Anda di halaman 1dari 37

Case Report Session

SIROSIS HEPATIS

Oleh:
Fathma Mardhotilla 2040312144
Lastri Daniati 2040312016

Preseptor:
dr. Dinda Aprilia, Sp.PD, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur atas kehadirat Allah


subhanahu wa ta’ala dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas Case Report Session yang berjudul “Sirosis Hepatis” ini dapat selesai pada
waktu yang ditentukan.
Makalah ini dibuat untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
Sirosis Hepatis, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
senior di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Dinda Aprilia, Sp.PD,
FINASIM sebagai preseptor yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan
saran, perbaikan, dan bimbingan. Terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda
dan semua pihak yang turut berpartisipasi. Dengan demikian, kami berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca terutama dalam meningkatkan
pemahaman tentang Sirosis Hepatis. Segala saran dan masukan akan penulis terima
dengan tangan terbuka demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, Mei 2021

Penulis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ii


DAFTAR ISI
Halaman
COVER
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
1.3 Batasan Masalah 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko 4
2.4 Patofisiologi 5
2.5 Klasifikasi 6
2.6 Manifestasi Klinis 7
2.7 Pendekatan Diagnosis 10
2.8 Tatalaksana 14
2.9 Komplikasi 16
2.10 Prognosis 17
BAB 3 LAPORAN KASUS 19
BAB 4 DISKUSI 28
DAFTAR PUSTAKA 32

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas iii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sirosis hati merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang panjang
dari semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim hati.
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai
oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Gambaran
morfologi sirosis hati meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif, perubahan
arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara
pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena
hepatika).1
Kebanyakan dari pasien sirosis adalah asimtomatis sampai stadium
dekompensata terjadi, oleh karenanya sulit untuk menilai angka prevalensi dan
insiden dari sirosis pada populasi umum. Di seluruh dunia prevalensi sirosis
diperkirakan mencapai 100 per 100.000 penduduk, tetapi hal ini bervariasi pada
setiap negara.2 Prevalensi sirosis hepatis di Amerika Serikat diperkirakan
menyebabkan sekitar 35.000 kematian dalam setiap tahunnya. Sirosis hepatis
menempati urutan ke-14 penyebab tersering kematian pada orang dewasa di dunia.3
Menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi
sirosis hepatis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit
Dalam.4
Menurut penelitian Setiawan et al. di Amerika tahun 2016, menyatakan
bahwa penyebab utama sirosis hepatis di negara barat adalah alcoholic liver disease
(ALD), nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan Hepatitis C.5 Bhattarai et al.
di Nepal tahun 2017 menyatakan bahwa alcoholic liver disease sebagai penyebab
tersering.6 Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Kalista et al. tahun 2019
menemukan bahwa 51,8% disebabkan oleh hepatitis B.7 Hal ini juga didukung oleh
Chang et al. tahun 2015 di Singapura dan Qua et al. tahun 2011 di Malaysia
sebanyak 63,3% dan 46,1% adalah hepatitis B.8,9
Penelitian Patasik et al (2015) di RSUP Prof. Dr. D. Kandou Manado dari
Agustus 2012−Agustus 2014, mendapatkan bahwa pasien sirosis hepatis terbanyak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


adalah laki-laki (62,7%) dengan rentang usia terbanyak 50-59 tahun (31,4%).10
Penelitian yang dilakukan di Amerika juga menemukan hal serupa yakni, laki-laki
64,1% dengan usia >50th 62,2%. Penyebab sirosis hepatis terbanyak adalah
hepatitis B (13,7%) dan komplikasi paling sering adalah hipertensi portal yang akan
berkembang menjadi varises esophagus (37,8%).7, 11, 12
Bhattarai et al. di Nepal tahun 2017 menyatakan bahwa gejala paling banyak
adalah distensi abdomen (93,5%), asites (92,5%), anorexia (70,5%), lelah (60,5%),
perdarahan saluran cerna bagian atas (54,3%) dan muntah (52,5%). Sedangkan
tanda klinis terbanyak yang ditunjukkan adalah ikterus (74,2%), pucat (72,3%),
edem ekstremitas (60,5%), kerontokan rambut (59,3%) dan spider naevi (43,7%).6
Umumnya klinis sirosis hati muncul ketika seseorang sudah mengalami
sirosis hati dekompensata, yang ditandai dengan adanya hipertensi portal dan
penurunan fungsi hepatoselular atau sebagian besar pasien datang ketika sudah
muncul komplikasi dari sirosis hati. Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat
komplikasinya sehingga perlu memperbaiki kualitas hidup pasien sirosis dengan
pencegahan dan penanganan komplikasinya.1,2
Pasien dengan sirosis hepatis tidak hanya memiliki risiko tinggi berkembang
menjadi kanker liver, namun juga dapat berkembang menjadi malignansi extra
hepatal.13 Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya sehingga
perlu memperbaiki kualitas hidup pasien sirosis dengan pencegahan dan
penanganan komplikasinya.12
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
diagnosis, tatalaksana, komplikasi, prognosis sirosis hepatis.
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
dokter muda mengenai sirosis hepatis.
1.4 Metode Penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
dirujuk dari berbagai literatur.

BAB 2

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Istilah sirosis diberikan petama kali oleh Laennec tahun 1819, yang berasal
dari kata kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow), karena terjadi
perubahan warna pada nodul-nodul hati yang terbentuk.11 Sirosis hepatis adalah
penyakit hati kronik yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat
disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati
yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur
hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro akibat penambahan
jaringan ikat dan nodul tersebut.12
Sirosis hepatis merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis yang akan
menyebabkan penurunan fungsi hati dan perubahan bentuk hati dan disertai
penekanan pada pembuluh darah sehingga aliran darah vena porta terganggu yang
akhirnya menyebabkan hipertensi portal.11

2.2 Epidemiologi
Jumlah pasien sirosis hati di RS Dr. Sardjito Yogyakarta berkisar 4,1 % dari
pasien yang dirawat di bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004).
Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819
(4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.11
Menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata
prevalensi sirosis hati adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit
Dalam, atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.
Perbandingan prevalensi sirosis pada pria banding wanita adalah 2,1:1 dan usia
rata-rata 44 tahun. Data di Kota Padang menunjukkan bahwa di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 1 Januari 2011 sampai 31
Desember 2013, terdapat 304 kasus sirosis hepatis.11
Bhattarai et al. di Nepal tahun 2017 menyatakan bahwa 72,5% adalah laki-
laki dengan usia rata-rata adalah 54 tahun.6,7 Chang et al. tahun 2015 di Singapur
menemukan hal serupa, yakni laki-laki 63,8% dengan rata-rata usia 60,9 tahun.8

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


Qua et al. tahun 2011 di Malaysia menemukan bahwa ras Chinese sebanyak 59,65
disusul oleh ras malay 20,9% dan terakhir yakni ras Indian 19,6%.9

2.3 Etiologi
Menurut penelitian Setiawan et al. di Amerika tahun 2016, menyatakan
bahwa penyebab utama sirosis hepatis di negara barat adalah alcoholic liver
disease, non-alcoholic fatty liver disease dan Hepatitis C. 9 Bhattarai et al. di Nepal
tahun 2017 menyatakan bahwa alcoholic liver disease sebagai penyebab tersering.6
Zhou et al.tahun 2014 di Cina menyebutkan bahwa NAFLD atau non-alcoholic
fatty liver disease telah berkembang menjadi penyebab utama sirosis hepatis di
negara barat, seperti amerika dimana prevalensi sirosisnya mencapai 30% dari
keseluruhan populasi.15
Di region Asia Pasifik, hepatitis B kronik masih menjadi masalah endemik,
sehingga menjadi penyebab paling banyak sirosis hepatis. Namun etiologi dari
sirosis hepatis bervariasi tergantung dari regionnya. Contohnya di Jepang, hepatitis
C menjadi penyebab utama sirosis hepatis dan kanker liver.8
Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, disebutkan bahwa virus hepatitis
B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C sebesar 30-40%,
sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui. Alkohol sebagai penyebab sirosis
di Indonesia diduga frekuensinya sangat kecil walaupun belum terdapat data yang
menunjukkan hal tersebut. 9
Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Kalista et al. tahun 2019
menemukan bahwa 51,8% disebabkan oleh hepatitis B.7 Hal ini juga didukung oleh
Chang et al. tahun 2015 di Singapur sebanyak 63,3% .8 Qua et al. tahun 2011 di
Malaysia menemukan bahwa paling banyak 46,1% adalah hepatitis B, diikuti oleh
18,5% hepatitis C, criptogenik 15,4%, dan alcohol 12,6%.9 Etiologi lain dari sirosis
hepatis adalah kelainan genetik seperti hemokromatosis, Wilson’s disease, sirosis
biliaris primer, kolangitis sklerosis primer, dan hepatitis autoimun. Beberapa
penyebab lainnya adalah idiopatik atau disebut juga dengan kriptogenik.17

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


2.4 Patofisiologi
Terdapat beberapa karakteristik patologikal yang umum ditemukan pada
pasien sirosis, yakni proses degenerasi dan nekrosis hepatosit, pembentukan
jaringan fibrosis pada parenkim hati, nodul regenerative dan kehilangan fungsi
normal. Fibrosis merupakan faktor precursor dari sirosis, dimana berperan penting
dalam proses patologikal dari pembentukan semua penyakit kronik liver hingga
sirosis.17 Liver terbentuk dari sel parenkim (hepatosit) dan sel non parenkim.
Dinding sinusoid hepatik terbentuk dari tiga jenis sel non parenkim, yakni liver
sinusoidal endothelial cells (LSEC), Kupffer cells (KC), dan hepatic stellate cells
(HSC). Sel parenkim dan sel non parenkim memiliki peranan dalam inisiasi dan
progresivitas pembentukan fibrosis dan sirosis.17
Hepatic Stellate Cells (HSC) berfungsi sebagai penyimpan vitamin A dan
retinoid lainnya. Sel stelata akan mengalami aktivasi jika terpapar sitokin inflamasi
seperti platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factor (TGF)-
β, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan interleukin (IL)-1. Pengaktivasian sel stelata
memiliki peranan penting dalam pembentukan fibrosis. Sel stelata akan
berpoliferasi, berubah menjadi miofibroblas, pembentukan kolagen dan matriks
ekstraselular hingga berkembang menjadi fibrosis hati.17
Liver Sinusoidal Endothelial Cells (LSEC) membentuk dinding
sinusoidal, atau disebut dengan lapisan endotelium atau endotelial. Karakteristik
LSEC adalah adanya fenestra di permukaan endothelium. Fenestra berfungsi
sebagai barrier, homeostasis dan mekanisme pertahanan endotelial. Pada
penyalahgunaan alkohol kronik dapat terjadi defenestrasi, dimana fenestra akan
berkurang. Defenstrasi pada lapisan endothelium akan menyebabkan penyimpanan
retinol berkurang, sehingga akan mengaktivasi dan mengubah sel stelata
membentuk miofibroblast dengan peningkatan produksi matriks ekstra selular
sehingga terbentuklah fibrosis perisinusoidal dan menajdi sirosis.17
Kupffer cells (KC) dikenal juga sebagai Browicz-Kupffer cells dan stellate
macrophages, merupakan makrofag khusus yang berlokasi di lapisan sinusoid yang
akan membentuk system retikuloendotelial (RES). Saat sel kupffer teraktivasi,
maka akan terjadi penghancuran hepatosit dan menimbulkan reaksi inflamasi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


Selanjutnya sel Kupffer akan mengaktivasi sel stelata dan membentuk lapisan
kolagen yang selanjutnya akan menyebabkan fibrosis.17

2.5 Klasifikasi Sirosis Hepatis


Berdasarkan Konsensus Baveno IV, Klasifikasi sirosis hati dapat dibagi menjadi 4
berdasarkan ada tidaknya varises, asites, dan perdarahan varises.
a. Stadium I : tidak ada varises, tida kada asites
b. Stadium II : varises (+), tidak ada asites
c. Stadium III : asites dengan atau tanpa varises
d. Stadium IV : perdarahan dengan atau tanpa asites
Stadium I dan II merupakan kelompok sirosis kompensata, sementara
stadium III dan IV adalah kelompok sirosis dekompensata.
Secara morfologi sirosis hepatis jarang diklasifikasikan karena sering tumpan tindih
satu sama lain:18
1. Makronoduler (ireguler, multilobuler)
2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

2.6 Gejala dan Tanda Sirosis Hepatis


Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan
ketika pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit lain.
Perjalanan sirosis hepatic lambat, asimtomatis dan sering kali tidak dicurgiai
sampai adanya komplikasi penyakit hati.11
Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan
lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan
menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Jika sudah lanjut menjadi sirosis
dekompensata, gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan
tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi, adanya gangguan siklus haid, ikterus
dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/ atau melena, serta
perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


hingga koma.11,18

Manifestasi Klinis
a. Ikterus
Sekitar 60% pendeita sirosis mengalami icterus selama perjalanan
penyakitnya, walaupun pada keadaan minimal. Hyperbilirubinemia tanpa ikterus
lebih sering ditemukan. Penderita dapat menjadi ikterus selama fase dekompensata
yang disertai adanya gangguan fungsi hati. Ikterus intermiten merupakan gambaran
khas pada sirosis biliaris dan terjadi bila timbul peradangan aktif hati dan saluran
empedu. Pada keadaan hypoalbuminemia ditemukan perubahan kuku-kuku
Muehrcke berupa pita putih horizontal yang dipisahkan dengan warna normal kuku.
Akan tetapi tanda ini juga ditemukan pada keadaan album rendah lain seperti pada
sindroma nefrotik.11
b. Gangguan endokrin
Gangguan endokrin sering terjadi pada keadaan sirosis akibat terganggunya
metabolisme hormon korteks adrenal, testis, dan ovarium. Kelebihan hormon
estrogen di dalam darah dapat menimbulkan terjadinya spider nevi, atrofi testis dan
ginekomastia (pada laki-laki), alopesia pada dada dan aksila, serta palmar eritem.
Angioma laba-laba merupakan suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena
kecil, sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Palmar eritem dijumpai
dalam bentuk warna merah saga pada thenar dan hypothenar telapak tangan. 11
c. Ganguan hematologik
Gangguan hematologi yang sering terjadi adalah kecenderungan perdarahan
,anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Penderita sering mengalami perdarahan
hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar. Hal ini dapat terjadi akibat
berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Anemia, leukopenia,
dan trombositopenia terjadi akibat hipersplenisme, dimana limpa tidak hanya
membesar,tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi.11
d. Edem perifer
Edem perifer biasanya terjadi setelah munculnya gejala asites. Keadaan ini
disebabkan oleh keadaan hipoalbuminemia dan retensi garam dan air. Retensi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


garam dan air terjadi akibat kegagalan sel hati mengkatifkan aldosterone dan
hormone antidiuretik.11
e. Gangguan neurologis
Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut adalah koma
hepatikum yang terjadi akibat kelainan metabolism ammonia dan peningkatan
kepekaan otak terhadap toksin. 11
f. Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan vena porta yang menetap,
dengan nilai normal 6-12 cmH2O. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan
resistensi aliran darah yang melalui hati. Selain itu, juga terjadi peningkatan aliran
pada arteri splangnikus. Kombinasi kedua faktor tersebut akan menurunkan aliran
keluar melalui vena hepayika dan meningkatkan aliran masuk bersamaan dengan
peningkatan beban yang berlebihan pada sistem portal. Pembebanan berlebihan
sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral untuk menghindari
obstruksi hepatic (varises). 11
Peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus akibat hipertensi porta
dan penurunan tekanan osmotic koloid akibat hypoalbuminemia menyebabkan
terjadinya asites. Faktor lain yang berperan adalah adalah retensi natrium dan air
serta peningkatan sintesis dan aliran limfe hati. Saluran kolateral penting yang
timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada esophagus bagian bawah.
Aliran darah balik melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi vena
tersebut (varises esophagus). Varises esophagus terjadi pada sekitar 70% penderita
sirosis lanjut. Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superfisial dinding abdomen
dan timbulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilicus
(kaput medusa).
g. Asites
Asites adalah komplikasi dan penyebab paling umum rawat inap pasien
sirosis, selain itu juga merupakan komplikasi yang dapat ditangani dengan lebih
baik di rumah. Hipertensi portal, penurunan sintesis albumin, penurunan plasma
tekanan onkotik, dan retensi natrium merupakan faktor penyebab asites.19
Asites terjadi bila terdapat peningkatan sejumlah cairan di kavitas
peritonium dan merupakan manifestasi tahap lanjut dari sirosis dan hipertensi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


portal. Tidak jarang ditemui seseorang dengan sirosis stadium lanjut dengan jumlah
cairan asites sebanyak 15 L atau lebih. Hal tersebut juga sering disertai dengan rasa
tidak nyaman di perut, sesak, insomnia, serta kesulitan dalam berjalan dan
tergantung pada orang lain untuk kegiatan sehari-hari. 20
Gejala lain yang ditemukan adalah kontraktur dupuytren yang terjadi akibat
fibrosis fasia palmaris yan menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari. Selain itu, juga
ditemukan gejala fetor hepatikum yang merupakan bau nafas khas pada pasien
sirosis akibat meningkatnya konsentrasi dimetil sulfid.
Menurut Price (2006), tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:21
1. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia
sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika
liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk
beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama
perjalanan penyakit
2. Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis.
Ketika hepar kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk
pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan
tekanan hidrostatik pada kapiler usus. Edema umumnya timbul setelah timbulnya
asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
3. Hati yang membesar.
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar
sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila
ditekan.
4. Hipertensi portal.
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang menetap di
atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap
aliran darah melalui hati.

2.7 Pendekatan Diagnosis


Pada stadium kompensata sempurna terkadang sulit menegakkan diagnosis
sirosis hati. Pada proses lebih lanjut yaitu stadium kompensata, diagnosis dapat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium
biokimia/ serologi dan pemeriksaan pencitraan lainnya. Pada stadium
dekompensata diagnosis tidak terlalu sulit karena gejala dan tanda klinis biasanya
sudah tampak dengan adanya komplikasi. Baku emas untuk diagnosis sirosis hati
adalah biopsi hati melalui perkutan, transjugular, laparoskopi, atau dengan biopsi
jarum halus. Biopsi tidak diperlukan bila secara klinis, pemeriksaan laboratorium,
dan radiologi menunjukkan kecenderungan sirosis hati. Walaupun biopsi hati
risikonya kecil tapi dapat berakibat fatal misalnya perdarahan dan kematian.
1. Anamnesis
Hal yang perlu dipertanyakan adalah awal mula perjalanan penyakit dan riwayat
yang berhubungan dengan resiko sirosis hati, berupa:11
a Riwayat penyakit terdahulu: metabolik sindrom, hepatitis, nonalkoholik
fatty liver disease
b Konsumsi alkohol yang berlebihan
c Tepapar oleh bahan-bahan yang bersifat hepatotoksik
d Penggunaan obat-obatan yang bersifat hepatotoksik: isoniazid, paracetamol.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan beberapa gambaran klinis:
a. Spider nevi (atau spider telangiektasi)
Suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena kecil. Tanda ini sering
ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya belum diketahui
dengan pasti, diduga terkait dengan peningkatan kadar estradiol dan testosteron. 11
b. Eritema Palmaris
Warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Tanda ini tidak
spesifik pada sirosis, hal ini dikaitkan juga dengan perubahan metabolisme hormon
estrogen. Eritema palmaris ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid,
hipertiroidisme, dan keganasan hematolog.22

c. Muehrcke

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


Perubahan pada kuku-kuku terdapat Muehrcke berupa pita putih horisontal
dipisahkan dengan warna normal kuku d. Jari gada, lebih sering ditemukan pada
sirosis bilier
d. Kontaktur Dupuytren
Akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan
dengan alkoholisme tetapi tidak spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga
bisa ditemukan pada pasien diabetes melitus, distrofi refleks simpatetik, dan
perokok yang juga mengkonsumsi alkohol. 22
e. Ginekomastia
Secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae pada laki-
laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga
hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami
perubahan ke arah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat
berhenti sehingga dikira fase menopause. 22
f. Atrofi testis hipogonadisme
Menyebabkan impotensi dan infertil. Menonjol pada alkoholik sirosis dan
hemakromatosis.22
g. Perubahan ukuran hati
Pada palpasi, hati teraba lebih keras dan berbentuk lebih tidak teratur darpiada hati
normal. 22
h. Splenomegali
Sering ditemukan pada sirosis yang penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini
akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.
i. Asites
Penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan
hipoalbumimenia.
j. Fetor hepatikum
Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi
dimetil sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat.
k. Ikterus

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


Pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin
Dalam darah lebih dari 2-3 mg/dl. Akibat hiperbilirubinemia Warna urin terlihat
gelap seperti air teh.
3. Pemeriksaan Laboratorium 22
a. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus.
Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang (urine
kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome
hepatorenal.
b. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi
pigmen empedu rendah.Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam
usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja
berwarna cokelat atau kehitaman.
c. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang –kadang
dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folat dan vitamin B12
atau karena splenomegali. Jika penderita pernah mengalami perdarahan
gastrointestinal akan ditemukan anemia hipokrom. Juga dijumpai leukopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita
yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik,
sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16
gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per
hari. Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL. Jumlah albumin dan globulin
yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein
serum. Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. Selain itu,
kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk
mendeteksi kelainan hati secara dini.

3. Sarana Penunjang Diagnostik

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dilakukan adalah pemeriksaan foto toraks,
splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP).
b. Ultrasonografi (USG)
Untuk mendeteksi sirosis hati penggunaan ultrasonografi kurang begitu sensitif
namun cukup spesifik bila penyebabnya jelas. Gambarannya memperlihatkan
ekodensitas hati meningkat dengan ekostruktur kasar homogen atau heterogen pada
sisi superficial, sedangkan pada sisi profunda ekodensitas menurun. Dapat dijumpai
pula pembesaran lobus caudatus, splenomegali, dan vena hepatika gambaran
terputus-putus. Hati mengecil dan splenomegali, asites tampak sebagai area bebas
gema (ekolusen) antara organ intra abdominal dengan dinding abdomen.
c. MRI dan CT Scan
Pemeriksaan MRI dan CT kovensional bisa digunakan untuk menentukan
derajat beratnya sirosis hati, misal dengan menilai ukuran lien, asites, dan kolateral
vaskular. Ketiga alat ini juga dapat untuk mendeteksi adanya karsinoma
hepatoselular.11
d. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hepatis akan
jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau
kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali
didapatkan pembesaran limpa.
e. Biopsi
Baku emas untuk diagnosis sirosis hati adalah biopsi hati melalui perkutan,
transjugular, laparoskopi, atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi tidak diperlukan
bila secara klinis, pemeriksaan laboratorium, dan radiologi menunjukkan
kecenderungan sirosis hati. Walaupun biopsi hati risikonya kecil tapi dapat
berakibat fatal misalnya perdarahan dan kematian. 23

2.8 Tatalaksana
Sekali diagnosis sirosis hati ditegakkan, prosesnya akan berjalan terus tanpa
dapat dibendung. Usaha-usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan untuk
mencegah timbulnya komplikasi. Membatasi kerja fisik, tidak minum alkohol, dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


menghindari obat-obat dan bahan-bahan hepatotoksik merupakan suatu keharusan.
Jika tidak ada koma hepatic diberikan diet yang mengandung protein 1g/KgBB dan
kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.
1. Sirosis kompensata
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk
mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan
etiologi, diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat
mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin.
Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Penyakit hati
nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis.
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan
terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral
setiap hari selama satu bulan. Namun pemberian lamivudin setelah 9- 12 bulan
menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa
diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan,
namun ternyata juga banyak yang kambuh.
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar.Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU
tiga kali seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6 bulan.
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik
akanmerupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stellata
bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek
antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga
dicobakan sebagai antifibrosis.
2. Sirosis Dekompensata
Pada stadium dekompensata, tujuan dari pengobatan adalah mengobati atau
meminimaliasasi dari komplikasi penyakit sirosis, berupa:11
2.1 Tabel tatalaksana sirosis dekompensata

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


Komplikasi Terapi Dosis
Asites Tirah Baring
Diet rendah garam 5,2 gr / 90 mmol/hari
Obat antidiuretik: diawali -100-200 mg /hari
spironolakton, bila respon tidak maks 400 mg.
adekuat dikombinasi dengan -20-40 mg/hari maks
furosemide 160mg/hari.
Parasintesis bila asites sangat 8-10 g IV / liter cairan
besar, hingga 4-6 liter& parasintes (jika> 5 L)
dilindungi pemberian albumin
Restriksi cairan Direkomendasikan
jika natrium serum
kurang 120-125
mmol/L
Ensefalopati Laktulosa 30-45 mL sirup oral
hepatikum 3-4 kali/hari tau 300
mL enema sampai 2-4
kali BAB/hari dan
perbaikan status
mental
Neomisin 4-12 g oral/hari dibagi
tiap 6-8 jam, dapat
ditambahkan pada
pasien yang refrakter
laktulosa
Varises esophagus Propanolol 40-80 g oral/hari
Isosorbid mononitrat 20 mg oral 2 kali/hari
Saat perdarahan akut diberikan
somatostatin atau okreotid
diteruskan skleroterapi atau
ligase endoskopi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


Peritonitis bakterial Pasien asites dg jumlah PMN
spontan >250/mm3 mendapat
profilaksis untuk mencegah
PBS dg sefotaksim dan
albumin
Albumin 2g IV/ 8 jam
Norfloksasin -1.5 g / kg IV dalam 6
jam, 1g/kg IV hari ke
3
-400 mg oral 2 kali/
hari untuk terapi, 400
mg oral 2 kali/hari
selama 7 hari untuk
perdarahan
gastrointestinal, 400
mg oral/hari untuk
profilaksis.
Trimethoprim/Sulfamethoxazol 1 tab/ oral/ hr untuk
profilaksis, 1 tab/ oral
2kali/hr selama 7 hari
untuk perdarahan
gastrointestinal
Sindrom Transjugular intrahepatic portosystemik shunt efektif
hepetorenal/ HRS menurunkan hipertensi porta dan memperbaiki HRS,
serta menurunkan perdarahan gastrointestinal. Bila
terapi medis gagal dipertimbangkan untuk transplantasi
hati merupakan terapi definitife.

2.9 Komplikasi
Komplikasi sirosis hati yang utama adalah hipertensi portal, asites,
peritonitis bakterial spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorena,
enselopati hepatikum, dan kanker hati.1 Pada sindrom hepatorenal, terjadi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


gangguan fungsi ginjal akut berupa oligouri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa
adanya kelainan organik ginjal.11
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat
pada penurunan filtrasi glomerulus.6 Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah
varises esophagus, 20 sampai 40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah
yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak
duapertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan
tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan berbagai cara.
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi
hati.Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat
16 timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.
Sirosis, apapun penyebabnya, meningkatkan risiko kanker hati primer
(hepatocellular carcinoma). Istilah primer menunjukkan tumor berasal dari hati.
Kanker hati sekunder merupakan kanker hati yang berasal dari penyebaran kanker
dari tempat lain dalam tubuh (metastasis). Keluhan terbanyak kanker hati primer
adalah nyeri perut, pembengkakan, pembesaran hati, penurunan berat badan, dan
demam. Sebagai tambahan, kanker hati dapat memproduksi dan melepaskan
sejumlah bahan yang menimbulkan berbagai kelainan : peningkatan sel darah
merah (eritrositosis), gula darah yang rendah (hipoglikemia), dan kalsium darah
yang tinggi (hiperkalsemia).

2.10 Prognosis
Perjalanan alamiah sirosis hati tergantung pada sebab dan penanganan
etiologi yang mendasari penyakit. Beberapa sistem skoring bisa dipakai untuk
menilai keparahan han menetukan prognosisnya. Sistem skoring ini antara lain skor
Chid Turcotte Pugh (CTP) dan Model end stage liver disease (MELD) yang
digunakan untuk evaluasi pasien dengan rencana transplantasi hati.19
Variabel yang dinilai pada Child-Pugh meliputi konsentrasi bilirubin,
albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasinya
terdiri dari Child A (5-6 poin), B (7-9 poin), dan C (10-15 poin). Klasifikasi Child-
Pugh berkaitan dengan angka kelangsungan hidup selama satu tahun pada pasien.
Angka kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk penderita sirosis dengan Child-

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


Pugh A, B, dan C diperkirakan masing-masing 100%, 80, dan 45%. Sementara
angka kelangsungan hidup 2 tahun masing-masing sekitar 85%, 60%, dan 35%.

Tabel 2.2. Skor Child-Pugh


A B C
Serum Bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3
Serum Albumin > 3,5 2,8 – 3,5 < 2,8
Asites Tidak ada Mudah dikontrol Sulit dikontrol
Gangguan Neurologi Tidak ada Minimal Koma Lanjut
Waktu Protrombin <4 4– 6 >6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


BAB 3
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama/Kelamin/Umur : Tn. SA/ Laki-Laki/ 60 tahun
b. Pekerjaan/ Pendidikan : Pekebun/ Tidak pernah sekolah
c. Alamat : Pulau Pandan, Kerinci
d. No MR : 01. 10. 57.08

2. Keluhan Utama:
Perut yang semakin membesar sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.

3. Riwayat Penyakit Sekarang:


● Perut yang semakin membesar sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit, disertai dengan sesak. Sesak tidak berkurang dengan istirahat, sesak
tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, dan makanan.
● Kedua tungkai dirasakan sembab sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
● BAB warna hitam ada sejak masuk rumah sakit
● BAB bercampur darah disangkal.
● BAK berwarna teh pekat disangkal.
● Penurunan nafsu makan (+) sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
● Penurunan berat badan ada, sebanyak kurang lebih 9 kg dalam 2 bulan
sebelum masuk rumah sakit.
● Mual dan muntah disangkal
● Demam tidak ada
● Riwayat transfusi darah (-)
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
● Riwayat hepatitis (-)
● Riwayat hipertensi (-)
● Riwayat penyakit jantung (-)
● Riwayat DM (-)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga dengan riwayat hepatitis, DM, hipertensi, penyakit jantung,
dan penyakit ginjal.

6. Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan


● Pasien seorang pekebun
● Riwayat mengonsumsi rokok (+), minuman beralkohol (-)

7. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 106/71 mmHg
Frekuensi Nadi : 81 kali/menit, regular, kuat angkat, pengisian cukup
Frekuensi Napas : 20 kali/menit, tipe pernapasan abdominothorakal
Suhu : 36,7OC
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 51 kg
Pemeriksaan Sistemik
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal, ikterus
(-), sianosis (-), spider nevi (-) pada dada, telapak tangan dan kaki pucat (-),
pertumbuhan rambut normal.
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula,
supraklavikula, infraklavikula, aksila, inguinalis.
Kepala
Bentuk normochepali, simetris, deformasi (-), rambut hitam, lurus, tidak
mudah dicabut.
Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum tidak deviasi dan tulang-tulang
dalam perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan,
pernapasan cuping hidung (-), sekret (-).
Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan (-), nyeri tekan
processus mastoideus (-), pendengaran baik.
Mulut
Pembesaran tonsil (-), pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah
(-), stomatitis (-), bau pernafasan khas (-).
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak
ada, JVP (5-1) cmH2O, kaku kuduk (-).
Thoraks
Bentuk dada simetris, spider nevi (-).
Paru-paru

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


I : Dada simetris sisi kanan dan kiri, pergerakan dada sisi kanan dan kiri
sama
P : Fremitus kanan beda dengan kiri
P : sonor
A: Suara napas bronkovesikuler, ronkhi (-/-) pada basal paru, wheezing
(-/-).
Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus codis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
P : batas atas RIC II, batas jantung kanan linea parasternalis dextra,
batas
jantung kiri RIC V linea midclavicularis sinistra
A: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : membuncit (+), Vena kolateral (+)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


P: Nyeri tekan (-), Nyeri Lepas (-), Undulasi (+)
Hepa : tidak teraba
Lien: pembesaran S1
Ginjal: tidak teraba
P: timpani, shifting dullness (+)
A: Bising Usus (+)
Alat kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Ekstremitas atas: nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi
normal, telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-),
eritema palmaris (+), sianosis (-), Flapping tremor (-)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


Ekstremitas bawah : nyeri sendi (-), edema (+/+) pada kedua tungkai,
jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), turgor kembali lambat (+),
akral pucat (-), sianosis (-).

8. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Darah Rutin (24-5-2021)
Hb : 9,7 gr/dl
Leukosit : 10.07
Trombosit : 330.000
Kesan : Anemia, leukositosis dengan neutrofilia shift to the
right

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


Pemeriksaan Darah Rutin (24-5-2021)
Hb : 9,7 gr/dl
Leukosit : 10.07
Trombosit : 330.000
Hematokrit : 30
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan kimia klinis
Albumin : 2.3 g/dL
Globulin : 3.9 g/dL
Bilirubin total : 2.0 mg/dL
Bilirubin direct : 1.5 mg/dL
Ureum : 30
Kreatinin : 0.6
Natrium : 127
Kalium : 3.5
Pemeriksaan biomarker hepatitis
- HbsAg : Reaktif
9. Diagnosis Kerja
● Asites ec Susp Sirosis Hepatis
● Anemia ringan ec perdarahan akut
10. Diagnosis Banding
● Anemia ec penyakit kronis
● Asites ec keganasan
● Tumor Hepar primer
● Tumor Hepar sekunder
● CHF
● Sindroma Nefrotik

11. Rencana Terapi


● Diet Hepar III, diet rendah garam
● IVFD Aminofusin hepar 12 jam/kolf
● Spironolacton 1x100mg PO

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


● Furosemide 1 x 40 mg PO
● Lactulac syrup 3x1

12. Pemeriksaan Anjuran


● Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis leukosit
● Tes darah samar
● Pemeriksaan Faal Hati ( SGOT, SGPT, protein total, albumin, globulin,
bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek)
● Pemeriksaan faal hemostasis (PT, APTT, INR)
● Pemeriksaan imunologi-serologi (Anti HCV, HBsAg)
● Analisa cairan Asites
● USG Abdomen
● EsofagoGastroDuodenoskopi

13. Follow Up
Tgl S O A P
25 Perut KU: sedang - Asites ec Sirosis - Diet Hepar III, diet
Mei membuncit Kes: CMC Hepatis rendah garam
2021 (+), badan TD: 120/80 - Anemia sedang ec - IVFD Aminofusin
terasa lemah. Nadi: 80 perdarahan akut hepar 12 jam/kolf
Nafas: 20 DD/ Anemia - Spironolacton
Suhu: 36,8 sedang ec penyakit 1x100mg PO
Mata : konjungtiva kronik - Furosemide 1 x 40 mg
anemis -/-, sklera PO
ikterik +/+ - Lactulac syrup 3x1
Thorax: Cor: BJ I - Pemeriksaan labor
dan II regular, bising lengkap
(-), Pulmo: dada - HBsAg dan Anti
simetris kiri-kanan, HCV
pergerakan dada
sama kiri-kanan,
suara napas

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


bronkovesikuler,Rh -
/-, Wh-/-
Abdomen: hepar
tidak teraba, lien S1.
Shifting dullness (+)
Ekstremitas: edema
tungkai (+/+)
27 Perut KU: sedang - Sirosis Hepatis - Diet Hepar II, diet
Mei membuncit Kes: CMC - Anemia sedang ec rendah garam
2021 (+), badan TD: 110/60 penyakit kronik - IVFD Aminofusin
terasa lemah. Nadi: 92 hepar 12 jam/kolf
Nafas: 22 - Spironolacton
Suhu: 36,0 1x100mg PO
Mata : konjungtiva - Furosemide 1 x 40 mg
anemis +/+, sklera PO
ikterik +/+ - Lactulac syrup 3x1
Thorax: Cor: BJ I - Tes darah samar
dan II regular, bising - EGD
(-), Pulmo: dada - USG Abdomen
simetris kiri-kanan,
pergerakan dada
sama kiri-kanan,
suara napas
bronkovesikuler,Rh -
/-, Wh-/-
Abdomen: hepar
tidak teraba, lien S1.
Shifting dullness (+)
Ekstremitas: edema
tungkai (+/+)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


BAB 4
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki Tn. SA usia 60 tahun dari Pulau Pandan, Kerinci
datang ke RSUP Dr. M. Djamil Padang. Pasien datang dengan keluhan utama perut
yang semakin membesar sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Perut yang
membesar dapat memberikan tanda adanya kelainan pada organ dalam abdomen
mulai dari penyakit infeksi sampai keganasan atau bahkan penyebab dari luar
abdomen, oleh karena itu untuk memperkuat perkiraan penyebab dan mengeklusi
diagnosis banding secara klinis dilakukan anamnesis lanjutan, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
Pasien merasakan perut yang semakin membesar sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit disertai dengan sesak, sesak tersebut tidak berkurang dengan
istirahat dan tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, dan makanan. Selain itu, kedua
tungkai pasien dirasakan sembab sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. BAB
berwarna hitam juga ada sejak masuk rumah sakit, Bab bercampur darah disangkal,
dan BAK berwarna the pekat disangkal. Pasien menyebutkan tidak pernah sakit
parah dan lama sebelumnya dan belum pernah dirawat di rumah sakit. Pasien juga
menyebutkan bahwa ia mengalami penurunan berat badan kurang lebih 9kg dalam
2 bulan terakhir. Pasien memiliki riwayat mengonsumsi rokok 2 bungkus per hari
sejak usia 14 tahun dan berhenti sejak 2 bulan lalu.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan sklera ikterik dan konjungtiva anemis
pada pasein, hal ini menunjukkan kadar bilirubin yang tinggi dan terjadi anemia
pada pasien. Pada pemeriksaan paru, ditemukan perbedaan antara fremitus kiri dan
kanan, fremitus kanan meningkat daripada fremitus kiri. Pada pemeriksaan
abdomen, terlihat perut membuncit dan terdapat vena kolateral. Tidak terdapat
nyeri tekan dan nyeri lepas, teapi terdapat undulasi, shifting dullness, dan bising
usus. Pada pemeriksaan ekstremitas atas, ditemukan eritema palmaris dan pada
pemeriksaan ekstremitas bawah ditemukan edema pada kedua tungkai dan turgor
kembali lambat.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan kepada
pasien, secara klinis diperkirakan bahwa kemungkinan telah terjadi gangguan hati

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


yang kronik pada pasien. Hal ini berdasarkan patofisiologi yang mendasari, dapat
terlihat bahwa manifestasi klinis yang muncul terjadi akibat peningkatan tekanan
pada sistem porta dan juga adanya kegagalan pada hati akibat proses inflamasi pada
parenkim hepar sehingga menimbulkan fibrosis yang bersifat irreversible.
Keluhan pasien mengena gejala perut yang semakin membesar saat ini
kemungkinan telah terjadi suatu proses kerusakan hepatosit yang menimbulkan
terjadinya fibrosis akibat hepatitis. Inflamasi pada hepatitis dapat disebabkan oleh
proses infeksi atau non infeksi. Inflamasi akibat infeksi banyak terjadi karena virus
hepatitis kronik B dan C yang dapat berlanjut kerusakannya sampai ke sirosis hepar
bahkan sampai keganasan, selain itu kondisi non infeksi yang dapat menimbulkan
hepatitis adalah kebiasaan konsumsi alcohol dan non alkoholic fatty liver disease
seperti bisa pada kondisi diabetes mellitus. Berdasarkan hasil anamnesis, pasien
mengaku bahwa ia tidak mengonsumsi alcohol serta mengaku tidak memiliki
penyakit lain yang berat seperti jantung, hipertensi maupun diabetes mellitus,
sehingga untuk sementara dapat diasumsikan bahwa pasien kemungkinan terjadi
hepatitis akibat virus B atau C.
Kerusakan hepatosit akibat virus dan atau lainnya menimbulkan kegagalan
hepar untuk melakukan metabolisme bilirubin sehingga meningkat di darah,
sehingga jaringan dibawah kulit dan sclera jadi berwarna kekuningan. Pasien
mengaku bahwa ia tidak melakukan pengobatan, sehingga kemungkinan jika
kondisi imun tubuh pasien rendah dan atau viral load yang tinggi maka proses
inflamasi akan terjadi terus menerus sehingga hepatosit akan semakin banyak yang
rusak dan proses fibrosis terus berlanjut dan tidak dapat dikembalikan seperti
semula. Jika terus berlanjut, fibrosis dapat mencapai tahap akhir yaitu terjadi
sirosis.
Selain gangguan pada fungsi hati, akibat perjalanan penyakit ini juga
menimbulkan adanya hipertensi porta yang disebabkan karena jaringan fibrosis
sleain pada parenkim juga terjadi pada pembuluh darah dan juga biliar. Peningkatan
tekanan vena porta pada pasien secara klinis ditunjukkan dengan adanya udem pada
kedua tungkai, proses balik cairan ke jantung akan sulit akibat peningkatan tekanan
porta sehingga tekanan hidrostatik pada tungkai meningkat mendorong cairan
intravaskuler ke interstitial. Proses ini juga merupakan kombinasi dari adanya

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


gangguan hepar sehingga produksi albumin juga menurun dan membuat tekanan
onkotik menjadi menurun. Hal yang sama terjadi juga pada proses terjadinya asites
pada pasien sesuai dengan patofisiologi.
Hasil penemuan lokalis yang bermakna terutama pada abdomen yang
mendukung dugaan juga ditemukan. Pada pemeriksaan yang dimulai dengan
inspeksi terlihat perut membuncit dengan shifting dullness yang positif dan
menandakan telah terjadi asites. Pada perkusi dan shifting dullness positif sehingga
asites postif dan pada auskultasi tidak ditemukan kelainan.
Pada hasil pemeriksaan fisik, dapat ditemukan temuan yang memperkuat
perkiraan awal. Untuk mengkonfirmasi temuan pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik maka dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang sederhana pada labor yang
tersedia di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Dalam hal ini pemeriksaan
penunjang awal tetap dimulai dari labor rutin yaitu pemeriksaan daranh rutin. Pada
darah rutin ditemukan pasien kesan anemia, dengan leukosit tinggi.
Setelah itu dapat dilakukan pemeriksaan penunjang penting lainnya seperti
pemeriksaan bilirubin, kimia klinik, elektrolit, dan analisa gas darah. Pada
pemeriksaan bilirubin, ditemukan bilirubin total dan bilirubin direk meingkat. Pada
pemeriksaan kimia klinik, ditemukan total protein dan albumin menurun,
sedangkan globulin meningkat, terjadi kebalikan rasio. Padapemeriksaan elektrolit
ditemukan kadar natrium, kalium, dan klorida yang menurun.
Selain itu, pemeriksaan biomarker untuk penanda hepatitis juga dilakukan
pada pasien untuk membuktikan kecurigaan awal. Pada pasien ditemukanAnti HCV
negative dan HbsAg yang positif. Hal ini menandakan bahwa memang terbukti
terjadi hepatitis yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B yang telah terjadi
secara kronis.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, dapat ditegakkan diagnosis sirosis hepatis post nekrotik stadium
dekompensta dengan diagnosa banding hepatoma. Setelah diagnosis ditegakkan,
maka penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun
tujuan penatalaksanaan dari sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata ini
adalah menurunkan progresifitas penyakit, menghindari bahan-bahan yang
meningkatkan kerusakan hati, dan menanganani komplikasi yang terjadi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


Saat melakukan tatalaksana terdapat rekomendasi pemeriksaan lain yang
harus diberikaan pada pasien seperti pemeriksaan AFP dan USG untuk skrining
Hepato Cellular Carcinoma karena sirosis merupakan kelompok risiko berat untuk
terjadi hepatoma dan pemeriksaan biopsi hepar.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


DAFTAR PUSTAKA
1. Tsao GG, Lim J, 2009. Management and treatment of patients with cirrhosis
and portal hypertension: recommendations from the department of veterans
affairs hepatitis C resource center program and the national hepatitis C
program. American Journal of Gastroenterology; 104: 1802-92.
2. Kamath PS dan Shah VH. Gastrointestinal and Liver Disease 10th ed. Elsevier.
2016
3. Tsochatzhis EA, Bosch J, Burroughs AK. Liver cirrrhosis. The Lancet. 2014;
383 (9930): 1749-61.
4. PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia). Sirosis hati. 2013. http://pphi-
online.org/alpha/?p=570.
5. Setiawan VW, Stram DO, Porcel J, Lu SC, Marchand LL, Noureddin M.
Prevalence of chronic liver disease and cirrhosis by underlying cause in
understudied ethnic groups: the multiethnic cohort. Hepatology.
2016;64(6):1969–77
6. Bhattarai S, Gyawali M, Dewan KR, Shrestha G. Demographic and clinical
profile in patients with liver cirrhosis in a tertiary care hospital in Central
Nepal. J Nepal Med Assoc. 2017;56(208):401-6
7. Kalista KF, Lesmana CRA, Sulaiman AS, Gani RA, Hasan I. Profil klinis
pasien sirosis hati dengan varises esofagus yang menjalani ligase varises
esofagus di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. J Peny Dal Ind. 2019;
6(1): 37-40.
8. Chang PE, Wong GW, Li JWQ, Lui HF, Chow WC, Tan CK. Epidemiology
and clinical evolution of liver cirrhosis in Singapore. Ann Acad Med
Singapore. 2015;44:218-25.
9. Qua CS, Goh KL. Liver cirrhosis in Malaysia: peculiar epidemiology in a
multiracial Asian country. J Gastroenterol Hepatol. 2011;26(8):1333-7
10. Patasik YZ, Waleleng BJ, Wantania F. Profil pasien sirosis hati yang dirawat
di RSUP Prof. Dr. D. Kandou Manado periode Agustus 2012 sampai Agustus
2014. Eclinic. 2015; 3(1): 342-7.
11. Nurdjanah. Sirosis Hepatis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,
Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 6.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia.
2014. hal 1978-83.
12. Thorn, Adams, Braunwald, Isselbacher, & Petersdorf. Harrison's Principles of
Internal Medicine. Edisi IX. Jakarta Utara: Penerbit Buku Kedokteran. 1991.
13. Pinter M, Trauner M, Peck-Radosavljevic M, Sieghart W. Cancer and liver
cirrhosis: implication on prognosis and management. ESMO Open. 2016; 1:
1-15
14. Lovena A. 2017. Karakteristik Pasien Sirosis Hepatis di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Skripsi. Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang.
15. Bhattarai S, Gyawali M, Dewan KR, Shrestha G. Demographic and clinical
profile in patients with liver cirrhosis in a tertiary care hospital in Central
Nepal. J Nepal Med Assoc. 2017;56(208):401-6
16. Cirrhosis and its complication. Dalam: Harrison’s principle of internal
medicine 18 ed. AS: McGraw-Hill Companies. 2012.
17. Zhou WC, Zhang QB, Qiao L. Pathogenesis of liver cirrhosis. World J
Gastroenterol 2014; 20(23): 7312-7324
18. Hernomo O Kusumobroto. Dalam: Askandar Tjokroprawiro, Poernomo Boedi
Setiawan, Djoko Santoso, Gatot Soegiarto, Lita Diah Rahmawati (ed).
BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-
Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Edisi 2. Surabaya; Airlangga
University Press. 2015. Hal 292-8
19. Grattagliano I, Ubaldi E, Bonfrate L, Portincasa P. Management of liver
cirrhosis between primary care and specilists. World J Gastroenterol.
2011.(18):2273-82
20. Lindseth, G.N. 2013. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 6, Volume 1. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 472-515.
21. Price, A. Sylvia., Wilson, M. Lorraine. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis
ProsesProses Penyakit. Jakarta : EGC : 493 – 7.
22. Aiden McCormick dan Rajiv Jalan. Dalam James S. Dooley, Ann F. Lok,,
Guadalupe Garcia Tdao, Massimo Pinzani (ed). Sherlock’s Disease of The

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33


Liver and Biliary System. Edisi XIII. London. Black Well Publishing. 2019.
hal 107 – 26
23. Tsao GG, Lim J, 2009. Management and treatment of patients with cirrhosis
and portal hypertension: recommendations from the department of veterans
affairs hepatitis C resource center program and the national hepatitis C
program. American Journal of Gastroenterology; 104: 1802-92.)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34

Anda mungkin juga menyukai