Anda di halaman 1dari 58

FARMAKOKINETIK DAN FARMAMKODINAMIK ANTIBIOTIK DAN

GOLONGAN ANTIBIOTIK

Tugas: Nilai:

DISUSUN OLEH :

Nama :RINI
NIM : 2021.13201.009
Mata Kuliah : Epidemiologi Penyakit Infeksi
Dosen Pengampu : Dra. Meiyati Simatupang, SST. M.Kes

Prodi S1 Kesehatan Masyarakat


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NAULI HUSADA SIBOLGA
T.A : 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha esa yang telah melimpahkan
berkah dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan judul “FARMAKOKINETIK DAN FARMAMKODINAMIK ANTIBIOTIK
DAN GOLONGAN ANTIBIOTIK”. Adapun tujuan dari penyusunan dalam tugas
makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “ Epidemiologi
penyakit Infeksi”.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa, makalah ini tidak
akan selesai dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan dan
bimbingan dari dosen pengampu mata kuliah “Epidemiologi penyakit Infeksi” Ibu
Dra. Meiyati Simatupang, SST. M.Kes .

Pada makalah yang kami susun ini masih banyak kekurangan yang perlu
diperbaiki maka kami meminta kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga
makalah ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi kita semua didalam
dunia pendidikan.

Sibolga, 03 Agustus 2023


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis, dimana infeksi masih merupakan


penyakit utama dan penyebab kematian nomor satu.Oleh karena itu,penggunaan
antibiotik atau antiinfeksi masih paling dominan dalam pelayanan kesehatan.
Jumlah dan jenis antibakteri sangat banyak dan selalu bertambah seiring
perkembangan infeksi, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
mikroba apa yang sensitif terhadap antibakteri tertentu, dan bagaimana
perkembangan resistensi serta kinetiknya (Priyanto, 2008).

Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak


tahun 1940. Selama 63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini
mengakibatkan meluasnya potensi resistensi bakteri (Sulastrianah dkk, 2012).
Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini menyerang organisme
infeksius dan juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab penyakit. Efek
lainnya adalah menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem antara strain yang
peka dan yang resisten, konsekuensinya adalah gangguan ekologi mikrobial alami.
Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri yang berbeda jenisnya atau
varian resisten dari bakteri yang sudah ada (Sulastrianah dkk, 2012).

Farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya dan sangat penting
dipelajari dokter agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis,
dan pengobatan penyakit. Farmakologi mengenal istilah farmakodinamik dan
farmakokinetik. Pengertian farmakodinamik dalam ilmu farmakologi sebenarnya
memiliki hubungan yang cukup erat dengan farmakokinetik. Farmakokinetik lebih
fokus kepada perjalanan(“nasib”) obat di dalam tubuh sementara farmakodinamik
lebih fokus membahas dan mempelajari seputar efek obat itu sendiri di dalam tubuh
baik dari segi fisiologi maupun biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerja
obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh manusia.

Farmakokinetik mempelajari dinamika obat melewati sistem biologi meliputi


absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Informasi farmakokinetik
berguna untuk memperkirakan dosis obat dengan tepat dan frekuensi pemberiannya,
juga untuk mengatur dosis obat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi
(Archer, 2005). Sedangkan farmakodinamik mempelajari efek biokimiawi dan
fisiologis obat serta mekanisme kerjanya melalui interaksi antara obat dengan sel
target atau reseptor. Farmakodinamik antibiotik mempelajari hubungan antara
konsentrasi antibiotik di serum dan jaringan serta minimum inhibitory concentration
(MIC) pertumbuhan bakteri (Ross, 1996).
1.2 Rumusan masalah

Dengan melalui makalah ini penulis ingin mencoba mempelajari lebih dalam
mengenai farmakologi dari antibiotik yang dinilai dari segi farmakodinamik dan
farmakokinetiknya dan golongan antibiotiknya.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu antibiotik.
2. Mengetahui konsep berbagai golongan antibiotik termasuk aspek
farmakokinetik dan farmakodinamik dari antibiotik.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Antibiotik
2.1.1 Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme
(bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu
proses biokimia mikroorganisme lain. Istilah ‘antibiotik’ sekarang meliputi
senyawa sintetik seperti sulfonamida dan kuinolon yang bukan merupakan
produk mikroba. Sifat antibiotik adalah harus memiliki sifat toksisitas selektif
setinggi mungkin, artinya obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk
mikroba tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Setiabudy, 2007).
Antibiotik adalah substansi yang dihasilkan oleh berbagai species
mikroorganisme (bakteri, fungi, actinomycetes) yang menekan pertumbuhan
mikroorganisme lain dan akhirnya menghancurkannya. Saat ini istilah
antibiotik termasuk didalamnya antibakteri sintetik seperti sulfonamide dan
quinolone yang bukan merupakan produk mikroba. Antibiotik berbeda dalam
hal fisik, kimia dan sifat farmakologi, spektrum antibakteri dan mekanisme
kerjanya. Pengetahuan tentang mekanisme molekular replikasi bakteri, jamur
dan virus membantu upaya menemukan senyawa yang dapat menghambat
daur hidup mikroorganisme (Chambers, 1996).
2.1.2 Penggolongan antibiotik
2.1.2.1 Berdasarkan luas aktivitas antibiotik (coverage)
Berdasarkan luas aktivitasnya, antibiotik dibagi menjadi
duagolonganyaitu:
1. Antibiotik narrow spectrum (aktivitassempit).
Antibiotik ini terutama aktif terhadap beberapa jenis
kuman saja, misalnya penisilin-G dan penisilin-V,
eritromisin, klindamisin, kanamisin, dan asam fusidat hanya
bekerja terhadap kuman Gram positif. Streptomisin,
gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat khusus aktif
terhadap kuman Gram negatif.
2. Antibiotikbroad spectrum (aktivitasluas)

Antibiotik ini bekerja terhadap lebih banyak jenis


kuman, baik jenis kuman gram positif maupun gram negatif.
Contohnya antara lain sulfonamida, ampisilin, sefalosforin,
kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin (Tan dan Rahardja,
2003).
2.1.2.2 Berdasarkan struktur kimiawinya
Antibiotik berdasarkan struktur kimiawinya dapat digolongkan
sebagai berikut:
1. Antibiotik beta laktam, yang termasuk antibiotik beta laktam yaitu
penisilin (contohnya: benzyl penisilin, oksisilin,
fenoksimetilpenisilin, ampisilin), sefalosporin (contohnya:
azteonam) dan karbapenem (contohnya:imipenem).
2. Tetrasiklin, contoh: tetrasiklin, oksitetrasiklin,demeklosiklin.
3. Kloramfenikol, contoh: tiamfenikol dankloramfenikol.
4. Makrolida, contoh: eritromisin danspiramisin.
5. Linkomisin, contoh: linkomisin danklindamisin.
6. Antibiotik aminoglikosida, contoh: streptomisin, neomisin,
kanamisin, gentamisin danspektinomisin.
7. Antibiotik polipeptida (bekerja pada bakteri gram negatif), contoh:
polimiksin B, konistin, basitrasin dansirotrisin.
8. Antibiotik polien (polyene) yang bekerja pada jamur, contoh:
nistatin, natamisin, amfoterisin dan griseofulvin (Mutschler,1991).
2.1.2.3 Berdasarkan mekanisme kerjanya
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dapat digolongkan
sebagai berikut:
1. Menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga menghambat
perkembang biakan dan menimbulkan lisis. Contoh: penisilin dan
sefalosforin.

2. Mengganggu keutuhan membran sel, mempengaruhi permeabilitas


sehingga menimbulkan kebocoran dan kehilangan cairan
intraseluler. Contoh:nistatin.
3. Menghambat sintesis protein sel bakteri. Contoh: tetrasiklin,
kloramfenikol,eritromisin.
4. Menghambat metabolisme sel bakteri. Contoh:sulfonamide.
5. Menghambat sintesis asam nukleat. Contoh: rifampisin dan
golongan kuinolon. (Lisniawati,2012).
2.1.3 Prinsip penggunaan terapi antibiotic kombinasi
Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu
jenis untuk mengatasi infeksi. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi
adalah:
1. Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik
(efek sinergis atauaditif).
2. Mengatasi infeksi campuran yang tidak dapat
ditanggulangi oleh satu jenis antibiotiksaja.
3. Mengatasi kasus infeksi yang membahayakan jiwa yang
belum diketahui bakteri penyebabnya (Kementrian
Kesehatan RI, 2011).
2.1.4 Mekanisme resistensi antibotika
Bakteri dapat bersifat resistensi melalui mutasi terhadap gen tertentu
atau membentuk gen baru. Yang dimaksud dengan resistensi dalam
hubungannya dengan antibiotika ialah suatu keadaan di mana mikroorganisme
mempunyai kemampuan unuk menentang ataupun merintangi efek suatu
antibiotika, pada konsentrasi hambat minimal (Harahap dan Hadisahputra,
1995). Mekanisme utama resistensi yang dilakukan bakteri yaitu inaktivasi
obat, mempengaruhi atau overproduksi target antibiotika, akuisisi target baru
yang tidak sensitif obat, menurunkan permeabilitas obat dan efluks aktif
terhadap obat (Kasper et. al., 2005).

2.2 Farmakologi

Farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk


seorang dokter ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk
maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain agar mengerti
bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. Dalam ilmu
farmakologi sering ditemukan istilah farmakodinamik dan farmakokinetik.
Pengertian farmakodinamik dalam ilmu farmakologi sebenarnya memiliki hubungan
yang cukup erat dengan farmakokinetik. Jika farmakokinetik lebih fokus kepada
perjalanan obat-obatan di dalam tubuh maka farmakodinamik lebih fokus membahas
dan mempelajari seputar efek obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh baik dari segi
fisiologi maupun biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerja obat-obatan
itu sendiri di dalam tubuh manusia.

2.3 Farmakokinetik

A. Pengertian

Farmakokinetik mempelajari dinamika obat melewati sistem biologi meliputi


absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Informasi farmakokinetik
berguna untuk memperkirakan dosis obat dengan tepat dan frekuensi pemberiannya,
juga untuk mengatur dosis obat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi
(Archer, 2005).

Profil farmakokinetik antibiotik dinyatakan dalam konsentrasi di serum dan


jaringan terhadap waktu dan mencerminkan proses absorpsi, distribusi, metabolisme
dan ekskresi. Karakteristik penting farmakokinetik meliputi peak & trough
konsentrasi di serum, waktu paruh (T1/2), bersihan (clearance) dan volume
distribusi. Data farmakokinetik berguna untuk memperkirakan dosis antibiotik yang
tepat, frekuensi pemberian dan mengatur dosis pada pasien dengan gangguan fungsi
ekskresi (Cunha, 2002; Archer, 2005).

Absorpsi antibiotik menunjukkan nilai dan besarnya bioavailability obat


setelah pemberian secara oral atau suntikan. Bioavailability diartikan sebagai
besarnya persentase dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik dari tempat
masuknya. Obat harus melewati beberapa membran untuk mencapai tempat kerjanya.
Membran-membran yang spesifik tersebut bergantung pada tempat kerja dan route of
administration.

Absorpsi obat melewati membran dipengaruhi oleh ukuran molekul,


kelarutan dalam lemak, derajat ionisasi dan pH. Sebagian besar obat larut dalam air
dan juga lemak. Dikatakan bahwa semakin tinggi ratio kelarutan dalam lemak
dibanding air semakin cepatlah absorpsi pasif obat tersebut. Kelarutan obat dalam
lemak disebut lipophilicity sedangkan kelarutan dalam air disebut hydrophilicity.
Di dalam larutan, obat berada dalam bentuk yang disebut interchangeable forms
yaitu larut-air (bentuk ion) dan larut-lemak (nonion). Semakin lipophilic suatu obat,
semakin mudah menembus membran. Sedangkan yang hydrophilic akan cenderung
berada dalam darah. Ketika dilarutkan, sebagian molekul obat akan terionisasi
yang persentasenya ditentukan oleh keasaman obat dan keasaman pelarutnya serta
pKa yaitu pH saat 50% molekul obat terionisasi. Persentase molekul nonionized
menentukan jumlah molekul yang diabsorpsi sehingga menentukan rate of
absorption (Chambers, 1996; Cunha, 2002).

Antibiotik mengalami eliminasi di hati, ginjal atau keduanya baik dalam


bentuk yang tidak berubah atau metabolitnya. Untuk antibiotik yang eliminasinya
terutama di ginjal, bersihan suatu obat berkorelasi linear dengan creatinine
clearance. Sedangkan antibiotik yang eliminasinya terutama di hati tidak ada
petanda yang bisa dipakai untuk mengatur dosis pada pasien dengan penyakit hati
(Archer, 2005). Pada pasien dengan insufisiensi ginjal dibutuhkan pengaturan dosis.
Penggunaan antibiotik aminoglikosida, vankomisin atau flusitosin harus lebih hati-
hati karena eliminasi obat tersebut di ginjal dan toksisitasnya seiring dengan
konsentrasinya di plasma dan jaringan. Obat-obat yang metabolisme atau
ekskresinya oleh hepar (eritromisin, kloramfenikol, metronidazol, klindamisin)
dosisnya harus diturunkan pada pasien dengan kegagalan fungsi hepar (Chambers,
1996).

Farmakokinetik menentukan konsentrasi obat dalam plasma dan


konsentrasiobat pada tempat kerjanya. Variabilitas farmakokinetik merupakan salah
satu penyebabp erbedaan respon obat antar pasien. Hal tersebut bisa disebabkan
oleh perbedaan metabolisme secara genetik, interaksi dengan obat lain, atau adanya
penyakit pada hati, ginjal, dan organ metabolisme lainnya.

Prinsip dasar farmakokinetik adalah penyerapan, metabolisme, distribusi,


dan eliminasi. Proses ini adalah proses dasaruntuk semua obat. Proses ini bisa
dijelaskan secara fisiologis atau secara matematika, dimana semuanya memiliki
tujuan tertentu. Penjelasan secara fisiologis dapat memperkirakan bagaimana
perubahan pada fungsi organ akan mempengaruhi disposisi obat. Sedangkan
penjelasan secara matematika dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi obat
dalam darah atau jaringan

Proses Farmokokinetika Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat


untuk mencapai kerja obat. Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah:
absorbs, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi (atau
eliminasi).

B. Proses Absorbsi

Absorbsi adalah pergerakan partakel-partikel obat dari saluran


gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorbsi pasif, absorbs aktif, atau
pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorbsi di usus halus melalui kerja permukaan
vili mukosa yang luas. Jika Sebagian dari vili ini berkurang, karena pengangkatan
Sebagian dari usus halus, maka absorbsi juga berkurang. Obat-obat yang
mempunyai dasar protein, seperti insulin dan hormone pertumbuhan, dirusak di
dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan. Absorbsi pasif umumnya terjadi
melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke 7 konsentrasi rendah).

Dengan proses difusi, obat ridak memerlukan energi untuk menembus


membran. Absorbsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan
perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat
menembus membran. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran
dengan proses menelan. Membran gastrointestinal terutama terdiri dari lipid
(lemak) dan protein, sehingga obat-obat yang larut dalam lemak cepat menembus
membran gastrointestinal. Obat-obat yang larut dalam air membutuhkan karier,
baik berupa enzim maupun protein, untuk melalui membran. Partikel-partikel besar
menembus membran jika telah terjadi tidak bermuatan (nonionized, tidak
bermuatan positif atau negatif). Obat-obat asam lemak, seperti aspirin, menjadi
kurang bermuatan di dalam lambung, dan aspirin melewati lambung dengan mudah
dan cepat. Asam hidroklorida merusak beberapa obat, seperti penisilin . oleh karena
itu, untuk penisilin oral diperlukan dalam dosis besar karena Sebagian hilang akibat
cairan lambung.

Obat-obat yang larut dalam lemak dan tidak bermuatan diabsorbsi lebih
cepat daripada obat-obat yang larut dalam air dan bermuatan. Absorbsi obat
dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stress, kelaparan, makanan, dan pH.
Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokontriktor, atau penyakit dapat
merintangi absorbsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang padat, pedas, dan
berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih
lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan
mengalihkan darah lebih banyak mengakir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi
ke saluran gastrointestinal. Obat-obat yang diberikan secara intramuscular dapat
diabsorbsi lebih cepat di otot-otot yang memiliki lebih banyak pembuluh darah,
seperti deltoid, daripada otot-otot yang memiliki lebig sedikit pembuluh darah,
sehingga absorbsi lebih lambat pada jaringan yang demikian.
Beberapa obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi setelah absorbsi
tetapi melewati lumen usus masuk ke dalam hati, melalui vena porta. Di dalam hati,
kebanyakan obat dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif untuk
diekskresikan, sehingga mengurangi jumlah obat yang aktif. Proses ini, yaitu
b=obat melewati hati terlebih dahulu disebut sebagai efek first-pass, atau first-pass
hepatic. Contoh-contoh obat-obat dengan metabolisme first pass adalah warfarin
(Coumadin) dan morfin. Lidokain dan nitrogliserin tidak diberikan secara oral,
karena kedua obat ini mengalami 8 metabolisme first-pass yang luas, sehingga
Sebagian besar dari dosis yang diberikan akan dihancurkan.

C. Proses Distibusi

Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh
dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan
penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein. Ketika obat
di distibusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan protein (terutama
albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Obat-obat yang lebih besar
dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat yang berikatan tinggi
dengan protein. Salah satu contoh obat yang diberikan tinggi dengan protein adalah
diazepam (Valium): yaitu 98% berkaitan dengan protein. Aspirin 49% berkaitan
dengan protein clan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian
obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya yang tidak
berkaitan dengan bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak
berkaitan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon
farmakologik.

Dengan menurunnya kadar obat bebas dalam jaringan, maka lebih banyak
obat yang berada dalam ikatan dibebaskan dari ikatannya dengan protein untuk
menjaga kesimbangan dari obat yang dalam bentuk bebas. Jika ada dua obat yang
diberikan tinggi dengan protein diberikan Bersama-sama maka terjadi persaingan
untuk mendapatkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga lebih banyak obat
bebas yang dilepaskan ke dalam sirkulasi. Demikian pula, kadar protein yang
rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga
meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian dalam hal ini
dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasrkan
presentase di mana obat itu berikatan dengan protein.

Dengan demikian penting sekali untuk memerikasa presentase pengikatan


dengan protein dari semua obat-obat yang diberikan kepada klein untuk
menghindari kemungkinan toksisitas obat. Seorang perawat juga harus memerikasa
kadar protein plama dan albumin plama klien karena penurunan protein (albumin)
plasma akan menurunkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga
memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi. Selanjutnya tergantung
dari obat (obat-obat) yang diberikan, banyaknya obat atau obat-obatan berada
dalam sirkulasi dapat mengancam nyawa. 9 Bases, eksudat, kelenjar tumor juga
mengganggu distribusi obat. Antibiotik tidak dapat didistribusi dengan baik pada
tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam
jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata, dan otot.

E. Proses Metabolisme

Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat di-


inaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh
enzim-enzim hati menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk
diekskresikan. Ada beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif,
sehingga menyebabkan peningkatan respon farmakologik. Penyakit-penyakit hati,
seperti risoris dan hepatitis, mempengaruhi metabolisme obat. Waktu paruh,
dilambangkan dengan t1 /2, dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh
separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi.

Metabolisme dan eliminasi mempemgaruhi waktu paruh obat, contohnya


pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih Panjang dan
lebih sedikit obat dimetabolisme dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan terus
menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat. Suatu obat akan melalui beberapa
kali waktu paruh sebelum lebih dari 90% obat itu dieliminasi. Jika seorang klien
mendapat 650 mg (milligram) aspirin dan waktu paruhnya adalah 3 jam, maka
dibutuhkan waktu 3 jam untuk waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325 mg,
dan waktu paruh kedua (atau 6 jam) untuk mengeliminasi 162 mg berikutnya, dan
seterusnya, sampai pada waktu paruh keenam (atau 18 jam) di mana tinggal 10 mg
aspirin terdapat dalam tubuh. Waktu paruh selama 4-8 jam dianggap singkat, dan
24 jam atau lebih dianggap Panjang. Jika suatu obat memiliki waktu paruh yang
Panjang (seperti digoksin, yaitu selama 36 jam), maka diperlukan beberapa hari
agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya. Waktu paruh obat juga
dibicarakan dalam bagian mengenai farmakodinamik, karena proses
farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.

F. Time Release Obat


1. Pengujian obat untuk pertama kali pada manusia, yang diteliti
adalah keamanan obat.
2. Pengujian obat untuk pertama kali pada sekelompok kecil
penderita, dengan tujuan melihat efek farmakologi. Dapat
dilakukan secara komparatif dengan obat sejenis ataupun
placebo. Jumlah responden 100-200 orang. 10
3. Memastikan obat benar-benar berkhasiat bila dibandingkan
dengan placebo, obat yang sama tetapi dosis beda, dan obat lain
dengan indikasi sama. Jumlah responden minimal 500 orang.
4. Post marketing drug surveillance, dengan tujuan: menentukan
pola penggunaan obat di masyarakat, efektivitas dan
keamanannya.
G. Implantasi

Implantasi merupakna proses dimana morula berkembang menjadi


blastokista, kemudian menanamkan diri ke dalam lapisan (endometrium). Dalam
blastokista, kelompok sel dalam akan menjadi embrio. Sedangkan lapisan luarnya
akan membentuk plasenta. Implantasi terasa mirip dengan kram mestruasi, dan
intensitasnya ringan. Beberapa Wanita merasakan sensasi menarik, kesemutan atau
menusuk ringan di perut atau punggung bawah. Terkadang kram hanya
bermanifestasi di sisi tubuh.

H. Biotransformasi Dan Ekskresi

Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi
empedu, fases, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak
berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh
ginjal. Obat obat yang berikatan dengan protein, maka obat menjadi benas dan
akhirnya akan diekskresikan melalui urin. Faktor lain yang memengaruhi ekskresi
obat adalah pH urin, yang bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang bersifat asam
akan meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspiri, suatu
asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam uri yang basa. Jika seseorang
meminum aspirin dalam dosis berlebihan, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk
mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapat
menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang bersifat asam.

2.4 Farmakodinamik

A. Pengertian Farmakodinamik

Farmakodinamik mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta


mekanisme kerjanya melalui interaksi antara obat dengan sel target atau reseptor.
Farmakodinamik antibiotik mempelajari hubungan antara konsentrasi antibiotik di
serum dan jaringan serta minimum inhibitory concentration (MIC) pertumbuhan
bakteri (Ross, 1996).

Berdasarkan sifat farmakodinamik dan konsentrasi penghambatan minimal


(MIC), antibiotik dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu time-dependent atau
concentration-independent dan concentration-dependent. Pada antibiotik kelompok
time-dependent seperti β-laktam, glikopeptide, makrolide, klindamisin dengan
meningkatnya konsentrasi antibiotik hanya menunjukkan sedikit atau tidak ada
peningkatan efek terapi sedangkan antibiotik kelompok concentration-dependent
seperti aminoglikosida dan quinolon menunjukkan peningkatan aktivitas seiring
dengan peningkatan konsentrasi. International Society for Anti-infective
Pharmacology (ISAP) membuat definisi parameter farmakokinetik (PK) dan
farmakodinamik (PD). Untuk kelompok time-dependent biasanya menggunakan
parameter farmakologi t > MIC yaitu persentase kumulatif waktu selama periode
24 jam saat konsentrasi obat diatas MIC, sedangkan kelompok concentration-
dependent biasanya menggunakan parameter AUC/MIC (area dibawah kurva
konsentrasi-waktu selama 24 jam dibagi MIC) dan Cmax/MIC (kadar konsentrasi
puncak dibagi MIC) (Barger, 2003).

Antibiotik juga memiliki perbedaan sifat postantibiotik effect (PAE). Pada


umumnya, golongan concentration-dependent mempunyai PAE lebih lama
dibanding golongan time-dependent. Untuk antibiotik concentration-dependent rasio
Cmax/ MIC kurang lebih sepuluh dikaitkan dengan keberhasilan klinis. Oleh karena
itu, konsentrasi yang tinggi menjadi tujuan terapi. Hal ini dapat dicapai melalui
pemberian dosis tinggi sekali sehari. Antibiotik concentration-independent akan
lebih efektif jika durasi konsentrasi di serum lebih tinggi dari MIC pathogen dengan
interval dosis yang proporsional. Pemberian dosis yang sering atau dengan infus
kontinyu dapat meningkatkan t > MIC. Optimalisasi pemberian regimen antibiotik
berdasarkan prinsip farmakodinamik dapat menurunkan terjadinya resistensi
antibiotik (Burgess, 1999).

B. Prinsip Farmakodinamik

Farmakodinamika adalah subdisiplin farmakologi yang memelajari efek


biokimiawi, fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan memelajari mekanisme
kerja obat adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan
sel dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang terjadi.
Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan
berguna dalam sintesis (pembuatan) obat baru.

C.Mekanisme Kerja Obat Farmakodinamik

Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya


pada sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor
obat merupakan komponen makromolekul fungsional; hal ini mencakup 2 konsep
penting. Pertama obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Ke dua, obat
tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis dan sebaliknya obat
yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik sehingga menimbulkan efek dengan
menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis. Mekanisme kerja obat yang kini
telah diketahui dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Secara fisis : anastetika terbang, laksansia, diuretika osmotik Contoh


aktivitas anastetika inhalasi berhubungan langsung dengan sifat
lipofilnya, obat ini diperkirakan melarut dalam membran sel dan
memengaruhi eksitabilitas membrane, diuretic osmotic (urea, manitol),
katartik osmotic MgSO4, pengganti plasma (polivinil-pirolidon = PVP)
untuk menambah volume intravascular.
b. Secara kimiawi : antasida, zat chelator Zat-zat chelator mengikat ion
logam berat sehingga tidak toksik lagi dan mudah diekskresikan oleh
ginjal. Misalnya, penisilamin mengikat Cu2+ bebas yang menumpuk
dalam hati dan otak pasien penyakit Wilson menjadi kompleks yang
larut dalam air, dimerkaprol (BAL = British antilewisite) untuk
mengikat logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi) yang bebas maupun dalam
kompleks organic menjadi kompleks yang larut dalam air dan
dikeluarkan melalui urin.
c. Melalui proses metabolisme Amoksisilin mengganggu pembentukan
dinding sel kuman, 6-merkaptopurin berinkorporasi dalam asam nukleat
sehingga mengganggu fungsinya, detergen sebagai antiseptic-
desinfektan merusak integritas membrane lipoprotein. d. Secara
kompetisi Kompetisi untuk reseptor spesifik atau enzim.

D. Jenis Kerja Obat

Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir
sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC= minimum effective
concentration). Apabila kadar obat dalam plasma atau serum menurun di
bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak
tercapai. Namun demikian, kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
toksisitas). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi
dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek
farmakologis.

Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang


lain dapat memakan waktu beberapa jam atau hari. Kurva respons-waktu
menilai tiga parameter dari kerja obat: mula kerja, puncak kerja, dan lama
kerja obat. Kerja obat non-spesifik : Obat yang berikatan dengan reseptor dan
menimbulkan efek farmakologis disebut agonis. Kalau ada obat yang tidak
sepenuhnya mengikat reseptor dinamakan dengan agonis parsial, karena yang
diikat hanya sebagian (parsial). Zat antagonis adalah senyawa kimia yang
menduduki reseptor sehingga tidak dapat berinteraksi dengan obat dan tidak
menimbulkan efek farmakologis

Pemberian bersama obat antagonis dan agonis akan berpotensi


menghalangi efek agonis Antagonisme dapat dibedakan menjadi 2:

1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologi


yang sama, tapi pada sistem reseptor yang berlainan. Contoh: efek
katabolik hormon glukokortikoid (gula darah meningkat) dapat
dilawan oleh insulin.
2. Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem
reseptor yang sama, efek histamin pada reaksi alergi dapat dicegah
dengan pemberian anti histamin yang menduduki reseptor yang
sama 6 Sifat antagonisme dapat dibedakan menjadi 3:
a. Antagonis kompetitif adalah dua obat yang bersaing
untuk dapat berikatan pada reseptor yang sama. Pada
antagonis kompetitif reversibel efek agonis dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan dosis obat agonis.
b. Antagonis non kompetitif adalah antagonis mengikat
reseptor bukan pada tempat ikatan reseptor agonis
sehingga afinitas obat tidak berubah, namun efek
maksimalnya berkurang.
c. Antagonis parsial atau agonis parsial adalah agonis
yang mempunyai aktivitas intrinsik atau efektivitas
yang rendah sehingga menimbulkan efek maksimal
yang lemah. Obat ini akan mengurangi efek maksimal
yang ditimbulkan agonis penuh. Oleh karena itu,
agonis parsial disebut juga antagonis parsial.

E. Plasebo

Plasebo (Latin = saya ingin menyenangkan) adalah sediaan obat tanpa


kegiatan farmakologi. Kepercayaan atas dokter dan obat yang diberikannya
merupakan faktor penting yang turut menentukan efek terapeutis obat. Pada
situasi tertentu adakalanya diberikan suatu obat plasebo untuk menyenangkan
pasien yang sebetulnya tidak menderita gangguan organis atau untuk
meningkatkan moralnya, misalnya pada penyakit yang sudah tidak bisa
disembuhkan lagi. Efek plasebo yang paling nyata adalah pada obat tidur dan
hasil baik telah dicapai pula pada analgetika, obat asma atau obat penguat
(tonikum)

I. INTERAKSI OBAT

Interaksi obat berarti saling pengaruh antar obat sehingga terjadi


perubahan efek. Perubahan besar pada jumlah suatu obat dalam aliran darah
kita dapat disebabkan oleh interaksi dengan obat lain, baik yang diberikan
melalui resep maupun yang tidak, atau berinteraksi dengan narkoba, jamu,
suplemen, bahkan dengan makanan atau minuman. Beberapa obat sering
diberikan secara bersamaan pada penulisan resep, maka harus diperhatikan
mungkin terdapat obat yang kerjanya berlawanan.

Obat pertama dapat memperkuat atau memperlemah, memperpanjang


atau memperpendek kerja obat kedua.

a. Interaksi obat vs reseptor Interaksi obat dengan reseptor terjadi


ketika obat berinteraksi dengan bagian dari sel, ribosom, atau
tempat lain yang sering disebut sebagai reseptor. 7 Reseptor
bisa berupa protein, asam nukleat, enzim, karbohidrat, atau
lemak. Semakin banyak reseptor yang diduduki atau bereaksi,
maka efek dari obat tersebut akan meningkat.
b. Interaksi obat vs enzim Interaksi obat dengan enzim dapat
terjadi jika obat atau zat kimia berinteraksi dengan enzim pada
tubuh. Obat ini bekerja dengan cara mengikat (membatasi
produksi) atau memperbanyak produksi dari enzim itu sendiri.
Contohnya obat kolinergik, obat kolinergik bekerja dengan
cara mengikat enzim asetilkolinesterase. Enzim ini sendiri
bekerja dengan cara mendegradasi asetilkolin menjadi asetil
dan kolin. Jadi ketika asetilkolinesterase dihambat, maka
asetilkolin tidak akan dipecah menjadi asetil dan kolin
c. Interaksi Obat-Makanan
 Jus jeruk dapat menghambat enzim yang terlibat dalam
metabolisme obat sehingga mengintensifkan pengaruh
obat-obatan tertentu.
 Kalsium atau makanan yang mengandung kalsium, seperti
susu dan produk susu lainnya dapat mengurangi
penyerapan antibiotika tetrasiklin.
 Makanan yang kaya vitamin K, sepertikubis, brokoli,
bayam, alpukat, dan selada, harus dibatasi konsumsinya
jika sedang mendapatkan terapi antikoagulan (misalnya
warfarin), untuk mengencerkan darah. Sayuran itu
mengurangi efektivitas pengobatan dan meningkatkan
risiko trombosis atau pembekuan darah.
 Kafein dapat meningkatkan risiko overdosis antibiotik
tertentu seperti enoxacin, ciprofloxacin, dan norfloksasin.
Untuk menghindari keluhan palpitasi, tremor, berkeringat
atau halusinasi, yang terbaik adalah menghindari minum
kopi, teh atau soda pada masa pengobatan

d. Interaksi Obat-Obat

1. Interaksi Pada Proses Absorpsi, disebabkan karena:


 Interaksi langsung, yaitu terjadi reaksi atau
pembentukan senyawa kompleksantar senyawa
obat yang mengakibatkan salah satu atau semuanya
dari macam obat mengalami penurunan kecepatan
absorpsi. Contoh: interaksitetrasiklin dengan ion
Ca2+, Mg2+, Al3+dalam metabolisme yang
menyebabkan baik jumlah absorpsi tetrasiklin
maupun ketiga ion tersebut turun. Perubahan pH.
 Interaksi dapat terjadi akibat perubahan harga Ph
oleh obat pertama, sehingga menaikkan atau
menurukan absorpsi obat kedua. Contoh:
pemberian antasida bersama penisilin G dapat
meningkatkan jumlah absorpsi penisilin G
menurun.
 Motilitas saluran cerna. Pemberian obat-obat yang
dapat mempengaruhi motilitas saluran cerna dapat
mempengaruhi absorpsi obat lain yang diminum
bersamaan. Contoh: antikolinergik yang diberikan
bersamaan denganparasetamol dapat
memperlambat parsetamol
2. Interaksi Pada Proses Distribusi
Di dalam darah senyawa obat berinteraksi dengan
protein plasma. Senyawa yang asam akan berikatan
dengan albumin dan yang basa akan berikatan dengan α1-
glikoprotein. Jika 2 obat atau lebih diberikan maka dalam
darah akan bersaing untuk berikatan dengan protein
plasma, sehingga proses distribusi terganggu karena terjadi
peningkatan distribusi salah satu obat ke jaringan. Contoh:
pemberian klorpropamid dengan fenilbutazon, akan
meningkatkan distribusi klorpropamid.
3. Interaksi Pada Proses Metabolisme
Interaksi pada proses metabolisme obat dapat
menimbulkan:
 Hambatan metabolisme → Contoh: pemberian
S-warfarin bersamaan dengan fenilbutazon
dapat menyebabkan meningkatnya kadar S-
warfarin dan terjadi pendarahan.
 Induktor enzim → Contoh: pemberian estradiol
bersamaan denagn rifampisin akan
menyebabkan kadar estradiol menurun
sehingga menyebabkan efektifitas kontrasepsi
oral estradiol menurun.
4. Interaksi Pada Proses Ekskresi
Interaksi obat yang terjadi pada proses eliminasi dapat
menimbulkan:
 Gangguan ekskresi ginjal akibat kerusakan
ginjal oleh obat → Contoh: digoksin diberikan
bersamaan dengan obat yang dapat merusak
ginjal seperti aminoglikosida atau siklosporin
akan mengakibatkan kadar digoksin naik
sehingga timbul efek toksik.
 Kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal
→ Contoh: jika penisilin diberikan bersamaan
probenesid maka akan menyebabkan klirens
penisilin turun, sehingga kerja penisilin lebih
panjang.
 Perubahan pH urin → Contoh: pemberian
pseudoefedrin (obat basa lemah) diberikan
bersamaan ammonium klorida maka akan
meningkatkan ekskresi pseudoefedrin. Ini
terjadi karena ammonium klorida akan
mengasamkan urin sehingga terjadi
peningkatan ionisasi pseudoefedrin dan yang
akan mengakibatkan eliminasi dari
pseudoefedrin juga meningkat.
5.Interaksi obat-produk tembakau

Mekanisme utama dari interaksi ini ialah


biotransformasi obat dipercepat karena terjadi induksi dari
mikrosomal enzim di hepar yang disebabkan oleh zatzat yang
ada pada asap rokok. Interaksi obat dengan tembakau atau
rokok ini mengakibatkan penurunan obat dalam plasma.
Contoh interaksi rokok dengan obat yang paling penting
secara klinis ialah efek terhadap pil keluarga berencana (Pil
KB) dan Estrogen lainya, juga efek terhadap Theopyllin dapat
terganggu.

F. Resistensi Obat
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap
interaksi obat, antara lain:
1. Pasien lanjut usia
2. Pasien yang minum lebih dari satu macam obat
3. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati

4. Pasien dengan penyakit akut

5. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil


6. Pasien yang memiliki karakteristik metabolisme tertentu;
7. Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter

G. Alergi Obat

Alergi obat merupakan salah satu dari beberapa jenis reaksi


simpangan (reaksi adversi) terhadap obat. Alergi merupakan suatu kondisi
reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada respon imunologi terhadap obat
(Solensky dan Khan dalam Soegiarto, dkk., 2019).
Menurut WHO (World Health Organization) reaksi simpangan obat
didefinisikan sebagai respon berbahaya yang tidak diharapkan akan terjadi
setelah pemberian obat dengan dosis normal untuk keperluan terapi,
profilaksis, diagnosis, maupun modifikasi fungsi fisiologi (Solensky dan
Khan dalam Soegiarto, dkk., 2019).

Reaksi hipersensitivitas merupakan reaksi imun yang patologik yang


terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan
kerusakan jaringan pada tubuh. Setiap orang memiliki sistem imun yang
berbeda. Apabila sistem imun seseorang semakin lemah maka orang tersebut
mudah untuk terkena penyakit. Efek alergen pun bervariasi dari satu individu
terhadap individu lainnya. Paparan alergen ditandai oleh beberapa gejala
seperti, mual, muntah, gatal pada area tubuh tertentu, mual, muntah, hingga
sesak nafas dan dapat menimbulkan kematian. Gejala yang muncul dari
bagian tubuh yang terpapar alergen atau jika mengenai saluran pernafasan
dapat terjadi batuk, hidung gatal, pilek (Abobakr dan Elshemy, 2013)

Reaksi simpangan terhadap obat dapat dibagi menjadi dua kelompok


yaitu reaksi tipe A dan reaksi tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi simpangan
obat yang bisa diprediksi, reaksi yang bisa diprediksi meupakan sekitar 80%
dari reaksi simpangan obat, terjadi akibat efek samping farmakologis obat,
biasanya bergantung pada dosis obat dan terjadi pada semua individu yang
tidak memiliki bakat alergi. Reaksi B merupakan reaksi hipersensitivitas yang
tidak dapat diprediksi dan tidak bergantung pada dosis. Reaksi 6
hipersensitivitas ini menyebabkan timbulnya gejala atau tanda pada dosis
yang bisa ditoleransi oleh orang normal.

F. Habituasi

Habituasi dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu: induksi enzim


(barbital dan fenilbutazon, menstimulir terbentuknya enzim yang
menguraikan obat-obat tersebut), reseptor sekunder yang terbentuk ekstra
oleh obat-obat tertentu (morfin menyebabkan terbentuknya reseptor baru
sehingga dibutuhkan dosis lebih untuk memperoleh efek terapeutis yang
sama), penghambatan absorpsi setelah pemberian oral (habituasi bagi 11
sediaan arsen). Peningkatan dosis terus-menerus akan menyebabkan
keracunan karena efek sampingnya menjadi lebih kuat. Habituasi dapat
diatasi dengan penghentian pemberian obat dan pada umumnya tidak
memberikan gejala penghentian, seperti pada adiksi.

2.5 Profil antibiotic beserta farmakokinetika dan farmakodinamika menurut


golongan masing-masing

2.5.1 Antibotik β-Lactam (ESBL): Penisilin

Antibiotik β-lactam, seperti penicillin, cephalosporins dan carbapenems,


merupakan antibotik paling banyak digunakan, paling efektif dan umumnya
digunakan dalam pengobatan penyakit infeksi. (Owens dan Lautenbach, 2008;
Öztürk et al., 2015). Kinerja dari antibiotik β-lactamdalam membunuh bakteri adalah
dengan mengganggu sintesis dari dinding sel bakteri. Salah satu anggota dari
anbtibiotik β-lactam adalah penisilin. Anggota dari antibiotik β-lactam sendiri terdiri
dari sefalosporin, karbapanem, dan monobaktam (Gambar 1) (Mycek et al., 2001;
Katzung and Trevor, 2015).

Penisilin merupakan antibiotik dengan efektivitas paling luas dan toksisitas


terkecil. Penisilin dapat memberikan efek buruk pada beberapa orang yang alergi,
efek yang ditimbulkan adalah hipersensitivitas. Penisilin memiliki karakteristik
kimia, mekanisme kerja, farmakologi, dan imunologi dengan cephalosporins,
monobactams, carbapenems, dan inhibitor β-lactam. Semu antibiotik tersebut
dinamakan senyawa β-lactam karena cincin lactam beranggotakan empat (Mycek et
al., 2001; Katzung and Trevor, 2015).

Anggota dari grup obat penisilin berbeda satu sama lain dalam substituent R
yang diikat oleh sisa 6-asam aminopenisilanat (Gambar 2). Sifat rantai samping ini
mempengaruhi spektrum antimikrobanya., stabilitas terhadap asam lambung, dan
kerentanan terhadap degradasi enzim (β-lactamase). Cincin thiazolidine (A)
berdekatan dengan cincin β-lactam yang membawa grup secondary amino (RNH-).
Integritas struktutral dari asam nukleat 6-aminopenisilanat sangat esensial bagi
aktivitas biologi dari senyawa penisilin. Hidrolisis dari cincin β-lactam oleh bakteri
β-lactamases menghasilkan asam penicilloic, yang menyebabkan aktivitas antibakteri
berkurang atau bahkan hilang (Mycek et al., 2001; Katzung and Trevor, 2015).

Adapun penjelasan dari tiap-tiap grup penisilin adalah sebagai berikut:


1. Penisilin alamiah memiliki aktivitas antibakteri paling tinggi dalam
melawan organisme gram positif, bakteri cocci gram negatif, dan
bakteri anaerob yang memproduksi non-β lactamase. Namun, penisilin
alamiah memiliki aktivitas yang tidak besar terhadap bakteri batang
gram negatif dan rentan terhadap hidrolisis dari β-lactamases. Penisilin
ini umumnya didapat dari fermentasi jamur Penicillium chrysogenum.
Penisilin lain disebut semi-sintetik karena perbedaan grup R yang diikat
secara kimiawi pada 6-asam nukleat aminopenisilanat yang didapat dari
fermentasi jamur (Katzung and Trevor, 2015; Mycek et al., 2001).
a. Penisilin G (benzilpenisilin) merupakan penisilin alami
pertama dengan aktivitas poten dalam melawan semua patogen gram
positif, cocci gram negatif dan beberapa spirochaetes dan
actinomycetes. Penisilin G juga merupakan rentan terhadap inaktiviasi
oleh β-lactamase (Nathwani and Wood, 1993; Mycek et al., 2001).
b. Penisilin V memiliki spectrum yang mirip dengan Penisilin G
namun obat ini tidak digunakan pada pengobatan bakterimia karena
konsentrasi letal minimum (jumlah minimum obat yang dibutuhkan
untuk mengeliminasi bakteri) dari penisili ini tinggi. Pensilin V lebih
stabil terhadap asam bila dibandingkan dengan penisilin G. Antibiotik
ini lebih sering digunakan untuk pengobatan infeksi oral karena
antibiotik ini efektif terhadap beberapa organisme anaerobik (Mycek
et al., 2001).
2. Penisilin antistafilokokus merupakan penisilin yang resisten terhadap
staphylococcal β-lactamases. Antibiotik ini secara aktif melawan
staphylococci dan streptococci namun tidak mematikan bagi
enterococci, bakteri anaerobic, dan bakteri cocci dan batang gram
negatif (Katzung and Trevor, 2015). Antibiotik yang termasuk dari
grup penisilin antistafilokokus, yaitu nafcillin, oksasilin, kloksasilin,
diklosasilin, dan metisilin. Antibiotik metisilin jarang digunakan karena
tingkat toksisitasnya. Staphylococcus aureus yang resisten terhadap
metisilin umumnya menjadi sumber dari infeksi nosomial (HAIS),
bakteri tersebut biasanya masih rentan terhadap vankomisin (Mycek et
al., 2001).
3. Penisilin spektrum luas (extended-spectrum penicillins) merupakan
golongan yang mempertahankan spektrum antibakteri penisilin dan
aktivitas yang dihasilkan dalam melawan bakteri-bakteri gram negatif
sangat tinggi namun, golongan ini juga relatif rentan terhadap hidrolis
dari β-lactamases sama seperti penisilin lainnya (Katzung and Trevor,
2015). Spektrum dari golongan ini mirip dengan penisilin G namun
kinerja dari antibiotik ini lebih efektif terhadap basil gram negatif.
Alasan itulah yang membuat golongan ini disebut dengan penisilin
spektrum luas. Contoh dari penisilin spektrum luas adalah ampisilin
dan amoksisilin. Ampisilin merupakan obat pilihan terhadap basil gram
positif. Antibiotik-antibiotik ini juga digunakan secara luas untuk
pengobatan infeksi saluran napas dan amoksisilin sering digunakan
oleh dokter gigi untuk profilatik penderia katup jantung yang
mengalami operasi oral ekstensif. Pembentukkan dengan penghambat
β-lactamase seperti asam klavulanat atau sulbaktam melindungi
amoksisilin atau ampisilin dari hidrolisis enzimatik dan meningkatkan
spektrum antimikrobanya (Mycek et al., 2001).
4. Penisilin antipseudomonas menurut Katzung and Trevor (2015) masuk
ke dalam penisilin spektrum luas. Contoh dari dari golongan penisilin
ini adalah carbenicillin, ticarcillin, dan piperacillin. Golongan ini
disebut dengan antipseudomonas karena aktivitasnya terhadap
Pseudomonas aeruginosa. Piperacillin merupakan antibiotik yang
paling poten. Antibotik-antibiotik tersebut efektif terhadap sebagian
besar basil gram-negatif tapi tidak efektif terhadap Klebsiella sp.
karena Klebsiella sp. membentuk penisilinase. Pembentukkan
ticarcillin atau piperacillin dengan asam klavulanat atau tazobaktam
meningkatkan spektrum antimiroba agar dapat mengatasi organisme
yang menghasilkan penisilinase. Mezlocillin dan azlocillin juga efektif
terhadap Pseudomonas aeruginosa dan sejumlah bakteri gram negatif
pada konsentrasi rendah. Antibiotik-antibiotik tersebut rentan terhadap
pecahnya penisilinase (Mycek et al., 2001; Wilson and Koup, 1985).
2.5.1.1 Mekanisme kerja penisilin

Penisilin, seperti antibiotik β-lactam lainnya, menghambat pertumbuhan


bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidation (ikatan silang) dari
pembentukkan dinding sel bakteri. Penghambatan tersebut membuat membran
dari bakteri kurang stabil secara osmotik kemudian lisis sel dapat terjadi.
Dinding sel bakteri terdiri dari cross-linked polimer polisakarida dan polipeptida
kompleks, serta peptidoglikan (juga dikenal sebagai murein atau mucopeptide).
Polisakarida mengandung alternating gula amino, N-acetylglucosamine dan
asam N-acetylmuramic. Lima asam amino peptida ini terkait dengan acid
sugarN-acetylmuramic. Peptida ini berakhir di D-alanyl-D-alanin (Katzung and
Trevor, 2015).

Penicillin-binding protein (PBP, sebuah enzim) menghapus terminal


alanin dalam proses membentuk cross-link dengan peptida di dekatnya. Cross-
Link tersebut memberikan dinding sel struktural yang kaku. Struktural antibiotik
beta-laktam, analog dari substrat D-Ala-D-Ala alami, secara kovalen mengikat
ke situs aktif PBP. Pengikat tersebut menghambat reaksi transpeptidasi dan
menghentikan sintesis peptidoglikan, sehingga sel mati. Mekanisme yang tepat
dari kematian sel belum sepenuhnya dipahami, tetapi autolysins dan gangguan
dinding sel morfogenesis terlibat dalam proses tersebut. Antibiotik beta-laktam
membunuh sel-sel bakteri hanya ketika mereka tumbuh aktif dan mensintesis
dinding sel (Katzung and Trevor, 2015).

Hal tersebut membuat penisilin disebut termasuk antibiotik yang


bakterisidal. Keberhasilan penisilin dalam mematikan bakteri terkait dengan
ukurannya. Penisilin hanya bersifat efektif terhadap organisme yang tumbuh
secara cepat dan mensintesis peptidoglikan dinding sel. Hal tersebut
mengakibatkan antibiotik ini tidak aktif terhadap organisme yang memiliki
struktur seperti mikobakteria, protozoa, jamur, dan tentunya virus (Mycek et al.,
2001).

Bila diringkas, penisilin memiliki tiga mekanisme dalam membunuh


bakteri, yaitu yang pertama penisilin mengikat protein. Penisilin menginaktifkan
protein yang berada dalam membrane sel bakteri. Penngikatan PBP (enzim
bakteri yang terlibat dalam sintesis dinding sel) merupakan proses ketika
penisilin mengikat protein bakteri. Penisilin menyebabkan sintesis dinding sel
terhambat, perubahan morfologi dan lisis dari bakteri yang rentan Kedua,
penisilin menghambat transpeptidase. Penisilin menghambat reaksi katalisis-
transpeptidase yang dkatalis oleh PBP sehingga pembentukkan ikatan silang
yang penting untuk integritas dinding sel tidak terjadi. Ketiga adalah mekanisme
autolysin. Enzim degradatif atau autolysin merupakan enzim yang diproduksi
oleh kebanyakan bakteri coccus gram positif yang dimana enzim tersebut terlibat
dalam remodeling dinding sel bakteri normal. Dengan adanya penisilin, aksi
degradatif autolysin didahului dengan hilangnya sintesis dinding sel. Mekanisme
autolitik yang sebenarnya tidak diketahui namun kemungkinan ada
penghambatan yang salah dari autolysin. Efek antibakteri penisilin merupakan
hasil penghambatan sisntesis dinding sel bakteri dan merupakan destruksi
keberadaan dinding sel oleh autolysin (Mycek et al., 2001).

2.5.1.2 Farmokinetik penisilin

Cara pemberian penisilin ditentukan oleh stabilitas antibiotik terhadap


asam lambung dan beratnya infeksi. Pemberian dari antibiotik metisilin,
tikarsilin, karbenisilin, mezlosilin, piperasilin, azlosilin, dan kombinasi
ampisilin dengan sulbaktam, tikarsilin dengan asam klavulanat, serta
piperasilin dengan tazobaktam harus diberikan secara intravena (IV) atau
intramuskular (IM) (Mycek et al., 2001).

Penisilin V, amoksisilin, serta kombinasi amoksisilin dengan asam


klavulanat hanya tersedia dalam bentuk oral. Antibiotika lainnya efektif
dengan pemberian oral, IV, atau IM. Adapula bentuk depot, dimana
prokainpenicillin G dan benzatin penicillin G diberikan secara intramuscular
dan dalam bentuk depot. Antibiotik ini diabsorbsi ke dalam sirkulasi secara
lambat dan perlu waktu lama (Mycek et al., 2001).

Kebanyakan penisilin diabsorbsi secara tidak lengkap setelah


pemberian oral dan mencapai intestinum dalam jumlah yang cukup untuk
mempengaruhi komposisi flora intestinal tetapi amoksisilin hampir lengkap
diabsorbsi. Konsekuensi dari hal terebut, amoksisilin tidak cocok untuk
pengobatan infeksi yang disebabakan oleh Shigella sp. atau enteritis karena
Salmonella sp. diakibatkan kadar efektif secara terapeutika tidak mencapai
organisme dalam celah intestinal. Absorbsi penisilin G dan semua penisilin-
resisen penisilinase menurun dengan adanya makanan dalam lambung karena
waktu pengosongan lambung diturunkan dan antibiotik dihancurkan dalam
lingkungan asam. Hal tersebut menjadi alasan mengapa antibiotik-antibiotik
tersebut harus diberikan 30-60 menit sebelum makan atau 2-3 jam setelah
makan. Penisilin dipengaruhi oleh makanan (Mycek et al., 2001).
Distribusi dari semua jenis penisilin melewati sawar plasenta tapi
tidak satupun menimbulkan efek teratogenik. Distribusi antibiotik juga
bersifat bebas ke seluruh tubuh. Penetrasi ke tempat tertentu seperti tulang
atau cairan serebrospinalis tidak cukup untuk terapi kecuali di daerah tersebut
terjadi inflamasi. Metabolisme antibiotik-antibiotik tersebut dalam tubuh host
biasanya tidak bermakna, namun beberapa metabolisme dari penisilin G tidak
diubah dalam urin. Hal tersebut umumnya terjadi pada penderita gagal ginjal
(Mycek et al., 2001).

Jalan utama ekskresi melalui sistem sekresi asam organik (tubulus) di


ginjal sama seperti melalui filtrasi glomerulus. Penderita dengan gangguan
fungsi ginjal harus diberikan dosis yang sesuai sehingga t 1/2 penisilin G dapat
meningkat dari normal setelah ½ -1 sampai 10 jam pada penderita gagal
ginjal. Probenisid menghambat sekresi penisilin, nafsilin dieliminasi terutama
melalui sirkulasi empedu (Mycek et al., 2001).

2.5.1.2 Efek Samping

Penisilin termasuk obat yang paling aman namun masih dapat


menimbulkan efek alergi pada beberapa orang. Adapun efek yang dapat
ditimbulkan dari penggunaan antibiotik penisilin adalah:
1. Hipersensitivitas merupakan efek samping penisilin yang paling
sering terjadi. Determinan antigenik utama dari hipersensitivitas
penisilin adalah metabolit dari penisilin yaitu asam penisiloat
yang berekasi dengan protein dan bertindak sebagai hapten yang
dapat menyebabkan reaksi dengan imunitas. Sekitar 5% pasien
mengalami efek ini, dengan munculnya bercak-bercak merah
pada kulit berupa makulopapular sampai dengan angioedema
(ditandai dengan bengkak di bibir, lidah, area periorbital) serta
anafilatik. Reaksi alergi silang terjadi di antara sesame antibiotika
β-laktam. Meskipun kulit kemerahan terjadi dengan semua
penisilin, antibiotik ampisilin paling sering menimbulkan kulit
kemerahan berupa makulopapular. Insidens makulopapular
mencapai 100% terutama pada pasien mononukleosis yang
diobati dengan ampisilin (Mycek et al., 2001).
2. Efek selain hipersensitivitas adalah diare. Efek ini disebabakan
oleh ketidakseimbangan mikroorganisme intestinal normal dan
efek ini cukup sering terjadi. Efek ini lebih sering muncul
terutama pada obat-obat yang diabsorpsi secara tidak lengkap dan
mempunyai spektrum antibakteri luas (Mycek et al., 2001).
3. Nefritis juga merupakan efek lain yang ditimbulkan oleh penisilin
terutama oleh metisilin yang mempunyai kecenderungan
menyebabkan nefritis interstisial akut (Mycek et al., 2001).
4. Neurotoksisitas adalah efek yang juga dapat ditimbulkan oleh
penisilin bersifat iritatif terhadap jaringan neuronal dan dapat
menyebabkan kejang bila diberikan intratekal atau kadar dalam
darah sangat tinggi. Penderita epilepsi sangat beresiko untuk
terkena efek ini (Mycek et al., 2001).
5. Gangguan fungsi pembekuan darah merupakan efek samping
yang melibatkan penurunan aglutinasi, dilaporkan terjadi akibat
penggunaan penisilin antipseudomonas (karbenisilin dan
tikarsilin) dan juga penisilin G. Umumnya efek ini dikhawatirkan
akan timbul pada pasien dengan predisposisi pendarahan atau
pasien yang mendapat antikoagulan (Mycek et al., 2001).
a. Efek terakhir yang mungkin ditimbulkan adalah
toksisitas kation. Penisilin umumnya diberikan
dalam bentuk garam natrium atau kalium. Toksisitas
mungkin dapat terjadi karena jumlah natrium atau
kalium yang besar dan bergabung dengan penisilin.
Kelebihan natrium mungkin menyebabkan
hipokalemia. Hal ini dapat dihindar dengan
menggunakan antibiotika paling poten yang
menimbulkan penggunaan obat dengan dosis rendah
sehingga dapat bergabung dengan kation (Mycek et
al., 2001).

Antibiotik yang memiliki struktur sama dengan penisilin seperti


cephalosporin atau carbapenem juga dapat menimbulkan alergi. Antibiotik
β-laktam diketetahui sebagai salah satu antibiotik yang paling sering
menyebabakan reaksi obat langsung dan tidak langsung. Insidensi dari
alergi penisilin yang sebenarnya sangatlah kecil, kasus yang tidak benar-
benar alergik sering terjadi. Di Inggris, alergi yang sebenarnya dengan tipe
reaksi I yang dimediasi oleh imunoglobbulin E hanya sebesar <0,05% dari
keseluruhan populasi dari Inggris. Alergi penisilin yang sesungguhnya
dapat menimbulkan akibat yang fatal dengan persentase resiko terjadinya
anaphylaxis sebesar 0.002% dari pasien yang diobati (Jethwa, 2015).

Antibiotik β-lactam dan metabolitnya dapat menunjukkan potensi


toksisitas pada manusia dan organisme akuatik dan bertanggung jawab
atas munculnya bakteri dan gen yang resisten terhadap antibiotik.
Antibiotik β-lactam memiliki sifat bio-refractory (tahan panas) sehingga
antibiotik ini tidak dapat dihapus secara efektif melalui proses pengolahan
air limbah kota secara konvensional (Nasri et al., 2015)

2.5.2 Sefalosporin

Jamur Cephalosporium menghasilkan beberapa antibiotika yang


menyerupai penisilin tetapi resisten terhadap beta-laktamase serta aktif terhadap
gram positif maupun bakteri gram negative. Kemudian dikembangkan metode
untuk metode yang menghasilkan inti umum dalam skala besar, asam 7-
aminosefalosporanat. Hal ini memungkinkan sintesis turunan sefalosporin
dengan berbagai kegunaan.Sefamisin (produk fermentasi Streptomyces) dan
sejumlah obat-obat ssintetik seperti moksalaktam yang mirip sefalosporin.
Inti sefalosporin, asam 7- aminosefalosporanat, sangat menyerupai asam
6- aminopenisilanat dan juga terhadap inti antibiotika sefamisin. Aktifitas
antimikroba intrinsic sefalosporin alamiah rendah, tetapi pelekatan berbagai
gugusan R1 dan R2 telah menghasilkan obat dengan aktivitas terapi yang baik
dan toksisitas yang rendah.

Sefalosporin mempunyai berat molekul 400-450.Sefalosporin larut dalam


air dan relative stabil terhadap perubahan pH dan suhu.Sefalosporin bervariasi
dalam resisten terhadap beta lactamase. Garam natrium sefalotin megandung 2,4
meg Na+ /gram.

Secara tradisional, sefalosporin dibagi menjadi tiga group utama atau


generasi, terutama bergantung pada spectrum aktivitas antimikroba. Semua
sefalosporin tidak aktif terhadap enterokokus dan stafilokokus resisten metisilin.
1. Sefalosporin generasi pertama ( sefadroksil, sefazolin, sefaleksin,
sefalotin, sefapirin dan sefadrin )
a. Aktivitas antimikroba
Obat ini sangat aktif terhadap kokus gram positif, termasuk
pneumokokus, streptokokus viridan, group streptokokus A hemolitikus dan S.
aureus. Diantara gram negative Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, dan
Proteus mirabilis sering sensitif, tetapi terdapat aktivitas sangat kecil
terhadap Pseudomonas aeruginosa, Proteus indol positif, Enterobacter,
Serratia marcescens, Citrobacter dan Acinobacter. Kokus anaerob (misalnya
peptococcus, peptostreptococcus) biasanya sensitif, kecuali Bacteriodes
fragilis.
b. Farmakokinetik dan dosis
 Oral : sefaleksin, sefradin, dan sefadroksil diabsorbsi dari usus
bervariasi secara luas. Setelah pemberian dosis 500 mg per oral, kadar
dalam serum adalah 15-20 µg/ml. Konsentrasi dalam urin biasanya
sangat tinggi, tetapi banyak kadar jaringan yang bervariasi dan
biasanya lebih rendah daripada dalam serum. Sefaleksin dan sefradin
diberikan secara oral dengan dosis 0,25-0,5 g 4 kali sehari
(15-30mg/kg/hari) dan sefadroksil dengan dosis 0,5- 1 g2 kali sehari.
Ekskresi terutama melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubular di
urin. Obat penghambat sekresi tubulus, misalnya probenesid, dapat
meningkatkan kadar dalam serum secara signifikan. Penggunaan pada
pasien dengan kelainan fungsi ginjal, dosis harus dikurangi : untuk
bersihan kreatinin 20-50 ml/menit, diberikan setengah dosis: untuk
bersihan kreatinin kurang dari 20ml/menit diberikan satu per empat
dosis normal.
 Intravena : setelah 1 g infus intravena, kadar puncak sefazolin adalah
90-120 µg/ml., sementara kadar sefalotin atau sefapirin adalah 40-60
µg/ml. Dosis intravena sefazolin biasa untuk orang dewasa adalah 1-2
g setiap 2-4 jam (50-200mg/kg/hari). Ekskresi melalui ginjal dan
dengan kelainan fungsi ginjal, penyesuaian dosis harus dilakukan
serupa seperti yang dianjurkan pada pemberian obat oral.
 Intramuskuler : rute pemberian ini cenderung menimbulkan rasa sakit
lokal, rasa sakitnya lebih kurang pada sefazolin dibandingkan dengan
sefapirin dan karenanya jarang dilakukan.

c. Penggunaan klinik
Sefalosporin generasi pertama mempunyai aktivitas spektrum yang
luas dan relatif tidak toksik, tetapi obat ini jarang sebagai obat pilihan untuk
beberapa infeksi.Obat per oral dapat digunakan untuk pengobatan infeksi
saluran kemih, luka kecil yang disebabkan oleh stafilokokus, atau untuk
infeksi selulitis dan abses jaringan lunak. Pemberian oral sefalosporin tidak
dianjurkan untuk infeksi sistemik yang serius.
Suntikan intravena sefalosporin generasi pertama mengalami
penetrasi denan baik pada kebanyakan jaringan dan merupakan obat terpilih
untuk profilaksis pembedahan, terutama sefazolin.Sefalosporin generasi
kedua dan ketiga merupakan tawaran yang tidak menguntungkan untuk
profilaksis tindakan bedah, jauh lebih mahal dan hendaknya jangan
digunakan untuk maksud tersebut.
Suntikan intravena generasi pertama mungkin merupakan pilihan
untuk infeksi karena merupakan pilihan untuk infeksi karena merupakan obat
yang kurang toksik (misalnya K. pneumoniae) dan pada orang dengan riwayat
reaksi hipersensitif terhadap penisilin yang ringan tetapi bukan reaksi
anafilaksis.Sefalosporin generasi pertama tidak dapat penetrasi ke susunan
saraf pusat dan tidak dapat digunakan untuk pengobatan meningitis.

2. Sefalosporin generasi kedua ( sefaklor, sefamandol, sefonosid, seforanid,


sefoksitin, sefmetazol, sefuroksim, sefprozil, lorakarbef, dan
sefpodoksim)
a. Aktivitas antimikroba
Group obat yang heterogen dengan perbedaan aktivitas,
farmakokinetik, dan toksisitas yang sangat bervariasi. Sefalosporin golongan
ini aktif terhadap organisme yang dipengaruhi oleh obat generasi pertama,
tetapi obat ini mencakup gram negatif yang luas.Enterobacter, Klebsiella
(termasuk yang resisten terhadap sefalotin) dan proteusindol-positif biasanya
sensitif.Sefamandol, sefuroksim, sefonisid, seforanid, dan sefaklor aktif
terhadap H. influenza tetapi tidak terhadap Serratia atau B. fragilis.
Sefoksitin, seftemazol, dan sefotetan aktif terhadap B. fragilis dan beberapa
strain Serratia tetapi tidak terhadap H. influenza. Semua sefalosporin generasi
kedua kurang aktif terhadap Enterokokus atau P. aeruginosa.
b. Farmakokinetik dan dosis
 Oral : sefaklor, sefuroksim aksetil, sefprozil, sefpodoksim, dan
lorakarbef dapat diberikan per oral. Dosis untuk dewasa biasanya 10-
15mg/kg/hari dibagi dalam dua sampai empat dosis terbagi : anak-
anak harus diberikan 20-40mg/kg/hari sampai maksimum 1 g/hari.
 Intravena : setelah infus intravena sebanyak 1 g, kadar dalam serum
biasanya 75-125 µg/ml, tetapi untuk sefinisid dapat mencapai 200-
250 µg/ml. Ada perbedaan yang nyata diantara obat tersebut dalam
hal paruh waktu, ikatan protein, dan interval antara dosis. Untuk
sefoksitin (50-200mg/kg/hari) atau sefamandol (75-200mg/kg/hari),
interval 4-6 jam, obat dengan waktu paruh yang panjang disuntikkan
dengan frekuensi lebih sedikit, misalnya sefuroksim 0,75-1,5 g setiap
8-12 jam, sefotetan 1-2 g setiap 8-12 jam: sefonisid atau seforanid 1-2
g (15-30 mg/kg/hari) setiap 12-24 jam; sefrozil 500mg/24 jam.
Pada umumnya, suntikan intramuskuler sangat sakit untuk
digunakan.Pada gagal ginjal, dibutuhkan penyesuaian dosis.
c. Penggunaan klinik
Sefaklor digunakan untuk pengobatan sinusitis dan otitis media pada
pasien yang alergi atau tidak mempunyai respons terhadap ampisilin dan
amoksisilin karena aktivitasnya terhadap H. influenza atau Moraxella
catarrhalis, penghasil beta-laktamase,.Hanya sefuroksim yang dapat
melintasi sawar darah otak sehinggadapat dipertimbangkan untuk pengobatan
meningitis. Resistensi terhadap H. influenzae telah ditemui.
Sefoksitin, sefotetan (sefamisin) serta sefmetazol dapat digunakan
dalam infeksi anaerob campuran tersebut seperti peritonitis atau divertikularis
karena aktivitasnya terhadap anaerob (termasuk B. fragilis). Sefamandol
(sefuroksim)dapat dipakai untuk pengobatan pneumonia yang terdapat dalam
masyarakat.

3. Sefalosporin generasi ketiga (sefoperazon, sefotaksim, seftazidim,


seftriakson, sefiksim dan moksalaktam).
a. Aktivitas antimikroba
Keistimewaan utama obat ini (kecuali sefoperazon) adalah meliputi
gram negatif yang luas dan kesanggupannya mencapai susunan saraf pusat.
Sebagai tambahan untuk gram negatif yang dihambat oleh sefalosporin yang
lain, obat generasi ketiga juga aktif terhadap Enterobacter, Citrobacter, S.
marcescens dan Providencia begitu pula terhadap strain Haemophilus dan
Neisseria penghasil beta-laktamase. Sementara seftazidin dan sefoperazon
mempunyai aktivitas yang kuat terhadap P. aeruginosa, obat lain dalam
group hanya menghambat berbagai macam proporsi strain saja. Hanya
seftizoksim dan moksalaktam mempunyai aktivitas yang baik terhadap B
fragilis.
b. Farmakokinetik dan dosis
Setelah infus intravena 1 g, kadar dalam serum adalah 60-140 µg/ml.
Obat ini dapat melakukan penetrasi ke dalam cairan tubuh dan jaringan
dengan baik serta dengan pengecualian sefoperazon kadar yang dicapai dalam
cairan serebrospinalis cukup untuk menghambat kebanyakan bakteri
pathogen, termasuk batang gram negatif kecuali pseudomonas.
Waktu paruh obat ini dan intervalnya bervariasi besar. Sefriakson
(waktu paruh 7-8 jam)dapat disuntikkan setiap 12-24 jam dalam dosis 15-
30mg/kg/hari, tetapi pada meningitis dosis harus 30-50mg/kg/hari
disuntikkan setiap 12 jam. Sefoperason (waktu paruh 2 jam) dapat
disuntikkan setiap 8-12 jam dengan dosis 25-100mg/kg/hari. Obat lain dalam
group ini (waktu paruh 1-1,7 jam) dapat disuntikkan 6-8 jam dengan dosis
antara 2 dan 12 g/hari bergantung pada beratnya infeksi. Sefiksim dapat
diberikan secara oral (400mg 2 kali sehari )untuk infeksi saluran nafas dan
saluran kemih.
Ekskresi sefoperazon dan seftriakson terutama melalui saluran
empedu; jadi tidak diperlukan penyesuaian dosis pada gagal ginjal.Obat yang
lainnya diekskresikan melalui ginjal dan karenanya diperlukan penyesuaian
dosis pada insufisiensi ginjal.
c. Penggunaan klinik
Karena penetrasinya ke sususnan saraf pusat, sefalosporin generasi
ketiga kecuali sefoperazon dan sefiksim dapat digunakan untuk pengobatan
meningitis, termasuk meningitis yang disebabkan oleh pneumokokus, H.
influenzae dan batang gram negative usus halus yang rentan. Biasanya obat
ini tidak dapat diandalkan pada meningitis yang disebabkan oleh
P.aeroginosa.Indikasi potensial lainnya termasuk sepsis yang tidak diketahui
penyebabnya pada pasien yang immunocompetent dan infeksi yang rentan
dimana sefalosporin adalah obat dengan toksisitas sedikit yang
tersedia.Pasien neutropenik dengan gangguan sistem imun, pemberian
sefalosporin generasi ketiga dapat menjadi efektif bila digunakan secara
kombinasi dengan aminoglikosida.
d. Efek samping dari sefalosporin
 Alergi : sefalosporin menyebabkan sensitisasi dan dapat menimbulkan
berbagai reaksi hipersensitivitas, termasuk anafilaksis, demam,kemerahan
dikulit, nefritis, granulositopenia, dan anemia hemolitik. Inti sefalosporin
secara kimiawi cukup berbeda dengan penisilin sehingga beberapa
individu dengan riwayat alergi penisilin dapat toleran sefalosporin.
Frekuensi alergenitas silang diantara dua group obat ini tidak menentu
tetapi berkisar antara6-18%. Walaupun demikian, pasien dengan riwayat
anafilaksis pada penisilin tidak boleh diberikan sefalosporin.
 Toksisitas: iritasi lokal dapat menyebabkan sakit setelah suntikan
intramuskuler dan tromboflebitis setelah suntikan intravena. Toksisitas
ginjal, termasuk nefritis intertisial dan bahkan nekrosis tubular telah
dilaporkan dan merupakan indikasi mutlak penghentian obat
sefalopsporin.
Sefalosporin yang mengandung kelompok melitiotetrazol
(misalnya sefamandol, moksalaktam, sefmetazol, sefotetan, sefoperazon)
sering menyebabkan hipoprotrombinemia dan kelainan
perdarahan.Pemberian vitamin K, 10 mg 2 kali seminggu, dapat
mencegah hal ini.Moksalaktam dapat pula mengganggu fungsi trombosit
dan menyebabkan perdarahan hebat sehingga telah banyak ditinggalkan.
Obat-obat dengan cincin metilitiotetrazoldapat pula menyebabkan
reaksi seperti disulfiram; maka akibatnya alkohol dan obat yang
mengandung alkohol harus dihindari.
e. Superinfeksi
Kebanyakan sefalosporin generasi kedua dan terutama generasi ketiga
tidak efektif terhadap organisme gram positif terutama stafilokokus dan
enterokokus.Selama pengobatan dengan obat tersebut, organisme yang
resisten ini, begitu juga dengan fungi, sering berproliferasi dan menyebabkan
superinfeksi.

2.5.3 Aminoglikosida

Aminoglikosida adalah salah satu antibiotik pilihan untuk menangani


infeksi serius. Aminoglikosida pertama kali ditemukan adalah streptomisin yang
diisolasi dari Streptomyces griseus. Neomisin yang diisolasi dari Stretomisin
fradiae mempunyai aktifitas lebih baik dari streptomisin tetapi mempunyai efek
toksis yang lebih kuat sehingga tidak digunakan secara sistemik. Gentamisin
yang diisolasi dari mikromonospora, merupakan penemuan yang paling penting
dalam era pengobatan kuman gram negatif terutama Pseudomonas aeruginosa.
Selanjutnya, beberapa aminoglikosid dikembangkan seperti amikacin,
netilmycine dan tobramycine yang semuanya dapat digunakan secara sistemik.

Efek bakterisid aminoglokosid terjadi melaluipenghambatan sintesis


protein kuman setelah mengikat secara menetap pada 30S ribosom dari bakteri.
Akibat reaksi kation antibiotic menimbulkan celah pada dinding luar kuman
sehingga terjadi kebocoran dan mengeluarkan isi kuman diikuti penetrasi
antibiotik semakin dalam. Aktifitas antibiotik ini memerlukan oksigen (energi)
sehingga efek bakterisid akan berkurang pada infeksi anaerob atau gram positif.
Semua golongan aminoglikosid mempunyai sifat farmakokinetik yang hampir
sama. 15-30 menit pasca pemberian intravena terjadi distribusi ke ruang
ekstraseluler dan konsentrasi puncak dalam plasma dicapai setelah 30-60 menit
paska pemberian pada keadaan fungsi ginjal normal. Ikatan amino-glikosid dan
protein sangat lemah dan eliminasi obat ini melalui filtrasi glomerulus secara
utuh. Dua prinsiputama farmakodinamik aminoglikosid yaitu: concentration-
dependent killing dan post antibiotic effect (PAE). Concentration-dependent
killing menunjukan hubungan antara konsentrasi obat dan efekantimikroba.

Efek antibakterisid yang optimal dari aminoglikosida bila rasio dosis


konsentrasi maksimal dan MIC kuman antara 8:1 hingga 10:1. PAE menunjukan
efek bakterisid tetap aktif walaupun konsentrasi obat dalam plasma berada di
bawah MIC. Dosis rekomendasi aminogliko sida secara empiris gentamisin dan
tobramisin antara 1.2–2 mg/kg setiap 8 jam, amikasin 5–7.5 mg/kg setiap 8
sampai 12 jam. Sejak 1980 dengan mengikuti prinsip farmakodinamik
dikembangkan pemberian dengan cara extended interval minoglycoside cosing
(EIAD) atau sekali sehari. Pemberian cara ini memungkinkan dosis sangat tinggi
sehingga efek bakterisid menjadi optimal dan konsentrasi obat menjelang akhir
dosis rendah sehingga mengurangi efek toksik (Leibovici et al., 2009).
Aminoglikosida mempunyai spektrum yang luas terhadap kuman aerob dan
fakultatif basil gram negatif, terutama terhadap enterobacteriaceae (E.coli,
P.mirabilis dan spesiesMorganella, Klebsiella, Citrobacter, Serratia dan
Enterobacter), spesies Pseudomonas, Acinetobacterdan Haemophillus influenza.
Efek samping aminoglikosida yang tersering adalah nefrotoksik dan ototoksik
(tuli) sedangkan kelumpuhan otot lebih jarang. Untuk mengurangi kejadian efek
samping aminoglikosida dapat dilakukan identifikasi faktor risiko terjadinya
efek samping dan hindari pemberian aminoglikosida secara multidosis.

Aminoglikosida adalah salah satu antibiotik pilihan untuk menangani


infeksi serius. Penggunaan antibiotik ini diindikasikan karena mempunyai
spektrum luas terutama terhadap infeksi kuman aerob gram negatif, dan berefek
sinergis terhadap gram positif bila dikombinasikan dengan antibiotik lain
(misalnya β-laktam) (Leibovici et al., 2009). Aminoglikosida merupakan
senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat
ikatan glikosidik pada inti heksosa. Dengan adanya gugusan amino, zat-zat ini
bersifat basa lemah dan garam sulfanya yang digunakan dalam terapi mudah
larut dalam air.Aminoglikosida pertama ditemukan adalah streptomisin yang
diisolasi dari Streptomyces griseus, neomisin yang diisolasi dari Streptomyces
fradiae mempunyai aktifitas bakteri kuman gram negatif lebih baik dari
streptomisin tetapi mempunyai efek toksisitas yang lebih kuat sehingga tidak
digunakan secara sistemik (Leibovici et al., 2009). Gentamisin yang diisolasi
dari mikromonospora, merupakan penemuan yang sangat penting dalam era
pengobatan kuman gram negatif terutama oleh kuman Pseudomonas aeruginosa.
Selanjutnya, beberapa aminoglikosida dikembangkan seperti Streptomyces
kanamyceticus untuk kanamycine, Streptomyces tenebrarius untuk tobramycine
dan asilasi kanamisin A untuk kanamisin.

2.5.3.1 Penggolongan aminoglikosida

Aminoglikosida dapat dibagi atas dasar rumus kimianya sebagai


berikut :
 Streptomisin mengandung satu molekul gula-amino dalam
molekulnya.
 Kanamisin dengan turunan amikasin, dibekasin, gentamisin,
dan turunannya netilmisin dan tobramisin, semuanya
mempunyai dua molekul gula yang dihubungkan oleh siklo
heksan.
 Neomisin, framisetin dan paramomisin dengan tiga gula-
amino.

2.5.3.2 Mekanisme kerja aminoglikosida

Aktifitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus


dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom (partikel partikel kecil dalam
protoplasma sel yang kaya akan RNA, tempat terjadinya sintesis protein)
didalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis
protein dikacaukan. Untuk menembus dinding bakteri mencapai ribosom,
aminoglikosida yang bermuatan kation positif akan berikatan secara pasif
dengan membran luar dinding kuman gram negatif yang mengandung muatan
negatif. Terjadinya reaksi kation antibiotik akibat adanya potensial listrik
transmembrane sehingga menimbulkan celah atau lubang pada membran luar
dinding kuman selain mengakibatkan kebocoran dan keluarnya kandungan
intraseluler kuman memungkinkan penetrasi antibiotik semakin dalam hingga
menembus membran sitoplasma, proses ini merupakan efek bakteriosid
aminoglikosida.

Gambar 4. Sintesis protein dinding kuman diawali dengan ikatan antara tRNA
codon arginine (C-G-C) pada 30S subunit ribosom dengan anticodon arginine
(G-C-G) yang selanjutnya mengalami proses transfer dari tRNA pada posisi
A ke Pkemudian ke posisi Esehingga terbentuk 70S subunit ribosom, proses
ini dikenal sebagai elongasi rantai polipeptida.
Gambar 5. Aminoglikosida setelah mencapai protoplas akan mengikat 16S
rRNA bagian dari 30S subunit ribosom, akibatnya ikatan codon arginine (C-
G-C) dan anticodon (G-C-G) tidak terjadi sehingga rangkaian pasangan
codon-anticodon yang sesuai tidak terbentuk sehingga terjadi kekacauan
biosintesis protein akibat salah baca kode genetik sehingga sintesis protein
essential tidak terjadi dan berakhir dengan kematian kuman.

Aktifitas potensial listrik transmembran ini sangat tergantung pada


ketersediaan oksigen (energy dependent) dan mempunyai korelasi yang kuat
terhadap efek bakteriosid aminoglikosida, oleh karena itu pada keadaan
anaerob, keasaman yang tinggi (asidosis) atau hiperosmolalitas akan
mengurangi aktifitas potensial transmembran. Bila ditemukan adanya infeksi
disertai pembentukan abses atau kuman penyebab gram positif (dinding lebih
tebal dibanding gram negatif) akan mengurangi keefektifan aminoglikosida
akibat menurunnya aktifitas potensial listrik transmembran dikarenakan
gangguan suplai oksigen (Leiboviciet al., 2009).
2.5.3.3 Aspek farmakokinetik dan farmakodinamik aminoglikosida

Semua golongan aminoglikosida mempunyai sifat farmakokinetik


yang hampir sama. 15–30 menit paska pemberian intravena terjadi distribusi
ke ruang ekstraseluler dan konsentrasi puncak dalam plasma dialami setelah
30-60 menit paska pemberian. Waktu paruh (half-life) aminoglikosida rerata
antara 1.5 hingga 3.5 jam pada fungsi ginjal yang normal, waktu paruh ini
akan memendek pada keadaan demam dan akan memanjang pada penurunan
fungsi ginjal. Ikatan aminoglikosida dan protein sangat lemah (protein
binding< 10%) dan eliminasi obat ini terutama melalui filtrasi glomerulus.
Lebih dari 90% dosis aminoglikosida yang diberikan secara intravena akan
terdeteksi pada urin dalam bentuk utuh pada 24 jam pertama, sebagian kecil
secara perlahan akan mengalami re-siklus ke dalam lumen tubulus
proksimalis. Akumulasi dari resiklus ini yang akan berakibat toksik pada
ginjal. Volume distribusi (Vd) aminoglikosida 0.2-0.3 L/k, setara dengan
cairan ekstraseluler sehingga akan mudah tercapai konsentrasi terapeutik
dalam darah, tulang, cairan sinovial dan peritonium tetapi mempunyai
konsentrasi distribusi yang rendah pada paru dan otak. Dua prinsip utama
farmakodinamik aminoglikosida yaitu: concentration-dependent killing dan
post antibiotic effect (PAE) (Lacy et al., 1998).

2.5.3.4 Interaksi aminoglikosida dengan obat lain

Vancomicin (Lamer et al., 1993; Moise-Broder et al., 2004),


amphotericin B, cyclosporin, dan furosemide (Hidayat et al., 2006)
meningkatkan potensi nefrotoksisitas aminoglikosida. Setiap agen ini dapat
menyebabkan nefrotoksisitas bila diberikan tersendiri. Ketika obat ini
diberikan bersamaan dengan aminoglikosida, konsentrasi kreatinin serum
harus dipantau setiap hari.Selain itu, konsentrasi serum vankomisin atau
siklosporin, serta aminoglikosida, harus pula diukur. Jika antibiotik
aminoglikosida diberikan dengan loop diuretik (diuretik kuat), tanda dan
gejala klinis dari ototoksisitas (pendengaran: penurunan ketajaman
pendengaran di kisaran percakapan, rasa penuh atau tekanan di telinga,
tinnitus; vestibular: kehilangan keseimbangan, sakit kepala, mual, muntah,
nistagmus , vertigo, ataksia) harus dipantau setiap hari. Aminoglikosida dapat
memperpanjang efek dari agen memblokir neuromuskuler seperti
suksinilkolin. Pasien perawatan bedah dan intensif yang menerima blocker
neuromuskuler dan aminoglikosida harus dipantau untuk efek samping
potensial ini.Penisilin (terutama penisilin G, ampisilin, nafcillin, karbenisilin,
tikarsilin) dapat menginaktivasi aminoglikosida secara in vivo dan in vitro
pada spesimen darah dimaksudkan untuk pengukuran konsentrasi
aminoglikosida pada serum (Murphy and Winter, 1996).

2.5.4 Kuinolon

Quinolone atau kuinolon merupakan salah satu golongan antibiotik yang


tidak diisolasi dari organisme, melainkan disintesis secara kimiawi.Kuinolon
pertama kali disintesis dari obat anti-malaria chloroquine, dan disebut sebagai
nalidixic acid.Agen-agen antibiotik golongan kuinolon selanjutnya disintesis
melalui manipulasi rantai samping atau side chain, maupun manipulasi inti dari
stuktur kimia kuinolon pertama (Ball, 2003).

Kuinolon merupakan antibiotik broad spectrum yang memiliki aktivitas


terhadap berbagai patogen. Pemanfaatan kuinolon untuk pengobatan infeksi
antara lain infeksi saluran kemih, infeksi saluran pencernaan, infeksi saluran
pernafasan, penyakit menular seksual akibat bakteri yang resisten terhadap
penisilin, dan infeksi kulit dan tulang. Golongan antibiotik ini merupakan salah
satu alternatif yang digunakan di daerah yang secara epidemiologi memiliki
prevalensi resistensi penisilin yang tinggi (Sharma et al., 2009).

Kuinolon bekerja dengan cara menghambat replikasi dan transkripsi


DNA bakteri, yang akhirnya menyebabkan kematian sel bakteri. Hal tersebut
dilakukan baik dengan cara menghambat aktivitas DNA gyrase, suatu enzim
topoisomerase yang berperan dalam hidrolisis adenosin trifosfat, dan/atau
menghambat pelepasan gyrase dari DNA (Sharma et al., 2009).

2.5.4.1 Jenis-jenis agen antibiotik golongan kuinolon

Pengembangan kuinolon dilakukan hingga beberapa generasi, yang


mana agen antibiotik dalam generasi yang sama memiliki kemiripan sifat
atau spektrum antibiotik (Ball, 2003). Kuinolon generasi pertama memiliki
aktivitas terhadap bakteri gram negatif aerob dan sedikit aktivitas terhadap
bakteri gram prositif aerob dan bakteri anaerob.Generasi kedua, yang lebih
dikenal sebagai fluorokuinolon, memiliki aktivitas yang lebih tinggi,
sehingga dapat bekerja pada lebih banyak bakteri gram negatif dan cukup
banyak bakteri gram positif.Generasi ketiga lebih poten terhadap bakteri
gram positif, khususnya bakteri pneumococci, disertai dengan aktivitas
yang baik terhadap bakteri anaerob.Generasi keempat kuinolon memiliki
aktivitas dengan cakupan yang superior, baik terhadap pneumococci
maupun bakteri anaerob (Jacoby, 2005).Klasifikasi obat-obatan atau agen
ke dalam golongan kuinolon beserta karakteristik utamanya dimuat pada
tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi kuinolon

Generasi Jenis Obat Karakteristik

Pertama Naldixic acid Aktif terhadap beberapa


bakteri gram negatif
Oxolinic acid
Mudah mengikat
Pipemidic acid
protein (high protein
bound)

Waktu paruh yang


pendek

Kedua Norfloxacin Protein binding ±50%

Enoxacin Waktu paruh lebih


panjang
Ciprofloxacin
Peningkatan aktivitas
Ofloxacin
terhadap bakteri gram
Lomefloxacin negatif

Ketiga Temafloxacin Aktif terhadap bakteri


gram negatif
Sparafloxacin
Aktif terhadap bakteri
Grepafloxacin
gram positif

Keempat Temafloxacin Peningkatan aktivitas,


baik pada bakteri gram
Trovaflocain
positif maupun negatif
Moxifloxacin
Aktif terhadap bakteri
Gatifloxacin anaerob dan bakteri
atipikal

Sumber:Sharma et al., 2009

2.5.4.2 Struktur antibiotik golongan kuinolon

Pengembangan kuinolon melalui modifikasi struktur menyebabkan


adanya perubahan pada aktivitas antibakteri dan karakteristik farmakologi
dari agen yang termasuk dalam golongan antibiotik ini.Struktur inti dari
kuinolon dimuat pada gambar3.Posisi 1 berperan dalam menentukan
potensi agen, farmakokinetik, dan interaksi dengan teofilin. Posisi 2, 3,
dan 4 menentukan aktivitas anti-bakteri yang timbul melalui pengaruh
terhadap afinitas enzim bakteri. Posisi 3 dan 4 juga berperan dalam metal
chelation dan interaksi dengan kation divalen dan trivalen (O’Donnell dan
Gelone, 2004; Mehlhorn dan Brown, 2007).

Adanya methoxy pada posisi 5 dapat meningkatkan aktivitas agen


terhadap bakteri gram positif, tetapi juga meningkatkan pototoksisitas.
Penambahan atom fluorin pada posisi 6 akan menghasilkan
fluorokuinolon, yang juga meningkatkan penetrasi obat ke dalam sel
bakteri dan meningkatkan aktivitas agen terhadap bakteri gram
negatif(O’Donnell dan Gelone, 2004; Mehlhorn dan Brown, 2007).

Posisi 7 memiliki peran seperti posisi 1, yaitu terlibat dalam


menentukan potensi, farmakokinetik, dan interaksi dengan teofilin.Posisi 7
juga menentukan toksisitas sistem saraf pusat dari kuinolon, karena
kemampuannya dalam mengikat gamma-amino-butyric-acid.Penambahan
piperazine pada posisi 7 dapat meningkatkan aktivitas terhadap
Pseudomonas aeruginosa, sedangkan penambahan kelompok pyrrolidine
dapat meningkatkan aktivitas terhadap bakteri gram positif(O’Donnell dan
Gelone, 2004; Mehlhorn dan Brown, 2007).

Halogen pada posisi 8 dapat meningkatkan waktu paruh, absorpsi,


dan aktivitas terhadap bakteri anaerob, akan tetapi dapat terjadi
peningkatan fototoksisitas senyawa yang mengalami dihalogenisasi.
Karenanya, penambahan halogen pada posisi 8 tidak memungkinkan
penggunaan secara klinis. Sebaliknya, penambahan kelompok methoxy
pada posisi 8 dapat memberikan aktivitas terhadap pneumococci yang
superior tanpa efek fototoksisitas(O’Donnell dan Gelone, 2004; Mehlhorn
dan Brown, 2007).
Gambar 6. Struktur inti kuinolon (Ko dan Song, 2015).

2.5.4.3 Farmakokinetik kuinolon

Kuinolon, utamanya fluorokuinolon, memiliki karakteristik


farmakokinetik yang dinilai baik, sehingga agen-agen antibiotik golongan
kuinolon dipergunakan secara luas.Secara umum, kuinolon memiliki
tingkat absorpsi dan penetrasi jaringan yang baik, sehingga dapat
digunakan untuk mengatasi berbagai sindroma klinis (O’Donnell dan
Gelone, 2004).

1. Absorpsi

Kuinolon mengalami disolusi secara cepat di saluran pencernaan,


dan diabsorpsi di duodenum dan jejunum. Puncak konsentrasi serum (peak
serum concentration) biasanya terjadi setelah satu hingga dua jam
pemberian pada individu yang sehat. Kuinolon generasi ketiga juga
memiliki konsentrasi serum maksimal (maximal serum concentration atau
Cmax) setelah satu hingga dua jam, dengan sparfloxacin sebagai
pengecualian. Sparfloxacin mengalami absorpsi yang lebih lambat,
sehingga waktu untuk mencapai Cmax dari agen tersebut mencapai empat
hingga lima jam. Hal tersebut dihubungkan dengan solubilitas sparfloxacin
yang lebih rendah dalam larutan akuos (aqueous solution)(Mehlhorn dan
Brown, 2007; Montay et al. dalam Ko dan Song, 2015).
Ingesti agen kuinolon bersamaan dengan makanan menyebabkan
peningkatan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak konsentrasi
serum hingga satu jam, akan tetapi tidak mempengaruhi karakteristik
farmakokinetik lainnya. Agen yang termasuk dalam golongan kuinolon
memiliki Cmax yang bervariasi.Pada dosis pemberian sebesar 200 mg,
puncak konsentrasi sparfloxacin mencapai 0.7 µg/ml, sedangkan
trovafloxacin dapat mencapai 2.9 µg/ml.Dosis pemberian kuinolon
memiliki hubungan linear positif dengan Cmax.Area under curve (AUC)
yang menggambarkan hubungan antara waktu dengan konsentrasi serum
juga berhubungan secara linear dengan dosis.Semakin besar dosis yang
diberikan, maka semakin luas AUC (Nakashima et al., 1995).Hubungan
antara dosis, Cmax, dan AUC dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Farmakokinetik beberapa agen golongan kuinolon

Agen Dosis oral tmax (jam) Cmax t½β (jam) AUC


(mg) (µg/ml) ([mg.jam
]/L)

Sparfloxaci 200 4.0 0.7 21.0 19.0


n

Levofloxaci 200 1.5 2.0 6.0 20.0


n

Grepafloxac 200 2.1 0.7 11.0 8.8


in

Trovafloxac 200 0.7 2.9 7.8 24.0


in
Clinafloxaci 200 1.5 1.6 6.3 11.0
n

Keterangan : tmax = waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi maksimal;


Cmax = konsentrasi serum maksimal; t½β = waktu paruh eliminasi;
AUC = area under curve untuk konsentrasi serum

Sumber:Ko dan Song, 2015

2. Distribusi

Volume distribusi dari agen kuinolon generasi ketiga lebih besar


dibandingkan dengan generasi kedua.Sebagai contohnya, volume distribusi
dari grepafloxacin kurang lebih 3.5 L/kg dan 4.5 L/kg untuk sparfloxacin.
Hal tersebut disebabkan oleh sifat low protein binding atau kecenderungan
mengikat protein yang rendah yang dimiliki oleh kuinolon generasi ketiga
(Child et al. dalam Ko dan Song , 2015).

Beberapa penelitian dilakukan terhadap kuinolon generasi ketiga


untuk mengetahui tingkat penetrasi agen kuinolon ke dalam jaringan
maupun cairan tubuh manusia. Levofloxacin yang memiliki karakteristik
hampir sama dengan ofloxacin merupakan salah satu agen yang paling
banyak diteliti. Konsentrasi Levofloxacin pada sebagian besar jaringan
ataupun cairan tubuh cenderung lebih tinggi atau sama dengan konsentrasi
pada plasma (Johnson et al. dalam Ko dan Song , 2015).

Selain penetrasi jaringan dan cairan tubuh, penelitian juga


dilakukan untuk mengetahui tingkat penetrasi kuinolon pada cairan
inflamasi. Puncak konsetrasi kuinolon pada cairan yang dihasilkan oleh
luka lecet diketahui mencapai 41% hingga 81% konsentrasi pada serum,
seperti yang nampak pada tabel 3. Konsentrasi tinggi juga dapat ditemukan
pada parenkim renal, jaringan kantung empedu, dan jaringan saluran
genital.Dalam suatu studi yang dilakukan pada pasien post-operasi,
konsentrasi grepafloxacin setelah dua hingga lima jam pasca pemberian
oral dengan dosis 300 mg diketahui mencapai 0.9 µg/ml pada serum dan
5.6 mg/kg pada jaringan kantung empedu (Tanimura et al., 1995).

3. Eliminasi

Kuinolon diekskresikan dari tubuh melalui jalur eliminasi renal dan


non-renal.Obat yang tidak mengalami perubahan (unchanged drug) dalam
konsentrasi tinggi dapat ditemukan pada urin, cairan empedu, dan feses.
Analisis terhadap kuinolon generasi ketiga menunjukkan bahwa beberapa
agen memiliki tingkat eliminasi unchanged drug mencapai 60%, misalnya
levofloxacin dan clinafloxacin (Mehlhorn dan Brown, 2007).

Sebaliknya, beberapa agen lain memiliki tingkat eliminasi


unchanged drug kurang dari 10%, misalnya grepafloxacin, sparfloxacin,
dan trovafloxacin. Waktu paruh eliminasi serum (serum elimination half-
life) fluorokuninolon berkisar antara 4.6 jam hingga 21 jam pada dewasa
sehat, seperti yang nampak pada tabel 2 (Montay et al. dalam Ko dan
Song, 2015).

Perubahan fungsi renal tidak memiliki dampak signifikan terhadap


eliminasi agen kuinolon dari tubuh, termasuk pada individu dengan
produksi urin yang sedikit.Sebagai contohnya, waktu paruh eliminasi
serum dari sparfloxacin pada pasien dengan gangguan renal moderat
(glomerular filtration rate 22 ml/menit) hingga severe (glomerular
filtration rate 7.7 ml/menit) mencapai dua kali lebih tinggi dibandingkan
pada individu sehat.Rerata waktu paruh eliminasi levofloxacin pada pasien
dengan creatinine clearance sebesar 40-70 ml/menit mencapai 6.4 jam,
creatinine clearance sebesar 20-40 ml/menit mencapai 11 jam, dan 28 jam
untuk creatinine clearance sebesar <20 ml/menit (Borner et al. dalam Ko
dan Song, 2015).
2.5.4.4 Farmakodinamik kuinolon

Dalam konteks antibiotik, farmakodinamik mendeskripsikan


hubungan antara banyaknya agen atau obat yang terukur dalam serum atau
plasma dan cairan jaringan dengan dampak anti-mikroba yang dihasilkan
oleh agen (Andes dan Craig, 2002).

Kurang lebih 30 tahun yang lalu, beberapa peneliti di bidang


antibiotik membagi antibiotik ke dalam 2 kategori berdasarkan mekanisme
utama dalam membunuh bakteri.Dua kategori tersebut adalah time
dependent dan concentration dependent.Kuinolon, bersama dengan
aminoglikosida dan ketolid, merupakan anti-bakteri yang termasuk dalam
kategori concentration dependent atau bergantung pada konsentrasi,
sehingga farmakodinamiknya berbeda dengan antibiotik yang termasuk
dalam kategori time dependent, seperti β-lactam.Parameter
farmakodinamik yang berhubungan dengan beberapa golongan antibiotik
dapat dilihat pada tabel 4 (Wispelwey, 2005).

Parameter farmakodinamik yang berkorelasi dengan aktivitas anti-


bakteri kuinolon adalah ratio Cmax berbanding minimum inhibitory
concentration (MIC) (Cmax:MIC) dan rasio area under curve untuk
konsentrasi plasma selama 24 jam (AUC 24) berbanding MIC
((AUC24:MIC).Kedua parameter tersebut berkorelasi dengan
efikasi.Perhitungan rasio dilakukan berdasarkan konsentrasi obat bebas,
sehingga memungkinkan komparasi obat-obatan pada golongan yang sama
tetapi memiliki kemampuan mengikat protein yang berbeda (Mueller et
al., 2004).

Model in vitro menunjukkan bahwa rasio Cmax:MIC> 8 dan


AUC24:MIC > 125 berhubungan dengan eradikasi bakteri secara cepat dan
dapat mencegah pertumbuhan kembali bakteri. Pada pasien yang diterapi
dengan ciprofloxacin, rasio AUC24:MIC>125 menghasilkan prognosis
klinis yang lebih baik dan menjadi prediktor kesembuhan secara
mikrobiologis. Penelitian in vitro maupun in vivo tersebut
mengindikasikan bahwa penggunaan kuinolon secara efektif bergantung
pada pencapaian rasio Cmax:MIC sebesar 10:1 atau AUC 24:MIC sebesar
125:1 (Stein, 1996).

Tabel 3. Parameter farmakodinamik yang berhubungan dengan


beberapa golongan antibiotik

Parameter Golongan Antibiotik


T > MIC Penisilin
Sefalosporin
Karbapenem
Makrolid
Cmax:MIC Aminoglikosida

Keterangan : MIC = minimum inhibitory concentration; T > MIC = waktu di atas


MIC; Cmax = konsentrasi plasma maksimal; AUC 24 = area under
curve untuk konsentrasi plasma selama 24 jam

Sumber:Ko dan Song, 2015.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri,


jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses biokimia
mikroorganisme lain. .

Dalam ilmu farmakologi sering ditemukan istilah farmakodinamik dan


farmakokinetik. Pengertian farmakodinamik dalam ilmu farmakologi sebenarnya
memiliki hubungan yang cukup erat dengan farmakokinetik.

Jika farmakokinetik lebih fokus kepada perjalanan obat-obatan di dalam


tubuh maka farmakodinamik lebih fokus membahas dan mempelajari seputar efek
obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh baik dari segi fisiologi maupun biokimia
berbagai organ tubuh serta mekanisme kerja obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh
manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Anugrah & Petter. (1995). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Gadjah Mada
University Press -----. 2019.

Singkatan Latin Dalam Resep Yang Harus Diketahui Perawat.


https://www.magungakbar.com/2019/12/04/singkatan-latin-dalam-
resep-yangharus-diketahui-perawat.html. Diakses pada tanggal 03
Agustus 2023 pada pukul 10.00 WIB

rokhman.staff.ugm.ac.id/2014/03/09/singkatan-latin-dalam-resep-untukapoteker/.
Diakses pada tanggal 03 Agustus 2023 pada pukul 11.00 WIB

Djamhuri,A. (1990). Synopsis Pharmakology. Jakarta Indonesia: Hipokrates

Öztürk, H., Ozkirimli, E., and Özgür, A., 2015. Classification of beta-lactamases and
penicillin binding proteins using ligan-centric network models, J. Plos One,
10(2): 1-23.

Anda mungkin juga menyukai