Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SINDROM KARDIORENAL
Disusun oleh:
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
OKTOBER 2016
Tutorial Klinik
SINDROM KARDIORENAL
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Dalam
MUHAMMAD SURYA TIYANTARA
1510029041
Menyetujui,
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
OKTOBER 2016
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan yang berjudul “Sindrom Kardiorenal”.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Oktober, 2016
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii
Kesimpulan ........................................................................................................... 31
Saran ...................................................................................................................... 31
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Stresor eksternal seperti penyakit jantung struktural, hipertensi, diabetes, dan juga
atrial fibriasi itu sendiri dapat menyebabkan proses remodeling atrium yang
progresif. Aktivasi fibroblast, peningkatan deposisi jaringan ikat, dan fibrosis
merupakan proses yang umum pada kondisi tersebut. Sebagai tambahan, infiltrasi
jaringan lemak, infiltrat inflamasi, hipertrofi miosit, nekrosis, dan amyloidosis
ditemukan pada pasien AF.
2.1. Definisi
2.2 Epidemiologi
Sekitar 10,8% (20 juta) penduduk Amerika Serikat mengalami penyakit
ginjal kronis dan sekitar 0,1% (400.000) penduduk Amerika Serikat mengalami
gagal ginjal terminal. Laporan dari studi Hemodialisis (HEMO) menunjukan
prevalensi gagal ginjal terminal berkisar 4%.8 Pada pasien-pasien gagal ginjal
2
terminal prevalensi hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit jantung koroner adalah
75% dan 40%. Penyakit kardiovaskular ini sering berhubungan dengan penyakit
ginjal kronis karena individu dengan penyakit ginjal kronis lebih sering meninggal
akibat penyakit kardiovaskular daripada akibat gagal ginjalnya sendiri. Kurang
lebih 50% dari kematian pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
komplikasi kardiovaskular sebelum mencapai gagal ginjal terminal.4.5
3
pada pasien gagal jantung kronis dengan penyakit ginjal kronik dengan odd ratio
1,70 dan 1,78 kali lebih sering pada pasien infark miokard akut dengan penyakit
ginjal kronik.11
2.3 Patofisiologi
Jejas ginjal akut yang terjadi pada gagal jantung akut tampak lebih berat
pada penderita dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu, dan penurunan
fungsi ginjal tersebut secara konsisten menjadi faktor risiko independen mortalitas
penderita gagal jantung akut. Pengaruh independen tersebut menunjukkan bahwa
penurunan akut fungsi ginjal pada gagal jantung akut bukan semata-mata penanda
dari beratnya penyakit tetapi juga berhubungan dengan percepatan jejas
kardiovaskular melalui aktivasi jaras-jaras neurohormonal, imunologis, dan
inflamasi.1
4
Gambar 1. Sindrom kardiorenal tipe I1.
5
Gambar 2. Faktor yang mempengaruhi aliran darah ginjal12
6
telah terjadi penurunan perfusi ginjal dalam jangka panjang, dan seringkali
disertai predisposisi penyakit mikrovaskular dan makrovaskular. Walaupun
sebagian besar penderita dengan GFR yang rendah juga berada pada kelas
fungsional NYHA yang rendah, tidak terdapat bukti konsisten yang
menghubungkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan GFR. Estimasi GFR pada
penderita gagal jantung kronik dengan fungsi ventrikel kiri yang baik dapat tidak
berbeda dibanding penderita dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu.1
7
Gambar 3. Sindrom Kardiorenal Tipe II1
8
imbalans elektrolit meningkatkan risiko aritmia. Iskemia ginjal sendiri dapat
mempresipitasi aktivasi inflamasi dan apoptosis pada tingkat jantung.1
Disfungsi ginjal dengan retensi garam dan air, dan iskemia miokard akut
disebabkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat vasokonstriksi
perifer yang terus menerus. Blokade angiotensin yang dibutuhkan dalam
pengelolaan hipertensi dan gagal jantung pada penderita-penderita tersebut akan
menyebabkan penurunan GFR dan perburukan fungsi ginjal.1 Hubungan aspek
neurohormonal dan hemodinamik pada pasien dengan sindrom kardiorenal tipe 3
dirangkum pada gambar 4.
9
modified albumin. Hal ini menggambarkan hubungan mekanistik antara inflamasi
kronik, infeksi subklinik, percepatan aterosklerosis, interaksi jantung-ginjal, dan
outcome kardiovaskular dan ginjal.1
10
Gambar 5. Sindroma Kardiorenal Tipe IV1
11
Walaupun demikian telah diketahui bahwa beberapa penyakit kronik dan akut
seperti sepsis, diabetes, amiloidosis, lupus eritematosus sistemik, dan sarkoidosis
dapat mempengaruhi organ jantung dan ginjal secara simultan, dan penyakit yang
mengenai salah satu organ dapat berdampak pada organ lainnya, demikian pula
sebaliknya. Beberapa kondisi seperti diabetes dan hipertensi dapat berperan pula
pada sindrom kardiorenal tipe II dan tipe IV.1
Pada kondisi akut seperti pada sepsis berat dapat terjadi jejas ginjal akut
dan juga depresi miokard. Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan-
perubahan tersebut masih belum dipahami sepenuhya tetapi diduga berkaitan
dengan pengaruh Tumor Necrosis Factor (TNF) dan mediator-mediator lain pada
kedua organ. Depresi fungsi miokard dan keadaan curah jantung yang inadekuat
dapat menurunkan fungsi ginjal seperti yang terjadi pada sindrom kardiorenal tipe
I, dan terjadinya AKI dapat mempengaruhi fungsi jantung seperti yang terjadi
pada sindrom kardiorenal tipe III. Iskemia ginjal yang terjadi kemudian dapat
menginduksi jejas miokardial lebih lanjut membentuk lingkaran setan yang akan
mencederai kedua organ.1 Hubungan aspek neurohormonal dan hemodinamik
pada pasien dengan sindrom kardiorenal tipe 5 dirangkum pada gambar 6.
12
Gambar 6. Sindrom kardiorenal tipe V.1
13
menerapkan jenis terapi, mengingat pembagian sebelumnya lebih sulit untuk
menentukan gangguan primer mana yang terjadi lebih dulu.13 Pembagian terdiri
atas 7 tipe (tabel 2).
14
2.4 Kriteria dan Pendekatan Diagnosis
15
Gejala dan tanda sindroma kardiorenal bermanifestasi sebagai gejala dan tanda
gagal jantung dan gagal ginjal serta penyakit lain yang terlibat. Sedangkan kriteria
diagnosis gangguan primer maupun sekunder mengikuti kriteria standar yang
ada.14 Gejala dan tanda gagal dapat dilihat pada tabel 4. Sedangkan kriteria untuk
16
diagnosis gagal jantung sesuai European society of cardiology 2016 dapat dilihat
pada tabel 515.
17
Terdapat berbagai pendekatan dalam mendiagnosis gagal jantung. Pendekatan
diagnosis gagal jantung secara umum melibatkan pembagian berdasarkan onset
akut maupun non-akut. Penilaian awal dilakukan berdasarkan pendekatan klinis
yaitu gejala dan tanda tipikal, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan
pemeriksaan lanjutan standar seperti pemeriksaan marka BNP, EKG maupun
ekokardiografi15 (gambar 7 dan gambar 8). Melalui pendekatan tersebut dapat
ditentukan tipe dari gagal jantung khususnya pada kondisi non akut.
18
Gambar. 8 Strategi pendekatan diagnosis gagal jantung16
Selain mampu dalam mendiagnosis adanya gagal jantung, klinisi diharuskan dapat
menentukan pola hemodinamik pasien gagal jantung dalam rangka menentukan
pilihan terapi yang tepat. Pasien dengan gagal jantung bermanifestasi mulai dari
kondisi stabil dengan keluhan minimal hinggal syok kardiogenik dan edem paru.
Dengan menggabungkan beberapa parameter klinis, dapat ditentukan pola
hemodinamik pasien gagal jantung (gambar 9).15
19
Gambar 9. Pola hemodinamik pasien gagal jantung15
Tabel 6. Kriteria Acute Kidney Injury Network untuk gagal ginjal akut17
20
Tabel 7. Kirteria KDOQ untuk gangguan ginjal kronik18
2.5. Pengelolaan
Pada pengelolaan sindrom kardiorenal, terdapat dua aspek penting yang pertama
adalah urutan gangguan organ yang ada, kedua adalah dampak gangguan dua arah
yang dapat menyebabkan lingkaran setan kerusakan kedua organ. Aspek penting
lainnya adalah adalah onset kerusakan yang ada, baik akut maupun kronik. Pada
gambar 10 dapat diperlihatkan area potensial pencegahan dan penanganan
sindrom kardiorenal. Pengenalan secara dini gangguan yang ada menggunakan
marka kelainan organ ataupun pendekatan diagnosis yang ada dapat mencegah
terbentuknya lingkaran setan gangguan organ. Sekalipun telah terjadi kerusakan
satu organ, kerusakan organ lainnya data dicegah dengan strategi penanganan
yang tepat sesuai pedoman penangnan standar yang ada14.
21
Gambar 10. Alur kejadian sindroma kardiorenal sebagai peta potensial
penanganan14
Penanganan sindrom kardiorenal bersifat kompleks. Terdapat beberapa
pendekatan penanganan sindrom kardiorenal. Pendekatan secara patofisiologis
melibatkan pembagian sindroma kardiorenal menjadi 5 tipe, dan pendekatan
berdasarkan rasionalisasi kejadian berdasarkan tipe yang ada. Secara umum
pendekatan penanganan sindroma kardiorenal mengikuti standar penanganan
berdasarkan guideline penanganan gangguan organ primer maupun sekunder
(tabel 8)14.
Tabel 8. Pendekatan penanganan sindrom kardiorenal14
22
Pendekatan pasien dengan gagal jantung melibatkan penganalan dini profil
hemodinamik pasien. Pasien dengan manifestasi klinis gagal jantung harus
dievaluasi profil hemodinamik awal melalui pemeriksaan klinis. Manifestasi gagal
jantung khususnya dalam kondisi akut dalam dikelompokkan apakah terdapat
tanda kongesti dalam hal ini pasien dalam kondisi “wet” ataupun tidak terdapat
kongesti “dry”. Selain itu perlu juga ditentukan status perfusi pasien, apakah
menurun “cold” ataupun adekuat “warm”. Dengan mengkombinasikan profil
perfusi dan kongesti dapat ditentukan strategi penanganan gagal jantung akut
tersebut (gambar11)15.
23
Gambar 11. Strategi penanganan gagal jantung akut15
Pilihan dan dosis obat inotropik maupun vasodilator diperlihatkan pada tabel 9
dan 10. Penggunaan obat tersebut harus didasarkan pertimbangan hemodinamik
individual pasien dan evidence based yang ada.
24
Tabel 9. Pilihan inotropik dan vasokonstriktor15
25
Gambar 12. Algoritma penanganan gagal jantung simtomatik dengan penurunan
fraksi ejeksi ventrikel kiri15.
Kardiorenal tipe 1 tampil dengan manifestasi gagal jantung akut atau syok
kardiogenik dengan berbagai manifestasi hemodinamik dari edem paru akut
dengan hipertensi serta overload cairan hingga syok kardiogenik dan hipotensi.
Secara umum penanganan sindrom kardiorenal tipe 1 bersifat empirik. Hipotensi
dan penurunan cardiac output dengan aktivasi neurohormonal secara tradiosional
merupakan alasan terjadinya perburukan fungsi ginjal untuk sindrom ini, namun
bukti terkini telah menjelaskan bahwa tekanan vena yang tinggi dan peningkatan
tekanan intra abdominal yang menyebabkan kongesti vena ginjal menjadi
26
kontributor penting terjadinya penurunan fungsi ginjal, hal ini ditunjukkan banyak
pasien dengan sindrom kardiorenal tipe 1 memiliki fraksi ejeksi ventrikel dan
tekanan darah yang normal atau tinggi. Strategi untuk menurunkan kongesti
dengan diuretik dan ultrafiltrasi serta penggunaan vasodilator pada pasien tertentu
merupakan langkah penanganan yang penting.19
Diuretic mengurangi reabsorpsi natrium dan klorida pada ansa henle bagian
ascending dengan menghambat transporter Na-K-2Cl, yang menyebabkan
peningkatan ekskresi natrium yang terfiltrasi hingga 20-25%. Hal tersebut dapat
mengurangi tekanan vena sentral dan tekanan intraabdominal, mengkoreksi
overload cairan yang merupakan aspek penting pada hemodinamik sindrom
kardiorenal.13
27
Gambar 13. Dampak pemberian diuretik13
Furosemid memiliki onset dan puncak kerja dalam 30 menit dan 1-2 jam serta
bertahan hingga 6 jam. Pemberian dosis tinggi dengan interval pemberian yang
lama dapat menyebabkan penurunan volume intravascular yang cepat sebelum
terjadi redistribusi cairan interstitial kedalam intravascular, yang menyebabkan
aktivasi SRAA, hipovolemia dan resistensi diuretic (gambar 13). Oleh sebab itu
pemberian dengan rentang yang pendek (setiap 6-8 jam) lebih dianjurkan.
Pemberian loop diuretic secara kontinu merupakan alternatif lain yang dapat
memberikan diuresis cairan yang lebih stabil selain itu efek toksik diuresis seperti
ketulian dan tinnitus lebih jarang terjadi. Dosis diuretic yang disarankan
diperlihatkan pada tabel 11.13
28
spironolactone tidak boleh diberikan bila nilai kreatinin > 2.5 mg/dl atau terdapat
hiperkalemia > 5.0mm/L. Penghambatan tonus simpatis melalui penggunaan
penghambat beta merupakan strategi penting pasien dengan gagal jantung dan
penyakit jantung iskemik. Secara umum, obat-obatan tersebut tidak memberikan
efek buruk pada fungsi ginjal. Carvedilol memberikan efek pada ginjal yang lebih
baik dibanding penghambat beta keluaran sebelumnya. Pemberian erythropoiesis-
stimulating agent pada sindrom kardiorenal tipe 2 dan anemia menunjukkan
perbaikan fungsi jantung, mengurangi ukuran ventrikel kiri, dan menurunkan
kadar BNP.19
Pada sindrom kardiorenal tipe 3 gangguan ginjal akut merupakan kejadian primer
(gromerulonefritis), atau sekunder (pemberian radiokontras, nefrotoksin, dll).
Contoh sering untuk sindrom kardiorenal tipe 3 adalah nefropati akibat
penggunaan zat kontras seperti pada pasien yang menjalani angiografi yang
memiliki faktor resiko seperti CKD, diabetes, usia tua atau hipovolemia. Beberapa
strategi pencegahan telah diteliti, seperti hidrasi parenteral, pemberian dopamine,
diuretic, dan peptida natriuretik. Tindakan penanganan lainnya bergantung
penyebab yang mendasari terjadinya gangguan ginjal akut.19
29
Tabel. 11. Strategi penanganan sindrom kardiorenal berdasarkan klinis13
30
BAB III
1.1. Kesimpulan
1. Sindroma Kardiorenal adalah keadaan gangguan secara
patofisiologi pada jantung dan ginjal, dimana terjadi disfungsi yang
akut atau kronis pada salah satu organ yang mengakibatkan
gangguan organ lainnya.
2. Sindrom kardiorenal memiliki mortalitas yang lebih besar
dibanding hanya kerusakan salah satu organ.
3. Sindrom kardiorenal dapat diklasifikasikan berdasarkan
pendekatan patofisiologis maupun secara klinis.
4. Diagnosis dan penanganan sindrom kardiorenal tetap berdasarkan
standar guideline penanganan masing-masing disfungsi organ
dengan tetap mempertimbangkan keterkaitan hubungan kedua
organ.
1.2. Saran
31
DAFTAR PUSTAKA
32
13. Obi Y, Kim T, Kovesdy CP, Amin AN, Kalantar-Zadeh K. Current and Potential
Therapeutic Strategies for Hemodynamic Cardiorenal Syndrome. Cardiorenal Med 2016.
2016; 6: p. 83–98
14. Ronco C, McCullough P, Anker SD, Anand I. Cardio-renal syndromes: report from
the consensus conference of the Acute Dialysis Quality Initiative. European Heart
Journal. 2010; 31: p. 703–711
15. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF. 2016 ESC Guidelines
for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. European Heart
Journal. 2016: p. 1-85.
16. McMurray JJV, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bo¨hm M. ESC Guidelines
for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012. European Heart
Journal. 2012; 33: p. 1787–1847
17. Lopes JA, Jorge S. The RIFLE and AKIN classifications for acute kidney injury: a
critical and comprehensive review. Clin Kidney J. 2013; 6: p. 8-14
18. Johnson D. Diagnosis, classification and staging of chronic kidney disease. Early
Chronic Kidney Disease. 2012;: p. 1-31
19. House AA, Haapio M, Lassus J, Bellomo R, Ronco C. PharmacologicalManagement
of Cardiorenal Syndromes. International Journal of Nephrology. 2011;: p. 1-8
33