Anda di halaman 1dari 39

KEPERAWATAN KRITIS

Keperawatan Kritis: Patofisiologi, Farmakologi dan Terapi Diet Pada


Kasus Kritis Dengan Gangguan System Perkemihan dan Pencernaan
(CKD dan Peritonitis)

OLEH:

1. I DEWA AYU GITHA PADMAYUNITA (29)


2. NI MADE ARI JULIANITA DEWI (30)
3. PUTU AYU SUTARINI DEWI (31)
4. I GEDE ANDRE KRISNANDHA SWARA (32)
5. KETUT ELFIRASANI (33)

PRODI NERS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

PRODI NERS

2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kita haturkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi

Wasa yang telah memberikan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah

mengenai “Keperawatan Kritis: Patofisiologi, Farmakologi dan Terapi Diet Pada

Kasus Kritis Dengan Gangguan System Perkemihan dan Pencernaan (CKD dan

Peritonitis)” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu proses pembelajaran

dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis juga tidak lupa

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, atas bantuan, dukungan dan doanya.

Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu kami mengharapan kritik dan saran

dari Bapak/Ibu Dosen dan teman-teman untuk penyempurnaan makalah ini.

Semoga makalah yang penulis tulis ini dapat memberikan tambahan wawasan

bagi teman-teman mahasiswa keperawatan dan semoga bisa menjadi bahan referensi

untuk pembelajaran bersama.

Denpasar, 30 Juni 2020

Penyusun

ii
Daftar Isi

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

Daftar Isi...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................................2

C. Tujuan.......................................................................................................................2

1. Tujuan Umum...........................................................................................................2

2. Tujuan Khusus..........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................4

A. Chronic Kidney Disease (CKD)...............................................................................4

a. Definisi.....................................................................................................................4

b. Patofisiologi..............................................................................................................4

c. Farmakologi..............................................................................................................6

d. Terapi diet pada pasien CKD.................................................................................16

B. Peritonitis................................................................................................................23

a. Definisi...................................................................................................................23

b. Patofisiologi............................................................................................................24

iii
c. Farmakologi............................................................................................................26

d. Terapi diet pada pasien Peritonitis.........................................................................29

BAB III PENUTUP.........................................................................................................32

A. Simpulan.....................................................................................................................32

B. Saran...........................................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................34

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik adalah suatu

penyakit dimana ginjal mengalami penurunan fungsi yang progresif dan ireversibel. The

Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of The National Kidney

Foundation menyebutkan bahwa CKD adalah penyakit ginjal yang telah berlangsung

selama lebih dari 3 bulan dan penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) sebanyak 60

ml/min/1.73m2 (Lewis, 2011).

Data dari United States Renal Data System (USRDS) pada tahun 2014

menunjukan bahwa prevalensi kejadian CKD di Amerika Serikat meningkat setiap

tahunnya, tercatat sebanyak 2,7 juta jiwa pada tahun 2011 dan tercatat menjadi 2,8 juta

jiwa ditahun 2012. Prevalensi penyakit CKD di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak

0,2% sedangkan di Jawa Tengah prevalensinya sebanyak 0,3% (Riskesdas, 2013).

Penyakit CKD sering tidak teridentifikasi sampai pada tahap 3 karena

bersifat asymptomatic atau tanpa gejala hingga tahap uremik akhir tercapai. Uremia

adalah sindrom atau gejala yang terkait dengan CKD. Adanya uremia tersebut akan

mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit, pengaturan dan fungsi endokrin

ginjal rusak, dan akumulasi 2 produk sisa secara esensial memengaruhi setiap sistem

organ lain (Lemone, 2012).

Penyakit CKD akan mempengaruhi penurunan LFG dan fungsi ginjal

memburuk lebih lanjut, retensi natrium dan air biasa terjadi. Hal ini dapat menyebabkan

resiko edema dan hipertensi, pasien juga akan merasa cepat lelah, sesak nafas, dan nafsu

1
makan menurun. Penanganan pada pasien CKD tahap akhir dilakukan beberapa terapi

diantaranya yaitu terapi pengganti ginjal seperti transplantasi ginjal, dialisis peritoneal,

maupun hemodialisa (Lemone, 2012; Tanto, dkk, 2014).

Peritonitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada rongga peritonium

atau lapisan membrane serosa abdomen (Muttaqin, 2011). Menurut Jutowiyono dan

Kristyanasari (2012), peritonitis adalah peradangan peritonium, suatu lapisan endotelial

tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa.

Menurut survei WHO, angka mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per

tahun dengan angka kematian 9.661 ribu orang meninggal. Negara tertinggi yang

menderita penyakit ini adalah Amerika Serikat dengan penderita sebanyak 1.661

penderita. Dalam kasus peritonitis yang sering terjadi, sebagian besar disebabkan karena

bakteri atau yang biasa disebut peritonitis bakterial spontan (Khun, 2009).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana patofosiologi CKD dan Peritonitis?

2. Bagaimana penatalaksanaan CKD dan Peritonitis?

3. Bagaimana diet CKD dan Peritonitis?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum
Setelah kita mempelajari proses mata kuliah keperawatan kritis mahasiswa

diharapkan mampu memahami tentang patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada

kasus kritis CKD dan Peritonitis

2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami bagaimana patofosiologi CKD dan Peritonitis

b. Mahasiswa juga diharapkan mampu memahami bagaiman penatalaksanaan CKD

dan Peritonitis

2
c. Mahasiswa juga diharapkan untuk memahami bagaimana diet pada CKD dan

Peritonitis

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Chronic Kidney Disease (CKD)

a. Definisi

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan kegagalan fungsi ginjal untuk

mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan serta elektrolit akibat destruksi

struktur ginjal yang progresif yang ditandai dengan penumpukan sisa metabolisme

(toksik uremik) di dalam tubuh (Muttaqin & Sari, 2011).

Penyakit ginjal kronik adalah keadaan dimana terjadi kerusakan ginjal

progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia dan limbah nitrogen lainnya

yang beredar dalam darah, serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialysis atau

transplantasi ginjal (Nursalam & Batticaca, 2011).

b. Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus

dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-

nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai

reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini

memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan

yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat

diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak

bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya

gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan

ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal

4
yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.

( Barbara C Long, 1996, 368). Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein

(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia

dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah

maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.

(Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).

Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
Stadium 1 : Penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan
penderita asimptomatik.
Stadium 2 : Insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood
Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
Stadium 3 : Gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat
penurunan LFG :
Stadium 1 : Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang
masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89
mL/menit/1,73 m2
Stadium 3 : Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
Stadium 4 : Kelainan ginjal dengan LFG antara 1529mL/menit/1,73m2
Stadium 5 : Kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau
gagal ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance
Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

5
c. Farmakologi

Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease (CKD) manajemen langsung CKD

berfokus pada blokade renin angiotensin aldosterone (RAAS) dan kontrol tekanan

darah. Penatalaksanaan juga mencakup penatalaksanaan optimal kondisi komorbiditas

umum seperti diabetes dan penanganan faktor risiko kardiovaskular untuk mengurangi

risiko CVD. Juga penting adalah pendidikan pasien dan pendekatan multidisiplin untuk

manajemen penyakit yang mencakup ahli gizi dan pekerja sosial di samping penyedia

layanan kesehatan lainnya. (Reilly Lukela et al., 2019)

Tabel 1 Rencana tatalaksana CKD sesuai dengan derajatnya

Derajat GFR (ml/mnt/1,73 Rencana tatalaksana


m2)

1 ≥90 Terapi penyakit dasar,


kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan
fungsi ginjal,
memperkecil resiko
kardiovaskular
Menghambat
2 60-89 pemburukan fungsi ginjal

Evaluasi dan
3 30-59 terapi
komplikasi
Persiapan untuk
4 15-29 terapi pengganti
ginjal

5 <15 Terapi pengganti ginjal

(Suwitra, 2009)

6
1. Manajemen Kondisi Komorbid

Kondisi komorbid yang umum di antara pasien dengan CKD termasuk

diabetes, penyakit kardiovaskular, dan hiperlipidemia. Mengelola kondisi komorbiditas

ini secara agresif adalah tindakan yang penting. Kontrol suboptimal dari kondisi

sekunder ini meningkatkan risiko pengembangan CKD. Selain itu, kehadiran CKD

meningkatkan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan kondisi komorbiditas itu

sendiri.

1) Hipertensi
Hipertensi sering terkait dengan gagal ginjal kronik. Ini terjadi lebih

dari 75% pasien dengan gagal ginjal kronik pada stadium manapun (Mustafa et

al., 2014). Ini merupakan penyebab dan akibat gagal ginjal kronik. Bagian

pedoman ini menyoroti aspek kunci pengobatan hipertensi pada pasien dengan

gagal ginjal kronik. Aspek ini termasuk target pembuluh darah, terapi obat awal

untuk gagal ginjal kronik proteinuria dan nonproteinuria, dan pengobatan

hipertensi dalam hubungan dengan diabetes dan penyakit vaskular renal

pembuluh darah besar(Lubis et al., 2016).

Pedoman untuk pengobatan hipertensi pada pasien dengan CKD (KDIGO, 2013)

Pasien tanpa diabetes


 Bagi pasien dengan gagal ginjal kronik proteinuria (rasio albumin urin

dengan kreatinin≥ 30mg/mmol), terapi antihipertensi seharusnya

termasuk ACE inhibitor.

 Tekanan darah seharusnya ditargetkan kurang dari 130/80 mmHg

 Bagi pasien dengan gagal ginjal kronik nonproteinuria (rasio albumin dengan

kreatinin <30mg/mmol), terapi antihipertensi seharusnya termasuk baik ACE

7
inhibitor \, angiotensin-receptor blocker.

Pasien dengan diabetes (KDIGO, 2013)


 Terapi antihipertensi seharusnya termasuk ACE inhibitor atau

angiotensin- receptor blocker

 Tekanan darah seharusnya ditargetkan kurang dari 130mm Hg sistolik

dan kurang dari 80 mmHg diastolic.

Pasien dengan penyakit vaskular renal pembuluh darah besar (KDIGO, 2013)
 Hipertensi renovaskular seharusnya diobati dengan cara yang sama

seperti untuk nondiabetik, gagal ginjal kronik non-proteinuria. Harus

hati-hati dengan penggunaan ACE inhibitor atau angiotensin-receptor

blocker karena risiko gagal ginjal akut

Dari agen antihipertensi, ACE Inhibitor dan ARB sangat efektif dalam memperlambat

perkembangan penyakit di CKD diabetes dan non-diabetes. Jika ACEI atau ARB tidak

efektif sendiri untuk mengendalikan tekanan darah, maka thiazide atau dihydropyridine

calcium channel blocker (misalnya, amlodipine) dapat ditambahkan. Harus dicatat

bahwa penghambat saluran kalsium dihidropiridin tidak boleh diresepkan tanpa

penggunaan ACEI atau ARB secara bersamaan, karena penggunaan tunggal mereka

dapat menyebabkan hiperfiltrasi dan albuminuria yang lebih besar. (Reilly Lukela et al.,

2019)

2) Diabetes
Pasien dengan diabetes berisiko meningkat untuk terjadinya gagal ginjal kronik

dan kejadian kardiovaskular. Kontrol glukosa darah yang relatif ketat pada diabetes tipe

1 dan tipe 2 dapat mengurangi perkembangan nefropati diabetik. Karena itu, penting

untuk para klinisi untuk menyadari pentingnya kontrol glikemik bagi pasien ini. (Reilly

8
Lukela et al., 2019).

Pedoman untuk pengobatan diabetes pada pasien dengan gagal ginjal kronik (KDIGO,

2013).

Kontrol glikemik
 Target untuk kontrol glikemik, dengan nilai hemoglobin A1c<7.0%,

kadar glukosa darah puasa 4-7 mmol/L

 Kontrol glikemik seharusnya merupakan bagian dari strategi

intervention multifaktorial yang menyebutkan kontrol tekanan darah

dan risiko kardiovaskular, dan mendukung penggunaan ACE

inhibitor, angiotensin receptor blocker, statin dan asam asetilsalisilat.

(Lubis et al., 2016)

Penggunaan metformin pada diabetes mellitus tipe 2


 Metformin direkomendasi untuk kebanyakan pasien dengan tipe

diabetes 2 dengan gagal ginjal kronik stadium 1 atau 2 yang memiliki

fungsi renal stabil yang tidak berubah selama 3 bulan terakhir. (Lubis

et al., 2016)

Metformin merupakan agen hipoglikemik oral yang murah dan efektif yang

direkomendasi sebagai terapi lini pertama untuk pasien yang mengalami kelebihan berat

badan dan tidak dengan diabetes mellitus tipe 2. Metformin telah terbukti efektif pada

pasien obesitas dan tidak (Donnelly et al., 2006).

2. Menghambat perburukkan fungsi ginjal


Aspek utama untuk menunda atau menghentikan proses perburukan penyakit

adalah dengan melakukan kontrol tekanan darah sesuai usia. Menurut kidney disease:

9
improving global outcomes (KDIGO, 2013) aturan kontrol tekanan darah untuk

penyakit ginjal kronis adalah:

1) Bila ekskresi albumin urin < 30 mg/24 jam (atau ekuivalen) dengan tekanan

darah > 140/90 mmHg, target tekanan darah dengan obat anti-hipertensi yaitu ≤ 140

mmHg pada sistolik dan ≤ 90 mmHg pada diastolik

2) Bila ekskresi albumin urin ≥ 30 mg/24 jam (atau ekuivalen) dengan tekanan

darah > 130/80 mmHg, target tekanan darah dengan obat anti-hipertensi yaitu ≤ 130

mmHg pada sistolik dan ≤ 80 mmHg pada diastolik

3) Angiotensin Receptor Blocker (ARB) atau Angiotensin Converting Enzyme

Inhibitor (ACEI) direkomendasikan digunakan untuk pasien penyakit ginjal kronis

dengan diabetes dan ekskresi albumin urin 30 – 300 mg/24 jam (atau ekuivalen)

4) ARB atau ACEI direkomendasikan pada pasien penyakit ginjal kronis dengan

atau tanpa diabetes dengan ekskresi albumin urin > 300 mg/24 jam (atau ekuivalen)

5) Perlu diperhatikan hipotensi postural pada pasien penyakit ginjal kronis dengan

obat antihipertensi.

3. Evaluasi dan terapi komplikasi

a. Anemia

Anemia lazim pada pasien dengan kecepatan filtrasi glomerulus yang

diperkirakan kurang dari 60mL/menit/ 1.73 m2.47 Anemia terkait dengan hal yang

merugikan pada pasien dengan gagal ginjal kronik, termasuk masuknya ke rumah sakit,

penyakit kardiovaskular dan mortalitas.48,49 Pengecekan Hb pada penyakit ginjal kronis

tidak perlu dilakukan secara rutin pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) ≥

60 mL/min/1.73 m2. Pada pasien dengan LFG 30 – 59 mL/min/1.73 m2, pemeriksaan

10
dilakukan minimal 1 kali/tahun, dan pada LFG <30 mL/min/1.73 m2, pemeriksaan

dilakukan minimal 2 kali/tahun. Pemberian eritropoietin disarankan dimulai bila Hb <

10 mg/dL dengan target Hb 10 – 12 mg/dL. Sebelum memulai terapi, sebaiknya

dilakukan studi kadar besi di dalam darah. Target saturasi besi adalah 30 – 50% dan

feritin 200 – 500 ng/mL. (Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO)

Anemia Work Group, 2012)

b. Gangguan Mineral Tulang

Pengukuran kadar kalsium, fosfat, hormon paratiroid dan alkalin fosfatase

dilakukan setidaknya satu kali pada pasien dengan LFG < 45 mL/min/1.73 m2. Bila

diperlukan pemberian vitamin D, pemeriksaan ulang dilakukan setidaknya 3 bulan

sekali. Bone mineral density tidak disarankan dilakukan pada pasien dengan LFG < 45

mL/min/1.73 m2. Rekomendasi pemberian vitamin D diberikan hingga kadar kalsium di

atas 10.2 mg/dL. Bila kadar fosfat di atas 4.6 mg/dL, berikan pengikat fosfat, seperti

kalsium asetat, sevelamer karbonat, atau lanthanum karbonat. Bila tetap tinggi setelah

pemberian pengikat fosfat, hentkan terapi vitamin D. (KDIGO, 2013)

c. Kelebihan Cairan

Keseimbangan cairan. Pemantauan keseimbangan cairan termasuk mengatasi

hipervolemia, penggunaan diuretik, dan juga asupan garam dan air. Pasien dengan CKD

rentan terhadap hiper dan hipovolemia. Pada stadium lanjut CKD, kemampuan untuk

mengkompensasi perubahan elektrolit dan volume semakin dikompromikan.

Hipervolemia dan diuretik. Hipervolemia berlebihan bisa terlihat ketika pasien menjadi

oliguria atau memiliki sindrom nefrotik, penyakit hati, atau gagal jantung yang

menyertainya. Terlepas dari etiologi hipervolemia, beberapa masalah praktis terjadi

untuk manajemen diuretik pada pasien dengan CKD menurut Lubis et al., (2016) :

11
• Pembatasan natrium diet harus, secara umum, ditekankan, kecuali seseorang

mencurigai nefropati pemborosan garam, yang relatif jarang.

• Diuretik loop lebih disukai bila GFR <40 mL / mnt / 1,73 m2.

• Penambahan spironolakton atau eplerenon mungkin bermanfaat, terutama pada pasien

proteinurik yang sudah menggunakan terapi RAAS-blocker yang dimaksimalkan.

• Diuretik loop dosis yang lebih besar (2 hingga 3 kali dosis biasanya) sering diperlukan

pada sindrom nefrotik, karena pengikatan obat dengan albumin.

• Penambahan metolazon harus diambil 15-20 menit sebelum loop diuretik dapat

meningkatkan respons. Ini dapat dilakukan selama 3-5 hari hingga mendekati

euvolemia, kemudian dinilai kembali.

• Menyesuaikan dosis dan frekuensi diuretik berdasarkan berat akurat pasien.

• Terapi diuretik dosis tinggi atau kombinasi sebaiknya dimulai dengan konsultasi

dengan ahli nefrologi.

Asupan cairan. Asupan cairan yang tinggi direkomendasikan untuk tiga kondisi yang

umum terlihat pada pasien dengan CKD:

• Nefrolitiasis: asupan cairan yang dianjurkan minimal 2-3 L setiap hari.

• Nefropati yang membuang-buang garam (misalnya, penyakit ginjal interstitial kronis,

penyakit kistik meduler), adalah kondisi langka di mana kemampuan konsentrat ginjal

berkurang: ini membutuhkan asupan harian> 4 L cairan dan diet tinggi garam.

• Diabetes insipidus sentral dan nefrogenik: asupan cairan > 5 L setiap hari mungkin

diperlukan.

12
d. Asidosis Metabolik

Untuk penanganan asidosis metabolik, berikan suplemen bikarbonat per oral

pada konsentrasi bikarbonat serum < 22 mmol/L hingga mencapai nilai normal, kecuali

dikontraindikasikan (Reilly Lukela et al., 2019).

4. Terapi Pengganti Ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada GFR

kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,

dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

1) Dialisis Peritoneal

a. Definisi

Dialisis peritoneal (DP) adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu

penanganan pasien CKD maupun pasien gagal ginjal akut, dengan menggunakan

membrane peritoneum yang semipermeable. (Suwitra K, 2009)

b. Cara Kerja Dialisis Peritoneal

DP biasa menggunakan styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang

pada abdomen hingga masuk kedalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter

memasuki kavum Douglasi. Kateter tersebut dimasukkan dengan cairan dialisat

sebanyak 2 liter setiap kali waktu dilakukannya DP Membran peritoneum

bertinfak sebagai membrane dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis

dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di

peritoneum. Pada keadaan faal ginjal yang terganggu, sisa-sisa metabolisme

13
seperti ureum, kreatinin, kalium, dan toksin laik akan tertimbun dalam plasma

darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membrane

peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan

dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat dikeluarkan dengan cairan

dialisat yang baru. (Suwitra K, 2009)

2) Hemodialisis

a. Definisi

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan

membuang elemen tertentu dari darah dengan memanfaatkan perbedaan kecepatan

difusi melalui membran semipermeabel yang dilakukan menggunakan hemodialyzer

(Suwitra K, 2009)

b. Indikasi Hemodialisis

Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis emergency

atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis

dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat, overhidrasi,

oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50 ml/12 jam),

hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5 mmol/I), asidosis

berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150 mg/dL), ensefalopati

uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum, disnatremia berat

(Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia, keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang

bisa melewati membran dialisis. (Daugirdas et al., 2007)

Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan

berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis,

dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang mempunyai GFR <15

14
ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai

salah satu dari : 1) GFR <15 ml/mnt, tergantung gejala klinis, 2) gejala uremia meliputi:

lethargi, anoreksia, nausea dan muntah, 3) adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot,

4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan, 5) komplikasi metabolik

yang refrakter (Daugirdas et al., 2007)

c. Cara Kerja Hemodialisis

Pada CKD, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam

suatu tabung ginjal buatan yang dinamakan dialiser. Dialiser terbagi dalam dua

kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen

darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen

dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dilaisis yang bebas priogen, berisi larutan

dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa

metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami

perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah

konsentrasi yang rendah sampai terjadi difusi sehingga konsentrasi zat terlarut sama di

kedua kompartemen. Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen

darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik

negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi.

(Raharjo, Susalit and Suhardjono, 2009)

Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang

berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat

dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat

terlerut tersebut makin tinggi bila:

1. Perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar

15
2. Diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah

3. Tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi

Cairan dialisis ini seperti pada gambar 2.3 mengalir berlawanan arah dengan darah

untuk meningkatkan efisiensi Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat

etatpi kemudian melambat samapi konsentrasinya sama di kedua kompartemen.

(Raharjo, Susalit and Suhardjono, 2009)

d. Terapi diet pada pasien CKD

Managemen Nutrisi pada PGK

Tujuan terapi diet pada pasien dengan PGK adalah untuk menurunkan

akumulasi sisa nitrogen, membatasi gangguan metabolik karena uremia, mencegah

malnutrisi, dan memperlambat progresi dari PGK. Diit rendah protein memperbaiki

gejala uremia karena menurunkan kadar toksin uremik, yang sebagian besar dihasilkan

dari metabolisme protein.

Kalori dan Protein

Peningkatan asupan protein atau asam amino telah terbukti dapat

mempengaruhi hemodinamik ginjal dan berperan terhadap kerusakan fungsi dan

jaringan ginjal. Terapi diet rendah protein pada pasien PGK telah diperkenalkan sejak

lama dan memberi manfaat untuk menurunkan akumulasi bahan buangan yang tidak

dapat diekskresikan oleh ginjal. Terapi diet rendah protein dapat mengurangi gejala

uremia, menurunkan proteinemia dan memperlambat inisiasi dialisis. Kapan kita

memulai diit rendah protein pada PGK sampai saat ini masih diperdebatkan. Batasan

laju filtrasi glomerulus (LFG) untuk memulai diet rendah protein belum ditetapkan.

Sebagian besar nefrologist menganjurkan agar diet rendah protein sudah dimulai pada

16
saat LFG <60 ml/mnt/1.73 m (PGK stadium 3). Penurunan tersebut harus dilakukan

secara progresif berdasarkan stadium PGK dan banyaknya intake protein dari setiap

pasien. Modifikasi diet protein pada pasien PGK dapat dibagi menjadi : 1) protein

sangat rendah, kurang dari 0,3 g/kg BB; 2) diet protein rendah, 0,6- 0,8 g/kg BB, dan 3)

diet protein normal, 1-1,2 g/kg BB.

Sudah banyak penelitian dilakukan untuk meneliti pengaruh dari retriksi

protein terhadap progresi dari PGK, tetapi banyak penelitian ini mempunyai masalah

dalam design, tipe dari diet, dan derajat dari kepatuhan terhadap diet.4 Pada berbagai

studi prospektif diet protein sangat rendah secara nyata dapat menurunkan progresifitas

penyakit ginjal kronik, namun risiko malnutrisi meningkat pada pasien.

Dengan penerapan diet rendah protein, terutama diet sangat rendah protein,

disarankan untuk menambahkan penderita dengan α-ketoacid atau asam amino esensial

untuk menghindari malnutrisi. Suplemen α-ketoacid lebih efektif daripada asam amino

esensial dalam memperlambat perjalanan gangguan ginjal. Manfaat diet rendah protein

dengan terapi α-ketoacid : memperbaiki azotemia dan asidosis metabolik, menyediakan

asam amino esensial dan memperbaiki metabolisme protein, mengurangi resistensi

insulin dan memperbaiki metabolisme karbohidrat, meningkatkan aktivitas lipase dan

memperbaiki metabolisme lemak, menurunkan kadar fosfor serta meningkatkan kadar

kalsium, mengurangi gejala hiperparatiroid sekunder, dan menurunkan ekskresi protein

urine dan menghambat perjalanan PGK.

Kebutuhan Energi
Intake energi sangat penting sekali diperhatikan, sebab bila diet hanya

mengandung sedikit kalori akan menganggu keseimbangan nitrogen dan menyebabkan

pasien kehilangan massa otot. Diet dengan 35 kcal/kg/hari diperlukan untuk

mempertahankan keseimbangan nitrogen pada pasien CKD. Kebutuhan energi pada

17
pasien CKD yang sehat tidak berbeda dengan orang dewasa sehat. Sayang sekali tidak

ada metode yang praktis untuk memperkirakan asupan kalori, sehingga klinisi harus

melakukan pengukuran berulang pada berat badan dan massa otot dan masukan dari

ahli gizi.

Kalium
Dengan menurunnya LFG kemampuan tubulus untuk mensekresikan kalium

berkurang. sehingga perlu dilakukan restriksi kalium untuk mempertahankan kadar

kalium pada kadar normal yaitu 3,5-5,0 mEq/L. Obat-obat juga dapat meningkatkan

kadar kalium yaitu: ACE inhibitor, ARB, aldosterone receptor blokers. Rekomendasi

untuk kalium pada pasien hemodialisis adalah 2000-3000 mg/hari (50-80 mmol/hari).

Pada pasien dengan CAPD bisa mengkonsumsi kalium lebih banyak yaitu 3000-4000

mg/hari (80- 105 mmol/hari).

Sodium/Garam dan Air


Restriksi garam merupakan salah satu strategi untuk mengoptimalkan terapi

antihipertensi dan mengatasi edema. Restriksi sodium tergantung pada status hidrasi

pasien, ekskresi natrium urine, ada atau tidak hipertensi. Asupan garam yang

direkomendasikan pada PGK adalah 1,5-2 gram perhari.

Pada pasien yang menjalani hemodialisis produksi urine akan semakin

menurun sampai menjadi anuria, sehingga asupan cairan harus dikontrol dan

disesuaikan pada kondisi masing-masing pasien. Pada pasien yang menjalani HD

asupan cairan adalah 500-1000 mL/hari ditambah jumlah urin perhari, sedangkan pada

pasien yang menjalani CAPD dan APD, kira-kira 2000-3000 mL/hari berdasarkan

status klinis.

Vitamin, Mineral dan Trace Element


Abnormalitas vitamin, mineral dan trace element pada pasien CKD

18
berhubungan dengan restriksi diet, kehilangan melalui dialisat, dan menurunnya fungsi

ginjal dalam metabolism beberapa vitamin. Tetapi seberapa banyak jumlah yang

dibutuhkan oleh pasien PGK sampai saat ini belum jelas. Restriksi protein dan kalium

akan menyebabkan tidak adekuatnya intake dari pyridoxine, vitamin B12, asam folat,

vitamin C, besi dan zinc. Penggunaan eritropoetin juga meningkatkan kebutuhan besi

dan asam folat.

Resume dari kebutuhan nutrisi harian pada pasien PGK, baik pada stadium pradialisis

maupun dialisis dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 2. Rekomendasi nutrisi harian pada pasien PGK stadium 1-5.3

Nutrient Stadium 1-4 Hemodialisis Peritoneal Dialisis


Protein LFG >30 mL/min/1.73 m2: ≥1.2 g/kg/hari ≥1.2-1.3 g/kg/hari paling
≥0.8 g/kg/hari dengan paling sedikit 50% HBV
LFG 15-29 mL/min/1.73 m2: sedikit 50%
0.6-0.75 g/kg/hari HBV
Sindrom Nefrotik:
0.8-1.0 g/kg/hari
Energi (jika pasien 35-40 kkal/kg, tergantung status ≥60 tahun: ≥60 tahun : 30-35
<90% atau >115% nutrisi dan faktor stres 30-35 kkal/kg kkal/kg termasuk kalori
dari rata-rata BB <60 tahun : dialisat
standar, gunakan 35 kkal/kg <60 tahun: 35 kkal/kg
aBWef) termasuk kalori dialisat

Fosfat 10-20 mg/g protein atau 600-800 900 mg/hari 900 mg/hari atau <17
mg/hari atau7 mg/kg/hari mg/kg/hari

Sodium Bervariasi menurut penyebab CKD; 2000-3000 Tergantung


biasanya “no added salt” (i.e., 2-4 mg/hari (88-130 pemeriksaan fisik
g/hari) mmol/hari) CAPD dan APD, 3000-
4000 mg/hari (130-175
mmol/hari)

Potassium Biasanya tidak dilarang sampai LFG 40 mg/kg atau Tidak dilarang pada
<10 mL/min/1.73 m2 kira-kira 2000- CAPD and APD: kira-
3000 mg/hari kira 3000-4000 mg/hari
(50-80 (80-105 mmol/hari)
mmol/hari) kecuali serum level
meningkat atau
menurun

19
Cairan Berdasarkan status klinis 500-1000 CAPD dan APD, kira-
mL/hari kira 2000-3000 mL/hari
ditambah jumlah berdasarkan status
urin perhari klinis; tidak dilarang
jika BB dan TD
terkontrol dan urine 2-3
L/hari
Calcium 800 mg/hari atau bila perlu untuk Sama seperti Sama seperti PGK
menjaga target level serum PGK stadium 1- stadium 1-4
4
Vitamin dan RDA untuk vitamin B komplek dan C; Vitamin C, 60- Sama seperti
mineral zinc, besi, kalsium, and vitamin D 100 mg; vitamin hemodialisis
B6, 5-10 mg;
asam folat, 0.8-1
mg; DRI untuk
yang lain; zinc
tersendiri,
kalsium, besi,
dan vitamin D
aBWef, Adjusted edema-free body weight; APD, automated peritoneal dialysis; CAPD, continuous ambulatory peritoneal dialysis;
CKD, chronic kidney disease; DRI, dietary reference intake; LFG : Laju FIltrasi GLomerulus; HBV, high biologic value; NAS, no
added salt; RDA, recommended dietary allowance.

Terapi Nutrisi Pada Dialisis


Kebutuhan protein pada pasien yang menjalani dialisis regular dipengaruhi

oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan proses dialisis itu sendiri seperti tipe

dari membran dialiser ( biocompatible atau incompatible ) dan dialisis yang di reuse.

Rata- rata kehilangan asam amino pada satu sesi HD adalah 7,2 gram bila

menggunakan membrane selulosa tradisional; 6,1 gram bila menggunakan membran

lowflux polymethylmethacrylate dan 8,0 gram bila menggunakan membran polysulfone

high- flux. Pada pasien yang menjalani CAPD terjadi kehilangan protein 5 – 12 gram

perhari. Faktor lain yang menentukan dalam kebutuhan protein adalah peubahan dalam

metabolisme asam amino dan absorpsi di usus, kondisi asidosis metabolik yang sering

terjadi pada pasien dialisis juga menyebabkan katabolisme pada otot. Faktor-faktor

tersebut menyebabkan tingginya kebutuhan protein pada pasien dialisis, sehingga

direkomendasikan intake protein pada pasien dialisis adalah 1,2-1,3 g per kilogram

berat badan perhari.

20
Tujuan penatalaksanaan nutrisi pada pasien dialisis adalah mengurangi

akumulasi toksin uremik, cairan dan elektrolit di luar waktu dialisis, memperbaiki

status nutrisi, mencegah defisiensi protein, asam amino dan vitamin.

Pada pasien yang menjalani dialisis baik hemodialisis maupun peritoneal

dialisis sangat penting mendapat asupan protein dan nutrisi yang memadai untuk

mencegah malnutrisi. Asupan kalori harian diperlukan untuk mempertahan status

nutrisi dan mencegah katabolisme. Pasien yang menjalani dialisis tetap harus

membatasi intake garam, kalium dan posfor. Terapi dialisis tidak dapat secara efektif

mengeluarkan fosfor, sehingga untuk mengendalikan kadar fosfor darah perlu

membatasi asupan fosfor. Obat pengikat fosfat dalam bentuk tablet perlu diberikan, dan

penting dijelaskan bahwa obat ini harus dikunyah saat makan, Obat ini dibagi menjadi

tablet mengandung kalsium seperti kalsium karbonat atau kalsium asetat, atau

mengandung aluminum; dan tablet yang tidalk mengandung kalsium seperti sevelamer.

Pada pasien hemodialisis regular jumlah urin menurun, kadang-kadang tanpa

produksi urine. Pada pasien seperti ini perlu restriksi cairan yang ketat. Anjuran asupan

cairan harian didasarkan jumlah urin yang dihasilkan selama 24 jam dan peningkatan

berat badan selama periode dialisis. Pertimbangan lainnya yang perlu diperhatikan

adalah banyaknya retensi cairan badan; kandungan natrium pada diet; adanya gagal

jantung kongestif. Pasien dengan penyakit ginjal cenderung mangalami penyakit

jantung, sehingga perlu menjalani diet rendah lemak.

Pasien yang menjalani dialisis memerlukan suplemen vitamin. Diet saja

umumnya dapat memenuhi kebituhan vitamin yang larut dalam air (A, D, E, dan K).

Pemberian suplemen vitamin D tergantung kadar kalsium, fosfor dan hormon

paratiroid (10) Asupan vitamin larut dalam air (B dan C), biasanya kurang cukup,

21
selain karena restriksi bahan makanan yang banyak mengandung vitamin ini, juga

hilang selama terapi dialisis. Semua pasien dengan dialisis hendaknya diberikan

suplemen vitan B dan C. Pemantauan kadar besi perlu dilakukan setiap. Suplemen besi

diberikan untuk mencegah anemia defisiensi besi dan memulai terapi hormon

eritropoietin. Bila terjadi kekurangan besi, terapi besi dapat diberikan secara intravena

selama sesi dialisis.12 Pasien yang menjalani CAPD membutuhkan protein dan kalium

yang lebih tinggi lagi karena banyak protein maupun K hilang melalui cairan peritoneal

dialisis yang terbuang. Pasien dengan dialisis peritoneal kurang memerlukan restriksi

air, natrium dan kalium, karena terapi dialisis dilakukan setiap hari dan asupan

komponen makanan ini disesuaikan secara individual.

Kondisi pasien yang menjalani dialisis biasanya memiliki nafsu makan yang

menurun sehingga lebih menyulitkan lagi penatalaksanaan nutrisi pada pasien dialisis.

Pada kondisi seperti ini diperlukan terapi nutrisi saat dialisis yaitu intradialytic

nutrition support. Pada pasien dengan HD regular, asam amino, karbohidrat dan fat

dapat diinfuskan langsung ke venous chamber dari sirkuit HD. Terapi ini kita kenal

dengan intradialytic parenteral nutrition (IDPN). Formula yang diberikan sedikit

mengandung glukosa dan tidak mengandung asam lemak. Pada pasien yang

menggunakan CAPD, dialisat yang mengandung dekstrose ditambahkan dengan asam

amino. Terapi ini kita kenal dengan intraperitoneal nutrition (IPN). Apakah IDPN atau

IPN bisa mengatasi masalah nutrisisi secara keseluruhan masih memerlukan penelitian

lebih lanjut. Terapi IPN dan IDPN sebagai intervensi terhadap malnutrisi dan

hipoalbuminemia dipertimbangkan bila terdapat kondisi protein malnutrition dan atau

calori malnutrition.

Assessment Status Nutrisi pada PGK


Penilaian status nutrisi pada pasien PGK tidak dapat menggunakan satu

22
parameter saja, tetapi meliputi beberapa parameter seperti klinis, riwayat medis,

pemeriksaan fisik, riwayat psikososial, riwayat diet/ food recall, pemeriksaan biokimia

( albumin, transferin, potasium, glukosa, kalsium, fosfat, kolesterol), antropometri,

subjective global assessment (SGA), dan malnutrition inflammation score (MIS).

Pemantauan status nutrisi (kalori dan protein) perlu dilakukan setiap 6 bulan pada

semua pasien yang menjalani dialisis, baik CAPD maupun hemodialisis.

Beberapa Indeks Malnutrisi.


Penilaian Indeks
Parameters Biokimia Albumin serum dibawah batas normal
Prealbumin serum <300 mg/l (30 mg/dl) (hanya untuk
pemeliharaan pada pasien dialisis), karena kadarnya
kemungkinan bervariasi sesuai LFG untuk PGK stadium 2-5
Kretinin serum rendah, fosfat, potassium, urea pada pasien
dialisis
Kolesterol serum <150 mg/dl (3.8 mmol/l)
Indeks kreatinin rendah
PNA rendah, PCR

Parameter Penuranan berat badan secara terus menerus, ketebalan


Antropometrik lipatan kulit, lingkar otot lengan atas
Indeks Massa Tubuh <20 kg/m2
Berat Badan <90% dari ideal
Kekuatan otot abnormal

B. Peritonitis

a. Definisi

Peritoneum adalah membrane serosa rangkap yang besar dalam tubuh yang

terdiri dari dua bagian utama yaitu peritoneum parietal yang melapisi dinding rongga

abdominal, dan rongga peritoneum viseral yang meliputi semua organ yang berada di

dalam rongga itu ( Pearce, 2009).

Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( lapisan membran serosa rongga

abdomen) dan organ didalamnya (Muttaqin & Sari, 2011). Menurut Jitwiyono dan

23
Kristiyanasari (2012) Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum, suatu lapisan pada

endothelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa.

b. Patofisiologi

Peritonitis primer yang paling sering adalah spontaneous bacterial peritonitis

(SBP) yang disebabkan oleh penyakit sirosis hepatic. (Daley, 2013). Mekanisme

patofisiologi yang terpenting dari SBP adalah translokasi bakteri. Translokasi bakteri

merupakan proses dimana bakteri yang hidup dan mati serta produk bakteri (DNA

bakteri atau endotoksin) menyeberangi lumen usus dan masuk ke dalam kelenjar limfe

mesenterika atau ekstraintestinal. Translokasi bakteri adalah gangguan dari

keseimbangan antara flora normal usus dan organisme, menyebabkan terjadinya reaksi

inflamasi yang akhirnya menghasilkan infeksi. Translokasi bakteri juga terlibat dalam

meningkatkan keadaan hiperdinamik sirosis dan gangguan hemostasis. (Caruntu &

Benea, 2006)

Pada sirosis hepatik, terdapat 3 melakanisme dalam berkembangnya SBP,

yaitu : pertumbuhan bakteri yang berlebih, perubahan structural dan fungsional dari

barier mukosa usus, dan defisiensi respon imun lokal. Pada sirosis, oleh karena terjadi

defisiensi imun lokal dan sistemik, maka proses taranslokasi bakteri diikuti oleh

bakteremia dan inokulasi cairan asites. Jika komplemen cairan asitesnya rendah, maka

aktivitas bakterisidalnya juga rendah dan menjadi risiko tinggi SBP. (Caruntu & Benea,

2006)

Perforasi dan inokulasi bakteri yang terjadi menyebabkan respon

inflamasi yang bertindak secara lokal membatasi infeksi, tetapi dalam kontaminasi yang

luar biasa, dapat menyebar dan menyebabkan inflamasi sistemik. Beberapa mekanisme

24
bertindak lokal untuk membatasi atau menghancurkan infeksi. Cedera jaringan

menstimulasi degranulasi sel mast. Dreganulasi sel mast melepaskan sel histamin, kinin,

leukotrien, prostacyclins, dan radikal bebas. Faktor-faktor ini akan meningkatkan

permeabilitas vaskular dan permeabilitas peritoneum memungkinkan untuk masuknya

factor komplemen lokal dan faktor koagulasi kaskade. (Lopez, et al., 2011)

Masuknya komplemen pada tempat yang terkontaminasi memungkinkan

untuk terjadinya opsonisasi bakteri melalui C3b. Gerak diafragma kemudian

menyebabkan aborbsi cairan peritoneum yang mengandung bakteri ke dalam sistem

limfatik. Organisme yang teropsonisasi di limfatik dibawa ke sistem retikuloendotelium,

di mana organisme ini dihancurkan. Selain destruksi bakteri melalui opsonisasi,

komplemen juga menarik neutrofil ke tempat injury melalui faktor chemotactic C3a dan

C5a. (Lopez, et al., 2011)

Proses seluler ini juga dapat menyebabkan efek sistemik, sebagaimana

produk dari degranulasi sel mast pada tempat injury berpindah ke sistem sirkulasi. Di

dalam sirkulasi, di samping terjadi peningkatan permeabilitas vaskular, sel mast juga

menyebabkan relaksasi otot polos dan dapat menyebabkan kolaps pembuluh darah

perifer. Radikal bebas yang dilepas dengan degranulasi menyebabkan peroksidasi lipid

membran sel yang selanjutnya meneyebabkan pelepasan produk granulasi toksik.

(Lopez, et al., 2011)

Granulosit dan makrofag, tertarik ke tempat injury oleh faktor-faktor

komplemen chemotactic C3a dan C5a , melepaskan ro-inflamasi sitokin fase akut

seperti IL-1, IL-6, TNF-α, IFN-γ. Sitokin ini dilepaskan ke dalam sirkulasi perifer,

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan cairan dan protein

25
ditransportasikan masuk ke dalam jaringan, dan akhirnya menyebabkan demam,

perlepasan kortisol, sintesis protein fase akut, leukositosis, dan diferensiasi dan aktivasi

limfosit. Keadaan fisiologis yang dihasilkan secara klinis ini dikenal sebagai Systemic

Inflammatory Response Syndrome (SIRS). (Lopez, et al., 2011). Sitokin anti-inflamsi,

seperti IL-10 secara simultan diproduksi untuk mengimbangi respon inflamasi.

Kemokin (IL-8, monocyte chemo-attractant protein (MCP-1) merupakan

chemoattractants yang diproduksi untuk migrasi neutrofil dan monosit dari peredaran

darah menuju ke tempat infeksi. Makrofag dan neutrofil membentuk garis pertahanan

pertama dari sistem imun innate. Neutrofil dan makrofag mengeleminasi pathogen

dengan cara fagositosis. (Veen, 2006).

c. Farmakologi

Hari 1:
• Kirim 2 wadah universal steril cairan PD ke mikrobiologi untuk jumlah sel putih

(WCC) dan mikroskopi, kultur dan sensitivitas.

• Kirim sepasang botol biakan darah dengan 10 ml cairan PD di masing-masing ke

mikrobiologi. Pastikan bahwa 'cairan PD' tertulis di formulir permintaan di bawah

'Sampel', dan tempelkan stiker merah pada formulir yang dikirim bersama botol kultur

darah.

• Pasien harus diperiksa oleh dokter dan antibiotik yang diresepkan, dengan analgesia

jika perlu.

• Pertimbangkan untuk masuk jika kondisi pasien mengharuskannya. Jika dirawat di

bangsal pasien harus memiliki WCC setiap hari dikirim ke mikrobiologi.

Pasien yang menggunakan APD harus berubah menjadi CAPD sampai peritonitis telah

sembuh.

26
• Rawat dengan antibiotik Intraperitoneal selama 14 hari: Vankomisin 100mg IP dalam

setiap kantong PD 2 liter - 4 kali sehari+Ceftazidime 250mg IP di setiap kantong PD 2

liter - 4 kali sehari

Jika pasien alergi terhadap ceftazidime atau memiliki reaksi anafilaksis serius terhadap

penisilin kemudian gantikan gentamisin dengan ceftazidime.

• Jika pasien secara sistemik tidak sehat, pertimbangkan untuk memberikan vankomisin

1g IV dan ceftazidime 1g IV sebagai satu-satunya dosis setelah dimulainya

pengobatan. Jika ini dianggap perlu, dosis pemeliharaan vankomisin IP harus

dikurangi menjadi 50mg per 2 liter kantong PD.

Hari 2-3:

Jika sedikit atau tidak ada perbaikan, pertimbangkan untuk melepas kateter.

Hari 3-4:

• Pasien menghadiri unit PD.

• Periksa level vankomisin

• Kirim 2 wadah universal ke mikrobiologi untuk WCC

• Jika suatu organisme diidentifikasi, hentikan antibiotik yang sesuai.

Jika organisme gram negatif dikultur, mungkin perlu menambahkan gentamisin sebagai

tambahan ceftazidime: dapatkan saran dari ahli mikrobiologi.

Dosis gentamisin:

• Dosis pemuatan 16mg, cairan untuk tinggal di perut selama setidaknya 6 jam

• perawatan 8mg / 2 liter tas.

• Periksa gentamisin level 2 dan 5 hari setelah mulai.

Hari 7 dan 10:

• Pasien menghadiri unit PD.

27
• Periksa level vankomisin dan sesuaikan dosis jika perlu (lihat di bawah).

• Kirim 2 wadah universal ke mikrobiologi untuk WCC.

Hari 14:

• Pasien menghadiri unit PD.

• Kirim 2 wadah universal ke mikrobiologi untuk WCC.

• Hentikan pengobatan kecuali WCC> 100.

5 hari pasca perawatan:

• Pasien menghadiri unit PD

• Kirim 2 wadah universal ke mikrobiologi untuk WCC (untuk memeriksa tidak ada

kekambuhan segera).

Kadar antibiotik serum:

Level target vankomisin: 5-16mg / l:

• Jika> 16mg / l, kurangi dosis menjadi 50mg per 2 liter kantung.

• Jika <5mg / l, berikan 500mg vankomisin IV.

Level target gentamicin: <2mg / l:

• Jika perlu, kurangi dosis menjadi 4mg per kantong 2 liter

Peritonitis jamur:

Jika ragi terlihat pada mikroskop

• kateter harus dilepas (hubungi ahli bedah)

• memulai amfoterisin intravena (Ambisone)

Indikasi untuk Penghapusan Kateter:

• Peritonitis Jamur

• Pseudomonas, gram negatif atau peritonitis MRSA tidak merespons setelah 3 hari

• 2 peritonitis kambuh berturut-turut (kambuh dalam waktu 4 minggu setelah


menyelesaikan pengobatan)

28
• Infeksi situs yang resisten tidak sembuh setelah 4 minggu perawatan

d. Terapi diet pada pasien Peritonitis

Pemenuhan nutrisi berpengaruh terhadap metabolisme pasca operasi

tergantung berat ringannya operasi, keadaan gizi pasien pasca operasi, dan pengaruh

operasi terhadap kemampuan pasien untuk mencerna dan mengabsorpsi zat-zat gizi.

Setelah operasi sering terjadi peningkatan ekskresi nitrogen dan natrium yang dapat

berlangsung selama lima sampai tujuh hari atau lebih pasca operasi. Pentingnya nutrisi

yang baik pada pasien dengan luka atau pasca operasi merupakan pondasi untuk proses

penyembuhan luka dengan cepat. Nutrisi yang baik akan memfasilitasi penyembuhan

dan menghambat bahkan menghindari keadaan malnutrisi. Selain itu usaha perbaikan

dan pemeliharaan status nutrisi yang baik akan mempercepat penyembuhan,

mempersingkat lama hari rawat yang berarti mengurangi biaya rawat secara bermakna.

(Dictara, Angraini, & Musyabiq, 2018)

Nutrisi sangat penting bagi perawatan pasien mengingat kebutuhan pasien

akan nutrisi bervariasi, maka dibutuhkan diet atau pengaturan makanan. Diet pasca

operasi adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan.

Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan

jenis penyakit penyerta. Tujuan diet pasca operasi adalah untuk mengupayakan agar

status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan

meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara memberikan kebutuhan dasar

(cairan, energi, protein), mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi

lain, memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan, mencegah dan

menghentikan perdarahan. Diet yang disarankan adalah makanan yang mengandung

cukup energi, protein, lemak, dan zat-zat gizi, bentuk makanan disesuaikan dengan

29
kemampuan penderita, menghindari makanan yang merangsang (pedas, asam), suhu

makanan lebih baik bersuhu dingi, pembagian porsi makanan sehari diberikan sesuai

dengan kemampuan dan kebiasaan makan penderita. (Dictara et al., 2018)

Syarat diet pasca operasi adalah memberikan makanan secara bertahap

mulai dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian makanan dari tahap ke tahap

tergantung pada macam pembedahan dan keadaan pasien, seperti pasca operasi kecil

makanan diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa atau normal. Pasca operasi

besar makanan diberikan secara berhati-hati disesuaikan dengan kemampuan pasien

untuk menerimanya. (Dictara et al., 2018)

Jenis diet dan indikasi pemberian diet adalah diet pasca-bedah I (DPB I)

selama enam jam sesudah operasi, makanan yang diberikan berupa air putih, teh manis,

atau cairan lain seperti pada makanan cair jernih. Makanan ini diberikan dalam waktu

sesingkat mungkin, karena kurang dalam semua zat gizi. Selain itu diberikan makanan

parenteral sesuai kebutuhan. Diet ini diberikan kepada semua pasien pasca bedah pasca

operasi kecil yaitu setelah sadar dan rasa mual hilang dan pasca operasi besar yaitu

setelah sadar dan rasa mual hilang serta ada tanda-tanda usus mulai bekerja. (Dictara et

al., 2018)

Makanan yang diberikan diet pasca-bedah II (DPB II) adalah makanan

bentuk cair kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata

delapan sampai 10 kali sehari selama pasien tidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan

tergantung keadaan dan kondisi pasien. Selain itu dapat diberikan makanan parenteral

bila diperlukan. Diet pasca-bedah II diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena

zat gizinya kurang. Makanan yang tidak boleh diberikan pada DPB II adalah air jeruk

dan minuman yang mengandung karbondioksida. Diet pasca-bedah II diberikan kepada

30
pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai perpindahan dari DPB I. (Dictara et

al., 2018)

Makanan yang diberikan diet pasca-bedah III (DPB III) berupa makanan

saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2000 ml sehari.

Selain itu dapat memberikan makanan parenteral bila diperlukan. Makanan yang tidak

dianjurkan adalah makanan dengan bumbu tajam dan minuman yang mengandung

karbondioksida. Diet pasca-bedah III diberikan kepada pasien pasca bedah besar saluran

cerna atau sebagai perpindahan dari diet pasca-bedah II. 19 Makanan yang diberikan

pada diet pasca-bedah IV (DPB IV) berupa makanan lunak yang dibagi dalam tiga kali

makanan lengkap dan satu kali makanan selingan. Diet Pasca-Bedah IV diberikan

kepada pasien pasca operasi kecil, setelah diet Pasca-Bedah I dan pasien pasca operasi

besar, setelah DPB III. (Dictara et al., 2018)

31
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan makalah diatas maka dapat disimpulkan bahwa CKD

merupakan kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolism dan

keseimbangan cairan serta elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif yang

ditandai dengan penumpukan sisa metabolisme (toksik uremik) di dalam tubuh. Penyakit

CKD akan mempengaruhi penurunan LFG dan fungsi ginjal memburuk lebih lanjut,

retensi natrium dan air biasa terjadi. Hal ini dapat menyebabkan resiko edema dan

hipertensi, pasien juga akan merasa cepat lelah, sesak nafas, dan nafsu makan menurun.

Penanganan pada pasien CKD tahap akhir dilakukan beberapa terapi diantaranya yaitu

terapi pengganti ginjal seperti transplantasi ginjal, dialisis peritoneal, maupun

hemodialisa. Dan Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( lapisan membran serosa

rongga abdomen) dan organ didalamnya. Peritonitis primer yang paling sering adalah

spontaneous bacterial peritonitis (SBP) yang disebabkan oleh penyakit sirosis hepatic.

Mekanisme patofisiologi yang terpenting dari SBP adalah translokasi bakteri.

Translokasi bakteri merupakan proses dimana bakteri yang hidup dan mati serta produk

bakteri (DNA bakteri atau endotoksin) menyeberangi lumen usus dan masuk ke dalam

kelenjar limfe mesenterika atau ekstraintestinal. Pada sirosis hepatik, terdapat 3

melakanisme dalam berkembangnya SBP, yaitu : pertumbuhan bakteri yang berlebih,

perubahan structural dan fungsional dari barier mukosa usus, dan defisiensi respon imun

lokal.

32
B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini masyarakat dapat memahami tentang

patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada kasus kritis pada gangguan system

perkemihan dan pencernaan (CKD dan peritonitis) serta Selain itu mahasiswa

keperawatan juga dapat menjadikan makalah ini sebagai pedoman dalam melakukan

tatalaksana pada pasien hipertensi pada kehamilan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Daugirdas, J. T. et al. (2007) ‘Handbook of Dialysis, Fourth Edition’, Dialysis &


Transplantation. doi: 10.1002/dat.20141.

Dictara, A. A., Angraini, D. I., & Musyabiq, S. M. (2018). Efektivitas Pemberian


Nutrisi Adekuat dalam Penyembuhan Luka Pasca Laparotomi. Jurnal Majority,
7(2), 249–256.
http://repository.lppm.unila.ac.id/8360/1/majority%20maret
%202018_alvin_dian_sofyan.pdf

Donnelly, L. A. et al. (2006) ‘The effect of obesity on glycaemic response to metformin


or sulphonylureas in Type 2 diabetes’, Diabetic Medicine. doi: 10.1111/j.1464-
5491.2005.01755.x.

Jitowiyono, Sugeng, Kristiyanasari. 2012. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Jakarta :


Nuha Medika.

Kandarini, Y. (2017). Penatalaksanaan Nutrisi pada Pasien PGK Pradialisis dan


Dialisis. Udayana Repository, 1–7. https://doi.org/10.1139/cjfr-2015-0273

KDIGO (2013) ‘Clinical practice guideline for the evaluation and management of
chronic kidney disease’, Official Journal of the International Society of
Nephofrology.

Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group (2012)
‘KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease.’,
Kidney International Supplements. doi: 10.1038/kisup.2012.40.

Kumala Sari, Muttaqin. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba

Lemone, Priscila; Burke, Karen M., & Bauldoff, Gerene. (2011). Buku Ajar
Keperawatan Medikal bedah (ed. 5. Vol. 3). Jakarta: EGC

Lewis, Sharon L., et al. (2011). Medikal-Surgical Nursing: Assessment and


Management of Clinical Problems (8th ed. Vol 2.). United State of America:
Elsevier Mosby.

Lubis, A. R. et al. (2016) ‘Pedoman penatalaksanaan gagal ginjal kronik’, pp. 1–31.
Mustafa, R. A. et al. (2014) ‘The Canadian Society of Nephrology methods in
developing and adapting clinical practice guidelines: A review’, Canadian
Journal of Kidney Health and Disease, 1(1). doi: 10.1186/2054-3581-1-5.

Pearce. E. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

34
Raharjo, P., Susalit, E. and Suhardjono (2009) Hemodialisis, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.

Reilly Lukela, J. et al. (2019) ‘Quality Department Guidelines for Clinical Care
Ambulatory Chronic Kidney Disease Guideline Team Team Leader Ambulatory
Clinical Guidelines Oversight’, (July). Available at:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/gfr_calculator.cfm.

Riskesdas. (2013). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.


Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia.

Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo , A.W., Setiyohadi, B., Alwi,
I., Simadribata, M.K., Setiati, S., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing. hlm. 1035–40.

Tanto, Chris, dkk. (2014). Kapita Selekta Kedokteran (ed. 4.). Jakarta: FKUI

Veen, s. q., 2006. Clinical and experimental interventions in intra-abdominal infections.


UvA, pp. 1-200.

35

Anda mungkin juga menyukai