Anda di halaman 1dari 28

Mycobacterium Other Than Tuberculosis

(MOTT)
Hasnur Rahmi
Pembimbing :
dr. Prayudi Santoso, Sp.PD-KP. M.Kes
Pendahuluan
 MOTT  mikobakterium atipik atau micobacterium
nontuberkulosis.
 Banyak dijumpai di sekitar lingkungan seperti tanah, air,
makanan dan lain-lain.
 Pada awalnya dianggap tidak patogen.
 Tahun 1950, mikobakterium atipik  penyakit pada
manusia.
 Dikaitkan dengan penyakit paru, limfadenitis, infeksi kulit
dan jaringan lunak, infeksi yang berhubungan dengan
kateter, infeksi luka operasi dan penyakit AIDS.
Klarifikasi
Penyakit mikobacterium atipik ini mempunyai gambaran
sebagai berikut :
 Gambaran histopatologi mikrobakteriasis sepintas lalu
hampir sam dengan gambaran tuberkulosis.
 Pada mulanya gejala klinis mikobakteriasis paru tibul
perlahan-lahan dan samar-samar, tidak memberikan
gambaran klinik yang nyata.
 Pemeriksaan radiologi pada umumnya tidak memberikan
gambaran yang khas untuk mikobakteriasis paru.
Perbedaan antara mikobakterium atipik dengan mikobakterium
tuberkulosis :
 Mikobakterium atipik dapat tumbuh pada suhu kamar (20 — 25
° C), mikobakterium tuberkulosis tidak.
 Mikobakterium atipik tidak patogen terhadap marmut,
mikobakterium tuberkulosis patogen.
 Mikobakterium atipik hanya sedikit/tidak menghasilkan niasin,
mikobakterium tuberkulosis menghasilkan niasin lebih banyak.
 Mikobakterium atipik mempunyai aktifitas katalase yang lebih
tinggi dari mikobakterium tuberkulosis.
 Mikobakterium atipik lebih kebal terhadap kemoterapi spesifik
dibandingkan dengan mikrobakterium tuberkulosis
Mikobakterium Atipik berdasarkan
Klasifikasi Runyon tahun 1959 :

 Golongan I : Photochromogens  Koloni ini di tempat gelap tidak


berwarna tetapi bila kena cahaya berubah menjadi kuning terang
sampai jingga atau merah bata.
Contoh : Mycobacterium kansasii, Mycobacterium marinum.

 Golongan II : Scotochromogens Koloni ditempat gelap berwarna


kuning atau jingga, apabila kena cahaya warnanya berubah jadi
kemerahan.
Contoh : Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium xenopi, Mycobacterium
szulgai, Mycobacterium gordonae
 Golongan III : Nonchromogens Warna koloni tidak
dipengaruhi oleh cahaya.
Contoh : Mycobacterium avium complex

 Golongan IV : Rapid Growers 


 Mudah dibedakan dari golongan lain oleh karena
pertumbuhannya cepat.
 Pada suhu 20 — 25° C dari inokolum kecil dalam tempo 2 s/d
3 hari sudah menjadi koloni besar.
 Kebal terhadap semua obat-obatan.
Contoh : Mycobacterium fortuitum group, Mycobacterium chelonae,
Mycobacterium abscessus
Epidemiologi
 Yang paling sering menimbulkan penyakit pada paru manusia
ialah golongan I dan golongan III.
 Banyak menyerang golongan sosial ekonomi rendah dan
menengah.
 Penyakit paru yang disebabkan M. kansaii dan
Micobacterium avium intraselullar (MAI) umumnya timbul
pada usia decade 5 atau pada usia lebih lanjut. Umumnya
pasien tersebut mempunyai penyakit dasar, berupa penyakit
paru obstruktif menahun, pneumoconiosis, bronkiektasis,
atau tuberculosis
Patogenesis
 Pada pasien yang terinfeksi HIV, infeksi MOTT biasanya
terjadi hanya setelah CD4 turun < 50 / l.
 Pada kelompok pasien yang tidak terinfeksi HIV, infeksi
MOTT dikaitkan dengan mutasi spesifik pada interferon
(IFN) - ᵞ dan interleukin (IL) -12, transduser sinyal dan
aktivator transkripsi 1, dan faktor ᴷß modulator essensial.
 Ada juga hubungan antara bronkiektasis, nodular MOTT paru
infeksi dan habitus tubuh tertentu, terutama pada wanita
menopause (misalnya, pectus excavatum, scoliosis, prolaps
katup mitral)
Pendekatan Diagnosis
 Penyakit paru yang disebabkan oleh M. atipik secara
anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologi tidak dapat
atau sukar dibedakan dengan yang disebabkan oleh M.
tuberculosis, sehingga menyulitkan diagnosis.
 Pada umumnya gejala-gejala permulaan dari infeksi paru
karena MOTT adalah sama dengan yang ditimbulkan
oleh M. tuberculosis.
 Pada umumnya timbul perlahan-lahan dan samar-samar.
Manifestasi Klinik
 Badan terasa tidak enak
 Batuk-batuk yang kadang-kadang bersifat produktif
 Badan terasa panas dingin
 Sakit dada ringan
 Berat badan menurun
 Batuk-batuk darah ringan
Gambaran Radiologis
 Pembentukan kavitas pada infeksi paru karena MOTT lebih
sering jika dibandingkan dengan tuberkulosis paru.
 Banyaknya kavitas bila dibandingkan dengan jumlah lesi yang
ada sangat menyolok.
 Kavitas biasanya berdinding tipis dengan dikelilingi sedikit
infiltrat.
 Bentuk granuloma jarang ditemukan pada infeksi paru
karena MOTT.
 Penyebaran bronkhogenik jarang ditemukan.
 Tempat lesi umumnya hampir sama dengan tuberkulosis
pulmonum.
Kriteria Diagnosis Penyakit Paru karena
MOTT
Kategori Temuan
Klinis Keluhan yang cocok, batuk, demam dan penyingkiran penyakit
lain.

Radiologis Foto Thoraks : Infiltrat nodul atau kavitas,


CT Scan resolusi tinggi : bronkiektasis multifokal dengan atau
tanpa nodul-nodul kecil multipel.

Bakteriologi Sputum : ≥ 2 kultur positif.


BAL : ≥ 1 kultur positif
Biopsi paru: Inflamasi granulomatosa
atau BTA positif + 1 kultur positif (biopsi, sputum, atau BAL)

Diagnosis infeksi paru karena MOTT memerlukan kriteria klinis


ditambah satu kriteria radiologi dan satu kriteria bakteriologi
Diagnostik
• Metode diagnostik cepat untuk identifikasi spesies  dianjurkan
untuk identifikasi NTM bila memungkinkan, termasuk High-
Pressure Liquid Chromatography (HPLC), dan commercial
DNA probes.
• Commersial DNA Probes  nonradiolabeled melengkapi RNA
ribosomal, tersedia untuk mengidentifikasi isolat M.
tuberculosis, M. gordonae, M. kansasii, M. avium, dan M.
intracellulare  sangat sensitif dan spesifik, menyediakan
identifikasi spesies menggunakan kultur langsung dari BACTEC
kaldu dalam waktu dua sampai empat jam.
• Commercial DNA Probes tidak untuk RGM.
• HPLC meneliti pola sidik jari asam mycolic yang berbeda
antara spesies sebagian besar atau kompleks mikobakteri dan
dengan demikian dapat digunakan untuk speciate NTM,
termasuk RGM. Namun, HPLC tidak dapat membedakan
antara M. abscessus dan M. chelonae.
• Hanya metode molekuler, seperti polymerase chain reaction
(PCR) assay restriksi endonuklease (PRA) dipercaya bisa
membedakan antara dua spesies RGM.
Infeksi MOTT
• Pada pasien Non Infeksi HIV
- MAC (M. avium dan M. intracellulare) pada paru
Presentasi Klinis :
1. Pada pasien dengan underlying PPOK, ras putih, laki-laki
setengah baya, orang tua, pecandu alkohol atau perokok :
menyerupai tuberkulosis, klinis dan radiografis, dengan batuk,
penurunan berat badan, infiltrat lobus atas, dan cavitas.
2. Pada wanita > 50 tahun  memiliki pola interstisial pada
radiografi thoraks. bentuk penyakit paru-paru MAC yang
paling sering ditemui. Gejala yang muncul khas adalah batuk
terus-menerus dan sputum purulen, biasanya tanpa demam atau
kehilangan berat badan, durasi rata-rata batuk adalah 25 minggu
sebelum diagnosis dibuat.
- MAC dengan tampilan disseminata
Biasanya menyerang pasien-pasien dengan infeksi HIV atau
malignansi, atau dalam terapi immunosupresif.
Presentasi klinis :
- Demam intermiten atau persisten (> 80 persen)
- Berkeringat di malam hari (> 35 persen)
- Penurunan berat badan (> 25 persen)
- Gejala tambahan termasuk kelelahan, malaise, dan anoreksia.
- Anemia dan neutropenia dari keterlibatan sumsum tulang,
adenopati atau hepatosplenomegali, diare, sakit perut, dan
peningkatan enzim hati dari keterlibatan saluran pencernaan.
- M. Kansaii pada paru
Biasanya hampir identik dengan TBC. Kavitasi terjadi pada 85
hingga 95 persen dari kasus, biasanya bilateral. Dalam beberapa
kasus, cavitas cenderung memiliki dinding tipis dan infiltrasi
parenkim minimal dibanding TB.
Presentasi klinis
- nyeri dada (82 persen)
- batuk (84 persen)
- hemoptisis (38 persen)
- demam, dan berkeringat di malam hari (39 persen)
- kavitasi terjadi pada 54 persen
- Rapidly Growing Mycobacteria (RGM) : M. fortuitum,
M. chelonae, and M. abscessus
1. Infeksi Paru : M. abscessus (80%) dan M. fortuitum (15 %)
Presentasi Klinis : Batuk (71 persen), demam, penurunan
berat badan, hemoptisis, dan dyspnea.
Radiografi thoraks menunjukkan keterlibatan tiga atau lebih
lobus, pola interstisial, infiltrat interstisial dan alveolar
campuran, dan pola reticulonodular semuanya terlihat dengan
frekuensi yang kira-kira sama (36 sampai 40 persen),
sedangkan kavitasi adalah jarang (16 persen). Temuan ini
mirip dengan temuan pada pasien dengan nodular /
bronchiectatic (non-cavitary) M. avium complex (MAC)
penyakit paru-paru.
2. Limfadenitis
limfadenitis Superficial, limfadenitis terutama pada serviks,
pada anak-anak terutama disebabkan oleh M. abscessus dan M.
fortuitum.
3. Penyakit diseminata  M. chelonae dan M. fortuitum (jarang).
4. Kulit dan infeksi jaringan lunak  RGM merupakan penyebab
umum dari infeksi jaringan lunak.
5. Surgical site infection
6. Chateter related infection
• Pada Pasien dengan Infeksi HIV
1. Infeksi MAC
Pada pasien dengan infeksi HIV, manifestasi MAC lebih banyak
disseminata.
Faktor resiko MAC pada pasien HIV  CD4 < 50 sel/mm3.
Dari penelitian di Amerika Serikat dan Finlandia termasuk,
faktor resiko termasuk:
• Jumlah CD4 rendah
• Penggunaan kolam renang dalam ruangan untuk berenang
• Sebelumnya dengan riwayat bronkoskopi
• Konsumsi ikan, kerang mentah atau setengah matang.
• Pasien dengan terapi granulocyte stimulating factor.
2. M. kansaii
Manifestasi klinis mirip dengan M.TB
3. M. xenopi pada paru.
4. M. haemophilum  eritem, ulserasi nodul kulit.
Terapi Untuk Infeksi Paru karena MAC

Tujuan akhir pengobatan dilihat dari perbaikan klinis, radiografi dan


mikrobiologi. Untuk gejala klinis, memperlihatkan perbaikan dalam 3-6
bulan dengan dengan konversi sputum selama 12 bulan.
 Terapi penyakit kulit, jaringan dan tulang karena MAC
 adalah dengan kombinasi pembedahan eksisisi
(debridement) dengan kemoterapi.
 Rejimen obat dan lama pengobatan sama dengan infeksi
MAC pada paru.
Terapi MAC disseminata pada pasien HIV-AIDS
 Terapi MAC pada pasien HIV-AIDS dianjurkan seumur
hidup, kecuali pemulihan kekebalan dicapai dengan terapi
antiretroviral.
 Terapi MAC dapat dihentikan pada pasien HIV-AIDS dengan
tidak ada gejala klinis dan nilai CD4 > 100 sel/ µl selama 1
tahun.
 Pengobatan profilaksis MAC dianjurkan pada pasien HIV-
AIDS dengan nilai CD4 < 50 sel/ µl.
 Penghentian terapi propilaksis dilakukan setelah respon
dengan pengobatan HIV, dimana nilai CD4 > 100 sel/ µl
selama 3 bulan berturut-turut tanpa ada gejala klinis.
 Terapi infeksi M. Kansaii pada paru-paru adalah
regimen yang dianjurkan rifampin (600 mg/hari), isoniazid
(300 mg/hari), dan etambutol (15 mg/kg/hari) selama 12
bulan kultur sputum negatif.
 Rekomendasi lamanya terapi untuk M. kansasii
disseminata pada pasien dengan AIDS atau pasien
immunocompromised lainnya sama dengan rekomendasi
lamanya terapi untuk infeksi MAC disseminata.
 Terapi profilaksis tidak dianjurkan pada infeksi M. kansaii
 Terapi infeksi kulit karena M. abscess meliputi
clarithromycin dan amikacin. Agen tunggal seperti
clarithromycin 2x500 mg po selama 2 minggu
merupakan terapi adekuat untuk infeksi kulit terlokalisasi.
 Pengobatan untuk infeksi paru karena M. abscessus
meliputi
 amikacin 5-7,5 mg/kgBB iv dibagi 2 dosis/hari
 cefoxitin 3 gram iv (dibagi 4 dosis/hari)
 clarithomycin 2x500 mg po.
Lama terapi biasanya 2-4 bulan.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai