Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.TAWI


DENGAN OPEN FRAKTUR 1/3 DISTAL TIBIA FIBULA SINISTRA
DI IGD RUMAH SAKIT PANTI RAPIH
YOGYAKARTA

Disusun Oleh:

Maria Dhita Suryani Lumban Gaol 202154027

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANTI RAPIH
YOGYAKARTA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pasien yang mengalami kegawat daruratan harus segera ditangani secara
tepat, cermat, dan cepat. Penanganan yang tidak tepat akan menyebabkan
terjadinya kematian atau kecacatan pada pasien. Manajemen kegawatan yang
tepat pada pasien di IGD dapat menurunkan mortalitas, morbiditas, serta
menurunkan biaya dan lama perawatan di rumah sakit. (Hidayati, Akbar dan
Rosyid, 2018)

Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa yang dapat mencederai fisik
maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus
(luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain),
putus atau robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan
gangguan saraf. Cedera dari trauma muskuloskeletal biasanya memberikan
disfungsi struktur disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau
disangganya. Gangguan muskuloskeletal yang paling sering terjadi akibat
suatu trauma adalah kontusio, strain, sprain, dislokasi dan subluksasi
(Maharta, Maliawan & Kawiyan, 2013).

Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik total


maupun sebagian, yang biasanya disebabkan oleh trauma. Terjadinya suatu
fraktur lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan
tenaga, keadaan tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang. Secara umum,
keadaan patah tulang dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka, fraktur
tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur tertutup adalah fraktur
dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur
tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur
yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur dengan
komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion,
delayed union, nounion dan infeksi tulang. (Maharta, Maliawan & Kawiyan,
2013)
Dari 45.987 dengan kasus fraktur ekstremitas bawah, sebanyak 19.629 orang
mengalami fraktur pada bagian femur, 14.027 mengalami fraktur pada cruris,
3.775 mengalami fraktur tibia, 970 dengan fraktur tulang kecil, dan 336 orang
mengalami fraktur pada bagian fibula, menurut Triono yang disitasi oleh
Setyaningsih, dkk (2020). Menurut Kepel dan Lengkong (2020), semua orang
rentan untuk mengalami fraktur, satu diantara dua perempuan dan 1 di antara
5 laki-laki berusia di atas 50 tahun pernah mengalami fraktur. Di Indonesia
angka kejadian fraktur cukup tinggi. Departemen Kesehatan RI tahun 2013
melaporkan sekitar delapan juta orang mengalami kejadian fraktur dengan
jenis fraktur berbeda dan penyebab berbeda. Selain itu Tim Depkes RI
mendapatkan 25% penderita fraktur mengalami kematian, 45% mengalami
cacat fisik, 15% mengalami stres psikologis seperti cemas atau bahkan
depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik. World Health
Organization (WHO) tahun 2013 menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas
mencapai 120.226 kali atau 72% dalam setahun. Angka kejadian fraktur
diprediksi meningkat tiap tahunnya yaitu 2,1 juta pada tahun 2005 dan dapat
meningkat hingga lebih dari 3 juta pada tahun 2025 dan usia yang paling
berisiko ialah usia lanjut.

Oleh karena itu penulis tertarik mengambil kasus ini untuk dipelajari lebih
lanjut mengenai gangguan pada sistem muskuloskeletal yaitu open fraktur 1/3
distal cruris sinistra.

1.2 Tujuan penulisan


1.2.1 Tujuan umum
Preceptee dapat memberikan asuhan keperawatan gawat darurat pada kasus
muskuloskeletal yaitu open fraktur curis sinistra.
1.2.2 Tujuan khusus
1.2.2.1 Preceptee mampu melakukan pengkajian keperawatan gawat darurat pada
kasus muskuloskeletal: open fraktur 1/3 distal cruris sinistra.
1.2.2.2 Preceptee mampu menentukan diagnosa keperawatan gawat darurat pada
kasus muskulo skeletal: open fraktur 1/3 distal cruris sinistra.
1.2.2.3 Preceptee mampu menyusun rencana keperawatan gawat darurat pada
kasus muskulo skeletal: open fraktur 1/3 distal cruris sinistra.
1.2.2.4 Preceptee mampu melakukan implementasi keperawatan gawat darurat
pada kasus muskuloskeletal: open fraktur 1/3 distal cruris sinistra.
1.2.2.5 Preceptee mampu melakukan evaluasi keperawatan gawat darurat pada
kasus muskulo skeletal: open fraktur 1/3 distal cruris sinistra.

1.3 Rumusan masalah


Bagaimana melakukan asuhan keperawatan kegawatan dengan kasus
muskuloskletal ?

1.4 Metode penulisan


Laporan Asuhan Keperawatan ini disusun dengan metode ilmiah dan
bersumber dari buku-buku referensi, jurnal dan artikel-artikel ilmiah baik
yang dapat diakses secara online maupun offline.

1.5 Sistematika penulisan


Laporan asuhan keperawatan yang disusun terdiri dari:
1.4.1 Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan, metode penulisan
dan sistematika penulisan.
1.4.2 Bab II Tinjauan teori yang berisi pengertian, etiologi, patofisiologi,
patoflow, manifestasi klinis, komplikasi, test diagnostik,
penatalaksanaan medis, asuhan keperawatan berdasarkan teori.
1.4.3 Bab III Tinjauan asuhan keperawatan berdasarkan kasus yang berisi
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan
evaluasi sesuai kasus yang ada di ruang gawat darurat.
1.4.4 Bab IV berisi pembahasan
BAB 2
TINJAUAN TEORI

1.1 Konsep penyakit


1.1.1 Pengertian
Patah tulang atau fraktur menurut Kronborg, dkk yang disitasi oleh
Widyasari dan Djawas (2021) adalah terputusnya, kontinuitas tulang, yang
menyebabkan hilangnya kesinambungan dan/atau ketidakstabilan mekanis
tulang.
Menurut Mansjoer yang disitasi oleh Mhuthiah (2019) fraktur atau patah
tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di
karenakan rudapaksa.

1.1.2 Anatomi fisiologi


1.1.2.1 Fungsi-fungsi tulang menurut Wahyuni (2021):
a. Formasi rangka: tulang-tulang membentuk rangka tubuh yang
menentukan bentuk dan ukuran tubuh. Tulang-tulang menyokong
struktur-struktur tubuh yang lain.
b. Formasi sendi-sendi: tulang-tulang yang berdekatan membentuk
persendian atau sendi-sendi yang bergerak, tidak bergerak atau sedikit
bergerak tergantung dari kebutuhan fungsional.
c. Perlekatan otot-otot: tulang-tulang menyediakan permukaannya untuk
tempat melekat otot-otot, tendo dan ligamentum.
d. Kerja sebagai pengungkit: tulang dicadangkan sebagai pengungkit
untuk bermacam-macam aktivitas selama pergerakan.
e. Sokongan dan penyebaran berat badan serta daya tahan: untuk
pengaruh tekanan dan pengaruh mekanis. Tulang-tulang direncanakan
untuk menyokong berat badan, memelihara sikap tegak tubuh manusia
dan juga guna menahan gaya-gaya tarikan dan gaya-gaya tekanan yang
terjadi pada tulang.
f. Proteksi: tulang membentuk rongga-ronga yang mengandung dan
melindungi struktur-struktur yang halus seperti otak, medula spinalis,
jantung, paru-paru, sebagian besar alat-alat dalam perut dan panggul.
g. Haemopoesis: sum-sum tulang merupakan tempat pembentukan sel
darah.
h. Fungsi-fungsi imunologis: Limfosit B dan makrofag-makrofag
dibentuk dalam sistem retikuloendotelium sumsum tulang. Limfosit B
dirubah menjadi sel-sel plasma membentuk antibodi-antibodi guna
keperluan kekebalan kimiawi, sedangkan makrofag-makrofag
merupakan phagositik.
i. Penyimpanan kalsium: tulang-tulang mengandung 97% kalsium yang
terdapat di tubuh baik dalam bentuk anorganik maupun garam-garam
terutama kalsium fosfa T.
j. Fungsi-fungsi khusus seperti di hidung, gigi geligi, telinga dan panggul
wanita.

1.1.2.2 Anatomi tibia dan fibula


Tibia dan fibula adalah tulang tungkai di bawah lutut menurut John (2002)
a. Tibia berada di bagian media dan menopang berat badan. Terdiri dari ujung
atas, corpus, ujung bawah. Ujung atas melebar secara transversal dan memiliki
permukaan sendi superior pada tiap condylus, media dan lateral. Terdapat
daerah kasar non-artikular di antara permukaan sendi untuk perlekatan
ligamentum. Kartilago semilunaris terdapat pada permukaan atas tibia,
memisahkannya dari condylus femoris. Ujung atas fibula melekat pada
permukaan sendi pada condylus lateralis. Corpus adalah bagian segitiga dan
batas anteriornya membentuk penonjolan yang dapat diraba. Corpus menyempit
pada sekitar pertengahannya kemudian melebar. Ujung bawah mempunyai
malleolus medialis (penonjolan tajam pada aspek bagian dalam pergelangan
kaki), permukaan sendi untuk ujung bawah fibula dan sendi di bawah dan
medial untuk talus.
b. Fibula adalah tulang panjang kurus pada aspek lateral tungkai. Tulang ini
memiliki: ujung atas (yang berartikulasi dengan condylus lateralis tibia), corpus,
ujung bawah (memiliki: maleolus lateralis pergelangan kaki, permukaan sendi
untuk ujung bawah tibia, dan permukaan sendi untuk talus).

Tibia dan fibula bergabung menjadi satu di atas dan di bawah dengan sendi yang
tidak dapat bergerak. Membrana interossea melekat pada corpus kedua tulang dan
mengisi ruang diantaranya merupakan tempat perlekatan otot.

1.1.3 Etiologi
Menurut Bratajaya yang disitasi oleh Aida (2016) etiologi fraktur
kebanyakan terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan, terutama
tekanan membengkok, memutar, dan menarik. Trauma muskuloskeletal
yang dapat mengakibatkan fraktur antara lain :
1.1.3.1 Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Frakur yang terjadi biasanya bersifat
komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Misalnya karena
trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan besar dan tulang
tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah
1.1.3.2 Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung akibat tekanan, aktivitas tinggi, dan kelelahan.
Trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih
jauh dari daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini jaringan lunak
tetap utuh, tekanan membengok yang menyebabkan fraktur transversal,
tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik.
1.1.3.3 Fraktur patologis
Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses
patologis, antara lain : tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali, infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai
akibat infeksi akut atau dapat timbul salah satu proses yang progresif,
secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
mengalami tekanan.

1.1.4 Faktor risiko


Menurut Noor dan Ramadani yang disitasi oleh Sukar (2017) banyak faktor
yang mempengaruhi terjadinya fraktur adalah sebagai berikut:
1.1.4.1 Jenis kelamin. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan
dengan aktivitas fisik seperti pekerjaan, luka yang disebabkan oleh
kendaraan bermotor atau olahraga. Mobilisasi yang lebih banyak
dilakukan oleh laki-laki menjadi penyebab tingginya risiko fraktur.
Sedangkan pada orang berusia lanjut, perempuan lebih sering mengalami
fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya
insidens osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada
menopause.
1.1.4.2 Usia. Pada kelompok umur muda lebih banyak melakukan aktivitas yang
berat daripada kelompok umur tua. Aktivitas yang banyak akan
cenderung mengalami kelelahan tulang dan jika trauma benturan atau
kekerasan tulang bisa saja patah. Insidens kecelakaan yang menyebabkan
fraktur lebih banyak pada kelompok umur muda pada waktu berolahraga,
kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dari ketinggian.
1.1.4.3 Aktivitas. Aktivitas fisik yang berat dengan gerakan cepat dapat menjadi
risiko penyebab cedera pada otot dan tulang. Daya tekan pada saat
berolahraga seperti hentakan, loncatan atau benturan dapat menyebabkan
cedera dan jika hentakan atau benturan yang timbul cukup besar maka
dapat mengarah pada fraktur. Setiap tulang yang mendapat tekanan terus
menerus di luar kapasitasnya dapat mengalami keretakan tulang.
1.1.4.4 Massa tulang. Massa tulang yang rendah akan cenderung mengalami
fraktur daripada tulang yang padat. Sedikit benturan dapat langsung
menyebabkan patah tulang karena massa tulang yang rendah tidak mampu
menahan daya dari benturan tersebut. Massa tulang berhubungan dengan
gizi seseorang. Dalam hal ini peran kalsium penting bagi penguatan
jaringan tulang. Massa tulang yang maksimal dapat dicapai apabila
konsumsi gizi dan vitamin D tercukupi. Pengurangan massa tulang
terlihat jelas pada wanita yang menopause. Hal ini terjadi karena
pengaruh hormon yang berkurang sehingga tidak mampu mengontrol
proses penguatan tulang, misalnya pengaruh hormon estrogen.
1.1.4.5 Faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya fraktur dapat berupa
kondisi jalan raya, permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang, lantai
yang licin dapat menyebabkan kecelakaan seperti terjatuh dan berisiko
terjadi fraktur. Kecelakaan lalu lintas yang terjadi banyak menimbulkan
fraktur.

1.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur menurut Arifianato (2018) fraktur dapat dibagi menjadi
beberapa jenis antara lain :
1.1.5.1 Berdasarkan lokasi / tempat
Jenis fraktur berdasarkan letak terjadinya fraktur tersebut seperti fraktur
humerus, tibia, clavicula, ulna-radius, cruris dan lain-lain.
1.1.5.2 Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur
a.Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b.Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
1.1.5.3 Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah
a.Fraktur kominutif: garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b.Fraktur segmental: garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c.Fraktur multiple: garis patah lebih dari satu, tidak pada tulang yang
sama.
1.1.5.4 Berdasarkan posisi fragmen
a.Fraktur undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap, kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b.Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen.
1.1.5.5 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a.Faktur tertutup (closed fraktur)
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,
disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Menurut Wiarto (2017) dalam Widiyawati, dkk (2018), pada fraktur
tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartemen.
b.Fraktur terbuka (open/compound),
Jika terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit. Menurut Wiarto (2017) dalam Widiyawati dkk
(2018), fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I: luka bersih, panjang kurang dari 1<cm.
2) Grade II: luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3) Grade III: fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang
luas, laserasi dengan atau tanpa fraktur segmental. Tipe ini juga
termasuk pada fraktur terbuka dengan kontaminasi tinggi,
kerusakan vaskular, atau terjadi lebih dari 8 jam sebelum
mendapatkan tindakan.
III A: fraktur terbuka tipe III dengan periosteal yang masih
adekuat pada lokasi tulang yang fraktur meskipun terdapat
kerusakan jaringan lunak yang luas.
III B: fraktur terbuka tipe III dengan kerusakan jaringan lunak
yang luas dan hilangnya sebagian jaringan lunak serta adanya
kerusakan periosteum dan tulang. Sering disertai dengan
kontaminasi yang berat. Sering memerlukan prosedur jaringan
lunak untuk menutup defek (flap)
III C: fraktur terbuka tipe III dengan disertai adanya kerusakan
arteri yang memerlukan perbaikan vascular tanpa melihat derajat
kerusakan jaringan lunak
c.Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme
trauma :
1) Fraktur transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
6) Fraktur kelelahan: fraktur kelelahan merupakan fraktur akibat
tekanan yang berulang-ulang.
7) Fraktur patologis: fraktur patologis merupakan fraktur yang
diakibatkan karena proses patologis tulang.

1.1.6 Tanda dan gejala


Menurut Black dan Hawks (2014) mendiagnosis fraktur harus berdasarkan
manifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaam
radiologis (rontgen). Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain :
1.1.6.1 Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada
lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai,
deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi
fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
1.1.6.2 Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa
pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
1.1.6.3 Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
1.1.6.4 Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
1.1.6.5 Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-
masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus, meningkat jika fraktur
dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
1.1.6.6 Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
1.1.6.7 Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena.
Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
1.1.6.8 Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau
gesekan antar fragmen fraktur.
1.1.6.9 Perubahan neurovascular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur
vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau
kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur
1.1.6.10 Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.

1.1.7 Patofisiologi
Keparahan fraktur bergantung pada gaya yang penyebab fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin
hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan
mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot
yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami
spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang
besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser
tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah
tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena faktor
penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur
dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau
menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah
(Black dan Hawks, 2014).
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering
terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan
lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula),
hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah
periosteum. Jaringan tulang sekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi
vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit.
Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang (Black
dan Hawks, 2014).

Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik fraktur yang terbuka


ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu, dapat mengenai tulang dan terjadi
neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak
yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit (Elisabet, 2009).

Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah,


sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi
perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini
menimbulkan hematom pada kanal medulla antara tepi tulang di bawah
periostium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya
respon inflamsi akibat sirkulasi jaringan nekrotik adalah ditandai dengan
vasodilatasi dari plasma dan leukosit (Andra & Yessie,2013).
1.1.8 Pemeriksaan diagnostik
Menurut Istianah (2017) pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan untuk
mendeteksi atau mendiagnosa fraktur antara lain :
1.1.8.1 Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
1.1.8.2 Scan tulang, tomogram, atau scan CT/MRI Bone untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
1.1.8.3 Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
1.1.8.4 Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun
pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai
respon terhadap peradangan.

1.1.9 Penatalaksanaan
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan fraktur yang dilakukan antara lain
:
1.1.9.1 Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan untuk mengetahui
dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan
lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk
pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
1.1.9.2 Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis
tulang, dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka.
a. Reduksi tertutup: dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk
menarik fraktur, kemudian memanipulasi untuk mengembalikan
kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau kurang
memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka.
b. Reduksi terbuka: dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal
untuk mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi
solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan
plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui
pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan
terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang
patah dapat tersambung kembali.
1.1.9.3 Retensi / imobilisasi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan
plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas
yang mengalami fraktur.
1.1.9.4 Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
Menurut Kneale dan Davis yang disitasi oleh Sudarmanto (2018) latihan
rehabilitasi dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
a. Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan
rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur
jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot yang
diperbaiki post bedah.
b. Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang
sehat, katrol atau tongkat.
c. Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat
otot. Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah
pulih, 4-6 minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien yang
mengalami gangguan ekstremitas atas.

1.1.10 Komplikasi
Menurut Black dan Hawks (2014) ada beberapa komplikasi fraktur yang
mungkin terjadi. Komplikasi tergantung pada jenis cedera, usia, masalah
kesehatan lain (komorbiditas) dan penggunaan obat yang mempengaruhi
perdarahan, seperti warfarin, kortikosteroid, atau NSAID. Komplikasi yang
terjadi setelah fraktur antara lain :
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai
klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien
untuk menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai, parestesia, atau adanya
keluhan nyeri yang meningkat.
b.Sindroma kompartemen
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi
yang berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara
progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan oleh apapun yang
menurunkan ukuran kompartemen.gips yang ketat atau faktor-faktor
internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang berkelanjutan akan
menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot yang terkena,
menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut.
c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh
jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen
setelah fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas,
disfungsional, dan mengalami deformasi.
d.Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien
fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang
seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul.
e. Komplikasi jangka panjang dari fraktur antara lain :
1) Kaku sendi atau artritis setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang
dapat terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan
ligamen, atau atrofi otot. Latihan gerak sendi aktif harus dilakukan
semampunya klien. Latihan gerak sendi pasif untuk menurunkan
resiko kekauan sendi.
2) Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada fraktur di
proksimal dari leher femur. Hal ini terjadi karena gangguan sirkulasi
lokal. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya nekrosis
vaskular dilakukan pembedahan secepatnya untuk perbaikan tulang
setelah terjadinya fraktur.
3) Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang
tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta
gravitasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien menaruh beban pada
tungkai yang sakit dan menyalahi instruksi dokter atau apabila alat
bantu jalan digunakan sebelum penyembuhan yang baik pada lokasi
fraktur.
4) Penyatuan terhambat terjadi ketika penyembuhan melambat tapi tidak
benar-benar berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada fragmen
fraktur atau adanya penyebab sistemik seperti infeksi.
5) Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6 bulan
setelah cedera awal dan penyembuhan spontan sepertinya tidak
terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup dan
tekanan yang tidak terkontrol pada lokasi fraktur.
6) Penyatuan fibrosa, jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen
fraktur. Kehilangan tulang karena cedera maupun pembedahan
meningkatkan resiko pasien terhadap penyatuan fraktur.
7) Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu sindroma
disfungsi dan penggunaan yang salah yang disertai nyeri dan
pembengkakan tungkai yang sakit

1.2 Konsep asuhan keperawatan pada kegawatan muskuloskeletal


1.2.1 Pengkajian keperawatan
1.2.1.1 Survey Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure)
a. A :Airway, dengan kontrol servikal. Pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan
nafas oleh adanya benda asing atau fraktur di bagian wajah.
b. B :Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita
harus menjamin ventilasi baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari
paru-paru yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber
mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan
sebaiknya diberi high flow oxygenl 5 l/m lewat non-rebreathing mask
dengan reservoir bag.
c. C :Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus
diperhatikan volume darah, pendarahan, dancardiac output. Pendarahan
sering menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama
patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan
kehilangan darah dalam paha 3–4 unit darah dan membuat syok kelas
III. Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan
penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang
mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik
dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan.
Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya
dapat menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif
merupakan hal penting disamping usaha menghentikan pendarahan.
d. D :Disability. Menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi
singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat
cedera spinal.
e. E :Exposure. Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring
dengan caramenggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. Setelah
pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak
hipotermia.
1.2.1.2 Survey sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah
mencari cedera-cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga
tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati. Apabila pasien sadar dan
dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat AMPLE dari pasien,
yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event
(kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting
untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang
dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang
belum diketahui saat primary survey. Selain riwayat AMPLE, penting
untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum pasien sampai di
rumah sakit.

Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk


dievaluasi adalah:
a.kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi
b.fungsi neuromuskular
c.status sirkulasi
d.integritas ligamentum dan tulang.
Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada
Look, kita menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan,
dan memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk
menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu pula dengan bagian
punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan
adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah
yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman
sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan
palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan
krepitasi. Pada pemeriksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan
gerakan abnormal.
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal
dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang
dapat mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan
hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin,
pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan trauma
arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang
memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial.

Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera


muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan
iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama
pasien. Setiap syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya
perlu diperiksa secara sistematik.

1.2.2 Diagnosa dan perencanaan keperawatan yang mungkin muncul


1.2.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan
pasien mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif.

Perencanaan keperawatan:
Tujuan dan kriteria hasil: tingkat nyeri menurun setelah pasien diberi
tindakan keperawatan selama 1 jam dengan kriteria hasil: keluhan nyeri
menurun, meringis menurun, sikap protektif menurun, gelisah menurun.
a. Manajemen nyeri
1) Observasi
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
 Identifikasi skala nyeri.
 Identifikasi respons nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap response nyeri.
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
2) Terapeutik
 Berikan terapi non farmakologis untuk mengurangi nyeri.
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
3) Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
 Jelaskan strategi meredakan nyeri.
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
 Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri
4) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

b. Pemberian analgetik
1) Observasi
 Identifikasi riwayat alergi obat.
 Identifikasi kesesuaian jenis analgetik dengan tingkat keparahan
nyeri.
 Monitor efektivitas analgetik.
2) Terapeutik
 Diskusikan jenis analgetik yang disukai untuk mencapai
analgesia yang optimal, jika perlu.
 Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid
untuk mempertahankan kadar dalam serum.
 Tetapkan target efektivitas analgesik untuk mengoptimalkan
respons pasien.
 Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek yang
tidak diinginkan.
3) Edukasi
 Jelaskan efek terapi dan efek samping obat.
4) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgetik sesuai indikasi.

1.2.2.2 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas


struktur tulang dibuktikan dengan pasien mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas, nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa
cemas saat bergerak dan gerakan terbatas.

Perencanaan keperawatan:
Tujuan dan kriteria hasil: mobilitas fisik meningkat setelah pasien diberi
tindakan keperawatan selama 3 jam dengan kriteria hasil pergerakan
ekstremitas, nyeri menurun, kecemasan menurun.

a. Dukungan mobilisasi
1) Observasi
 Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.
 Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan.
 Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi.
 Monitor keadaan umum selama melakukan mobilisasi.
2) Terapeutik
Fasilitasi efektivitas mobilisasi dengan alat bantu (pagar tempat
tidur).
 Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu.
Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan.
3) Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi.
b. Pembidaian
1) Observasi
 Identifikasi kebutuhan dilakukan pembidaian (misal fraktur,
dislokasi)
 Monitor bagian distal area cedera pada bagian tubuh yang
cedera.
 Monitor adanya perdarahan pada area cedera.
 Identifikasi material bidai yang sesuai.
2) Terapeutik
 Tutup luka terbuka dengan balutan.
 Atasi perdarahan sebelum bidai dipasang
 Minimalkan pergerakan, terutama pada bagian yang cedera.
 Berikan bantalan (padding) pada bidai.
 Imobilisasi sendi di atas dan dibawah area cedera.
 Pasang bidai pada posisi tubuh seperti saat ditemukan
3) Edukasi
Jelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedur sebelum
pemasangan bidai.
Jelaskan tanda dan gejala sindrom kompartemen.
Anjurkan membatasi gerak pada area cedera.

c. Dukungan perawatan diri: BAB/BAK


1) Observasi
 Identifikasi kebiasaan BAB/BAK sesuai usia
 Monitor integritas kulit
2) Terapeutik
 Sediakan alat bantu misalnya kateter eskternal jika perlu
1.2.2.3 Risiko infeksi dibuktikan dengan peningkatan paparan organisme patogen
lingkungan.

Perencanaan keperawatan
Tujuan dan kriteria hasil:tingkat infeksi menurun setelah pasien diberi
tindakan keperawatan selama 5 jam dengan kriteria hasil nyeri menurun,
bengkak menurun.

a. Pencegahan infeksi
1) Observasi
 Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik
2) Terapeutik
Batasi jumlah pengunjung
Berikan perawatan kulit pada area edema
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien.
Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi.
3) Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi.
 Ajarkan meningkatkan asupan nutrisi.
 Ajarkan meningkatkan asupan cairan.
BAB 4
PEMBAHASAN

Salah satu kegawatan muskuloskeletal adalah fraktur. Fraktur menurut Noor yang
disitasi oleh Sowwam (2019) adalah istilah dari hilangnya kontinuitas tulang,
tulang rawan, baik bersifat total maupun sebagian disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Fraktur terbuka menurut Wikananda, dkk (2019) merupakan kondisi
cidera serius patah tulang dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan
dunia luar, yang sangat membahayakan karena dapat menginfeksi daerah fraktur.

Menurut Bratajaya yang disitasi oleh Aida (2016) salah satu etiologi fraktur
adalah trauma langsung seperti yang dialami oleh Ny. TAWI yaitu disebabkan
karena pasien jatuh di anak tangga rumahnya. Faktor risiko yang mempengaruhi
fraktur pada pasien ini adalah jenis kelamin (perubahan hormonal), akivitas
pasien, massa tulang, dan faktor lingkungan rumah yaitu anak tangga berisiko
pasien jatuh hingga terluka seperti saat ini. Klasifikasi fraktur terbuka menurut
Gustilo dan Anderson yang disitasi oleh Wikanda, dkk (2019) menjadi tiga
kelompok yaitu Grade I, Grade II dan Grade III dimana Grade III di bagi lagi
menjadi Grade IIIA, Grade IIIB, dan Grade III C berdasarkan kerasnya cidera
jaringan lunak. Pada pasien Ny. TAWI mengalami open fraktur 1/3 distal tibia
fibula grade I. Ny. TAWI berada pada grade 1 karena luka terbuka yang
ditimbulkan pada area yang fraktur kurang dari dari 1 cm dan luka bersih. Melihat
bentuk fraktur melalui hasil pemeriksaan radiologi pasien mengalami fraktur
spiral di tibia distal, fraktur complete oblique di fibula proximal dan fractur
incomplete pada fibula distalis dengan aligmen jelek.

Tanda dan gejala fraktur tibia fibula sinistra yang ditemukan pada Ny. TAWI
adalah deformitas, pembengkakan, memar, nyeri, spasme otot, ketegangan. Hal ini
sesuai dengan tanda gejala fraktur menurut Black and Hawks (2014). Ny. TAWI
merasakan nyeri karena fraktur akan mengenai serabut saraf sekitar area fraktur.
Selain dapat mengenai tulang dan terjadi gangguan neurovaskuler yang
menimbulkan nyeri sehingga mobilitas fisik terganggu, fraktur terbuka juga dapat
mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan
jaringan lunak yang akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.

Penegakan diagnostik fraktur pada pasien ini digunakan foto rontgen cruris
sinistra posisi antero posterior dan lateral lalu dilengkapi dengan pemeriksaan
darah lengkap untuk memantau peningkatan leukosit yang terjadi sebagai respon
terhadap peradangan akibat luka terbuka.

Penatalaksanaan fraktur pada pasien ini seperti yang diprogram dokter yaitu
pembedahan ORIF dan dilakukan immobilisasi menggunakan bidai. Hal ini
sesuai dengan penatalaksanaan fraktur seperti yang disampaikan Istianah (2017).

Fraktur terbuka juga memiliki komplikasi yang mungkin timbul pada pasien Ny.
TAWI sesuai dengan yang disampaikan oleh Black and Hawks (2014) yaitu
cedera saraf terlihat dari respon nyeri yang tampak, sindroma kompartemen yang
dapat terjadi karena pembidaian, sindrom emboli lemak sebagai komplikasi
jangka pendek, sedangkan komplikasi jangka panjang yang dapat dialami oleh
Ny. TAWI adalah atritis setelah immobilisasi jangka panjangmalunion, penyatuan
terhambat, non union, dan sindroma nyeri regional.

Sebelum pada konsep keperawatan, pasien saat masuk IGD akan mengalami
triage atau pemilahan pasien. Triage pasien masuk kategori triage level 2
menggunakan ESI, karena keadaan pasien memang tidak mengancam nyawa
secara langsung namun pasien berisiko tinggi mengalami perubahan kondisi
akibat perdarahan masif pada kaki kiri yang mengalami fraktur. Jika triage
menggunakan label maka pasien masuk dalam kategori kuning.

Pada pengkajian keperawatan pasien dilakukan primary survey dan secondary


survey. Pada primary survey tidak ditemukan masalah pada airway, breathing.
Sirkulasi pasien mengalami perdarahan masif sehingga dibutuhkan tindakan
segera untuk menghentikan perdarahan dengan melakukan jahit luka situasional
dan mencuci luka dengan 500cc NaCl 0,9%. Disability pasien pada primary
survey tidak ditemukan gangguan neurologis kecuali pada area kaki yang fraktur
yaitu kaki kiri. Eksposure dilakukan pada pasien ini namun tidak maksimal karena
pasien mengalami nyeri ketika dilakukan pergerakan.

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan look, feel, move. Pada look, terlihat pasien
ada luka di kaki kiri, pembengkakan dan hematom serta deformitas. Tahap feel
ditemukan nyeri tekan pada kaki kiri. Ketika tahap move pasien ditemukan masih
dapat melakukan ROM aktif dan tidak ada gangguan neurologis kecuali pada kaki
kiri yang mengalami fraktur karena kaki semakin nyeri jika digerakkan.

Pada diagnosa keperawatan muncul diagnosa nyeri, gangguan integritas kulit dan
jaringan, gangguan mobilitas fisik dan risiko infeksi. Ke empat diagnosa tersebut
diambil berdasarkan keadaan pasien dan sesuai Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia yang disusun oleh Tim Pokja DPP PPNI (2017).

Tahap intervensi keperawatan disusun mulai dari tujuan dan kriteria evaluasi
hingga rencana intervensi yang dibutuhkan sesuai keadaan pasien, berdasarkan
pada Standar Luaran dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018)
dengan cara memilih domain intervensi utama dan intervensi pendukung yang
sesuai. Intervensi yang dipih untuk asuhan keperawatan Ny. TAWI yaitu
manajemen nyeri, pemberian analgetik, pembidaian, penjahitan luka, dukungan
BAK, dan pencegahan infeksi.

Tahap implementasi keperawatan dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan


yang sudah disusun. Menurut Ulfiani dan Sahadewa (2021) penanganan pada
fraktur terbuka terdiri dari, debridemen untuk membersihkan kotoran atau benda
asing, pemakaian toksoid tetanus, kultur jaringan dan luka, kompres terbuka,
pengobatan dengan antibiotik, penutupan luka bila ada benda infeksi, imobilisasi
fraktur. Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Reposisi yang dilakukan tidak harus
mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai
kemampuan remodeling (proses swapugar). Pada Ny. TAWI sudah dilakukan
penanganan fraktur terbukanya sesuai dengan jurnal di atas yaitu membersihkan
luka dengan NaCL 0,9% sebanyak 500ml, pemberian anti tetanus 1500 iu,
pengobatan antibiotik, penjahitan luka, pemasangan kateter, dan imobilisasi
fraktur menggunakan Dynacast yang tertuang sebagai implementasi keperawatan
dari intervensi yang sudah disusun dan semuanya didokumentasikan pada catatan
perawatan pasien.

Evaluasi dilakukan terdiri dari evaluasi sumatif dan formatif. Dimana evaluasi
formatif dilakukan setiap selesai tindakan diberikan lalu dituliskan respon pasien
terhadap tindakan tersebut dan hasil pelaksanaan dari tindakan tersebut. Pada
evaluasi sumatif di lakukan sesuai target waktu yang dicapai saat membuat
intervensi keperawatan. Dimana jika target belum tercapai makan rencana
keperawatan dapat diganti atau dilanjutkan yang masih relevan dengan keadaan
pasien saat dijumpai setelah mendapatkan pertolongan di IGD.
DAFTAR PUSTAKA

Aida, N.L. 2016. Pencegahan Kompartemen Sindrom Pada Pasien Fraktur yang
Terpasang Gips Di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang.
Skripsi. Malang : Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang. Diakses
melalui http://eprints.umm.ac.id/

Black, Joyce M dan Jane Hokanson Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah
Edisi 8 Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.

Gibson, J. (2002). Fisiologi & Anatomi Modern untuk Perawat. EGC.

Kepel, F. R., & Lengkong, A. C. (2020). Fraktur geriatrik. e-CliniC, 8(2).


Retrived from
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/30179

Lemone, Priscilla. Burke, Karen M. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah. Jakarta: EGC.

Setianingsih, E., WS, P. A., & Irawan, E. T. (2020). Syok Index Pada Pasien
Fraktur Diinstalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah
Gombong. Proceeding of The URECOL, 150-156.

Smeltzer & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 12. Jakarta : EGC.

Sowwam, M., & Sudaryanto, S. (2020). Aplikasi panas dingin dengan terapi
kompres dingin dalam menurunkan tingkat nyeri pada asuhan keperawatan
post operasi fraktur. Jurnal Keperawatan CARE, 9(2).

Sukar, I. K. (2017). Fraktur Tertutup Cruris.


Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
(Edisi 1 Cetakan III Revisi). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(Edisi 1 Cetakan II). Jakarta.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (Edisi 1 cetakan II.). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Ulfiani, N., & Sahadewa, M. B. (2021). Multiple fraktur dengan ruptur arteri dan
vena brachialis. Medical Profession Journal of Lampung, 11(1), 13-19.

Wahyuni, T. D. (2021). Asuhan keperawatan gangguan sistem muskuloskeletal.


Penerbit NEM.

Widyasari, T., & Djawas, F. (2021). Efektivitas terapi latihan dalam


meningkatkan kemampuan fungsional tungkai bawah pada kasus post ORIF
fraktur cruris dextra. Jurnal Fisioterapi Dan Rehabilitasi, 5(1), 10-20.
https://doi.org/https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v5i1.122

Wikananda, G. D. D., Aryana, I. W., & Asmara, A. G. Y. (2017). Gambaran


karakteristik fraktur terbuka shaft tibia dengan kasus truam pada orang
dewasa di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2017-Desember 2017.
E-Jurnal Medika Udayana, 8(9).
Pathway Fraktur Tibia Fibula

Anda mungkin juga menyukai