Anda di halaman 1dari 41

SEMINAR KASUS PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)


RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Laporan Praktik


Stase Keperawatan Gawat Darurat Kritis

Disusun Oleh :

MAHSISWA PROFESI NERS


TAHUN 2019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WIRARAJA
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
SGD (Small Group Discussion) Keperawatan Gawat Darurat yang membahas tentang
“Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gagal Ginjal Kronik (Choronic Kidney
Disease).
Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Ucapan terima kasih
kami ucapkan kepada :
1. Puguh, S. Kep,Ns, selaku pembimbing klinik dalam pembuatan makalah ini;
2. Nailiy Huzaimah, S.Kep., Ns., M.Kep selaku pembimbing akademis dalam
pembuatan makalah asuhan keperawatan pada klien Gagal Ginjal Kronik
(Choronic Kidney Disease);
3. Teman-teman profesi ners 2019 yang ikut membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
Harapannya makalah ini dapat memberikan ilmu bagi insan keperawatan
untuk memberikan asuhan keperawatan. Sebagai penulis kami menyadari bahwa
masih ada kekurangan dari penampilan dan penyajian makalah ini, oleh karena itu
kami menginginkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Kami
berharap makalah yang kami susun dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.
.

Malang, 26 Desember 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................. 1
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................ 2
1.4 Manfaat ................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal ............................................... 3
2.2 Definisi Gagal Ginjal Kronik ............................................... 5
2.3 Tahap Perkembangan Gagal Ginjal Kronik ........................ 6
2.4 Etiologi Gagal Ginjal Kronik ............................................... 6
2.5 Stadium Gagal Ginjal Kronik .............................................. 7
2.6 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik ....................................... 9
2.7 Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik .............................. 9
2.8 Pemeriksaan Diagnostik Gagal Ginjal Kronik ..................... 11
2.9 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik ................................. 13
2.10 Komplikasi Gagal Ginjal Kronik ........................................ 21
2.11 Prognosis Gagal Ginjal Kronik ............................................ 22
2.12 Web of Cautation ................................................................. 25
2.13 Konsep Dasar Hipovolemia ................................................
2.14 Literatur Jurnal Review .......................................................

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Pengkajian ............................................................................ 27
3.2 Diagnosa Keperawatan ........................................................ 29
3.3 Intervensi keperawatan ........................................................ 30

BAB IV PENUTUP
4.1 Pengkajian ............................................................................ 39

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 54


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan
filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2
selama 3 bulan atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor (NKF
K/DOQI 2000; Kallenbach et al. 2005). Apabila kerusakan ini mengakibatkan laju
filtrasi glomelurus/GFR berkurang hingga di bawah 15 ml/min/1,73 m2 dan disertai
kondisi uremia, maka pasien mengalami gagal ginjal tahap akhir atau disebut dengan
End Stage Renal Disease (ESRD).
Saat ini penderita gagal ginjal kronik di dunia mengalami peningkatan sebesar
20-25% setiap tahunnya (USRDS 2008 dalam Harwood. Lori et al. 2009). Menurut
data PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia)mencapai 70.000, namun yang
terdeteksi menjalani gagal ginjal kronis dan menjalani cuci darah/haemodialysis
hanya sekitar 4000 sampai dengan 5000 saja. Angka mortalitas pasien gagal ginjal
kronik semakin meningkat seiring meningkatnya angka kejadian penyakit diabetes
mellitus, hipertensi, dan penyakit jantung sebagai penyebabnya dan komplikasi yang
ditimbulkan oleh penyakit tersebut. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun
2006, gagal ginjal kronik menempati urutan ke 6 penyebab kematian yang dirawat di
rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di
RSUP Fatmawati, menurut data Instalasi Rekam Medik RSUP Fatmawati Jakarta
jumlah penderita penyakit ginjal kronik pada tahun 2011 sebanyak 1629 orang.
Penatalaksanaan untuk mengatasi masalah GGK terdapat dua pilihan
(Markum 2009) yaitu pertama, penatalaksanaan konservatif meliputi diet protein, diet
kalium, diet natrium, dan pembatasan cairan yang masuk. Sehingga kebutuhan cairan
lebih sangat perhatikan. Gangguan volume cairan merupakan suatu keadaan ketika
individu beresiko mengalami penurunan, peningkatan, atau perpindahan cepat dari
satu kelainan cairan intravaskuler, interstisial dan intraseluler. (Carpenito, 2000).
Keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami kelebihan
cairan intraseluler atau interstisial. (Carpenito, 2000). Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa kebutuhan cairan sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup.
Oleh karena permasalahan tersebut, makalah ini disusun agar perawat mampu
memahami dengan baik mengenai gagal ginjal kronik serta mampu menerapkan
asuhan keperawatan yang tepat bagi penderita gagal ginjal kronik.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Makalah ini menjabarkan secara rinci tentang teori konseptual mengenai
gagal ginjal kronik dan bagaimana cara memberikan penatalaksaan yang cepat
dan tepat, serta pembaca diharapkan memahami dan menerapkan asuhan
keperawatan pada kasus gagal ginjal kronik secara komprehensif.

1.2.2 Tujuan Khusus


Mahasiswa mampu
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi ginjal
2. Menjelaskan definisi dari gagal ginjal kronik
3. Menjelaskan tahap perkembangan dari gagal ginjal kronik
4. Menjelaskan etiologi dari gagal ginjal kronik
5. Menjelaskan stadium dari gagal ginjal kronik
6. Menjelaskan patofisiologi dari gagal ginjal kronik
7. Menjelaskan manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik
8. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari gagal ginjal kronik
9. Menjelaskan penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik
10. Menjelaskan komplikasi dari gagal ginjal kronik
11. Menjelaskan prognosis dari gagal ginjal kronik
12. Menjelaskan Web of Cautation dari gagal ginjal kronik
13. Menjelaskan Konsep Dasar Hipervolemia
14. Mejelasakan Literatur Review Jurnal

1.3 Manfaat
Mahasiswa mampu mengetahui tentang gagal ginjal kronik sehingga perawat
akan lebih peka dan teliti dalam mengumpulkan data pengkajian awal dan
menganalisa suatu respon tubuh pasien terhadap penyakit, sehingga gagal ginjal
kronik tidak semakin berat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi


hilus ginjal, yaitu tempat struktur-sturuktur pembuluh darah, sistem limfatik,
sistem Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga peritoneal
bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke
medial. Pada sisi ini, terdapat saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal.
Besar dan berat ginjal sangat bervariasi tergantung pada jenis kelamin, umur, serta
ada tidaknya ginjal pada sisi lain. Ukuran ginjal rata-rata adalah 11,5 cm (panjang) x
6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya bervariasi sekitar 120-170 gram (Aziz
dkk.2008).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan berkilau yang disebut true
capsule (kapsul fibrosa) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak peri
renal. Di sebelah kranial terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula
adrenal/suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan
jaringan lemak perineal dibungkus oleh fasia gerota. Fasia ini berfungsi sebagai
barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah
ekstravasasi urin pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu, fasia gerota dapat pula
berfungsi sebagai barier dalam menghambat metastasis tumor ginjal ke organ
sekitarnya. Di luar fasia gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut
jarinagn lemak pararenal (Aziz dkk. 2008).

Gambar 1. Anatomi Ginjal (Aziz dkk. 2008)

Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang tebal


serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh
organ-organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan
duodenum, sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejunum,
dan kolon (Aziz dkk. 2008). Ginjal kanan tingginya sekitar 1 cm di atas ginjal kiri
(Faiz &Moffat 2004).
Secara anatomik ginjal terbagi dalam dua bagian, yaitu korteks dan medula
ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, sedangkan di dalam medula
banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang
terdiri atas glomeruli dan tubuli ginjal. Darah yang membawa sisa-sisa hasil
metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal beberapa
zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa
metabolisme tubuh disekresi bersama air dalam bentuk urin (Aziz dkk. 2008).

Gambar 2. Sistem Nefron Ginjal (Aziz dkk. 2008)

Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem


pelvikalises ginjal untuk disalurkan ke dalam ureter. Sistem pelvikalises ginjal terdiri
atas kaliks minor, infundibulum, kaliks mayor, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa
sistem pelvikalises terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri otot polos
yang mampu berkontraksi untuk mengalirkan urin sampai ureter (Aziz dkk. 2008).
Ginjal bekerja untuk menyaring darah sebanyak kurang lebih 200 liter tiap
harinya dan juga membuang sisa-sisa metabolisme serta kelebihan cairan tubuh
melalui urin. Selain membuang sisa-sisa metabolisme tubuh melalui urin, ginjal
berfungsi juga dalam:
1. Melakukan kontrol terhadap sekresi hormon-hormon aldostreon dan Anti Diuretik
Hormon (ADH)
2. Mengatur metbolisme ion kalsium dan vitamin D
3. Menghasilkan hormon, antara lain: eritropoetin yang berperan dalam pembentukan
sel darah merah, renin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah, kalsitriol
atau vitamin D3 yaitu bentuk aktif dari vitam D yang berfungsi mengatur tekanan
darah dengan cara mengatur keseimbangan kadar kalsium, dan hormon
prostaglandin (Aziz dkk. 2008).

2.2 Definisi Chronic Kidney Disease


Chronic kidney disease (CKD) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga
timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer
2008). Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan
filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2
yang terjadi selama lebih dari 3 bulan (Kallenbach et al. 2005). Menurut KDIGO
(2013) Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan abnormalitas dari struktur atau
ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan yang mempengaruhi kesehatan, dengan
kriteria sebagai berikut:
1. Adanya kerusakan ginjal (satu atau lebih):
a. Albuminuria (AER ≥30 mg/24 jam; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol])
b. Abnormalitas sedimen urin
c. Abnormalitas elektrolit dan lainnya akibat dari kerusakan pada tubulus ginjal
d. Adanya abnormalitas yang diketahui dari histologi
e. Abnormalitas struktural yang diketahui dari pencitraan
f. Mempunyai riwayat transplantasi ginjal
2. Penurunan GFR
GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5)
Kondisi ginjal yang gagal melaksanakan fungsi utamanya akan terjadi
gangguan pembuluh darah dan penyakit lebih mudah merusak pembuluh darah
tersebut. Akibatnya, darah yang diterima unit penyaring menjadi lebih sedikit, dan
tekanan darah di dalam ginjal tidak bisa dikendalikan. Bila unit penyaring yang
terganggu, maka suplai darah kurang dan gangguan tekanan darah akan membuat
ginjal tidak mampu membuang zat-zat tidak terpakai lagi. Selain itu ginjal juga
tidak bisa mempertahankan keseimbangan cairan dan zat-zat kimia di dalam
tubuh, sehingga zat buangan bisa masuk kembali ke dalam darah. Juga mungkin
terjadi, zat kimia yang dibutuhkan tubuh dan protein akan ikut keluar bersama urin
(Syamsir & Iwan 2007).
Pada gagal ginjal kronik penderita hanya dapat berusaha menghambat laju
tingkat kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak menjadi gagal ginjal terminal
(GGT), suatu kondisi dimana ginjal sudah tidak dapat berfungsi lagi. Kondisi
gagal ginjal kronik ini biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya menahun,
dengan sedikit gejala pada awalnya, bahkan lebih sering penderita tidak merasakan
adanya gejala dan diketahui fungsi ginjal sudah menurun 25% dari normal.
Beberapa penyakit yang memicu terjadinya penyakit aggal ginjal kronik, antara
lain diabetes, hipertensi, dan batu ginjal (Syamsir & Iwan 2007).

2.2.1 Tahapan Perkembangan Gagal Ginjal Kronik


Tahapan perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu (Baradero dkk. 2005):
1. Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik
2. Gagal ginjal
a. 75-80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
c. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan poliuria
3. Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, asidosis metabolik
d. Berat jenis urin
e. Poliuria dan nokturia
f. Gejala gagal ginjal
4. End-stage renal disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
e. Berat jenis urin tetap 1,010
f. Oliguria
g. Gejala gagal ginjal

2.2.2 Etiologi
Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes
mellitus (tipe 1 atau tipe 2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-stage
Renal Failure (ERFD) di seluruh dunia adalah IgA nephropathy (penyakit
inflamasi ginjal). Komplikasi dari diabetes dan hipertensi adalah rusaknya
pembuluh darah kecil di dalam tubuh, pembuluh darah di ginjal juga
mengalami dampak terjadi kerusakan sehingga mengakibatkan gagal ginjal
kronik.
Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu dengan
yang negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebab
paling banyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti
oleh hipertensi sebanyak 27% Dan glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas
2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik sering terjadi karena
glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi pada ginjal,
hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al. 2009).
Penyebab dari gagal ginjal kronis yang tersering dibagi menjadi 8 kelas,
antara lain (Price & Wilson 2003):
Tabel 1.
Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik (Price & Wilson 2003):
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronis/refluks nefropati
Penyakit peradangan Glomerulonefritis
Penyakit vascular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan ikat SLE
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolic DM
Gout, hiperparatiroidisme
Amilodosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik, obat TBC
Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas: batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika
urinaria dan uretra

2.2.3 Stadium
Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan CGA sistem
yaitu Cause, GFR category, dan Albuminuria category. Gagal ginjal kronik
merupakan stadium 5 dari CKD atau biasa disebut dengan End-stage Renal
Disease (ESRD). Dikatakan gagal ginjal kronik apabila dari hasil tes nilai
eGFR < 15 mL/min/1.73 m2.
Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) dalam Kidney Disease:
Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group (2013) KDIGO 2
clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic
kidney disease:
Tabel 2. Kategori GFR (KDIGO 2013)

GFR Terms
GFR (ml/min/1.73 m2)
category
G1 >90 Normal or high

G2 60–89 Mildly decreased*

G3a 45–59 Mildly to moderately decreased

G3b 30–44 Moderately to severely decreased

G4 15–29 Severely decreased

G5 <15 Kidney failure

* Relatif pada level dewasa

Tabel 3. Kategori Albuminuria (KDIGO 2013)

ACR AER ACR Terms


category (mg/24hrs) (mg/mmol)
A1 < 30 <3 Normal to mildly
increased

A2 30-300 3–30 Moderately


increased*

A3 > 300 >30 Severely increased**

* Relatif pada level dewasa


** Termasuk sindrom nefrotik (ACR > 220 mg/mmol)

GFR = glomerular filtration rate


AER = albumin excretion rate
ACR = albumin-to-creatinine ratio

2.2.4 Patofisiologi
Ginjal merupakan salah satu organ ekskretori yang berfungsi untuk
mengeluarkan sisa metabolisme didalam tubuh diantaranya ureum, kreatinin,
dan asam urat sehingga terjadi keseimbangan dalam tubuh. Penyakit ini
diawali dengan kerusakan dan penurunan fungsi nefron secara progresif akibat
adanya pengurangan masa ginjal. Pengurangan masa ginjal menimbulkan
mekanisme kompensasi yang mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa. Perubahan ini mengakibatkan
hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Selanjutnya penurunan fungsi ini akan disertai dengan penurunan
laju filtrasi glomerulus (GFR) dan peningkatan sisa metabolisme dalam tubuh.
Perjalanan umum ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium
satu dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini kreatin serum
dan BUN dalam keadaan normal dan penderita asimtomatik (tanpa gejala).
Gangguan fungsi ginjal akan dapat diketahui dengan tes GFR.
Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari 75%
jaringan yang berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal. Pada tahap ini
BUN baru mulai stadium insufisiensi ginjal gejala nokturia dan poliuria
diakibatkan kegagalan pemekatan. Nokturia (berkemih pada malam hari)
sebanyak 700 ml atau berkemih lebih dari beberapa kali. Pengeluaran urin
normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai dengan jumlah cairan yang
diminum.
Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar
90% dari massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh.
Nilai GFR nya hanya 10% dari keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar
5-10 ml/menit. Penderita biasanya oliguri (pengeluaran urien kurang dari 500
ml/hari) karena kegagalan glomelurus uremik. Fungsi ginjal menurun, produk
akhir metabolisme protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh.
Menurut Sudoyo et al. (2009) stadium paling dini dari penyakit gagal
ginjal kronis, akan menyebabkan penurunan fungsi yang progresif ditandai
dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Pasien dengan GFR
60% belum merasakan keluhan, tetapi sudah ada peningkatan kadar ureum
dan kreatinin, sampai GFR 30% keluhan nokturia, badan lemas, mual, nafsu
makan berkurang, dan penurunan berat badan mulai terjadi.

2.2.5 Manifestasi Klinis


Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan secara
lambat dan progresif dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat komplikasi
dari kondisi medis lain yang serius. Tidak seperti gagal ginjal akut yang
terjadi dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal kronis terjadi secara bertahap.
Gagal ginjal kronis terjadi dalam hitungan minggu, berbulan-bulan, atau
bahkan bertahun-tahun sampai ginjal perlahan berhenti bekerja, mengantarkan
pada stadium akhir penyakit ginjal (ESRD). Perkembangan yang sangat
lambat inilah yang mengakibatkan gejala tidak muncul sampai adanya
kerusakan besar.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Long 1996):
1. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi.
2. Gejala yang lebih lanjut: anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal
atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai
lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2001):
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub pericardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testekuler

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK
adalah:
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi
dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan
memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan
rasio urin/ serum saring (1 : 1).
5. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan
ginjal.
6. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal
tidak mampu mengabsorpsi natrium.
7. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
8. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan
warna merah diduga nefritis glomerulus.
Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal
kronik, antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus,
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload)
neuropati perifer, proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis
metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah
mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas,
dan obesitas.

2.2.7 Penatalaksanaan
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya menurut Suwitra (2007) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit


ginjal kronik berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik,
hipertensi berat, gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk
mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
(Suwitra 2007).
LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr
˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria ≤9g
atau 0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom


uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltration), yang akan meningkattkan progresifitas pemburuan
fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan
pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi,
memperkecil risiko gangguan kardiovaskuler juga memperlambat
pemburukan kerusakan nefron. Beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim konverting angiotensin (Angiotensin Converting
Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses perburukan fungsi
ginjal.
4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyaki
kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia
pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritopoitin. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian
eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian
EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada
penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal sasaran hemoglobin
menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
b. Osteodistrofi renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi. Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan
cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol
(1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan
asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan absorbsi fosfat
disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal
juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
1) Manajemen Hiperfosfatemia
a) Pembatasan asupan fosfat
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien
penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar
terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor.
Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat
yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya
malnutrisi
b) Pemberian pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium,
alumnium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fofat yang
berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium acetate. Memperlihatkan
cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya.
c) Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)
Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama
sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic
agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik
serta efek samping yang minimal.
2) Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3))
Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak
dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat
meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium disaluran cerna sehingga
dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan barang calcium carbonate
dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Disamping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
Oleh karena itu pemakainnya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat
darah normal dan kadar hormone paratiroid (PTH)>2,5 kali normal.
3) Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya odem dan
komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun insensible
water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insible
water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh),
maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian
obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
(seperti buah dan sayuran) harus dibatasi kadar kalium darah dianjurkan
3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan
hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.
6. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut (Raharjo, et al. 2009). Proses dialisa
menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme dalam tubuh serta
menjaga keseimbangan elektrolit dan produk kimiawi dalam tubuh
(Ignatavicius & Workman 2006). Tujuan hemodialisis adalah untuk
mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah yang penuh
dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser
tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke
tubuh pasien. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan
dialisat bersikulasi di sekitarnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam
cairan dialisat akan terjadi membran semipermeabel tubulus (Rosdiana
2011). Proses hemodialis dilakukan 1-3 kali dalam seminggu di rumah
sakit dengan memerlukan waktu sekitar 2-45 jam setiap kali hemodialisis
(Syamsir&Hadibroto 2007).Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis
berdasarkan parameter
laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.

Gambar 3. Proses Hemodialisis (Joyce, dkk. 2008)


Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui
proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi
tinggi ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Rosidana
2011).

Gambar 4. Proses Difusi (http://www.baxter.com)


Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan,
yaitu air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh
pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).
Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang
dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis (Rosdiana 2011).

Gambar 5. Proses Ultrafiltrasi (http://www.lhsc.on.ca/)

Indikasi inisiasi terapi dialisis:


1. Indikasi absolut
a. Periecarditis
b. Ensefalopati / neuropati azotemik
c. Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik
d. Hipertensi refrakter
e. Muntah persisten
f. BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %
2. Indikasi elektip
a. LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8 ml/m/1,73 m2
b. Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus
mendapatinformasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.
Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular:
1. Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2. Psikoligis yang stabil
3. Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak
terbatas sebelum transplantasi ginjal
4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal
yang telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin
kualitas hidup optimal
5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
a. Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
b. Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/%
terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:
1. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki sistem
vaskular pasien.
3. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi di
luar tubuh.
4. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam
kulit
5. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan
kejang, berpotensi besar jika terdapat uremia yang berat.
6. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
7. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan
edema pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan
sodium.

b. Peritoneal Dialisis
Pada dialisis ini membran dialisis menggunakan membran peritoneal
pasien sendiri. Cairan dialisis diletakkan pada rongga peritoneal
menggunakan kateter yang dimasukkan dan dibiarkan selama 4-6 jam
untuk mencapai kesetimbangan. Dialisat kemudian dibuang dan digantikan
dengan fluida dialisis yang baru. Perubahan konsentrasi glukosa pada
dialisat akan mengubah osmolaritas dan hal ini mengatur perpindahan air
secara osmosis dari darah ke dialisat. Proses ini dapat dilakukan sendiri
oleh pasien di rumah. Komplikasi yang sering terjadi adalah peritonitis.

Gambar 6. Pasien yang mendapat dialisis peritoneal (Baradero 2005)

c. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal:
1. Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 -
80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
Kontraindikasi relatif terhadap transplantasi ginjal:
1. Usia lebih dari 70 th
2. HIV positif
3. Infeksi bakteri
4. Keganasan yang baru terjadi atau sedang diderita
5. Penyakit jantung berat
6. Sensitasi tinggi
7. Penyakit ginjal dengan risikp rekurensi yang tinggi
Persiapan program transplantasi ginjal, antara lain:
1. Pemeriksaan imunologi
a. Golongan darah ABO
1) Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan donor
menyebabkan reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate
rejection)
2) Antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan.
b. Tipe jaringan HLA ( human leucocyte antigen )
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene
complex):
1) Kelas (I) antigen :
* HLA – A
* HLA – B
* HLA-C
2) Kelas (II) antigen : * HLA - D (DR)
2. Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

2.2.8 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2002)
yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-
angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan
kehilangan darah selama hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium.
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009) yaitu:
1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi
eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian
eritropoietin subkutan atau intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar
besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien dalam keadaan baik.
Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan eritropoietin yang
diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal
kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin
merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi
pada penyakit ginjal kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi
natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa
menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tripel.
Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi
natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi
ginjal memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air
akibat hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan
sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga
mengekskresi urin yang sangat encer, yang dapat menyebabkan dehidrsi.
4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi.
Keluhan ini sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier
serta dapat disebabkab oleh deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal
dapat dikurangi dengan mengontrol kadar fosfat dan dengan krim yang
mencegah kulit kering. Bekuan uremik merupakan presipitat kristal
ureum pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat. Pigmentasi kulit
dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.
5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering
terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal.
Namun gejala mual, muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi.
Insidensi esofagitis serta angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat
menyebabkan perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi.
Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau napas yang menyerupai
urin.
6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido,
impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita,
sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas.
Siklus hormon pertumbuhan yang abnormal dapat turut berkontribusi
dalam menyebabkan retardasi pertumbuhan pada anak dan kehilangan
massa otot pada orang dewasa.
7. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan
kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis
(mencakup tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus
otot dengan mioklonus, klonus pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar
ekstensor, dan yang paling berat kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase
terganggu pada uremia dan terjadi perubahan yang tergantung hormon
paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada transport kalsium membran
yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang
abnormal. Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam
(restless leg) atau kram otot dapat juga terjadi dan kadang merespons
terhadap pemberian kuinin sulfat. Gangguan psikiatrik seperti depresi dan
ansietas sering terjadi dan terdapat peningkatan risiko bunuh diri.
8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering
terjadi. Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialysis
dapat mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat
penurunan katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien
yang menjalani dialisis peritoneal daripada pasien yang menjalani
hemodialisis, mungkin akibat hilangnya protein plasma regulator seperti
apolipoprotein A-1 di sepanjang membran peritoneal.
10. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika
kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder
yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi. Fistula dialysis arteriovena yang
besara dapat menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar
sehingga mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh bagian
tubuh yang tersisa.

2.2.9 Prognosis
Prognosis GGT dengan program HD kronik tergantung dari banyak faktor
terutama seleksi pasien dan saat rujukan.
1. Umur
Umur < 40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa hidup lebih
panjang, mencapai 20 tahun. Sebaliknya umur lanjut > 55 tahun
kemungkinan terdapat komplikasi sistem kardiovaskuler lebih besar.
2. Saat rujukan
Rujukan terlambat memberi kesempatan timbul gambaran klinik berat
seperti koma, perikarditis, yang sulit dikendalikan dengan tindakan HD.
3. Etiologi GGT
Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amiloid, diabetes mellitus; dapat
mempengaruhi masa hidup. Hal ini berhubungan dengan penyakit
dasarnya sudah berat maupun kemungkinan timbul komplikasi akut atau
kronik selama HD.
4. Hipertensi
Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan faktos risiko
vaskuler (kardiovaskuler dan serebral)
5. Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit sistem kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia) merupakan
faktor risiko tindakan HD. Program CAPD merupakan faktor pilihan /
alternatif yang paling aman.
6. Kepribadian dan personalitas
Faktor ini penting untuk menunjang kelangsungan hidup pasien GGT
dengan program HD kronik.
7. Kepatuhan (complience)
Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD kronik,
misalnya kepribadian, finansial dan lain-lain.
2.12 WOC

Vaskuler Kista ginjal autoimun infeksi Toksik :


obat TB
jamu
Terdapat rongga Reaksi antigen
Diabetes melitus hipertensi
dalam gijal yang anti bodi
disebabkan oleh nefrotoksik
↑ kadar gula Vasokonstriksi kista
dalam darah pembuluh darah, Terjadi
↑tekanan darah Jumlah nefron kerusakan pada
Darah menjadi dalam arteri yang sehat nefron
kental menurun
Merusak pembuluh
↑ tekanan darah nefron secara
kapiler dalam langsung
ginjal
Kerusakan
Ginjal kehilangan
pembuluh darah di
kemampuan laju
ginjal
filtrasi glomerulus

GFR menurun

Hipertrofi struktural dan fungsional

Terjadi peningkatan renin angiotensin


aldosteron intra renal
hiperfiltrasi

Peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus

Adaptasi fungsi

Mal adaptasi nefron

Sklerosis nefron

Penurunan fungsi nefron progresif

CKD

Stage 1(GFR > 90) Stage 2 (GFR 60 – 90) Stage 3 GFR 30-59%) Stage 4 (GFR 15-29) Stage 5 (GFR <15)

↓cadangan ginjal Proteinuria/ BUN, Kreatinin ↓Eritropoitin Retensi Na Sekresi protein ↓sintesis 1,25-
albuminuria meningkat menurun terganggu dihydroxyvitamin D atau
kalsitriol
anemia Total CES ↑
asimtomatik Sindroma uremia
Sekresi protein
terganggu kegagalan mengubah
MK: ↑Tekanan bentuk inaktif Ca
Keletihan kapiler
hipoalbuminuria Syndrome ↑Volume interstitial perpospater Gangguan Kegagalan
uremia nia keseimban mengubah
gan asam bentuk inaktif
Pembengkakan oedema
pruritus basa Ca
pergelangan Pruritus
kaki, tangan, ↑Preload ↓absorbsi Ca
MK: ↑As.
wajah, perut
MK: gangguan gangguan Lambung
Hipertrofi
integritas kulit integritas
ventrikel kiri hipokalsemia
MK: kelebihan kulit dan
volume cairan
osteodistrofi
Payah jantung kiri
Nausea, Iritasi
vomiting lambung MK:
↑Bendungan
Hambatan
atrium kiri
Mobilitas
MK: mual MK:
Fisik
Tekanan vena Ketidakse
pulmonalis imbangan
nutrisi:
Kapiler paru naik kurang
dari
kebutuha
Edema paru
n tubuh

MK : gangguan
pertukaran gas
2.3 Hipervolemia (Kelebihan Volume Cairan)
2.3.1 Pengertian
Keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami
kelebihan cairan intraseluler atau interstisial. (Carpenito, 2000). Kelebihan
volume cairan mengacu pada perluasan isotonok dari CES yang disebabkan
oleh retensi air dan natrium yang abnormal dalam proporsi yang kurang lebih
sama dimana mereka secara normal berada dalam CES. Hal ini selalu terjadi
sesudah ada peningkatan kandungan natrium tubuh total, yang pada akhirnya
menyebabkan peningkatan air tubuh total. (Brunner & Suddarth. 2002).

2.3.2 Etiologi
Hipervolemia ini dapat terjadi jika terdapat :
1. Stimulus kronis pada ginjal untuk menahan natrium dan air.
2. Fungsi ginjal abnormal, dengan penurunan ekskresi natrium dan air.
3. Kelebihan pemberian cairan intra vena (IV).
4. Perpindahan cairan interstisial ke plasma

2.3.3 Patofisiologi
Kelebihan volume cairan terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan
elektrolit dalam kompartemen ekstraseluler dalam proporsi yang seimbang.
Karena adanya retensi cairan isotonik, konsentrasi natrium dalam serum
masih normal. Kelebihan cairan tubuh hampir selalu disebabkan oleh
peningkatan jumlah natrium dalam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat
overload cairan / adanya gangguan mekanisme homeostatis pada proses
regulasi keseimbangan cairan.

2.3.4 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala klinik yang mungkin didapatkan pada klien dengan
hipervolemia antara lain : sesak nafas, ortopnea.
Mekanisme kompensasi tubuh pada kondisi hiperlemia adalah berupa
pelepasan Peptida Natriuretik Atrium (PNA), menimbulkan peningkatan
filtrasi dan ekskresi natrium dan air oleh ginjal dan penurunan pelepasan
aldosteron dan ADH. Abnormalitas pada homeostatisis elektrolit,
keseimbangan asam-basa dan osmolalitas sering menyertai hipervolemia.
Hipervolemia dapat menimbulkan gagal jantung dan edema pulmuner,
khususnya pada pasien dengan disfungsi kardiovaskuler.
2.3.5 Komplikasi
Akibat lanjut dari kelebihan volume cairan adalah :
1. Gagal ginjal, akut atau kronik
Berhubungan dengan peningkatan preload, penurunan kontraktilitas, dan
penurunan curah jantung
2. Infark miokard
3. Gagal jantung kongestif
4. Gagal jantung kiri
5. Penyakit katup
6. Takikardi/aritmia
Berhubungan dengan hipertensi porta, tekanan osmotik koloid plasma
rendah, etensi natrium
7. Penyakit hepar : Sirosis, Asites, Kanker
8. Berhubungan dengan kerusakan arus balik vena
9. Varikose vena
10. Penyakit vaskuler perifer
11. Flebitis kronis

2.3.6 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan Fisik
Oedema, peningkatan berat badan, peningkatan TD (penurunan TD saat
jantung gagal) nadi kuat, asites, krekles (rales). Ronkhi, mengi, distensi
vena leher, kulit lembab, takikardia, irama galop
2. Protein rendah
3. Anemia
4. Retensi air yang berlebihan
5. Peningkatan natrium dalam urine

2.3.7 Penatalaksanaan Medis


Tujuan terapi adalah mengatasi masalah pencetus dan mengembalikan
CES pada normal. Tindakan dapat berupa hal berikut :
1. Pembatasan natrium dan air.
2. Diuretik.
3. Dialisi atau hemofiltrasi arteriovena kontinue : pada gagal ginjal atau
kelebihan beban cairan yang mengancam hidup.
2.3.8 Penatalaksanaan berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia
Tindakan yang dapat dilakukan dalam menangani Hipervolemia di antaranya
yaitu:
1. Observasi
a. Persiksa tanda dan gejala hypervolemia
b. Identifikasi penyebab hypervolemia
c. Monitor status hemodinamik
d. Monitor intake dan output cairan
e. Monitor tanda hemokonsentrasi
f. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma
g. Monitor kecepatan infus secara ketat
h. Monitor efek samping diuretik
2. Terapeutik
a. Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
b. Batasi asupan cairan dan garam
c. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40
3. Edukasi
a. Anjurkan melapor jika haluan urin <0,5 ml/kg/jam dalam 6 jam
b. Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari
c. Anjurkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluan cairan
d. Ajarkan cara membatasi cairan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian dierutik
b. Kolaborasi penggantian kehilangan kaliaum akibat diuretic
c. Kolaborasi pemberian continuos renal replacement therapy
2.3.9 Pedoman Penyuluhan Keluarga
Beri pasien dan orang terdekat instruksi verbal dan tertulis tentang hal
berikut:
1. Tanda dan gejala hipervolemia.
2. Gejala-gejala yang memerlukan pemberitahuan dokter setelah pulang dari
rumah sakit; sesak nafas, nyeri dada, ketidakteraturan nadi baru.
3. Diet rendah garam, bila diprogramkan; gunakan pengganti garam; dan
hindari makanan yang mengandung natrium tinggi.
4. Obat-obatan : termasuk nama, tujuan, dosis, frekwensi, kewaspadaan dan
potensial efek samping; tanda dan gejala hipokalemia bila pasien
mnggunakan diuretik.
5. Pentingnya pembatasan cairan bila hipervolemia berlanjut.
6. Pentingnya penimbangan berat badan setiap hari.

2.4 Literature Riview Jurnal


2.4.1 Perbedaan efektifitas mengunyah Permen Karet Rendah Gula Dan
Mengulum Terhadap Rasa Haus Pada Pasien Grapeice Cube Gagal
Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis
CKD adalah kondisi umum yang terjadi pada pasien yang menjalani
hemodialisis yang disebabkan oleh penurunan sekresi saliva. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas mengunyah permen karet
dan menghisap es batu anggur terhadap rasa haus pasien penyakit ginjal
kronis yang menjalani hemodialisis yang telah dilakukan di RSUD Arifin
Ahmad Provinsi Riau. Desain penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
dengan quasy eksperiment dan pre test - post test design dengan dua
pendekatan perbandingan dengan 34 responden yang diambil dengan kriteria
inklusi yang menggunakan teknik purposive sampling. Itu instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Analogi Visual. Analisis dalam
penelitian ini adalah bivariat yang digunakan Tes Wilcoxon dan Mann-
Whitney. Hasilnya menunjukkan perbedaan skor haus rata-rata setelah dan
sebelum mengunyah gelembung permen karet dengan nilai p 0,029> α (0,05).
Perbedaan rata-rata skor kehausan setelah dan sebelum menghisap es anggur
memiliki nilai p 0,000 <α (0,05). Perbedaan skor rata-rata kehausan pada
kelompok permen karet kunyah dan menghisap es batu anggur setelah
diberikan Intervensi memiliki nilai p 0,116> α (0,05), yang menunjukkan
tidak ada perbedaan skor haus rata-rata gelembung kunyah. gusi dan hisap es
batu anggur untuk pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.

2.4.2 Mengoptimalkan Manajemen Haus pada Pasien CKD yang Menjalani


Hemodialisis dengan Menghirup Es Batu
Kelebihan cairan merupakan masalah utama pada pasien dengan
Penyakit Ginjal Kronis (CKD). Pasien CKD yang menjalani hemodialisis
harus tetap membatasi asupan cairan selama periode interdialisis sehingga
tidak terjadi kelebihan cairan. Akibatnya membatasi asupan cairan muncul
haus dan akan mempengaruhi kepatuhan pembatasan cairan. Penatalaksanaan
kehausan yang bisa dilakukan pada pasien hemodialisis antara lain menghisap
es batu, mereguk air yang sudah matang dan berdeguk dengan obat kumur,
yang masing-masing memiliki aksi berbeda terhadap pasien yang haus.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan tiga intervensi
"manajemen haus", yaitu menghirup es batu, berkumur air matang dan
berkumur dengan obat kumur terhadap rasa haus pasien. Penelitian ini adalah
penelitian eksperimental pada 27 sampel pasien CKD yang menjalani
hemodialisis di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah di Semarang dibagi
menjadi 3 kelompok dengan masing-masing kelompok 9 sampel. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa durasi menahan rasa haus untuk kelompok
yang menyeruput es batu rata-rata 93 menit, kelompok yang berdeguk air
matang rata-rata 55 menit dan rata-rata lama waktu memegang kelompok
yang haus yang berdeguk dengan obat kumur adalah 69,71 menit. Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam durasi menahan rasa haus setelah mengisap
es batu dan air kumur berkumur, dan berkumur dengan obat kumur (nilai ρ
0,061). Menghirup es batu dapat melawan rasa haus terpanjang dibandingkan
dengan berkumur dengan air matang atau berkumur dengan obat kumur.
Rekomendasi penelitian ini diharapkan untuk campur tangan dalam
menyeruput es batu, berkumur air matang dan berkumur dengan obat kumur
dapat digunakan untuk manajemen haus pada pasien hemodialisis. Pasien
hemodialisis dapat memilih intervensi untuk mengurangi rasa haus yang
paling tepat.

2.4.3 Manajemen hiperkalemia pada pasien dengan penyakit ginjal: sebuah


makalah posisi yang didukung oleh Masyarakat Italia Nefrologi
Hiperkalemia (HK) adalah gangguan elektrolit yang paling umum diamati
pada pasien dengan penyakit ginjal, terutama di Indonesia mereka yang
diabetes dan gagal jantung hadir atau sedang dalam perawatan dengan
inhibitor sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAASI). HK diakui sebagai
risiko utama komplikasi aritmia jantung yang berpotensi mengancam jiwa.
Ketika sebuah reduksi akut dari fungsi ginjal bermanifestasi, baik pada pasien
dengan penyakit ginjal kronis (CKD) maupun pada mereka yang sebelumnya
fungsi ginjal normal , HK adalah indikasi utama untuk pelaksanaan perawatan
medis yang mendesak dan jalan untuk terapi penggantian ekstrakorporeal .
Pada pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir, kehadiran HK tidak
responsif terhadap medis terapi adalah indikasi pada awal terapi penggantian
ginjal kronis. HK juga dapat dikaitkan secara tidak langsung dengan
perkembangan CKD, karena penemuan nilai kalium yang tinggi mengarah
pada penghentian pengobatan dengan RAASIs, yang merupakan pilihan
pertama perawatan nefro-protektif . Oleh karena itu penting untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko terkena HK, dan untuk menerapkan
intervensi terapeutik yang bertujuan mencegah dan mengobati komplikasi
penyakit ginjal yang berbahaya ini. Strategi saat ini yang ditujukan untuk
pencegahan dan pengobatan HK masih tidak memuaskan, sebagaimana
dibuktikan oleh relatif tinggi prevalensi HK juga pada pasien di bawah
perawatan nefrologi yang stabil, dan bahkan dalam pengaturan ideal uji klinis
acak di mana perawatan dan pemantauan yang optimal adalah wajib. Makalah
posisi ini akan meninjau intervensi terapi utama untuk diimplementasikan
untuk pencegahan, deteksi dan pengobatan HK pada pasien dengan CKD pada
perawatan konservatif, pada mereka yang dialisis , pada pasien yang memiliki
penyakit ginjal yang berhubungan dengan diabetes, gagal jantung, hipertensi
resisten dan yang menggunakan pengobatan dengan RAASI, dan akhirnya
pada mereka yang mengalami HK akut berat.
*

2.4.4 Tips for Dialysis Patients With Fluid Restrictions (Tips membatasi
jumlah cairan)
Mengelola asupan cairan adalah salah satu tujuan dari diet ginjal Anda.
Ginjal biasanya menyaring produk limbah dan mengeluarkan cairan berlebih
dari tubuh Anda. Jika Anda memiliki penyakit ginjal tahap akhir dan
membutuhkan cuci darah, Anda mungkin menyimpan lebih banyak cairan
daripada biasanya. Hal ini tidak hanya dapat menyebabkan Anda merasa sesak
napas dan bengkak (edema), tetapi juga dapat menyebabkan komplikasi
seperti gagal jantung dan tekanan darah tinggi. Membatasi jumlah cairan yang
Anda minum setiap hari bisa menjadi tantangan yang sulit tetapi penting
untuk mencegah akumulasi cairan tambahan.
Manfaat Pembatasan Cairan: Dengan dialisis, ada batasan berapa banyak
cairan yang bisa dihilangkan dengan aman. Mengikuti pembatasan cairan
yang Anda rekomendasikan dapat membantu menghindari masalah ini.
Menghapus sejumlah besar cairan selama dialisis dapat menyebabkan gejala
yang tidak diinginkan: Tekanan darah rendah, Kram, Mual / muntah, Sakit
kepala, Pusing Kelelahan. tips: Mengetahui Asupan dan Berat Cairan
1. Tuliskan asupan cairan Anda di buku catatan kecil Sertakan cairan dengan
makanan, camilan, dan obat-obatan
2. Unduh aplikasi ke telepon Anda yang memungkinkan Anda melacak cairan
3. Gunakan botol air yang ditandai dengan gol cairan harian Anda dalam ons
atau mililiter (mL)
4. Ukur jumlah cairan untuk memastikan ukuran porsi yang benar
5. Bicaralah dengan dokter dan ahli diet Anda tentang berat badan spesifik
dan tujuan pembatasan cairan untuk Anda
Tips: Mengontrol Haus
1. Hindari makanan tinggi garam yang menyebabkan haus dan tekanan darah
meningkat
2. Kontrol asupan gula Anda karena terlalu banyak gula dan gula darah tinggi
meningkatkan rasa haus
3. Sedot buah-buahan beku seperti blueberry dan anggur — batasi hingga 1/2
gelas porsi
4. Mengunyah permen karet atau mengisap permen keras
5. Sebarkan cairan Anda sepanjang hari
6. Jika mulut Anda kering, gunakan botol semprot atau desir dan ludah untuk
melembabkan mulut Anda

2.4.5 Manajemen mengidam makanan dan haus pada pasien hemodialisis:


Studi kualitatif
Perasaan haus telah dikaitkan dengan kepatuhan yang rendah terhadap
cairan-rekomendasi asupan (Bots et al., 2004; Porcu et al., 2007). Karena itu
mengelola kehausan adalah tujuan penting bagi pasien yang menjalani dialisis.
Obat, substitusi melalui permen karet dan strategi seperti mulut berkumur,
menggunakan es batu, atau minum dari topi kecil telah terbukti membantu
meringankan rasa haus dan menghindari konsumsi berlebihan (Arai et al.,
2013; Bots et al., 2005; Mistiaen,2001). Sementara ada lebih banyak studi
tentang kehausan dibandingkan dengan mengidam makanan pada pasien
ESRD, ini biasanya studi intervensi di mana metode khusus mengatasi
kehausan diajarkan kepada pasien (Arai et al., 2013; Bots et al., 2005).
studi ini berangkat untuk mengeksplorasi pengalaman mengidam dan
haus makanan, dan strategi manajemennya pada pasien yang menjalani
hemodialisis. Wawancara semi-terstruktur dengan N = 32 pasien hemodialisis
dianalisis secara tematis. Temuan menunjukkan bahwa mengidam dan haus
makanan adalah umum dalam kehidupan sehari-hari pasien dan menghasilkan
respons emosional yang berbeda. Kombinasi strategi kognitif dan perilaku
adalah yang palingbanyak digunakan dipekerjakan, termasuk penghindaran,
konsumsi terkontrol, dan substitusi. Swa-monitor dan kompensasi strategi
juga digunakan untuk mencegah atau mengkompensasi penyimpangan.
Temuan ini meletakkan dasar bagi masa depan pekerjaan yang bertujuan
untuk meningkatkan kepatuhan pada pasien penyakit ginjal stadium akhir.
BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan dari jurnal yang dibahas pada bab sebelumnya ada beberapa

penengananan yang bisa dilakukan untuk membatasi cairan yang masuk atau

diminum untuk mengontrol keseimbangan cairan, yaitu :

1. mengontrol keluar masuknya cairan dengan cara sebagi berikut :

1) Tuliskan asupan cairan klien Sertakan cairan dengan makanan, camilan,


dan obat-obatan
2) Gunakan botol air yang ditandai dengan gol cairan harian Anda dalam ons
atau mililiter (mL)
3) Ukur jumlah cairan untuk memastikan ukuran porsi yang benar
4) Bicaralah dengan dokter dan ahli diet tentang berat badan spesifik dan
tujuan pembatasan cairan untuk klien.
2. Mengontrol Haus

1. Lakukan oral hygiene


2. Menggulum es batu atau buah-buahan beku.
3. Sedot buah-buahan beku seperti blueberry dan anggur — batasi hingga 1/2
gelas porsi
4. Mengunyah permen karet atau mengisap permen keras yang rendah gula
5. Berkumur dengan air hangat
BAB 1V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan
filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2
selama 3 bulan atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor (NKF
K/DOQI 2000; Kallenbach, Gutch, Stoner dan Corca 2005). Etiologi gagal ginjal
kronik bercvariasi antara negara yang satu dengan yang negara lain. Di Amerika
Serikat diabetes melitus menjadi penyebaba paling abnyak terjadi gagal ginjal kronik
yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27% Dan
glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal
kronik sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan
infeksi pada ginjal, hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). Terapi pengganti
ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari
15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis
atau transplantasi ginjal.
Penatalaksanaan untuk mengatasi masalah GGK terdapat dua pilihan
(Markum 2009) yaitu pertama, penatalaksanaan konservatif meliputi diet protein, diet
kalium, diet natrium, dan pembatasan cairan yang masuk. Sehingga kebutuhan cairan
lebih sangat perhatikan. Gangguan volume cairan merupakan suatu keadaan ketika
individu beresiko mengalami penurunan, peningkatan, atau perpindahan cepat dari
satu kelainan cairan intravaskuler, interstisial dan intraseluler. (Carpenito, 2000).
Keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami kelebihan
cairan intraseluler atau interstisial. (Carpenito, 2000). Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa kebutuhan cairan sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup
DAFTAR PUSTAKA

Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama

Aziz, M. Farid, dkk. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin

Penatalaksanaan kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.

Baradero, Mary, dkk. 2005. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.

Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. 2000. Rencana

Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan

Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Faiz, Omar dan Moffat, David. 2004. Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit

Erlangga

Ignatavicius, DD,. & Workman. L,. (2006). Medical surgical nursing, critical

thinking for collaborative care. Elsevier Saunders.

James, Joyce, dkk. 2008. Prinsip-prinsip Sains untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit

Erlangga

O’Callaghan, Chris. 2009. At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Smeltzer, S.S.B. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,.Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (Ed). (2009).

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 4). Jilid II. Jakarta: Pusat

Penerbitan Penyakit Dalam FKUI

Suwitra, Ketut. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD

FKUI.

Anda mungkin juga menyukai