Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS RA2

LIVER ABSES

Pimpinan Sidang:
dr. Taufik Sungkar, M. Ked (PD), Sp. PD

Oleh :
Genio Oscar Mustamin 130100252
Lily 130100142
Hanna Christin 130100127
Almira Dalimunthe 130100093
Teguh Pangestu 130100136

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :


Nilai :

COW Pembimbing I COW Pembimbing II

dr. Hartono dr. Zulfahmi Zulfa, Sp.PD

Pimpinan Sidang

dr. Taufik Sungkar, M. Ked (PD), Sp. PD


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“Liver Abses”.

Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan sidang, dr.
Taufik Sungkar, M. Ked (PD), Sp. PD dan kepada Chief of Ward dr. Hartono dan dr.
Triyono yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam
penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus
selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2017

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 2
1.3. Manfaat 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Definisi 3
2.2. Epidemiologi 3
2.3. Klasifikasi Abses Hati 3
2.3.1. Abses Hati Amuba 3
2.3.2. Abses Hati Piogenik 3
2.3.3. Abses Hati Fungi 4
2.4. Etiologi Abses Hati 4
2.4.1. Etiologi Abses Hati Amuba 4
2.4.2. Etiologi Abses Hati Piogenik 4
2.4.3. Etiologi Abses Hati Fungi 6
2.5. Faktor Risiko 6
2.6. Patogenesis Abses Hati 7
2.6.1. Patogenesis Abses Hati Amuba 7
2.6.2. Patogenesis Abses Hati Piogenik 7
2.7. Diagnosis 8
2.7.1. Diagnosis Abses Hati Amuba 8
2.7.2. Diagnosis Abses Hati Piogenik 10
2.8. Penatalaksanaan 13
2.8.1. Penatalaksanaan Abses Hepar Amuba 13
2.8.2. Penatalaksanaan Abses Hepar Piogenik 15
2.9. Diagnosis Banding 16
2.10. Komplikasi 16
2.11. Prognosis 17

BAB 3 LAPORAN KASUS 19

BAB 4 FOLLOW UP PASIEN 29

BAB 5 DISKUSI KASUS 35

BAB 6 KESIMPULAN 38

DAFTAR PUSTAKA 39
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Sumber Infeksi dan Penyebab Abses Hati Piogenik 4


Tabel 2.2. Mikroba Patogen pada Abses Hati Piogenik 6
Tabel 2.3. Perbedaan Gambaran Abses Hati Piogenik dengan Abses Hati Amuba 12
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Patogenesis Abses Hati Amuba 7


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Abses hati adalah penumpukan jaringan nekrotik dalam suatu rongga patologi
yang bersifat soliter atau multiple pada jaringan hepar. Penyakit ini telah ditemukan
sejak jaman Hipocrates dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936.
Abses hati merupakan penyakit serius yang membutuhkan diagnosis dan tata laksana
cepat yang umumnya dikelompokkan berdasarkan etiologi, yaitu abses hati piogenik
(AHP) dan abses hati amoeba (AHA). Kedua kelompok tersebut memberikan gambaran
klinis yang hampir sama dan telah banyak perkembangan dalam menegakkan diagnosis
dan pengobatan abses hati.1
Abses hati banyak ditemukan di negara berkembang, terutama yang tinggal di
daerah tropis dan subtropics, seperti India yang merupakan endemis AHA dan Taiwan
dengan kejadian AHP lebih sering ditemukan dibandingkan AHA. Angka mortalitas
abses hati masih tinggi yaitu berkisar 10-40%. Insiden abses hati masih jarang, berkisar
15-20 kasus per 100.000 populasi dan tiga per empat kasus abses hati di negara maju
adalah abses hati piogenik, sedangkan di negara yang sedang berkembang lebih banyak
ditemukan abses hati amoeba.2-4 Insiden abses hati amebik di RS di Indonesia sendiri
berkisar antara 5-15% pasien pertahun. Penelitian epidemiologi di Indonesia
menunjukkan penderita abses hati amebik pada pria memiliki rasio 3,4-8,5 kali lebih
besar dibandingkan dengan wanita.7
Untuk menegakkan diagnosis abses hati ini selain pemeriksaan fisik dan gejala
klinik dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan pemeriksaan
radiologi seperti USG. Diagnosis dini dan terapi yang adekuat berhubungan dengan
hasil yang lebih bagus.5 Kombinasi antibiotik dengan teknik drainase perkutaneus
merupakan terapi yang banyak digunakan, namun sebagian kecil pasien tidak
mengalami perbaikan dengan metode ini sehingga tindakan pembedahan merupakan
pilihan terakhir.6 Oleh karena itu, diiharapkan melalui laporan kasus ini dapat
memberikan pemahaman mengenai diagnosis dan penatalaksanaan abses hati.
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah :
1. Mengerti dan memahami tentang diagnosis dan penatalaksanaan abses hati.
2. Dapat mengintegrasikan teori terhadap pasien dengan abses hati.
3. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univeritas
Sumatera Utara.

1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis serta masyarakat secara umum
agar dapat lebih mengetahui dan memhami lebih dalam mengenai liver abses.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Abses hati adalah infeksi pada hati yang disebabkan oleh bakteri, parasit, jamur,
atau nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan
adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri atas jaringan hati
nekrotik, sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati.8

2.2. Epidemiologi
Abses hati secara umum terbagi dua, yaitu abses hati amoeba (AHA) dan abses
hati piogenik (AHP). Insidens abses hati jarang, berkisar antara 15-20 kasus per 100.000
populasi9. Di Negara-negera berkembang, AHA didapatkan secara endemic dan jauh
lebih sering dibandingkan AHP. India merupakan salah satu negara endemik AHA
dengan insidensi 3-9% kasus pada seluruh penderita amoebiasis10. AHA lebih sering
terjadi pada pria dengan rentang usia 20-40 tahun. Pada AHP secara epidemiologi,
didapatkan 8-15 kasus per 100.000 populasi. AHP di Negara maju seperti Kanada
didapatkan angka insidensi sebesar 2,3 per 100.000 populasi, sedangkan di Asia seperti
Taiwan didapatkan insidensi AHP sebanyak 10-15 per populasi pada tahun 2000-2010.
Escherichia coli merupakan penyebaba paling umum AHP dan lebih sering terjadi pada
pria dengan rentang usia lebih dari 40 tahun14-16.

2.3. Klasifikasi Abses Hati


2.3.1. Abses Hati Amuba
Abses hati amuba adalah penimbunan atau akumulasi debris nekro-inflamatori
purulen di dalam parenkim hati yang disebabkan oleh amuba, terutama entamoeba
histolytica.18
2.3.2. Abses Hati Piogenik
Abses hati piogenik adalah proses supuratif yang terjadi pada jaringan hati yang
disebabkan oleh invasi bakteri melalui darah, sistem billier, maupun penetrasi
langsung.1
2.3.3. Abses Hati Fungi
Abses fungi, kebanyakan akibat spesies Candida, biasa terjadi setelah fungemia
pada pasien yang kemoterapi kanker dan terjadi ketika PMN pulih setelah periode
neutropenia.20

2.4. Etiologi Abses Hati


2.4.1. Etiologi Abses Hati Amuba
Parasit amuba, yang tersering yaitu Entamoba histolytica. Abses hati ini sering
terjadi akibat manifestasi infeksi ekstraintestinal9,11.
2.4.2. Etiologi Abses Hati Piogenik
Kebanyakan abses hati piogenik merupakan akibat infeksi dari tempat lain,
dimana sumber infeksi umumnya berasal dari infeksi organ intraabdomen lain.
Kolangitis yang disebabkan oleh batu maupun struktur merupakan penyebab tersering.
(Tabel 2.1). Terdapat 15% kasus abses hati piogenik yang sumber infekinya tidak
diketahui (abses kriptogenik).1
Tabel 2.1. Sumber Infeksi dan Penyebab Abses Hati Piogenik
Saluran empedu Penyebaran langsung
Batu empedu Empiema kandung empedu
Kolangiokarsinoma Perforasi ulkus peptikum
Striktur Abses subfrenik
Vena porta Trauma
Apendisitis Iatrogenik
Divertikulitis Biopsi hati
Crohn’s Disease Blocked biliary stent
Arteri hepatica Kriptogenik
Infeksi gigi Kista hati terinfeksi
Endokarditis bacterial

Dengan menggunakan teknik isolasi kuman anaerobik yang ketat, saat ini
ditemukan 45-75% abses hati piogenik disebabkan oleh bakteri anaerobik ataupun
infeki campuran aerobik dan anaerobik. Bacteroides dan Fusobacterium merupakan
bakteri anaerobik penyebab abses hati piogenik terbanyak. Infeksi polimikrobial
umumnya disebabkan oleh bakteri anaerobik.
Eschericia coli dan Klebsiella pneumonia (Tabel 2.2) merupakan kuman yang
paling banyak diisolasi pada kelompok bakteri aerobic gram negatif. Klebsiella
terutama ditemukan pada pasien abses hati piogenik dengan diabetes melitus dan
intoleransi glukosa. Pada kelompok bakteri gram positif, Staphylococci paling sering
ditemukan pada infeksi monomikrobial, Streptococcidan Enterococci merupakan
bakterei yang paling serinng ditemukan pada infeksi polimikrobial. Pada suatu studi
besar, ditemukan S. aureus dan Streptococcus β-hemolyticus merupakan bakteri
penyebab abses hati piogenik pada trauma, Streptococcus grup D, K. pneumonia, dan
Clostridium sp. Berhubungan dengan infeksi sistem bilier, serta Bacteroides dan
Clostridium sp. Berhubungan dengan penyakit kolon.1

Tabel 2.2. Mikroba Patogen pada Abses Hati Piogenik


Bakteri aerobik gram negative Bakteri anaerobik
Escherichia coli Anaerobic streptococci
Klebsiella pneumonia Bacteroides sp.
Pseudomonas aeruginosa Fusobacterium sp.
Proteus sp. Peptostreptococcus sp.
Enterobacter sp. Prevotella sp.
Citrobacter freundii Actinomyces
Morganella sp. Eubacteriu,
Serratia sp. Propionibacterium acnes
Haemophilus sp. Clostridium sp.
Legionella pneumophila Lactobacillus sp.
Yerseniap sp. Peptococcus sp.
Bakteri aerobik gram positif Eubacterium sp.
Viridans streptococci Sphaerophorus sp.
Staphylococcus aureus Capnocytophaga
sp.(facultatively anaerobic)
Enterococcus sp. Bakteri mikrofilik
Β-hemolytic streptococci Streptococcus milleri group
Streptococcus pneumonia Lain-lain
Listeria monocytogenes Mycobaterium sp.
Chlamydia sp.
Candida sp.
Cryptococcus sp.
Verticillium sp.
2.4.3. Etiologi Abses Hati Fungi
Abses jamur terutama disebabkan oleh Candida albicans dan terjadi pada
individu dengan paparan antimikroba yang berkepanjangan, keganasan hematologis,
transplantasi organ padat, dan imunodefisiensi dan kongenital. Kasus yang melibatkan
spesies Aspergillus telah dilaporkan.21

2.5. Faktor Risiko


Individu yang berisiko terkena abses jamur dengan Candida albicans biasanya
menderita imunodefesiensi karena transplantasi organ, atau transplantasi organ atau
penyebab genetik lainnya. Selanjutnya, paparan antibiotik yang berlebihan mengganggu
flora normal dalam sistem gastrointestinal dan dapat menyebabkan kolonisasi jamur
dengan Candida albicans. Organisme yang juga terkait dengan abses hati adalah
Eikenella corrodens, Brucella melitensis, Yersinia enterocolitica, Salmonella typhi dan
spesies Actinomyces.22
Berdasarkan faktor risikonya jenis kelamin pria lebih sering dijumpai daripada
perempuan. Umur rata-rata penderita biasanya dijumpai dari umur 45 tahun hingga 69
tahun tapi biasanya paling sering pada usia 50-an. Faktor risiko lainnya bisa akibat
penyakit bawaan seperti diabetes melitus, kelainan bilier, alkoholisme, sirosis hati,
hipertensi, Penyakit Paru Obstuktif Kronik (PPOK), dan virus hepatitis B14.

2.6. Patogenesis Abses Hati


2.6.1. Patogenesis Abses Hati Amuba
Infeksi umumnya dimulai di kolon yang didapat melalui konsumsi air atau
makanan yang mengandung bentuk kista. Kista itu akan rupture oleh tripsin di usus
halus menjadi tropozoit metakistik yang akan berkolonisasi di kolon dan kemudian akan
menginvasi venule mesenterika dan akan menyebar ke hati melalui vena porta.
Infeksi juga dapat terjadi melalui oral dan anal sex dan juga irigasi kolonik yang
dapat menginokulasikan langsung E. histolytica ke saluran cerna.
E. histolytica mempunyai galaktosa/N-asetil-D-galaktosamine (Gal/GalNac)
lektin yang merupakan kompleks protein adhesi yang mendukung invasi jaringan.
Abses juga mengandung debris protein aseluler yang diperkirakan berperan dalam
menginduksi apoptosis, selain itu abses juga dikelilingi oleh tropozoit amebik.1,8
Gambar 2.1. Patogenesis Abses Hati Amuba

2.6.2. Patogenesis Abses Hati Piogenik


Abses hati piogenik disebabkan penyebaran hematogen ataupun
langsung dari sumber infeksi di rongga peritoneum. Dulu apendisitis yang disertai
ruptur dan penyebaran infeksi adalah salah satu faktor penting penyebaran infeksi.
Sekarang, penyakit saluran empedu menjadi penyebab tersering abses hati piogenik,
selanjutnya tumor obstruktif, striktur dan kelainan kongenital cabang bilier. Obstruksi
bisa memicu proliferasi bakteri. Tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan
cabang vena porta dan limfatik yang mengalami formasi abses. Umumnya abses yang
terbentuk multiple, dan mikroabses akan menyebar secara hematogen dan menyebabkan
bakterimia.
Embolisasi koagulum septik dari infeksi intra-abdomen bisa berasal dari
apendisitis, diverticulitis, IBD, dan perforasi rongga visera bisa menjadi pencetus
terbentuknya mikroabses. Emboli septik yang dilepaskan ke dalam sirkulasi porta, bisa
terperangkap oleh sinusoid hepar yang kemudian bisa menjadi nidus formasi
mikroabses. Mikroabses yang terbentuk biasa multiple, tetapi bisa bergabung menjadi
suatu massa soliter.
Mikroabses dapat juga terbentuk diakibatkan penyebaran hematogen bakteria
sistemik , seperti dari endocarditis dan pielonefritis.
Bakteri juga bisa terinokulasikan langsung pada parenkim hati melalui trauma
tusuk dan bisa mencetuskan abses hati piogenik. Pada trauma tumpul, nekrosis hati,
perdarahan intrahepatic, kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan
kanalikuli yang bisa menyebabkan masuknya bakteri ke hati yang kemudian akan
tumbuh dan membentuk pus. Umumnya lesi yang terbentuk adalah lesi soliter.
Abses hati piogenik juga pernah dilaporkan sebagai hasil infeksi sekunder dari
abses amebik, kavitas kista hydatid dan tumor hati metastasis ataupun primer. Abses
juga pernah dilaporkan sebagai komplikasi dari transplantasi hati, embolisasi arteri
hepatik, dan termakan benda asing yang mempenetrasi parenkim liver.
Lobus hepar kanan lebih sering terkena daripada lobus hepar kiri dengan
perbandingan 2:1. Keterlibatan kedua lobus hanya terdapat pada 5% kasus. Penyebab
lobus hepar kanan lebih sering terkena dikarenakan keterlibatan susunan anatomi.
Lobus hepar kanan menerima darah dari vena mesenterika superior dan vena porta,
sedangkan lobus hepar kiri menerima darah dari mesenterika inferior dan saluran
splenik. Lobus hepar kanan juga mengandung jaringan kanalikuli biliary yang lebih
padat dan juga mengandung massa hati yang lebih banyak.1,8,20

2.7. Diagnosis
2.7.1. Diagnosis Abses Hepar Amuba
a. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling sering ditemukan adalah nyeri abdomen, demam, anoreksia.
Nyeri abdomen dapat menjalar ke epigastrium, dada dan bahu kanan. Nyeri epigastrium
sering ditemukan pada abses lobus kiri. Demam umumnya bersifat remitten, terkadang
demam tinggi dan bisa disertai menggigil, dan perlu dicurigai adanya infeksi bakteri
sekunder.
Gejala lainnya yaitu dapat ditemukannya ikterik pada sepertiga kasus, dimana
patofisiologi terjadi ikterus ini masih kontroversial. Diduga ikterus muncul karena
adanya peningkatan tekanan rongga abses pada duktus hepatikus yang menyebabkan
kolestasis, atau disebabkan adanya fistula bilio-vaskular. Ikterik berat biasanya terjadi
pada abses yang berukuran besar, multiple atau terletak di porta hepatis. Hepatomegali
dapat ditemukan pada 80% pasien dengan konsistensi lunak dan permukaan yang rata.
Batuk berdahak maupun tidak juga dapat dijumpai. Diare walaupun jarang juga dapat
dijumpai pada penderita.1,8,20
b. Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya tidak terlalu tinggi, kurva suhu bias intermitten atau remitten.
Lebih dari 90% didapatkan hepatomegali yang apabila ditekan terasa nyeri. Pada
perkusi di atas daerah hepar kan terasa nyeri. Konsistensi hepar biasanya kistik. Ikterus
jarang terjadi, jikapun ada biasanya ringan. Bila icterus hebat biasanya disebabkan abses
yang besar atau multiple, atau dekat vena porta hepatika.9
c. Pemeriksaan Laboratorium
Tes serologi yang bisa digunakan meliputi ELISA, indirect hemagglutination,
cellulose acetate precipitin, counterimmunoelectrophoresis, immufluorescens antibody,
dan tes rapid latex agglutination. Hasil tes serologi harus diinterpretasikan dengan
klinis pasien karena kadar serum antibodi mungkin masih tinggi selama beberapa tahun
setelah perbaikan atau penyembuhan. Sensitivitas tes ± 95% dan spesifikasinya lebih
dari 95%. Hasil negatif palsu mungkin terjadi dalam 10 hari pertama infeksi. Tes
berbasis PCR untuk deteksi DNA amuba dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi
antigen amuba pada serum sudah sering dilakukan pada penelitian.
d. Pemeriksaan Pencitraan
USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal, karena non invasi dan
sensitivitasnya tinggi (80-90%) untuk mendapatkan lesi hipoekoik dengan internal
echoes. CT scan kontras digunkan terutama untuk mendiagnosis abses yang lebih kecil,
dapat melihat seluruh kavitas peritoneal yang mungkin dapat memberikan informasi
tentang lesi primer. MRI tidak memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan CT scan,
tetapi berguna jika hasil masih meragukan, diagnosis membutuhkan potongan koronal
atau sagital dan untuk pasien yang intoleran terhadap kontras. Pencintraan hepar tidak
bisa membedakan abses hati amuba dan piogenik. Abses amuba umumnya menyerang
lobus kanan hepar dekat dengan diafragma dan biasanya tunggal.
e. Kriteria Sherlock
Sherlock (2002) membuat kriteria diagnosis abses hati amuba:
1. Adanya riwayat berasal dari daerah endemik
2. Pembesaran hati pada laki-laki muda
3. Respons baik terhadap metronidazole
4. Leukositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak lama dan leukositosis
dengan riwayat sakit yang lama.
5. Ada dugaan amubiasis pada pemeriksaan foto thoraks PA dan lateral.
6. Pada pemeriksaan scan didapatkan filling defect
7. Tes fluorescen antibodi amuba positif
Bila ke-7 kriteria ini dipenuhi maka diagnosis abses hati amuba sudah hampir dapat
ditegakkan.

2.7.2. Diagnosis Abses Hepar Piogenik


a. Manifestasi Klinis
Gejala awal tersering pada abses hati adalah demam. Penderita abses hati yang
berkaitan dengan penyakit saluran empedu, umunya mempunyai keluhan dan gejala
yang terlokalisir pada kuadran kanan atas abdomen, di antaranya terdapat nyeri, defens
muskulus, nyeri ketok, dan nyeri lepas. Nyeri bisa bersifat tumpul atau pleuritik dan
kadang bisa menyebar sampai daerah bahu (25%). Nyeri muncul mendadak dengan
intensitas berat, kadang pasien bisa sampai membungkuk.
Gejala tidak spesifik lainnya yang bisa terdapat pada penderita abses hati
diantaranya adalah menggigil, anoreksia, penurunan berat badan, mual dan muntah.
Batuk dapat ditemukan jika abses berdekatan dengan diafragma.
Hepatomegali, nyeri tekan kuadran kanan atas, ikterus hanya terdapat pada
sekitar 50% penderita. Feses pucat, urin berwarna gelap, malaise juga dapat
dikeluhakan penderita. Khususnya pada pasien lanjut usia, gejala yang bisa timbul
hanyalah demam yang tidak diketahui sebabnya (fever of unknown origin).1,8,20
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran hati disertai nyeri pada kuadran
atas kanan. Ikterik dijumpai apabila penyakit lebih lanjut.9
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium didapati kelainan meliputi anemia ringan, lekositosis
dengan netrofilia, serta peningkatan laju endap darah. Dapat juga ditemukan perubahan
fungsi hati, yaitu peningkatan kadar serum alkali fosfatase.
Adanya antibodi antiamubik penting untuk membedakan AHA dari AHP. Lebih
dari 90% pasien dengan AHA mempunyai antibodi antiamubik titer tinggi terhadap
Entamoeba histolytica.
Elemen kunci untuk didiagnosis AHP adalah ditemukannya agen penyebab, baik
melalui kumtur darah, maupun kultur pus dari aspirasi abses. Kultur darah positif pada
50% kasus. Pada aspirasi abses, spesimen yang berasal dari AHP berwarna kekuningan
ataupun kehijauan serta berbau busuk. Spesimen yang berasal dari AHA berwarna
merah kecoklatan. Dengan pengecatan gram pada AHA ditandai dengan adanya netrofil
tanpa bakteri, kecuali bila telah terjadi infeksi sekunder. Sementara pada AHP, selalu
terdapat bakteri.
d. Pemeriksaan Radiologi
a. Saat ini, pemeriksaan pencitraan merupkan modalitas penting untuk
menegakkan diagnosis AHP. Adanya temuan klinis meliputi demam, nyeri perut kanan
atas, serta pembesaran harti yang disertai nyeri tekan, menjadi alasan untuk
pemeriksaan pencitraan lebih lanjut, meliputi pemeriksaan ultrasonografi (USG)
computerized tomography scan (CT scan), serta magnetic resonance imaging (MRI).
Pemeriksaan pencitraan dapat membedakan AHP dari kolesistitis, obstruksi saluran
empedu, maupun pankreatitis. Penggunaan zat kontras technetium 99m-sulfur colloid
sebelum pemeriksaan USG dan CT sensitif untuk mengetahui adanya lesi dengan
ukuran <3 cm, serta dapat memprediksi lokalisasi untuk dilakukan aspirasi perkutaneus
maupun drainase.
Pemeriksaan USG memperlihatkan adanya lesi hipoekoik, kadang-kadang dapat
ditemukan internal eko. Namun demikian, lesi yang terletak pada bagian atas lobus
kanan sulit untuk diidentifikasi. Gambaran AHP dengan CT menunjukkan gambaran
lesi densitas rendah, penggunaan kontras memperlihatkan peripheral enhancement.
Pemeriksaan CT juga dapat menunjukkan sumber infeksi ekstrahepatik dari AHP,
misalnya apendisitis ataupun divertikulitis. Walaupun pemeriksaan CT dan USG dapat
membedakan abses obstruksi saluran empedu, namun tidak dapat membedakan AHP
dari abses hati amebik (AHA). Pemeriksaan dengan MRI, walaupun masih sedikit
digunakan, lebih sensitif untuk menentukan AHP.
Kebanyakan abses, baik AHP maupun AHA, terletak pada lobus kanan. Adanya
abses multiple sangat mencurigkan suatu AHP. Tumor hati yang telah mengalami
nekrosis serta infeksi sekunder, seringkali memberikan gambaran USG seperti AHP.
Pemeriksaan rontgen dada dapat ditemukan adanya elevasi hemidiafragma kanan serta
atelektasis.
Tabel 2.3. Perbedaan Gambaran Abses Hati Piogenik dengan Abses Hati Amuba
Abses Hati Piogenik Abses Hati Amuba
Demografi Usia: 50-70 tahun Usia: 20-40 tahun
Jenis kelamin: laki-laki = Jenis kelamin: laki-laki > perempuan
perempuan
Faktor resiko Infeksi bakteri akut, khususnya Bepergian atau menetap di daerah
mayor intra abdominal. endemik (pernah menetap)
Obtruksi bilier / manipulasi
Diabetes mellitus
Gejala klinis Nyeri perut region kuadran Akut: demam tinggi, menggigil, nyeri
kanan atas, demam, menggigil, abdomen, sepsis.
rigor, lemah, malaise,
Sub akut: Penurunan berat badan,
anoreksia, penurunan berat demam, dan nyeri abdomen relative
badan, diare, batuk, nyeri dadajarang.
pleuritik Khas: Tak ada gejala kolonisasi usus,
demam, dan kolitis.
Tanda klinis Hepatomegali disertai nyeri Nyeri tekan perut region kanan atas
tekan,massa abdomen, ikterus bervariasi.
Laboratorium Lekositosis, anemia, Serologi amuba positif (70% - 95%).
peningkatan enzim-enzim hati
(alkali fosfatase melebihi Lekositosis bervariasi dan anemia.
aminotransferase) peningkatan Tidak ditemukan eosinophilia. Alkali
bilirubin, hipoalbuminemia. fosfatase meningkat, namun
Kultur darah positif (50% - aminotransferase biasanya normal.
60%).
Pencitraan Abses multifocal (50%) Khas: abses tunggal (80%)
Biasanya lobus kanan Biasanya lobus kanan
Tepi irregular Rounded atau oval, bersepta
Wall enhancement pada CT scan
dengan kontras IV
Cairan Purulent Konsistensi dan warna bervariasi
aspirasi Tampak kuman pada Steril
pewarnaan gram Tropozoit jarang ditemukan
Kultur positif

2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Penatalaksanaan Abses Hepar Amuba
a. Medikamentosa
- Terapi dimulai dengan Metronidazole 3x750 mg per oral selama 7-10 hari
(Guardino, 2008) atau nitomidazole kerja panjang (Tinidazole 2 gr PO dan
ornidazole 2 gram PO) dilaporkan efektif sebagai terapi dosis tunggal. Terapi
kemudian dilanjutkan dengan preparat lumenal amubisi untuk eradikasi kista dan
mencegah transmisi lebih lanjut, yaitu : Iodoquinol 3x650 mg selama 20 hari,
Diloxanide furoate 3x500 mg selama 10 hari, Aminosidine (Paromomcin 25-35
mg/kg perhari TID selama 7-10 hari (Kim, 2011). Lebih dari 90% pasien
mengalami respons yang dramatis dengan terapi metronidazole, baik berupa
penurunan nyeri maupun demam dalam 72 jam (Reed, 2010).
- Paromomycin 25-35 mg/kg/hari per oral terbagi dalam 3 dosis selama 7 hari atau
lini kedua Diloksanide furoate 3x500 mg per oral selama 10 hari.
- Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai terapi alternatif, tetapi sebaiknya
dihindari sebisa mungkin karena efek kardiovaskular dan gastrointestinal, selain
karena tingginya angka relaps. Chloroquine phosphate 1000mg (Chloroquine base
600 mg) diberikan oral selama 2 hari dan dilanjutkan dengan 500 mg (Chloroquine
base 300 mg) diberikan oral selama 2-3 minggu, perbaikan klinis diharapkan
selama 3 hari
b. Aspirasi Jarum Perkutan
Indikasi aspirasi jarum perkutan :
● Risiko tinggi untuk terjadinya rupture abses yang didefinisikan dengan ukuran
kavitas lebih dari 5 cm.
● Abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi dan frekuensi
tinggi bocor ke peritoneum atau perikardium.
● Tidak ada respons klinis terhadap terapi dalam 3-5 hari.
● Untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik, khususnya pasien dengan lesi
multipel.
c. Drainase Perkutan
Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau CT
scan abdomen. Penyulit yang dapat terjadi : perdarahan, perforasi organ intra abdomen,
infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase.
d. Drainase Pembedahan
Tindakan ini sekarang jarang dilakukan kecuali pada kasus tertentu seperti abses
dengan ancaman rupture atau secara teknis susah dicapai atau gagal dengan aspirasi
jarum perkutan atau drainase perkutan.
e. Reseksi Hati
Pada abses hati piogenik multiple kadang diperlukan reseksi hati. Indikasi
spesifik jika didapatkan abses hati dengan karbunkel (liver carbuncle) dan disertai
dengan hepatolitiasis, terutama pada lbus kiri hati.
Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal
Indonesia) dan PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) di Surabaya pada tahun
1996:
● Abses hati dengan diameter 1-5 cm : terapi medikamentosa, bila respon negatif
dilakukan aspirasi.
● Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang.
● Abses hati dengan diameter ≥ 8 cm: drainase perkutan.

2.8.2. Penatalaksanaan Abses Hepar Piogenik


a. Medikamentosa
Sebelum terdapat hasil kultur, diberikan antibiotika spektrum luas. Ampisilin
dan aminoglikosida diberikan bila sumber infeksi terdapat pada saluran empedu.
Sefalosporin generasi ketiga merupakan pilihan apabila sumber infeksi berasal dari
usus. Metronidazol diberikan pada semua AHP dengan berbagai sumber infeksi untuk
mengatasi infeksi anaerobik. Regimen pilihan lain adalah kombinasi beta laktam dan
penghambat aktivitas beta laktamase yang diberikan untuk AHP dengan sumber infeksi
dari usus, dimana kombinasi ini juga dapat mengatasi infeksi anaerobik. Bila telah
terdapat hasil kultur, antibiotika disesuaikan dengan kuman yang spesifik. Antibiotika
intravena diberikan sedikitnya selama 2 minggu, dilanjutkan dengan antibiotika oral
selama 6 minggu. Apabila infeksi disebabkan oleh streptococcus, pemberian antibiotika
oral dosis tinggi disarankan selama lebih dari 6 minggu.
b. Drainase Perkutan
Drainase perkutan dilakukan dengan tuntunan USG pada abses berukuran lebih
dari 5 cm menggunakan indwelling drainage catheter. Pada abses multiple, hanya abses
berukuran besar yang perlu diaspirasi. Abses kecil cukup dengan penggunaan
antibiotika.
c. Drainase Pembedahan
Drainase dengan pembedahan dilakukan pada abses hati piogenik yang
mengalami kegagalan setelah dilakukan drainase perkutan, ikterik yang tidak sembuh,
penurunan fungsi ginjal, serta pada abses multilokuler.
Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal
Indonesia) dan PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) di Surabaya pada tahun
1996:
● Abses hati dengan diameter 1-5 cm : terapi medikamentosa, bila respon negatif
dilakukan aspirasi
● Abses hati dengan diameter 5-8 cm : terapi aspirasi berulang
● Abses hati dengan diameter > 8 cm : drainase perkutan.

2.9. Diagnosis Banding


a. Hepatoma
Hepatoma adalah kanker yang berasal dari sel-sel hati. Hepatoma merupakan
kanker hepar primer yang paling sering ditemukan. Keluhan dan gejala yang timbul
sangat bervariasi. Pada awalnya seperti malaise dan penurunan berat badan secara
drastis, Penderita sering mengeluh rasa sakit yang terus menerus di perut kanan atas
yang tidak hebat tetapi bertambah berat jika digerakkan.16
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hepar membesar dengan konsistensi keras dan sering
berbenjol-benjol, terjadi pembesaran limpa, serta perut membesar karena adanya asites.
Kadang-kadang timbul ikterus pada mata dan kencing seperti air teh.16
Hepatoma selain menimbulkan gangguan faal hepar juga membentuk beberapa jenis
hormon yang dapat meningkatkan kadar hemoglobin, kalsium, kolestrol, dan alfa feto
protein di dalam darah. Gangguan faal hepar menyebabkan peningkatan kadar SGOT,
SGPT, fosfatase alkali, laktat dehydrogenase, dan alfa-L-fukosidase.16
b. Kolesistitis
Kolesistitis adalah infeksi pada kandung empedu yang disertai dengan keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. Nyeri perut kanan atas dapat menjalar
ke daerah skapula. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis. Sedangkan
pada pemeriksaan USG ditemukan penebalan dinding kandung empedu ataupun
ditemukan sludge atau batu.17
2.10. Komplikasi
Tanpa terapi, abses akan membesar, meluas ke diafragma atau ruptur ke kavitas
peritoneal:
1. Ruptur abses ke dalam:
- Regio toraks, menyebabkan:
- Fistula hepatobronkial
- Abses paru
- Empiema ameba (20-30%)
- Perikardium, menyebabkan:
- Gagal jantung
- Perikarditis
- Tamponade jantung
- Peritoneum, menyebabkan:
- Peritonitis
- Asites
2. Infeksi sekunder (biasanya bersifat iatrogenik setelah tindakan aspirasi).
3. Lain-lain (jarang):
- Gagal hati fulminan
- Hemobilia
- Obstruksi vena cava superior
- Sindrom Budd-Chiari
Abses cerebri (penyebaran hematogen : 0,1%)

2.11. Prognosis
● Abses hati amuba merupakan penyakit yang sangat “treatable”
● Angka kematian < 1% bila tanpa penyulit.
● Penegakkan diagnosis yang terlambat dapat memberikan penyulit abses ruptur
sehingga meningkatkan angka kematian:
- Ruptur ke dalam peritoneum, angka kematian 20%.
- Ruptur ke dalam perikardium, angka kematian 32-100%.
Dengan diagnosis yang cepat disertai penggunaan antibiotika pada tahap dini dan
drainase perkutaneus, angka kematian karena AHP telah jauh menurun. Angka
kematian pada negara maju sekitar 2-12%. Faktor utama penyebab kematian adalah
pembedahan dengan drainase terbuka, keganasan, serta infeksi dari kuman anaerobik.
Prognosis baik dengan harapan hidup lebih dari 90% bila abses tunggal dan
terletak pada lobus kanan. Namun, kematian dapat mencapai 100% pada AHP yang
tidak diterapi. Angka kematian tinggi juga disebabkan oleh infeksi polimikrobial, abses
multiple terutama dengan sumber infeksi pada sistem bilier, adanya disfungsi
multiorgan, keganasan, hiperbilirubinemia, hipoalbuminemia, adanya komplikasi efusi
pleura terutama pada orang tua, serta sepsis.
Jika tidak ditangani, abses hati pyogenik dapat berakibat fatal. Penyebab
kematian terbanyak adalah sepsis, kegagalan organ multipel, dan kegagalan fungsi hati.
Indikator prognosis jelek pada abses amubik adalah kadar bilirubin > 3.5 mg/dL,
enchelopathy, hipoalbuminemia (< 2 g/dL), dan abses multipel. Perhitungan skor An
underlying malignant etiology and an Acute Physiology and Chronic Health Evaluation
(APACHE II) >9 meningkatkan resiko kematian 6.3 atau 6.8 kali.
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. STATUS ORANG SAKIT

Tanggal Masuk 04 Juni 2017 Dokter Ruangan :


dr. Muhammad Hanif Wibowo
Jam 11.35 Dokter Chief of Ward :
dr. Hartono
dr. Zulfahmi Zulfa, Sp.PD
Ruang RA2 Dokter Penanggung Jawab Pasien:
dr. Imelda Rey, Sp.PD

ANAMNESIS PRIBADI
Nama : Sawahluddin Siregar
Umur : 38 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Belum menikah
Pekerjaan : Petani
Suku : Mandailing
Agama : Islam
Alamat : Paringgonan Julu Ulu Barumun

ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama : Demam
Telaah :
Demam dialami selama 7 hari SMRS, demam naik turun / hilang timbul, pasien tidak
pernah mengukur suhu tubunya. Demam disertai menggigil. Nyeri perut kanan atas juga
terjadi bersamaan dengan demam. Nyeri terasa seperti terbakar dan menjalar ke daerah
bahu dan kepala pasien. Pasien juga mengeluhkan pusing. Perut dirasakan pasien
mengeras seperti papan. Nyeri terkadang dirasakan menjalar ke daerah perut atas tengah
dan kiri. Nyeri tekan perut kanan atas juga dirasakan pasien. Perut dirasakan penuh dan
kembung. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah yang berisi makanan dan
minuman yang dikonsumsi. Tidak ada muntah berwarna merah atau hitam dijumpai.
Pasien mengeluhkan nafsu makan yang menurun karena mual dan muntah. Tidak ada
penurunan berat badan. Batuk tidak dijumpai. Nyeri menelan tidak dijumpai. BAK
berwarna teh pekat dengan jumlah sehari lebih kurang setengah botol aqua besar. BAB
setiap hari, lancar dengan warna coklat normal. Tidak ada riwayat BAB berwarna hitam
ataupun berdarah. Tidak ada riwayat sakit gula maupun hipertensi. Riwayat sakit kuning
diakui pasien, tetapi pasien tidak ingat kapan dan obatnya. Tato dijumpai yang telah
dibuat sewaktu umur 18 tahun. Riwayat mengkonsumsi tuak dijumpai selama lebih
kurang 5 tahun, 1 minggu 3x dengan jumlah 3 gelas besar. Riwayat transfusi tidak
dijumpai. Tidak ada orang di sekeliling pasien yang mengalami gejala yang sama.
ANAMNESIS ORGAN
Jantung: Sesak nafas : (-) Edema: (-)
Angina Pektoris: (-) Palpitasi: (-)
Lain-lain: (-)
Saluran Batuk: (-) Asma, bronkitis: (-)
Pernafasan Dahak: (-) Lain-lain: (-)
Saluran pencernaan Nafsu makan: menurun Penurunan BB: (-)
Keluhan menelan: (-) Keluhan defekasi: (-)
Keluhan perut: + Lain-lain: -
Saluran urogenital Sakit Buang Air Kecil: (-) Buang air kecil tersendat: (-)
Mengandung batu: (-) Keadaan urin: warna teh
Lain-lain: (-)
Sendi dan tulang Sakit pinggang: (-) Keterbatasan gerak: (-)
Keluhan persendian: (-) Lain-lain: (-)
Endokrin Haus/polidipsi: + Gugup: (-)
Poliuri: (-) Perubahan suara: (-)
Polifagi: (-) Lain-lain: (-)
Saraf pusat Sakit kepala: (-) Hoyong: (-) Lain-lain: (-)
Darah dan Pucat: (-) Perdarahan: (-)
Pembuluh darah Petechie: (-) Purpura: (-)
Lain-lain (-)
Sirkulasi Perifer Claudicatio intermitten: (-) Lain-lain: (-)

ANAMNESIS FAMILI :
Tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama.
PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK
STATUS PRESENS :
Keadaan umum Keadaan Penyakit
Sensorium : Compos Mentis Pancaran wajah : lemah
Tekanan darah : 110/70 mmHg Sikap paksa : (-)
Nadi : 88 x/i Refleks fisiologis : (+/+)
Pernafasan : 28 x/i Refleks patologis : (-/-)
Temperatur : 37,7 °C
Anemia +, Ikterus +, Dispnu (-)
Sianosis (-), Edema (-), Purpura (-)
Turgor kulit: Baik / Sedang / Jelek
Keadaan Gizi :
BW = (BB/TB-100) X 100% TB : 165 cm
= 84,6% BB : 55 kg
IMT : 20,2 kg/m2
Kesan : normoweight

PEMERIKSAAN FISIK
KEPALA
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), ikterus (+/+), pupil: isokor, ukuran: ±3 mm
refleks cahaya direk (+/+) indirek (+/+), kesan anemis
Telinga : dalam batasan normal
Hidung : deviasi septum (-), penafasan cuping hidung (-)
Mulut : Lidah : atrofi papil lidah (-) , oral ulcer (-)
Gigi geligi : gingiva hyperplasia (-), perdarahan pada gusi (-),normal
Tonsil/Faring : hiperemis (-), kesan normal

LEHER
Struma : membesar / tidak membesar, tingkat : (-) nodular /
multi nodular/diffuse
Pembesaran kelenjar limfe : (-), lokasi: (-), jumlah: (-), konsistensi: (-),
mobilitas: (-), nyeri tekan: (-).
Posisi trakea : medial, TVJ : R-2 cm H20.
Kaku kuduk : (-), lain-lain: (-)

THORAX DEPAN
Inspeksi
Bentuk : Simetris fusiformis
Pergerakan : tidak ada ketinggalan bernafas
Palpasi
Nyeri tekan : Ludwig sign (+)
Fremitus suara : sf kanan = kiri
Iktus : tidak terlihat, teraba
Perkusi
Paru
Batas paru-hati R/A : Absolut ICS VI; Relatif ICS V
Peranjakan : -+ 1 cm
Jantung
Batas atas jantung : ICS III LMCS
Batas kiri jantung : ICS V 1 cm lateral LMCS
Batas kanan jantung : ICS III-IV LPSD
Auskultasi
Paru
Suara pernafasan : vesikuler
Suara Tambahan :-
Jantung
M1 > M2, P2>P1, T1>T2, A2>A1, desah sistolis (-), tingkat (-),
Desah diastolis (-), lain-lain (-).
HR: 80 x/menit, regular, intensitas : cukup
THORAX BELAKANG
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : sf kanan=kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernafasan : vesikuler
Suara tambahan :-

ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris, membesar
Gerakan lambung / usus : normal
Vena kolateral : (-)
Caput Medusa : (-)
Palpasi
Dinding abdomen : Soepel

Hati :
Pembesaran : +, 5cm BAC, 4 cm BPX
Permukaan : licin
Pinggir : tumpul
Nyeri tekan :+
Limfa :
Pembesaran : (-), Schuffner: (-), Haecket: (-)
Ginjal :
Ballotement : (-), kiri/kanan, lain-lain: (-)
Uterus / Ovarium : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tumor : Tidak dilakukan pemeriksaan

Perkusi
Pekak Hati : (-)
Pekak Beralih : (-)
Auskultasi
Peristaltik usus : Normoperistaltik

PINGGANG
Nyeri ketuk sudut kostovertebra (-), kiri dan kanan

INGUINAL : Tidak dilakukan pemeriksaan

GENITALIA LUAR : Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN COLOK DUBUR


Perineum : Tidak dilakukan pemeriksaan
Spinghter ani : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lumen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mukosa : Tidak dilakukan pemeriksaan
Massa feses : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sarung tangan : Tidak dilakukan pemeriksaan

ANGGOTA GERAK ATAS


Deformitas sendi : (-)
Lokasi : (-)
Jari tabuh : kesan jari tabuh
Tremor ujung jari : (-)
Telapak tangan sembab : (-)
Sianosis : (-)
Eritema Palmaris : (-)
Lain-lain : (-)
ANGGOTA GERAK BAWAH
Kiri Kanan
Edema (-) (-)
Arteri femoralis (+) (+)
Arteri tibialis posterior (+) (+)
Arteri dorsalis pedis (+) (+)
Refleks KPR (+) (+)
Refleks APR (+) (+)
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain (-) (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN


Darah Urin Tinja
Hb : 9 g/dL Warna : kuning Warna : coklat
6 3
Eritrosit : 3,15 x 10 /mm kecoklatan Konsistensi :
Leukosit :15.700 /mm3 Protein :- normal
3
Trombosit :460,000 /mm Reduksi :- Eritrosit :-
Ht : 28 % Bilirubin :+ Leukosit :-
LED : - mm/1jam Urobilinogen : + Amoeba/kista : -
Hitung jenis
Eosinofil : 1,00 % Sedimen Telur Cacing
Basofil : 0,30 % eritrosit : 2-3 Ascaris :-
Neutrofil : 75,70 % leukosit : 0-1 Ancylostoma : -
Limfosit : 17,10 % epitetel : 0-1 T. trichiura : -
Monosit : 5,90 % silinder : 0-1 Kremi :-

RESUME
ANAMNESIS
KU : Febris
Telaah :
Febris dialami 7 hari SMRS, bersifat intermitten. Nyeri hipokondrium
dekstra terjadi bersamaan dengan febris, menjalar sampai bahu dan servikal.
Dizziness +. Nyeri terkadang menjalar ke epigastrium dan hipokondrium sinistra.
Nyeri tekan hipokondrium dekstra +. Abdomen terasa penuh dan kembung, nausea
And vomiting + berisi makanan dan minuman yang dikonsumsi. Urine berwarna
kuning kecoklatan dengan volume +-750cc/hari. Riwayat ikterus +. Tato +. Alkohol +.

STATUS PRESENS
Keadaan Umum : Baik
Keadaan Penyakit : Sedang
Keadaan Gizi : Normal

PEMERIKSAAN FISIK
Sensorium : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 28 x/i
T : 37,7 °c

KEPALA
Sklera ikterus, konjungtiva palpebra anemi.

THORAKS
Inspeksi : simetris, tidak ada ketinggalan bernafas
Palpasi : stem fremitus kiri = kanan,
Perkusi : paru : sonor
Auskultasi : SP : vesikuler
ST : -
Jantung : dalam batas normal

ABDOMEN
Inspeksi : normal
Palpasi : soepel, hepatomegali, 5cm BAC, 4cm BPX, Ludwig sign +
Perkusi : timpani
Auskultasi : normoperistaltik

LABORATORIUM RUTIN
Darah : anemia, leukositosis, trombositosis
Urin : urine kuning kecoklatan, bilirubin +, hematuria +
Tinja :-

DIAGNOSIS BANDING
DD/ Liver Abses + DD/ anemia ec. Penyakit kronik
Hepatoma Defisiensi besi
Cholecystitis

DIAGNOSIS SEMENTARA
Liver abses + anemia ec. Penyakit kronik

PENATALAKSANAAN
Aktivitas : Tirah baring
Diet : Diet Makanan Lunak
Tindakan suportif : IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i makro
Medikamentosa :
- Drip metronidazole 500mg/8jam/iv
- Inj. Cefotaxime 1gr/8j/iv
- Inj. Ranitidine 50mg/8j/iv
- Inj. Ketorolac 30mg/8j/iv
RENCANA PENJAJAKAN DIAGNOSTIK / LANJUTAN
1. Darah rutin
2. Urine rutin
3. Feses rutin
4. USG abdomen
5. LFT, albumin, HST, d-dimer
6. Anemia profile
7. AFP
8. Viral marker (HbsAg, Anti HCV)
BAB 4
FOLLOW UP HARIAN
Tanggal S O A P
04 Juni Nyeri perut Sensorium : CM - Liver abses - IVFD D5% 20 gtt
2017 sebelah TD : 110/70 mmHg dd/ Hepatoma makro
kanan atas HR : 88x/menit - Anemia ec. - Inj Cefotaxime 1g/
sejak ± 1 RR : 28x/menit penyakit 8jam IV
bulan. T : 37,7⁰C kronis (Hb:9) - Inj Ranitidine
Kepala : mata
50mg/12jam/IV
konjungtiva anemis
(+/+) dan sklera - Inj Ketorolac
ikterik (+/+) 30mg/8jam IV
Leher : TVJ R-2cm - Sistenol 3x500mg
H2O (k/p)
Thorax :
sp : vesicular
ST (-)
Abdomen :
soepel,timpani,
bising usus (+) N,
nyeri tekan
hypokondria kanan(-)
Extremitas : edema (-
/-)
Hb : 9,0
Leu : 15.700
Trom : 460.000
Na/K/Cl : 129
/4,2/101
HbsAg/Anti
HCV/Anti HIV :
non-reaktif
05 Juni Nyeri perut Sensorium : CM - Liver Abses - Tirah Baring
2017 sebelah TD : 110/60 dd/ Hepatoma - Diet M II
(H2) kanan atas. HR : 80x/menit - Anemia ec - IVFD D5% 20gtt
RR : 22x/menit penyakit makro
T : 36,7⁰C
kronik - Inj Cefotaxime
VAS : 3
Kepala : mata 1gr/8 jam IV
konjungtiva anemis - Drip metronidazole
(+/+) dan sklera 500mg/8jam IV
ikterik (+/+) - Inj Ranitidine
Leher : TVJ R-2cm 50mg/12jam/IV
H2O - Inj Ketorolac
Thorax : 30mg/8jam IV
sp : vesicular - Sistenol 3x500mg
ST (-) (k/p)
Abdomen :
soepel,timpani,
bising usus (+) N,
nyeri tekan
hypokondria kanan(-)
Extremitas : edema (-
/-)
Hb : 9,0
Leu : 15.700
Trom : 460.000
Na/K/Cl : 129
/4,2/101
HbsAg/Anti
HCV/Anti HIV :
non-reaktif
06 Juni Nyeri perut Sensorium : CM - Liver Abses - Tirah baring
2017 kanan atas TD : 110/60 dd/ Hepatoma - Diet M II + ekstra
HR : 60x/menit - Anemia ec putih telur
RR : 20x/menit penyakit - IVFD D5% 10
T : 35,6⁰C
kronik (Hb gtt/makro
VAS : 3
Kepala : mata
9,3) - Inj Cefotaxime
konjungtiva anemis 1gr/8 jam IV
(+/+) dan sklera - Drip metronidazole
ikterik (+/+) 500mg/8jam IV
Leher : TVJ R-2cm - Inj Ranitidine
H2O 50mg/12jam/IV
Thorax : - Inj Ketorolac
sp : vesicular 30mg/8jam IV
ST (-) - Sistenol 3x500mg
Abdomen :
(k/p)
soepel,timpani,
bising usus (+) N,
nyeri tekan
hypokondria kanan(-)
Extremitas : edema (-
/-)
Hb : 9,3
Leu : 12.330
Trom : 465.000
Na/K/Cl : 129
/4,2/101
Fe/TIBC/Ferritin :
27/206/1068,57
Bilirubin
total/Bilirubin direk :
2,5/2,0
OT/PT : 87/57
Protein total : 6,6
Albumin/Globulin :
2,6/4,0
HbsAg/Anti
HCV/Anti HIV :
non-reaktif
Pembacaan Foto
Thoraks : kesan
kardiomegali.

07 Juni Nyeri perut Sensorik : CM - Liver Abses - Tirah baring


2017 kanan atas TD : 100/60 mmHg dd/ Hepatoma - Diet M II + ekstra
HR : 84x - Anemia ec putih telur
RR : 20x penyakit - IVFD D5% 10
T : 36,0
kronik (Hb gtt/makro
VAS : 3
Kepala : mata
9,3) - Inj Cefotaxime
konjungtiva anemis - Hipoalbumin 1gr/8 jam IV
(+/+) dan sklera (2,6) - Drip metronidazole
ikterik (+/+) 500mg/8jam IV
Leher : TVJ R-2cm - Inj Ranitidine
H2O 50mg/12jam/IV
Thorax : - Inj Ketorolac
sp : vesicular 30mg/8jam IV
ST (-) - Sistenol 3x500mg
Abdomen :
(k/p)
soepel,simetris,
timpani, bising usus
(+) N, nyeri tekan
hypokondria kanan(-)
Extremitas : edema (-
/-)
AFP : 4.48 (n:1.09-
8.04)
08 Juni Nyeri perut Sensorium : CM - Liver Abses - Tirah baring
2017 kanan atas TD : 110/70 dd/ Hepatoma - Diet M II + ekstra
HR :60 - Anemia ec putih telur
RR : 24 penyakit - IVFD D5% 10
T :36,1oC
kronik (Hb gtt/makro
VAS : 3
Kepala : mata 9,3) - Inj Cefotaxime
konjungtiva anemis - Hipoalbumin 1gr/8 jam IV
(+/+) dan sklera (2,6) - Drip metronidazole
ikterik (-/-) 500mg/8jam IV
Leher : TVJ R-2cm - Inj Ranitidine
H2O 50mg/12jam/IV
Thorax : - Inj Ketorolac
sp : vesicular 30mg/8jam IV
ST (-) - Sistenol 3x500mg
Abdomen :
(k/p)
soepel,simetris,
timpani, bising usus
(+) N
H/L/R: tidak teraba
Extremitas : edema (-
/-)
Hasil Lab:
CEA : 1,21 (n: ≤ 5)
CA 19.9 : 29,4
(n: ≤ 37.0)
BAB 5
DISKUSI KASUS

Teori Diskusi
Manifestasi Klinis Pada Pasien Dijumpai

- Demam - Demam
- Nyeri perut kanan atas yang - Nyeri perut kanan atas yang
dapat menjalar sampai bahu menjalar sampai bahu
- Defens muskulus - Defens muskulus
- Anoreksia - Penurunan berat badan
- Penurunan berat badan - Anoreksia
- Menggigil - Mual dan muntah
- Mual dan muntah - Hepatomegali
- Batuk - ikterus
- Hepatomegali
- Ikterus

Pemeriksaan Lab Pada Pasien


- ALP meningkat (70%) - Leukositosis (12.330)
- Bilirubin meningkat (50%) - Hipoalbuminemia (2.6)
- AST meningkat (48%) - Anemia normokrom
- Leukositosis (77%) normositer
- Anemia normokromik - Bilirubin meningkat (2.5)
normositik (50%) - ALP meningkat (495)
- Hipoalbuminemia (33%) - AST meningkat (87)
- PT memanjang
- LED meningkat
Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien ini:
Liver abses piogenik: - Tirah baring
- Drainase perkutaneus / aspirasi - Diet M II + ekstra putih telur
dengan bantuan USG/CT - IVFD D5% 10 gtt/makro
- Antibiotik empiris spektrum - Inj Cefotaxime 1gr/8 jam IV
luas parenteral / sesuai hasil - Drip metronidazole 500mg/8jam
kultur. Durasi antibiotic 2-3 IV
minggu dan dilanjutkan dengan - Inj Ranitidine 50mg/12jam/IV
antibiotic berbeda 2-4 minggu - Inj Ketorolac 30mg/8jam IV
setelah resolusi komplit secara - PCT 3x500mg (k/p)
klinis, lab dan radiologis.
Abses ukuran <3cm dapat
diberi antibiotic tanpa aspirasi.
● Penisilin dan ampisilin
atau aminoglikosida
● Sefalosporin generasi 3
dan klindamisin atau
metronidazole
● Sesuai hasil uji
sensitivitas
- Bedah :
● Tidak ada respon
dengan drainase setelah
4-7 hari
● Abses multiple, besar,
terlokulasi, berdinding
tebal, pus kental
● Adanya proses
intraabdomen
(peritonitis)
Liver abses amebik:
Kombinasi obat antiamuba dan
aspirasi abses:
- Metronidazole 3x500-750 mg
untuk 7—10 hari
- Kloroquin 600 mg 2 hari
pertama, 300mg 2-3 minggu
- Paramomycin 25-35 mg/kg
bagi 3 dosis, 5-10 hari
BAB 6
KESIMPULAN

Seorang laki-laki berumur 38 tahun datang ke RSUP HAM dengan keluhan


demam yang telah dialami selama 7 hari SMRS, demam hilang timbul dan disertai nyeri
perut kanan atas. Nyeri terasa seperti terbakar dan menjalar ke daerah bahu dan kepala.
Perut dirasakan pasien mengeras seperti papan. Pasien juga mengeluhkan pusing. Nyeri
terkadang dirasakan menjalar ke daerah perut atas tengah dan kiri. Nyeri tekan perut
kanan atas juga dirasakan pasien. Perut dirasakan penuh dan kembung. Pasien juga
mengeluhkan mual dan muntah yang berisi makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Tidak ada muntah berwarna merah atau hitam dijumpai. Pasien mengeluhkan nafsu
makan yang menurun karena mual dan muntah. Sesak tidak dijumpai. Batuk tidak
dijumpai. Nyeri menelan tidak dijumpai. BAK berwarna teh pekat dengan jumlah sehari
lebih kurang setengah botol aqua besar. BAB setiap hari, lancar dengan warna coklat
normal. Tidak ada riwayat BAB berwarna hitam ataupun berdarah. Tidak ada riwayat
sakit gula maupun hipertensi. Riwayat sakit kuning diakui pasien, tetapi pasien tidak
ingat kapan dan obatnya. Tato dijumpai yang telah dibuat sewaktu umur 18 tahun.
Riwayat mengkonsumsi alcohol dijumpai selama lebih kurang 5 tahun, 1 minggu 3x
dengan jumlah 3 gelas besar. Riwayat transfusi tidak dijumpai. Tidak ada orang di
sekeliling pasien yang mengalami gejala yang sama. Pasien diduga menderita abses
hepar dan ditatalaksana dengan Tirah Baring, Diet M II, IVFD D5% 20gtt makro, Inj
Cefotaxime 1gr/8 jam IV, Drip metronidazole 500mg/8jam IV, Inj Ranitidine
50mg/12jam/IV, Inj Ketorolac 30mg/8jam IV, Sistenol 3x500mg (k/p).
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi 7. Interna Publishing: 2014
2. Ong E, Espat NJ, Helton WS. Hepatic Abscess. Curr Treatment Opt Infect Dis.
2003 ; 5:393-406
3. Mishra K, Basu S, Roychoudhury S, Kumar P. Liver Abscess in Children:an
Overview. World J Pediatr. 2010;6(3):210-6
4. Stain SC, Yellin AE, Donovan AJ, Brien HW. Pyogenic Liver Abscess Modern
Treatment. Arch Surg. 1991;126:991-6
5. Stain SC, Yellin AE, Donovan AJ, Brien HW. Pyogenic Liver Abscess Modern
Treatment. Arch Surg. 1991;126:991-6
6. Halvorsen RA, Foster WL, Wilkinson RH, Silverman PM, Thompson WM.
Hepatic Abcess : Sensitivity of Imaging Test and Clinical Findings. Gastrointest
Radiol. 1988;13(2):135-41
7. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Abses Hati. PPHI [Internet]. 2013 Januari.
Available from: http://pphi-online.org/alpha/?p=646
8. Tanto Chris, Liwang Frans, Hanifati Sonia, Pradipta Eka Adip. Kapita Selekta
Kedokteran. Media Aesculapis: 2014
9. Prianti Y, Bisanto J, Firman K. Abses HAti pada Anak. Sari Pediatri. 2005.
7(1):55-56
10. Sharma MP, Ahuja V. amoebic Liver Abscess. JIACM. 2003:4)2). 107-11.
11. Lin YT, Liu CJ, Chen TJ, Chen TL, Yeh CY, Wu HS, et al. Pyogenic Liver
Abscess as the Initial Manifestatation of Underlying Hepatocellular Carcinoma.
The American J of Medicine. 2011:125(12). 1158-1164.
12. Ong E, Espar NJ, Helton WS. Hepativ BAscess. Curr Treatment Opt Infect Dis.
2003:5. 393-406.
13. Krige JEJ, Beckingham IJ. Liver abscesses and hydatid disease. Br Med J. 2001:
322. 637-40
14. Giorgio A, de Stefano G, Di Sarno A, Liorre G, Ferraioli G. Percutaneous Needle
Aspiration of Multiple Pyogenic Abscesses of the Liver: 13-Year Single-Center
Experience. AJR 2006; 187:1585– 90.
15. Ng SS, Lee JFY, Lai PBS. Role and outcome of conventional surgery in the
treatment of pyogenic liver abscess in the modern era of minimally invasive
therapy. World J Gastroenterol 2008; 14(5): 747-51.
16. Chen YC, Lin CH, Chang SN, ZY Shi. Epidemiolody and clinical outcome of
pyogenic liver abscess: an analysis from the National Health Insurance Research
Databsae of Taiwan, 2000-2011. J of Micribiology, Immunology and Infection.
2014:49(5).646-653.
17. Klarisa C., Kurniawan J. Abses Hepar. Dalam: Tanto C., Liwang F., Hanifati S.,
Pradipta, E.A. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius,
2014. Jilid 2: 670-672 (2)
18. AA Rani, S Soegendo., AUZ Nasir, IP Wijaya, Nafrialdi., A Mansjoer., editor
dalam Standar Pelayanan Medik PAPDI 2005.
19. Nusi IA. Abses Hati Amuba dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam edisi 7, Internal
Publishing: 2014; 1991-1994. (1)
20. Longo DL, Fauce AS. Harrison Gastroenteroogi & Hepatologi. Jakarta: EGC;
2014.
21. Peralta Ruben. Liver Abscess. Medscape [Internet]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/188802-overview#a7
22. Liu Xia, Ling Zongxin, Li Lanjuan, Ruang Bin. Invasive Fungal Infections in Liver
Transplantation. International Journal of Infectious Disease. Jan 2011. 298-304.

Anda mungkin juga menyukai