Anda di halaman 1dari 25

MATRIKULASI KEPERAWATAN KRITIS

Patofisiologi, Farmakologi dan Terapi Diet Pada Kasus Kritis Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan (Community-acquired pneumonia (CAP)) Dan Kardiovaskuler (Congestive
Heart Failure (CHF))

Disusun Oleh:

KELOMPOK IV

1. KADEK FAJAR WIDYASTIKA (19)


2. NI WAYAN SURATMINI (20)
3. RIZQIA REZA UMAMI (21)
4. NI LUH LISTYA DEWI (22)
5. NI KADEK J.A DWIVANISSHA (23)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI NERS
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Ida sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Hyang
Maha Esa yang selalu melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dari kelompok IV dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul “Patofisiologi, Farmakologi dan Terapi
Diet Pada Kasus Kritis Dengan Gangguan Sistem Pernafasan (Pneumonia) Dan
Kardiovaskuler (Congestive Heart Failure (CHF))”. Penyusunan makalah ini adalah
merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap kelompok untuk memenuhi
persyaratan di dalam mencapai nilai yang bagus pada matrikulasi profesi ners, mata kuliah
Keperawatan Kritis Politeknik Kesehatan Denpasar.
Pada kesempatan ini, kami dari kelompok IV mengucapkan terima kasih kepada
yang terhormat :
1. Bapak Ners I Made Sukarja, S.Kep, M.Kep selaku PJMK yang telah
memberikan pengarahan dan petunjuk dalam pembuatan makalah ini pada mata
kuliah Keperawatan Kritis.
2. Bapak Ketut Suardana, S.Kp, M.Kes selaku dosen pengajar yang akan
memberikan penilain terhadap makalah Patofisiologi, Farmakologi dan Terapi
Diet Pada Kasus Kritis Dengan Gangguan Sistem Pernafasan (Pneumonia) Dan
Kardiovaskuler (Congestive Heart Failure (CHF)) pada mata kuliah Keperawatan
Kritis.
3. Semua teman – teman dari kelompok IV yang telah ikut bergabung dan
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
4. Semua teman – teman dari kelompok I, II, III, V, VI, VII yang akan
memberikan tanggapan mengenai isi makalah ini.
Kami dari kelompok IV menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih banyak
kekurangannya. Meskipun demikian kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Hyang Maha Esa melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita semua.

Denpasar, Juli 2020

Kelompok IV

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Community--acquired pneumonia (CAP)............................................................. 4


2.1.1 Definisi CAP............................................................................................. 4
2.1.2 Patofisiologi CAP...................................................................................... 4
2.1.3 Penatalaksanaan Farmakologi CAP.......................................................... 5
2.1.4 Terapi Diet Pada Pneumonia..................................................................... 7
2.2 Congestive Heart Failure (CHF)........................................................................... 9
2.2.1 Definisi CHF............................................................................................. 9
2.2.2 Patofisiologi CHF...................................................................................... 10
2.2.3 Farmakologi CHF...................................................................................... 11
2.2.4 Terapi Diet Pada CHF............................................................................... 14

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan ............................................................................................................... 20


3.2 Saran ..................................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kondisi kritis merupakan suatu kondisi krusial yang memerlukan penyelesaian atau
jalan keluar dalam waktu yang terbatas. Pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi atau
gagal pada satu atau lebih sistem tubuh, tergantung pada penggunaan peralatan
monitoring dan terapi. Pasien dalam kondisi gawat membutuhkan pemantauan yang
canggih dan terapi yang intensif. Suatu perawatan intensif yang menggabungkan
teknologi tinggi dengan keahlian khusus dalam bidang keperawatan dan kedokteran
gawat darurat dibutuhkan untuk merawat pasien yang sedang kritis (Vicky, 2011).
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri
(instalasi dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan perlengkapan yang khusus yang
ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit,
cedera atau penyulit-penyulit yang potensial mengancam nyawa. ICU menyediakan
sarana-prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan
menggunakan ketrampilan staf medik, perawat, dan staf lain yang berpengalaman dalam
pengelolaan keadaan-keadaan tersebut (Kemenkes, 2011).
Pasien kritis dengan perawatan di ruang ICU (Intensive Care Unit) memiliki
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mengenali ciri-ciri dengan cepat dan
penatalaksanaan dini yang sesuai pada pasien beresiko kritis atau pasien yang berada
dalam keadaan kritis dapat membantu mencegah perburukan lebih lanjut dan
memaksimalkan peluang untuk sembuh (Gwinnutt, 2006 dalam Jevon dan Ewens, 2009).
Comprehensive Critical Care Department of Health-Inggris merekomendasikan untuk
memberikan perawatan kritis sesuai filosofi perawatan kritis tanpa batas (critical care
without wall), yaitu kebutuhan pasien kritis harus dipenuhi di manapun pasien tersebut
secara fisik berada di dalam rumah sakit (Jevon dan Ewens, 2009). Hal ini dipersepsikan
sama oleh tim pelayanan kesehatan bahwa pasien kritis memerlukan pencatatan medis
yang berkesinambungan dan monitoring penilaian setiap tindakan yang dilakukan.
Dengan demikian pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena
dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau terjadinya penurunan
fungsi organ-organ tubuh lainnya (Rab, 2007). Pada makalah ini dibahas mengenai

1
patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada kasus kritis yang diambil yaitu pneumonia
dan CHF.
Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya tinggi,
tidak saja dinegara berkembang, tapi juga di negara maju seperti AS, Kanada dan negara-
negara Eropa. Di AS misalnya, terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per
tahun dengan jumlah kematian rata-rata 45.000 orang.Di Indonesia, pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan tuberkulosis.
Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Gejala Pneumonia
adalah demam, sesak napas, napas dan nadi cepat, dahak brewers kehijauan atau seperti
karet, serta gambaran hasil ronsen memperlihatkan kepadatan pada bagian paru.
Kepadatan terjadi karena paru dipenuhi sel radang dan cairan yang sebenarnya
merupakan reaksi tubuh untuk mematikan luman. Tapi akibatnya fungsi paru terganggu,
penderita mengalami kesulitan bernapas, karena tak tersisa ruang untuk oksigen.
Pneumonia yang ada di masyarakat umumnya, disebabkan oleh bakteri, virus atau
mikoplasma ( bentuk peralihan antara bakteri dan virus ).
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler termasuk didalammya
gagal jantung kongestif masih menduduki peringkat yang tinggi. American Heart
Association (AHA) melaporkan di Amerika Serikat setidaknya 5 juta orang menderita
gagal jantung dan sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Di Indonesia, di ruang
rawat jalan dan inap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada 2006 lalu
didapati 3,23 % kasus gagal jantung. Risiko kematian akibat gagal jantung berkisar antara
5–10% pertahun pada gagal jantung ringan dan meningkat menjadi 30–40% pada gagal
jantung berat. Dari hasil pencatatan dan pelaporan rumah sakit didapatkan case fatality
rate (CFR) tertinggi terjadi pada gagal jantung yaitu sebesar 13,42%.
Kajian epidemiologi menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang mendahului dan
menyertai gagal jantung. Hipertensi merupakan salah satu penyebab gagal jantung kronik
yang tersering. Berdasarkan studi Framingham, hipertensi menyumbang sekitar
seperempat dari kasus gagal jantung. Pada populasi usia lanjut, sebanyak 68% kasus
gagal jantung dikaitkan dengan hipertensi. Secara umum hipertensi dapat berkontribusi
bagi perkembangan gagal jantung sebanyak 50–60% dari pasien. Pada pasien dengan
hipertensi, risiko gagal jantung meningkat sebesar 2 kali lipat pada laki-laki dan 3 kali
lipat pada wanita. Prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5–10% sedangkan
proporsi gagal jantung kronik yang disebabkan penyakit jantung hipertensi yaitu sekitar
39%.
2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah definisi dari CAP?
1.2.2 Bagaimanakah patofisiologi dari CAP?
1.2.3 Apa sajakah penatalaksaan farmakologi dari CAP?
1.2.4 Apa sajakah terapi diet pada Pneumonia?
1.2.5 Bagaimanakah definisi dari CHF?
1.2.6 Bagaimanakah patofisiologi dari CHF?
1.2.7 Apa sajakah farmakologi dari CHF?
1.2.8 Apa sajakah terapi diet pada CHF?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari CAP
1.3.2 Untuk mengetahui patofisiologi dari CAP
1.3.3 Untuk mengetahui penatalaksaan farmakologi dari CAP
1.3.4 Untuk mengetahui terapi diet pada Pneumonia
1.3.5 Untuk mengetahui definisi dari CHF
1.3.6 Untuk mengetahui patofisiologi dari CHF
1.3.7 Untuk mengetahui farmakologi dari CHF
1.3.8 Untuk mengetahui terapi diet pada CHF

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Community-acquired pneumonia (CAP)


2.1.1 Definisi Community-acquired pneumonia (CAP)
Community-acquired pneumonia (CAP) adalah pneumonia yang didapat di
masyarakat. Pneumonia merupakan peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh
berbagai agen infeksius yaitu bakteri, jamur, virus serta zat kimia (asam lambung).
Secara klinis diagnosis pneumonia ditegakkan bila didapatkan gejala demam (tidak
selalu ada pada pasien imunokompromais misalnya geriatri) dan batuk, terutama bila
disertai dengan dahak purulen. Pada auskultasi paru didapatkan kelainan berupa
perubahan suara napas menjadi bronkovesikular atau bronkial disertai ronki basah
nyaring. Pada pemeriksaan darah perifer lengkap didapatkan adanya leukositosis
(tidak selalu ada pada pasien imunokompromais) dan pada foto toraks didapatkan
adanya infiltrat.
Severe community-acquired pneumonia (SCAP) adalah CAP yang
memerlukan terapi suportif di ruang ICU karena mempunyai angka mortalitas yang
tinggi. Setelah diagnosis CAP ditegakkan maka dalam tatalaksana lebih lanjut ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu menentukan ada tidaknya indikasi rawat
pasien (perawatan di ruangan biasa dan perawatan di ICU), pengambilan spesimen
sputum dan darah untuk pemeriksaan kultur (diagnosis etiologi), pemilihan antibiotik
awal yang diberikan secara empiris serta terapi definitif setelah kuman penyebabnya
diketahui.
2.1.2 Patofisiologi Pneumonia
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbanga antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
nafas. Ada beberapa cara mikrooganisme mencapai permukaan:
1. Inokulasi langsung

4
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi di permukaan mukosa
Pada pneumonia, mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Pneumonia jarang tejadi lewat penyebaran hematogen (misalnya dari
endokarditis trikuspid) atau infeksi lanjutan dari infeksi pleura atau ruang
mediastinum. Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi
sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan
dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan
bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel
darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan,
sedangkan gray hepatization ialah konsolodasi yang luas.
2.1.3 Penatalaksanaan Farmakologi CAP
1. Pilihan antibiotik Pada Severe Community-Acquired Pneumonia
Secara garis besar berkaitan dengan jenis antibiotik yang diberikan maka terapi
SCAP dapat dibagi menjadi terapi awal yang bersifat empiris dan terapi definitif
sesuai kuman penyebab yang didapat (pathogen-directed therapy). Untuk menentukan
jenis terapi empiris yang sesuai maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :
a. Pemahaman mengenai spektrum antibiotik yang diberikan.
b. Antibiotik empiris yang diberikan ditujukan untuk mengatasi infeki oleh
Pseudomonas aeruginosa
c. Antibiotik yang diberikan harus dapat juga mengatasi infeksi oleh patogen atipik
yaitu Legionella, Chlamidya dan Mycoplasma.

5
d. Menentukan ada tidaknya kemungkinan infeksi oleh methicillin- resistant
Staphylococcus aureus (MRSA).

Faktor risiko terjadinya CAP akibat kuman Pseudomonas adalah adanya


kelainan struktur paru (bronkiektasis, kavitas, destroyed lung), pasien PPOK
dengan eksaserbasi berulang yang memerlukan terapi steroid, pasien dengan
riwayat terapi antibiotik sebelumnya serta pasien dengan CAP yang berat yang
memerlukan dukungan ventilator mekanik. Bila ada risiko terinfeksi kuman
Pseudomonas maka terapi empiris yang diberikan harus dengan kombinasi 2
golongan antibiotik yang mempunyai efek antipseudomonas dengan cara kerja
berbeda. Setiap golongan antibiotika mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
Golongan -laktam (penisilin, sefalosporin dan karbapenem) bekerja dengan
menghambat sintesis dinding sel bakteri dan mempunyai spektrum yang beragam
tergantung dari jenisnya. Golongan kuinolon bekerja dengan menghambat DNA
gyrase pada inti sel bakteri sehingga menyebabkan kerusakan untaian DNA.
Golongan aminoglokosida bekerja dengan menghambat proses translasi mRNA
yang penting untuk pembentukan protein. Berdasarkan mekanisme kerja berbagai
golongan antibiotik tersebut maka untuk mengatasi CAP dengan risiko terinfeksi
kuman Pseudomonas yang dianjurkan adalah kombinasi antara antibiotik
antipseudomonas dari golongan -laktam dengan golongan non- respiratory
quinolone (siprofloksasin) atau dengan golongan aminoglikosid (amikasin).
Faktor risiko terjadinya CAP akibat kuman MRSA (Community Acquired-
MRSA) adalah pasien dengan riwayat menderita penyakit jantung rematik atau
endokarditis infektif serta pasien dengan riwayat penggunaan obat- obat narkotika
secara intravena (drugs-abuser). Pada foto toraks pasien- pasien tersebut bisa
didapatkan adanya gambaran emboli septik yaitu berupa kavitas multipel yang
timbulnya akut dimana bentuk dan ukurannya dapat berubah-ubah akibat adanya
trombus infeksius yang menyumbat pembuluh kapiler paru.
2. Regimen antibiotik Pada Severe Community-Acquired Pneumonia
Antibiotik empiris yang diberikan pada SCAP ditujukan untuk mengatasi
infeksi oleh kuman Pseudomonas dengan pemberian kombinasi 2 golongan
antibiotik yang mempunyai efek antipseudomonas :
a. Kombinasi ß-laktam antipseudomonas (Piperasillin/tazobaktam 4 x 4.5
g/hari, sefepim 2 x 1-2 g/hari, imipenem-cilastatin 4 x 1 gr/hari, meropenem
3 x 1 g /hari) dengan siprofloksasin 2 x 400 mg iv /hari atau levofloksasin iv
1 x 750 mg /hari)
b. Kombinasi ß-laktam seperti tersebut di atas dengan aminoglikosid (amikasin
15 mg/kg, 1 x/hari atau tobramisin 1,7 mg/kg, 1x/hari) dan azithromisin 1 x
500 mg.

6
c. Kombinasi ß-laktam seperti tersebut di atas dengan aminoglikosid (amikasin
15 mg/kg, 1 x/hari atau tobramisin 1,7 mg/kg, 1x/hari) dan
antipneumococcal quinolone (levofloksasin 1 x 750 mg atau moksifloksasin
1 x 400 mg).
Jika ada dugaan infeksi oleh kuman MRSA maka ditambahkan dengan antibiotik
anti MRSA yaitu :
a. Linezolid iv 600 mg 2 x/hari atau vankomisin dengan dosis 15 mg/ kg, 2x/hari.
2.1.4 Terapi Diet pada Pneumonia
1. Nutrisi Pada Pneumonia
Tujuan intervensi nutrisi adalah mengobati malnutrisi yang ada dan mencegah
terjadinya defisiensi nutrisi serta menyangga sistem ilnun sehingga diharapkan dapat
menurunkan infection rate , length of stay dan pembiayaan . Malnutrisi protein-energi
menyebabkan disregulasi T Cell mediated immunity sehingga banyak T Cell yang
inatur. Rasio THI:TH2 menurun sehingga menyebabkan kondisi imun tersupresi dan
risiko kematian menjadi meningkat. Beberapa penelitian menemukan bahwa pada
penderita yang dirawat lebih dari 2 minggu, 69% penderita mengalami perburukan
status nutrisi. Hill et al.cit Kushner mendapatkan pula bahwa pada 50% penderita post
operasi I minggu terjadi perburukan status nutrisi. Hal ini mengindikasikan bahwa
penanganan nutrisi belum secara adekuat dijalankan.
2. Kebutuhan Kalori Penderita Pneumonia
Estimasi kebutuhan nutrisi adalah: REE (Resting Energy Expenditure) yang
dihitung dengan rumus Harris-Benedict dikalikan faktor aktivitas atau stress.

REE laki-laki : 66 + l3,7 BB (kg) + 5 TB (Cm)-6,8 Umur (tahun).

REE perempuan : 65,4 + 9,6 BB (kg) +1,7 TB (Cm) – 4,7 Umur (tahun).

Faktor aktivitas /stress : - Bedah elektif : 1,0 - 1,1

-Multiple factor : 1,1 – 1,3

- Infeksi berat : 1,2 – 1,6

- Kebakaran : 1,5 – 2,1

Sedangkan kebutuhan protein diperhitungkan sebagai :

- Stress ringan sedang ; 1,2-1,3 gr/Kg BB

- Stress sedang -berat : 1,5-2 gr/Kg BB

7
- stress berat disertai penyembuhan luka : 1,6-2 gr/Kg BB

- Hemodialisis : 1-1,5 gr/Kg BB

- CAPD : 1,5 gr/Kg BB

- Gagal ginjal akut : 1,6 gr/Kg BB

- Penyakit hati kanjut : 1-1,5 gr/Kg BB

Estimasi kebutuhan kalori iuga dapat diperhitungkan :

- Obese dengan risiko refeeding :20-25 Kcal/Kg/BB

- Stress ringan - sedang : 25 - 35 Kcal / Kg/BB (kebanyakan pasien rawat inap)

Stress berat , penyembuhan luka : > 35 Kcal/Kg BB

Sebagai contoh : penderita pneumonia laki-laki 60 tahun TB : 170 cm, BB : 65 kg


dengan tingkat stress sedang.

Langkah I : REE laki-laki : 66+( 13,7x 65)+(5x70)-6,8 x 60 =1389,5 Kcal.

Langkah II : REE x faktor aktivitas/stress = 1389,5 x 1,3

= l818,05 Kal

= 1800 Kcal

3. Kapan Suport Nutrisi Dimulai


Pada penderita malnutrisi pemberian nutrisi dianjurkan diawali dengan
hypocaloric feeding (20-25 Kcal/kg/BB) untuk mencegah terjadinya refeeding
syndrome. Setelah evaluasi elektrolit stabil baru diberikan feeding sesuai perhitungan.
Total kalori intake 140% REE secara total parental dengan glukosa laju infus < 4 mg
kg/BB/menit dan kandungan lemak 40-60% tidak meningkatkan respiratory quotient
>1. Overfeeding bila terjadi dapat berakibat hiperglikemia, peningkatan produksi CO2
dan fatty liver.
Kapan suatu suport nutrisi mulai diberikan merupakan salah satu kajian dalam
penanganan pasien- pasien rawat inap. Support nutrisi yang diberikan lebih awal,
dimulai dalam 3 hari pertama perawalan ternyata nemberikatr keuntungan dibanding
support nutfisi yang diberikan lebih terlambat dimana infection rate lebih rendah dan
hospital stay lebih pendek.

8
4. Peranan Suplernen Vitarnin dan Mineral pada Pneumonia
Selain faktor kebutuhan kalori yang adekuat penderita rawat inap memerlukan
asupan vitamin dan mineral untuk menyangga sisten imun optimal. Defisiensi vitamin
A dapat rnenyebabkan disfungsj netrofil, NK cell dan makrofag. Delisiensi vitamin E
menyebabkan distungsi T Cell dimana penderita AIDS yang mengalami defisiensi
vitamin E mengalami progresvitas penyakitnya.Nutrien lain yang berperan dalam
respon imun seperti zinc ,vitamin B 12, selenium, copper.Defisiensi zinc berkait
dengan limfopenia dan peningkatan produksi steroid ( glucocorticoid mediated
upregulation of lymphocyte apoptosis ).
Brooks et al. membuktikan bahwa pemberian zinc pada penderita pneumonia
sembuh lebih cepat.Pencegahan merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh
untuk menurunkan mengendalikan faktor risiko pemberian Probiotik.

2.2 Congestive Heart Failure (CHF)


2.2.1 Definisi CHF
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel
tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan peregangan
ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke
seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya
mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang
melemah tidak mampu memompa dengan kuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering
merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan
cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya
sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive) (Udjianti, 2010).
Gagal jantung adalah satu gejala klinis pada pasien mengalami kelainan
struktur atau fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu untuk memompakan darah
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolit tubuh (forward
failure) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian
jantung yang tinggi (backward failure) atau kedua-duanya.
Gagal jantung adalah sindroma klinis yang ditandai oleh sesak nafas dan
kelelahan saat istirahat maupun saat beraktivitas yang disebabkan oleh kelainan
struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure
(CHF) adalah suatu kondisi ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah
9
jantung dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan stroke volume
mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang dan disebabkan oleh (1)
kegagalan kontraksi ventrikel, (2) kegagalan pengisian ventrikel, (3) peningkatan
afterload. Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam tubuh
terjadi suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan-
perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel dan aktivasi sistem simpatis.
2.2.2 Patofisiologi CHF
Gagal jantung kongestif dapat dilihat sebagai suatu kelainan yang progresif,
dapat terjadi dari kumpulan suatu kejadian dengan hasil akhir kerusakan fungsi miosit
jantung atau gangguan kemampuan kontraksi miokard. Beberapa mekanisme
kompensatorik diaktifkan untuk mengatasi turunnya fungsi jantung sebagai pompa, di
antaranya adalah sistem adrenergik, renin angiotensin dan sitokin. Dalam waktu
pendek beberapa mekanisme ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam
batas normal, sehingga pasien menjadi asimptomatik. Meskipun demikian, jika tidak
terdeteksi dan semakin berlanjut akan menyebabkan kerusakan ventrikel dan terjadi
remodeling yang pada akhirnya menimbulkan gagal jantung yang simptomatik.
Penurunan stroke volume akan meningkatkan end sistolic volume sehingga
volume dalam ventrikel kiri meningkat. Peningkatan volume ini akan meregang
dinding ventrikel kiri sehingga otot jantung akan berkontraksi dengan lebih kuat
untuk meningkatkan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.
Mekanisme kompensasi ini mempunyai batasnya. Pada kasus gagal jantung dengan
penurunan kontraktilitas yang berat, ventrikel tidak mampu memompa semua darah
sehingga end diastolic volume meningkat dan tekanan ventrikel kiri juga meningkat.
Tekanan ini akan ditransmisikan ke atrium kiri, vena pulmonal dan kapiler pulmonal.
Hal ini akan menyebabkan edema paru. Penurunan curah jantung akan memicu sistem
simpatis sehingga meningkatkan kontraksi jantung sehingga stroke volume meningkat
dan curah jantung meningkat. Penurunan curah jantung juga memicu sistem renin
angiotensin dan memicu vasokonstriksi vena, menyebabkan venous return meningkat
dan akhirnya stroke volume juga meningkat sehingga curah jantung tercapai.
Penurunan curah jantung juga akan memicu peningkatan ADH dan hormon aldosteron
untuk memicu retensi natrium dan air untuk mencapai curah jantung yang adekuat.
Stimulasi neurohormonal ini akan berjalan kronik dan dapat menyebabkan efek yang
tidak diinginkan seperti edema.

10
Peningkatan beban jantung juga akan menyebabkan dilatasi ventrikel kiri dan
peningkatan tekanan sistolik untuk mengatasi afterload yang meningkat. Otot
ventrikel kemudian akan menebal sebagai kompensasi dalam rangka menurunkan
stres dilatasi pada dinding ventrikel. Terjadi peningkatan kekakuan dinding yang
hipertrofi sehingga menyebabkan tekanan diastolik ventrikular meninggi dan tekanan
ini akan ditransmisi ke atrium kiri dan pembuluh pulmonal. Volume overload yang
kronik seperti pada mitral regurgitasi atau aorta regurgitasi akan memicu miosit
memanjang. Pressure overload yang kronik seperti hipertensi atau stenosis aorta akan
memicu miosit menebal yang dinamakan hipertrofi konsentrik. Hipertrofi dan
remodeling membantu untuk menurunkan stres pada dinding jantung, namun dalam
jangka waktu yang lama fungsi ventrikel akan menurun dan dilatasi ventrikel akan
terjadi. Pada keadaan ini, turunnya fungsi jantung tidak dapat mengkompensasi
beban hemodinamik pada otot jantung sehingga gejala gagal jantung yang
progresif akan timbul

2.2.3 Penanganan CHF


Furosemide iv dengan dosis 40 – 80 mg harus diberikan. Nitrogliserin Sublingual
akan menurunkan preload dengan cepat, memberikan penurunan gejala setelah efek
dari diuretic tubulus maximal. Morphin Sulfat dosis rendah (1 – 2 mg) biasanya
digunakan untuk meredakan kecemasan (juga menurunkan preload). Morphin dosis
tinggi dapat menekan pusat pernafasan, sehingga makin memperburuk hipoksemia.
Pasien edema paru mungkin beruntung jika tekanan Ventrikel positif dengan tekanan
ekspirasi akhir positif (PEEP) atau CPAP/BIPAP. Tekanan ventilasi positif (plus
PEEP) adalah bagus untuk ventrikel kiri, karena mengurangi kerja pernafasan,
mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri.
2.2.3 Farmakologi CHF
1. Diuretik
Diuretik selalu digunakan untuk pasien dengan tanda-tanda overload volume
intravaskular. Diuretik tidak digunakan dalam pengobatan gagal jantung yang tidak
ada gejala atau tanda kongesti paru umumnya kita percaya bahwa diuresis
memperbaiki fungsi jantung pada pasien gagal jantung kongesti. Telah menjadi
ketetapan bahwa diuretic mempercepat perubahan gambaran peningkatan preload
ventrikel lewat 2 mekanisme : mengubah/menggerakkan ventrikel ke posisi yang
lebih optimal pada penurunan dari kurva starling atau mengurangi ukuran ventrikel

11
kiri dengan mengurangi tekanan dan dinding sistole (afterload) dengan efek laplace.
Bagaimanapun, hal ini telah ditunjukkan dengan jelas bahwa tidak ada penurunan
kurva dari kurva tekanan stroke volume ventrikel kiri (kurva starling) pada jantung
mamalia (termasuk manusia). Lagipula, sekarang ini tidak ada faktor yang
mendukung bahwa diuresis meningkatkan Stroke Volume atau cardiac output pada
pasien gagal jantung kongestif. Braunwald dan rekannya menunjukkan bahwa dari
rata-rata cardiac output 20 % mengikuti satu diuresis pada pasien yang mengalami
gangguan fungsi jantung baik pada waktu istirahat maupun sedang bergiat.
Diuretik merupakan terapi yang tepat pada pasien dengan edema
kardiopulmonar yang simptomatik walapun demikian, penting untuk disadari bahwa
pasien dengan gagal jantung yang kronik, mempunyai kemampuan untuk
mentoleransi tekanan vena pulmonal yang tinggi tanpa terjadi edema
pulmonum.Pasien dengan gagal jantung kiri kronik yang berat. Seringkali mempunyai
sedikit suara ronki pada pemeriksaan atau tidak terlihat edema alveolar pada foto X
ray, walaupun tekanan vena pulmonal tinggi (dan gambaran hipertensi vena pulmonal
pada foto thorax). Pasien-pasien ini mungkin mempunyai tekanan vena pulmonal
lebih 30 mmHg, observasi ini diperjelas oleh penurunan permiabilitas mikrovaskuler
pulmonary, juga peningkatan aliran limfatik pada pasien-pasien ini.
2. ACE Inhibitor
Semua pasien dengan gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik
ventrikel kiri sebaiknya dicoba pemberian ACE inhibitor, kecuali ada kontra indikasi
spesifik. Ace inhibitor telah terbukti meningkatkan status fungsional dan mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung yang sedang atau berat.
ACE Inhibitor telah didemonstrasikan sebagai obat yang lebih efektif dalam
mengurangi morbilitas dan mortalitas dibanding kombinasi dari isosorbid dinitrat dan
hidralazin. ACE inhibitor dapat dipertimbangkan sebagai terapi tunggal pada pasien
gagal jantung yang menampilkan gejala fatigue atau dispnea ringan dan tidak
menampakkan adanya gejala atau tanda-tanda overload volume. Suatu diuretic
(spinoralakton) harus ditambahkan jika gejala-gejala tersebut nampak (pantau kadar
potasium serum) ACE inhibitor mempunyai kontra indikasi pada pasien stenosis aorta
sedang sampai berat, stenosis arteri renal bilateral, kardiomiopati obstruktif, hipertrofi
dan tamponade perikardial.
3. Isosorbide Dinitrat dan Hydralazin

12
Isosorbid dinitrat dan hydralazin merupakan alternatif yang tepat pada pasien
dengan kontraindikasi atau intoleransi terhadap ACE inhibitor. Isosorbid dimulai
dengan dosis 10 mg tid dan ditingkatkan secara perlahan-lahan sampai mencapai
tingkat toleransi 40 mg tid dan ditingkatkan perlahan-lahan sampai 75 mg tid (selama
beberapa minggu).
4. Digoksin
Digoksin diindikasikan pada pasien dengan disfungsi sistol ventrikel kiri dan
atrial fibrilasi yang kronik. Khasiat/mamfaat digoksin pada pasien yang gagal jantung
dalam mengembalikan irama sinus masih banyak diperdebatkan. Digoksin dapat
mencegah semakin memburuknya gejala klinik pasien dengan gagal jantung yang
disebabkan oleh disfungsi sistole ventrikel kiri
5. Beta Bloker
Beta Bloker telah memperlihatkan kegunaan secara tetap pada pasien
gangguan jantung . Obat ini memperbaiki tingkat fungsi NYHA dan LVEF pada
pasien idiopati atau Iskemia cardiomypathi. Bagaimanapun mereka tidak bisa
digunakan pada pasien dekompensata akut kecuali pada pasien disfungsi diastol.
Peningkatan progresif dosis beta bloker tampaknya menjadi faktor penting yang
memberikan keuntungan hemodinamik dan fungsional pada pasien gangguan jantung
(perbaikan keadaan neurohormonal).
6. Obat Penghambat Calsium Channel
Generasi pertama penghambat calsium channel seperti verapamil, diltiazem,
dan nifedipin harus dihindarkan pada pasien disfungsi ventrikel kiri, karena jenis
obat-obat ini memperlihatkan terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Penelitian praise memperlihatkan bahwa amlodipin tidak berlawanan efeknya dengan
proses terjadinya gagal jantung kronik. Obat ini harus dipertimbangkan sebagai terapi
kedua pada penanganan pasien hipertensi atau angina pada pasien disfungsi ventrikel
kiri .
7. Dobutamine
Dobutamine mungkin memiliki peranan pada pasien gagal ventrikel kiri akut
sampai iskemia miokard. Pada penataan ini dobutamine bisa menyebabkan hibernasi
miokardium dan perbaikan fungsi jantung. Peranan dobutamin pada pasien gagal
jantung kronik belum jelas. Pada gagal jantung kronik yang berperan adalah
hiperaktivasi simpatetik dan penurunan fungsi pengaturan reseptor beta. Infus jangka
pendek atau lanjut dari terapi beta stimulan tidak memperlihatkan manfaat pada
13
pasien-pasien ini. Obat ini dikaitkan dengan peningkatan frekuensi aritmia ventrikel
yang mungkin meningkatkan angka kematian. Bagaimanapun dobutamin
memperlihatkan stimulasi denyut nadi sebentar (kurang dari 1 jam). Untuk
memproduksi analog yang bermanfaat untuk efek dari aktivitas fisik. Efek ini tidak
diperlihatkan jika dobutamin diberikan lebih dari 4 jam.
8. Anticoagulan
Anticoagulan rutin dianjurkan. Pasien dengan riwayat sistemik atau emboli
paru, atrial fibrilasi yang baru terjadi atau thrombus ventrikel kiri harus diberi
anticoagulan sampai rasio protrombin time 1,2 – 1,8 waktu normal. (normal = 2,0 –
3,0 menit).
2.2.4 Terapi Diet pada CHF
1. Penilaian Status Nutrisi
Beberapa metode skrining telah banyak diteliti penggunaannya pada pasien
dengan penyakit kardiovaskular. Subjective Global Assessment (SGA) spesifik namun
penggunaannya cukup sulit karena penilai harus terlatih dan subyektifitas interpretasi
hasilnya. Keadaan retensi cairan juga menyulitkan dalam menginterpretasikan riwayat
penurunan berat badan dan data antropometik lainnya.
Bonilla–Palomas dkk. dalam studinya mengenai pengaruh malnutrisi terhadap
mortalitas pasien gagal jantung dekompensata menggunakan formulir Mini
Nutritional Assessment (MNA) mendapatkan hasil yang signifikan.38 Venrooij dkk.
menguji akurasi dua metode skrining yang cepat dan mudah yaitu Malnutrition
Universal Screening Tools (MUST) dan Short Nutritional Assessment Quotionnaire
(SNAQ), didapatkan hasil bahwa MUST memiliki sensitifitas yang lebih tinggi pada
pasien dengan indeks massa bebas lemak yang rendah. Metode skrining lain seperti
Nutritional Risk Screening (NRS) 2002 belum pernah diuji penggunaannya pada
pasien dengan penyakit jantung kongestif. Pengukuran lingkar lengan atas dapat
digunakan untuk mendeteksi malnutrisi apabila terdapat edema pada tungkai bawah
termasuk bila terdapat asites dan edema tidak terdapat pada lengan atas.
Penilaian status gizi menggunakan indeks massa tubuh menggunakan
pengukuran berat badan adalah cara termudah menilai status gizi pasien, namun
pada keadaan edema cara ini menjadi kurang relevan. Dapat digunakan pemeriksaan
lain yang dapat dilakukan untuk menilai massa bebas lemak seperti pemeriksaan tebal
lipatan kulit, lingkar lengan atas, ekskresi kreatinin urin 25 jam, ataupun analisis
bioimpedans.
14
Beberapa marker protein plasma juga dapat digunakan untuk menilai status
nutrisi seperti albumin, prealbumin, transferrin, thyroxin-binding globulin (TBG),
retinol binding protein (RBP) dan lain-lain. Protein-protein yang mempunyai half life
pendek seperti RBP dan prealbumin dengan half life masing- masing 0,5 dan 2 hari
mempunyai korelasi yang lebih baik dengan perubahan akut status nutrisi dan
metabolisme dibanding albumin yang mempunyai half life 20 hari. Kadar protein-
protein ini tidak hanya ditentukan oleh status nutrisi tetapi juga keadaan inflamasi.
Selain itu pasien dengan penyakit jantung kongestif seringkali mengalami gangguan
fungsi hepar yang dapat mempengaruhi produksi protein ini sehingga kurang efektif
untuk menilai status nutrisi penderita.
2. Kebutuhan Energi dan Komposisi Makronutrien
Metode terbaik untuk menentukan kebutuhan energi pada pasien gagal jantung
adalah menggunakan kalorimetri indirek. Apabila kalorimetri indirek tidak tersedia
maka dapat digunakan rumus perhitungan kebutuhan energi basal yang kemudian
disesuaikan dengan faktor stres sesuai status hipermetabolisme. Toth dkk. dalam
penelitiannya mendapatkan bahwa terdapat peningkatan resting energy expenditure
(REE) pada pasien gagal jantung kronik rata-rata sekitar 200 kkal/hari bila
dibandingkan dengan kontrol, namun tidak bermakna secara statistik. Pasien dengan
gagal jantung berat membutuhkan energi total 30%-50% lebih tinggi dari kebutuhan
energi basal atau 31-35 kkal/kgBB untuk memenuhi kebutuhan energi akibat
aktivitas kardiopulmonal yang meningkat. Pasien gagal jantung kronik yang
mengalami kaheksia kardiak faktor stres bahkan dapat ditingkatkan hingga 1,6-1,8
pada fase replesi. Penelitian membuktikan bahwa keseimbangan nitrogen negatif
terjadi pada pasien gagal jantung sehingga membutuhkan protein lebih banyak
daripada subyek kontrol yang sehat. Pada pasien dengan gagal jantung dengan
hemodinamik stabil, asupan protein direkomendasikan minimal 1,37 g/kgBB pada
pasien dengan malnutrisi atau minimal 1,12 g/kgBB pada pasien dengan status nutrisi
yang baik dengan tujuan mempertahankan komposisi tubuh dan meminimalkan efek
hiperkatabolik. Aquilani dkk. menyatakan bahwa tingginya laktat dan piruvat pada
pasien gagal jantung menunjukkan hipoksia yang sistemik dan pemberian protein
yang tinggi ternyata tidak berpengaruh terhadap anabolisme. Kecukupan asam amino
esensial dan non esensial mungkin lebih berpengaruh terhadap perbaikan metabolism
protein pada pasien gagal jantung. Asam amino merupakan nutrien yang penting pada
metabolisme jantung. Salah satu asam amino yang penting adalah taurin. Taurin tidak
15
terlibat dalam sintesis protein, namun merupakan seperempat dari total asam amino
yang tersimpan di jaringan jantung dan berfungsi sebagai antioksidan dan turut dalam
regulasi homeostasis kalsium. Beberapa penelitian melaporkan bahwa suplementasi
taurin pada pasien gagal jantung meningkatkan kapasitas fisik, menurunkan tekanan
darah diastolkc dan memperbaiki fungsi sistolik.
Kebutuhan lemak pada pasien dengan penyakit kardiovaskular berkisar antara
25–35% dari total kalori dan kolesterol <200 mg/hari. Komposisi lipid yang
disarankan adalah saturated fatty acid (SAFA) <7%, polyunsaturated fatty acid
(PUFA) sampai dengan sekitar 10% dan monounsaturated fatty acid (MUFA)
mencapai 20% kalori total. Pada pasien dengan gejala malabsorbsi pemberian
lipid berbentuk MCT lebih mudah dihidrolisis dan efektif diabsorpsi ke dalam
sirkulasi portal. Namun energi yang dihasilkan oleh MCT 14% lebih rendah
dibanding LCT, dan tidak memenuhi asam lemak esensial yang juga dibutuhkan oleh
tubuh. Karbohidrat dapat diberikan 50-60% kalori total per hari dengan jenis
karbohidrat kompleks dalam bentuk biji-bijian, sayur dan buah. Karbohidrat
sederhana harus dibatasi penggunaannya.
3. Kebutuhan Mikronutrien
Mikronutrien berperan mengoptimalkan metabolisme dan memperbaiki
kegagalan jantung. Pada pasien gagal jantung sering kali pasien diberi terapi diuretik.
Diuretik menyebabkan hilangnya kalsium melalui ginjal, menurunkan kadar kalium
serum, magnesium, natrium. Tiazid dapat menurunkan kadar seng. Kekurangan seng
dapat mengakibatkan gangguan fungsi imun. Kemungkinan defisiensi beberapa
mikronutrien menyebabkan pasien gagal membutuhkan asupan mikronutrien yang
lebih besar.
a. Vitamin B
Defisiensi tiamin merupakan yang paling sering terjadi pada gagal jantung
disebabkan penggunaan loop diuretic yang meningkatkan ekskresi tiamin dan
vitamin B larut air. Defisiensi tiamin banyak ditemukan pada pasien gagal jantung
dengan prevalensi bervariasi antara 13 hingga 33%. Penelitian-penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan spironolakton membantu peningkatan ekskresi
tiamin dan memperbaiki kadar tiamin di serum.
Tiamin (B1) merupakan kofaktor penting dalam metabolisme karbohidrat.
Tiamin tidak disintesis dalam tubuh dan tidak terdapat simpanan endogen, hal itu
yang menyebabkan diperlukannya asupan tiamin secara kontinu untuk mencegah
16
defisiensi. Defisiensi tiamin berat dapat menyebabkan vasodilatasi dan gagal
jantung berat yang dikenal sebagai beri-beri basah. Pemberian suplementasi tiamin
direkomendasikan untuk pasien gagal jantung yang mendapat terapi loop diuretic
dosis tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bervariasi terhadap
suplementasi tiamin pada pasien gagal jantung. Suplementasi tiamin sebesar
200mg/hari dapat meningkatkan kadarnya dalam plasma dan terbukti memperbaiki
fungsi ventrikel.
Defisiensi riboflavin dan piridoksin sering ditemukan pada pasien gagal jantung
kronik. Suatu penelitian pada pasien gagal jantung menunjukkan terdapat defisiensi
piridoksin sebesar 38%. Riboflavin dan piridoksin merupakan vitamin B larut air
yang berperan penting dalam oksidasi beta lipid, metabolisme karbohidrat dan
produksi sel darah merah. Seperti tiamin, penggunaan loop diuretic juga
meningkatkan ekskresi vitamin ini di ginjal. Direkomendasikan konsumsi
vitamin–vitamin B ini sebesar 100% AKG untuk mencegah defisiensi pada pasien
gagal jantung.
Asupan folat yang direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung sebesar
100% AKG yang berasal dari bahan makanan sumber atau suplementasi yang
dikombinasi dengan vitamin B6 dan B12. Suplementasi vitamin B12 sebesar 200-
500 mikrogram/hari yang diberikan bersama dengan vitamin atau mineral lain
terbukti memiliki efek menguntungkan untuk pasien gagal jantung.
b. Vitamin A
Berdasarkan penelitian hewan coba, menunjukkan bahwa vitamin A
bermanfaat untuk mencegah aktivasi NF-қB, mengurangi pelepasan sitokrom C,
menurunkan aktivitas caspase, menurunkan sekresi sitokin inflamasi dari
kardiomiosit, dan meningkatkan fungsi kontraktil miokardium. Pada penelitian
hewan coba lainnya menunjukkan, asam 9-cis-retinoic, memicu transkripsi dari
glucosa transporter promoter (GLUT)-4 yang ekspresinya penting untuk
kelangsungan hidup miosit jantung dalam situasi stres.
c. Natrium
Penurunan curah jantung akan meningkatkan ADH dan memicu retensi
natrium dan air untuk memenuhi stroke volume dan curah jantung. Hormon
aldosteron juga meningkat untuk meningkatkan retensi natrium dan cairan dengan
tujuan meningkatkan venous return tubuh. Kadar total natrium di tubuh umumnya
meningkat walaupun kadar natrium di serum menunjukkan penurunan, hal ini
17
sering ditemukan pada kondisi gagal jantung lanjut. Oleh karena itu restriksi
natrium dan retensi cairan harus dilakukan pada pasien gagal jantung.
Rekomendasi pemberian natrium bervariasi yaitu rekomendasi tersering adalah
restriksi natrium mencapai <2000 mg (2 g), namun rekomendasi dapat berkisar
antara 2000–2400 mg/hari. Restriksi tergantung beratnya retensi cairan dan respon
terhadap diuretik.
d. Kalium, Kalsium, dan Magnesium
Ketiga mikronutrien ini berkaitan erat dengan takanan darah. Banyak
penelitian mendapatkan hubungan positif asupan kalium, kalsium dan magnesium
terhadap penurunan tekanan darah. Dampak restriksi natrium terhadap tekanan
darah dapat dipengaruhi oleh konsumsi kalium atau kalsium. Dua meta-analisis
dari uji coba klinis terkontrol telah menunjukkan bahwa suplementasi kalsium
(1000-2000 mg/hari) menghasilkan penurunan signifikan tekanan darah sistolik
namun tidak bermakna pada penurunan diastolik. Hasil dari dua meta-analisis dari
uji klinis mendukung kesimpulan bahwa suplemen kalium oral (60 sampai 120
mEq / d) dapat memperbaiki tekanan darah.
Obat-obatan, seperti loop dan thiazide diuretik berkontribusi pada kehilangan
magnesium melalui urin. Defisiensi magnesium dikaitkan dengan retensi natrium
dan peningkatan ventrikelektopi yang terkait dengan penurunan kontraktilitas
jantung dan peningkatan resistensi pembuluh darah periferuplemen magnesium (20
mmol /hari) secara signifikan menurunkan tekanan darah diastolik tetapi tidak
darah sistolik.
e. Seng dan Selenium
Defisiensi seng berhubungan dengan apoptosis myocardiocyte. Beberapa obat
yang umumnya digunakan pada pasien gagal jantung seperti ACE Inhibitor,
antagonis angiotensin II dan diuretik thiazide meningkatkan keluaran seng melalui
urin.54 Selenium berperan sebagai kofaktor untuk enzim antioksidan, glutathione
peroksidase. Defisiensi glutation peroksidase berkontribusi faktor disfungsi
endotel pada gagal jantung. Suplemen selenium dapat mengurangi progresifitas
penyakit jantung tetapi tidak dapat membalikkan kerusakan jantung yang ada.
4. Nutrien spesifik
a) Coenzym Q10
Coenzym Q10 (CoQ10) atau ubiquinone, fat-soluble quinine, merupakan komponen
penting rantai transpor elektron di mitokondria dan penting dalam pembentukan
18
ATP. Pada pasien gagal jantung kadar CoQ 10 di serum dan jaringan mengalami
penurunan. Defisiensi CoQ10 berkorelasi positif dengan perburukan fungsi
ventrikel kiri dan mortalitas.
b) Karnitin
L-carnitin berperan dalam modulasi glikolisis (modulasi rasio acyl Coenzyme
A/Coenzyme A), siklus Krebs, dan terlibat dalam metabolisme asam lemak.
Propionyl-L-carnitin, derivate L-carnitin, juga berperan dalam siklus Kreb, efek
peningkatan oksidasi glukosa dan perbaikan fungsi kontraksi. L-carnitin
merupakan derivat asam amino non essensial dan berperan dalam transpor asam
lemak dari sitosol ke mitokondria. L-carnitine disintesis dari asam amino esensial
metionin dan lisin, dengan kofaktor vitamin C (ascorbic acid), Fe, niasin dan
piridoksin.
c) Asam Lemak Omega 3
Asam lemak omega 3 memberikan efek perlindungan kardiovaskular terutama
melalui efek peningkatan docosahexaenoic acid (DHA) dan eicosapentaenoic
acid (EPA) di membran fosfolipid. Inkorporasi omega-3 ke membran sel target
dan jaringan menurunkan eksitabilitas elektrik sehingga berpotensi menurunkan
aritmia. Efek manfaat fisiologis yang lain diantaranya inhibisi produksi
tromboksan, peningkatan produksi prostasiklin,

d) Kebutuhan Cairan

Restriksi cairan dilakukan seiring dengan restriksi natrium pada keadaan


retensi cairan. Pada pasien dengan restriksi ketat hati-hati apabila ditemukan
peningkatan ureum dan kreatinin mungkin akibat dari terjadinya hipovolemia.
Berbagai macam rekomendasi jumlah cairan yang boleh dikonsumsi pada pasien
gagal jantung yaitu berkisar antara 1000mL-1900 mL.

19
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan
Community-acquired pneumonia (CAP) adalah pneumonia yang didapat di
masyarakat. Pneumonia merupakan peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh
berbagai agen infeksius yaitu bakteri, jamur, virus serta zat kimia (asam lambung).
Secara klinis diagnosis pneumonia ditegakkan bila didapatkan gejala demam (tidak
selalu ada pada pasien imunokompromais misalnya geriatri) dan batuk, terutama bila
disertai dengan dahak purulen. Severe community-acquired pneumonia (SCAP) adalah
CAP yang memerlukan terapi suportif di ruang ICU karena mempunyai angka mortalitas
yang tinggi. Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbanga antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan
menimbulkan penyakit. Estimasi kebutnhan nutrisi adalah: REE (Resting Energy
Expenditure) yang dihitung dengan rumus Harris-Benedict dikalikan faktor aktivitas atau
stress. REE laki-laki : 66 + l3,7 BB (kg) + 5 TB (Cm)-6,8 Umur (tahun). REE
perempuan : 65,4 + 9,6 BB (kg) +1,7 TB (Cm) – 4,7 Umur (tahun).

Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi
ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung kongestif dapat dilihat sebagai suatu
kelainan yang progresif, dapat terjadi dari kumpulan suatu kejadian dengan hasil akhir
kerusakan fungsi miosit jantung atau gangguan kemampuan kontraksi miokard. Beberapa
mekanisme kompensatorik diaktifkan untuk mengatasi turunnya fungsi jantung sebagai
pompa, di antaranya adalah sistem adrenergik, renin angiotensin dan sitokin. Dalam
waktu pendek beberapa mekanisme ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler
dalam batas normal, sehingga pasien menjadi asimptomatik. Terdapat 3 obat yang

20
menunjukkan efektifitas klinik dalam mengurangi gejala insufisiensi jantung tapi tidak
mengembalikan kondisi patologik yang asli (Ganiswarna, 1995). Tiga golongan
tersebut adalah vasodilator, diuretic dan obat-obat inotropik. Pasien dengan gagal
jantung berat membutuhkan energi total 30%-50% lebih tinggi dari kebutuhan energi
basal atau 31-35 kkal/kgBB untuk memenuhi kebutuhan energi akibat aktivitas
kardiopulmonal yang meningkat. Pasien gagal jantung kronik yang mengalami kaheksia
kardiak faktor stres bahkan dapat ditingkatkan hingga 1,6-1,8 pada fase replesi.

3.2 Saran

Dengan pembuatan resume/makalah ini diharapkan mahasiswa mampu mengerti,


memahami dan menerapkannya dalam praktik keperawatan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abozguia K, Shivu GN, Ahmed I, Phan T.T and Frenneaux MP. The Heart
Metabolism : Pathophysiological Aspect in Ischemic and Heart Failure.
Current Pharmaceutical Design 2009: 15: 827-835.

Aquilani R, Opasich C, Verri M, et al. Is nutritional intake adequate in chronic heart failure
patients? J Am Coll Cardiol 2003;42:1218–23.

Azhar G, Wei JY. Nutrition and cardiac cachexia. Lippincott-Wilkins. 2006.

Baik et a1.,2000. Obesity may increase Penuoronia Risk Arch of med : 160 : 3082-88
Brooks et al., Zinc Sppeds up recovery from Pneumonia: Study.Lancet ; 364 : 1683-8
Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Balitbang Depkes RI. 2007.

Departemen Of Medicine, Washington University, 1992. Editor : Michele Woodley, M.D &
Alison Whelan, M.D

Hunt, Sharon A. ACC/AHA 2005 Guideline update for diagnosis and management of
chronic heart failure in the adult. American College of Cardiology and
American Heart Association 2005; p.154-235.

Kannel WB, Cobb J. Left ventricular hypertrophy and mortality--results from the
Framingham Study. Cardiology 1992;81(4-5):291-8.

Korpela et al., 2001. Probiotics and respiratory infection. B.M.J.322: 1327-9


Kreymann KG, Berger MM, Deutz, Hiesmayr M, Jolliet P dkk. ESPEN guidelines on enteral
nutrition: Intensive care. Clinical Nutrition 2006;25:210-23.

Yamauti AK, Ochiai ME, Bifulco PS, Araújo MA, Alonso RR, Ribeiro RH et al. Subjective
global assessment of nutritional status in cardiac patients. Arq Bras Cardiol
2006;87:772–7.

Yusuf M. Profil ekokardiografi pada pasien gagal jantung di RSCM. Tesis. Jakarta 2000.

Anda mungkin juga menyukai