1. Adolf G.Kawatu
2. Mirkayel Y.Saroinsong
3. Yesica Pamondolang
4. Felin Kolinu
5. Winda P.Iksan
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih,
atas bantuan dari pihak-pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya.
Kelompok 1
3
//
4
BAB I
PENDAHULUAN
2.1.1. Pengertian
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi
fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi (sinar-x)
dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau
ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat
menjadi komplikasi pemulihan klien ( Black dan Hawks, 2014).
Menurut Masjoer A, 2005 Fraktur atau sering disebut patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang penyebabnya dapat dikarenakan
penyakit pengeroposan tulang diantaranya penyakit yang sering disebut osteoporosis,
biasanya dialami pada usia dewasa. Dan dapat juga disebabkan karena kecelakaan yang
tidak terduga. Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and
Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang
disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. (Rasjad, 2012).Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi jika
tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat
9
disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrem (Brunner dan Suddarth, 2008).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan
luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika
tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya
(Smeltzer & Bare, 2009).
Menurut (Moore, 2010), Fascia telapak tangan adalah sinambung dengan fascia
punggung tangan ke arah proksimal sinambung dengan fascia lengan bawah. Pada tonjolan –
tonjolan thenar dan hypothenar fascia palmaris ini bersifat tipis, tetapi bagian tengahnya
bersifat tebal dengan dibentuknya aponeurosis palmaris yang berwujud sebagai lempeng
jaringan ikat berserabut, dan pada jari – jari tangan dengan membentuk vagina fibrosa
digitimanus. Aponeurosis palmaris, bagian fascia tangan dalam yang kuat dan berbatas jelas,
menutupi jaringan lunak dan tendo otot – otot fleksor panjang. Bagian proksimal
aponeurosis palmaris bersinambungan dengan retinaculum flexorum dan tendo musculus
palmaris longus. Bagian distal aponeurosis palmaris membentuk empat pita digital yang
memanjang dan melekat pada basis phalangis proximalis dan membaur dengan vagina
fibrosa digiti manus. 10 Sebuah sekat jaringan ikat medial yang menyusup ke dalam tepi
10
medial aponeurosis palmaris untuk mencapai os metacarpal V medial terhadap sekat ini
terdapat kompartemen hypothenar yang berisi otot-otot hypothenar. Sesuai dengan ini,
sebuah sekat jaringan ikat lateral meluas ke dalam dari tepi lateral aponeurosis palmaris
untuk melekat pada os.metacarpal I. Sebelah lateral sekat tersebut terdapat kompartemen
thenar yang berisi oto-otot thenar. Antara kompartemen hypothenar dan kompartemen
thenar terdapat kompartemen tengah yang berisi otot-otot fleksor serta sarung uratnya,
musculi lumbrucales, pembuluh darah dan saraf digital. Bidang otot terdalam pada telapak
tangan dibentuk oleh kompartemen aduktor yang berisi musculus adductor pollicis.
B. Fisiologi
Menurut (Moore, 2010), Tulang adalah adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun
dari tiga jenis sel : osteoblast, osteosit, dan osteoklas. Osteoblast membangun tulang dengan
membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid
melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan
osteoid, osteoblast mensekresikan sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang peranan
penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang. Sebagian dari
fosfatase alkali akan memasuki aliran darah, dengan demikian maka kadar fosfatase alkali di
dalam darah dapat menjadi indikator yang baik tentang tingkat pembentukan tulang setelah
mengalami patah tulang atau pada kasus metastasis kanker ke tulang.
Osteoblas merupakan salah satu jenis sel hasil diferensiasi mesenkim yang sangat
penting dalam proses osteogenesis atau osifikasi. Sebagai sel, osteoblas dapat memproduksi
substansi organic intraseluler matriks, dimana klasifikasi terjadi di kemudian hari. Jaringan
yang tidak mengandung kalsium disebut osteoid dan apabila klasifikasi terjadi pada matriks
maka jaringan disebut tulang. Sesaat setelah osteoblas dikelilingi oleh substansi organic
intraseluler, disebut osteosit dimana keadaaan ini terjadi dalam lakuna.
11
Sel yang bersifat multinukleus, tidak ditutupi oleh permukaan tulang dengan sifat dan
fungsi resopsi serta mengeluarkan tulang yang disebut osteoklas. Kalsium hanya dapat
dikeluarkan oleh tulang melalui proses aktivitas osteoklasin yang menghilangkan matriks
organic dan kalsium secara bersamaan dan disebut deosifikasi.
Struktur tulang berubah sangat lambat terutama setelah periode pertumbuhan tulang
berakhir. Setelah fase ini tulang lebih banyak terjadi dalam bentuk perubahan mikroskopik
akibat aktifitas fisiologi tulang sebagai suatu organ biokimia utama tulang.
2.1.4. Klasifikasi
a. Klasifikasi Berdasarkan Penyebab
1. Fraktur Traumatik
Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang
besar.
2. Fraktur Patologi
Disebabkan oleh kelemahan tulang sebelimnya akibat kelainan patologi didalam
tulang.
3. Fraktur Stres
Disebabkan oleh trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu.
4. Fraktur Kelelahan
Disebabkan oleh tekanan yang berulang-ulang atau menambah aktivitas
b. Berdasarkan Sifat Fraktur (luka yang ditimbulkan).
14
1. Fraktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
2. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
kesejajaran garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi
19
terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk
kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau kurang memuaskan,
penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain
pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur
terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat
tersambung kembali.
kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai
mengalami penyembuhan.
fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada
sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk
melanjutkan imobilisasi.
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung
ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang
3) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun.Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
21
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera
bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan
dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi
peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan
untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi
dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian
fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan
sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih
awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya
gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat
aktivitas dan beban berat badan. Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal
mungkin.Setelah pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan
latihan. Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi
tiga kategori yaitu :
1) Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan rentang
gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur jaringan lunak
serta mencegah strain berlebihan pada otot yang diperbaiki post bedah.
2) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan
pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang sehat, katrol atau tongkat.
22
c. Proses Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel
darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan
perdarahan berhenti sama sekali.
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang
lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen
tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung frakturnya.
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai
berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal
dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman
tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada
4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
23
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos
melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah
proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk
membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan
pembentukan tulang yang terusmenerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan
normalnya.
2.1.7. Patofisiologi
Patofisiologi fraktur menurut Black dan Hawks (2014) antara lain :
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang
fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja
bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat
pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat
terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi.
Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu
menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah
tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah
maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada
suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat
berotasi atau berpindah.Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta
sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering
terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau
cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi
diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar
24
lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan
terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit.
Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang.
Fraktur
Medulla Penurunan
Gangguan Penurunan Luas permukaan
Aliran Darah
Nyeri Spinalis Pertukaran Gas laju difusi paru menurun
Akut
Risiko
Disfungsi
Neurovaskuler
2.1.10. Komplikasi
Menurut (Elizabeth J. Corwin, 2009)
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di
hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada
rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen,
rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia.
Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini
mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi
dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang
dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor),
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang
kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu
kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi
dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya
sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan
hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang
bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban.
f. Shock
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
g. Osteomyelitis
Osteomyelitis Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk
melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak,
fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang kadang
dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan
lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.
c. Malunion
deformitas, angulasi atau pergeseran. Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh
dalam kondisi yang tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang
serta gravitasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien menaruh beban pada tungkai
yang sakit dan menyalahi instruksi dokter atau apabila alat bantu jalan digunakan
2.2.1. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomer register,
tanggal masuk rumah sakit, diagnosis medis (Padila, 2012).
2) Pengkajian Primer
Menurut Paul Krisanty (2016) Setelah pasien sampai di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan dan
mengaplikasikan prinsip Airway, Breathing, Circulation, DisabilityLimitation,
Exposure (ABCDE).
a. Airway : Penilaian kelancaran airway pada klien yang mengalami fraktur
meliputi, pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring
atau trachea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi
vertebral servikal karena kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu
diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh
melibatkan hiperektensi leher.
b. Breathing : Setelah melakukan airway kita harus menjamin ventilasi yang
baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada
dan diafragma. Dada klien harus dibuka uantuk melihat pernapasan yang
baik.
c. Circulation : Kontrol perdarahan vena dengan menekan langsung sisi area
perdarahan bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan
perdarahan. Curiga hemoragi internal (pleural, parasardial, atau abdomen)
pada kejadian syok lanjut dan adanya cidera pada dada dan abdomen. Atasi
syok, dimana klien dengan fraktur biasanya mengalami kehilangan darah.
Kaji tanda- tanda syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembab
dan nadi halus.
d. Disability :kaji kedaan neurologis secara cepat yang dinilai adalah tingkat
kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan penurunan oksigen dan penurunan perfusi ke otak, atau
disebabkan perlukaan pada otak. Perubahan kesadaran menuntut
dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi, perfusi dan
oksigenasi.
e. Exsposure : jika exsposure dilakukan di Rumah Sakit, tetapi jika perlu dapat
membuka pakaian, misalnya membuka baju untuk melakukan pemeriksaan
fisik thoraks. Di Rumah Sakit klien harus di buka seluruh pakaiannya, untuk
evaluasi klien. Setelah pakain dibuka, penting agar klien tidak kedinginan
klien harus diberikan slimut hangan, ruangan cukup hangat dan diberikan
cairan intravena.
3) Pengkajian Sekunder
Bagian dari pengkajian sekunder pada pasien cidera muskuloskeletal adalah
anamnesis danpemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari
cidera - cidera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka
kita harus mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies,
Medication, Past Medical History,Last Ate dan Event (kejadian atau
mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan
untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien,
terutama jika kita masih curiga ada cidera yang belum diketahui saat primary
survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi
mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit. Pada
pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah
(1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular (3)status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita
menilai warna dan perfusi, luka,deformitas, pembengkakan, dan memar.
Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan
eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang
pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi.
Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya
crush injury dengan ancaman sindroma kompartemen.
Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa
daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi.Pada periksaan Move kita
memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal. Pemeriksaan sirkulasi
dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari fraktur danjuga
memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan sisi yang
sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi,
dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di
ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan
besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi danadanya gangguan motorik
menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau
pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma
arteria.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia
sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap
syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara
sistematik.
4) Keluhan utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu klien juga akan
nyeri
b) Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
c) Region : Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
d) Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
e) Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
berdasarkan diagnosis yang tepat , diharapkan dapat mencapai tujuan dan hasil yang
diinginkan untuk mendukung dan meningkatkan status kesehatan klien (Potter dan Perry,
2010).