Anda di halaman 1dari 8

c c  

 

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH)
yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan
pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan
sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan
protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku1.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang
menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan
mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi
dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja
eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya
aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan
garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut
dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang
terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom
P450.
Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti
hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan
turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki
kerja mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.

 
  c 
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia
kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada
pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis,
systemic lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain
sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata,
dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi
penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya
ondansetron)2.
Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan
pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih
besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.
Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya
diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan
insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang
ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan
tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan
hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom
chusing, atau aldosteronisme.
Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom
chusing. Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral
pada jam 11 malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal,
konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5 µg/dl, sedangkan pada sindrom chusing
kadarnya biasanya lebih besar daripada 10 µg/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya
pada keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.
Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu
dengan pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden
sindrom gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur.
Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok
penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan
kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon
peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon
imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid
mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak
dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik
untuk proses penyakitnya2.

ã    


 
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor
menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid
heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks
hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur
respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang
atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor
dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor
pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi
oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan
ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik
yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin
diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi3.

 
 c 
 
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus
dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada
setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan
menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik.
Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka
panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi.
Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma,
limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen
anti inflamasi.
Iatrogenic Cushing¶s syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid
atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan
oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat,
bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada
sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan
dari aksis adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushing¶s syndrome terkait dengan
dosis steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor
glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke
dalam sel melewati membran s?l dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks
kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat
DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan
menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel
limfoid dengan penghambatan uptake glukosa3.
Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies
yaitu golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten
terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus
dan kelinci.
Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan
limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ
limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi
limfosit-T daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi
limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui
dua mekanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer.
Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang
normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak
ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-
6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah
24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison
ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan
akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga
menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit)
maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan
akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif
pada makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran
makrofag. Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja
kortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah,
bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid
pada kadar suprafarmakologik.
Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat
sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan
eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang
menggunakan 35±70 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa
kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil.
Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi.
Di samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi.
Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi
bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat
migrasi dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid
pada makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada
penggunaan kortikosteroid setiap hari2.
Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi
netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut
masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil
terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan
kortikosteroid selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid
mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit
mempengaruhi stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik.
Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen.
Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit
mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN.
Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal
ini telah dibuktikan secara invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb.
Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.
Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh
terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis,
mengkilat dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan
mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan
kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus,
osteoporosis, gangguan psikologik dan hipertensi.
Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan
komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri
dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan
teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa
penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya
miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat
ini maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan
penurunan berat badan pada beberapa penderita4.
Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar
kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak
subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada
penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan
glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih,
dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak.
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti
kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek
glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium.
Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat
menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan
darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi
edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif.

Ä 
   
 c 
 
Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek
samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis
kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan
diet dan insulin. Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang
berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang diobati dengan
kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium
serta rendah natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan5.

c
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta.
2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.
3. Goodman & Gilman. (2006) The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed.
McGraw-Hill, New York.
4. Werner, R. (2005). A massage therapist¶s guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott
Williams & Wilkins, Pennsylvania, USA.
5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta.
c 
  

  

   
 

! 
 
Kortikosteroid adalah hormon yang disintesis di korteks adrenal, berasal dari
kolesterol dengan struktur utama siklopentanoperhidrofenantren dan hasil akhir berupa
aldosteron dan kortisol (21 atom C). Selain kortikosteroid juga dihasilkan androgen lemah
(19 atom C). Istilah ³kortikosteroid´ sendiri sebenarnya mengacu baik kepada glukokortikoid
dan mineralokortikoid, namun dalam penggunaan sehari-hari lebih banyak mengacu kepada
glukokortikoid saja.
Kortikosteroid bekerja dengan cara mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di
jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma
sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang
akan menghasilkan efek fisiologik steroid.
Kortikosteroid memiliki dua efek utama, yaitu dalam metabolisme dan inflamasi.
Kortikosteroid berfungsi dalam proses glukoneogenesis di hati, lipolisis dan mobilisasi asam
amino (sebagai substrat untuk glukoneogenesis) serta menghambat/inhibisi ambilan glukosa
di otot dan jaringan adiposa.
Sedangkan untuk efek antiinflamatiknya, efek tersebut terjadi melalui penekanan
pembentukan berbagai mediator inflamasi (fosfolipase A, cyclooxigenase, degranulasi sel
mast), menghambat fungsi makrofag, dan bekerja dalam keadaan inflamasi akut maupun
kronik.
Penggunaan kortikosteroid dapat dibagi sebagai terapi substitusi hormon maupun
terapi non endokrin. Untuk terapi substitusi hormon, kortikosteroid diberikan kepada
penderita insuffisiensi adrenal, sedangkan untuk terapi non-endokrin antara lain untuk
pengobatan arthritis, asthma bronkial, alergik, penyakit kulit (dermatitis), shock anafilaktik,
penyempurnaan fungsi paru pada fetus dll.


  
 
Kortikosteroid jarang menimbulkan efek samping jika hanya digunakan dalam waktu
singkat dan non-sistemik. Namun apabila digunakan untuk jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan beragam efek samping. Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada
penggunaan kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara
tiba-tiba atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis besar. Efek samping yang
dapat timbul antara lain:

? Insufisiensi adrenal akut/krisis adrenal
Pemberian kortikosteroid jangka lama (>2 minggu) yang dihentikan secara
mendadak dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal). Insufisensi
adrenal akut sebaiknya dibedakan dari Addison disease, di mana pada Addison
disease terjadi destruksi adrenokorteks oleh bermacam penyebab (mis.autoimun,
granulomatosa, keganasan dll). Insufisiensi adrenal akut terjadi akibat penekanan
sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh kortikosteroid eksogen, sehingga kelenjar
adrenal kurang memproduksi kortikosteroid endogen. Pada saat kortikosteroid
eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid (endogen). Dapat terjadi
kehilangan ion Na+ dan shock, terkait aktivitas mineralokortikoid yang ikut
berkurang. Gejala yang timbul antara lain gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa
lemah, hipotensi, demam, mialgia, dan arthralgia. Hal ini diatasi dengan pemberian
hidrokortison, disertai asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa secepatnya. Untuk
menghindari insufisiensi adrenal maka penghentian penggunaan kortikosteroid harus
secara perlahan /bertahap.

? Habitus Cushing
Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu lama menyebabkan kondisi
hiperkortisme sehingga menimbulkan gambaran habitus Cushing. Kortikosteroid yang
berlebihan akan memicu katabolisme lemak sehingga terjadi redistribusi lemak di
bagian tertentu tubuh. Gejala yang timbul antara lain moon face, buffalo hump,
penumpukan lemak supraklavikular, ekstremitas kurus, striae, acne dan hirsutism.
Moon face dan buffalo hump disebabkan redistribusi/akumulasi lemak di wajah dan
punggung. Striae (parut kulit berwarna merah muda) muncul akibat peregangan kulit
(stretching) di daerah perut yang disebabkan oleh akumulasi lemak subkutan.

? Hiperglikemia dan glikosuria


Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme
glukosa yaitu melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-6-
pospat, maka akan timbul gejala berupa peninggian kadar glukosa dalam darah
sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuria. Dapat juga terjadi resistensi insulin dan
gangguan toleransi glukosa, sehingga menyebabkan diabetes steroid (a  

  a).

? Penurunan absorpsi kalsium intesinal


Penelitian menunjukkan bahwa betametason serta prednison menyebabkan
penurunan absorpsi kalsium di intestinal dalam jumlah signifikan. Hal ini dapat
membuat keseimbangan kalsium yang negatif.

? Keseimbangan nitrogen negatif


Kortikosteroid juga menyebabkan mobilisasi asam amino dari jaringan
ekstrahepatik, yang digunakan sebagai substrat untuk glukoneogenesis. Hal ini
menyebabkan tingginya kadar asam amino dalam plasma, peningkatan pembentukan
urea, dan keseimbangan nitrogen negatif.

? Mudah terkena infeksi


Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek
antiinflamatik. Efek antiinflamatik ini terjadi melalui mekanisme salah satunya
penekanan aktifitas fosfolipase sehingga mencegah pembentukan prostaglandin,
prostasiklin, tromboksan dan leukotrien. Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk
menghentikan reaksi peradangan, namun dapat memudahkan pasien terkena infeksi.
Oleh karena itu pada pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamatik sebaiknya
disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah infeksi.

? Tukak peptik
Tukak peptik merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada
pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat
diberikan. Pemberian dosis besar sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi,
dan di antara waktu makan diberikan antasida (bila perlu). Perforasi yang terjadi
sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya karena dapat berlangsung
dengan gejala klinis minimal.

? Osteoporosis (a  
a  aa)
Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara
menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah
menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan
resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis. Selain itu juga menurunkan
absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan meningkatkan ekskresinya melalui ginjal,
sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan PTH yang menyebabkan resorpsi.
Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat osteoporosis dan kompresi.

? Miopatik
Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat
menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan dan
miopatik. Miopatik biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan
pelvis, dan pada pengobatan dengan dosis besar. Miopatik merupakan komplikasi
berat dan obat harus segera dihentikan.

? Psikosis
Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi. Kemungkinan
hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak, sehingga
mempengaruhi kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan jiwa dapat muncul, antara
lain: nervositas, insomnia, psikopatik, skizofrenik, kecenderungan bunuh diri.
Gangguan jiwa akibat penggunaan hormon ini dapat hilang segera atau dalam
beberapa bulan setelah obat dihentikan.

? Hiperkoagubilitas darah
Hiperkoagulabilitas darah dengan kejadian tromboemboli telah ditemukan
terutama pada pasien yang mempunyai penyakit yang memudahkan terjadinya
trombosis intravaskular. Pengobatan kortikosteroid dosis besar pada pasien ini, harus
disertai pemberian antikoagulan sebagai terapi profilaksis.

? Pertumbuhan terhambat
Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan pertumbuhan
terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat
growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui
ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang meningkatkan aktivitas osteoklast
meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon-hormon gonad, yang
pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan sehingga menghambat
pertumbuhan.

? Peningkatan tekanan darah
Kortikosteroid dengan efek mineralokortikoidnya dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah/hipertensi. Yaitu efek retensi sodium yang mengakibatkan
retensi air dan peninggian tekanan darah. Beberapa obat dengan efek
mineralokortikoid kuat antara lain fludrokortison dan hidrokortison.

? Glaukoma (a  
   )
Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan baik.
Diduga terdapat defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan atau
peningkatan aktivitas respons protein    a
  
    
(TIGR) sehingga menyebabkan obstruksi cairan. Selain itu bukti lain mengisyaratkan
terjadi perubahan sitoskeleton yang menghambat pinositosis aqueous humor atau
menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan menyebabkan akumulasi.
Dan masih ada beberapa efek samping lain seperti katarak, peninggian kolesterol
LDL, ginekomastia, akne, virilisasi, pembesaran prostat, sterilitas dll. Mekanisme terjadinya
beragam efek samping ini masih ada yang belum diketahui dan sedang diteliti.
Untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan tsb, diajukan minimal 6 prinsip
terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat digunakan:
1.? Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan  


, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit,
2.? Suatu dosis tunggal kortiksteroid umumnya tidak berbahaya,
3.? Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik,
tidak membahayakan kecuali dosis sangat besar,
4.? Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu/lebih hingga dosis melebihi dosis
substitusi, insidens efek samping dan efek lethal potensial akan bertambah. Awasi dan
sadari risio pengaruhnya terhadap metabolisme terutama bila gejala terkait muncul
misalnya diabetes resistensi insulin, osteoporosis, lambatnya penyembuhan luka,
5.? Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan terapi kausal
melainkan hanya paliatif saja,
6.? Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan mengancam jiwa.
Secara ringka dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka
panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif melalui  

.
Dosis awal harus kecil kemudian secara bertahap ditingkatkan, dan diturunkan secara
bertahap pula. Untuk terapi yang bertujuan mengatasi keadaan yang mengancam, dosis awal
haruslah cukup besar, dan bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya dosis dapat
dilipatgandakan. Sedangkan untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa, kortikosteroid dosis
besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik. Sebelum
mengambil keputusan, dokter harus dapat mempertimbangkan antara bahaya pengobatan dan
bahaya akibat penyakit itu sendiri.





1.? Barret K, Barman M, Boitano S, Brooks H. Ganong¶s Review of Medical Physiology.
23rd ed. US: The McGraw-Hill Companies; 2010.
2.? Kirkland L. Adrenal Crisis. [Online]. 2010 Mar 8 [cited 2010 Sep 22]; Available
from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/116716-overview
3.? Gennari C. Differential effect of glucocorticoids on calcium absorption and bone
mass. Br J Rheumatol. 1993 May [cited 2010 Sep 22];32 Suppl 2:11 -4.
4.? Syarif A et.al. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
5.? Rhee DJ. Glaucoma, Drug-Induced Glaucoma. [Online]. 2009 May 18 [cited 2010
Sept 22]; available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1205298-
overview
?

Anda mungkin juga menyukai