OLEH:
PRODI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI NERS
2020
i
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kita haturkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi
Wasa yang telah memberikan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Kasus Kritis Dengan Gangguan System Perkemihan dan Pencernaan (CKD dan
dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis juga tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, atas bantuan, dukungan dan doanya.
Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu kami mengharapan kritik dan saran
Semoga makalah yang penulis tulis ini dapat memberikan tambahan wawasan
bagi teman-teman mahasiswa keperawatan dan semoga bisa menjadi bahan referensi
Penyusun
ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan.......................................................................................................................2
1. Tujuan Umum...........................................................................................................2
2. Tujuan Khusus..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................4
a. Definisi.....................................................................................................................4
b. Patofisiologi..............................................................................................................4
c. Farmakologi..............................................................................................................6
B. Peritonitis................................................................................................................23
a. Definisi...................................................................................................................23
b. Patofisiologi............................................................................................................24
iii
c. Farmakologi............................................................................................................26
A. Simpulan.....................................................................................................................32
B. Saran...........................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................34
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik adalah suatu
penyakit dimana ginjal mengalami penurunan fungsi yang progresif dan ireversibel. The
Foundation menyebutkan bahwa CKD adalah penyakit ginjal yang telah berlangsung
selama lebih dari 3 bulan dan penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) sebanyak 60
Data dari United States Renal Data System (USRDS) pada tahun 2014
tahunnya, tercatat sebanyak 2,7 juta jiwa pada tahun 2011 dan tercatat menjadi 2,8 juta
jiwa ditahun 2012. Prevalensi penyakit CKD di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak
bersifat asymptomatic atau tanpa gejala hingga tahap uremik akhir tercapai. Uremia
adalah sindrom atau gejala yang terkait dengan CKD. Adanya uremia tersebut akan
ginjal rusak, dan akumulasi 2 produk sisa secara esensial memengaruhi setiap sistem
memburuk lebih lanjut, retensi natrium dan air biasa terjadi. Hal ini dapat menyebabkan
resiko edema dan hipertensi, pasien juga akan merasa cepat lelah, sesak nafas, dan nafsu
1
makan menurun. Penanganan pada pasien CKD tahap akhir dilakukan beberapa terapi
diantaranya yaitu terapi pengganti ginjal seperti transplantasi ginjal, dialisis peritoneal,
atau lapisan membrane serosa abdomen (Muttaqin, 2011). Menurut Jutowiyono dan
Menurut survei WHO, angka mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per
tahun dengan angka kematian 9.661 ribu orang meninggal. Negara tertinggi yang
menderita penyakit ini adalah Amerika Serikat dengan penderita sebanyak 1.661
penderita. Dalam kasus peritonitis yang sering terjadi, sebagian besar disebabkan karena
bakteri atau yang biasa disebut peritonitis bakterial spontan (Khun, 2009).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah kita mempelajari proses mata kuliah keperawatan kritis mahasiswa
diharapkan mampu memahami tentang patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami bagaimana patofosiologi CKD dan Peritonitis
dan Peritonitis
2
c. Mahasiswa juga diharapkan untuk memahami bagaimana diet pada CKD dan
Peritonitis
3
BAB II
PEMBAHASAN
a. Definisi
struktur ginjal yang progresif yang ditandai dengan penumpukan sisa metabolisme
progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia dan limbah nitrogen lainnya
yang beredar dalam darah, serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialysis atau
b. Patofisiologi
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat
diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya
gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan
ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal
4
yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
( Barbara C Long, 1996, 368). Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia
dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
Stadium 1 : Penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan
penderita asimptomatik.
Stadium 2 : Insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood
Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
Stadium 3 : Gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat
penurunan LFG :
Stadium 1 : Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang
masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89
mL/menit/1,73 m2
Stadium 3 : Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
Stadium 4 : Kelainan ginjal dengan LFG antara 1529mL/menit/1,73m2
Stadium 5 : Kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau
gagal ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance
Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
5
c. Farmakologi
berfokus pada blokade renin angiotensin aldosterone (RAAS) dan kontrol tekanan
umum seperti diabetes dan penanganan faktor risiko kardiovaskular untuk mengurangi
risiko CVD. Juga penting adalah pendidikan pasien dan pendekatan multidisiplin untuk
manajemen penyakit yang mencakup ahli gizi dan pekerja sosial di samping penyedia
Evaluasi dan
3 30-59 terapi
komplikasi
Persiapan untuk
4 15-29 terapi pengganti
ginjal
(Suwitra, 2009)
6
1. Manajemen Kondisi Komorbid
ini secara agresif adalah tindakan yang penting. Kontrol suboptimal dari kondisi
sekunder ini meningkatkan risiko pengembangan CKD. Selain itu, kehadiran CKD
meningkatkan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan kondisi komorbiditas itu
sendiri.
1) Hipertensi
Hipertensi sering terkait dengan gagal ginjal kronik. Ini terjadi lebih
dari 75% pasien dengan gagal ginjal kronik pada stadium manapun (Mustafa et
al., 2014). Ini merupakan penyebab dan akibat gagal ginjal kronik. Bagian
pedoman ini menyoroti aspek kunci pengobatan hipertensi pada pasien dengan
gagal ginjal kronik. Aspek ini termasuk target pembuluh darah, terapi obat awal
Pedoman untuk pengobatan hipertensi pada pasien dengan CKD (KDIGO, 2013)
Bagi pasien dengan gagal ginjal kronik nonproteinuria (rasio albumin dengan
7
inhibitor \, angiotensin-receptor blocker.
Pasien dengan penyakit vaskular renal pembuluh darah besar (KDIGO, 2013)
Hipertensi renovaskular seharusnya diobati dengan cara yang sama
Dari agen antihipertensi, ACE Inhibitor dan ARB sangat efektif dalam memperlambat
perkembangan penyakit di CKD diabetes dan non-diabetes. Jika ACEI atau ARB tidak
efektif sendiri untuk mengendalikan tekanan darah, maka thiazide atau dihydropyridine
penggunaan ACEI atau ARB secara bersamaan, karena penggunaan tunggal mereka
dapat menyebabkan hiperfiltrasi dan albuminuria yang lebih besar. (Reilly Lukela et al.,
2019)
2) Diabetes
Pasien dengan diabetes berisiko meningkat untuk terjadinya gagal ginjal kronik
dan kejadian kardiovaskular. Kontrol glukosa darah yang relatif ketat pada diabetes tipe
1 dan tipe 2 dapat mengurangi perkembangan nefropati diabetik. Karena itu, penting
untuk para klinisi untuk menyadari pentingnya kontrol glikemik bagi pasien ini. (Reilly
8
Lukela et al., 2019).
Pedoman untuk pengobatan diabetes pada pasien dengan gagal ginjal kronik (KDIGO,
2013).
Kontrol glikemik
Target untuk kontrol glikemik, dengan nilai hemoglobin A1c<7.0%,
fungsi renal stabil yang tidak berubah selama 3 bulan terakhir. (Lubis
et al., 2016)
Metformin merupakan agen hipoglikemik oral yang murah dan efektif yang
direkomendasi sebagai terapi lini pertama untuk pasien yang mengalami kelebihan berat
badan dan tidak dengan diabetes mellitus tipe 2. Metformin telah terbukti efektif pada
adalah dengan melakukan kontrol tekanan darah sesuai usia. Menurut kidney disease:
9
improving global outcomes (KDIGO, 2013) aturan kontrol tekanan darah untuk
1) Bila ekskresi albumin urin < 30 mg/24 jam (atau ekuivalen) dengan tekanan
darah > 140/90 mmHg, target tekanan darah dengan obat anti-hipertensi yaitu ≤ 140
2) Bila ekskresi albumin urin ≥ 30 mg/24 jam (atau ekuivalen) dengan tekanan
darah > 130/80 mmHg, target tekanan darah dengan obat anti-hipertensi yaitu ≤ 130
dengan diabetes dan ekskresi albumin urin 30 – 300 mg/24 jam (atau ekuivalen)
4) ARB atau ACEI direkomendasikan pada pasien penyakit ginjal kronis dengan
atau tanpa diabetes dengan ekskresi albumin urin > 300 mg/24 jam (atau ekuivalen)
5) Perlu diperhatikan hipotensi postural pada pasien penyakit ginjal kronis dengan
obat antihipertensi.
a. Anemia
diperkirakan kurang dari 60mL/menit/ 1.73 m2.47 Anemia terkait dengan hal yang
merugikan pada pasien dengan gagal ginjal kronik, termasuk masuknya ke rumah sakit,
tidak perlu dilakukan secara rutin pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) ≥
10
dilakukan minimal 1 kali/tahun, dan pada LFG <30 mL/min/1.73 m2, pemeriksaan
dilakukan studi kadar besi di dalam darah. Target saturasi besi adalah 30 – 50% dan
feritin 200 – 500 ng/mL. (Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO)
dilakukan setidaknya satu kali pada pasien dengan LFG < 45 mL/min/1.73 m2. Bila
sekali. Bone mineral density tidak disarankan dilakukan pada pasien dengan LFG < 45
atas 10.2 mg/dL. Bila kadar fosfat di atas 4.6 mg/dL, berikan pengikat fosfat, seperti
kalsium asetat, sevelamer karbonat, atau lanthanum karbonat. Bila tetap tinggi setelah
c. Kelebihan Cairan
hipervolemia, penggunaan diuretik, dan juga asupan garam dan air. Pasien dengan CKD
rentan terhadap hiper dan hipovolemia. Pada stadium lanjut CKD, kemampuan untuk
Hipervolemia dan diuretik. Hipervolemia berlebihan bisa terlihat ketika pasien menjadi
oliguria atau memiliki sindrom nefrotik, penyakit hati, atau gagal jantung yang
untuk manajemen diuretik pada pasien dengan CKD menurut Lubis et al., (2016) :
11
• Pembatasan natrium diet harus, secara umum, ditekankan, kecuali seseorang
• Diuretik loop lebih disukai bila GFR <40 mL / mnt / 1,73 m2.
• Diuretik loop dosis yang lebih besar (2 hingga 3 kali dosis biasanya) sering diperlukan
• Penambahan metolazon harus diambil 15-20 menit sebelum loop diuretik dapat
meningkatkan respons. Ini dapat dilakukan selama 3-5 hari hingga mendekati
• Terapi diuretik dosis tinggi atau kombinasi sebaiknya dimulai dengan konsultasi
Asupan cairan. Asupan cairan yang tinggi direkomendasikan untuk tiga kondisi yang
penyakit kistik meduler), adalah kondisi langka di mana kemampuan konsentrat ginjal
berkurang: ini membutuhkan asupan harian> 4 L cairan dan diet tinggi garam.
• Diabetes insipidus sentral dan nefrogenik: asupan cairan > 5 L setiap hari mungkin
diperlukan.
12
d. Asidosis Metabolik
pada konsentrasi bikarbonat serum < 22 mmol/L hingga mencapai nilai normal, kecuali
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,
1) Dialisis Peritoneal
a. Definisi
Dialisis peritoneal (DP) adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu
penanganan pasien CKD maupun pasien gagal ginjal akut, dengan menggunakan
pada abdomen hingga masuk kedalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter
13
seperti ureum, kreatinin, kalium, dan toksin laik akan tertimbun dalam plasma
darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membrane
peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan
dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat dikeluarkan dengan cairan
2) Hemodialisis
a. Definisi
(Suwitra K, 2009)
b. Indikasi Hemodialisis
atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis
dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat, overhidrasi,
oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50 ml/12 jam),
hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5 mmol/I), asidosis
berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150 mg/dL), ensefalopati
(Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia, keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang
dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang mempunyai GFR <15
14
ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai
salah satu dari : 1) GFR <15 ml/mnt, tergantung gejala klinis, 2) gejala uremia meliputi:
lethargi, anoreksia, nausea dan muntah, 3) adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot,
4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan, 5) komplikasi metabolik
suatu tabung ginjal buatan yang dinamakan dialiser. Dialiser terbagi dalam dua
darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen
dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dilaisis yang bebas priogen, berisi larutan
dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa
metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami
perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah
konsentrasi yang rendah sampai terjadi difusi sehingga konsentrasi zat terlarut sama di
kedua kompartemen. Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen
negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi.
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang
berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat
dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat
15
2. Diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah
Cairan dialisis ini seperti pada gambar 2.3 mengalir berlawanan arah dengan darah
untuk meningkatkan efisiensi Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat
Tujuan terapi diet pada pasien dengan PGK adalah untuk menurunkan
malnutrisi, dan memperlambat progresi dari PGK. Diit rendah protein memperbaiki
gejala uremia karena menurunkan kadar toksin uremik, yang sebagian besar dihasilkan
jaringan ginjal. Terapi diet rendah protein pada pasien PGK telah diperkenalkan sejak
lama dan memberi manfaat untuk menurunkan akumulasi bahan buangan yang tidak
dapat diekskresikan oleh ginjal. Terapi diet rendah protein dapat mengurangi gejala
memulai diit rendah protein pada PGK sampai saat ini masih diperdebatkan. Batasan
laju filtrasi glomerulus (LFG) untuk memulai diet rendah protein belum ditetapkan.
Sebagian besar nefrologist menganjurkan agar diet rendah protein sudah dimulai pada
16
saat LFG <60 ml/mnt/1.73 m (PGK stadium 3). Penurunan tersebut harus dilakukan
secara progresif berdasarkan stadium PGK dan banyaknya intake protein dari setiap
pasien. Modifikasi diet protein pada pasien PGK dapat dibagi menjadi : 1) protein
sangat rendah, kurang dari 0,3 g/kg BB; 2) diet protein rendah, 0,6- 0,8 g/kg BB, dan 3)
protein terhadap progresi dari PGK, tetapi banyak penelitian ini mempunyai masalah
dalam design, tipe dari diet, dan derajat dari kepatuhan terhadap diet.4 Pada berbagai
studi prospektif diet protein sangat rendah secara nyata dapat menurunkan progresifitas
Dengan penerapan diet rendah protein, terutama diet sangat rendah protein,
disarankan untuk menambahkan penderita dengan α-ketoacid atau asam amino esensial
untuk menghindari malnutrisi. Suplemen α-ketoacid lebih efektif daripada asam amino
esensial dalam memperlambat perjalanan gangguan ginjal. Manfaat diet rendah protein
Kebutuhan Energi
Intake energi sangat penting sekali diperhatikan, sebab bila diet hanya
17
pasien CKD yang sehat tidak berbeda dengan orang dewasa sehat. Sayang sekali tidak
ada metode yang praktis untuk memperkirakan asupan kalori, sehingga klinisi harus
melakukan pengukuran berulang pada berat badan dan massa otot dan masukan dari
ahli gizi.
Kalium
Dengan menurunnya LFG kemampuan tubulus untuk mensekresikan kalium
kalium pada kadar normal yaitu 3,5-5,0 mEq/L. Obat-obat juga dapat meningkatkan
kadar kalium yaitu: ACE inhibitor, ARB, aldosterone receptor blokers. Rekomendasi
untuk kalium pada pasien hemodialisis adalah 2000-3000 mg/hari (50-80 mmol/hari).
Pada pasien dengan CAPD bisa mengkonsumsi kalium lebih banyak yaitu 3000-4000
antihipertensi dan mengatasi edema. Restriksi sodium tergantung pada status hidrasi
pasien, ekskresi natrium urine, ada atau tidak hipertensi. Asupan garam yang
menurun sampai menjadi anuria, sehingga asupan cairan harus dikontrol dan
asupan cairan adalah 500-1000 mL/hari ditambah jumlah urin perhari, sedangkan pada
pasien yang menjalani CAPD dan APD, kira-kira 2000-3000 mL/hari berdasarkan
status klinis.
18
berhubungan dengan restriksi diet, kehilangan melalui dialisat, dan menurunnya fungsi
ginjal dalam metabolism beberapa vitamin. Tetapi seberapa banyak jumlah yang
dibutuhkan oleh pasien PGK sampai saat ini belum jelas. Restriksi protein dan kalium
akan menyebabkan tidak adekuatnya intake dari pyridoxine, vitamin B12, asam folat,
vitamin C, besi dan zinc. Penggunaan eritropoetin juga meningkatkan kebutuhan besi
Resume dari kebutuhan nutrisi harian pada pasien PGK, baik pada stadium pradialisis
Fosfat 10-20 mg/g protein atau 600-800 900 mg/hari 900 mg/hari atau <17
mg/hari atau7 mg/kg/hari mg/kg/hari
Potassium Biasanya tidak dilarang sampai LFG 40 mg/kg atau Tidak dilarang pada
<10 mL/min/1.73 m2 kira-kira 2000- CAPD and APD: kira-
3000 mg/hari kira 3000-4000 mg/hari
(50-80 (80-105 mmol/hari)
mmol/hari) kecuali serum level
meningkat atau
menurun
19
Cairan Berdasarkan status klinis 500-1000 CAPD dan APD, kira-
mL/hari kira 2000-3000 mL/hari
ditambah jumlah berdasarkan status
urin perhari klinis; tidak dilarang
jika BB dan TD
terkontrol dan urine 2-3
L/hari
Calcium 800 mg/hari atau bila perlu untuk Sama seperti Sama seperti PGK
menjaga target level serum PGK stadium 1- stadium 1-4
4
Vitamin dan RDA untuk vitamin B komplek dan C; Vitamin C, 60- Sama seperti
mineral zinc, besi, kalsium, and vitamin D 100 mg; vitamin hemodialisis
B6, 5-10 mg;
asam folat, 0.8-1
mg; DRI untuk
yang lain; zinc
tersendiri,
kalsium, besi,
dan vitamin D
aBWef, Adjusted edema-free body weight; APD, automated peritoneal dialysis; CAPD, continuous ambulatory peritoneal dialysis;
CKD, chronic kidney disease; DRI, dietary reference intake; LFG : Laju FIltrasi GLomerulus; HBV, high biologic value; NAS, no
added salt; RDA, recommended dietary allowance.
oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan proses dialisis itu sendiri seperti tipe
dari membran dialiser ( biocompatible atau incompatible ) dan dialisis yang di reuse.
Rata- rata kehilangan asam amino pada satu sesi HD adalah 7,2 gram bila
high- flux. Pada pasien yang menjalani CAPD terjadi kehilangan protein 5 – 12 gram
perhari. Faktor lain yang menentukan dalam kebutuhan protein adalah peubahan dalam
metabolisme asam amino dan absorpsi di usus, kondisi asidosis metabolik yang sering
terjadi pada pasien dialisis juga menyebabkan katabolisme pada otot. Faktor-faktor
direkomendasikan intake protein pada pasien dialisis adalah 1,2-1,3 g per kilogram
20
Tujuan penatalaksanaan nutrisi pada pasien dialisis adalah mengurangi
akumulasi toksin uremik, cairan dan elektrolit di luar waktu dialisis, memperbaiki
dialisis sangat penting mendapat asupan protein dan nutrisi yang memadai untuk
nutrisi dan mencegah katabolisme. Pasien yang menjalani dialisis tetap harus
membatasi intake garam, kalium dan posfor. Terapi dialisis tidak dapat secara efektif
membatasi asupan fosfor. Obat pengikat fosfat dalam bentuk tablet perlu diberikan, dan
penting dijelaskan bahwa obat ini harus dikunyah saat makan, Obat ini dibagi menjadi
tablet mengandung kalsium seperti kalsium karbonat atau kalsium asetat, atau
mengandung aluminum; dan tablet yang tidalk mengandung kalsium seperti sevelamer.
produksi urine. Pada pasien seperti ini perlu restriksi cairan yang ketat. Anjuran asupan
cairan harian didasarkan jumlah urin yang dihasilkan selama 24 jam dan peningkatan
berat badan selama periode dialisis. Pertimbangan lainnya yang perlu diperhatikan
adalah banyaknya retensi cairan badan; kandungan natrium pada diet; adanya gagal
umumnya dapat memenuhi kebituhan vitamin yang larut dalam air (A, D, E, dan K).
paratiroid (10) Asupan vitamin larut dalam air (B dan C), biasanya kurang cukup,
21
selain karena restriksi bahan makanan yang banyak mengandung vitamin ini, juga
hilang selama terapi dialisis. Semua pasien dengan dialisis hendaknya diberikan
suplemen vitan B dan C. Pemantauan kadar besi perlu dilakukan setiap. Suplemen besi
diberikan untuk mencegah anemia defisiensi besi dan memulai terapi hormon
eritropoietin. Bila terjadi kekurangan besi, terapi besi dapat diberikan secara intravena
selama sesi dialisis.12 Pasien yang menjalani CAPD membutuhkan protein dan kalium
yang lebih tinggi lagi karena banyak protein maupun K hilang melalui cairan peritoneal
dialisis yang terbuang. Pasien dengan dialisis peritoneal kurang memerlukan restriksi
air, natrium dan kalium, karena terapi dialisis dilakukan setiap hari dan asupan
Kondisi pasien yang menjalani dialisis biasanya memiliki nafsu makan yang
menurun sehingga lebih menyulitkan lagi penatalaksanaan nutrisi pada pasien dialisis.
Pada kondisi seperti ini diperlukan terapi nutrisi saat dialisis yaitu intradialytic
nutrition support. Pada pasien dengan HD regular, asam amino, karbohidrat dan fat
dapat diinfuskan langsung ke venous chamber dari sirkuit HD. Terapi ini kita kenal
mengandung glukosa dan tidak mengandung asam lemak. Pada pasien yang
amino. Terapi ini kita kenal dengan intraperitoneal nutrition (IPN). Apakah IDPN atau
IPN bisa mengatasi masalah nutrisisi secara keseluruhan masih memerlukan penelitian
lebih lanjut. Terapi IPN dan IDPN sebagai intervensi terhadap malnutrisi dan
calori malnutrition.
22
parameter saja, tetapi meliputi beberapa parameter seperti klinis, riwayat medis,
pemeriksaan fisik, riwayat psikososial, riwayat diet/ food recall, pemeriksaan biokimia
Pemantauan status nutrisi (kalori dan protein) perlu dilakukan setiap 6 bulan pada
B. Peritonitis
a. Definisi
Peritoneum adalah membrane serosa rangkap yang besar dalam tubuh yang
terdiri dari dua bagian utama yaitu peritoneum parietal yang melapisi dinding rongga
abdominal, dan rongga peritoneum viseral yang meliputi semua organ yang berada di
abdomen) dan organ didalamnya (Muttaqin & Sari, 2011). Menurut Jitwiyono dan
23
Kristiyanasari (2012) Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum, suatu lapisan pada
b. Patofisiologi
(SBP) yang disebabkan oleh penyakit sirosis hepatic. (Daley, 2013). Mekanisme
patofisiologi yang terpenting dari SBP adalah translokasi bakteri. Translokasi bakteri
merupakan proses dimana bakteri yang hidup dan mati serta produk bakteri (DNA
bakteri atau endotoksin) menyeberangi lumen usus dan masuk ke dalam kelenjar limfe
keseimbangan antara flora normal usus dan organisme, menyebabkan terjadinya reaksi
inflamasi yang akhirnya menghasilkan infeksi. Translokasi bakteri juga terlibat dalam
Benea, 2006)
yaitu : pertumbuhan bakteri yang berlebih, perubahan structural dan fungsional dari
barier mukosa usus, dan defisiensi respon imun lokal. Pada sirosis, oleh karena terjadi
defisiensi imun lokal dan sistemik, maka proses taranslokasi bakteri diikuti oleh
bakteremia dan inokulasi cairan asites. Jika komplemen cairan asitesnya rendah, maka
aktivitas bakterisidalnya juga rendah dan menjadi risiko tinggi SBP. (Caruntu & Benea,
2006)
inflamasi yang bertindak secara lokal membatasi infeksi, tetapi dalam kontaminasi yang
luar biasa, dapat menyebar dan menyebabkan inflamasi sistemik. Beberapa mekanisme
24
bertindak lokal untuk membatasi atau menghancurkan infeksi. Cedera jaringan
menstimulasi degranulasi sel mast. Dreganulasi sel mast melepaskan sel histamin, kinin,
factor komplemen lokal dan faktor koagulasi kaskade. (Lopez, et al., 2011)
komplemen juga menarik neutrofil ke tempat injury melalui faktor chemotactic C3a dan
produk dari degranulasi sel mast pada tempat injury berpindah ke sistem sirkulasi. Di
dalam sirkulasi, di samping terjadi peningkatan permeabilitas vaskular, sel mast juga
menyebabkan relaksasi otot polos dan dapat menyebabkan kolaps pembuluh darah
perifer. Radikal bebas yang dilepas dengan degranulasi menyebabkan peroksidasi lipid
komplemen chemotactic C3a dan C5a , melepaskan ro-inflamasi sitokin fase akut
seperti IL-1, IL-6, TNF-α, IFN-γ. Sitokin ini dilepaskan ke dalam sirkulasi perifer,
25
ditransportasikan masuk ke dalam jaringan, dan akhirnya menyebabkan demam,
perlepasan kortisol, sintesis protein fase akut, leukositosis, dan diferensiasi dan aktivasi
limfosit. Keadaan fisiologis yang dihasilkan secara klinis ini dikenal sebagai Systemic
chemoattractants yang diproduksi untuk migrasi neutrofil dan monosit dari peredaran
darah menuju ke tempat infeksi. Makrofag dan neutrofil membentuk garis pertahanan
pertama dari sistem imun innate. Neutrofil dan makrofag mengeleminasi pathogen
c. Farmakologi
Hari 1:
• Kirim 2 wadah universal steril cairan PD ke mikrobiologi untuk jumlah sel putih
'Sampel', dan tempelkan stiker merah pada formulir yang dikirim bersama botol kultur
darah.
• Pasien harus diperiksa oleh dokter dan antibiotik yang diresepkan, dengan analgesia
jika perlu.
Pasien yang menggunakan APD harus berubah menjadi CAPD sampai peritonitis telah
sembuh.
26
• Rawat dengan antibiotik Intraperitoneal selama 14 hari: Vankomisin 100mg IP dalam
Jika pasien alergi terhadap ceftazidime atau memiliki reaksi anafilaksis serius terhadap
• Jika pasien secara sistemik tidak sehat, pertimbangkan untuk memberikan vankomisin
Hari 2-3:
Jika sedikit atau tidak ada perbaikan, pertimbangkan untuk melepas kateter.
Hari 3-4:
Jika organisme gram negatif dikultur, mungkin perlu menambahkan gentamisin sebagai
Dosis gentamisin:
• Dosis pemuatan 16mg, cairan untuk tinggal di perut selama setidaknya 6 jam
27
• Periksa level vankomisin dan sesuaikan dosis jika perlu (lihat di bawah).
Hari 14:
• Kirim 2 wadah universal ke mikrobiologi untuk WCC (untuk memeriksa tidak ada
kekambuhan segera).
Peritonitis jamur:
• Peritonitis Jamur
• Pseudomonas, gram negatif atau peritonitis MRSA tidak merespons setelah 3 hari
28
• Infeksi situs yang resisten tidak sembuh setelah 4 minggu perawatan
tergantung berat ringannya operasi, keadaan gizi pasien pasca operasi, dan pengaruh
operasi terhadap kemampuan pasien untuk mencerna dan mengabsorpsi zat-zat gizi.
Setelah operasi sering terjadi peningkatan ekskresi nitrogen dan natrium yang dapat
berlangsung selama lima sampai tujuh hari atau lebih pasca operasi. Pentingnya nutrisi
yang baik pada pasien dengan luka atau pasca operasi merupakan pondasi untuk proses
penyembuhan luka dengan cepat. Nutrisi yang baik akan memfasilitasi penyembuhan
dan menghambat bahkan menghindari keadaan malnutrisi. Selain itu usaha perbaikan
mempersingkat lama hari rawat yang berarti mengurangi biaya rawat secara bermakna.
akan nutrisi bervariasi, maka dibutuhkan diet atau pengaturan makanan. Diet pasca
operasi adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan.
jenis penyakit penyerta. Tujuan diet pasca operasi adalah untuk mengupayakan agar
status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan
meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara memberikan kebutuhan dasar
(cairan, energi, protein), mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi
cukup energi, protein, lemak, dan zat-zat gizi, bentuk makanan disesuaikan dengan
29
kemampuan penderita, menghindari makanan yang merangsang (pedas, asam), suhu
makanan lebih baik bersuhu dingi, pembagian porsi makanan sehari diberikan sesuai
mulai dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian makanan dari tahap ke tahap
tergantung pada macam pembedahan dan keadaan pasien, seperti pasca operasi kecil
makanan diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa atau normal. Pasca operasi
Jenis diet dan indikasi pemberian diet adalah diet pasca-bedah I (DPB I)
selama enam jam sesudah operasi, makanan yang diberikan berupa air putih, teh manis,
atau cairan lain seperti pada makanan cair jernih. Makanan ini diberikan dalam waktu
sesingkat mungkin, karena kurang dalam semua zat gizi. Selain itu diberikan makanan
parenteral sesuai kebutuhan. Diet ini diberikan kepada semua pasien pasca bedah pasca
operasi kecil yaitu setelah sadar dan rasa mual hilang dan pasca operasi besar yaitu
setelah sadar dan rasa mual hilang serta ada tanda-tanda usus mulai bekerja. (Dictara et
al., 2018)
bentuk cair kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata
delapan sampai 10 kali sehari selama pasien tidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan
tergantung keadaan dan kondisi pasien. Selain itu dapat diberikan makanan parenteral
bila diperlukan. Diet pasca-bedah II diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena
zat gizinya kurang. Makanan yang tidak boleh diberikan pada DPB II adalah air jeruk
30
pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai perpindahan dari DPB I. (Dictara et
al., 2018)
Makanan yang diberikan diet pasca-bedah III (DPB III) berupa makanan
saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2000 ml sehari.
Selain itu dapat memberikan makanan parenteral bila diperlukan. Makanan yang tidak
dianjurkan adalah makanan dengan bumbu tajam dan minuman yang mengandung
karbondioksida. Diet pasca-bedah III diberikan kepada pasien pasca bedah besar saluran
cerna atau sebagai perpindahan dari diet pasca-bedah II. 19 Makanan yang diberikan
pada diet pasca-bedah IV (DPB IV) berupa makanan lunak yang dibagi dalam tiga kali
makanan lengkap dan satu kali makanan selingan. Diet Pasca-Bedah IV diberikan
kepada pasien pasca operasi kecil, setelah diet Pasca-Bedah I dan pasien pasca operasi
31
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
keseimbangan cairan serta elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif yang
ditandai dengan penumpukan sisa metabolisme (toksik uremik) di dalam tubuh. Penyakit
CKD akan mempengaruhi penurunan LFG dan fungsi ginjal memburuk lebih lanjut,
retensi natrium dan air biasa terjadi. Hal ini dapat menyebabkan resiko edema dan
hipertensi, pasien juga akan merasa cepat lelah, sesak nafas, dan nafsu makan menurun.
Penanganan pada pasien CKD tahap akhir dilakukan beberapa terapi diantaranya yaitu
rongga abdomen) dan organ didalamnya. Peritonitis primer yang paling sering adalah
spontaneous bacterial peritonitis (SBP) yang disebabkan oleh penyakit sirosis hepatic.
Translokasi bakteri merupakan proses dimana bakteri yang hidup dan mati serta produk
bakteri (DNA bakteri atau endotoksin) menyeberangi lumen usus dan masuk ke dalam
perubahan structural dan fungsional dari barier mukosa usus, dan defisiensi respon imun
lokal.
32
B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini masyarakat dapat memahami tentang
patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada kasus kritis pada gangguan system
perkemihan dan pencernaan (CKD dan peritonitis) serta Selain itu mahasiswa
keperawatan juga dapat menjadikan makalah ini sebagai pedoman dalam melakukan
33
DAFTAR PUSTAKA
KDIGO (2013) ‘Clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease’, Official Journal of the International Society of
Nephofrology.
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group (2012)
‘KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease.’,
Kidney International Supplements. doi: 10.1038/kisup.2012.40.
Lemone, Priscila; Burke, Karen M., & Bauldoff, Gerene. (2011). Buku Ajar
Keperawatan Medikal bedah (ed. 5. Vol. 3). Jakarta: EGC
Lubis, A. R. et al. (2016) ‘Pedoman penatalaksanaan gagal ginjal kronik’, pp. 1–31.
Mustafa, R. A. et al. (2014) ‘The Canadian Society of Nephrology methods in
developing and adapting clinical practice guidelines: A review’, Canadian
Journal of Kidney Health and Disease, 1(1). doi: 10.1186/2054-3581-1-5.
Pearce. E. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
34
Raharjo, P., Susalit, E. and Suhardjono (2009) Hemodialisis, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.
Reilly Lukela, J. et al. (2019) ‘Quality Department Guidelines for Clinical Care
Ambulatory Chronic Kidney Disease Guideline Team Team Leader Ambulatory
Clinical Guidelines Oversight’, (July). Available at:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/gfr_calculator.cfm.
Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo , A.W., Setiyohadi, B., Alwi,
I., Simadribata, M.K., Setiati, S., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing. hlm. 1035–40.
Tanto, Chris, dkk. (2014). Kapita Selekta Kedokteran (ed. 4.). Jakarta: FKUI
35