Anda di halaman 1dari 16

Tugas dari dr. Sukasihati, Sp.

KK
NAMA : Jeanike Defrawati
NIM : 1808436162

KORTIKOSTEROID

I. Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini
memainkan peran penting pada tubuh termasuk mengontrol respon inflamasi.

Kotikosteroid dapat digolongkan menjadi glukokortikoid dan


mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang memiliki
aktivitas utama penyimpanan glikogen hepar dan anti-inflamasi. Prototip untuk
golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam.
Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan
betametason. Sedangkan golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang
mempunyai aktivitas utama dalam menjaga keseimbangan air dan elektrolit. Pada
manusia, mineralokortikoid yang terpenting adalah aldosteron. Prototip dari
golongan ini adalah desoksikortikosteron.

Sejak pertama kali digunakan pada tahun 1949, kortikosteroid semakin luas
dipakai dan dilakukan usaha-usaha untuk membuat senyawa-senyawa
glukokorticoid sintetik untuk mendapatkan efek glukokortikoid yang lebih besar
dengan efek mineralokortikoid lebih kecil serta efek samping serendah mungkin.

II. Penggunaan Kortikosteroid


Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu
kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.
A. Kortikosteroid Sistemik
1. Farmakologi Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis
protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara
difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor
protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks
reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu
bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesi
protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.

Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang


transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel
limfoid dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang
sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini
menimbulkan efek katabolik.

Beberapa pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh


ialah sebagai berikut:

a. Metabolisme karbohidrat dan protein


Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah sehingga
merangsang pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa kedalam
sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase dan menyebabkan lipolisis.
Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat
lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak,
peningkatan pelepasan asam lemak, dan gliserol ke dalam darah.

Hormon ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di


perifer steroid mempunyai efek katabolik. Efek katabolik inilah yang
menyebabkan terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan
otot, terjadi osteoporosis tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen
menjadi negatif. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan
sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.
b. Metabolisme lemak
Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang atau pada
sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak
akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang
(buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face),
sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang. c. Keseimbangan
air dan elektrolit.

Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi


K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada
hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume cairan
ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis.

d. Sistem kardiovaskular
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara
langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap
keseimbangan air dan elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi
pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila
keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps
kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular
antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard. e. Otot rangka

Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik,


dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini
berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada
insufisiensi adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini
tidak terjadi kerusakan otot maupun sambungan saraf otot. Pemberian
transfuse atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas kerja otot.. f.
Susunan saraf pusat

Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat secara langsung dan tidak


langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung disebabkan efeknya pada
metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi, dan keseimbangan elektrolit.
Adanya efek steroid pada SSP ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan
mood, tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak, terutama untuk penggunaan
waktu lama atau pasien penyakit Addison.
g. Elemen pembentuk darah
Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah sel
darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul polisitemia pada sindrom
Cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami anemia normokromik
normositik yang ringan.

h. Efek anti-inflamasi dan imunosupresif


Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya
gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen.
Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu
edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan
aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi
yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen
dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap
konsentrasi,distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh
efek supresinya terhadap sitokin dan kemokin inflamasi serta mediator
inflamasi lipid dan glukolipid lainnya.

Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan


ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami
inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang
komplek dengan molekul adhesi sel, khusunya yang berada pada sel endotel
dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal
glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat,
sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut
berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan
menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh
peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sumsum tulang dan penurunan
migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel
pada tempat inflamasi.

Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi


merupakanterapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan
penyebabnya tetap ada. Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek
imunosupresan dan antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek
farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis merupakan
mekanisme protektif.

i. Jaringan limfoid dan sistem imunologi


Glukokortikoid tidak menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif,
golongan obat ini dapat mengurangi jumlah sel pada leukemia limfoblastik
akut dan beberapa keganasan sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya
mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons imunnya. Kortikosteroid juga
menghambat inflamasi dengan menghambat migrasi leukosit ke daerah
inflamasi.

j. Pertumbuhan
Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menghambat
pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon
pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat
maturasi dan proses pertumbuhan memanjang.

2. Penggolongan Kortikosteroid Sistemik


Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan
berdasarkan masa kerjanya, antara lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang
(12-36 jam), dan kerja lama (>36 jam).

Tabel 1. Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan


kortikosteroid
Kortikosteroid Potensi Lama Dosis
Mineralokortikoid Glukokortikoid kerja ekuivalen
(mg)*
Kortisol 1 1 S 20
(hidrokortison)
Kortison 0,8 0,8 S 25
Kortikosteron 15 0,35 S -
6-αmetilprednisolon 0,5 5 I 4

Fludrokortison 125 10 I -
(mineralokortikoid)
Prednisone 0,8 4 I 5
Prednisolon 0,8 4 I 5
Triamsinolon 0 5 I 4
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 0,75
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam);
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam); L
= kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam).

3. Dosis dan Pemberian Kortikosteroid Sistemik

Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit
kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik. Pada pemberian
kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah prednison
karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar
digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi
prednisolon. Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid
jangan dipakai pada pemberian long term (lebih dari sebulan). Pada penyakit
berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom
Stevens-Jhonson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi secara
intravena. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan
diganti dengan tablet prednison.

Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral,


intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung
dengan keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana kortikosteroid
digunakan karena efek samping seperti pada alopesia areata, kortikosteroid
yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang.
Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose
yang digunakan untuk mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga
beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu,
kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil
dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk
meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam
08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH.
Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan
sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5
sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk
memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun hirsustisme.

Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai


4 minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk
mencari dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara
penurunan yang baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis
selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk mencegah
terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan
selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar
kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis
selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk
mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan
kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari
pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis
telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya
bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila
diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik.
Seterusnya dapat diberikan dapat diberikan selang sehari.

Berikut pada tabel 2 ditampilkan berbagai penyakit kulit yang dapat


diobati dengan kortikosteroid sistemik beserta dosisnya.

Tabel 2. Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada
berbagai dermatosis
Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari
Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SJS berat dan NET Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
DLE Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg Prednison
Pemfigus foliaseus 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg

4. Efek Samping Kortikosteroid Sistemik

Adapun efek samping kortikosteroid sistemik secara umum dapat


dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Efek samping kortikosteroid sistemik

Lokasi Efek Samping


1. Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus
peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.
2. Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
3. Susunan saraf Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah pusat
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu
makan bertambah.
4. Tulang Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang
panjang.
5. Kulit Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis
akneiformis, purpura, telangiektasis.
6. Mata Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
7. Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
8. Pembuluh darah Kenaikan tekanan darah
9. Kelenjar Atrofi, tidak bisa melawan stres adrenal bagian kortek
10. Metabolisme Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula protein,
KH dan meninggi, obesitas, buffao hump, perlemakan hati.
lemak
11. Elektrolit Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia
kor)
12. Sistem Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi TB dan herpes immunitas
simplek, keganasan dapat timbul.
B. Kortikosteroid Topikal

1. Mekanisme Kerja
a. Vasokontriksi
Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di bagian
superficial dermis, yang akan mengurangi eritema. Mekanisme pasti
belum diketahui. Kemungkinan karena inhibisi natural vasodilatasi
seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin.

b. Efek anti-proliferasi
Efek anti-proliferatif kortikosteroid topikal diperantarai dengan inhibisi
dari sintesis dan mitosis DNA. Kontrol dan proliferasi seluler merupakan
suatu proses kompleks yang terdiri dari penurunan dari pengaruh
stimulasi yang telah dinetralisir oleh berbagai faktor inhibitor. Proses-
proses ini mungkin dipengaruhi oleh kortikosteroid. Glukokortikoid juga
dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim
yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.

c. Immunosupresan
Mekanisme yang terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa
studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa menyebabkan
pengurangan sel mast pada kulit, menurunkan produksi dan efek dari
faktor-faktor hormonal yang terlibat dalam proses inflamasi, serta
menghambat migrasi leukosit ke daerah lesi.

d. Efek anti-inflamasi
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan
kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid menginhibisi
fosfolipase A2 (enzim yang bertugas membentuk prostaglandin,
leukotrin,dan lain-lain) dan arachidonic acid pathway, menginhibisi
faktor transkripsi yang dapat mengaktifkan proinflammatory genes,
menurunkan pelepasan IL-1α. Mekanisme lain yang turut memberikan
efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah menginhibisi proses fagositosis
dan menstabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagosit.
2. Klasifikasi Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal dibagi menjadi 7 golongan besar
berdasarkan potensi anti-inflamasi dan antimitotiknya. Golongan I yang
paling kuat daya antiinflamasi dan antimitotiknya (superpoten).
Sebaliknya golongan VII yang terlemah antiinflamasi dan antimitotiknya
(potensi lemah). Berikut disajikan tabel 4, penggolongan kortikosteroid
topikal berdasarkan potensinya.
Tabel 4. Klasifikasi kortikosteroid topikal
Klasifikasi Nama dagang Nama Generik
Super Poten Diprolene oinment Betamethasone dipropionate
Diprolene AF cream 0,05%
Psorcon oinment
Temovate ointment Diflurasone diacetate 0,05%
Temovate cream Clobetasol propionate 0,05%
Ultravate ointment
Ultravate cream Halobetasol propionate 0,05%
Potensi Tinggi Cyclocort oinment Amcionide 0,1%
Diprosone ointment Betamethasone dipropionate
Elocon ointment 0,05%
Florone ointment Mometasone fuorate 0,01%
Halog ointment Diflorasone diacetate 0,05%
Halog cream Halcinonide 0,01%
Halox solution
Lidex ointment
Lidex cream Fluocinonide 0,05%
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment
Maxivate ointment Diflorasone diacetate 0,05%
Maxivate cream Betamethasone dipropionate
Topicort ointment 0,05%
Topicort cream
Topicort gel Desoximetasone 0,25%

Desoximetasone 0,05%
Potensi Tinggi Aristocort ointment Triamcinolone acetonide 1%
Cutivate ointment Fluticasone propionate 0,005%
Cyclocort cream Amcinonide 0,1%
Cyclocort lotion
Diprosone cream Betamethasone dipropionate
Fluron cream 0,05%
Lidex E cream Diflurasone diacetate 0,05%
Maxiflor cream Fluocinonide 0,05%
Maxiflor lotion Diflorasone diacetate 0,05%
Topicort LP cream Betamethasone dipropionate
Vasoline ointment 0,05%
Desoximetasone 0,05%
Betamethasone valerate 0,01%

Potensi Medium Aristocort ointment Triamcinolone acetonide 0,1%


Cordran ointment Flurandrenolide 0,05%
Elocon cream Mometasone furoate 0,1%
Elocon lotion
Kenalog ointment Triamcinolone acetonide 0,1%
Kenalog cream
Synalar ointment Fluacinolone acetonide 0,025%
Westcort ointment Hydrocortisone valerate 0,2%
Potensi Mediium Cordran cream Flurandrenolide 0,05%
Cultivate cream Fluticasone propionate 0,05%
Dermatop cream Prednicarbate 0,1%
Diprosone lotion Betamethasone dipropionate
Kenalog lotion 0,05%
Locoid ointment Triamcinolone acetonide 0,1%
Locoid cream Hydrocortisone butyrate 0,1%
Synalar cream
Tridesilon ointment Fluocinolone acetonide 0,025%
Valisone cream Desonide 0,05%
Westcort cream Betamethasone valerate 0,1%
Hydrocortisone valerate 0,2%

Potensi Medium Aclovate ointment Aclometasone 0,05%


Aclovate cream
Aristocort cream Triamcinolone acetonide 0,1%
DesOwen cream Desonide 0,05%
Kenalog cream Triamcinolone acetonide
Kenalog lotion 0,025%
Locoid lotion
Synalar cream Hydrocortisone butyrate 0,1%
Synalar solution Fluocinolone acetonide 0,01%
Tridesilon cream
Valisone lotion Desonide 0,05%
Betamethasone valerate 0,1%

Potensi Lemah Obat topikal dengan hidrokortison, deksametason,


glumetalon, prednison dan metilprednisolon.
3. Indikasi dan Penggunaan Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit pada
tempat tertentu dan merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk
para ahli kulit dengan menyediakan banyak pilihan efek pengobatan yang
diinginkan, diantaranya termasuk melembabkan kulit, melicinkan, atau
mendinginkan area yang dirawat.

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan


obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa
kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit
dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada kelainan akut
dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak
dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid
sedang contonya pada dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan
dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai
kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik,
dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.

Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui,


kortikosteroid dipakai dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi.
Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan steroidnya. Dermatosis
yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus eritematousus
diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, vitiligo, granuloma anulare,
sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum. Erupsi
eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%.

Berikut ini indikasi pemberian kortikosteroid topikal sesuai dengan


golongannya:

Kelas 1: Kortikosteroid Superpotent: Ini digunakan dalam peradangan


kronis pada kulit di mana kulit menebal (lichenified), pigmentasi atau
tebal bersisik. Beberapa contoh steroid superpotent adalah clobetasole
propionat dan halobetasole propionate. Indikasi steroid superpotent
termasuk neurodermatitis, psoriasis.

Kelas 2: Kortikosteroid Potensi: Ini digunakan dalam peradangan kronis


di mana ketebalan, pigmentasi atau skuama lebih kecil dari lesi di atas.
Contoh steroid poten adalah betametason dipropionat, halcinonide,
fluosinonida. Indikasi steroid poten adalah: lichen planus, neurodermatitis,
psoriasis vulgaris cukup parah, eksim kronis.

Kelas 3: Upper Mid-strength Kortikosteroid: Ini digunakan dalam


peradangan sub akut kulit. Contoh Upper Mid-strength Kortikosteroid
adalah betametason valerat dan flutikason propionat. Penggunaan pada
dermatitis subakut, eksim infektif, psoriasis, dermatitis seboroik berat.
Kelas 4: Mid- Strength Corticosteroids: Ini digunakan dalam peradangan
akut dan akut sub kulit. Contoh Mild-Strength Corticosteroids adalah
mometasone furoate, fluocinolone acetonide 0,025%, dan triamcinolone
acetonide. Penggunaan pada dermatitis sub akut, eksim infeksi, dermatitis
seboroik cukup parah, psoriasis, dermatitis atopic, alopesia areata.
Kelas 5: Lower Mid-strength Kortikosteroid: Ini digunakan dalam
peradangan akut dan sub akut kulit. Contoh Lower Mid-strength
Kortikosteroid adalah hidrokortison butirat, flutikason propionate.
Penggunaan dalam eksim infeksi, dermatitis seboroik, psoriasis ringan.
Kelas 6: Kortikosteroid ringan: Ini digunakan dalam peradangan akut dan
sub akut pada kulit. Contoh kortikosteroid ringan adalah desonide,
fluocinolone 0,01%, clobetasone. Penggunaan dalam dermatitis akut dan
sub akut. dermatitis seboroik ringan

Kelas 7: Kortikosteroid kurang Poten: Ini digunakan dalam peradangan


akut ringan dan sub akut pada kulit. steroid responsif pada penyakit kulit
pada wajah, flexures, dan napkin area harus ditreatment dengan steroid
topikal kelas ini untuk menghindari kerusakan pada kulit. Contoh steroid
kurang poten adalah hidrokortison 1%.

Pada umumnya dipilih kortikosteroid topikal yang sesuai, aman, efek


samping sedikit dan harga murah ; disamping itu ada beberapa faktor yang
perlu dipertimbangkan, yaitu jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi
penyakit, yaitu stadium penyakit, luas / tidaknya lesi, dalam / dangkalnya
lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur penderita.
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis
salep, krim, lotion (bedak kocok) dan gel.
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai
penyakit tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala
takifilaksis. Takifilaksis ialah menurunnya respons kulit terhadap
glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang berupa
toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang,
setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul
kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk . Steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk
potensi kuat.

Ada beberapa cara pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni :


1. Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan
anak.
2. Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per
minggu, sebaiknya jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah
membaik, pilihlah salah satu dari golongan sedang dan bila perlu
diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.

3. Apabila diagnosis suatu dermatosis tidak jelas, jangan pakai


kortikosteroid poten karena hal ini dapat mengaburkan ruam khas
suatu dermatosis. Tinea dan scabies incognito adalah tinea dan scabies
dengan gambaran klinik tidak khas disebabkan pemakaian
kortikosteroid.

4. Efek Samping Kortikosteroid Topikal


Pada penggunan kortikosteroid topikal, efek samping dapat terjadi
apabila :

1) Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.


2) Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat
kuat atau penggunaan sangat oklusif.

Efek samping kortikosteroid dibagi menjadi beberapa tingkat yaitu:


1) Efek Epidermal
Yaitu penipisan epidermal akibat penurunan aktifitas proliferasi
epidermis dan inhibisi dari melanosit sehingga terjadi hipopigmentasi
(vitiligo like condition).

2) Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada jaringan ikat
sehingga terbentuk striae, memudahkan perdarahan kapiler di kulit
berupa purpura dan ekimosis.

3) Efek Vaskular
Yaitu Vasodilatasi dan fenomena rebound berupa vasodilatasi, edema,
inflamasi dan pustulasi.

Efek sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang dianjurkan ialah
jangan melebihi 30 gram sehari tanpa oklusi. Pada bayi kulit masih tipis,
hendaknya dipakai kortikosteroid yang lemah. Pada kelainan akut dipakai
pula kortikosteroid lemah. Pada kelainan subakut digunakan
kortikosteroid sedang. Jika kelainan kronis dan tebal digunakan
kortikosteroid kuat. Bila telah membaik pengolesan dikurangi, yang
semula dua kali sehari menjadi sekali sehari atau diganti dengan
kortikosteroid sedang/lemah untuk mencegah efek samping.

Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan
pemakaiannya terbatas pada lesi yang resisten. Pada daerah lipatan
(inguinal, ketiak) dan wajah digunakan kortikosteroid lemah/sedang.
Kortikosteroid jangan digunakan untuk infeksi bakteri, infeksi mikotik,
infeksi virus dan skabies. Di sekitar mata hendaknya berhati-hati untuk
menghindari timbulnya glaucoma dan katarak. Terapi intralesi dibatasi 1
mg pada suatu tempat, sedangkan dosis maksimum per kali 10 mg.

III. Monitor
Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan
kortikosteroid untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat
personal dan keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki
predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang
terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harus
tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan
mata, pengukuran densitas tulang spinal dengan menggunakan computed
tomography (CT), dualphoton absorptiometry, atau dual-energy xray
absorptiometry (DEXA).

IV. Kontraindikasi Penggunaan Kortikosteroid


Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan
relatif. Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada
keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas
biasanya kortikotropin dan preparatintravena.

Tidak ada kontraindikasi absolut pada pemakaian kortikosteroid.


Kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai life
saving drugs. Bila obat akan diberikan dalam beberapa hari atau minggu,
kontraindikasi relatif yaitu : - Diabetes mellitus

- Tukak peptic/duodenum
- Infeksi berat
- Hipertensi atau gangguan system kardiovaskular

Anda mungkin juga menyukai