Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PADA NY. S DENGAN DIAGNOSA POST ORIF CLOSE SINISTRA


FRAKTUR PATELLA SINISTRA DIRUANG EDELWEISS RSUD
R.A.A SOEWONDO PATI

DISUSUN OLEH :
1. FENI DIAH AYU KATIKA SARI (2304018)
2. LUCYANA VINO ANDRIANI (2304026)
3. NOVITA PRIYA P.
4. RATIH WULANDARI
5. YUDHO ENDRA S.

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS SAINS DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS AN NUUR

2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat dan limpahannya kami dapat menyelesaikan tugas Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah dengan kasus dengan diagnosa Post Orif Close
Sinistra Fraktur Patella Sinistra dengan baik.
Dengan tugas ini diharapkan pembaca dapat memahami Asuhan
Keperawatan dengan diagnosa post orif close sinistra fraktur patella sinistra
dengan benar. Ucapan terima kasih kepada CI dan Dosen yang memberikan
kesempatan kepada penulis untuk belajar mengenai Asuhan keperawatan. Tidak
lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
memberikan bantuan berupa konsep, pemikiran dalam penyusunan makalah
Asuhan Keperwatan ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembac. Dengan segala
kerendahan hati, saran dan kritik sangat kami harapkan dari pembaca guna
meningkatkan pembuatan makalah Asuhan Keperawatan pada tugas lain dan
waktu mendatang.

Pati, Januari 2024

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena
salah satu sebab. Penyebab utama trauma adalah kecelakaan lalu lintas
industri, olah raga dan rumah tangga. (Muttaqin Arif,20018).
Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual pada integritas
individu yang dapat menyebabkan gangguan biologis maupun psikologis
sehingga dapat menimbulkan respon berupa nyeri.(Andarmoyo, 2013).
Fraktur di kenal dengan istilah patah tulang. Biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan
jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
tersebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh
tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang. (Muttaqin Arif 20018).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2009 terdapat lebih dari 7
juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta
orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah
yakni sekitar 46,2% dari insiden kecelekaan yang terjadi. Fraktur merupakan
suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi
kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh,
kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/ tumpul. Dari 45.987 peristiwa
terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang(3,8%), dari 20.829
kasus kecelakaanlalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang
(8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul, yang mengalami fraktur
sebanyak 236 orang
(1,7%). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi JawaTimur tahun 2007
didapatkan sekitar 2.700 orang mengalami insiden fraktur, 46% penderita
mengalami kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 25% mengalami
kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau depresi terhadap adanya
kejadian fraktur.
Ada banyak faktor yang menyebabkan fraktur , seperti kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan,
kekerasan individu. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.
Menurut data Dinas Kesehatan provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 mencapai 586
kejadian,jumlah meninggal dunia sebesar 630 orang, luka berat sebesar 7 orang
dan luka ringan sebesar 55 orang.
Berbagai penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, faktor patologik,
dan yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur patela akan bertambah
dengan adanya komplikasi yang berlanjut diantaranya syok, sindrom emboli
lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan avaskkulernekrosis.
Komplikasi lain dalam waktu yang lama akan terjadi mal union, delayed union,
non union atau bahkan perdarahan. Berbagai tindakan bisa dilakukan di antaranya
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Meskipun demikian masalah pasien
fraktur tidak bisa berhenti sampai itu saja dan akan berlanjut sampai tindakan
setelah atau post operasi.
Fenomena yang ada dirumah sakit menunjukan bahwa pasien dirumah sakit
mengalami berbagai masalah keperawatan diantaranya nyeri, kerusakan mobilitas,
resiko infeksi, cemas, gangguan dalam beribadah dan deficit perawatan diri.
Masalah tersebut harus diantisipasi dan diatasi agar tidak terjadi komplikasi.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan aplikasi
dalam asuhan keperawatan yang dituangkan dalam karya tulis ilmiah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan pada pasien dengan fraktur patela sinistra di Ruang
Edelweiss RSUD R.A.A SOEWONDO PATI”.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien fraktur patela di ruang
Edelweiss RSUD R.A.A Soewondo Pati.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengkajian keperawatan pada Fraktur Patela
b. Untuk mengetahui rumusan diagnosa keperawatan pada Fraktur Patela
c. Untuk mengetahui pengimplementasian asuhan keperawatan pada Fraktur
Patela
d. Untuk mengetahui evaluasi rencana Asuhan Keperawatan pada Fraktur
Patela
e. Untuk mengetahui proses dokumentasi Asuhan Keperawatan pada Fraktur
Patela
C. Manfaat Penulisan
a. BagiKlien
Untuk memberikan informasi yang lebih jelas tentang fraktur.
b. BagiProfesiKeperawatan
Penulis kayra tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan masukan
dalam menerapkan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami fraktur
patela.
c. BagiLembaga
1) InstitusiPendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan perbandingan asuhan
keperawatan pasien fraktur patela satu dengan lainnya. Dapat pula
menjadi bahan bacaan dalam menunjang proses belajar mengajar.
2) InstansiRumahSakit
Sebagaibahanmasukandalammelaksanakanpelayanankeperawata
nyang berorientasi pada masalah kesehatan guna memenuhi
kebutuhan dasar manusia dan untuk meningkatkan mutu pelayanan
asuhan keperawatan pada pasien fraktur patela.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP DASAR FRAKTUR
1. Pengertian
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur
tulang.Patahan tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan
atau primpilan korteks, biasanya patahan lengkap dan fragmen tulang
bergeser. Dan menurut anatominya, patella adalahtempurung lutut. Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fraktur patella merupakan
suatu gangguan integritas tulang yang ditandai dengan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas jaringan tulang dikarenakan tekanan yang
berlebihan yang terjadi pada tempurung lutut(Wijaya dan putri, 2019).

2. Etiologi
Menurut Wijaya dan Putri (2019) penyebab fraktur adalah :
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan.fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan.Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat
berupa dipemutiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan. Menurut Brunner & Suddarth (2015)
fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan punter mendadak, dan bahakan kontraksi otot ekstremitas,
organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh
fraktur atau akibat fragmen tulang.
3. Patofisiologi
Patah Tulang lutut (Fraktur patella) umumnya disebabkan oleh
cedera atau trauma. Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan
oleh trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan
fisik, gangguan metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang
turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah
akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP
menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan
mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka
penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai
serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri.
Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler yang
menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping
itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan
dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan
jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur
adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolic, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya
pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas
yang bertujuan untuk mempertahanakan fragmen yang telah dihubungkan,
tetap pada tempatnya sampai sembuh(Sylvia, 2018).
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan
rupturnya pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya
pendarahan.Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi
tubuh, sebagai contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi
visceral. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah
yang akut adalah peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga
output jantung, pelepasan katekolamin-katekolamin endogen
meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan
tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure),
tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon-
hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi
sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin, bradikinin beta-endorpin dan
sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi ini
berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah.
Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi sedikit
mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi
volume darah didalam system vena sistemik. Cara yng paling efektif untuk
memulihkan krdiak pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi
tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan
untuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi.Pada keadaan awal
terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme anaerobik,
mengakibatkan pembentukan asam laknat dan berkembangnya asidosis
metabolik.Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk
pembentukan ATP (adenosine triphosphat) tidak memadai, maka
membrane sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan
gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan reticulum endoplasmic
merupakan tanda ultra struktural pertama dari hipoksia seluler setelah itu
tidak lama lagi akan cedera mitokondrial. Lisosom pecah dan melepaskan
enzim yang mencernakan struktur intra-seluler. Bila proses ini berjalan
terus, terjadilah pembengkakan sel juga terjadi penumpukan kalsium intra-
seluler. Bila .proses ini berjalan terus, terjadilah cedera seluler yang
progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses ini
memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi. Sewaktu tulang
patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut.Jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan.Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah
fraktur.Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut.Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.Ditempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan
aktivitas astoeblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang
disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila
tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoreksia jaringan yang
mengakibatkan rusaknya serabut saraf meupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & Suddarth, 2018).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan
fraktur tertutup.Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak
seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare,
2019). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain: nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2017). Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen-
fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun
pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang
seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2016).
4. Manifestasi Klinis
Menurut Hurst, (2019) klien yang mengalami fraktur pada awalnya
memiliki tanda dan gejala berikut:
a. Nyeri yang kontinu dan meningkat saat bergerak, dan spasme otot
terjadi segera setelah fraktur.
b. Kehilangan fungsi sokongan terhadap otot hilang ketika tulang patah.
Nyeri juga berkontribusi terhadap kehilangan fungsi.
c. Deformitas: ekstremitas atau bagiannya dapat membengkok atau
berotasi secara abnormal karena pergeseran lokasi akibat spasme otot
dan edema.
d. Pemendekan ekstremitas: spasme otot menarik tulang dari posisi
kesejajarannya dan fragmen tulang dapat menjadi dari sisi ke sisi,
bukan sejajar ujung ke ujung.
e. Krepitus: krepitus merupakan sensasi patahan atau suara yang
berkaitan dengan pergerakan fragmen tulang ketika saling bergesekan,
yang bahkan dapat menimbulkan trauma lebih besar pada jaringan,
pembuluh darah, dan saraf.
f. Edema dan diskolorasi kondisi tersebut dapat terjadi sekunder akibat
trauma jaringan pada cedera.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik menurut Muttaqin, (2018):
a. Foto Rontgen
Sinar-X menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan
perubahan hubungan tulang.Sinar-X multipel diperlukan untuk
mengkaji secara paripurna struktur yang sedang diperiksa.Sinar-X
tekstur tulang menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda
iregularitas.Sinar-X sendi dapat menunjukkan adanya cairan,
iregularitas, penyempitan, dan perubahan struktur sendi.
b. CT Scan
Menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligamen dan tendon.
CT Scan digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya
patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi, seperti asetabulum.
Pemeriksaan dilakukan dapat dengan atau tanpa kontras dan
berlangsung sekitar satu jam.
c. Angiografi
Suatu bahan kontras radiopaq diinjeksikan ke dalam arteri tertentu, dan
diambil foto sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri
tersebut.Pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk mengkaji perfusi
arteri dan dapat digunakan untuk tingkat amputasi yang dilakukan.
Perawatan yang dilakukan setelah prosedur ini adalah klien dibiarkan
berbaring selama 12 jam sampai 24 jam untuk mencegah perdarahan
pada tempat penusukan arteri. Pantau tanda vital tempat penusukan
untuk melihat adanya pembengkakan, perdarahan, dan hematoma, dna
mengkaji apakah sirkulasi ekstremitas bagian distal adekuat.
d. Artrografi
Penyuntikan bahan radiopaq atau udara ke dalam rongga sendi untuk
melihat struktur jaringan lunak dan kontur sendi.Sendi diposisikan
dalam kisaran pergerakannya sambil dilakukan serial sinar-
X.Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengidentifikasi adanya
robekan akut atau kronik kapsul sendi atau ligamen penyangga lutut,
bahu, tumit, pinggul, dan pergelangan tangan. Bila terdapat robekan,
bahan kontras akan merembes keluar dari sendi dan akan terlihat pada
sinar-X. Setelah dilakukan pemeriksaan ini, sendi diimobilisasi selama
12 jam sampai 24 jam dan diberi balut tekan elastis.
e. Artrosentesis (aspirasi sendi)
Dilakukan untuk memperoleh cairan sinovial untuk keperluan
pemeriksaan berwarna seperti jerami, dan volumenya sedikit. Cairan
tersebut kemudian diperiksa secara makroskopis mengenai volume,
warna, kejernihan, dan adanya bekuan musin. Secara mikroskopis
untuk memeriksa jumlah, mengidentifikasi sel, melakukan pewarnaan
Gram, dan mengetahui elemen penyusunnya.Pemeriksaan ini sangat
berguna untuk mendiagnosis artritis reumatoid dan atrofi inflamasi
lainnya dan dapat memperlihatkan adanya hemartrosis (perdarahan di
dalam rongga sendi), yang menyebabkan trauma atau kecenderungan
perdarahan.
f. Artroskopi
Merupakan prosedur endoskopis yang memungkinkan pandangan
langsung ke dalam sendi.Pemeriksaan ini dilakukan di kamar operasi
dalam kondisi steril dan perlu dilakukan injeksi anastesi lokal ataupun
anastesi umum.
g. Biopsi
Dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang oot, dan
sinovial guna membantu menentukan penyakit tertentu.Tempat biopsi
harus dipantau mengenai adanya edema, perdarahan, dan nyeri.Setelah
melakukan prosedur ini mungkin perlu dikompres es untuk mengontrol
edema dan perdarahan dan pasien diberi analgesik untuk mengurangi
rasa tidak nyaman.
h. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah dan urine klien dapat memberi informasi mengenai
masalah muskuloskeletal primer atau komplikasi yang terjadi seperti
infeksi, sebagai dasar acuan untuk pemberian terapi. Pemeriksaan
darah lengkap meliputi kadar hemoglobin, biasanya lebih rendah bila
terjadi perdarahan karena trauma dan hitung sel darah putih.
Pemeriksaan kimia darah memberi data mengenai berbagai macam
kondisi muskuloskeletal. Kadar kalsium serum berubah pada
osteomalasia, fungsi paratiroid, penyakit paget, tumor tulang
metastasis, dan pada imobilisasi lama.
6. Penatalaksanaan
1. Menurut Muttaqin, (2018) prinsip penatalaksanaan fraktur 4 (R)
adalah:
1. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis.Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan; lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan dan menghindari
komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
2. Reduction (restorasi fragmen fraktur sehingga posisi yang paling
optimal didapatkan)
Reduksi fraktur apabila perlu.Pada fraktur intra-artikular
diperlukan reduksi anatomis, sedapat mungkin mengembalikan
fungsi nommal, dan mencegah komplikasi, seperti kekakuan,
deformitas, serta perubahan osteoartritis di kemudian hari.
3. Retention (imobilisasi fraktur)
Secara umum, teknik penat al aksanaan yang digunakan digunakan
adalah mengistirahatkan tulang yang mengalami fraktur dengan
tujuan penyatuan yang lebih cepat antara kedua fragmen tulang
yang mengalami fraktur.
4. Rehabilitation (mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal
mungkin)
Program rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh
keadaan klien pada fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan
kembali. Misalnya, pada klien pasca amputasi cruris, program
rehabilitasi yang dijalankan adalah bagaimana klien dapat
melanjutkan hidup dan melakukan aktivasi dengan
memaksimalkan organ lain yang tidak mengalami masalah.
2. Penatalaksanaan konservatif
1. Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi). Proteksi fraktur
terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara
memberikan mitela pada anggota gerak atas atau tongkat pada
anggota gerak bawah
2. Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan
bidai eksterna hanya memberikan sedikit imobilisasi. Biasanya
menggunakan gips atau dengan bermacam-macam bidai dari
plastik atau metal.
3. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi
dilakukan dengan pembiusan umum dan lokal. Reposisi yang
dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips
untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.
4. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi.
Tindakan ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu beberapa reduksi
yang bertahap dan imobilisasi
3. Penatalaksanaan pembedahan
Penatalaksanaan pembedahan pada klien fraktur meliputi hal-hal
sebagai berikut :
1. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan
dengan K Wire. Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur
yang bersifat tidak stabil, reduksi dapat dipertahankan dengan
memasukkan K-Wire perkutan (Muttaqin, 2018).
2. Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal tulang,
yaitu ORIF (Open Reduction Internal Fixation).Fiksasi interna
yang dipakai biasanya berupa pelat dan sekrup. Keuntungan ORIF
adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh
sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi
segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi
tulang (Sjamsuhidajat, 2010).
3. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal OREF (Open Reduction
External Fixation). Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati
fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Pemasangan
OREF akan memerlukan waktu yang lama dengan masa
penyembuhan antara 6-8 bulan. Setelah dilakukan pembedahan
dengan pemasangan OREF sering didapatkan komplikasi baik
yang bersifat segera maupun komplikasi tahap lanjut (Muttaqin,
2008).

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Fokus Pengkajian
1. Pengkajian
Pengkajian adalah suatu proses yang dilakukan semua fase
pemecah masalah dan menjadi dasar dalam pengambilan
keputusan. Meliputi nama, jenis kelamin, usia, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan. pekerjaan, golongan
darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit.
2. Anamnesa
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan
darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit,
diagnosa medis. Penderita fraktur berdasarkan karakteristik
jenis kelamin, paling banyak diderita oleh laki-laki Selain itu
usia juga berpengaruh terhadap kejadian fraktur.
Berdasarkan hasil penelitian, responden dengan usia 21-45
tahun lebih mendominasi (Purnamasari, et al., 2016). Fraktur
cenderung terjadi pada usia di bawah 45 tahun karena pada usia
tersebut sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau
yang sering terjadi akibat luka yang disebabkan kecelakaan
kendaraan bermotor
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering terjadi pada klien dengan masalah
sistem gangguan muskuloskeletal adalah nyeri.Nyeri fraktur
tajam dan menusuk dan dapat dihilangkan dengan imobilisasi.
Rasa nyeri berbeda antara satu individu dengan individu yang
lain berdasarkan ambang nyeri dan toleransi nyeri masing-
masing klien.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu
lintas seperti kecelakaan motor dan mobil serta kecelakaan
pejalan kaki sewaktu menyebrang (Sagaran et al., 2017).
Perawat memperoleh data subjektif dari pasien mengenai
awitan masalahnya dan bagaimana penanganan yang sudah
dilakukan.Keluhan utama nyeri dapat dikaji dengan
menggunakan metode PORST. Pada klien yang dirawat di
rumah sakit penting untuk ditanyakan apakah keluhan utama
masih sama seperti pada saat masuk rumah sakit, kemudian
tindakan yang sudah dilakukan terhadapnya (Muttaqin, 2018).
Perlu diketahui dari klien apakah pernah mengalami trauma
yang kemungkinan trauma ini memberikan gangguan pada
muskuloskeletal baik berupa kelainan maupun komplikasi-
komplikasi lain yang dialami saat ini (Helmi, 2016)
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan penyakit-penyakit yang dialami sebelumnya
yang kemungkinan mempunyai hubungan dengan masalah
yang dialami pasiensekarang, seperti apakah klien pernah
mengalami fraktur atau trauma sebelumnya, peningkatan kadar
gula darah, atau tekanan darah tinggi. Riwayat operasi pasien
perlu ditanyakan karena kemungkinan ada hubungannya
dengan keluhan sekarang seperti oprasi karsinoma prostat dan
karsinoma mammae yang dapat memberikan metastasis ke
tulang dengan segala komplikasinya (Helmi, 2016). Cidera
muskuloskeletal merupakan maslaah kesehatan global yang
dapat menimpa siapapun,baik laki-laki, perempuan dengan usia
muda atau tua serta mempunyai riwayat pernah mengalami
fraktur atau tidak (Meling et al., 2019)
5. Riwayat penyakit keluarga
Pada keluarga klien ada atau tidak yang menderita
osteoporosis, arthritis dan tuberkulosis atau penyakit lain yang
sifatnya menurun dan menular (Wicaksono, 2016). Fraktur
biasanya berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka
yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
(Mediarti et al., 2017)
3. Pola-pola kesehatan
Dalam tahap pengakjian, perawat juga perlu mengetahui pola-pola
fungsi kesehatan dalam proses keperawatan klien fraktur cruris
sebagai berikut:
1. Pola Sensori dan Kognitif
Daya raba klien fraktur berkurang, terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan indera yang lain dan kognitifnya tidak
mengalami gangguan (Muttaqin, 2018). Salah satu faktor yang
berpengaruh pada perilaku kesehatan adalah tingkat
pendidikan.Hasil pendidikan ikut membentuk pola berpikir,
pola persepsi dan sikap pengambilan keputusan
seseorang.Pendidikan seseorang yang meningkat mengajarkan
individu mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya
(Astari & Maliya, 2019).
2. Pola Persepsi dan Tata Laksana
Pada kasus fraktur, klien biasanya merasa takut akan
mengalami kecacatan pada dirinya. Oleh karena itu, klien harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya.Selain itu juga dilakukan pengkajian
yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan obat
steroid yang yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengonsumsian alkohol yang dapat mengganggu keseimbangan
klien, dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
(Muttaqin, 2018).
3. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur adalah timbul
ketakutan dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
citra diri) (Muttaqin, 2018).
4. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan,
meskipun menu berubah misalnya makan di rumah gizi tetap
sama sedangkan di Rumah Sakit disesuaikan dengan penyakit
dan diet klien (Wicaksono, 2017).
5. Pola tidur dan istirahat
Semua klien fraktur biasanya merasa nyeri, geraknya terbatas
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien.Selain itu, pengkajian juga dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur, dan
penggunaan obat tidur (Muttaqin, 2018).
6. Pola aktivitas
Klien dengan post operasi fraktur cruris sering kali mengalami
berkurangnya daya raba terutama pada area distal, sedangkan
daerah lainnya tidak mengalami gangguan. Adanya nyeri dan
gerak terbatas, semua bentuk aktivitas klien menjadi berkurang
dan klien butuh banyak bantuan dari orang lain. Hal lain yang
perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan
klien karena ada beberapa bentuk pekerjaan yang beresiko
untuk terjadinya fraktur dibandingkan pekerjaan yang lain
(Muttaqin, 2018).
4. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien fraktur meliputi :
1. Keadaan Umum
Keadaan baik dan buruknya klien.Tanda-tanda yang perlu
dicatat adalah kesadaran pasien (apatis, sopor, koma, gelisah,
kompos mentis, yang bergantung pada keadaan pasien),
kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur tibia-fibula biasanya akut), tanda-
tanda vital tidak nomal karena ada gangguan lokal baik fungsi
maupun bentuk.Nyeri dapat mempengaruhi tanda-tanda
vital.Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tekanan
darah, frekuensi pernapasan, denyut nadi.Faktor yang dapat
mempengaruhi tekanan darah salah satunya adalah nyeri yang
mengakibatkan stimulasi simpatik, yang meningkatkan
frekuensi darah, curah jantung dan tahanan vaskular perifer
(Lopes et al., 2019).
2. Wajah
Terlihat menahan sakit dan bagian wajah yang lain tidak ada
perubahan fungsi dan bentuk. Wajah tampak menyeringai,
wajah simetris, tidak ada lesi dan edema (Muttaqin, 2018).
3. Mata
Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis (pada
fraktur tertutup karena tidak terjadi perdarahan).Pasien fraktur
terbuka dengan banyaknya perdarahan yang keluar biasanya
mengalami konjungtiva anemis (Muttaqin, 2008).
4. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.Tidak ada
lesi atau nyeri tekan (Muttaqin, 2018).
5. Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pemafasan cuping hidung
6. Mulut dan faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat
7. Status mental observasi penampilan dan tingkah laku klien.
Biasanya status mental tidak mengalami perubahan.
5. Pemeriksaan Sistem Saraf Kranial (1)
1. Saraf I: pada pasien fraktur cruris, fungsi saraf I tidak ada
kelainan
2. Saraf II : tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal
3. Saraf III, IV, dan VI : biasanya tidak mengalami gangguan
mengangkat mata dan pupil isokor.
4. Saraf V: pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan
paralisis pada otot wajah dan refleks konea tidak ada kelainan
5. Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris
6. Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
7. Saraf IX dan X: kemampuan menelan baik
8. Saraf XI : tidak ada atrofi otot setrnokleidomastoideus dan
trapezius
9. Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi (Muttaqin, 2018).
6. B6 (Bone)
Adanya fraktur pada tibia-fibula akan mengganggu secara lokal,
baik fungsi motorik, sensorik maupun peredaran darah (Muttaqin,
2018).
• Look
Perhatikan adanya pembengkakan yang tidak biasa (abnormal)
dan deformitas. Pada bagian ini sering terjadi patah tulang
terbuka sehingga ditemukan adanya tanda-tanda trauma
jaringan lunak sama kerusakan integritas kulit dan penonjolan
tulang keluar kulit. Ada tanda-tanda cidera dan kemungkinan
keterlibatan berkas neurovaskular (saraf dan pembuluhdarah)
tungkai, seperti bengkak/edema.Ada ketidakmampuan
menggerakkan kaki dan penurunan kekuatan otot ekstremitas
bawah dalam melakukan pergerakan (Muttaqin, 2008).
• Feel
Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi
(Muttaqin, 2018).
7. Pengkajian post operasi
Pengkajian di ruang pulih-sadar dilakukan perawat setelah
pembedahan ortopedi dan perawat melanjutkan rencana perawatan
praoperasi.Pengkajian meliputi penyesuaian klien terhadap sttaus
pascaoperatif terbaru.Pengkajian fungsi respirasi, gastrointestinal,
dan perkemihan memberikan data untuk memperbaiki fungsi
sistem tersebut.Anestesi umum, analgesik, dan imobilitas dapat
menyebbakan kerusakan fungsi berbagai sistem tersebut.Perfusi
jaringan harus selalu dipantau ketat karena edema dan perdarahan
ke dalam jaringan dapat memperburuk peredaran darah dan
mengakibatkan sindrom kompartmen.Batasan mobilitas harus
dicatat.Perawat mengkaji pemahaman klien mengenai keterbatasan
gerakan.Pengkajian kembali konsep diri klien memungkinkan
perawat menyesuaikan rencana perawatan praoperasi dengan lebih
mudah (Muttaqin, 2018).
Perawat harus memperhatikan pengkajian dan pemantauan klien
mengenai potensial masalah yang berkaitan dengan
pembedahan.Pengkajian tanda-tanda vital, tingkat kesadaran,
cairan yang keluar dari luka, suara napas, bising usus,
keseimbangan cairan, dan nyeri yang sering dapat memberikan
data yang menunjukkan terjadinya kemungkinan komplikasi.
Tujuan perencanaan pada pascaoperasi meliputi :
1. Pemantauan risiko kegawatan Klien pasca operasi dengan
pembiusan umum yang masuk ruang pulih sadar sangat rentan
terhadap risiko cedera.
2. Penurunan sensasi nyeri Pada klien pasca pembedahan
ortopedi, masalah nyeri merupakan hal merupakan hal yang
sering dialami klien.
3. Pemantauan luka dan drain Adanya luka pasca operasi perlu
dipantau perawat, apakah pada kasa yang tertutup menjadi
basah karena darah.
2. PATHWAY

Diskontinuitas tulang

Nyeri Akut
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
b. Resiko Gangguan Integritas Kulit/ Jaringan b.d Perubahan status
nutrisi d.d Nyeri
c. Resiko Syok b.d kekurangan volume cairan d.d perdarahan
d. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas tulang
e. Perfusi Perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi Hemoglobin
f. Resiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasive

No Diagnosa Tujuan Intervensi


1 Nyeri akut ber Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
hubungan deng tindakan Observasi :

an agen penced Keperawatan 1 -Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,fr


ekuensi,kualitas,intensitas nyeri
era fisik x24 jam
-Identifikasi skala nyeri
diharapkan tingkat
-Identifikasi faktor yang memperberat dan
nyeri menurun
memperingan nyeri
dengan KH :
Terapeutik :
1. keluhan -Berikan teknik non farmakologis untuk
nyeri mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipno
meningkat sis, akupresur,terapi musik,biofeedback,te
(1)menjadi rapi pijat,aromaterapi,teknik imajinasi /di
cukup ngi,terapi terbimbing,kompres airhangat/d
menurun ingin,terapi bermain)

(4) -kontrol lingkungan yang memperberat ra


sa nyeri (mis.suhu ruangan,pencahayaan,k
2. meringis
ebisingan)
meningkat (1)
-fasilitasi istirahat dan tidur
menjadi cukup
Edukasi :
menurun (4)
-jelaskan penyebab, periode dan pemicu n
3. kesulitan tidur yeri
meningkat (1)
menjadi cukup -jelaskan strategi meredakan nyeri
menurun (4) -ajarkan teknik non farmakologis untuk m
engurangi rasa nyeri

Kolaborasi :
-Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

2. Gangguan Integritas Kulit Perwatan Integitas Kulit


Integritas Kulit dan Jaringan (I.11353)
D.0125 (L.14125) Observasi
Setelah dilakukan 1. Identifikasi penyebab
tindakan 2x24 jam gangguan integritas kulit
diharapkan Terapeutik
integritas kulit dan 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika
jaringan meningkat tirah baring
dengan kriteria 2. Gunakan produk berbahan
hasil : petrolium atau , minyak pada
1. Elastisitas kulit kering
meningkat 3. Hindari produk berbahan dasar
2. Hidrasi alkohol pada kulit
meningkat Edukasi
3. Kerusakan 1. Anjurkan menggunakan
lapisan kulit pelembab
meningkat 2. Anjurkan minum air yang
4. Perdarahan cukup
menurun 3. Anjurkan meningkatkan
5. Nyeri asupan nutrisi
menurun 4. Anurkan menghindari terpapar
6. Hematoma suhu ekstrim
menurun 5. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
3. Resiko Syok Setelah dilakukan Pencegahan Syok
b.d kekurangan tindakan Observasi

volume cairan Keperawatan 1 1. Monitor cardiopulmonal

d.d perdarahan x24 jam 2. Monitor status oksigenasi

diharapkan 3. Monitor status cairan

titingkat syok 4. Monitor tingkat kesadn dan

menurun respon pupil

dengan KH : 5. Periksa riwayat alergi

1. Terapeutik
1. Berikan oksigen untuk
Kekuatan
mempertahankan saturasi oksigen lebih
nadi
dari 94%
meningkat
2 Persiapan intubasi dan ventilasi
2. Output
mekanik, jika perlu
urin 3 Pasang jalur iv, jika perlu
menurun 4 Pasang kateter urin untuk menilai
3. Tingkat produksi urin
kesadaran 5 Lakukan skin test untuk mencegah
meningkat reaksi alergi
4. Saturasi Edukasi
O2 1 Jelaskan penyebab faktor resiko syok
2 Jelaskan tanda dan gejala awal syok
meningkat
3 Anjurkan melapor jika menemukan
5. Akral
merasakan tnda dan gejala syok
dingin
4 Anjurkan memperbanyak asupan cairan
menurun
oral
6. Pucat 5 Anjurkan menghindari Alergen
menurun Kolaborasi
7. Haus 1 Kolaborsi pemberian iv ika perlu
menurun 2 Kolaborasi pemberian transfusi darah
jika perlu
3 Kolaborasi pembrian antiinflamasi ,
jika perlu
4. Gangguan mob Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi
ilitas fisik berh tindakan Observasi:

ubungan denga Keperawatan 3 x - Identifikasi adanya nyeri/keluhan

n kerusakan 24 jam diharapkan fisik lainnya

integritas mobilitas fisik - Monitor frekuensi jantung dan

tulang meningkat dengan tekanan darah sebelum memulai

KH : mobilisasi

1 - Monitor kondisi umum selama

pergerakan melakukan mobilisasi

extremitas Terapeutik:

menurun 1. Fasilitasi aktifitas mobilisasi

(1) dengan alat bantu (mis.pagar

menjadi tempat tidur)

cukup 2. Libatkan keluarga untuk

menurun membantu pasien dalam

(2) meningkatkan pergerakan


Edukasi :
2 kekuatan
3. Anjurkan melakukan mobilisasi
otot
dini
menurun
Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
menjadi
dilakukan (mis.duduk ditempat tidur,
cukup
duduk di sisi tempat tidur, pindah dari
menurun
tempat tidur ke kursi)
(2)
3 rentang
gerak
(ROM)
menurun
(1)
menjadi
cukup
menurun
(2)

5 Perfusi Perifer Setelah dilakukan Perawatan Sirkulasi


tidak efektif be tindakan Observasi
rhubungan den keperawatan -Periksa sirkulasi perifer
gan penurunan selama 1 x 24 jam -Monitor panas, kemerahan,nyeri atau
konsentrasi He perfusi perifer bengkak pada ekstremitas
moglobin meningkat dengan Terapeutik
KH : -Hindari pengukuran tekanan darah pa
1 turgor kulit da ekstremitas dengan keterbatasan p
memburuk (1) erfusi
menjadi sedang (4) -hindari penekanan dan pemasangan to
2 pengisian kapiler urniquet pada area yang cedera
memburuk (1) -Lakukan pencegahan infeksi
menjadi cukup Edukasi
membaik (5) -Anjurkan melakukanperawatan kulit y
3 akral memburuk ang tepat (mis.melembabkan kulit ker
menjadi cukup ing pada kaki)
membaik (5) -Informasikan tanda dan gejala darurat yan
4 warna kulit pucat g harus dialporkan (mis.rasa sakit yang ti

meningkat (1) dak hilang saat istirahat, luka tidak semb


uh,hilangnya rasa)
menjadi cukup
menurun (4)
6 Resiko infeksi Setelah dilakukan Penjegahan infeksi
ditandai tidakan Observasi
dengan efek keperawatan - Monitor tanda gejala infeksi
prosedur selama 1 x 24 jam Terapeutik
invasif diharapkan tingkat - Batasi jumlah pengunjung
infeksi menurun - Berikan perawatan kulit
dengan KH : - Pertahankan teknik aseptik
1 demam pada pasien beresiko tinggi
meningkat (1) Edukasi
menjadi cukup - Jelaskan tanda dan gejala
menurun (4) infeksi
2 kemerahan - Ajarkan cara mencucu tangan
meningkat (1) - Anjurkan meningkatkan
menjadi cukup asupan nutrisi
meningkat (2) Kolaborasi

3 nyeri meningkat - Kolaborasi pemberian


(1) menjadi cukup imunisasi , jika perli
menurun (4)
4 bengkak
meningkat (1)
menjadi cukup
meningkat (2)
5 kadar sel darah
putih memburuk
(1) menjadi sedang
(3)

6. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang

dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang

diharapkan.Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait

dengan dukungan dan pengobatan dan tindakan untuk memperbaiki kondisi


dan pendidikan untuk klienkeluarga atau tindakan untuk mencegah masalah

kesehatan yang muncul dikemudian hari.

Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien

dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan& strategi

implementasi keperawatan& dan kegiatan komunikasi. Implementasi

keperawatan adalah kegiatan mengkoordinasikan aktivitas pasien, keluarga,

dan anggota tim kesehatan lain untuk mengawasi dan mencatat respon pasien

terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan (Nettina, 2002).

7. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara

melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai

atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat harusnya memiliki

pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respons terhadap intervensi

keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang

dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada

kriteria hasil (Hidayat, 2012). Evaluasi terhadap masalah kebutuhan

oksigenasi secara umum dapat dinilai dari :

a. Mempertahankan jalan napas secara efektif yang ditunjukkan dengan

batuk efektif meningkat, produksi sputum menurun, frekuensi napas

membaik, pola napas membaik, dyspnea menurun.

b. Mempertahankan pertukaran gas secara egektif yang ditunjukkan dengan

tingkat kesadaran meningkat, dyspnea menurun, bunyi napas tambahan

menurun, pusing menurun, pola napas membaik


c. Mempertahankan pola napas yang efektif yang ditunjukkan dengan

ventilasi semenit meningkat, tekanan ekspirasi.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan pada hari Rabu tanggal 27 Desember 2023 di Ruang
Edelweiss RSUD R.A.A Soewondo Pati secara alloanamnesa dan
autoanamnesa.
1. Identitas
a. Identitas Klien
Nama : Ny. S
Umur : 58 Tahun
Alamat : Gabus 4/8, Pati
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. RM : 338xxx
Dx. Masuk : Close Frakture Patela Sinistra
Tanggal Masuk : 22 Desember 2023
b. Identitas Penanggungjawab
Nama : Ny. S
Umur : 32 Tahun
Hub. Dgn Klien : Anak kandung
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Nyeri pada lutut kaki sebelah kiri
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien dibawa ke IGD RSUD R.A.A Soewondo Pati pada hari
Jumat 22 Desember 2023 dengan keluhan nyeri pada kaki sebelah
kiri dan tidak bisa berjalan karena tejatyh di dapur rumah pada hari
Kamis tanggal 21 Desember 2023, sebelum dibawa ke IGD RSUD
R.A.A Soewondo Pati pasien melakukan pengobatan dengan
memijatkan kakinya terlebih dahulu lalu dibawa ke Puskesmas
kemudian dirujuk ke Rumah Sakit RSUD R.A.A Soewondo Pati
dan dilakukan pemeriksaan TTv dengan hasil TD : 176/117
mmHg, Nadi : 95x/menit, RR: 23x/ menit, SPO2 : 95% S : 36
derajat celcius dan dilakukan pemeriksaan radiologi sebagai data
penunjang, kemudian pasien dipindahkan ke ruang Edelweiss
untuk dilakukan program operasi Orif Close Fraktur Patela Sinistra
pada hari Rabu, 27 Desember 2023 dan dilakukan perawatan di
ruang edelweiss. Dilakukan pengkajian nyeri pada pasien dengan
keluhan nyeri
P : Nyeri dirasakan saat bergerak
Q : Seperti ditusuk-tusuk
R : Luka post operasi lutut kaki sebelah kiri
S : Skala 5
T : Terus menerus
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan tidak pernah dirawat di rumah sakit dan
tidak memiliki riwayat penyakit Hipertensi dan Diabetes Militus.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada keluaga yang memiliki riwayat
penyakit menurun seperti Hipertensi dan DM.
3. Pola Pengkajian
Pengkajian pola fungsional menurut Virginia Henderson
a. Kebutuhan Bernafas dengan Normal
Sebelum sakit : Pasien mengatakan bernafas dengan
normal.
Selama sakit : Pasien tidak menggunakan alat bantu
pernafasan.
b. Kebutuhan Nutrisi Adekuat
Sebelum sakit : Pasien mengatakan makan 3x sehari
dengan komposisi
nasi, lauk, sayuran, pasien minum air putih
kurang lebih1500 ml/hari.
Selama sakit : Pasien mengatakan makan 3x sehari dari
yang
disediakan rumah sakit dan tidak dipasang
NGT.
c. Kebutuhan Eliminasi
Sebelum sakit : Pasien mengatakan BAB 1 x sehari, BAB
tidak
terdapat lendir berarna kuning kecoklatan
dengan bau
khas, lancar tanpa gangguan.
Selama sakit : Pasien mengatakan belum BAB dan tidak
mengalami
masalah saat BAK mauun BAB tidak
terpasang
DC.
d. Kebutuhan Keseimbangan dan Gerak
Sebelum sakit : Pasien mengatakan tidak mengalami
gangguan
keseimbangan gerak.
Selama sakit : Pasien mengatakan tidak mampu bergerak
atau berdiri
hanya mampu berbaring ditempat tidur.

Sebelum sakit

No ADL 0 1 2 3 4

1 Bernafas v

2 Makan/minum v

3 Berjalan v

4 Mandi v

5 Berpakaian v
6 Toileting v

Selama Sakit

No ADL 0 1 2 3 4

1 Bernafas v

2 Makan/minum v

3 Berjalan v

4 Mandi v

5 Berpakaian v

6 Toileting V

e. Kebutuhan Istirahat dan Tidur


Sebelum sakit : Pasien mengatakan tidur dengan nyenyak
selama 8
jam/hari.
Selama sakit : Pasien mengatakan tidur dengan nyenyak
karena
merasakan nyeri ada kaki.
f. Kebutuhan Mempertahankan Temperature Tubuh
Sebelum sakit : Pasien mengatakan berpakaian tebal saat
dingin dan
berpakaian tipis saat panas.
Selama sakit : Pasien hanya berpakain baju pribadi dan
menggunkan
selimut.
g. Kebutuhan Personal Hygine
Sebelum sakit : Pasien mengatakan mandin 2xsehari tanpa
bantuan
keluarga.
Selama sakit : Pasien hanya mandi dengan sibin, sikat gigi
dan cuci
muka dibantu oleh keluarga.
h. Kebutuhan Berkomunikasi
Sebelum sakit : Pasien mengatakandapat berkomunikasi
dengan baik.
Selama sakit : Pasien dapat berkomunikasi dengan lancar
namun
tampak mringis kesakitan
i. Kebutuhan Spiritual
Sebelum sakit : Pasien mengatakan ibadah dengan lancar.
Selama sakit : Pasien mengatakan ibadah ditempat tidur.
j. Kebutuhan berpakaian dan memilih pakaian
Sebelum sakit : Pasien mengatakan pakaian yang disukai
dan memilih
pakaian sendiri.
Selama sakit : Pasien tidak dapat memilih pakaian sendiri
k. Kebutuhan Rasa Aman Nyaman
Sebelum sakit : Pasien mengatakan merasakan aman
nyaman dalam
melakukan kegiatan tanpa gangguan.
Selama sakit : Pasien tidak nyaman dengan kondisi saat
ini karena
nyeri yang dirasakan.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
1) KU: lemah
2) Kesadaran: Composmentis
3) GCS: 15
b. Tanda-tanda Vital
153
1) Tekanan Darah : mmHg
89
2) Nadi : 112 x/menit
3) Suhu : 36’c
4) RR : 20 x/menit
5) SPO2 : 95%
6) Tinggi Badan : 150 cm
7) Berat Badan : 60 kg
8) IMT : 26,6
5. Pemeriksaan Head To Toe
a. Kepala
Simetris, tidak terdapat lesi, tidak terdapat ketombe, rambut
berwarna hitam
b. Mata
Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, dan tidak memakai
alat bantu penglihatan
c. Hidung
Simetris, tidak ada secret, dan tidak memakai alat bantu
pernafasan
d. Telinga
Tidak terdapat kotoran telinga, tidak terdapat pembengkakan dan
tidak menggunakan alat bantu pendengaran
e. Mulut
Bibir tampak kering, tidak pucat, gigi terdapat karies, warna lidah
normal pink
f. Leher
Tidak terdapat nyeri tekan dan benjolan kelenjar tiroid
g. Dada/Thorax
1) Paru-paru
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, vocal premitus
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Resikuler
2) Jantung
Inspeksi : Simteris, tidak ada jejas
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan ictus kordis
teraba di ICS 5
Perkusi : Suara pekak/redup
Auskultasi : Suara lup dup
h. Abdomen
Inspeksi : Simetris, tidak ada pembengkakan dan benjolan
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus 8x/menit
i. Genetalia
Tidak terpasang kateter
j. Anus
Tidak terdapat benjolan/ambeyen
k. Ekstermitas
1) Superior
Lengan kiri terpasang infuse, kulit bersih, berwarna sawo
matang, tidak ada edema
2) Inferior
Kaki sebelah kiri diperban, sedikit bengkak dan terdapat luka
jahitan
4 4
3) Kekuatan otot
4 4
l. Integument
Kulit dan kuku bersih tidak ada kotoran, tidak sianosis, tidak ada
odem (turgor kulit ≤ 3 detik) warna kuku pink pucat
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium ( 22 Desember 2023)

PEMERIKSAA HASIL SATUAN NILAI


N RUJUKAN
Hemtology Anlyser
Jumlah Lekosit 7.7 10^3 /ul 36.6-11.0
Jumlah Eritrosit 5.17 10^6 /uL 4.2-54
Hemoglobin 13.3 9/dl 11.7-15.5
Hematokrit 42.1 % 35-47
MVC 81.4 FL 80-100
MVH L.25.7 Pg 26-34
MCHC L.31.6 % 32-36
Jumlah 264 10^3 / uL 150-400
Trombosit
RDW-CV 13.0 % 11.5-14.5
RDW-SD 39.4 FL 35-47
PDW 9.8 FL 9.0-13.0
MPV 9.2 FL 6.8-10.0
P-LCA 17.6 %
Hitungan Jenis
Netrofil H 74.00 % 50.0-70.0
Limfosit L 15.30 % 25.0-40.0
Absolute 1178 /mm3
Lyphocyte Count
NLR 4.8
Monosit H 9.90 % 2.0-8.0
Eosinofil L 0.30 % 2-4
Basofil 0.50 % 0-1
Kimia Klinik
Glukosa Darah 122 mg/dL 40-160
Sewaktu
Ureum 17.8 mg/dL 10-50
Creatine 0.75 mg/dL 0.60-1.20
Natrium Darah 13.0 Mmol/L 135-155
Kalium Darah L 3.42 Mmol/L 3.6-5.5
Chloride Darah 101.1 Mmol/L 95-108

b. Pemeriksaan Radiologi ( 22 Desember 2023)


1) Pemeriksaan X Foto Thorax
COR : Tak Membesar
Pulmo : Gerakan Brunkovaskuler meningkat
Tak tampak bercak kesuraman pada kedua paru
Diafragma dan sinus kostofrenikus kanan kiri baik
2) Pemeriksaan X Foto Genu Sinistra
Tampak Fiksasi Interna OS Patela
Kedudukan baik
Aposisi baik

7. Program Theraphy (27 Desember 2023)

Obat Dosis Melalui

Infus RL 20tpm Iv

Inj 2 x 1gr Iv
Ceftriaxone

Inj Ketorolac 2 x 30mg Iv

Inj 2 x 50mg Iv
Ranitidine

Amplodipine 1x1 Oral


5mg

KSR 3x1 Oral

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2018. Keperawatan Meikal Bedah. Edisi 8. Vo3. Jakarta:
EGC.
Smeltzer,S. C&Barre, B. G (2018). Keperawatan Medikal Bedah; Edisi 8
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2019. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Muttaqin, Arif. 2018. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskulukeletal. Jakarta : EGC.
Price, Wilson. 2016. Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi
dan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi
dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai