Antiinflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang memiliki aktivitas
menekan atau mengurangi peradangan. Radang atau inflamasi dapat disebabkan oleh
berbagai rangsangan yang mencakup luka-luka fisik, infeksi, panas dan interaksi antigen-
antibodi (Houglum, 2005).
Berdasarkan mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi terbagi dalam dua golongan, yaitu
obat antiinflamasi golongan steroid dan obat antiinflamasi non steroid. Mekanisme kerja
obat antiinflamasi golongan steroid dan non-steroid terutama bekerja menghambat
pelepasan prostaglandin ke jaringan yang mengalami cedera (Gunawan, 2007).
Obat-obat antiinflamasi yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat adalah non steroid anti
inflammatory drug’s (NSAID). Obat-obat golongan NSAID biasanya menyebabkan efek
samping berupa iritasi lambung (Kee & Hayes, 1996).
(http://scholar.unand.ac.id/20798/7/bab%201%20pendahuluan%20PDF.pdf)
A. KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid adalah obat yang mengandung hormon steroid yang berguna untuk
menambah hormon steroid dalam tubuh bila diperlukan, dan meredakan peradangan atau
inflamasi, serta menekan kerja sistem kekebalan tubuh yang berlebihan.
Kortikosteroid, seperti cortisone atau hydrocortisone, diproduksi secara alami di kelenjar
adrenal bagian terluar atau korteks. Sementara itu, kortikosteroid dalam bentuk obat
disebut kortikosteroid sintetis dengan cara kerja dan manfaat yang sama dengan
kortikosteroid alami.
Contoh-contoh kortikosteroid sintetis adalah:
Betametason
Dexamethasone
Methylprednisolone
Fluocinolone
Prednison
Clocortolone
Prednisolone
Triamcinolone
Desoximetasone
Berikut ini sejumlah kegunaan kortikosteroid dalam menangani kondisi-kondisi seperti:
Asma
Rheumatoid arthritis
Bronkitis
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Reaksi alergi pada kulit, mata, atau hidung.
Obat ini bekerja dengan cara masuk ke dinding sistem sel imun untuk mematikan zat yang
bisa melepaskan senyawa-senyawa yang menjadi pemicu peradangan. Kortikosteroid juga
bisa digunakan sebagai obat untuk suntik jerawat.
Peringatan:
Ibu hamil, ibu menyusui, atau wanita yang sedang merencanakan untuk hamil,
disarankan untuk berkonsultasi kepada dokter sebelum menggunakan obat
kortikosteroid.
Harap berhati-hati dalam menggunakan kortikosteroid jika menderita penyakit
jantung, gangguan fungsi hati, tukak lambung atau ulkus usus dua belas jari
(duodenum), gangguan kesehatan mental, pengeroposan tulang atau osteoporosis,
katarak, diabetes, epilepsi, atau mengalami gangguan pada kulit seperti infeksi kulit,
jerawat, luka terbuka, hingga rosacea.
Beri tahu dokter jika sedang menggunakan obat-obat lain, termasuk suplemen atau
herba, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan interaksi obat yang tidak
diinginkan. Diskusikan kepada dokter mengenai pemakaian kortikosteroid bersama
dengan obat-obat berikut ini: obat antiinflamasi nonsteroid/OAINS (seperti:
diclofenac, ibuprofen, atau naproxen), vaksin (seperti: MMR, BCG), digoxin,
diuretik, warfarin, salbutamol, serta obat untuk diabetes, epilepsi, dan obat
HIV/AIDS.
Jika telah digunakan untuk jangka panjang, obat jangan dihentikan secara tiba-tiba.
Konsutasikan kembali dengan dokter untuk menghentikan obat secara bertahap.
Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
(https://www.alodokter.com/kortikosteroid)
B. Antiinflamasi Nonsteroid (AINS)
Dalam dosis tunggal, obat antiinflamasi non steroid (AINS) mempunyai aktivitas analgesik
yang setara dengan parasetamol, tetapi parasetamol lebih disukai terutama untuk pasien
usia lanjut.
Dalam dosis penuh (full dosage) yang lazim, AINS sekaligus memperlihatkan efek analgesik
yang bertahan lama dan efek anti inflamasi yang membuatnya sangat berguna pada
pengobatan nyeri berlanjut atau nyeri berulang akibat radang. Oleh karena itu, walau
parasetamol sering memberikan pengendalian nyeri yang memadai, AINS lebih tepat
dibandingkan parasetamol atau analgesik opioid dalam artritis meradang (reumatoid
artritis) dan pada beberapa kasus osteoartritis lanjut. Obat-obat ini juga bermanfaat untuk
nyeri punggung dan gangguan jaringan lunak yang tidak terdefinisi dengan jelas (terapi
untuk pasien lansia).
Pemilihan.
Hanya sedikit perbedaan dalam aktivitas antiinflamasi antara berbagai AINS, namun ada
variasi yang cukup besar dalam respon dan toleransi pasien secara individual. Sekitar 60%
pasien dewasa dan sebagian besar pasien anak memberikan respon terhadap semua AINS,
sisanya yang tidak memberikan respon terhadap salah satunya, akan memberikan respon
baik terhadap lainnya. Efek analgesik akan muncul segera setelah menerima dosis pertama
dan normalnya efek analgesik keseluruhan akan diperoleh dalam seminggu, sementara
efek anti-inflamasinya tidak akan dicapai (atau tidak terdeteksi secara klinis) sebelum 3
minggu. Pada Juvenile idiopathic arthritis, AINS mungkin perlu waktu 4-12 minggu untuk
mencapai efeknya. Jika respon memadai belum diperoleh dalam jangka waktu tersebut,
sebaiknya dicoba diberikan AINS lain.
Perbedaan utama antara berbagai AINS adalah kejadian dan jenis efek samping yang dapat
terjadi, bioavailabilitas sediaan, serta ketersediaan formulasi yang sesuai untuk pasien
anak. Sebelum pengobatan dimulai, dokter yang meresepkan sebaiknya
mempertimbangkan manfaat dan risiko efek samping pemberian obat.
Selektivitas penghambatan siklooksigenase AINS bervariasi. Penghambat selektif
siklooksigenase-2 meningkatkan toleransi saluran cerna. Faktor lain juga ikut menentukan
kepekaan efek pada saluran cerna. Pemilihan suatu AINS sebaiknya berdasarkan
pertimbangan kemungkinan terjadinya efek samping pada saluran cerna dan efek samping
lain. Pada anak jarang terjadi gangguan saluran cerna pada penggunaan AINS jangka
pendek. Pada anak, peranan penghambat selektif siklooksigenase belum ditentukan dan
terkait dengan kekhawatiran terhadap efeknya pada kardiovaskuler, golongan ini hanya
digunakan jika nonselektif AINS tidak bisa digunakan (misalnya pasien dengan risiko tinggi
terjadi perdarahan, perforasi dan tukak lambung).
Risiko Kardiovaskuler
AINS dapat menyebabkan peningkatan risiko trombotik kardiovaskuler serius,
infark miokard, dan stroke, yang dapat berakibat fatal. Risiko ini meningkat dengan
lamanya penggunaan pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler atau yang memiliki
faktor risiko penyakit kardiovaskuler (Lihat PERINGATAN).
AINS dikontraindikasikan untuk pengobatan nyeri peri-operatif pada bedah pintas
koroner (Lihat PERINGATAN).
Risiko pada Saluran Cerna
AINS menyebabkan peningkatan risiko efek samping serius pada saluran cerna,
termasuk perdarahan, ulserasi, dan perforasi lambung atau usus, yang dapat berakibat
fatal. Efek samping ini dapat terjadi kapanpun selama penggunaan tanpa adanya gejala
peringatan. Pasien lansia berisiko lebih besar terhadap efek samping serius pada
saluran cerna (Lihat PERINGATAN).
Efek Samping
Efek samping beragam tingkat keparahan dan kekerapannya. Kadang timbul rasa tidak
nyaman pada saluran cerna, mual, diare, dan kadang perdarahan dan tukak. Dispepsia bisa
ditekan dengan meminum obat ini bersama makanan atau susu atau pilih bentuk sediaan
salut enterik. Sedangkan merubah rute pemberian hanya mengurangi gejala seperti
dispepsia secara sementara. Pasien dengan risiko tukak lambung atau duodenal (termasuk
pasien lansia) yang perlu melanjutkan pengobatan AINS, sebaiknya menerima penghambat
selektif siklooksigenase-2 tunggal atau AINS non selektif yang disertai dengan pengobatan
gastroprotektif.
Efek samping lain termasuk reaksi hipersensitivitas (terutama ruam kulit, angioedema, dan
bronkospasme), sakit kepala, pusing, vertigo, gangguan pendengaran seperti tinnitus,
fotosensitivitas, dan hematuria. Juga terjadi gangguan pada darah. Retensi cairan bisa
terjadi (jarang sampai mempercepat gagal jantung kongestif pada pasien lansia), tekanan
darah dapat meningkat. Gagal ginjal mungkin dipicu oleh AINS khususnya pada pasien yang
sebelumnya sudah mengidap gagal ginjal (penting: lihat juga pada Peringatan di atas). Efek
samping lain yang jarang terjadi yaitu nekrosis papilar atau fibrosis interstisial yang
disebabkan AINS, bisa mengarah kepada gagal ginjal.
Kerusakan hati, alveolitis, eosinofilia pulmoner, pankreatitis, eye changes, sindrom Steven-
Johnson, dan nekrosis epidermal toksik adalah efek samping lain yang jarang terjadi.
Dilaporkan juga induksi atau memburuknya kolitis. Meningitis aseptik dilaporkan jarang
terjadi pada pemberian AINS; pasien yang mengalami kelainan jaringan ikat seperti lupus
eritematosus sistemik yang mungkin rentan.
Overdosis:
(http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-10-otot-skelet-dan-sendi/101-obat-reumatik-dan-
gout/1011-antiinflamasi-nonsteroid-ains)