Anda di halaman 1dari 13

5.

Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis paru atau TBC paru ditegakkan berdasarkan gejala batuk
kronis yang dapat disertai dahak berdarah, penurunan berat badan, keringat malam,
sesak, dan demam. Pemeriksaan fisik toraks dapat menemukan kelainan suara
napas. Selain itu, pemeriksaan penunjang seperti rontgen toraks, pemeriksaan
sputum basil tahan asam atau BTA, dan tes Mantoux juga dapat dilakukan untuk
diagnosis.
Anamnesis

● Gejala umum tuberkulosis paru adalah batuk berdahak yang dapat bersifat
kronis dan mungkin disertai darah.
● Nyeri dada, lemas, penurunan berat badan, demam, sesak napas, penurunan
nafsu makan, rasa menggigil, dan keringat malam juga merupakan gejala
yang umum terjadi.
● Individu usia lanjut dengan infeksi TB umumnya tidak menunjukkan tanda dan
gejala yang tipikal karena respons imun tubuh yang menurun. Infeksi TB aktif
pada kelompok usia lanjut dapat terlihat seperti pneumonitis yang tidak
kunjung membaik.

Pemeriksaan Fisik

Pada pasien tuberkulosis paru, pemeriksaan fisik paru menunjukkan

● kelainan suara napas, terutama di lobus atas paru.


● Auskultasi dapat menemukan ronki basah,
● suara napas bronkial,
● suara napas amforik,
● dan penurunan suara napas vesikuler di apeks paru yang menandakan
konsolidasi paru.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding TB paru cukup banyak karena gejala dan tandanya menyerupai
banyak penyakit sistemik lain. Beberapa diagnosis banding tuberkulosis paru
meliputi pneumonia, keganasan, infeksi jamur paru, sarkoidosis, dan abses paru.

● Pneumonia

Pada kasus pneumonia (terutama yang disebabkan oleh bakteri), gejala yang
dirasakan umumnya serupa dengan tuberkulosis paru, yakni demam, batuk
berdahak dengan dahak purulen atau darah, dan napas yang berat.

Namun, gejala penurunan berat badan dan keringat malam umumnya jarang
dijumpai pada kasus pneumonia. Selain itu, pencitraan radiologi dapat menemukan
infiltrat di lapang paru dan pemeriksaan laboratorium dapat menemukan
peningkatan C-reactive protein (CRP) dalam darah.[10]

● Kanker Paru

Diagnosis banding lain dari tuberkulosis paru adalah kanker paru dengan gejala
yang serupa, yaitu batuk darah, sesak napas, dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan yang dapat membedakan diagnosis kanker paru adalah CT scan,
bronkoskopi, ataupun PET scan (positron emission tomography).[11]

● Sarkoidosis

Sarkoidosis adalah penyakit multisistem yang menimbulkan granuloma nonkaseosa


pada berbagai organ, terutama paru-paru. Gejala dapat berupa batuk kering
persisten, lemas, sesak napas, dan pembesaran nodus limfatikus. Biopsi umumnya
dilakukan untuk menegakkan diagnosis sarkoidosis dengan menemukan granuloma
nonkaseosa tanpa adanya Mycobacterium dan jamur.

● Abses Paru

Pada kasus abses paru, pasien dapat memiliki keluhan batuk, demam, penurunan
berat badan, lemas, dan rasa menggigil. Abses paru dapat dikonfirmasi melalui
pemeriksaan rontgen toraks dan CT scan dengan gambaran berupa lesi kavitas dan
infiltrat.[13]

Pemeriksaan Penunjang

Secara umum

Bakteriologis (menemukan kuman)

• Pasien TB paru TB paru BTA +

• Pasien TB paru Hasil biakan MTB +

• Pasien TB paru hasil tes cepat MTB +

• Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis

• TB anak yg terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis


Klinis (tidak memenuhi diagnosis bakteriologis)

• Pasien TB paru BTA – dg hasil foto thoraks mendukung TB

• Pasien TB paru BTA – dg tidak ada perbaikan klinis setelah diberikan antibiotika non OAT dan
mempunyai factor risiko TB

• Pasien TB ekstraparu yg terdiagnosis secara klinis, laboratoris, histopatologis tanpa konfirmasi


bakteriologis

• TB anak terdiagnosis dengan system skoring

Skrining TB bisa dilakukan dengan tes Mantoux atau IGRA (interferon release
assays). Selain itu, pasien yang dicurigai mengalami TB dapat menjalani pewarnaan
BTA (basil tahan asam) dan kultur sputum. Pemeriksaan radiologis seperti rontgen
toraks juga dapat menunjang diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang

Tes Mantoux / tes kulit tuberkulin

Tes Mantoux adalah tes dua bagian yang terdiri dari injeksi intradermal turunan protein murni 0,1 ml
dan mengamati indurasi 48-72 jam. Risiko paparan pada pasien dipertimbangkan ketika
menginterpretasikan hasilnya.

Prosedur: injeksi 0,1 ml PPD (tuberculin purified protein derivate) ke permukaan lengan bawah
dengan menggunakan tuberculin syringe, hasil dibaca dalam 48-72 jam kemudian.
Positif: Indurasi ≥5 mm

Pasien kemudian diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan ukuran indurasi dan risiko
paparan. Ketiga kelompok tersebut antara lain:

● Risiko rendah: Pasien-pasien ini memiliki kemungkinan minimal terkena tuberkulosis. Tes
Mantoux hanya dianggap positif jika terdapat indurasi signifikan sebesar 15 mm atau lebih
setelah injeksi intradermal turunan protein murni. Orang-orang dalam kelompok ini
mencakup mereka yang tidak memiliki riwayat perjalanan ke daerah endemis tuberkulosis,
tidak memiliki riwayat dinas militer, tidak melakukan kontak dengan pasien yang menderita
batuk kronis, tidak memiliki riwayat penggunaan steroid, tidak diketahui terpapar di tempat
kerja, negatif HIV, dan bukan penduduk negara endemis tuberkulosis.

● Risiko menengah: Pasien-pasien ini mempunyai kemungkinan menengah untuk terpajan


tuberkulosis. Hasil tesnya dianggap positif jika indurasi yang diukur lebih besar dari 10
mm. Kelompok ini mencakup penduduk di negara-negara endemis tuberkulosis seperti Asia,
Amerika Latin, dan Afrika, penduduk atau pekerja di tempat penampungan, penduduk di
lingkungan yang padat penduduk, dan tenaga medis.

● Risiko tinggi: Pasien-pasien ini memiliki kemungkinan besar terkena tuberkulosis. Hasil
tesnya dianggap positif jika indurasi yang diukur lebih besar dari 5 mm. Orang-orang dalam
kelompok ini mencakup mereka yang sistem imunnya lemah dan tidak dapat memberikan
respons imun yang cukup terhadap tes turunan protein murni (pasien HIV-positif, mereka
yang memakai steroid kronis), pasien yang sering terpapar pada orang yang batuk
terus-menerus, dan pasien dengan bukti penyakit. infeksi TBC sebelumnya, seperti bekas
luka sembuh yang terlihat pada X-ray.

Tes Mantoux yang positif menunjukkan adanya paparan tuberkulosis atau tuberkulosis laten. Namun,
tes ini kurang spesifik, dan pasien memerlukan kunjungan berikutnya untuk menafsirkan hasilnya dan
rontgen dada untuk memastikan penyakitnya. Meskipun tes ini dianggap relative sensitif, hasil positif
palsu terlihat pada vaksinasi BCG. Tes Mantoux tidak boleh dianggap sebagai tes konfirmasi

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan Bakteriologis
CDC merekomendasikan praktik historis untuk memperoleh tiga sampel dahak dengan setidaknya
satu sampel di pagi hari. Setiap spesimen meningkatkan sensitivitas pengujian. Spesimen pagi
pertama meningkatkan sensitivitas sebesar 12%. Sensitivitas sputum dapat ditingkatkan dengan
sentrifugasi atau sedimentasi. Sampel harus dikumpulkan setidaknya dalam jarak delapan
jam. Pedoman ATS merekomendasikan setidaknya 3ml sampel, namun volume dahak optimal adalah
5-10ml. BTA smear secara teknis sederhana dan dapat dilakukan dalam beberapa jam tetapi tidak
dapat membedakan Mycobacterium tuberkulosis dari mikobakteri nontuberkulosis.

Pengujian Genetik dan NAAT

Amplifikasi nuklir dan tes berbasis gen mewakili alat generasi baru yang digunakan untuk diagnosis
tuberkulosis. Tes ini memungkinkan identifikasi bakteri atau partikel bakteri dengan menggunakan
teknik molekuler berbasis DNA. Teknik-teknik ini lebih cepat dan memungkinkan diagnosis yang
dipercepat dengan presisi tinggi. Konfirmasi infeksi tuberkulosis dapat dilakukan dalam beberapa jam
dibandingkan dengan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu yang biasanya diperlukan untuk
menunggu kultur standar. Tes-tes ini sangat penting terutama pada pasien dengan sistem kekebalan
tubuh lemah yang mempunyai tingkat hasil negatif palsu yang tinggi. Beberapa tes berbasis
molekuler seperti DR-MTB dan GeneXpert juga memungkinkan identifikasi infeksi tuberkulosis yang
resistan terhadap beberapa obat. Tes NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) yang positif pada satu
sampel dahak dianggap cukup untuk diagnosis Tuberkulosis Aktif terlepas dari hasil BTA.
Kultur Mikobakteri Sputum

Kultur mikobakteri adalah standar emas untuk diagnosis. Kultur mikobakteri harus dilakukan pada
media padat dan cair. Kultur media cair dapat mendeteksi jumlah bakteri yang sangat rendah dan
dianggap sebagai standar emas. Kultur penting untuk pengujian kerentanan obat. Media padat lebih
murah tetapi membutuhkan waktu lebih lama untuk menumbuhkan organisme. Media cair mahal
tetapi lebih sensitif dan menumbuhkan organisme dalam waktu 10-14 hari. Kultur dapat
membedakan MTB dari NTM
6. Tatalaksana

Penatalaksanaan tuberkulosis paru atau TBC paru dilakukan dengan pemberian


obat antituberkulosis atau OAT, misalnya isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol. Kombinasi obat-obat ini dikonsumsi secara teratur dan diberikan dalam
jangka waktu yang tepat meliputi tahap awal dan tahap lanjutan.

● Medikamentosa Tuberkulosis Paru Aktif


Pada tahap awal (fase intensif), obat diberikan tiap hari selama 2 bulan, yakni
berupa kombinasi isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Lalu,
pada tahap lanjutan, obat diberikan tiap hari selama 4 bulan, yakni berupa
isoniazid dan rifampisin.
Pengobatan fase lanjutan juga dapat diberikan dalam waktu 7 bulan, terutama
untuk kelompok pasien dengan TB paru resisten obat, pasien dengan kultur
sputum yang tetap positif setelah pengobatan fase intensif 2 bulan, dan
pasien dengan HIV yang tidak mendapatkan obat antiretroviral (ARV).
Vitamin B6 juga umum diberikan bersama dengan isoniazid untuk mencegah
kerusakan saraf (neuropati). Streptomisin merupakan antibiotik bakterisidal
yang memengaruhi sintesis polipeptida. Streptomisin sering kali tidak
termasuk dalam regimen obat TB paru lini pertama dikarenakan tingkat
resistensinya yang cukup tinggi.

Dosis OAT lini pertama untuk dewasa adalah isoniazid 5 mg/kgBB (dosis maksimal
300 mg/hari), rifampisin 10 mg/kgBB (dosis maksimal 600 mg), pirazinamid 25
mg/kgBB, dan etambutol 15 mg/kgBB. Streptomisin juga dapat diberikan dengan
dosis sebesar 15 mg/kgBB. Terapi lini pertama ini dapat diberikan pada pada ibu
menyusui.

● Medikamentosa Tuberkulosis Paru yang Resisten

TB paru yang resisten obat disebabkan oleh bakteri tuberkulosis yang resisten
terhadap minimal satu regimen obat lini pertama tuberkulosis. Multidrug-resistant TB
(MDR-TB) adalah kasus TB yang resisten terhadap >1 OAT, yang meliputi isoniazid
dan rifampisin.
Extensively drug-resistant TB (XDR-TB) adalah tipe MDR-TB yang ditandai dengan
resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin, fluorokuinolon apa pun, dan minimal
satu dari tiga obat injeksi lini kedua (amikacin, kanamisin, dan lainnya).

Durasi total pengobatan dapat dilakukan dalam waktu 9–11 bulan, di mana durasi
tahap intensif adalah 4–6 bulan dan durasi tahap lanjutan adalah 5 bulan.

TB paru yang resisten terhadap isoniazid (dengan atau tanpa resistensi


streptomisin) dapat diterapi dengan rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 6
bulan. Terapi dapat diperpanjang hingga 9 bulan bila kultur sputum tetap positif
setelah 2 bulan.

TB paru yang resisten terhadap rifampisin dapat diberikan isoniazid, flurokuinolon,


dan etambutol selama 12–18 bulan, yang disertai dengan pirazinamid selama 2
bulan pertama.[2,15,18]

Evaluasi Terapi Tuberkulosis Paru Aktif

Pasien dalam terapi TB paru perlu menjalani evaluasi berkala untuk menilai respons
terhadap terapi OAT. Pemeriksaan sputum basil tahan asam (BTA) dilakukan pada
akhir fase intensif. Sputum BTA yang positif pada akhir fase intensif dapat
mengindikasikan dosis OAT yang kurang, kepatuhan minum obat yang buruk,
adanya komorbiditas, atau adanya resistensi terhadap obat lini pertama.

Pemeriksaan sputum BTA dilakukan kembali pada akhir pengobatan TB. Jika
sputum menunjukkan hasil positif, pengobatan bisa dikatakan gagal dan
pemeriksaan resistensi obat perlu dilakukan. Pada pasien dengan sputum BTA
negatif di akhir fase pengobatan intensif dan akhir fase lanjutan, pemantauan
sputum lebih lanjut tidak diperlukan.[2,8]

Terapi Profilaksis pada Tuberkulosis Laten

WHO menyarankan terapi profilaksis pada penderita tuberkulosis laten. Regimen


yang direkomendasikan adalah:

■ 6H atau 9H: isoniazid tiap hari selama 6 bulan atau 9 bulan


■ 3HP: isoniazid dengan rifapentin tiap minggu selama 3 bulan
■ 3HR: isoniazid dengan rifampisin tiap hari selama 3 bulan
■ 4R: rifampisin tiap hari selama 4 bulan
■ 1HP: isoniazid dengan rifapentin tiap hari selama 1 bulan
■ H+B6+CPT: isoniazid, vitamin B6, dan kotrimoksazol tiap hari selama 6 bulan
khusus untuk orang dengan HIV/AIDS[19]

■ Summary

■ Efek samping

Edukasi dan promosi kesehatan tentang tuberkulosis paru atau TBC paru bertujuan
untuk mencegah penularan dan menjaga kepatuhan berobat pasien. Dokter juga
perlu menjelaskan tentang risiko resistensi bakteri terhadap obat yang mungkin
terjadi dan menjelaskan efek samping yang mungkin timbul dari obat.

Edukasi Pasien

Pasien dan keluarganya perlu mendapatkan informasi bahwa tuberkulosis paru


adalah penyakit yang dapat dicegah dan dapat disembuhkan. Dokter menjelaskan
bahwa transmisi tuberkulosis paru dapat terjadi melalui droplet pernapasan dan
memberi tahu pasien untuk melakukan etika batuk dan bersin yang tepat. Rumah
sebaiknya memiliki ventilasi yang baik dan mendapatkan paparan cahaya matahari
yang cukup.

Pasien juga perlu mendapatkan informasi efek samping OAT (obat antituberkulosis)
yang mungkin dialami dan informasi risiko resistensi bakteri terhadap obat, terutama
apabila kepatuhan minum obat kurang baik. Pasien diminta untuk kontrol berkala.
Saat ini, kemajuan teknologi dapat membantu pemantauan kepatuhan berobatdan
mempermudah pasien untuk kontrol.[1,8]

Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit yang penting adalah penerapan


higiene yang baik (termasuk menutup mulut dan hidung ketika batuk atau bersin),
penjagaan ventilasi dan pencahayaan matahari yang baik, dan penggunaan vaksin
BCG.

DOTS (direct observed therapy) yang dicanangkan oleh WHO cukup efektif dalam
meningkatkan kepatuhan berobat pasien TB paru. Selain itu, upaya pencegahan
yang dapat dilakukan pemerintah adalah skrining pada kelompok pasien berisiko
tinggi dan individu yang berkontak dengan pasien tuberkulosis paru. Pasien berisiko
tinggi dan pasien TB laten dapat diberikan terapi profilaksis TB.

Upaya pencegahan lainnya adalah pengobatan pada semua pasien TB resisten obat
dan peningkatan kolaborasi layanan dengan unit lain, seperti unit TB-HIV atau unit
TB dan diabetes mellitus. Pasien HIV sebaiknya menjalani skrining TB.[1,8]

7 komplikasi Dan prognosi

Prognosis pasien tuberkulosis paru atau TBC paru umumnya baik dengan
pemberian obat antituberkulosis atau OAT yang efektif. Namun, pasien lanjut usia,
pasien anak, pasien dengan kondisi imunosupresi, dan pasien dengan tuberkulosis
yang resisten obat cenderung memiliki prognosis yang lebih buruk.

Komplikasi
Komplikasi TB paru umumnya terjadi pada kelompok pasien dengan risiko yang
tinggi. Beberapa komplikasi yang dapat timbul adalah relaps, bronkiektasis,
kerusakan paru yang ekstensif, acute respiratory distress syndrome (ARDS),
penyebaran milier ke organ lain seperti meningitis TB, dan pneumotoraks.[1,2]

Prognosis

TB paru dapat mencapai kesembuhan yang maksimal dengan komplikasi yang


sedikit pada pasien dengan terapi OAT yang adekuat. Tingkat rekurensi TB paru
umumnya adalah 0–14%. Pada negara dengan insidensi TB yang rendah, rekurensi
terjadi karena relaps dan umumnya terjadi pada 12 bulan setelah pengobatan.
Sementara itu, pada negara dengan insidensi TB yang tinggi, rekurensi umumnya
terjadi karena reinfeksi.

Kelompok pasien yang memiliki prognosis TB paru yang lebih buruk adalah pasien
berusia lanjut, pasien bayi dan anak-anak, pasien yang terlambat diobati, pasien
dengan gangguan imunitas tubuh, pasien dengan gangguan pernapasan berat, serta
pasien dengan multi-drug resistant TB (MDR-TB

Anda mungkin juga menyukai