menjadi insufisiensi
panadrenal. Onset defisiensi mineralokortikoid dan glukokortikoid dapat muncul secara
terpisah sejauh satu tahun.
Pada defisiensi aldosteron selektif yang disebabkan penyakit autoimun, dapat
ditemukan antibodi antiadrenal. Bila terjadi bersamaan dengan kandidiasis mukokutaneus dan
hipoparatirodisme, hal ini merupakan suatu bentuk dari endokrinopati autoimun multipel.
Pasien dengan hemokromatosis idiopatik, kelemahan tubuh, hipotensi postural, dan
penurunan libido ditemukan memiliki intoleransi glukosa ringan dan kadar gonadotropin
rendah disertai dengan normokalemia, hiponatremia, dan peningkatan kadar ureum yang
tidak terlalu besar. Aktivitas renin plasma meningkat, dan kadar aldosteron menurun. Respin
kortisol terhadap ACTH dan kadar 17-hidroksisteroid urin normal. Pasien tidak dapat
menahan natrium dalam tubuh dengan pemberian diet rendah natrium. Hal ini menunjukkan
bahwa defisiensi mineralokortikoid dapat terjadi karena kegagalan sel glomerulosa yang
disebabkan penumpukan zat besi.

2.4.2.2. Hipoaldosteronisme Karena Penyakit Lain
Hipoaldosteronisme hipereninemik dapat terjadi pada pasien dengan penyakit berat,
seperti sepsis dan gangguan hemodinamik. Kebanyakan pasien mengidap penyakit yang
berkepanjangan dan mengalami hipotensi dalam jangka waktu lama, dengan atau tanpa
hiperkalemia. Sekresi kortisol meningkat, sesuai dengan tingkat stress pasien tersebut.
Karena sekresi aldosteron, kortikosteron, dan 18-hidroksikortikosteron tersupresi dalam
waktu 48 hingga 96 jam stimulasi ACTH yang terus menerus, sekresi ACTH berkepanjangan
karena stress dapat merusak enxim 11b-hidroksilase dan 18b-hidroksilase dan hal ini
mungkin merupakan mekanisme di balik sindrom defisiensi aldosteron pada pasien dengan
sakit berat. Akan tetapi, pasien-pasien tersebut mengalami peningkatan rasio 18-
hidroksikortikosteron:aldosteron dan gangguan respon aldosteron terhadap pemberian
angiotensin II. Hal ini menunjukkan inhibisi selektif mungkin memiliki peran dalam proses
penyakit ini. Karena hipoksia berhubungan dengan peningkatan aktivitas renin dan sekresi
kortisol, disertai dengan penurunan sekresi aldosteron, insufisiensi aktivitas CMO II dapat
merupakan akibat dari hipoksia atau faktor sirkulasi lain yang berpengaruh pada zona
glomerulosa. Hasil otopsi pada pasien dengan sindrom ini menunjukkan atrofi atau nekrosis
pada hampir seluruh lapisan kelenjar adrenal, termasuk zona glomerulosa. Meskipun begitu,
nekrosis pada zona glomerulosa tanpa disertai nekrosis daerah lain tidak ditemukan. Ini
mungkin disebabkan darah mengalir dari korteks menuju medulla, dan hipoperfusi akan
mempengaruhi daerah dalam dari kelenjar adrenal terlebih dahulu.
Hipoaldosteronisme hipereninemik dapat disebabkan pelepasan sitokin-sitokin pada
penyakit kronis. Tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-1, yang bersifat pirogen dan
katabolik, ditemukan meningkat dalam cairan tubuh pada infeksi berat, dan keduanya
diketahui menghambat efek stimulasi dari angiotensin II dan ACTH pada sekresi aldosteron.
Tetapi tidak ditemukan perubahan pada efek kalium dalam pelepasan aldosteron. Meskipun
asam 12-hidroksieikosanoat menstimulasi aldosteron dan merupakan second messenger dari
angiotensin II, TNF menghambat stimulasi angiotensin II terhadap pelepasan asam 12-
hidroksieikosanoat.
Ada kemungkinan bahwa kadar atrial natriuretic hormone (ANH) yang tinggi saat
sakit berkontribusi terhadap kadar aldosteron. ANH adalah penekan kuat sekresi aldosteron
baik secara in vitro maupun in vivo. ANH menekan sekresi aldosteron meskipun pasien
dalam posisi berdiri atau menerima suntikan angiotensin II. Pada sel kelenjar adrenal yang
dikultur, ANH juga menurunkan sekresi aldosteron yang biasanya terjadi setelah stimulasi
menggunakan kalium, angiotensin II, dan ACTH. Sekresi ANH dapat distimulasi oleh
ekspansi volume subklinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal ringan, gagal jantung,
aritmia atrium, atau penyakit jantung subklinis lain yang berhubungan dengan distensi
atrium. Banyak pasien dengan penyakit berat menerima obat yang dapat mempengaruhi aksis
renin-angiotensin-aldosteron. Karena tidak ada komplikasi klinis hebat yang dilaporkan pada
bentuk hipoaldosteronisme ini, terapi biasanya tidak diperlukan dan hanya perlu menghindari
penggunaan obat yang dapat memperparah hipoaldosteronisme.
2


2.5. Defisiensi Aldosteron Sekunder
2.5.1. Sindrom Hipoaldosteronisme Hiporeninemik
2.5.1.1. Gambaran Umum
Sindrom hipoaldosteronisme hiporeninemik (SHH), atau disebut juga distal renal
tubular acidosis type 4, merupakan kasus yang sering terjadi. SHH biasanya terjadi pada usia
paruh baya dan lansia (usia rerata 68 tahun) dan lebih sering terjadi pada pria dibanding
wanita. Kurang dari setengah pasien SHH menderita diabetes mellitus, dan pada 80 persen
pasien ditemukan gagal ginjal kronis. Kondisi ini sering terjadi pada pasien dengan penyakit
ginjal bentuk tubulointerstisial, tetapi dapat ditemukan pada kelainan ginjal apapun. Lima
puluh hingga 70 persen pasien dengan hiperkalemia dan penyakit ginjal tanpa sebab yang
jelas disertai GFR yang cukup untuk membuat keadaan normokalemia ditemukan mengalami
SHH.
Sebagian besar pasien dengan SHH memiliki aktivitas renin plasma dan aldosteron
yang rendah sehingga tidak dapat distimulasi dengan cara yang biasa digunakan. Asidosis
metabolik hiperkloremik terjadi pada kurang dari 70% kasus, dan hiponatremia ringan hingga
sedang terjadi pada 50% kasus. Hiperkalemia ditemukan pada semua kasus. Pasien-pasien
tersebut menunjukkan ekskresi fraksional kalium yang menurun sehubungan dengan GFR
dan penurunan respon terhadap stimulus kaliuretik (natrium bikarbonat, natrium sulfat, dan
diuretik) dan kalium klorida intravena. Hiperkalemia yang terjadi tidak sebanding dengan
derajat insufisiensi renal. Mekanisme yang diduga terjadi meliputi hiporeninemia karena
kerusakan organ jukstaglomerular, insufisiensi simpatik, kelainan produksi prostaglandin
ginjal, atau kelainan konversi prorenin menjadi renin. Produksi renin yang rendah bukan
merupakan faktor utama karena pada beberapa pasien dapat ditemukan aktivitas renin plasma
yang normal. Pada kasus-kasus tertentu terjadi retensi natrium yang berakibat ekspansi
volume dan terjadi supresi sekunder dari renin dan aldosteron. Penyebab utama dari nefritis
interstisial, dimana hiperkalemia dapat terjadi sebelum atau pada awal dari gagal ginjal
kronis, adalah abnormalitas anatomi genitourinaria, penyalahgunaan aspirin atau fenasetin,
hiperurisemia, nefrokalsinosis, nefrolitiasis, dan penyakit sickle cell.
Pasien diabetes lebih rentan menderita hiperkalemua karena defisiensi insulin dan
hiperglikemia. Defisiensi insulin dan hiperglikemia dapat menyebabkan kelainan pada
distribusi kalium dalam tubuh secara independen, tanpa bergantung satu dengan yang
lainnya. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas ekstraseluler, yang kemudian
menyebabkan pengeluaran kalium dari sel. Selain itu, defisiensi insulin mencegah masuknya
kalium ke dalam sel, hal ini diduga berhubungan dengan kerja metabolik dari insulin.
Insufisiensi otonom, yang dapat merupakan komplikasi diabetes, mengakibatkan
hipoaldosteronisme hiporeninemik, dan derajat keparahan neuropati otonom berhubungan
dengan durasi hiperglikemia pada pasien.
Gammopati immunoglobulin M monoklonal diduga berhubungan dengan
glomerulosklerosis noduler, defek pada pemekatan urin, dan hipoaldosteronisme
hiporeninemik. Hipoaldosteronisme ini berhubungan dengan fungsi ginjal yang menurun,
menunjukkan bahwa nefropati k light-chain adalah penyebab sindrom tersebut.
Pasien dengan AIDS dapat mengalami hiperkalemia persisten karena insufisiensi
adrenal atau hipoaldosteronisme hiporeninemik. Pasien biasanya memiliki respon aldosteron
yang adekuat, menunjukkan bahwa hipoaldosteronisme pada pasien-pasien tersebut
disebabkan oleh rendahnya kadar renin.

2.5.1.2. Terapi Sindrom Hipoaldosteronisme Hiporeninemik
Belum ada terapi ideal untuk SHH. Kebanyakan pasien dengan hipoaldosteronisme
selektif ringan tidak memerlukan terapi. Dengan langkah-langkah pencegahan dan edukasi
pasien, terapi bisa tidak diperlukan. Keputusan untuk memberikan pengobatan pada SHH dan
pemilihan agen terapeutik spesifik bergantung ppada beberapa faktor, di antaranya derajat
hiperkalemia, keparahan insufisiensi renal, adanya diabetes melitus, tekanan darah, dan status
keseimbangan natrium tubuh. Ketika diagnosis SHH ditegakkan, faktor yang memperparah
atau memperpanjang supresi biogenesis renin dan aldosteron harus dihindari.
Mengurangi asupan kalium merupakan langkah paling efektif dalam mengontrol
hiperkalemia pada SHH. Makanan rendah natrium dan penggunaan pengganti garam, yang
seringkali mengandung kalium sebagai kation alternatif (seperti susu rendah garam yang
mengandung kalium 60 mEq/L), harus dihindari. Contoh makanan tinggi kalium adalah
buah-buahan yang dikeringkan (30 mEq/cup), daging (60 mEq/pound) dan kopi tanpa kafein
(4 mEq/cangkir). Sumber kalium yang lain meliputi transfusi darah (30mEq/L) dan penisilin
dosis tinggi (1.7 mEq/ 10
6
U).
Kontrol homeostasis glukosa jangka panjang pada diabetes melitus dapat mengurangi
resiko terjadinya SHH. Insufisiensi otonom mungkin dihindari pada diabetes yang terkontrol
dengan bauk. Karena banyak obat yang dapat mempengaruhi aksis renin-aldosteron, penting
untuk menghindari obat-obatan tersebut. Penghambat reseptor -adrenergik, inhibitor
prostaglandin sintetase, dan diuretik hemat kalium harus dihindari pada pasien SHH dan
pasien diabetes dengan hipoaldosteronisme laten. Calcium-channel blocker,
antidopaminergik, dan obat lain yang menurunkan fungsi adrenal harus digunakan secara
berhati-hati. Pasien yang mendapat terapi ACE inhibitor harus dimonitor untuk terjadinya
hiperkalemia. Pemberian heparin dalam jangka waktu lama harus dihindari karena dapat
memperparah hipoaldosteronisme dan berhubungan dengan hiperkalemia yang fatal.
Pada SHH bereat, fludrokortison asetat digunakan dengan dosis 0.1 hingga 1 mg per
hari, yang ekuivalen dengan 200 hingga 2000 g aldosteron per hari. Sembilan puluh persen
pasien menjadi normokalemia dengan pemberian fludrokortison, yang tetap memiliki resiko
retensi garam, hipertensi, dan edema.
Diuretik adalah terapi utama untuk SHH dan penyakit penyerta yang berkaitan dengan
retensi natrium. Pasien lansia dengan hipertensi, gangguan ginjal ringan, dan gagal jantung
memiliki respon lebih baik terhadap terapi diuretik dibandingkan terapi pemberian
mineralokortikoid. Karena kaliuresis adalah tujuan terapi diuretik, pemilihan obat kaliuretik
poten sangatlah penting. Klortalidon dan hidroklorotiazid merupakan pilihan terbaik. Diuretik
loop, seperti furosemid dan asam etakrinat, merupakan obat kaliuretik yang kurang poten dan
menyebabkan natriuresis yang lebih hebat. Keuntungan lain dari terapi diuretik adalah
stimulasi pelepasan renin residual pada pasien dengan hiporeninisme yang disebabkan
insufisiensi otonom.
Natrium bikarbonat tidak dapat direkomendasikan sebagai terapi rutin dalam
pengobatan hipoaldosteronisme hiporeninemik karena berbahaya bagi pasien lansia dengan
gangguan ginjal, gagal jantung, dan hipertensi. Natrium polistiren sulfonat (kayexalate), resin
pengganti kation, membuang kalium 1 meq/g dengan mengganti natrium dengan kalium
dengan perbandingan 1 hingga 1.5. Oleh karena itu, obat ini meningkatkan kadar natrium dan
merupakan kontraindikasi bagi pasien yang tidak dapat mentolerir peningkatan natrium.
Resin pengganti kalsium sedang dalam penelitian dan dapat tersedia sebagai terapi alternatif.


2.5.2. Hipoaldosteronisme Pasca Adrenalektomi karena Aldosteronoma
Hipoaldosteronisme karena ekspansi volume kronis ditemukan pada pasien pasca
adrenalektomi setelah eksisi adenoma yang memproduksi aldosteron. Pasien-pasien tersebut
mengalami hiperkalemia berat dan hipotensi yang berlangsung selama beberapa hari hingga
beberapa minggu setelah pembedahan. Bentuk yang sama dari hipoaldosteronisme karena
ekspansi volume juga ditemukan pada pasien yang mengonsumsi natrium bikarbonat (soda
kue) dalam waktu lama untuk mengobati gejala gastrointestinal.

2.5.3. Inhibisi Aldosteron karena Obat-obatan
Obat-obatan seperti siklosporin, heparin, dan calcium channel blockers secara spesifik
menghambat biogenesis aldosteron pada zona glomerulosa kelenjar adrenal. Siklosporin A
menyebabkan hipoaldosteronisme karena efek ganda pada korteks adrenal, yaitu blokade akut
angiotensin II dan inhibisi pertumbuhan dan kapasitas steroidogenik sel korteks adrenal. Efek
yang kedua mungkin disebabkan oleh gangguan sintesis protein. Glikosaminoglikan
polisulfat, seperti heparin sodium, dapat mengganggu biosintesis aldosteron. Dengan
pemberian yang berkepanjangan, heparin dapat mengakibatkan hipoaldosteronisme signifikan
dengan hiperkalemia berat karena efek toksik pada zona glomerulosa. Hal ini dibuktikan
dengan terjadinya hipoaldosteronisme hipereninemik dan atrofi zona glomerulosa. Dosis
yang paling tidak toksik dari heparin masih belum diketahui, tetapi pemberian 20.000 U per
hari selama lima hari dapat menekan sekresi aldosteron. Ini merupakan penyebab
hipoaldosteronisme yang jarang tetapi dapat menyebabkan hiperkalemia yang fatal. Efek ini
lebih mungkin disebabkan oleh klorbutanol, zat pengawet dalam heparin, dibandingkan
heparin itu sendiri. Defisiensi aldosteron karena heparin digunakan untuk terapi pada
beberapa pasien glomerulonefritis kronis dan hiperaldosteronisme. Calcium channel blocker
menghambat biosintesis aldosteron, dan pada kondisi klinis tertentu dapat menyebabkan
hipoaldosteronisme dengan mengurangi sekresi aldosteron melalui inhibisi influks kalsium.
-blocker dan inhibitor prostaglandin sintetase seringkali merupakan penyebab dari
hipoaldosteronisme hiporeninemik. Sel jukstaglomerular yang mensintesis dan mensekresi
renin, memiliki reseptor -adrenergik. Stimulus neuronal intrinsik dan adrenergic ekstrinsik
memicu reseptor ini, menyebabkan pelepasan renin. Akibatnya, obat yang menghambat
reseptor -adrenergik akan mempengaruhi sekresi renin dan dapat menyebabkan
hipoaldosteronisme. Inhibitor prostaglandin sintetase, yang menghambat siklooksigenase
secara spesifik, menghambat pelepasan renin dan dapat menyebabkan hiperkalemia berat.
Prostaglandin E2 (PGE2) menstimulasi pelepasan renin secara langsung, mungkin karen efek
langsung pada organ jukstaglomerular. Pelepasan renin akibat furosemid dihambat oleh
indometasin dan inhibitor prostaglandin sintetase lain.
2


Tabel 2. Obat yang menghambat sekresi dan atau efek aldosteron.
2

Heparin (klorbutanol)
Siklosporin A
Calcium channel blocker
-blocker
Inhibitor prostaglandin sintetase
ACE inhibitor
Spironolakton
Triamteren
Amilorid
Aminoglutetimid
Metirapon
Trilostan
Bromokriptin

ACE inhibitor dan diuretik hemat kalium dapat berkontribusi pada
hipoaldosteronisme dan hiperkalemia dalam berbagai kondisi. ACE inhibitor bekerja dengan
inaktivasi angiotensin-converting enzyme, yang akan memutus aksis renin-aldosteron dan
mengakibatkan hipoaldosteronisme iatrogenik. Spironolakton memiliki dua efek, yaitu
sebagai antagonis reseptor mineralokortikoid dan menghambat biosintesis aldosteron, diduga
dengan cara kompetisi dengan biogenesis kortikosteroid. Triamteren menyebabkan retensi
kalium dengan bekerja pada tubulus distal yang tidak dimediasi aldosteron. Amiloride
bekerja pada permukaan luminal membrane epitel dengan menghambat kanal natrium,
menyebabkan resorpsi natrium yang sedikit tetapi tidak menyebabkan sekresi kalium.
Obat-obatan yang mengganggu fungsi adrenal semakin banyak digunakan untuk
terapi hormonal kanker payudara dan terapi sindrom Cushing. Obat-obat tersebut dapat
menyebabkan hipoaldosteronisme. Aminoglutetimid, metirapon, dan trilostan menghambat
steroid seks adrenal. Dosis rendah dari obat-obat tersebut mungkin tidak berhubungan dengan
hiperkalemia karena sekresi precursor aldosteron, seperti deoksikortikosteron, dapat
memberikan aktivitas mineralokortikoid signifikan.
Obat-obat yang mempengaruhi sistem dopaminergik menyebabkan perubahan
signifikan pada sekresi aldosteron. Aldosteron dipercaya di bawah pengaruh dopamin, oleh
karena itu pemberian agonis dopamin, contohnya bromokriptin, dapat mengganggu sekresi
aldosteron.

2.6. Resistensi Mineralokortikoid
Resistensi mineralokortikoid dapat diartikan kurangnya respon terhadap aldosteron
meskipun jumlahnya dalam tubuh memadai. Aldosteron berikatan dengan reseptor
mineralokortikoid intraseluler, yang berinteraksi dengan DNA. Untuk mempengaruhi
transkripsi gen dan sintesis protein seperti Na/K-ATPase pada permukaan basolateral sel
epotel ginjal dan kanal natrium epitel yang sensitif terhadap amiloride (amiloride-sensitive
epithelial sodium channel/ENaC) pada membran apikal, masuknya natrium yang dimediasi
oleh ENaC ke dalam sel menandai pembatasan reabsorpsi natrium.

2.6.1. Pseudohipoaldosteronisme Tipe I
Pseudohipoaldosteronisme tipe I (PHA I) adalah kelainan pengeluaran garam
herediter yang jarang, dijabarkan pertama kali pada tahun 1958 sebagai kelainan respon
renal-tubular terhadap mineralokortikoid pada masa balita. Pasien mulai menunjukkan gejala
pada masa neonatus. Manifestasi klinis yang ada yaitu dehidrasi, hiponatremia, hipokalemia,
asidosis metabolik, dan gagal tumbuh meskipun fungsi ginjal dan adrenal normal. Ketika
pasien tidak memberikan respon terhadap terapi mineralokortikoid, harus dipikirkan
kemungkinan PHA I sebagai penyebabnya. Penegakan diagnosis meliputi kadar aldosteron
dan renin plasma yang meningkat. PHA I dapat diturunkan secara resesif maupun dominan.
Anak dengan PHA I memiliki defek primer yang berpengaruh pada reabsorpsi natrium di
ginjal.
Analisis lebih jauh mengenai PHA I menunjukkan bahwa PHA I dapat dibagi menjadi
dua kelompok kelainan yang berbeda dengan karakteristik genetik dan fisiologis yang
berbeda, yaitu PHA I renal dan PHA I multiorgan. PHA I renal mengikuti hukum Mendel dan
diturunkan secara autosomal dominan. Pada penyakit ini, resistensi mineralokortikoid hanya
terbatas pada ginjal. Kondisi pasien akan membaik pada beberapa tahun pertama kehidupan,
sehingga terapi tidak perlu diberikan terus-menerus.
PHA I multiorgan atau generalisata juga mengikuti hukum Mendel tapi diturunkan
secara autosomal resesif. Orangtua pasien biasanya memiliki kadar renin dan aldosteron yang
normal. Dua karakter utama yang membedakan bentuk penyakit ini dengan bentuk renal
adalah pasien memiliki kelainan multiorgan sehingga resistensi mineralokortikoid tidak
hanya terbatas pada ginjal (terdapat pada ginjal, kelenjar keringat, kelenjar liur, dan mukosa
kolon), dan kondisi ini tidak membaik seiring dengan bertambahnya usia pasien. Oleh karena
itu, penyakit ini dianggap lebih parah. Karena reabsorpsi natrium dibarengi dengan sekresi
ion hidrogen dan kalium, pasien sering menunjukkan sekresi kalium dan hydrogen yang
menurun disertai penurunan reabsorpsi natrium. Akibatnya, kalium dan ion hydrogen
terakumulasi dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperkalemia dan asidosis metabolik.
Selain itu, berkurangnya volume vaskuler terdeteksi oleh pembuluh darah pada daerah
jukstaglomerular, menyebabkan peningkatan sekresi renin. Peningkatan kadar renin plasma
akan menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron melalui efek angiotensin II.
Pada awalnya PHA I, analog dengan sindrom resistensi hormone steroid, dianggap
disebabkan oleh defek pada reseptor mineralokortikoid, entah karena ketiadaan atau
defisiensi dari reseptor atau karena abnormalitas struktur reseptor (seperti defek pada tempat
pengikatan aldosteron). Gen reseptor mineralokortikoid terdapat pada kromosom 4 dan
terlokalisir pada 4q31.1-31.2. Meskipun terdapat bukti yang mendukung bahwa terdapat
defek pada gen reseptor mineralokortikoid, sebagian besar studi menunjukkan hasil yang
tidak konsisten.
Meskipun keterlibatan reseptor mineralokortikoid pada PHA I belum sepenuhnya
disingkirkan, ada hipotesis bahwa PHA I mungkin merupakan kondisi heterogen yang
disebabkan oleh kelainan pada prereseptor maupun postreseptor. Pada level prereseptor,
mungkin ada beberapa faktor yang berkompetisi dengan tempat pengikatan aldosteron
sehingga menyebabkan kerusakan reseptor mineralokortikoid. Pada level postreseptor, ada
hipotesis bahwa PHA I mungkin disebabkan defek pada salah satu atau kedua proteiun yang
dipengaruhi aldosteron, yaitu Na/K-ATPase dan atau ENaC.

2.6.2. Kanal Natrium Epitelial yang Sensitif terhadap Amiloride (ENaC)
ENaC adalah kanal natrium selektif yang terdapat pada permukaan apikal dari epitel
jaringan yang mereabsorpsi garam, meliputi nefron distal, kolon distal, kelenjar keringat,
kelenjar liur, paru-paru, dan taste bud. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, ENaC
memiliki peran penting dalam kontrol keseimbangan natrium, volume cairan ekstraseluler,
dan tekanan darah, karena pemasukan natrium oleh ENaC ke dalam sel pada epitel tersebut
menunjukkan pembatasan transpor natrium dari sisi mukosal menuju sisi serosal. Kanal-kanal
ini memfasilitasi transpor natrium ke salam sel melalui difusi tanpa dipengaruhi oleh aliran
zat terlarut lain dan tanpa menggunakan energy metabolik. ENaC sering disebut sensitif
terhadap amiloride karena sensitivitasnya yang tinggi terhadap amiloride dan analognya.
Kanal-kanal ini distimulasi langsung oleh aldosteron dan dihambat oleh amiloride.
ENaC terdiri dari tiga subunit, yaitu a, b, dan g. Tiga subunit tersebut 35% homolog
pada level asam amino dan bertahan melalui evolusi. Tiga subunit tersebut juga memiliki
struktur yang mirip dan memiliki karakteristik berikut: terminal karboksil asam amino
intraseluler pendek, dua daerah transmembran, dan lengkung ekstraseluler besar. Lokus
genetic pengkodean subunit a ENaC sudah dilacak pada kromosom 12, dan gen pengkodean
subunit b an g sudah dilacak pada kromosom 16. Subunit a sudah terlokalisir pada 12p13.1-
pter, dan subunit b dan g sudah terlokalisir pada 16p12.2-13.11. Subunit a dianggap sebagai
subunit yang paling penting dalam fungsi ENaC.

2.6.3. Dua Tipe Pseudohipoaldosteronisme Tipe I
Subunit a adalah subunit terpenting dari tiga subunit ENaC dan diperlukan untuk
aktivitas ENaC dapat berjalan normal. Oleh karena itu, dapat dibuat asumsi bahwa sebuah
subunit a yang tidak memiliki semua daerahnya bisa menyebabkan protein kanal yang tidak
berfungsi. Kedua mutasi ini menyebabkan hilangnya aktivitas ENaC kaerna kedua daerah
transmembran diperlukan untuk aktivitas kanal yang normal.
Pada subunit b, mutasi menyebabkan penggantian glisin menjadi serin pada asam
amino 37. Glisin pada posisi 37 subunit b ENaC terletak pada segmen sebelum daerah
transmembran pertama yang homolog dengan seluruh gen ENaC lain. Mutasi pada subunit b
telah dibuktikan menghilangkan aktivitas ENaC tetapi tidak menyebabkan hilangnya aktivitas
sepenuhnya. Meskipun mutasi ini ada, aktivitas ENaC masih lebih tinggi bila dibandingkan
dengan hilangnya subunit b.
Kerja ENaC melibatkan mekanisme kompleks yang masih belum dimengerti secara
jelas. Akan tetapi, diduga bahwa segmen yang terdiri 20 asam amino dan mengandung glisin
mengontrol kerja ENaC sehingga mutasi glisin menjadi serin pada subunit b akan
mengganggu terbukanya ENaC. Mutasi glisin akan mengganggu fungsi normal ENaC dan
merubah ekuilibrium dari pembukaan ENaC, sehingga waktu terbuka akan menjadi pendek
dan akan waktu tertutup akan memanjang. Selain itu, glisin merupakan bagian dari daerah
fungsional ENaC yang diatur secara langsung atau tidak langsung oleh aldosteron. Seperti
yang sudah dikemukakan sebelumnya, ENaC distimulasi oleh aldosteron. Hipotesis yang
sudah dikemukakan sebelumnya akan membantu dalam penjelasan mengapa pasien PHA I
dengan mutasi ini pada subunit b tidak memberikan respon terhadap peningkatan kadar
aldosteron dan pemberian mineralokortikoid eksogen.
Dua mutasi tambahan pada subunit g ENaC menjelaskan penyebab PHA I autosomal
resesif. Satu mutasi melibatkan penggantian tiga asam amino, yaitu Lys-Tyr-Ser oleh Asn di
lengkung ekstraseluler yang bersebelahan langsung dengan daerah transmembran. Mutasi
yang kedua adalah delesi 300 nukleotida pada lengkung ekstraseluler yang memasukkan
kodon stop sebelum daerah transmembran kedua. Kedua mutasi ini diduga menyebabkan
hilangnya sebagian atau seluruh fungsi ENaC.

2.6.3.1. Pseudohipoaldosteronisme Tipe I Multiorgan
Mengetahui bahwa PHA I dapat disebabkan oleh hilangnya fungsi ENaC, para
peneliti berusaha untuk membuktikan bahwa kode mutasi dari subunit a, b, dan g dari ENaC
(berlawanan dengan apa yang terjadi pada sindrom Liddle) dapat menyebabkan ENaC
menjdi tidak fungsional dan tidak member respon terhadap mineralokortikoid. Telah
ditemukan tiga mutasi yang menyebabkan hilangnya fungsi ENaC pada neonatus dengan
PHA I tipe multiorgan. Mutasi ini memperjelas perbedaan antara dua bentuk PHA I.
Dua dari mutasi tseresebut melibatkan subunit a dan satu mutasi melibatkan subunit
b. pada subunit a, delesi dua pasang basa pada kodon 168 menyebabkan mutasi dan
menyebabkan kerusakan protein sebelum daerah transmembran pertama. Mutasi lain pada
subunit a adalah substitusi satu basa pada kodon R508 yang mengganti basa sitosin menjdi
timin. Ini menyebabkan pemendekan subunit a sebelum daerah transmembran edua dengan
measukkan kodon terminasi premature pada daerah ekstraseluler. Hal ini menyebabkan
produksi normal daerah transmembran pertama, tetapi tidak adanya produksi daerah
transmembran kedua atau terminal karboksil di sitoplasma, dan produksi daerah ekstraseluler
yang tidak lengkap.

2.6.3.2. Pseudohipoaldosteronisme Tipe I Renal
Ketika dasar genetika dan patofisiologi PHA I tipe multiorgan atau autosomal resesif
sudah ditetapkan, dan penelitian telah menunjukkan bahwa ENaC mungkin tidak terlibat
dalam patofisiologi PHA I tipe renal atau autosomal dominan, perhatian teralih pada reseptor
mineralokortikoid. Meskipun beberapa penelitian sudah menemukan bukti yang mendukung
bahwa reseptor mineralokortikoid berperan dalam PHA I, penelitian yang lainnya tidak
berhasil menemukan mutasi fungsional pada pengkodean gen reseptor mineralokortikoid.
Secara retrospektif, perlu diingat bahwa hampir semua penelitian tersebut menginvestigasi
pasien dengan PHA I tipe autosomal resesif, yang sudah dikaitkan dengan ENaC. Dua mutasi
sudah diidentifikasi dan hal itu membantu menjelaskan penyebab yang mendasari PHA I tipe
renal. Analisis genetik menemukan delesi dua basa pada ekson 2, yaitu pada kodon 335 dan
kodon 459. Kedua delesi ini menyebabkan produk gen yang tidak memiliki DNA dan daerah
pengikatan hormon.

2.6.3.3. Perbaikan Pseudohipoaldosteronisme Tipe I Renal dengan
Bertambahnya Usia Pasien
Hipotesis yang dapat diterima mengenai perbaikan PHA I dengan bertambahnya usia
adalah peran penting aldosteron dalam homeostasis garam akan menghilang karena
perubahan diet menjadi diet dengan kadar garam lebih tinggi. ASI memiliki kadar natrium
yang sangat rendah, dan kadar aldosteron meningkat pada masa kanak untuk meningkatkan
reabsorpsi natrium. PHA I yang akan bermanifestasi hanya terjadi pada anak-anak dengan
homeostasis garam yang dipengaruhi penyakit lain dengan deplesi volume. Akan tetapi,
perbaikan dengan pertambahan usia masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

2.6.4. Tatalaksana
Pasien PHA I resisten terhadap terapi mineralokortikoid. Oleh karena itu, terapi
standar melibatkan suplementasi natrium klorida (2-8 gram per hari) dan resin pertukaran
kation. Ini biasanya akan memperbaiki ketidakseimbangan biokimiawi pasien. Tetapi, bila
pasien menunjukkan tanda hiperkalemia berat, dialisis peritoneal mungkin diperlukan. Pada
pasien PHA I dengan hiperkalsiuria, terapi yang direkomendasikan biasanya ditambajkan
indometasin atau hidroklorotiazid. Indometasin diduga menyebabkan penurunan GFR dan
atau inhibisi efek prostaglandin E2 pada tubulus renal. Indometasin mengurangi poliuria,
kehilangan natrium, dan hiperkalsiuria. Hidroklorotiazid, yang merupakan diuretik boros
kalium dan kadang diberikan untuk mengatasi hiperkalemia, juga dapat menekan
hiperkalsiuria pada pasien PHA I.
Pada pasien dengan PHA I bentuk renal, tanda dan gejala akan berkurang seiring
bertambahnya usia. Akan tetapi, suplementasi garam diperlukan pada dua hingga tiga tahun
pertama kehidupan. Pada pasien PHA I tipe multiorgan atau autosomal resesif, resistensi
terhadap terapi dengan natrium klorida atau obat-obatan yang mengurangi kadar kalium
serum sering terjadi dan bahkan dapat mennyebabkan kematian karena hiperkalemia. Pasien-
pasien ini sering memerlukan garam dengan jumlah sangat tinggi dalam diet mereka
(mencapai 45 gram NaCl per hari).
Karbenoksolon, derivate dari asam glisiretinat, dapat membantu mengurangi
kebutuhan garam dalam diet pasien PHA I tipe renal (tetapi tidak berguna dalam terapi PHA I
multiorgan). Karbenoksolon bekerja dengan menghambat aktivitas 11b-hidroksisteroid
dehidrogenase (11b-HSD). Enzim ini banyak terdapat pada jaringan yang responsif terhadap
aldosteron dan memunculkan efek mineralokortikoid terutama pada pasien PHA I tipe renal.
Normalnya, 11b-HSD memiliki efek antimineralokortikoid karena ia mengubah kortisol
menjadi bentuk tidak aktif yaitu kortison. Akan tetapi dengan menghambat enzim ini,
karbenoksolon menyebabkan kortisol yang tidak dimetabolisme berikatan dengan dan
mengaktivasi reseptor mineralokortikoid seperti aldosteron.

2.6.5. Sindrom Liddle (Pseudoaldosteronisme)
Pada tahun 1994, ditemukan penjelasan mengenai penyebab yang mendasari sindrom
Liddle, sebuah kelainan dengan gejala fisiologis berlawanan dengan PHA I. Kondisi ini, yang
disebut juga pseudoaldosteronisme, adalah hipertensi autosomal dominan yang ditandai
dengan ekspansi volume, hipokalemia, dan alkalosis. Dengan analisis genetik, penyakit ini
dilacak hingga ditemukan dua mutas khas pada gen pengkodean subunit ENaC. Sindrom
Liddle disebabkan oleh mutasi pada gen dalam pengkodean subunit b dan g dari ENaC, yang
kemudian menyebabkan pemendekan terminal karboksil sitoplasma. Hal in kemudian
menyebabkan aktivasi ENaC. Sekarang ini diyakini bahwa mutasi tersebut meningkatkan
jumlah kanal natrium pada membran apikal.

2.6.6. Pseudohipoaldosteronisme Tipe II
Pseudohipoaldosteronisme tipe II (PHA II), disebut juga hiperkalemia dan hipertensi
familial atau sindrom Gordon, adalah kelainan non-salt-wasting yang ditandai oleh
hiperkalemia dengan GFR normal dan hipertensi. Hiperkloremia, asidosis metabolik, dan
penurunan kadar renin plasma juga dapat ditemukan. Analisis genetik mengungkapkan
transmisi autosomal dominan dan heterogenisitas lokus pada kromosom 1q31-q24 dan
17p11-q21.15. Meskipun patogenesis penyakit ini masih belum diketahui jelas, penelitian
menunjukkan kemungkinan adanya defek yang melibatkan reabsorpsi natrium ginjal sebelum
tempat bekerjanya aldosteron, defek membran menyeluruh yang mengganggu pergerakan ion
kalium ke dalam sel, atau peningkatan reabsorpsi klorida oleh ginjal yang kemudian akan
mengganggu sekresi kalium. Pengobatan dengan kombinasi furosemid, desmopresin, dan
natrium bikarbonat efektif dalam mengontrol hiperkalemia, hipertensi, hiperkloremia, dan
asidosis metabolik hiperkloremik.
2



BAB III
KESIMPULAN
Aldosteron merupakan salah satu hormon yang dihasilkan oleh tubuh dan berperan
penting dalam homeostasis cairan dan elektrolit. Aldosteron merupakan hormon. dengan
aktivitas mineralokortikoid terbesar. Kekurangan sekresi aldosteron dapat menyebabkan
tubuh kehilangan cairan dan natrium dalam jumlah banyak sehingga dapat mengancam hidup
penderitanya.
Hipoaldosteronisme dapat diakibatkan oleh berbagai macam sebab, seperti kelainan
bawaan, kerusakan zona glomerulosa kelenjar adrenal, pengaruh obat, atau adrenalektomi.
Tubuh juga dapat mengalami resistensi terhadap mineralokortikoid. Meskipun tubuh
memiliki kadar mineralokortikoid dalam jumlah memadai, tubuh gagal memberikan respon
terhadap mineralokortikoid.
Evaluasi pada pasien dengan hipoaldosteronisme meliputi pemeriksaan laboratorium
seperti pemeriksaan kadar hormon aldosteron, kadar renin, elektrolit serum, dan elektrolit
urin. Dengan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, diharapkan hipoaldosteronisme dapat
ditangani dengan lebih spesifik.
Kelainan hipoaldosteronisme primer disebabkan oleh kelainan genetik, penyakit
autoimun, dan karena penyakit lain sehingga mengganggu fungsi adrenal. Kelainan sekunder
disebabkan oleh kelainan ginjal, pengaruh obat, atau pada pasien pasca adrenalektomi.
Resistensi mineralokortikoid atau pseudohipoaldosteronisme disebabkan oleh kelainan
genetik sehingga menyebabkan kelainan pada reseptor aldosteron, baik pada ginjal maupun
pada organ lainnya.
Tatalaksana pada pasien hipoaldosteronisme tergantung penyebabnya, tetapi secara
umum meliputi pengaturan keseimbangan garam dalam tubuh dan pemberian cairan untuk
ekspansi volume bila terjadi deplesi. Pengaturan keseimbangan garam dalam tubuh dapat
dilakukan melalui diet dan pemberian suplemen garam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC, Hall JE, editors. Textbook of Medical Physiology. 11
th
ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2006.
2. Melby JC. Hypoaldosteronism. In: Becker KL, editor. Principles and Practice of
Endocrinology and Metabolism. 3
rd
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2001.
3. Kutikov A, Crispen PL, Uzzo RG. Pathophysiology, Evaluation, and Medical
Management of Adrenal Disorders. In: Wein JA, Kavoussi LR, Novick AC, Partin
AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology. 10
th
ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012.
4. Longo DL et al, editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18
th
ed. New
York: McGraw-Hill; 2012.
5. Von Eckardstein A. Differential Diagnosis of Laboratory Test Results. In:
Siegenthaler W, editor. Differential Diagnosis in Internal Medicine: from Symptoms
to Diagnosis. New York: Thieme; 2007.

Anda mungkin juga menyukai