Anda di halaman 1dari 37

Bagian Ilmu Penyaki Dalam Referat

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

SINDROM KARDIORENAL

Disusun oleh:

Muhammad Surya Tiyantara (1510029041)

Pembimbing:

dr. Kuntjoro Yakti, Sp. PD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

OKTOBER 2016
Tutorial Klinik

SINDROM KARDIORENAL

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Dalam
MUHAMMAD SURYA TIYANTARA
1510029041

Menyetujui,

dr. Kuntjoro Yakti, Sp. PD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

OKTOBER 2016

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan yang berjudul “Sindrom Kardiorenal”.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas


dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Kuntjoro Yakti, Sp. PD, sebagai dosen pembimbing referat selama proses
pembuatan referat .
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2015 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.

Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Oktober, 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

Latar Belakang ........................................................................................................ 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 31

Kesimpulan ........................................................................................................... 31

Saran ...................................................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Sindrom kardiorenal merupakan suatu keadaan terjadinya gangguan secara


patofisiologi pada jantung dan ginjal, dimana terjadi disfungsi yang akut atau kronis
pada salah satu organ yang mengakibatkan gangguan organ lainnya1. Peneliti lainnya
mendefinisikan sindrom kardiorenal sebagai keadaan dimana terjadi kombinasi
disfungsi jantung dan ginjal yang memperburuk progresifitas kegagalan organ-organ
tersebut, sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas2.

Kurang lebih 2% dari populasi menderita gagal jantung kongestif, dan


meningkat 5% pada populasi > 65 tahun3. Diperkirakan sepertiga sampai setengah
dari pasien dengan gagal jantung mengalami insufisiensi ginjal 4. Demikian pula
sebaliknya penyakit kardiovaskular merupakan masalah yang penting pada gagal
ginjal kronis, dimana 43,6% dari kematian pada pasien-pasien dengan gagal ginjal
terminal disebabkan oleh gagal jantung5. Kematian karena kelainan jantung
diperkirakan 10-30 kali lebih sering pada pasien-pasien dengan gagal ginjal kronis
dibandingkan dengan populasi pada umumnya6.

Sindrom kardiorenal berlangsung seperti suatu lingkaran setan dimana gagal


jantung dapat memperberat gagal ginjal kronik, demikian juga sebaliknya.
Patofisiologi terjadinya sindrom kardiorenal sangat rumit dan belum sepenuhnya
dipahami. Pada sindrom kardiorenal terdapat ketidakseimbang-an interaksi antara
gagal jantung, sistem neurohormonal, dan respon inflamasi3,7. Rumitnya proses
perlangsungan sindrom ini dan kurangnya pemahaman menyebabkan pengobatan
pada sindrom kardiorenal masih merupakan tantangan bagi para klinisi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Stresor eksternal seperti penyakit jantung struktural, hipertensi, diabetes, dan juga
atrial fibriasi itu sendiri dapat menyebabkan proses remodeling atrium yang
progresif. Aktivasi fibroblast, peningkatan deposisi jaringan ikat, dan fibrosis
merupakan proses yang umum pada kondisi tersebut. Sebagai tambahan, infiltrasi
jaringan lemak, infiltrat inflamasi, hipertrofi miosit, nekrosis, dan amyloidosis
ditemukan pada pasien AF.

2.1. Definisi

Secara umum sindrom kardiorenal dapat didefinisikan sebagai keadaan


gangguan secara patofisiologi pada jantung dan ginjal, dimana terjadi disfungsi
yang akut atau kronis pada salah satu organ yang mengakibatkan gangguan organ
lainnya1. Ronco dkk (2008) mengusulkan definisi CRS sesuai patofisiologi
sebagai tertulis pada tabel 1 berikut :

Tabel 1. Pembagian Tipe Sindrom Kardiorenal1

2.2 Epidemiologi
Sekitar 10,8% (20 juta) penduduk Amerika Serikat mengalami penyakit
ginjal kronis dan sekitar 0,1% (400.000) penduduk Amerika Serikat mengalami
gagal ginjal terminal. Laporan dari studi Hemodialisis (HEMO) menunjukan
prevalensi gagal ginjal terminal berkisar 4%.8 Pada pasien-pasien gagal ginjal

2
terminal prevalensi hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit jantung koroner adalah
75% dan 40%. Penyakit kardiovaskular ini sering berhubungan dengan penyakit
ginjal kronis karena individu dengan penyakit ginjal kronis lebih sering meninggal
akibat penyakit kardiovaskular daripada akibat gagal ginjalnya sendiri. Kurang
lebih 50% dari kematian pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
komplikasi kardiovaskular sebelum mencapai gagal ginjal terminal.4.5

Gangguan fungsi ginjal disisi lain berhubungan dengan peningkatan


morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Penurunan
laju filtrasi glomerulus merupakan suatu prediktor independen yang kuat terhadap
terjadinya kematian pada pasien-pasien dengan gagal jantung. Penelitian skala
luas yang dilakukan Studies of Left Ventricular Dysfunction (SOLVD)
mendapatkan bahwa sepertiga dari pasien-pasien dengan gagal jantung sedang
memiliki laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2.9
Penelitian yang dilakukan Adhere Decom-pensated Heart Failure National
Registry (ADHERE) yang melibatkan 275 rumah sakit mendapatkan dari 107.362
pasien gagal jantung akut dekompensata yang didata pada Januari 2004, terdapat
30% (32.000) yang sudah memiliki insufisiensi ginjal. Serum kreatinin > 2 mg/dl
didapatkan pada 20% populasi, serum kreatinin > 3 mg/dl pada 9% populasi, serta
5% dari pasien-pasien tersebut telah menjalani dialisis kronis. Rerata konsentrasi
kreatinin pada laki-laki dan perempuan adalah sebesar 1,9 mg/dl dan 1,6 mg/dl.
Kematian pada gagal jantung akut dekompensasi yang berhubungan dengan
fungsi ginjal adalah sebesar 9,4% pada pasien-pasien dengan serum kreatinin >
3.0 mg/dl. Jumlah total sebesar 60% pasien dengan gagal jantung akut
dekompensata mengalami disfungsi ginjal sedang sampai berat.1,10 Dari prevalensi
disfungsi ginjal pada pasien gagal jantung akut dekompensata dengan
menggunakan laju filtrasi glomerulus sebagai prediktor kematian yang kuat
didapatkan mayoritas pasien yang terdaftar dalam penelitian ADHERE memiliki
kerusakan ginjal sedang pada > 60% laki-laki sedangkan pada perempuan 46,8%
dengan disfungsi ginjal berat.11 Penelitian Mcclellan dkk, mendapatkan prevalensi
penyakit gagal ginjal kronik sebesar 60,4% pada pasien gagal jantung kronik dan
51,7% pada pasien infark miokard akut. Bila dibandingkan dengan pasien tanpa
penyakit ginjal kronik, angka rawat inap ulang dalam 30 hari lebih sering terjadi

3
pada pasien gagal jantung kronis dengan penyakit ginjal kronik dengan odd ratio
1,70 dan 1,78 kali lebih sering pada pasien infark miokard akut dengan penyakit
ginjal kronik.11

2.3 Patofisiologi

2.1.1 Sindroma Kardiorenal Akut (Tipe I)

Sindrom kardiorenal tipe I ditandai oleh perburukan akut fungsi jantung


yang menyebabkan jejas ginjal akut (Acute Kidney Injury=AKI). Sindrom
kardiorenal tipe I sering terjadi. Sebagian besar penderita gagal jantung yang
dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung seringkali mempunyai kondisi pre-
morbid disfungsi ginjal yang menjadi predisposisi terjadinya AKI1.

Jejas ginjal akut yang terjadi pada gagal jantung akut tampak lebih berat
pada penderita dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu, dan penurunan
fungsi ginjal tersebut secara konsisten menjadi faktor risiko independen mortalitas
penderita gagal jantung akut. Pengaruh independen tersebut menunjukkan bahwa
penurunan akut fungsi ginjal pada gagal jantung akut bukan semata-mata penanda
dari beratnya penyakit tetapi juga berhubungan dengan percepatan jejas
kardiovaskular melalui aktivasi jaras-jaras neurohormonal, imunologis, dan
inflamasi.1

Pada sindrom kardiorenal tipe I terjadinya AKI berhubungan dengan


penurunan perfusi ginjal. Disamping itu terjadi pula penurunan respons terhadap
diuretik akibat fenomena fisiologik yang disebut diuretic braking (semakin
menghilangnya efek diuretik yang terjadi sekunder akibat retensi natrium pasca
pemberian diuretik).1 Hubungan aspek neurohormonal dan hemodinamik pada
pasien dengan sindrom kardiorenal tipe 1 dirangkum pada gambar 1.

4
Gambar 1. Sindrom kardiorenal tipe I1.

Beberapa kondisi dapat mempengaruhi laju filtrasi gromerulus dengan


mempengaruhi beberapa aspek deteminan laju filtrasi ginjal (gambar 2)12.
Pemahaman akan dampak perubahan hemodinamik pada sindrom kardorenal tipe
1 khususnya dalam hal kongesti dan kondisi low output dapat membantu dalam
menuntun tatalaksana yang rasional.

5
Gambar 2. Faktor yang mempengaruhi aliran darah ginjal12

2.1.2. Sindrom Kardiorenal Kronik (Tipe II)

Sindrom kardiorenal tipe II ditandai oleh abnormalitas kronik fungsi


jantung (misalnya pada gagal jantung kronik) yang menyebabkan penyakit ginjal
kronik progresif. Perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung kronik
berhubungan dengan outcome yang buruk dan bertambahnya lama perawatan di
rumah sakit1.

Mekanisme yang mendasari perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung


kronik berbeda dibanding pada gagal jantung akut. Pada gagal jantung kronik

6
telah terjadi penurunan perfusi ginjal dalam jangka panjang, dan seringkali
disertai predisposisi penyakit mikrovaskular dan makrovaskular. Walaupun
sebagian besar penderita dengan GFR yang rendah juga berada pada kelas
fungsional NYHA yang rendah, tidak terdapat bukti konsisten yang
menghubungkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan GFR. Estimasi GFR pada
penderita gagal jantung kronik dengan fungsi ventrikel kiri yang baik dapat tidak
berbeda dibanding penderita dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu.1

Patofisiologi disfungsi ginjal pada gagal jantung kronik belum sepenuhnya


dipahami. Kondisi tersebut tidak dapat diterangkan semata-mata akibat
hipoperfusi. Sebuah penelitian hemodinamik invasif pada gagal jantung kronik
tidak menemukan hubungan antara berbagai variabel hemodinamik pada
pemeriksaan kateter arteri pulmonal dengan kadar kreatinin serum. Satu-satunya
variabel yang berhubungan adalah peningkatan tekanan atrium kanan,
menunjukkan kemungkinan peran kongesti ginjal dalam perburukan fungsi ginjal
pada gagal jantung kronik.1

Pada sindrom kardiorenal kronik terdapat abnormalitas neurohormonal


dengan produksi berlebih mediator-mediator vasokonstriktif (epinefrin,
angiotensin, endotelin) dan perubahan sensitivitas dan/atau pelepasan faktor-
faktor vasodilator endogen (peptida natriuretik, nitric oxide).1 Hubungan aspek
neurohormonal dan hemodinamik pada pasien dengan sindrom kardiorenal tipe 1
dirangkum pada gambar 3.

7
Gambar 3. Sindrom Kardiorenal Tipe II1

2.1.3. Sindrom Renokardiak Akut (Tipe III)

Sindrom renokardiak akut ditandai oleh perburukan fungsi ginjal akut


(AKI, iskemia, atau glomerulonefritis) yang menyebabkan disfungsi jantung akut
(gagal jantung, aritmia, iskemia). Sindrom kardiorenal tipe III lebih jarang
ditemukan dibanding tipe I, mungkin disebabkan belum diteliti secara lebih
sistematik.1

Jejas ginjal akut dapat mempengaruhi jantung melalui beberapa jaras.1


Kelebihan cairan berperan dalam terjadinya edema paru. Hiperkalemia dapat
menyebabkan aritmia dan henti jantung. Uremia dapat mempengaruhi
kontraktilitas miokard melalui akumulasi faktor-faktor depresan miokard dan
perikarditis. Kondisi asidemia mempunyai efek inotropik negatif dan bersama

8
imbalans elektrolit meningkatkan risiko aritmia. Iskemia ginjal sendiri dapat
mempresipitasi aktivasi inflamasi dan apoptosis pada tingkat jantung.1

Disfungsi ginjal dengan retensi garam dan air, dan iskemia miokard akut
disebabkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat vasokonstriksi
perifer yang terus menerus. Blokade angiotensin yang dibutuhkan dalam
pengelolaan hipertensi dan gagal jantung pada penderita-penderita tersebut akan
menyebabkan penurunan GFR dan perburukan fungsi ginjal.1 Hubungan aspek
neurohormonal dan hemodinamik pada pasien dengan sindrom kardiorenal tipe 3
dirangkum pada gambar 4.

Gambar 4. Sindroma Kardiorenal Tipe III1

2.1.4. Sindroma Renokardiak Kronik (Tipe IV)

Sindrom kardiorenal tipe 4 ditandai oleh kondisi CKD primer yang


berperan dalam menurunnya fungsi jantung, hipertrofi ventrikel, disfungsi
diastolik, dan/atau peningkatan risiko kejadian kardiovaskular.1Pada penderita
CKD terdapat peningkatan kadar plasma biomarker spesifik seperti troponin,
dimetilarginin asimetrik, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, homosistein,
peptida natriuretik, protein reaktif C, protein serum amiloid A, dan ischemia-

9
modified albumin. Hal ini menggambarkan hubungan mekanistik antara inflamasi
kronik, infeksi subklinik, percepatan aterosklerosis, interaksi jantung-ginjal, dan
outcome kardiovaskular dan ginjal.1

Secara patofisiologik interaksi kardiorenal kronik dipengaruhi oleh


denominator yang sama yaitu inflamasi, keseimbangan antara nitric oxide/reactive
oxygen species, dan sistem saraf simpatetik. Konektor-konektor kardiorenal
tersebut bersama-sama dengan interaksi hemodinamik antara jantung dan ginjal
bertanggung-jawab terhadap progresifitas penyakit melalui mekanisme umpan-
balik,sehingga urutan kejadian pada kondisi sindrom kardiorenal kronik (tipe II
dan tipe IV) menjadi tidak penting. Hubungan aspek neurohormonal dan
hemodinamik pada pasien dengan sindrom kardiorenal tipe 4 dirangkum pada
gambar 5.

10
Gambar 5. Sindroma Kardiorenal Tipe IV1

2.1.5. Sindrom Kardiorenal Sekunder (Tipe V)

Sindrom kardiorenal tipe V ditandai oleh kombinasi disfungsi jantung dan


ginjal yang disebabkan penyakit sistemik kronik atau akut.1 Informasi sistematik
tentang sindrom kardiorenal tipe V masih terbatas. Pemahaman tentang
bagaimana kombinasi gagal jantung dan gagal ginjal dapat memberi pengaruh
yang berbeda dibanding kombinasi kegagalan pada organ lain juga masih terbatas.

11
Walaupun demikian telah diketahui bahwa beberapa penyakit kronik dan akut
seperti sepsis, diabetes, amiloidosis, lupus eritematosus sistemik, dan sarkoidosis
dapat mempengaruhi organ jantung dan ginjal secara simultan, dan penyakit yang
mengenai salah satu organ dapat berdampak pada organ lainnya, demikian pula
sebaliknya. Beberapa kondisi seperti diabetes dan hipertensi dapat berperan pula
pada sindrom kardiorenal tipe II dan tipe IV.1

Pada kondisi akut seperti pada sepsis berat dapat terjadi jejas ginjal akut
dan juga depresi miokard. Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan-
perubahan tersebut masih belum dipahami sepenuhya tetapi diduga berkaitan
dengan pengaruh Tumor Necrosis Factor (TNF) dan mediator-mediator lain pada
kedua organ. Depresi fungsi miokard dan keadaan curah jantung yang inadekuat
dapat menurunkan fungsi ginjal seperti yang terjadi pada sindrom kardiorenal tipe
I, dan terjadinya AKI dapat mempengaruhi fungsi jantung seperti yang terjadi
pada sindrom kardiorenal tipe III. Iskemia ginjal yang terjadi kemudian dapat
menginduksi jejas miokardial lebih lanjut membentuk lingkaran setan yang akan
mencederai kedua organ.1 Hubungan aspek neurohormonal dan hemodinamik
pada pasien dengan sindrom kardiorenal tipe 5 dirangkum pada gambar 6.

12
Gambar 6. Sindrom kardiorenal tipe V.1

Pada sindroma kardiorenal: Pompa jantung menjadi lemah (pump failure)


dan stroke volume menurun, akibatnya terjadi kelebihan cairan dalam pembuluh
darah (volume overload). Bila fungsi ginjal masih baik maka ginjal akan
membantu dengan meningkatkan diuresis dan ekskresi natrium. Tetapi pada
kondisi klinik ini telah terjadi juga gangguan fungsi ginjal sehingga mekanisme
normal tidak berjalan sebagai mana mestinya. Akibat proses inflamasi,
atherosklerosis atau mikroangiopati terjadi gangguan keseimbangan
neurohormonal dengan akibat gangguan ekskresi cairan dan elektrolit dengan
konsekuensi volume cairan tubuh bertambah.

Jenis pembagian tipe sindrom kardiorenal berdasarkan parameter klinis


dan patofisiologis menurut Hatamizadeh dkk. lebih membantu klinisi dalam

13
menerapkan jenis terapi, mengingat pembagian sebelumnya lebih sulit untuk
menentukan gangguan primer mana yang terjadi lebih dulu.13 Pembagian terdiri
atas 7 tipe (tabel 2).

Tabel 2. Pembagian tipe sindrom kardiorenal berdasarkan klinis13

14
2.4 Kriteria dan Pendekatan Diagnosis

Penentuan jenis sindrom kardiorenal tetap berdasarkan kriteria standar untuk


masing – masing jenis gangguan primer maupun sekunder.14 Berbagai strategi
pencegahan maupun penggunaan biomarker cidera organ spesifik dapat mencegah
terjadinya perburukan outcome pasien,hal tersebut dirangkum pada tabel 3.

Tabel 3. Strategi pencegahan dan diagnosis sindrom kardiorenal14

15
Gejala dan tanda sindroma kardiorenal bermanifestasi sebagai gejala dan tanda
gagal jantung dan gagal ginjal serta penyakit lain yang terlibat. Sedangkan kriteria
diagnosis gangguan primer maupun sekunder mengikuti kriteria standar yang
ada.14 Gejala dan tanda gagal dapat dilihat pada tabel 4. Sedangkan kriteria untuk

16
diagnosis gagal jantung sesuai European society of cardiology 2016 dapat dilihat
pada tabel 515.

Tabel 4. Gejala dan tanda gagal jantung15

Tabel 5. Kriteria gagal jantung berdasarkan European Society of Cardiology


201615

17
Terdapat berbagai pendekatan dalam mendiagnosis gagal jantung. Pendekatan
diagnosis gagal jantung secara umum melibatkan pembagian berdasarkan onset
akut maupun non-akut. Penilaian awal dilakukan berdasarkan pendekatan klinis
yaitu gejala dan tanda tipikal, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan
pemeriksaan lanjutan standar seperti pemeriksaan marka BNP, EKG maupun
ekokardiografi15 (gambar 7 dan gambar 8). Melalui pendekatan tersebut dapat
ditentukan tipe dari gagal jantung khususnya pada kondisi non akut.

Gambar 7. Penilaian awal pada pasien dengan kecurigaan gagal jantung15

18
Gambar. 8 Strategi pendekatan diagnosis gagal jantung16

Selain mampu dalam mendiagnosis adanya gagal jantung, klinisi diharuskan dapat
menentukan pola hemodinamik pasien gagal jantung dalam rangka menentukan
pilihan terapi yang tepat. Pasien dengan gagal jantung bermanifestasi mulai dari
kondisi stabil dengan keluhan minimal hinggal syok kardiogenik dan edem paru.
Dengan menggabungkan beberapa parameter klinis, dapat ditentukan pola
hemodinamik pasien gagal jantung (gambar 9).15

19
Gambar 9. Pola hemodinamik pasien gagal jantung15

Untuk menegakkan adanya gangguan ginjal pada sindroma kardiorenal dapat


digunakan kriteria standar untuk kelainan yang ada14. Untuk gagal gangguan
ginjal akut dapat digunakan kriteria AKIN (tabel 6), kriteria tersebut merupakan
revisi criteria RIFLE sebelumnya. Pada gangguan ginja kronik dapat digunakan
kriteria KDOQ (tabel 7).

Tabel 6. Kriteria Acute Kidney Injury Network untuk gagal ginjal akut17

20
Tabel 7. Kirteria KDOQ untuk gangguan ginjal kronik18

2.5. Pengelolaan

Pada pengelolaan sindrom kardiorenal, terdapat dua aspek penting yang pertama
adalah urutan gangguan organ yang ada, kedua adalah dampak gangguan dua arah
yang dapat menyebabkan lingkaran setan kerusakan kedua organ. Aspek penting
lainnya adalah adalah onset kerusakan yang ada, baik akut maupun kronik. Pada
gambar 10 dapat diperlihatkan area potensial pencegahan dan penanganan
sindrom kardiorenal. Pengenalan secara dini gangguan yang ada menggunakan
marka kelainan organ ataupun pendekatan diagnosis yang ada dapat mencegah
terbentuknya lingkaran setan gangguan organ. Sekalipun telah terjadi kerusakan
satu organ, kerusakan organ lainnya data dicegah dengan strategi penanganan
yang tepat sesuai pedoman penangnan standar yang ada14.

21
Gambar 10. Alur kejadian sindroma kardiorenal sebagai peta potensial
penanganan14
Penanganan sindrom kardiorenal bersifat kompleks. Terdapat beberapa
pendekatan penanganan sindrom kardiorenal. Pendekatan secara patofisiologis
melibatkan pembagian sindroma kardiorenal menjadi 5 tipe, dan pendekatan
berdasarkan rasionalisasi kejadian berdasarkan tipe yang ada. Secara umum
pendekatan penanganan sindroma kardiorenal mengikuti standar penanganan
berdasarkan guideline penanganan gangguan organ primer maupun sekunder
(tabel 8)14.
Tabel 8. Pendekatan penanganan sindrom kardiorenal14

22
Pendekatan pasien dengan gagal jantung melibatkan penganalan dini profil
hemodinamik pasien. Pasien dengan manifestasi klinis gagal jantung harus
dievaluasi profil hemodinamik awal melalui pemeriksaan klinis. Manifestasi gagal
jantung khususnya dalam kondisi akut dalam dikelompokkan apakah terdapat
tanda kongesti dalam hal ini pasien dalam kondisi “wet” ataupun tidak terdapat
kongesti “dry”. Selain itu perlu juga ditentukan status perfusi pasien, apakah
menurun “cold” ataupun adekuat “warm”. Dengan mengkombinasikan profil
perfusi dan kongesti dapat ditentukan strategi penanganan gagal jantung akut
tersebut (gambar11)15.

23
Gambar 11. Strategi penanganan gagal jantung akut15

Pilihan dan dosis obat inotropik maupun vasodilator diperlihatkan pada tabel 9
dan 10. Penggunaan obat tersebut harus didasarkan pertimbangan hemodinamik
individual pasien dan evidence based yang ada.

24
Tabel 9. Pilihan inotropik dan vasokonstriktor15

Tabel 10. Pilihan vasodilator15

Pasien dengan gagal jantung perlu mendapatkan pengobatan dalam rangka


menurunkan progresifitas penyakit. Pasien dengan gagal jantung simtomatik
dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri dianjurkan mendapatkan penanganan
standar sesuai dengan guideline yang ada (gambar 12). Penanganan gagal jantung
tanpa penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri berupa menghilangkan komorbid yang
ada dan mencegah penurunan fungsi ventrikel15.

25
Gambar 12. Algoritma penanganan gagal jantung simtomatik dengan penurunan
fraksi ejeksi ventrikel kiri15.

Kardiorenal tipe 1 tampil dengan manifestasi gagal jantung akut atau syok
kardiogenik dengan berbagai manifestasi hemodinamik dari edem paru akut
dengan hipertensi serta overload cairan hingga syok kardiogenik dan hipotensi.
Secara umum penanganan sindrom kardiorenal tipe 1 bersifat empirik. Hipotensi
dan penurunan cardiac output dengan aktivasi neurohormonal secara tradiosional
merupakan alasan terjadinya perburukan fungsi ginjal untuk sindrom ini, namun
bukti terkini telah menjelaskan bahwa tekanan vena yang tinggi dan peningkatan
tekanan intra abdominal yang menyebabkan kongesti vena ginjal menjadi

26
kontributor penting terjadinya penurunan fungsi ginjal, hal ini ditunjukkan banyak
pasien dengan sindrom kardiorenal tipe 1 memiliki fraksi ejeksi ventrikel dan
tekanan darah yang normal atau tinggi. Strategi untuk menurunkan kongesti
dengan diuretik dan ultrafiltrasi serta penggunaan vasodilator pada pasien tertentu
merupakan langkah penanganan yang penting.19

Tujuan penggunaan diuretic haruslah mengurangi volume cairan ekstraseluler


pada kecepatan yang memungkinkan pemberian waktu yang adekuat untuk
pengisian cairan intravaskuler dari interstitium. Untuk memberikan diuresis yang
adekuat, loop diuretik melalui infus lebih baik dibanding pemberian intermiten.
Jika fungsi ginjal mengalami perburukan lebih lanjut, penundaan pemberian
angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) atau sejenisnya disarankan
untuk mempertahankan GFR19. Ultrafiltrasi dapat dipertimbangkan untuk
menangani hipervolemia dan kongesti pada kasus dimana diuretik tidak
memberikan respon yang baik, hiperkalemia berat (>6.5 mmol/l), asidosis berat
(pH < 7.2), uremia (ureum >150mg/dl), dan serum kreatinin > 3.2 mg/dl.15 Pasien
dengan tekanan darah yang rendah dan perfusi ginjal yang buruk, inotropik positif
seperti dobutamine dapat diberikan, jika pasien resisten terhadap terapi tersebut,
pendekatan yang lebih invasif seperti intra-aortic ballon pulsation, ventricular
assist devices dapat digunakan untuk sebagai bridge to recovery ataupun dalam
rangka menjalani transplantasi.19

Diuretic mengurangi reabsorpsi natrium dan klorida pada ansa henle bagian
ascending dengan menghambat transporter Na-K-2Cl, yang menyebabkan
peningkatan ekskresi natrium yang terfiltrasi hingga 20-25%. Hal tersebut dapat
mengurangi tekanan vena sentral dan tekanan intraabdominal, mengkoreksi
overload cairan yang merupakan aspek penting pada hemodinamik sindrom
kardiorenal.13

27
Gambar 13. Dampak pemberian diuretik13

Furosemid memiliki onset dan puncak kerja dalam 30 menit dan 1-2 jam serta
bertahan hingga 6 jam. Pemberian dosis tinggi dengan interval pemberian yang
lama dapat menyebabkan penurunan volume intravascular yang cepat sebelum
terjadi redistribusi cairan interstitial kedalam intravascular, yang menyebabkan
aktivasi SRAA, hipovolemia dan resistensi diuretic (gambar 13). Oleh sebab itu
pemberian dengan rentang yang pendek (setiap 6-8 jam) lebih dianjurkan.
Pemberian loop diuretic secara kontinu merupakan alternatif lain yang dapat
memberikan diuresis cairan yang lebih stabil selain itu efek toksik diuresis seperti
ketulian dan tinnitus lebih jarang terjadi. Dosis diuretic yang disarankan
diperlihatkan pada tabel 11.13

Tabel 11. Dosis loop diuretik13

Penghambatan sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA) merupakan tujuan


dari penatalaksanaan sindrom kardiorenal tipe 2. Penghambatan SRAA dapat
diberikan dan dititrasi secara perlahan sehingga tidak menyebabkan peningkatan
serum kreatinin > 30% dan nilai kalium tetap dibawah 5.0 mmol/L. Pemberian

28
spironolactone tidak boleh diberikan bila nilai kreatinin > 2.5 mg/dl atau terdapat
hiperkalemia > 5.0mm/L. Penghambatan tonus simpatis melalui penggunaan
penghambat beta merupakan strategi penting pasien dengan gagal jantung dan
penyakit jantung iskemik. Secara umum, obat-obatan tersebut tidak memberikan
efek buruk pada fungsi ginjal. Carvedilol memberikan efek pada ginjal yang lebih
baik dibanding penghambat beta keluaran sebelumnya. Pemberian erythropoiesis-
stimulating agent pada sindrom kardiorenal tipe 2 dan anemia menunjukkan
perbaikan fungsi jantung, mengurangi ukuran ventrikel kiri, dan menurunkan
kadar BNP.19

Pada sindrom kardiorenal tipe 3 gangguan ginjal akut merupakan kejadian primer
(gromerulonefritis), atau sekunder (pemberian radiokontras, nefrotoksin, dll).
Contoh sering untuk sindrom kardiorenal tipe 3 adalah nefropati akibat
penggunaan zat kontras seperti pada pasien yang menjalani angiografi yang
memiliki faktor resiko seperti CKD, diabetes, usia tua atau hipovolemia. Beberapa
strategi pencegahan telah diteliti, seperti hidrasi parenteral, pemberian dopamine,
diuretic, dan peptida natriuretik. Tindakan penanganan lainnya bergantung
penyebab yang mendasari terjadinya gangguan ginjal akut.19

Penanganan sindrom kardiorenal tipe 4 bersifat multifaktorial dan berfokus pada


pada mengurangi faktor resiko dan komplikasi kardiovaskuler yang sering terjadi
pada pasien CKD. Hal tersebut meliputi anemia, hipertensi, merokok, perubahan
metabolime tulang dan mineral, dislipidemia, dan malnutrisi.19

Sindroma kardiorenal tipe 5 meliputi kelompok kelainan yang heterogen yang


meliputi sepsis, lupus eritematosus sistemik, amiloidosis, dan diabetes mellitus.
Sepsis merupakan contoh yang mewakili sindroma kardiorenal tipe 5 yang
meilbatkan disfungsi banyak organ termasuk ginjal dan jatung secara bersamaan.
Penanganan dini dan tepat pada sepsis mampu menurunkan mortalitas.
Penggunaan norepinefrin pada pasien sepsis terbukti lebih memiliki angka
kejadian aritmia dan penggunaan dialisis ginjal dibanding penggunaan
dopamine.19

Pendekatan penanganan berdasarkan pembagian Hatamizadeh dkk. diperlihatkan


pada tabel 12.

29
Tabel. 11. Strategi penanganan sindrom kardiorenal berdasarkan klinis13

30
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1. Kesimpulan
1. Sindroma Kardiorenal adalah keadaan gangguan secara
patofisiologi pada jantung dan ginjal, dimana terjadi disfungsi yang
akut atau kronis pada salah satu organ yang mengakibatkan
gangguan organ lainnya.
2. Sindrom kardiorenal memiliki mortalitas yang lebih besar
dibanding hanya kerusakan salah satu organ.
3. Sindrom kardiorenal dapat diklasifikasikan berdasarkan
pendekatan patofisiologis maupun secara klinis.
4. Diagnosis dan penanganan sindrom kardiorenal tetap berdasarkan
standar guideline penanganan masing-masing disfungsi organ
dengan tetap mempertimbangkan keterkaitan hubungan kedua
organ.
1.2. Saran

Dibutuhkan penelitian dan pembahasan serta guideline khusus


untuk sindrom kardiorenal mengingat tingginya mortalitas sindrom
tersebut dan minimnya pedoman baku tatalaksana yang disepakati dan
“evidence based”.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N, Bellomo R. Cardiorenal syndrome. J.


Am. Coll. Cardiol 2008;52:1527-39.
2. Adams KF, Maisel AF. Challenges in acute decompensated heart failure manage-ment:
the cardiorenal syndrome. Clinician 2006 Oct 1;24(2):1-20.
3. Silverberg D, Wexler D, Blum M, Schwartz D, Laina A. The association between
congestive heart failure and chronic renal disease. Clinical Nephro-logy 2004;13:163-70.
4. Geisberg C, Butler J. Addressing the challenges of cardiorenal syndrome. Cleve Clin J
Med 2006;73:485-91.
5. Bongartz LG, Cramer MJ, Doevendans PA, Joles JA, Braam B. The severe cardiorenal
syndrome:’Guyton revisit-ed’. Eur Heart Jour 2004 Nov 30;26(1):11-7.
6. Sarnak JM, Levey AS, Schoolwerth AC, Coresh J, Culleton B, Lee Hamm L, et all.
Kidney disease as a risk factor for development of cardiovascular disease. Hypertension
2003;42:1050-65.
7. Francis G. Acute decompensated heart failure: the cardiorenal syndrome. Cleve Clin J
Med 2006 June;73(suppl 2): S8-S13.
8. Cheung AK, Sarnak Mj, Yan G, Berkoben M, Heyka R, Kaufman A, et all. Cardiac
diseases in maintenance hemodialysis patients: result of HEMO study. Kidney Int
2004;65:2380-9.
9. Dries DL, Exner DV, Domanski MJ, Greenberg B, Stevenson IW. The prognostic
implications of renal insuf-ficiency in asymptomatic and sympto-matic patients with left
ventricular systolic dysfunction. J Am Coll Cardiol 2000;35:681-9.
10. Adams KF Jr, Fonarow GC, Emerman CL. Charateristics and outcomes of patients
hospitalized for heart failure in the United States: rationale, design, and preliminary
observations from the first 100,000 cases in the acute decom-pensated heart failure
national registry (ADHERE). Am Heart J 2005;149:209-16.
11. Mcclellan WM, Langston RD, Presley R. Medicare patients with cardiovascular
disease have a high prevalence of chro-nic kidney disease and a high rate of progression
to end-stage renal disease. Journal of The American Society of Nephrology
2004;15:1912-9.
12. Verbrugge FH, Grieten L, Mullens W. Management of the Cardiorenal Syndrome in
Decompensated Heart Failure. Cardiorenal Med. 2014; 4: p. 176-188

32
13. Obi Y, Kim T, Kovesdy CP, Amin AN, Kalantar-Zadeh K. Current and Potential
Therapeutic Strategies for Hemodynamic Cardiorenal Syndrome. Cardiorenal Med 2016.
2016; 6: p. 83–98
14. Ronco C, McCullough P, Anker SD, Anand I. Cardio-renal syndromes: report from
the consensus conference of the Acute Dialysis Quality Initiative. European Heart
Journal. 2010; 31: p. 703–711
15. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF. 2016 ESC Guidelines
for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. European Heart
Journal. 2016: p. 1-85.
16. McMurray JJV, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bo¨hm M. ESC Guidelines
for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012. European Heart
Journal. 2012; 33: p. 1787–1847
17. Lopes JA, Jorge S. The RIFLE and AKIN classifications for acute kidney injury: a
critical and comprehensive review. Clin Kidney J. 2013; 6: p. 8-14
18. Johnson D. Diagnosis, classification and staging of chronic kidney disease. Early
Chronic Kidney Disease. 2012;: p. 1-31
19. House AA, Haapio M, Lassus J, Bellomo R, Ronco C. PharmacologicalManagement
of Cardiorenal Syndromes. International Journal of Nephrology. 2011;: p. 1-8

33

Anda mungkin juga menyukai