Anda di halaman 1dari 11

Kuliah Wajib Ilmu Dasar

FARMAKOLOGI KLINIS KORTIKOSTEROID

Oleh: dr. Okta Kurniawan Saputra


Departemen: Ilmu Kesehatan Mata

Dosen Pembimbing
Prof.Dr.dr.MT.Kamaluddin M.Sc. SpFK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA


RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
TAHUN 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks
kelenjar adrenal sebagai respon atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh
kelenjar hipofisis, dan rangsangan angiotensin II. Hormon ini berperan pada berbagai sistem
fisiologis pada tubuh, misalnya sebagai respon terhadap stres, sistem kekebalan tubuh, dan reaksi
inflamasi, metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, kadar elektrolit darah, serta prilaku
seseorang.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang
menonjol darinya, yakni:
1. Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan dalam pengendalian metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, memiliki efek anti inflamasi dengan cara
menghambat enzim fosfolipase A2, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.
2. Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit
dan air, dengan cara retensi air dan garam di ginjal.
Tujuan

Untuk dapat memahami kerja kortikosteroid bagaimana proses


farmakodinamiknya dan farmakokinetiknya

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

FARMAKOKINETIK
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Kadar
kortikosteroid yang tinggi dapat dicapai dengan cepat dalam cairan tubuh, jika ester kortisol dan
derivat sintetiknya diberikan secara IV. Efek kortisol dan ester memiliki durasi yang lama dapat
diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula
kerja dan lama kerja karena perubahan struktur juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor,
dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang synovial.
Penggunaan jangka panjang atau penggunaan pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan
efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada dua jenis protein plasma yaitu globulin
pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya rendah,
sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya relatif tinggi. Oleh karena itu,
kortikosteroid pada kadar rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat pada globulin.
Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat albumin dan bebas juga
meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid
berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroi; kortisol
mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukuronat dan
aldosteron afinitasnya rendah.
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin pengikat
kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai beberapa kali, namun hal ini tidak
terlalu bermakna terhadap fungsi tubuh.
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya merupakan
senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif memiliki ikatan rangkap
pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di dalam hati
dan jaringan ekstrahepatik serta menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus keton menjadi
gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada atom C 3

3
melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam glukuronad
membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi. Reaksi ini terutama terjadi di hepar
dan sebagian kecil di ginjal.
Oksidasi gugus 11- hidroksil yang reversibel terjadi secara cepat di hepar dan secara
lambat di jaringan ekstrahepetik. Kortikosteroid dengan gugus keton untuk aktifitas biologiknya
pada atom C11 harus direduksi menjadi senyawa 11-hidroksil; sedangkan reduksi gugus keton
pada atom C20 hanya memberikan senyawa dengan aktifitas biologik yang lemah.
Kortikosteroid dengan gugus hidroksil pada atom C 17 akan dioksidasi menjadi 17-
ketosteroid yang tidak mempunyai aktifitas kortikosteroid tetapi bersifat androgenik. Sekresi 17-
ketosteroid dalam urin dapat digunakan sebagai ukuran aktifitas hormon kortikosteroid dalam
tubuh.
Steroid radioaktif setelah penyuntikan IV sebagian besar di ekskresi dalam urin dalam
waktu 72 jam, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Metabolisme kortisol
diperkirakan paling sedikit 70% dari kortisol yang di ekskresi mengalami metabolismenya di
hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitsr 1,5 jam. Ikatan rangkap dan atom C1-2 atau subtitusi
atom flour memperlambat proses metabolism dan karenanya dapat memperpanjang masa paruh
eliminasi.

FARMAKODINAMIK
Glukokortikoid pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid akan berdifusi atau
ditranspor menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik
glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian
kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon
unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang
atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat
dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA.
Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein
spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons
glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang
terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh
mekanisme nontranskripsi.

KLASIFIKASI KORTIKOSTEROID
4
Kortikosteroid Sistemik
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan, berdasarkan masa kerjanya, antara
lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang (12-36 jam), dan kerja lama (>36 jam).

Tabel 1 Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen sediaan kortikosteroid


Kortikosteroid Potensi Lama Kerja Dosis Ekuivalen
(mg)
Retensi Natrium Antiinflamasi

Kortisol 1 1 S 20
(Hidrokortison)
Kortison 0,8 0,8 S 25
Kortikosteron 15 0,35 S -
6-α- metil 0,5 5 I 4
prednisolon
Pludrokortison 125 10 I -
(Mineral
kortikoid)
Prednison 0,8 4 I 5
Prednisolon 0,8 4 I 5
Triamnisolon 0 5 I 4
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 0,75
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV
S: kerja singkat (t ½ biologik 8-12 jam)
I : intermediate, kerja sedang (t ½ biologik 12-36 jam)
L : kerja lama (t ½ biologik 36-72 jam)

INDIKASI KORTIKOSTEROID
1. Terapi Substitusi
Pemberian kortikosteroid disini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi
sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer)
atau hipofisis (insufisiensi sekunder). Insufisiensi adrenal akut umumnya disebabkan oleh
kelainan pada adrenal atau oleh penghentian pengobatan kortikosteroid dosis besar secara tiba-
tiba.
2. Terapi Non-Endokrin
Dasar penggunaan kortikosteroid dalam terapi ini adalah adanya efek anti-inflamasinya
dan kemampuannya menekan reaksi imun. Pada penyakit yang dasarnya respon imun, obat ini
bermanfaat. Pada keadaan yang perlu penanganan reaksi radang atau reaksi imun untuk

5
mencegah kerusakan jaringan yang parah dan menimbulakan kecacatan, penggunaan
kortikosteroid mungkin berbahaya sehingga perlu disertai dengan penanganan tepat bagi
penyebabnya. Preparat kortikosteroid adalah preparat dengan kerja singkat dan kerja sedang
misalnya prednison atau metil prednisolon dengan dosis serendah mungkin. Kemungkinan efek
samping harus terus dimonitor. Contoh penggunaannya adalah
a. Fungsi paru pada Fetus, penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi
kortisol pada fetus. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi kepada ibu hamil akan
membantu pematangan fungsi paru pada fetus yang akan dilahirkan prematur
sehingga risiko terjadi respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikular dan
kematian berkurang. Betamethasone atau Dexamethasone selama 2 hari diberikan
pada minggu ke 27 sampai 34 kehamilan. Overdosis akan menganggu berat badan
dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.
b. Artritis. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien atritis rheumatoid yang sifatnya
progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien tidak
dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan anti
inflamasi nonsteroid.
c. Karditis reumatik. Pemberian kortikosteroid belum terbukti lebih baik dibandingkan
salisilat, namun risiko penggunaan kortikosteroid lebih besar dibandingkan salisilat,
maka pengobatan karditis reumatik dimulai dengan salisilat. Kortikosteroid hanya
digunakan pada keadaan akut, pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan salisilat saja, atau sebagai terapi permulaan pada pasien dalam keadaan sakit
keras dengan demam, payah jantung akut, aritmia dan perikardithis.
d. Penyakit ginjal. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang
disebabkan lupus eritematosus sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali
amiloidosis.
e. Penyakit Kalogen. Pemberian dosis besar (prednisone 1-2 mg/kg atau sediaan lain
yang ekuivalen) bermanfaat untuk eksaserbasi akut; sedangkan terapi jangka panjang
hasilnya bervariasi. Glukokortikoid dapat menurunkan mordibitas dan
memperpanjang masa hidup pasien poliartritis nodosa dan granulomatosis Wegener.
f. Asma Bronkhiale dan penyakit saluran napas lainnya. Respon asma terhadap
farmakoterapi bervariasi antar individu, sehingga dapat ditemukan pasien yang
resisten terhadap steroid meskipun jarang dan tidak menunjukkan hasil baik dengan
inhalasi steroid. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan akut pasien

6
asam bronkhiale akut maupun kronik untuk mengatasi secara cepat radang yang
ternyata selalul terjadi pada saat serangan asma.
g. Penyakit Alergi. Gejala penyakit alergi yang hanya berlangsung dalam waktu
tertentu, dapat diatasi dengan glukokortikoid sebagai obat tambahan disamping obat
primernya; misalnya pada penyakit serum, urtikaria, dermatitis kontak, reaksi obat,
edema angioneurotik. Pada reaksi yang gawat, misalnya anafilaksis dan edema
angioneurotik glotis, diperlukan pemberian adrenalin dengan segera. Pada keadaan
yang mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dapat diberikan IV.
h. Penyakit mata. Kortikosteroid dapat mengatasi gejala inflamasi mata bagian luar
maupun pada segmen anterior.
i. Penyakit kulit. Bermacam-macam kelainan kulit dapat diobati dengan sediaan steroid
topikal.
j. Penyakit Hepar. Uji klinis menunjukkan bahwa glukokortikoid dapat
memperpanjang masa hidup pasien nekrosis hepar subakut dan hepatitis kronik aktif,
hepatitis alkoholik dan sirosis non alkoholik pada wanita.
k. Keganasan. Leukemia limfositik akut dan limfoma dapat diatasi dengan
glukokortikoid karena efek antilimfositiknya. Prednison biasanya digunakan bersama
alkilator, antimetbolit dan alkaloid vinka. Selama pengobatan selain evaluasi klinik
perlu dilakukan pemeriksaan darah dan sumsum tulang.
l. Gangguan Hematologik lain. Anemia hemolitik autoimun yang idiopatik maupun
yang didapat memberi respon yang baik terhadap terapi steroid. Obat ini tidak akan
mengurangi hemolisis pada reaksi transfusi, meski mungkin dapat mengurangi
hemolisis yang diinduksi oleh obat (drug-induced hemolisis).
m. Syok. Kortikosteroid sering digunakan untuk mengatasi syok. Pada syok anafilaktik
mungkin manfaatnya adalah melalui efek permisif yaitu membuat adrenalin bekerja
lebih baik mengatasi syok tersebut, adrenalin tetap merupakan obat utama yang harus
diberikan. Kortikosteroid yang diberikan untuk syok septik, sampai sekarang masih
banyak pertentangan pendapat.
n. Edema Serebral. Glukokortikoid sangat efektif untuk mencegah atau mengobati
edema serebral, karena parsit atau tumor otak, terutama pada kasus metastasis.
o. Trauma Sumsum tulang Belakang. Uji klinik multisentra membuktikan manfaat
metilprednisolone dosis besar (30 mg/kgBB dilanjutkan infuse 5,4 mg/kgBB perjam
selama 23 jam), sebelum 8 jam setelah trauma akan mengurangi gejala neurologis.

7
KONTRAINDIKASI
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian
dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat
merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa
pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi relatif
yaitu diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem
kardiovaskular lain patut diperhatikan. Keadaan-keadaan tersebut membutuhkan pertimbangan
matang antara risiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.

DOSIS
Pengalaman klinis mengemukan 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum
penggunaan kortikosteroid: (1) Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus
ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu kewaktu sesuai dengan
perubahan penyakit; (2) Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya; (3)
Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak
membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar; (4) Bila pengobatan diperpanjang sampai 2
minggu atau lebih hingga dosis melebihi dosis subsitusi, insidens efek samping dan efek letal
potensial akan bertambah ; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg / hari lebih dari 2 minggu hampir
selalu menimbulkan iatrogenic cushing syndrome. Bila terpaksa pasien harus juga diberi diet
tinggi protein dan kalium. Awasi dan sadari risiko pengaruhnya terhadap metabolism, terutama
bila gejala terkait telah muncul misalnya diabetes yang resisten insulin, osteoporosis, lambatanya
penyembuhan luka; (5) Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti
inflamasinya; (6) Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien. Oleh
karena itu, penghentiannya harus secara bertahap.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka
panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Dosis ini ditentukan secara
trial and error. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, misalnya untuk mengurangi
nyeri pada arthritis rheumatoid, dosis awal harus kecil kemudian secara bertahap ditingkatkan
sampai keadaan tersebut mereda dan dapat ditoleransi pasien. Kemudian dalam periode singkat
dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul
kembali. Bila penggunaannya bertujuan mengatasi keadaan yang dapat mengancam pasien,
misalnya pemfigus maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum
8
terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan. Dalam hal ini, sebelum mengambil keputusan,
dokter harus dapat mempertimbangkan antara bahaya pengobatan dan bahaya akibat penyakit
sendiri.
Kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada
kontraindikasi spesifik untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien. Besarnya dosis
glukokortikoid yang dapat menyebabkan supresi hipofisis dan korteks adrenal ternyata sangat
bervariasi dan belum dapat dipastikan dengan tepat. Dosis kortikosteroid yang makin besar dan
makin lama waktu pengobatan, makin besar kemungkinan terjadinya supresi tersebut. Oleh
karena itu, pengurangan risiko supresi hipofisis adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara
pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari.

EFEK SAMPING
Efek samping kortikosteroid, antara lain:
1. Efek samping jangka pendek
1. Peningkatan tekanan intraokuler mata (glaukoma)
2. Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
3. Peningkatan tekanan darah
4. Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang.
2. Efek samping jangka panjang.
 Katarak
 Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh sehingga
mudah patah.
 Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal
 Menstruasi tidak teratur
 Mudah terinfeksi
 Penyembuhan luka yang lama

9
BAB III
KESIMPULAN

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks
kelenjar adrenal sebagai respon atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh
kelenjar hipofisis, dan rangsangan angiotensin II. Hormon ini berperan pada berbagai sistem
fisiologis pada tubuh, misalnya sebagai respon terhadap stres, sistem kekebalan tubuh, dan reaksi
inflamasi, metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, kadar elektrolit darah, serta prilaku
seseorang.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang
menonjol darinya, yakni:
1. Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan dalam pengendalian
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, memiliki efek anti inflamasi dengan
cara menghambat enzim fosfolipase A2, serta dapat pula menurunkan kinerja
eosinofil.
2. Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar
elektrolit dan air, dengan cara retensi air dan garam di ginjal.
Kortikosteroid berisiko menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan, bahkan
beberapa efek sampingnya dapat menimbulkan masalah kesehatan yang cukup serius.

10
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan, Sulistia Gan. 1972. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia.

11

Anda mungkin juga menyukai