KK
NAMA : Jeanike Defrawati
NIM : 1808436162
KORTIKOSTEROID
I. Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini
memainkan peran penting pada tubuh termasuk mengontrol respon inflamasi.
Sejak pertama kali digunakan pada tahun 1949, kortikosteroid semakin luas
dipakai dan dilakukan usaha-usaha untuk membuat senyawa-senyawa
glukokorticoid sintetik untuk mendapatkan efek glukokortikoid yang lebih besar
dengan efek mineralokortikoid lebih kecil serta efek samping serendah mungkin.
d. Sistem kardiovaskular
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara
langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap
keseimbangan air dan elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi
pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila
keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps
kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular
antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard. e. Otot rangka
j. Pertumbuhan
Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menghambat
pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon
pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat
maturasi dan proses pertumbuhan memanjang.
Fludrokortison 125 10 I -
(mineralokortikoid)
Prednisone 0,8 4 I 5
Prednisolon 0,8 4 I 5
Triamsinolon 0 5 I 4
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 0,75
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam);
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam); L
= kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam).
Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit
kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik. Pada pemberian
kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah prednison
karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar
digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi
prednisolon. Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid
jangan dipakai pada pemberian long term (lebih dari sebulan). Pada penyakit
berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom
Stevens-Jhonson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi secara
intravena. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan
diganti dengan tablet prednison.
Tabel 2. Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada
berbagai dermatosis
Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari
Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SJS berat dan NET Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
DLE Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg Prednison
Pemfigus foliaseus 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg
1. Mekanisme Kerja
a. Vasokontriksi
Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di bagian
superficial dermis, yang akan mengurangi eritema. Mekanisme pasti
belum diketahui. Kemungkinan karena inhibisi natural vasodilatasi
seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin.
b. Efek anti-proliferasi
Efek anti-proliferatif kortikosteroid topikal diperantarai dengan inhibisi
dari sintesis dan mitosis DNA. Kontrol dan proliferasi seluler merupakan
suatu proses kompleks yang terdiri dari penurunan dari pengaruh
stimulasi yang telah dinetralisir oleh berbagai faktor inhibitor. Proses-
proses ini mungkin dipengaruhi oleh kortikosteroid. Glukokortikoid juga
dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim
yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.
c. Immunosupresan
Mekanisme yang terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa
studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa menyebabkan
pengurangan sel mast pada kulit, menurunkan produksi dan efek dari
faktor-faktor hormonal yang terlibat dalam proses inflamasi, serta
menghambat migrasi leukosit ke daerah lesi.
d. Efek anti-inflamasi
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan
kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid menginhibisi
fosfolipase A2 (enzim yang bertugas membentuk prostaglandin,
leukotrin,dan lain-lain) dan arachidonic acid pathway, menginhibisi
faktor transkripsi yang dapat mengaktifkan proinflammatory genes,
menurunkan pelepasan IL-1α. Mekanisme lain yang turut memberikan
efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah menginhibisi proses fagositosis
dan menstabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagosit.
2. Klasifikasi Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal dibagi menjadi 7 golongan besar
berdasarkan potensi anti-inflamasi dan antimitotiknya. Golongan I yang
paling kuat daya antiinflamasi dan antimitotiknya (superpoten).
Sebaliknya golongan VII yang terlemah antiinflamasi dan antimitotiknya
(potensi lemah). Berikut disajikan tabel 4, penggolongan kortikosteroid
topikal berdasarkan potensinya.
Tabel 4. Klasifikasi kortikosteroid topikal
Klasifikasi Nama dagang Nama Generik
Super Poten Diprolene oinment Betamethasone dipropionate
Diprolene AF cream 0,05%
Psorcon oinment
Temovate ointment Diflurasone diacetate 0,05%
Temovate cream Clobetasol propionate 0,05%
Ultravate ointment
Ultravate cream Halobetasol propionate 0,05%
Potensi Tinggi Cyclocort oinment Amcionide 0,1%
Diprosone ointment Betamethasone dipropionate
Elocon ointment 0,05%
Florone ointment Mometasone fuorate 0,01%
Halog ointment Diflorasone diacetate 0,05%
Halog cream Halcinonide 0,01%
Halox solution
Lidex ointment
Lidex cream Fluocinonide 0,05%
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment
Maxivate ointment Diflorasone diacetate 0,05%
Maxivate cream Betamethasone dipropionate
Topicort ointment 0,05%
Topicort cream
Topicort gel Desoximetasone 0,25%
Desoximetasone 0,05%
Potensi Tinggi Aristocort ointment Triamcinolone acetonide 1%
Cutivate ointment Fluticasone propionate 0,005%
Cyclocort cream Amcinonide 0,1%
Cyclocort lotion
Diprosone cream Betamethasone dipropionate
Fluron cream 0,05%
Lidex E cream Diflurasone diacetate 0,05%
Maxiflor cream Fluocinonide 0,05%
Maxiflor lotion Diflorasone diacetate 0,05%
Topicort LP cream Betamethasone dipropionate
Vasoline ointment 0,05%
Desoximetasone 0,05%
Betamethasone valerate 0,01%
2) Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada jaringan ikat
sehingga terbentuk striae, memudahkan perdarahan kapiler di kulit
berupa purpura dan ekimosis.
3) Efek Vaskular
Yaitu Vasodilatasi dan fenomena rebound berupa vasodilatasi, edema,
inflamasi dan pustulasi.
Efek sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang dianjurkan ialah
jangan melebihi 30 gram sehari tanpa oklusi. Pada bayi kulit masih tipis,
hendaknya dipakai kortikosteroid yang lemah. Pada kelainan akut dipakai
pula kortikosteroid lemah. Pada kelainan subakut digunakan
kortikosteroid sedang. Jika kelainan kronis dan tebal digunakan
kortikosteroid kuat. Bila telah membaik pengolesan dikurangi, yang
semula dua kali sehari menjadi sekali sehari atau diganti dengan
kortikosteroid sedang/lemah untuk mencegah efek samping.
Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan
pemakaiannya terbatas pada lesi yang resisten. Pada daerah lipatan
(inguinal, ketiak) dan wajah digunakan kortikosteroid lemah/sedang.
Kortikosteroid jangan digunakan untuk infeksi bakteri, infeksi mikotik,
infeksi virus dan skabies. Di sekitar mata hendaknya berhati-hati untuk
menghindari timbulnya glaucoma dan katarak. Terapi intralesi dibatasi 1
mg pada suatu tempat, sedangkan dosis maksimum per kali 10 mg.
III. Monitor
Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan
kortikosteroid untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat
personal dan keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki
predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang
terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harus
tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan
mata, pengukuran densitas tulang spinal dengan menggunakan computed
tomography (CT), dualphoton absorptiometry, atau dual-energy xray
absorptiometry (DEXA).
- Tukak peptic/duodenum
- Infeksi berat
- Hipertensi atau gangguan system kardiovaskular