Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS KEBIDANAN

STASE KETERAMPILAN DASAR PRAKTIK KEBIDANAN

PERAWATAN LUKA PADA TN. I DENGAN CKD


(CHRONIC KIDNEY DISEASE)
DI RUANG KENANGA I RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU

Disusun Oleh:
Heri Yanis 2315901009
Ayu Dahlia Warningsih 2315901049
Renty Ridwana 2315901062
Depni Desti 2315901050

PROGAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI RIAU
2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul penyakit CKD (Chronic Kidney Disease)

atau penyakit ginjal kronis.

Penulisan Laporan Kasus ini diajukan guna memenuhi salah satu syarat dalam

menyelesaikan Praktik Praklnik KDPK Profesi Bidan Universitas Pahlawan Tuanku

Tambusai. Dalam penyelesaian Laporan Kasus ini penulis banyak mendapatkan

bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada

yang terhormat:

1. Ibu Drg. Wan Fajriatul Mamnunah, Sp.KG selaku Direktur RSUD Arifin

Achmad beserta staff atas izin dan kerjasamanya dalam penulisan Laporan

Kasus ini.

2. Ibu Wan Eka, S.Tr.Keb selaku preseptor lahan di ruangan kenanga 1 RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru.

3. Ibu Ns. Darmilis, S.Kep selaku fasilitator lahan di ruang kenanga 1 RSUD Arifin

Achmad Pekanbaru.

4. Ibu Afiah, SST, MKM selaku pembimbing akademik dalam stase KDPK yang

telah memberikan kritikan dan saran dalam penulisan Laporan Kasus ini

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... iii


1.1 Latar Belakang ....................................................................................... iii
1.2 Tujuan..................................................................................................... v

BAB II TINJAUAN TEORI.......................................................................... 1


2.1 Konsep Medis........................................................................................ 1
2.1.1Defenisi............................................................................................. 1
2.1.2Tanda dan gejala ............................................................................... 2
2.1.3Pemeriksaan Penunjang.................................................................... 5
2.1.4Penatalaksanaan................................................................................ 6
2.1.5Etiologi ............................................................................................. 8
2.1.6Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD) ................................. 10
2.2 Manajemen Perawatan Luka...................................................................... 17

2.2.1Tissue Management.......................................................................... 18
2.2.2 Infection-Inflamation Control (Manajemen Infeksi dan Inflamasi) ..... 20
2.2.3Moisture Balance Management....................................................... 20
2.2.4 Epitelization Advancement Management (Manajemen Tepi Luka)....... 22

BAB III PENGKAJIAN KASUS.................................................................. 24


BAB IV PEMBAHASAN .............................................................................. 30

BAB V PENUTUP..........................................................................................
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 32
5.2 Saran....................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 34

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis (PGK)

merupakan kondisi ginjal yang dipicu dengan kerja dan/atau struktur ginjal yang

abnormal, dan biasanya terjadi bersamaan dengan diabetes dan/atau penyakit

kardiovaskular. CKD dibagi menjadi lima tahapan yang mana didasarkan tingkat

kehilangan fungsi ginjal. Tahapan CKD yaitu stage 1 dengan nilai glomerular

filtration rate (GFR) ≥90 mL/ min/1.73 m2, stage 2 dengan nilai GFR 60-89

mL/min/1.73 m2, stage 3 dengan nilai GFR 30- 59 mL/min/1.73 m2, pasien

dengan CKD lanjut diklasifikasikan memiliki stage 4 dengan nilai GFR yaitu 15–

29 mL/min/1.73 m2 atau stage 5 nilai GFR yaitu <15 Ml/min/7.32m2.

CKD merupakan kategori penyakit yang mengalami kenaikan jumlah kasus

serta dianggap permasalahan yang gawat. Menurut US Renal Data System 2020

lebih dari 14,9% masyarakat dewasa di Amerika memiliki penyakit gagal ginjal

kronis dengan bermacam tingkat keparahan. Pada tahun 2018, hasi riset kesehatan

dasar di Indonesia memperlihatkan prevalensi CKD terbilang tinggi yaitu sebesar

3,8% atau terindikasi kenaikan sebesar 1,8% dari tahun 2013 (Kementerian

Kesehatan RI, 2018). Sedangkan Global Burden of Disease pada 2015

menyatakan, gagal ginjal menyebabkan kurang lebih 1,2 juta orang menjadi

korban. Di tahun 2010, 2,3-7,1 juta pasien meninggal karena mengalami

gangguan ginjal stadium akhir. Selain itu, setiap tahun diperkirakan 1,7 juta orang

1
meninggal disebabkan cedera ginjal parah dan diperkirakan 5-10 juta orang

meninggal tiap tahunnya disebabkan penyakit ginjal (Luyckx et al., 2018).

Gagal ginjal merupakan kondisi yang mengakibatkan ginjal kehilangan

kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh

dalam keadaan asupan makan normal.gagal ginjal kronik berlangsung perlahan-

lahan selama tiga bulan atau lebih dan dapat menyebabkan gagal ginjal yang

permanen. Sampai saat ini ada tiga jenis terapi yang tersedia yaitu

hemodialisis, peritorenal dialisis dan transplantasi ginjal (Baradero,

2008; PERNEFRI, 2012).

Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui

alat dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah

kembali lagi kedalam tubuh pasien.Tujuan hemodialisis untuk membersihkan

darahdari produk sisa - sisa metabolisme dan kelebihan air (Smeltzer, 2006;

Baradero, 2008). Walaupun hemodialisis merupakan terapi yang cukup efektif

untuk pasien gagal ginjal kronik, tetapi setelah menjalani hemodialisis

beberapa komplikasi bisa juga ditemukan seperti anemia, meningkatnya

kecenderungan perdarahan dan infeksi. Anemia ini bisa disebabkan karena

kehilangan darah akibat pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium

atau darah yang terperangkap atau tertinggal di alat hemodialisa, serta defisiensi

zat besi dan zat nutrisi lainnya (Sekarwana, 2004;Afsar, 2010). Untuk

mengevaluasi anemia pada pasien gagal ginjal kronik, National Kidney

Foundation merekomendasikan pemeriksaan laboratorium yang meliputi

2
pemeriksaan darah lengkap (kadar hemoglobin, indeks eritrosit, jumlah dan jenis

lekosit, dan jumlah trombosit), jumlah retikulosit absolut, kadar ferritin,

saturasi transferin, kadar vitamin B12 dan kadar asam folat. Anemia

merupakan kadar hemoglobin ≤12 g/dl pada wanita dan ≤13,0 g/dl pada pria

dan wanita menopause (NKF, 2006). Berdasarkan tingkat keparahannya

(severity), anemia dikelompokkan ke dalam kriteria ringan, sedang dan berat,

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Menganalisa dan melakukan asuhan kebidanan pada Tn. I dengan

CKD di Ruang Kenanga I RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dengan

asuhan perawatan luka menggunakan manajemen kebidanan SOAP.

1.2.2 Tujuan Khusus

a) Melaksanakan pengkajian data dasar yang meliputi data subjektif

dan objektif terhadap kasus luka pada telapak kaki sebelah kanan

dengan asuhan perawatan luka di RSUD Arifin Achmad

b) Mengetahui gambaran pengetahuan pasien dengan asuhan

perawatan luka di RSUD Arifin Achmad

c) Memberikan pemecahan masalah terhadap kasus luka dengan

asuhan perawat luka di RSUD Arifin Achmad

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Medis

2.1.1 Defenisi

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kerusakan ginjal yang

menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa darah,

yang ditandai adanya protein dalam urin dan penurunan laju filtrasi

glomerulus (LFG) yang berlangsung selama lebih dari tiga bulan

(Hanggraini dkk, 2020). Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu

keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang

ireversibel pada suatu derajat dimana memerlukan terapi pengganti ginjal

yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Salah satu sindrom

klinik yang terjadi pada gagal ginjal adalah uremia. Hal ini disebabkan

karena menurunnya fungsi ginjal (Ulianingrum, 2017).

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa CKD merupakan

suatu penyakit perubahan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan

irreversible yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total

seperti sediakala yang dapat disebabakan oleh berbagai hal dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan elektrolit, yang menyebabkan uremia.

4
2.1.2 Tanda dan gejala

Gejala klinis yang ditimbulkan Chronic Kidney Disease (CKD)

menurut Guswanti (2019) antara lain :

a. Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin

– angiotensin - aldosteron)

b. Gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan)

c. Perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis,

anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan

tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi)

Sedangkan menurut Ismail (2018) tanda gejala CKD dibagi menjadi 7 yaitu:

a. Gangguan pada sistem gastrointestinal

1. Anoreksia, nausea, vomitus yag berhubungan dengan gangguan

metabolisme protein di dalam usus, terbentuknya zat-zat toksin

akibat metabolisme bakteri usus seperti ammonia danmelil

guanidine serta sembabnya mukosa usus.

2. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur

diubah oleh bakteri dimulut menjadi amoni sehinnga nafas berbau

amonia.

3. Gastritis erosife, ulkus peptic dan colitis uremik.

b. Kulit

1. Kulit berwarna pucat, anemia dan kekuning-kuningan akibat

penimbunan urokrom.

5
2. Gatal-gatal akibat toksin uremin dan pengendapan kalsium di pori-

pori kulit.

3. Ekimosis akibat gangguan hematologi.

4. Ure frost : akibat kristalsasi yang ada pada keringat.

5. Bekas-bekas garukan karena gatal.

c. Sistem Hematologi

1. Anemia yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :

Berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis akibat berkurangnya

masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksin, defisiensi besi,

asam folat, dan lain-lain akibat nafsumakan yang berkurang,

perdarhan, dan fibrosis sumsum tulang akibat hipertiroidism

sekunder.

2. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.

d. Sistem saraf dan otot

1. Restless Leg Syndrome, pasien merasa pegal pada kakinya sehinnga

selalu digerakkan.

2. Burning Feet Syndrome, rasa semutan dan seperti terbakar terutama

di telapak kaki.

3. Ensefalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, gangguan

konsetrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang.

4. Miopati, kelemahan dan hipertrofi otot terutama ekstermitas

proksimal.

e. Sistem kardiovaskuler

6
1. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan

aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron.

2. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis atau gagal jantung

akibat penimbunan cairan hipertensif.

3. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit

dan klasifikasi metastasik.

4. Edema akibat penimbuna cairan.

f. Sistem Endokrin

1. Gangguan seksual, libido, fertilitas, dan ereksi menurun pada laki-

laki akibat testosteron dan spermatogenesis menurun. Pada wnita

tibul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi, sampai amenore.

2. Gangguan metabolisme glokusa, resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin.

3. Gangguan metabolisme lemak.

4. Gangguan metabolisme vitamin D.

g. Gangguan Sistem Lain

1. Tulang osteodistropi ginjal, yaitu osteomalasia, osteoslerosis,

osteitis fibrosia dan klasifikasi metastasik.

2. Asidosis metabolik akibat penimbuna asam organik sebagai hasil

metabolisme.

3. Elektrolit : hiperfosfotemia, hiperkalemia, hipokalsemia.

7
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien Chronic Kidney

Disease (CKD), antara lain (Monika, 2019):

a. Hematologi

1. Hemoglobin: HB kurang dari 7-8 g/dl

2. Hematokrit: Biasanya menurun

3. Eritrosit

4. Leukosit

5. Trombosit

b. LFT (Liver Fungsi Test)

c. Elektrolit (Klorida, kalium, kalsium)

1. AGD : penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7 : 2) terjadi

karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan

hidrogen dan ammonia atau hasil akhir.

2. Kalium : peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan

perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan hemolisis

d. RFT (Renal Fungsi Test) (Ureum dan Kreatinin)

1. BUN/ Kreatinin :

Kadar BUN (normal: 5-25 mg/dL), kreatinin serum (normal 0,5-1,5

mg/dL; 45- 132,5 µmol/ L [unit SI]) biasanya meningkat dalam

proporsi kadar kreatinin 10mg/dl, natrium (normal: serum 135-145

mmol/L; urine: 40-220 mEq/L/24 jam), dan kalium (normal: 3,5-5,0

mEq/L; 3-5,0 mmol/Lm [unit SI]) meningkat.

8
e. Urine rutin

1. Urin khusus : benda keton, analisa kristal batu

2. Volume : kurang dari 400ml/jam, oliguri, anuria

3. Warna : secara abnormal urine keruh, disebabkan bakteri, partikel,

koloid dan fosfat.

4. Sedimen : kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb,

mioglobin, porfirin.

5. Berat jenis : kurang dari 1.015 (menetap pada 1,015) menunjukkan

kerusakan ginjal berat.

f. EKG

EKG : mungkin abnormal untuk menunjukkan keseimbangan elektrolit

dan asam basa.

g. Endoskopi ginjal : dilakukan secara endoskopik untuk menentukkan

pelvis ginjal, pengangkatan tumor selektif.

h. USG abdominal

i. CT scan abdominal

j. Renogram

RPG (Retio Pielografi) katabolisme protein bikarbonat menurun PC02

menurun Untuk menunjukkan abnormalis pelvis ginjal dan ureter.

2.1.4 Penatalaksanaan

Menurut Monika, (2019) Penatalaksanaan medis pada pasien dengan CKD

dibagi tiga yaitu :

9
a. Konservatif

1. Melakukan pemeriksaan lab darah dan urine

2. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.

Biasanya diusahakan agar tekanan vena jugularis sedikit meningkat

dan terdapat edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui

pemantauan berat badan, urine serta pencatatan keseimbangan

cairan.

3. Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein). Diet rendah protein (20-

240 gr/hr) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan

nausea dari uremia serta menurunkan kadar ereum. Hindari

pemasukan berlebih dari kalium dan garam.

4. Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal,

keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung

pada tekanan darah. Sering diperlukan diuretik loop selain obat anti

hipertensi (Guswanti, 2019).

5. Kontrol ketidak seimbangan elektrolit. Yang sering ditemukan

adalah hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah

hiperkalemia hindari pemasukan kalium yang banyak (batasi hingga

60 mmol/hr), diuretik hemat kalium, obat-obat yang berhubungan

dengan ekskresi kalium (penghambat ACE dan obat anti inflamasi

nonsteroid), asidosis berat, atau kekurangan garam yang

menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis.

Deteksi melalui kalium plasma dan EKG.

1
0
b. Dialysis Peritoneal dialysis

Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan

dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah

CAPD (Continues Ambulatori Peritonial Dialysis).

c. Hemodialisis

Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena

dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan

melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan:

1. AV fistule : menggabungkan vena dan arteri

2. Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke

jantung)

Tujuannya yaitu untuk menggantikan fungsi ginjal dalam

tubuh fungsi eksresi yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam

tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain

(Guswanti, 2019).

d. Operasi

1. Pengambilan batu

2. Transplantasi ginjal

2.1.5 Etiologi

Menurut Brunner and Sudarth, 2017, gagal ginjal kronik dapat disebabkan

oleh:

a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi saluran kemih),

glomerulonefritis (penyakit peradangan). Pielonefritis adalah proses

infeksi peradangan yang biasanya mulai di renal pelvis, saluran ginjal

1
1
yang menghubungkan ke saluran kencing (ureter) dan parencyma ginjal

atau jaringan ginjal. Glomerulonefritis disebabkan oleh salah satu dari

banyak penyakit yang merusak baik glomerulus maupun tubulus. Pada

tahap penyakit berikutnya keseluruhan kemampuan penyaringan ginjal

sangat berkurang.

b. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,

nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis. Disebabkan karena

terjadinya kerusakan vaskulararisasi di ginjal oleh adanya peningkatan

tekanan darah akut dan kronik.

c. Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik,

poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif. Disebabkan oleh

kompleks imun dalam sirkulasi yang ada dalam membrane basalis

glomerulus dan menimbulkan kerusakan. Penyakit peradangan kronik

dimana sistem imun dalam tubu menyerang jaringan sehat, sehingga

menimbulkan gejala diberbagai organ.

d. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,

asidosis tubulus ginjal. Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista

multiple, bilateral, dan berekspansi yang lambat laun akan mengganggu

dalam menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan,

semakin lama ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal

sehingga ginjal akan menjadi rusak.

e. Penyakit metabolik misalnya DM (Diabetes Mellitus), gout,

hiperparatiroidisme, amiloidosis. Penyebab terjadinya ini dimana

kondisi genetik yang ditandai dengan adanya kelainan dalam proses

1
2
metabolisme dalam tubuhakibat defisiensi hormon dan enzim. Proses

metabolisme ialah proses memecahkan karbohidrat protein, dan lemak

dalam makanan untuk menghasilkan energi.

f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal.

Penyebab penyakit yang dapat dicagah bersifat refersibel, sehingga

penggunaan berbagai prosedur diagnostik.

g. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli

neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah yaitu

hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher

kandung kemih dan uretra.

h. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis. Merupakan

penyebab gagal ginjal dimana benda padat yang dibentuk oleh

presipitasi berbagai zat terlarut dalam urin pada saluran kemih.

2.1.6 Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD)

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya bergantung pada

penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses

yang terjadi kurang lebih sama. Ginjal mempunyai kemampuan untuk

beradaptasi, pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural

dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai

upaya kompensasi, yang di perantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin

dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang

diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses

adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian terjadi proses maladaptasi

13
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti

dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit

dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis

reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi

terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.

Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian

diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-

β) Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya

progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,

hiperglikemi, dislipidemia. (Basuki, 2019). Pada stadium paling dini

penyakit CKD, gejala klinis yang serius belum muncul, terjadi kehilangan

daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LGF masih

normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan

terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan

peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar

60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi

peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar

30%, mulai terjadi keluhan pada penderita antara lain penderita merasakan

letih dan tidak bertenaga, susah berkonsentrasi, nafsu makan menurun dan

penurunan berat badan, susah tidur, kram otot pada malam hari, bengkak

pada kaki dan pergelangan kaki pada malam hari, kulit gatal dan kering,

sering kencing terutama pada malam hari. Pada LFG di bawah 30% pasien

memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia,

peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,

14
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Selain itu pasien juga mudah

terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran cerna, maupun

infeksi saluran nafas. Sampai pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala

dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi

pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau

transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium

gagal ginjal. Di samping itu, ketika BUN meningkat secara otomatis, dan

pasien akan mengalami risiko kelebihan beban cairan seiring dengan output

urin yang makin tidak adekuat.

Pasien dengan CKD mungkin menjadi dehidrasi atau mengalami

kelebihan beban cairan tergantung pada tingkat gagal ginjal. Perubahan

metabolik pada gagal ginjal juga menyebabkan gangguan eksresi BUN dan

kreatinin. Kreatinin sebagian dieksresikan oleh tubulus ginjal dan

penurunan fungsi ginjal berdampak pada pembentukan serum kreatinin.

Adanya peningkatan konsentrasi BUN dan kreatinin dalam darah disebut

azotemia dan merupakan salah satu petunjuk gagal ginjal. Perubahan

kardiak pada CKD menyebabkan sejumlah gangguan system

kardiovaskuler. Manifestasi umumnya diantaranya anemia, hipertensi,

gagal jantung kongestif, dan perikaraitis, anemia disebabkan oleh

penurunan tingkat eritropetin, penurunan masa hidup sel darah merah akibat

dari uremia, defisiensi besi dan asam laktat dan perdarahan gastrointestinal.

Hipertropi terjadi karena peningkatan tekanan darah akibat overlood cairan

dan sodium dan kesalahan fungsi system renin. Angiostin aldosteron CRF

15
menyebabkan peningkatan beban kerja jantung karena anemia, hipertensi,

dan kelebihan cairan.

Tahap gangguan ginjal antar lain:

a. Tahap 1 : Diminishid Renal Reserve Tahap ini penurunan fungsi ginjal,

tetapi tidak terjadi penumpukan sisasisa metabolik dan ginjal yang

sehat akan melakukan kompensasi terhadap gangguan yang sakit

tersebut(Guspira & Syah, 2023).

b. Tahap II : Renal Insufficiency (insufisiensi ginjal) Pada tahap ini

dikategorikan ringan apabila 40-80% fungsi normal, sedang apabia 15-

140% fungsi normal dan berat bila fungsi ginjal normal hanya 2-20%.

Pada insufisiensi ginjal sisa-sisa metabolik mulai berakumulasi dalam

darah karena jaringan ginjal yang lebih sehat ridak dapat

berkompensasi secara terus menerus terhadap kehilangan fungsi ginjal

karena adanya penyakit tersebut. Tingkat BUN, Kreatinin, asam urat,

dan fosfor mengalami peningkatan tergntung pada tingkat penurunan

fungsi ginjal.(Fadilla et al., 2018)

c. Tahap III : End Stage Renal Desease (penyakit ginjal tahap lanjut)

Sejumlah besar sisa nitrogen (BUN, Kreatinin) berakumulasi dalam

darah dan ginjal tidak mampu mempertahankan hemostatis.

Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit terjadi bila segera dianalisa

akan menjadi fatal/ kematian. (Brunner and Sudarth, 2017)

16
2.1.7 Klasifikasi Penyakit

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat berdasarkan LFG, yang

digunakan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

Klasisikasi penyakit ginjal kronis sesuai dengan tabel 1 berikut:

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2 )


Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
1 ≥ 90
meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 15 – 29
5 Gagal ginjal terminal < 15 atau dialysis
Sumber : (Basuki, 2011)

2.2 Manajemen Perawatan Luka

Perawatan luka di kenal dua teknik dasar yang sering di terapkan untuk

merawat luka yaitu teknik steril dan teknik bersih. Teknik steril merupakan teknik

di mana tenaga kesehatan memakai peralatan dan bahan yang telah disterilkan

sehingga tidak ada bakteri atau partikel virus yang menempel di permukaannya.

Beberapa contoh peralatan steril antara lain peralatan yang telah di sterilkan dengan

Autoklaf untuk digunakan di ruang operasi serta beberapa peralatan medis yang

telah di sterilkan dan dibungkus dengan baik dari pabrik sehingga tidak

terkontaminasi dengan lingkungan luar yang tidak steril. Sedangkan teknik bersih

adalah teknik dimana tenaga kesehatan memakai peralatan dan bahan yang tidak

memerlukan perlakukan yang seksama seperti memperlakukan instrumen steril.

17
Cukup dengan peralatan yang telah di bersihkan dengan alkohol tanpa harus di

masukkan ke Autoklaf terlebih dahulu (Semer, 2013).

Seiring dengan perkembangan zaman, di kenal teknik perawatan

konvensional dan teknik perawatan luka modern. Teknik rawat luka modern lebih

efektif daripada konvensional yang di buktikan dengan penelitian tentang Teknik

Perawatan Luka Modern dan Konvensional Terhadap Kadar Interleukin 1 dan

Interleukin 6 Pada Pasien Luka diabetik.

Pengkajian yang tidak tepat dapat menyebabkan penyembuhan luka

tertunda, nyeri, peningkatan resiko infeksi dan pengurangan kualitas hidup bagi

pasien (Ousey& Cook, 2011) untuk itu dibutuhkan suatu alat dalam pengkajian luka

untuk mengetahui perkembangan luka antara lain menggunakan TIME.

Internasional Wound Bed Preparation Advisory Board (IWBPAB) banyak

mengembangkan konsep persiapan dasar luka Menurut Schultz (2003) dalam

Arisanty 2013, persiapan dasar luka adalah penatalaksanaan luka sehingga dapat

meningkatkan penyembuhan dari dalam tubuh sendiri atau memfasilitasi efektifitas

terapi lain. Metode ini bertujuan mempersiapkan dasar luka dari adanya infeksi,

benda asing, atau jaringan mati menjadi merah terang dengan proses epitelisasi

yang baik. TIME dikenalkan oleh Prof. Vincent Falanga pada tahun 2003 yang

disponsori oleh produk Smith dun Nephow dalam penelitian ini sehingga keluar

TIME. T tissue management (manajemen jaringan), I infection or inflammation

control (pengendalian infeksi), M moisture balance (keseimbangan kelembaban),

dan E edge of wound (pinggiran luka untuk mendukung proses epitelisasi).

2.2.1 Tissue Management

Tujuan dari manajemen jaringan yaitu untuk mengangkat jaringan

18
mati, membersihkan luka dari benda asing, dan persiapan dasar luka yang

kuning/hitam menjadi merah. Tindakan utama manajemen jaringan

adalah dengan melakukan debridement, dimulai dari mengkaji dasar luka

sehingga dapat dipilih jenis debridement yang akan dilakukan.

Debridement adalah kegiatan mengangkat atau menghilangkan

jaringan mati (devaskularisasi), jaringan terinfeksi dan benda asing dari

dasar luka sehingga dapat ditemukan dasar luka dengan vaskularisasi

baik. Untuk mendapatkan dasar luka yang baik (tidak ada lagi jaringan

mati dan benda asing) diperlukan tindakan debridement secara

berkelanjutan. Kaji luka, lingkungan dan faktor sistemik pasien sebelum

melakukan debridement, tentukan pencapaian hasil dan pilih jenis

tindakan debridement yang cocok untuk pasien tersebut (Falanga, 2004).

Maryunani (2013) menyatakan bahwa debridement terdiri dari

beberapa jenis yaitu debridement mekanik, debridement bedah,

debridement enzimatik, dan debridement autolitik. Debridement mekanik

merupakan teknik yang menggunakan kasa, pinset, irigasi dan kompres

untuk mengangkat jaringan mati. Debridement bedah hanya dilakukan

oleh tenaga kesehatan yang berpengalaman dengan menggunakan pisau

bisturi, gunting, dan lacer.

Debridement enzimatik adalah metode yang menggunakan agen

topikal terapi yang menganduk enzimatik seperti papaian, kolegenase dan

lainnya. Debridement autolitik merupakan prosedur alami tubuh dalam

melakukan debridement, yang selektif atau hanya membuang jaringan

nekrosis dan membutuhkan lingkungan luka yang lembab.

19
Pengangkatan jaringan mati (manajemen T) memerlukan waktu

tambahan dalam penyembuhan luka. Waktu efektif dalam pengangkatan

jaringan mati yaitu sekitar dua minggu (14 hari) dan tentunya tanpa

faktor penyulit yang berarti, misalnya GDS terkontrol, penyumbatan atau

gangguan pembuluh darah teratasi, mobilisasi baik, dll. Jika kondisi

sistemik pasien tidak mendukung, persiapan dasar luka akan memanjang

hingga 4-6 minggu (Arisanty , 2013).

2.2.2 Infection-Inflamation Control (Manajemen Infeksi dan Inflamasi)

TIME yang kedua adalah infektion-inflammation control yaitu

kegiatan mengatasi perkembangan jumlah kuman pada luka. Semua luka

adalah luka yang terkontaminasi, namun tidak selalu ada infeksi (Smith,

2014). Infeksi adalah pertumbuhan organisme dalam luka yang ditandai

dengan reaksi jaringan lokal dan sistemik. Sebelum terjadi infeksi, ada

proses perkembangbiakan kuman mulai dari kontaminasi, kolonisasi,

kolonisasi kritis, kemudian infeksi (Schultz et al, 2003 dalam Arisanty

2013).

Luka dikatan infeksi jika ada tanda inflamasi/infeksi, eksudat

purulen, bertambah, dan berbau, luka meluas break down, dan

pemeriksaan penunjang diagnostik menunjukan leukosit dan makrofag

meningkat, kultur eksudat menunjukan bakteri >10/g jaringan.

2.2.3 Moisture Balance Managemen

Tujuan dari kelembaban yang seimbang yaitu untuk

mempertahankan kelembaban yang seimbang, melindungi luka dari

trauma saat mengganti balutan, dan melindungi kulit sekitar luka.

20
Kelembaban pada kulit menjadi kebutuhan dasar, ketika kulit mengalami

kerusakan, secara otomatis juga masih membutuhkan suasana lembab

lebih besar dari sebelumnya. Cairan yang berlebih pada luka kronik dapat

menyebabkan terganggunya kegiatan sel mediator seperti Growth Factor

pada jaringan. Banyaknya cairan luka (eksudat) pada luka kronik dapat

menimbulkan maserasi dan perlukaan baru pada daerah sekitar luka,

sehingga konsep kelembaban yang dikembangkan adalah keseimbangan

kelembaban luka (Falanga, 2004).

Winter (2013) menemukan evolusi kelembaban pada penyembuhan

luka (moist wond healing). Luka kering atau luka tanpa eksudat hingga

luka eksudat minimal harus dibuat lembab dengan memberikan balutan

yang berfungsi memberikan hidrasi dan kelembaban pada luka, seperti

hydrogel, hydrocolloid, interactive wet dressing, dan salep herbal TTO.

Luka dengan eksudat minimal hingga sedang masih memerlukan balutan

yang memberikan hidrasi. Untuk kelembaban yang seimbang,

kombinasikan dengan balutan yang dapat menyerap cairan minimal

hingga sedang seperti cacium alginate. Untuk luka dengan eksudat

sedang hingga banyak, tidak dianjurkan lagi menggunakan balutan yang

memberikan hidrasi karena akan mengakibatkan luka terlalu lembab.

Penggunaan balutan yang berbahan dasar minyak masih memungkinkan

dengan tujuan tertentu dan balutan ini digunakan secukupnya saja.

Sebagai balutan yang dapat mempertahankan kelembaban, diperlukan

balutan yang menyerap cairan lebih banyak lagi seperti foam, hydrofiber,

dll. Tujuan perawatan luka dengan eksudat banyak hingga sangat banyak

adalah menampung cairan yang keluar sehingga tidak membuat luka baru
21
di kulit yang sehat. Eksudat cairan yang sangat korosif terhadap kulit

yang sehat dapat ditampung dengan menggunakan balutan yang dapat

menyerap banyak eksudat, atau bahkan menggunakan kantong stoma dan

parcel dressing.

2.2.4 Epitelization Advancement Management (Manajemen Tepi Luka)

Proses penutupan luka yang dimulai dari tepi luka disebut proses

epitelisasi. Proses penutupan luka terjadi pada fase poliferasi. Epitel (tepi

luka) sangat penting diperhatikan sehingga proses epitelisasi dapat

berlangsung secara efektif. Tepi luka yang siap melakukan proses

penutupan (epitelisasi) adalah tepi luka yang halus, bersih, tipis, menyatu

dengan dasar luka, dan lunak.

Tepi luka yang kasar disebabkan oleh pencucian yang kurang

bersih atau lemak yang dihasilkan oleh tubuh menumpuk dan mengeras

di tepi luka. Tepi luka yang tebal disebabkan oleh proses epitelisasi yang

tidak mau maju (tetap ditempat) sehingga epitel menumpuk di tepi luka

dan menebal. Dasar luka yang belum menyatu dengan tepi luka

disebabkan oleh adanya kedalaman, undermining, atau jaringan mati.

Jika di tepi luka masih ada jaringan mati (nekrosis) jaringan tersebut

harus diangkat. Jika ada kedalaman dan undermining, proses granulasi

harus dirangsang dengan dengan menciptakan kondisi yang sangat

lembap (hipermoist) yang seimbang. Jika tinggi luka dengan tepi luka

sama (menyatu), proses epitelisasi dapat terjadi dengan baik dan rata.

Jika dasar luka belum menyatu dengan tepi luka, namun proses epitelisasi

telah terjadi, hal ini dapat menyebabkan luka sembuh dengan permukaan

22
yang tidak rata. Tepi luka juga harus lunak, jika tidak, epitel akan

mengalami kesulitan menyebrang karena tepi luka yang keras (frozen).

Cara efektif untuk melunakannnya adalah menggunakan minyak dan

melakukan masase (pijat) dengan lembut.

23
BAB III

PENGKAJIAN KASUS

ASUHAN KEBIDANAN PERAWATAN LUKA PADA TN. I DENGAN CKD


DI RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU

MASUK TANGGAL, JAM : 17 Januari 2024 , Jam 15: 35 Wib


DIRUANG : Kenanga 1

A. Data Subjektif
1. Identitas
Pasien Istri
Nama : Irwanto Nama : Yolanda
Umur : 43 thn Umur : 38 thn
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Jawa Suku : Jawa
Pendidikan : SLTA Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Wirasuasta Pekerjaan : Wirasuasta
Alamat : Rumbai Alamat : Rumbai

2. Anamnesa
a. Keluhan Pasien menyatakan sesak nafas
b. Riwayat penyakit : Pasien Memiliki Riwayat Penyakit ginjal kronik
DM
c. Riwayat penyakit yang pernah di derita keluarga: Tidak ada
d. Pola nutrisi :
 Makan : 3 x sehari
 Minum :
sering

e. Pola eliminasi :
 BAK : sering
 BAB : 1x/hari

f. Pola istirahat
 Lama tidur : 5-6 jam/ha

24
g. Personal hygiene

 Mandi : 1x/hari
 Sikat gigi : 2x/hari
 Ganti baju : 2x/hari
 Keluhan : Tidak ada
B. DATA OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum : baik
b. Tingkat kesadaran : composmentis
2. Tanda - tanda
a. Tekanan Darah : 156/77 mmHg
b. Nadi : 88 x/menit
c. Pernapasan : 25 x/ menit
d. Suhu : 37,8
3. Pemeriksaan gula darah sewaktu : 108 gr/dl
4. Pemeriksaan Antopometri
a. Berat Badan : 85 kg
b. Tinggi badan: 165 cm
5. Pemeriksaan Fisik
a. Ekstremitas atas : tidak terdapat edema dan varises
b. Ekstremitas bawah : tidak ada varises, terdapat Oedame pada kaki
kiri dan kani kanan, dan terdapat luka DM pada telapak kaki sebelah
kanan
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan labolatorium
 Trombosit 243
 Albumin 2.8
 Hemoglobin 10.2

25
b. USG

C. ASSESMENT

Perawatan Luka Pada Tn. I Dengan Ckd

D. PLANING
- Melakukan perawatan luka, dengan menggan perban dan membersihkan
lukan menggukan larutan NaCl 0.9% dan menutup luka kembali dengan
menggukan kassa steril ( telah Dilakukan)

- Melakukan pemasangan oksigen sesuai indikasi ( Telah Dilakukan )

- Melakukan pemeriksaan GDS ( Telah Dilakukan)

- Melakukan perawatan luka (Telah dilakukan)

- Melakukan pemeriksaan USG ( Telah dilakukan)

- Melakukan transfusi darah O positif ( Telah dilakukan)

- Melakukan monitoring TTV ( Telah dilakukan)

- Melakukan pemasangan syringe pump ( Telah dilakukan )

- Hd (cuci darah) rutin senin dan kamis

26
CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Klien : Irwanto
Tanggal & jam pengkajian : 18 Januari 2024. 10:15 Wib

Diagnosa Medis : CKD, luka pada telapak kaki sebelah kanan

Ruang Rawat : kenanga 1

SOAP IMPLEMENTASI
S : klien mengatakan sesak berkurang , badan Monitor TTV , berikan oksigen
masih bengkak tapi sudah berkurang sesuai indikasi ,GD/Pagi , post
pasang CDL , klien post HD ke-
O : Hari rawat ke-12
4,HD rutin
Pemerisaan Fisik:
KU : Baik
Kesadaran : compos mentis
TD : 147/80 Mmgh HR: 96
RR: 20
S:36,3
Spo2 : 98%
Oedema pada kedua kaki sudah berkurang. Ada
luka DM ditelapak kaki sebelah kanan
Pemeriksaan penunjang :
Hemoglobin : 10,7 Leukosit : 13,95 Trombosit
: 243
Albumin : 2.8 Ureum : 118
A: Perawatan luka pada Tn. I dengan CKD
P:
- Melakukan perawatan luka, dengan menggan
perban dan membersihkan lukan menggukan
larutan NaCl 0.9% dan menutup luka kembali
dengan menggukan kassa steril (Telah
Dilakukan)
- Melakukan pemasangan oksigen sesuai
indikasi (Telah Dilakukan )
- Melakukan pemeriksaan GDS (Telah
Dilakukan)
- Melakukan perawatan luka (Telah dilakukan)
- Melakukan monitoring TTV (Telah
dilakukan)
- Melakukan terapi hd ( cuci darah) ( Telah
dilakukan)
- Melakukan pemasangan syringe pump (Telah
dilakukan)

27
CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Klien : Irwanto
Tanggal & jam pengkajian : 19 Januari 2024. 09.00 Wib

Diagnosa Medis : CKD, luka pada telapak kaki sebelah kanan

Ruang Rawat : kenanga 1

SOAP IMPLEMENTASI
S : klien mengatakan sesak berkurang , badan Monitor TTV , berikan oksigen
masih bengkak tapi sudah berkurang sesuai indikasi ,GD/Pagi , post
pasang CDL , Cek lab post HD
O : Hari rawat ke-13 kesadaran compos mentis ,
GCS : 15, E4M6V5,SP02:95% ,-EWS :4,-IVFD Terapi : furosemid 2x 1 ,
syringpump LASIX 10 MG/jam (1 cc/jam) – 02 vipalbumin 3x1 ,amlodipin 10 mg ,
NC 3liter/menit (K/P) , Hemoglobin : 9,3 , asam folat 3x1 ,adalat aros 30 mg
Leukosit : 19,64 Trombosit : 360 , Albumin :
2.8 , Ureum : 98 , CR : 9,1. TD : 159/78
Mmgh HR: 62 ,RR: 29 , S:36,7 Spo2 : 98%,
terdapat luka pada telapak kaki sebalah kanan.
A:Perawatan luka pada Tn. I dengan CKD
P:
- Melakukan perawatan luka, dengan menggan
perban dan membersihkan lukan menggukan
larutan NaCl 0.9% dan menutup luka kembali
dengan menggukan kassa steril (Telah
Dilakukan)
- Melakukan pemasangan oksigen sesuai
indikasi ( Telah Dilakukan )
- Melakukan pemeriksaan GDS (Telah
Dilakukan)
- Melakukan perawatan luka (Telah
dilakukan)
- Melakukan transfusi darah O positif (Telah
dilakukan)
- Melakukan monitoring TTV (Telah
dilakukan)
- Melakukan pemasangan syringe pump
(Telah dilakukan )
- Melakukan pemeriksaan USG ( Telah
dilakukan)

28
CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Klien : Irwanto
Tanggal & jam pengkajian : 20 Januari 2024. 10:00 Wib

Diagnosa Medis : CKD, luka pada telapak kaki sebelah kanan

Ruang Rawat : kenanga 1

SOAP IMPLEMENTASI
S : klien mengatakan sesak berkurang , badan Monitor TTV , berikan oksigen
masih bengkak tapi sudah berkurang sesuai indikasi ,GD/Pagi , post
O : Hari rawat ke-13 pasang CDL , post HD ke-4
Pemerisaan Fisik:
Terapi : furosemid 2x 1 ,
KU : Baik
vipalbumin 3x1 ,amlodipin 10 mg ,
Kesadaran : compos mentis
asam folat 3x1 ,adalat aros 30 mg
TD : 159/78 Mmgh HR: 62
RR: 29
S:36,7
Spo2 : 98%
Oedema pada kedua kaki sudah berkurang
Ada bekas luka ditelapak kaki sebelah kanan
Pemeriksaan penunjang :
Hb 9.3
Trombosit 350
Ureum 98
CR 9.13
A: Perawatan luka pada Tn. I dengan CKD
P:
- Melakukan perawatan luka, dengan
menggan perban dan membersihkan
lukan menggukan larutan NaCl 0.9% dan
menutup luka kembali dengan
menggukan kassa steril (Telah
Dilakukan)
- Melakukan pemasangan oksigen sesuai
indikasi (Telah Dilakukan)
- Melakukan pemeriksaan GDS (Telah
Dilakukan)
- Melakukan perawatan luka (Telah
dilakukan)
- Melakukan monitoring TTV (Telah
dilakukan)

29
BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam kasus ini penulis melakukan pemeriksaan asuhan kebidanan kepada

penderita CKD ( Chronic Kidney Disease) atau gagal ginjal kronik pada Tn. I usia

43thn pada tanggal 18 januari 2024 jam 15: 30 wib. Dilakukan pengkajian pada Tn.I

yang menderita CKD atau gagal ginjal kronik dengan riwayat penyakit DM dan

mengalami anemia(Garini, 2019).

Gagal ginjal kronik hampir selalu disetai dengan kejadian anemia. Anemia

pada CKD disebabkan beberapa faktor namun tidak sepenuhnya terkait dengan

penyakit ginjal yang diderita. Selain kondisi anemia, pada kaki Tn I didapatkan luka

akibat DM yang pernah diderita.

Perawatan luka adalah prosedur penting yang perlu dilakukan ketika

mengalami luka atau cedera pada kulit. Oleh karena itu, luka pada kulit, terutama

luka terbuka, perlu mendapatkan perawatan yang intensif. Ini karena luka terbuka

dapat dengan mudah terinfeksi oleh virus dan bakteri penyebab penyakit (Puguh,

2022). Untuk mencegah luka menjadi lebih buruk dan menjadi luka kronis, infeksi,

atau kondisi berbahaya lainnya, perawatan sangat penting dilakukan. Jika luka

dirawat dengan baik, luka juga dapat terlindung dari kuman dan virus yang mungkin

dapat menginfeksi tubuh dan menyebabkan penyakit (Ahsan, 2020).

Prinsip pencegahan infeksi yaitu cuci tangan , memakai sarung tangan ,

memakai alat pelindung diri,menggunakan teknik aseptik,memproses alat bekas

pakai,menangani peralatan benda tajam dengan aman, dan menjaga kebersihan dan

kerapian lingkungan serta pembuangan sampah secara benar (Ahsan, 2020).

30
Secara umum, sistem kekebalan tubuh penderita riwayat diabetes mellitus

lebih lemah ketimbang orang normal. Dan dengan adanya riwayat gangguan

pembuluh darah dan saraf akibat kadar gula darah yang tinggi, membuat orang

dengan riwayat diabetes lebih rentan mengalami infeksi (Ahsan, 2020).

Pelaksanaan Metode Perawatan luka secara benar dan tepat merupakan

upaya untuk membantu mempercepat proses penyembuhan perlu dikembangkan.

Luka yang mengalami penundaan proses penyembuhan dapat menyebabkan

terjadinya disintegrasi dandiscontinuitas jaringan kulit sehingga kulit kehilangan

fungsi untuk melindungi jaringan di bawahnya (Imaculata et al., 2018). Berdasarkan

analisa jurnal terdapat implikasi perawatan luka ganggren yang telah dianalisa l

didapatkan bahwa tindakan perawatan luka riwayat diabetes mellitus dengan

menggunakan berbagai tehnik memperoleh hasil yang signifikan dengan kesembuhan

luka ganggren .Dari hasil analisa jurnal menunjukan hasil yang efektif dalam

penyembuhan luka, dengan mempercepat proses granulasi pada jaringan dari

berbagai jenis tindakan yang dilakukan dan istrumen digunakan, masing-masing

tindakanmemiliki keunggulan dan signifikansi yang berbeda dalam hal

penyembuhan luka diabetes mellitus (Sulistyorini, 2021).

31
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

a. Mahasiswa mampu melakukan penhkajian dan mengumpulkan data Tn. I

b. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik pada kunjungan awal

tanggal 18 Januari 2024, TD: 156/77 mmHg, N: 88x/menit, S: 37.8 C,

dan Pernafasan: 25x/menit

c. Mahasiswa mampu melakukan manajemen perawatan luka pada Tn. I

5.2 Saran

a. Bagi Penulis

Agar mahasiswa mendapatkan pengalaman secara utuh dalam

mempelajari asuhan kebidanan dan kasus-kasus pada saat praktik, serta

menerapkan asuhan sesuai standard pelayanan kebidanan yang telah

ditetapkan sesuai dengan kewenangan bidan yang telah diberikan kepada

profesi bidan. Serta diharpkan dapat meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan dalam melakukan asuhan kebidanan secara maksimal terhadap

pasien. Diharapkan dari saat praktek ke lapangan, mahasiswa menggunakan

alat kesehatan pribadi masing-masing untuk melakukan asuhan yang ingin

dicapainya sehingga tidak bergantung pada alat kesehatan milik institusi.

Diharapkan dalam pelaksanaa Laporan Tugas Akhir berikutnya dapat lebih

baik dan lebih memahami lagi baik dalam penulisan maupun pelaksanaan

asuhan.

32
b. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan semakin memperbaharui skill yang akan diajarkan dan

selalu mengikuti perkembangan ilmu kebidanan terkini, sehingga mampu

meningkatkan profesionalitas kinerja mahasiswa kebidanan nantinya setelah

terjun di masyarakat. Selain itu, diharapkan lebih menyamakan presepsi

dalam pencapaian target asuhan yang telah ditetapkan.diharpkan dapat

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan asuhan

kebidanan secara maksimal terhadap pasien. Diharapkan dari saat praktek ke

lapangan, mahasiswa menggunakan alat kesehatan pribadi masing-masing

untuk melakukan asuhan yang ingin dicapainya sehingga tidak bergantung

pada alat kesehatan milik institusi. Diharapkan dalam pelaksanaa Laporan

Tugas Akhir berikutnya dapat lebih baik dan lebih memahami lagi baik

dalam penulisan maupun pelaksanaan asuhan.

c. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan semakin memperbaharui skill yang akan diajarkan dan

selalu mengikuti perkembangan ilmu kebidanan terkini, sehingga mampu

meningkatkan profesionalitas kinerja mahasiswa kebidanan nantinya setelah

terjun di masyarakat. Selain itu, diharapkan lebih menyamakan presepsi

dalam pencapaian target asuhan yang telah ditetapkan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ahsan. 2020. INSIDEN INFEKSI NOSOKOMIAL PASIEN PASCA SECTIO


CAESAREA PENURUNAN
Fadilla, I., Adikara, P. P., & Setya Perdana, R. (2018). Klasifikasi Penyakit Chronic
Kidney Disease (CKD) Dengan Menggunakan Metode Extreme Learning
Machine (ELM). Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi Dan Ilmu
Komputer, 2(10), 3397–3405.
https://www.researchgate.net/publication/323365845
Garini, A. (2019). Kadar Hemoglobin Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang
Menjalani Hemodialisis. JPP (Jurnal Kesehatan Poltekkes Palembang), 13(2),
111–116. https://doi.org/10.36086/jpp.v13i2.234
Guspira, Y., & Syah, I. S. (2023). Studi Komparasi Efektivitas Penggunaan Phospate
Binder (CaCO3, Sevelamer, dan Lanthanum) pada Pengobatan Pasien Chronic
Kidney DIsease (CKD). Farmaka, 21(2).
Ismatullah, A. (2015). Manajemen Terapi Anemia pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Management Therapy of Anemia in Patients with Chronic Kidney Disease.
Jurnal Kedokteran UNLA, 4, 7–12.
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/775/pdf
Martin K, Floege J, & Ketteler M. (2015). Bone and mineral metabolism in chronic
kidney disease Comprehensive Clinical Nephrology. (5th ed.).
Puguh. (2022). ANALISA PENERAPAN PERAWATAN LUKA GANGGREN
PADA PENDERITA ULKUS DIABETES: LITERATUR REVIEW.
Saunders. Melisa, Andayani, T. M., & Irijanto, F. (2017). Pengaruh Penggunaan Terapi
Sevelamer Terhadap Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis yang Dinilai
Menggunakan KDQOL SF-36. Universitas Gadjah Mada.
Sulistyorini, E. (2021). IMPLEMENTASI PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN INFEKSI (PPI).
Kovesdy, C. P., & Quarles, L. D. (2016). FGF23 from bench to bedside. Am J Physiol
Renal Physiol, 310, 1168–1174. https://doi. org/10.1152/ajprenal.00606.2015.-
There
Luyckx, V. A., Tonelli, M., & Stanifer, J. W. (2018). The global burden of kidney disease and the

sustainable development goals. Bulletin of the World Health Organization, 96(6), 414-422C.

https://doi.org/10.2471/ BLT.17.20644.

34

Anda mungkin juga menyukai