5. Efek Samping
ACTH dapat menyebabkan timbulnya berbagai gejala akibat peningkatan sekresi
hormon korteks adrenal. Selain itu, hormon ini dapat pula menyebabkan reaksi
hipersensitivitas, mulai dari yang ringan sampai syok dan kematian. Reaksi terhadap
kosintropin lebih jarang terjadi. Peningkatan sekresi mineralokortikoid dan androgen
menyebabkan lebih sering terjadi alkalosis hipokalemik (akibat retensi Na) dan akne bila
dibandingkan dengan pemberian kortisol sintetik.
6. Sediaan
Kortikotropin USP, larutan steril untuk pemakaian IM atau IV. Sediaan ini berasal dari
hipófisis mamalia. Kortikotropin repositoria, merupakan larutan ACTH murni dalam gelatin
untuk suntikan IM atau SK, dengan dosis 40 unit, diberikan sekali sehari. Kortikotropin seng
hidroksida USP, suspensi untuk pemberian IM, dengan dosis 40 unit, diberikan sekali sehari.
Kosintropin, péptida sintetik yang dapat diberikan IM atau IV, dosis 0,25 mg ekivalen dengan
25 unit. (Suherman, 2007, 499)
260
Farmakologi
Tabel 8.2.1
Kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid utama pada manusia
(ritme circadian, ritme siang-malam)
2. Pengaturan Sekresi
Fungsi korteks adrenal sangat dipengaruhi oleh ACTH. Sistem saraf tidak mempunyai
pengaruh langsung terhadap fungsi sekresi korteks adrenal. Ini terbukti pada percobaan
transplantasi kelenjar adrenal di mana fungsi sekresinya tetap normal.
Akibat pengaruh ACTH, zona fasikulata korteks adrenal akan mensekresi kortisol dan
kortikosteron. Bila kadar kedua hormone itu dalam darah meningkat, terutama kortisol,
maka akan terjadi penghambatan sekresi ACTH. Keadaan tersebut tidak berlaku untuk
aldosterone, yang disekresikan oleh zona glomerulosa. Peninggian kadar aldosterone dalam
darah tidak menyebabkan penghambatan sekresi ACTH.
Sekresi aldosterone terutama dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin dalam darah.
Angiotensin II merupakan oktapeptida yang dibentuk dari dekapeptida, yaitu angiotensin I
(berasal dari globulin plasma). Reaksi yang terakhir ini dikatalisis oleh converting enzyme
dalam paru-paru. Untuk perubahan ini dibutuhkan rennin yang dihasilkan oleh ginjal.
Pengeluaran rennin ini diatur oleh tekanan perfusi ginjal dan sistem saraf yang
mekanismenya belum jelas. Penghambatan sekresi rennin tidak dipengaruhi oleh kadarnya
dalam darah, tetapi oleh volume darah.
Adanya regulasi sekresi kortisol dan aldosterone yang terpisah, dapat dilihat pada
pasien edema, dimana ekskresi metabolit kortisol normal, sedangkan metabolit Aldosterone
meningkat.
3. Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan memengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormone memasuki sel melewati membrane plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan
target hormone ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan
membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu
bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini akan menghasilkan efek
fisiologik steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormone steroid merangsang transkripsi dan
sintesis protein spesifik. Pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblast hormone
steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel
limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik. (Suherman, 2007, 500)
261
Farmakologi
262
Farmakologi
luar seolah-olah penyakit sudah sembuh. Keadaan ini berbahaya pada kondisi
penyakit yang parah, misalnya penggunaan prednisone pada pasien asma yang
sebetulnya juga menderita tuberculosis. Efek permisif prednisone menyebabkan
bronkhodilatasi sehingga pasien asma lega bernafas namun menyembunyikan
gejala inflamasi yang disebabkan oleh penyakit tuberculosis.
2) Daya imunosupresif dan antialergi. Ada hubungannya dengan kerja anti-
radangnya. Reaksi imun dihambat, sedangkan migrasi dan aktivitas limfosit T/B
dan makrofag dikurangi.
3) Peningkatan gluconeogenesis dan efek katabol. Pembentukan hidrat-arang dari
protein dinaikkan dengan kehilangan nitrogen, penggunaannya di jaringan
perifer dikurangi dan penyimpanannya sebagai glikogen ditingkatkan.
Efek katabol merintangi pembentukan protein dari asam amino, sedangkan
pengubahannya ke glukosa dipercepat. Sebagai akibat dapat terjadi osteoporosis
(tulang menjadi rapuh karena massa dan kepadatannya berkurang), atrofia otot
dan kulit dengan terjadinya striae (garis-garis). Anak-anak dihambat
pertumbuhannya, sedangkan penyembuhan borok (lambung) dipersukar. Pada
seseorang yang diberi kortikosteroid dosis tinggi untuk waktu lama dapat
menimbulkan gejala, seperti diabetes mellitus, resistensi terhadap insulin
meninggi, toleransi terhadap glukosa menurun, dan mungkin terjadi glukosuria.
Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah sehingga merangsang
pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa kedalam sel otot.
Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitif dan menyebabkan lipolysis.
Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat
lipolysis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan
pelepasan asam lemak dan gliserol ke dalam darah.
4) Pengubahan pembagian lemak. Yang terkenal adalah penumpukan lemak di atas
tulang selangka dan muka yang menjadi bundar (“moon face”) juga di perut dan
di belakang tengkuk (“buffalo hump”). Gejala ini mirip dengan sindroma cushing
yang disebabkan oleh hiperfungsi hipofisis atau adrenal atau juga karena
penggunaan kortikosteroid yang terlalu lama.
b. Efek mineralokortikoid
Terdiri dari retensi air dan natrium, sedangkan kalium ditingkatkan ekskresinya.
5. Farmakokinetik
Kortisol dan analog sintetisnya pada pemberian oral diabsorbsi cukup baik. Untuk
mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan derivat
sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya
diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat memengaruhi kecepatan absorpsi,
mula kerja dan lama kerja karena juga memengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan
protein. Secara IM laju absorpsi cepat terjadi pada senyawa suksinat dan fosfat yang dapat
larut. Suspensi dari asetat dan asetonida yang sukar larut lambat absorbsinya dan bekerja
263
Farmakologi
panjang, lazim untuk penggunaan intra-artikuler dan intrabursal. Misalnya, injeksi asetat
memberikan efek antiradang dan analgetik yang dapat bertahan 2 hari sampai 2 bulan
(asetonida), rata-rata 10 hari.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konyungtiva dan ruang synovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek
sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
Absorbsinya secara rectal sangat berbeda-beda, pada umumnya senyawa dinatrium
fosfat paling baik penyerapannya, maka banyak digunakan sebagai klisma pada colitis dan
radang rectum (proctitis). Biasanya digunakan betametason dipropionat dengan kerja local
sangat kuat dan efek sistemis agak ringan.
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma, yaitu globulin
pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi, tetapi kapasitas ikatnya rendah,
sebaliknya afinitas albumin rendah, tetapi kapasitas ikatnya relatif tinggi. Karena itu, pada
kadar rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar
kortikosteroid meningkat jumlah hormone yang terikat albumin dan bebas juga meningkat,
sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi
sesamanya untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid, kortisol mempunyai
afinitas tinggi, sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukoronat dan
aldosteron afinitasnya rendah.
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin pengikat
kortikosteroid, kortisol plasma total, dan kortisol bebas sampai beberapa kali. Telah
diketahui bahwa hal ini tidak terlalu bermakna terhadap fungsi tubuh.
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya merupakan
senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif memiliki ikatan
rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada C3. Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di
dalam hati dan jaringan ekstra hepatic serta menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus
keton menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton
pada atom C3 melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat
atau asam glukoronat membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi. Reaksi
ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.
Oksidasi gugus 11-hidroksil yang reversibel terjadi secara cepat di hepar dan secara
lambat di jaringan ekstra hepatik. Untuk aktivitas biologiknya kortikosteroid dengan gugus
keton pada atom C11 harus direduksi menjadi senyawa 11-hidroksil. Contoh kortison melalui
proses yang sama menjadi hidrokortison. Pengubahan ini tidak terjadi di kulit, mata, sendi,
dan rektum, maka sediaan-sediaan local di tempat itu, perlu digunakan senyawa hidronya.
Kortikosteroid dengan gugus hidroksil pada atom C17 akan dioksidasi menjadi 17-
ketosteroid dalam urin dapat dipakai sebagai ukuran aktivitas hormon kortikosteroid dalam
tubuh.
Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72 jam
diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling
sedikit 70% kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme di hepar. Masa paruh eliminasi
264
Farmakologi
kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap dan atom C 1-2 atau substitusi atom fluor
memperlambat proses metabolismedan karenanya dapat memperpanjang masa paruh
eliminasi. (Suherman, 2007, 506-507 dan Tjay, 2007, 727-728)
6. Indikasi
Glukokortikoid terutama digunakan berdasarkan berbagai khasiatnya sebagai berikut.
a. Terapi substitusi
Digunakan pada insufisiensi adrenal, seperti pada penyakit Addison yang bercirikan
rasa letih, kurang tenaga dan otot lemah akibat kekurangan kortisol. Dalam hal ini,
diberikan hidrokortison karena efek mineralnya paling kuat.
b. Terapi non spesifik
Berdasarkan khasiat antiradang, daya imunosupresif, daya menghilangkan rasa tidak
enak (malaise) serta memberikan perasaan nyaman dan segar pada pasien (sense of
well being). Untuk ini biasanya digunakan predniso(lo)n, triamsinolon, deksametason,
dan betametason dengan kerja mineralokortikoid yang dapat diabaikan. Terapi non-
spesifik disamping secara oral yang diminum dalam satu dosis pagi hari mengikuti
ritme circadian dan parenteral juga banyak digunakan secara lokal.
265
Farmakologi
7. Kontraindikasi
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolute kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang
mungkin dapat merupakan kontraindikasi relative dapat dilupakan, terutama pada keadaan
yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa
minggu, kontraindikasi relative, yaitu diabetes mellitus, tukak peptic/duodenum, infeksi
berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. Dalam hal
yang terakhir ini, dibutuhkan pertimbangan matang antara risiko dan keuntungan sebelum
obat diberikan. (Suherman, 2007, 513)
8. Efek Samping
Efek samping kortisol terutama tampak pada penggunaan lama dengan dosis tinggi,
yakni melampaui 50 mg sehari atau dosis setaraf dengan derivate sintetisnya. Efek ini
menyerupai gejala dari suatu gangguan yang disebabkan oleh produksi kortisol faal
berlebihan, yakni sindroma Cushing. Sindroma Cushing sering kali disebabkan oleh suatu
tumor di hipofisis dan hiperproduksi ACTH. Gejala utamanya adalah retensi cairan di
jaringan-jaringan yang menyebabkan naiknya berat badan dengan pesat, muka menjadi
tembam dan bundar (“muka bulan”), adakalanya kaki-tangan gemuk (bagian atas). Selain itu,
terjadi penumpukan lemak di bahu dan tengkuk. Kulit menjadi tipis, lebih mudah terluka,
dan timbul garis kebiru-biruan (striae).
266
Farmakologi
Ada tiga kelompok efek samping berdasarkan khasiat faali pokoknya, yakni efek
glukokortikoid, efek mineralokortikoid, dan efek umum.
a. Efek glukokortikoid dapat menimbulkan efek samping sebagai berikut.
1) Imunosupresi, yakni menekan reaksi tangkis tubuh, seperti yang terjadi pada
transplantasi organ. Jumlah dan aktivitas limfosit-T/B dikurangi, pada dosis amat
tinggi juga produksi antibodies. Efeknya adalah turunnya daya tangkis dan tubuh
menjadi lebih peka bagi infeksi oleh jasad-jasad renik. Lagipula gejala klinis dari
infeksi tersebut dan peradangan menjadi sulit dibedakan. TBC dan infeksi
parasite dapat direaktifkan, begitu pula tukak lambung-usus dengan risiko
meningkatnya perdarahan dan perforasi.
2) Atrofia dan kelemahan otot (myopati steroid), khusus dari anggota badan dan
bahu. Lebih sering terjadi pada hidrokortison daripada derivate sintetisnya.
3) Osteoporosis (rapuh tulang) karena menyusutnya tulang dan risiko besar akan
fraktur bila terjatuh.Efek ini terutama pada penggunaan lama dari dosis di atas
7,5 mg prednisone sehari (atau dosis ekivalen dari glukokortikoid lain), seperti
pada rema dan asma hebat. Prevensi dapat dilakukan efektif dengan vitamin D3
+ kalsium, masing-masing 500 UI dan 1000 mg sehari. Senyawa bisosfonat
(prednisolon, risedronat) kini juga sering digunakan.
4) Merintangi pertumbuhan pada anak-anak, akibat dipercepatnya penutupan
epifisis tulang pipa.
5) Atrofia kulit dengan striae, yakni garis kebiru-biruan akibat perdarahan di bawah
kulit, juga luka/borok sukar sembuh karena penghambatan pembentukan
jaringan granulasi (efek katabol).
6) Diabetogen. Penurunan toleransi glukosa dapat menimbulkan hiperglikemia
dengan efek menjadi manifest atau memperhebatnya diabetes. Penyebabnya
adalah stimulasi pembentukan glukosa berlebihan di dalam hati.
7) Gejala Cushing
8) Antimitotis, yakni menghambat pembelahan sel (mitose), terutama kortikoida-
fluor kuat, yang hanya digunakan secara dermal pada penyakit psoriasis (p.sisik).
267
Farmakologi
Pada penggunaan intra-artikuler; iritasi dan sakit di tempat injeksi, abses steril,
prednisolon (kesemutan) dan khusus setelah injeksi berulang, destruksi dari sendi.
Interaksi. Efek samping ulcerogen dari NSAID’s dapat diperkuat. Risiko akan borok
lambung usus pada dosis lebih tinggi, penggunaan lebih lama dan pada lansia meningkat.
Zat-zat inductor enzim, seperti fenobarbital, fenitoin, karbamazepin, dan rifampisin dapat
menurunkan efek glukokortikoida. Estrogen justru memperkuat daya kerjanya. Efek dari
anti-koagulansia dapat diperkuat menyebabkan risiko akan perdarahan meningkat. Wanita
hamil harus berhati-hati jika diberikan karena pada binatang percobaan dilaporkan efek-efek
teratogen. Metil prednisolone mencapai ASI dalam jumlah kecil yang pada bayi tidak
menimbulkan efek buruk. (Tjay, 2007, 729-730)
9. Sediaan
Sediaan kortikosteroid dapat diberikan oral, parenteral (IV, IM, intrasinovial dan
intralesi) dan topikal pada kulit atau mata (salep, Krim, losio) atau aerosol melalui jalan
nafas. Pada semua cara pemberian topikal kortikosteroid dapat diabsorbsi dalam jumlah
cukup untuk menimbulkan efek sistemik dan menyebabkan penekanan
adrenokortikosteroid. Pada Tabel 8.2.2 dicantumkan berbagai sediaan kortikosteroid dan
cara pemberiannya.
Tabel 8.2.2
Beberapa sediaan kortikosteroid dan analog sintetiknya
268