Anda di halaman 1dari 8

KORTIKOSTEROID

1. DEFINISI
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormone steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormone adrenokortikotropik
(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis.
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla,
sedangkan bagian korteks terbagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona
fasikulata mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona
fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan
pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti.
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K,
sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.

2. KLASIFIKASI
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik,
umumnya sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi
natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya.
Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid.

Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa


sediaan kortikosteroid

Kortikosteroid Potensi Lama Dosis


Mineralo- Gluko- Kerja Ekuivalen
(mg)*
kortikoid kortokoid
Glukokortokoid
Kortisol 1 1 S 20
(hidrokortison)
Kortison 0,8 0,8 S 25
6-a-metilprednisolon 0,5 5 I 4
Prednisone 0,8 4 I 5

Prednisolon 0,8 4 I 5

Triamsinolon 0 5 I 4

Parametason 0 10 L 2

Betametason 0 25 L 0,75

Deksametason 0 25 L 0,75

Mineralokortikoid
Aldosteron 300 0.3 S -

Fluorokortison 150 15.0 I 2.0


Desoksikortikosteron 20 0.0 - -

Keterangan:

*Hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV


S: short acting ( biologic half life 8 12 jam ),
I: intermediate ( 12 36 jam ),
L: long acting ( 36 72 jam )
Pada table diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason
dan deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan
kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun berdasarkan
potensi yang paling rendah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan
deksametason mempunyai potensi yang paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam.
Sedangkan kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu
kurang dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping
yang terjadi.
Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan
adalah prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan
hepar digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi
prednisolon. Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralokortikoid jangan
dipakai pada pemberian long term (lebih dari sebulan).

Efektifitas kortikosteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokontriksi,


antiproliferasi, immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi
eritem. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontrikasi ini biasanya berhubungan
dengan potensi anti inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu
tanda untuk mengetahui aktivitas klinik suatu agen. Kombinasi ini digunakan untuk
membagi kortikosteroid topikal menjadi 4 golongan besar, diantaranya golongan I yang
paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super poten). Sebaliknya golongan
IV yang terlemah (potensi lemah).

MEKANISME KERJA KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.


Molekul hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di
jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan
ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein
ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar,
hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik: pada jaringan lain,
misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang sintesis protein yang
sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
metabolik.

Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran
dasar dan sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke
dalam sel atau struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis:
keratisonik (atropi epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibroblas mengurangi
kolagen dan bahan dasar (atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan berhubungan
dengan jaringan konektif vaskuler (telangiektasis, purpura), dan kerusakan angiogenesis
(pembentukan jaringan granulasi yang lambat). Khasiat kortikosteroid adalah sebagai
antiradang setempat, anti-proliferatif, dan imunosupresif. Melalui proses penetrasi,
glukokortikoid masuk ke dalam inti sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu,
sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan
protein baru yang dapat membentuk atau menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi,
menghambat mitosis (anti-proliferasi), bergantung pada jenis dan stadium proses
radang. Glukokortikoid juga dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga
enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.

3. INDIKASI
Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu
diperhatikan sebelum obat ini digunakan:
1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial
and error, dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan
penyakit.
2. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi
dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah;
dosis ekivalen hidrokortisol 100mg/ hari lebih dari 2 minggu hampir selalu
menimbulkan iatrogenic cushing syndrome.
5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan
terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-
inflamasinya;
6. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa
pasien.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan


untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Dosis
ini ditentukan secara trial and error. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien,
misalnya untuk mengurangi nyeri pada arthritis rematoid, dosis awal harus kecil
kemudian secara bertahap ditingkatkan sampai keadaan tersebut mereda dan dapat
ditoleransi pasien. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap
sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul kembali. Jika terapi
bertujuan mengatasi keadaan yang dapat mengancam pasien, misalnya pemfigus maka
dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis
dapat dilipatgandakan. Dalam hal ini, sebelum mengambil keputusan, dokter harus dapat
mempertimbangkan antara bahaya pengobatan dan bahaya akibat penyakit sendiri.
Besarnya dosis glukokortikoid yang dapat menyebabkan supresi hipofisis
dan korteks adrenal ternyata sangat bervariasi dan belum dapat dipastikan dengan tepat.
Umumnya, semakin besar dosis dan makin lama waktu pengobatan, makin besar
kemungkinan terjadinya supresi tersebut. Untuk mengurangi resiko supresi hipofisi-
adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal
selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit.
Sediaan yang masa kerjanya panjang juga tidak dapat diberikan menurut cara ini.

4. KONTRAINDIKASI
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi
relatif yaitu diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau
gangguan sistem kerdiovaskuler lain patut diperhatikan.

5. EFEK SAMPING
a. Penghentian pemberian secara tiba-tiba dapat menimbulkan insufisiensi adrenal
akut dengan gejala demam, mialgia, atralgia dan malaise.
b. Akibat pengobatan lama dapat timbul gangguan cairan dan elektrolit,
hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama TB, tukak peptik
sampai perforasi, osteoporosis, miopati yang karakteristik, psikosis, habitus pasien
cushing (antara lain moon face, buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular,
obesitas central, ekstremitas kurus, striae, ekimosis, akne dan hirsutisme).

DAFTAR PUSTAKA

Djuand. A, Hamzah. M,Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima,
balai penerbit FKUI: Jakarta, 2007

Ganiswarna G Sulistia.Farmakologi dan terapi ed.5 : departemen penerbit FKUI:


jakarta, 2007
MAKALAH

KORTIKOSTEROID

Pembimbing:

dr. Cut Putri Yohana, M.Sc. SpKK.

disusun Oleh:

Emmi Rosita, S.ked.


15174035
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama
Rumah Sakit Umum Cut Nyak Dhien
Aceh Barat

Anda mungkin juga menyukai