Anda di halaman 1dari 21

TUGAS GIZI TERAPAN

PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIS

Komang Anggarini (2211307002)

PROGRAM STUDI DIV AKUPUNTUR DAN PENGOBATAN HERBAL


FAKULTAS KESEHATAN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat limpahan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini membahas mengenai “Penyakit Gagal Ginjal
Kronis”.

Makalah ini berisikan informasi tentang penyakit gagal ginjal kronis. Diharapkan
makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua mengenai penyakit gagal ginjal
kronis. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

Badung, Mei 20223

Penyusun

2
DAFTAR ISI

COVER DEPAN....................................................................................................... i

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

1.1. Latar Belakang..............................................................................................


1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................
1.3. Tujuan...........................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................

2.1. Definisi..........................................................................................................
2.2. Etiologi..........................................................................................................
2.3. Klasifikasi.....................................................................................................
2.4. Tanda dan Gejala..........................................................................................
2.5. Komplikasi....................................................................................................
2.6. Patofisiologi .................................................................................................
2.7. Penatalaksanaan............................................................................................
2.8. Pemeriksaan Penunjang................................................................................

BAB III Asuhan Keperawatan................................................................................

3.1. Asuhan Keperawatan Paliatif Care ..............................................................


3.2. Data Laboratorium dan Diagnostik...............................................................
3.3. Analisa Data..................................................................................................
3.4. Diagnosa Keperawatan.................................................................................
3.5. Intervensi Keperawatan.................................................................................
3.6. Implementasi Dan Evaluasi..........................................................................

BAB IV PENUTUP..................................................................................................

4.1. Kesimpulan ..................................................................................................


4.2. Saran.............................................................................................................

3
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan
kestabilan lingkungan dalam hidup. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh,
elektrolit, dan asam basa dengan cara filtrasi darah, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan
nonelektrolit, serta mengekskresi kelebihannya sebagai urine. Selain itu ginjal juga
mengeluarkan produk sisa metabolisme seperti urea, kreatinin, serta zat yang tidak
diperlukan. Jika fungsi ginjal telah mengalami gangguan yang berlangsung lama dan
bersifat irreversibel maka ginjal akan masuk ke tahap gagal ginjal
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi
ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit
akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2014).
Gagal ginjal kronik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal
yang cukup berat secara perlahan-lahan (menahun). Penyakit ini disebabkan oleh
berbagai penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan biasanya tidak bisa pulih
kembali (irreversible) (Suwitra, 2006).
Prevalensi GGK menurut World Health Organization (WHO) 2014, secara global
lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Berdasarkan Center
for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2010, lebih dari 20 juta atau 10%
dari jumlah orang dewasa di Amerika Serikat mengidap penyakit gagal ginjal kronik dan
kebanyakan tidak terdiagnosis.
Penderita GGK di Indonesia setiap tahunnya juga cukup tinggi mencapai 300.000
orang lebih, namun baru sekitar 25.000 orang yang tertangani tenaga medis, artinya ada
80% klien tak tersentuh pengobatan sama sekali (Susalit, 2012).
Klien penyakit gagal ginjal kronik dengan keluhan rasa haus karena harus
menjaga diet cairan dibatasi untuk mencegah kelebihan cairan. Kelebihan cairan
beresiko menyebabkan klien mengalami penambahan berat badan, edema, peningkatan
tekanan darah, nyeri dada, sesak nafas serta gangguan jantung (Pray H, 2005).

5
Konsekuensi pembatasan cairan yang dijalani klien gagal ginjal kronik adalah timbul
keluhan rasa haus dan mulut kering (xerostomia). Perawat akan melakukan tindakan
keperawatan yang telah terbukti efektif untuk menurunkan rasa haus
Kegagalan fungsi ginjal dapat menimbulkan komplikasi gangguan kesehatan
lainnya, salah satunya kondisi overload cairan yang merupakan faktor pemicu terjadinya
gangguan kardiosvaskular, hipertensi bahkan kematian yang terjadi pada klien gagal
ginjal kronik (Angelantonio, dkk 2010 & Caturvedy, 2014). Komplikasi GGK
sehubungan dengan overlood dapat dicegah melalui pembatasan intake cairan yang
efektif dan efisien (Meiliana R, 2013). Pembatasan jumlah cairan pada klien GGK
bergantung kepada beberapa hal, antara lain pengetahuan klien terhadap jumlah cairan
yang boleh diminum. Upaya untuk menciptakan pembatasan cairan pada klien GGK
diantaranya dapat dilakukan melalui pemantauan intake output cairan per hari,
sehubungan dengan intake cairan klien GGK bergantung pada jumlah urine dalam 24
jam (Pasticci, 2012)
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang asuhan keperawatan pada
pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis untuk memudahkan kita sebagai perawat
dalam merawat pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis dengan penanganan tepat dan
asuhan keperawatan yang komperehensif
1.2. RUMUSAN MASALAH
Adapun beberapa masalah yang akan dirumuskan dalam memecahkan masalah antara
lain:
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit gagal ginjal kronis?
2. Apa etiologi yang ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis?
3. Apa saja klasifikasi dari penyakit gagal ginjal kronis?
4. Apa tanda dan gejala dari penyakit gagal ginjal kronis?
5. Apa saja komplikasi yang disebabkan penyakit gagal ginjal kronis?
6. Bagaimana patofisiologi dari penyakit gagal ginjal kronis?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit gagal ginjal kronis?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang penyakit gagal ginjal kronis?
9. Bagaimana asuhan keperawatan penyakit gagal ginjal kronis?
1.3. TUJUAN

6
1. Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit gagal ginjal kronis
2. Dapat mengetahui apa etiologi yang ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis
3. Dapat mengetahui apa saja klasifikasi dari penyakit gagal ginjal kronis
4. Dapat mengetahui apa tanda dan gejala dari penyakit gagal ginjal kronis
5. Dapat mengetahui apa saja komplikasi yang disebabkan penyakit gagal ginjal kronis
6. Dapat mengetahui bagaimana patofisiologi dari penyakit gagal ginjal kronis
7. Dapat mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari penyakit gagal ginjal kronis
8. Dapat mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang penyakit gagal ginjal kronis
9. Dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan
10. Keperawatan penyakit gagal ginjal kronis

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Chronic Kidney Disease (CKD) / gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi

ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit

akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa

metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2014).

Chronic Kidney Disease (CKD) / gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal

progresif yang berakibat total dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen

lainnya yang beredar dalam darah) serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis

atau transplantasi ginjal (Nursalam, 2008).

Menurut Black dan Hawk (2005), gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi

ginjal secara progresif dimana masa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi untuk

mempertahankan lingkungan internal tubuh.

2.2. ETIOLOGI

Menurut Sylvia Anderson (2006) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik adalah sebagai

berikut :

1. Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati

Pielonefritis kronik adalah infeksi pada ginjal itu sendiri, dapat terjadi akibat infeksi

berulang, dan biasanya dijumpai pada penderita batu. Gejala–gejala umum seperti

demam, menggigil, nyeri pinggang, dan disuria. Atau memperlihatkan gambaran

8
mirip dengan pielonefritis akut, tetapi juga menimbulkan hipertensi dan gagal ginjal

(Elizabeth, 2000).

2. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis

Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak. Peradangan

akut glomerulus terjadi akibat peradangan komplek antigen dan antibodi di kapiler –

kapiler glomerulus. Komplek,, biasanya terbentuk 7 – 10 hari setelah infeksi faring

atau kulit oleh Streptococcus (glomerulonefritis pascastreptococcus ) tetapi dapat

timbul setelah infeksi lain (Elizabeth, 2000).

Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel – sel glomerulus.

Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau

timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul beberapa tahun setelah

cidera dan peradangan glomerulus sub klinis yang disertai oleh hematuria (darah

dalam urin) dan proteinuria ( protein dalam urin ) ringan, yang sering menjadi

penyebab adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan

adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada

pengidap diabetes yang mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis fungsi

ginjal jangka panjang yang kurang baik (Elizabeth, 2000).

3. Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,

Stenosis arteria renalis Nefrosklerosis Benigna merupakan istilah untuk menyatakan

berubah ginjal yang berkaitan dengan skerosis pada arteriol ginjal dan arteri kecil.

Nefrosklerosis Maligna suatu keadaan yang berhubungan dengan tekanan darah

tinggi (hipertensi maligna), dimana arteri-arteri yang terkecil (arteriola) di dalam

ginjal mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi gagal ginjal.

9
Stenosis arteri renalis (RAS) adalah penyempitan dari satu atau kedua pembuluh

darah (arteri ginjal) yang membawa darah ke ginjal. Ginjal membantu untuk

mengontrol tekanan darah. Renalis menyempit menyulitkan ginjal untuk bekerja.

RAS dapat menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu. Sering menyebabkan tekanan

darah tinggi dan kerusakan ginjal.

4. Gangguan jaringan ikat : Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis

sistemik progresif Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus

sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya

diduga karena adanya perubahan sistem imun.

5. Gangguan congenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal

6. Penyakit metabolic :Diabetes, mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis

7. Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah

8. Nefropati obstruktif : Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma, fibrosis,

retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur uretra, anomaly

congenital leher vesika urinaria dan uretra).

2.3. KLASIFIKASI
Klasifikasi GGK menurut Mc Clellan, (2006) didasarkan pada nilai laju filtrasi
glomelurus. Tabel 2.1 klasifikasi GGK
Stage Description GFR
(ml/menit/1.73m2)
1 Kidney damage with normal or increase of ≥90
GFR
2 Kidney damage with mild decrease of 60 – 89
GFR
3 Moderate decrease of GFR 30 – 59
4 Savere decrease of GFR 15 – 29
5 Kidney failure < 15 (or dialysis)

2.4. TANDA DAN GEJALA

10
Manifestasi klinis menurut Suyono (2001) dan Brunner & Suddarth, (2013) adalah
sebagai berikut :
a) Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, dan sakrum), edema periorbital, gesekan

perikardium, pembesaran vena-vena di leher, perikarditis, tamponade perikardium,

hiperkelemia, hiperlipidemia.

b) Gangguan saluran cerna

Bau ammonia ketika bernapas, pengecapan rasa logam, ulseria dan perdarahan

mulut, anoreksia, mual muntah, cegukan, konstipasi, atau diare, perdarahan pada

saluran cerna.

c) Gangguan Paru-paru

Rokhi basah kasar (krekels), sputum yang kental dan lengket, penurunan reflek

batuk, nyeri pleura, sesak napas, takipnea, pernapasana kusmaul, pneumonitis

uremik.

d) Gangguan Endokrin dan Reproduksi

Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan

aminore. Gangguan metabolik glukosa, gangguan metabolik lemak dan vitamin D.

e) Gangguan Muskuloskeletal

Resiles leg syndrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan), burning feet

syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor, miopati

(kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas).

f) Gangguan Integumen

Warna kulit keabu-abuan, kulit kering gampang terkelupas, pruritis berat, ekimosis,

purpura, kuku rapuh, rambut kasar dan tipis.

11
g) Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa. Biasanya retensi

garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis,

hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalasemia.

h) Gangguan Neurologik

Kelemahan dan keletihan, konfusi, ketidakmampuan berkonsentrasi, disorientasi,

kejang, asteriksis, tungkai tidak nyaman, perubahan perilaku.

i) System Hematologi

Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehinggga

rangsangan eritopoesis pada sum-sum tulang berkurang, hemolisis, akibat

berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi

gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

2.5. KOMPLIKASI
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2006) yaitu:

1. Komplikasi Hematologis

Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoietin yang

tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoietin subkutan atau

intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan

pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan

eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.

2. Penyakit vascular dan hipertensi

Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik.

Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakan faktor

12
risiko yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi pada penyakit ginjal kronik

disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak

cukup parah untuk bisa menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung

tripel. Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi natrium

dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi ginjal memadai,

pemberian furosemid dapat bermanfaat.

3. Dehidrasi

Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat

hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi,

namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer,

yang dapat menyebabkan dehidrsi.

4. Kulit

Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi. Keluhan ini sering

timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier serta dapat disebabkab oleh

deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal dapat dikurangi dengan mengontrol kadar

fosfat dan dengan krim yang mencegah kulit kering. Bekuan uremik merupakan

presipitat kristal ureum pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat. Pigmentasi

kulit dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.

5. Gastrointestinal

Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering terjadi pada

pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun gejala mual,

muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi. Insidensi esofagitis serta

angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan. Insidensi

13
pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau napas

yang menyerupai urin.

6. Endokrin

Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi, dan

penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering terjadi kehilangan

libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan yang

abnormal dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan retardasi pertumbuhan pada

anak dan kehilangan massa otot pada orang dewasa.

7. Neurologis dan psikiatrik

Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan

kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis (mencakup

tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus,

klonus pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat

kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia dan terjadi perubahan

yang tergantung hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada transpor

kalsium membran yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang

abnormal. Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam (restless leg)

atau kram otot dapat juga terjadi dan kadang merespons terhadap pemberian kuinin

sulfat. Gangguan psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat

peningkatan risiko bunuh diri.

8. Imunologis

14
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering terjadi.

Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialisis dapat mengaktivasi

efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.

9. Lipid

Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan

katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis

peritoneal daripada pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya

protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1 di sepanjang membran

peritoneal.

10. Penyakit jantung

Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar ureum

atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan

cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati

dilatasi. Fistula dialisis arteriovena yang besara dapat menggunakan proporsi curah

jantung dalam jumlah besar sehingga mengurangi curah jantung yang dapat

digunakan oleh bagian tubuh yang tersisa.

2.6. PATOFISIOLOGI

Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan penimbunan

zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai

fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik

mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron

yang rusak. Nefron yang tersisa meningkat kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya
15
serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka

nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semkain berat, sehingga nefron-nefron

tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagaian dari siklus kematian ini tampaknya

berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi

protein. Seiring dengan penyusutan progresif nefronnefron, terjadi pembentukan

jaringan parut dan aliran darah ginjal mungkin berkurang (Elizabeth, 2001).

Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus

diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah, kendati

jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara

progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi

dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan

kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron

meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah

nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat

rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka

kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga

keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan

peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik

pada proses ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang.

Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut,

karena makin rendah GFR (yang berarti maikn sedikit nefron yang ada) semakin besar

16
perubahan kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkan atau

mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285

mOsm (yaitu sama dengan plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan

nokturia (Price, 2006).

2.7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik menurut Muttaqin (2014), sebagai berikut :
a) Penatalaksanaan medis

(1) Koreksi hiperkalemi

(2) Koreksi anemia

(3) Koreksi asidosis

(4) Pengendalian hipertensi

(5) Transplantasi ginjal

(6) Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius

seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang.

b) Penatalaksanaan non medis

(1) Hitung intake dan output.

(2) Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu natrium dan kalium dapat diberikan

sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.

(3) Terapkan program diet untuk menjamin asupan nutrisi yang memadai dan sesuai

dengan batasab regimen terapi.

c) Penatalaksanaan Farmakologis

17
(1) Hiperfosfatemi dan hipokalesmia ditangani dengan obat yang dapat mengikat

fosfat dalam saluran cerna (mis : kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelemer

hydrochloride) semua agen pengikat harus diberikan bersama makanan.

(2) Hipertensi ditangani dengan pengontrolan volume intravaskular dan obat

hipertensi.

(3) Gagal jantung dan edema pulmonal ditangani dengan pembatasan cairan, diet

rendah natrium, diuresis, agens inotropik (mis: digoksin / dobutamin), dan

dialisis.

(4) Asidosis metabolik dibatasi, jika perlu dengan suplemen natrium bikarbonat

atau dialisis.

(5) Pasien diobservasi untuk melihat tanda awal kelainan neurologik (mis; kedutan,

sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang), diazepam intravaskular (Valium)

atau fenitoin (Dilantin) diberikan untuk mengatasi kejang.

(6) Anemia ditangani dengan rekombinan eritropoietein manusia (Epogen),

hemoglobin dan hematokrit dipantau secara berkala.

(7) Heparin diberikan sesuai kebutuhan untuk mencegah bekuan

darah pada jalur dialisis selama terapi.

(8) Suplemen besi dapat diresepkan.

(9) Tekanan darah dan kalium serum dipanatu secara terus-menerus.

2.8. PEMERIKSAAN PENUJANG


Pemeriksaan penunjang menurut Padila (2012), adalah sebagai berikut :
a) Urine

(1) Volume : biasanya kurang dari 400 / 24 jam ataun tidak ada (anuria)

18
(2) Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus, bakteri,

lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah,

Hb, mioglobin dan porfirin

(3) Berat jenis : kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat

(4) Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorbsi

natrium

(5) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) Secara kuat menunjukkan kerusakan

glomerulus bila sdm dan fragmen juga ada.

b) Darah

a. BUN (Blood Ureum Natrium) / kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10mg/dl

diduga tahap akhir

b. Hemoglobin : menurun pada adanya anemia, Hb biasanya kurang dari 7-8gr/dl

c. Sel darah merah : menurun, defisiensi eritropoitin

d. Kalsium : menurun

e. Kalium : meningkat

f. Protein (albumin) : menurun

g. Osmolalitas serum (pengukuran kemampuan larutan untuk menciptakan tekanan

osmotik dengan demikian mempengaruhi gerakan air).

c) Pielografi intravena

a. Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.


b. Pielografi dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversibel.
c. Arteriogram ginjal (mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler massa).
d. Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengindentifikasi ekstravaskuler massa.

19
d) Sistouretrogram berkemih

Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalaman, ureter, retensi.

e) Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menemukan sel jaringan untuk
diagnosis histologi.
f) Endoskopi ginjal nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal: keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor efektif.
g) EKG (Elektro Kardiography)
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam baja,
aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, et, al., 2016. Pemantauan Intake Output Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Dapat Mencegah Overlood Cairan. Jurnal Keperawatan Indonesia Volume 19 No.3
November Hal 152-160
Meiliana, R. 2013. Hubungan Kepatuhan Terhadapa Terjadinya Overlood Pada Pasien Gagal
Ginjal Kronik Post Hemodialisa Di Rumah Sakit Fatmawati (Skripsi, Tidak
Dipublikasikan) Program Studi Sarjana FIK UI, Depok – Jawa Barat, Indonesia.
Brunner & Suddarth, 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12 Vol 2. Jakarta:
EGC
Dharma, 2015. Buku Ajar Penyakit Ginjal. Yogyakarta ,
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika
Suwitra, K. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

21

Anda mungkin juga menyukai