Disusun Oleh:
Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa yang dapat mencederai fisik
maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus
(luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain),
putus atau robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan
gangguan saraf. Cedera dari trauma muskuloskeletal biasanya memberikan
disfungsi struktur disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau
disangganya. Gangguan muskuloskeletal yang paling sering terjadi akibat
suatu trauma adalah kontusio, strain, sprain, dislokasi dan subluksasi
(Maharta, Maliawan & Kawiyan, 2013).
Oleh karena itu penulis tertarik mengambil kasus ini untuk dipelajari lebih
lanjut mengenai gangguan pada sistem muskuloskeletal yaitu open fraktur 1/3
distal cruris sinistra.
Tibia dan fibula bergabung menjadi satu di atas dan di bawah dengan sendi yang
tidak dapat bergerak. Membrana interossea melekat pada corpus kedua tulang dan
mengisi ruang diantaranya merupakan tempat perlekatan otot.
1.1.3 Etiologi
Menurut Bratajaya yang disitasi oleh Aida (2016) etiologi fraktur
kebanyakan terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan, terutama
tekanan membengkok, memutar, dan menarik. Trauma muskuloskeletal
yang dapat mengakibatkan fraktur antara lain :
1.1.3.1 Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Frakur yang terjadi biasanya bersifat
komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Misalnya karena
trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan besar dan tulang
tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah
1.1.3.2 Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung akibat tekanan, aktivitas tinggi, dan kelelahan.
Trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih
jauh dari daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini jaringan lunak
tetap utuh, tekanan membengok yang menyebabkan fraktur transversal,
tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik.
1.1.3.3 Fraktur patologis
Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses
patologis, antara lain : tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali, infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai
akibat infeksi akut atau dapat timbul salah satu proses yang progresif,
secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
mengalami tekanan.
1.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur menurut Arifianato (2018) fraktur dapat dibagi menjadi
beberapa jenis antara lain :
1.1.5.1 Berdasarkan lokasi / tempat
Jenis fraktur berdasarkan letak terjadinya fraktur tersebut seperti fraktur
humerus, tibia, clavicula, ulna-radius, cruris dan lain-lain.
1.1.5.2 Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur
a.Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b.Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
1.1.5.3 Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah
a.Fraktur kominutif: garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b.Fraktur segmental: garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c.Fraktur multiple: garis patah lebih dari satu, tidak pada tulang yang
sama.
1.1.5.4 Berdasarkan posisi fragmen
a.Fraktur undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap, kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b.Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen.
1.1.5.5 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a.Faktur tertutup (closed fraktur)
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,
disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Menurut Wiarto (2017) dalam Widiyawati, dkk (2018), pada fraktur
tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartemen.
b.Fraktur terbuka (open/compound),
Jika terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit. Menurut Wiarto (2017) dalam Widiyawati dkk
(2018), fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I: luka bersih, panjang kurang dari 1<cm.
2) Grade II: luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3) Grade III: fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang
luas, laserasi dengan atau tanpa fraktur segmental. Tipe ini juga
termasuk pada fraktur terbuka dengan kontaminasi tinggi,
kerusakan vaskular, atau terjadi lebih dari 8 jam sebelum
mendapatkan tindakan.
III A: fraktur terbuka tipe III dengan periosteal yang masih
adekuat pada lokasi tulang yang fraktur meskipun terdapat
kerusakan jaringan lunak yang luas.
III B: fraktur terbuka tipe III dengan kerusakan jaringan lunak
yang luas dan hilangnya sebagian jaringan lunak serta adanya
kerusakan periosteum dan tulang. Sering disertai dengan
kontaminasi yang berat. Sering memerlukan prosedur jaringan
lunak untuk menutup defek (flap)
III C: fraktur terbuka tipe III dengan disertai adanya kerusakan
arteri yang memerlukan perbaikan vascular tanpa melihat derajat
kerusakan jaringan lunak
c.Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme
trauma :
1) Fraktur transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
6) Fraktur kelelahan: fraktur kelelahan merupakan fraktur akibat
tekanan yang berulang-ulang.
7) Fraktur patologis: fraktur patologis merupakan fraktur yang
diakibatkan karena proses patologis tulang.
1.1.7 Patofisiologi
Keparahan fraktur bergantung pada gaya yang penyebab fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin
hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan
mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot
yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami
spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang
besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser
tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah
tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena faktor
penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur
dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau
menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah
(Black dan Hawks, 2014).
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering
terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan
lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula),
hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah
periosteum. Jaringan tulang sekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi
vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit.
Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang (Black
dan Hawks, 2014).
1.1.9 Penatalaksanaan
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan fraktur yang dilakukan antara lain
:
1.1.9.1 Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan untuk mengetahui
dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan
lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk
pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
1.1.9.2 Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis
tulang, dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka.
a. Reduksi tertutup: dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk
menarik fraktur, kemudian memanipulasi untuk mengembalikan
kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau kurang
memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka.
b. Reduksi terbuka: dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal
untuk mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi
solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan
plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui
pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan
terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang
patah dapat tersambung kembali.
1.1.9.3 Retensi / imobilisasi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan
plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas
yang mengalami fraktur.
1.1.9.4 Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
Menurut Kneale dan Davis yang disitasi oleh Sudarmanto (2018) latihan
rehabilitasi dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
a. Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan
rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur
jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot yang
diperbaiki post bedah.
b. Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang
sehat, katrol atau tongkat.
c. Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat
otot. Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah
pulih, 4-6 minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien yang
mengalami gangguan ekstremitas atas.
1.1.10 Komplikasi
Menurut Black dan Hawks (2014) ada beberapa komplikasi fraktur yang
mungkin terjadi. Komplikasi tergantung pada jenis cedera, usia, masalah
kesehatan lain (komorbiditas) dan penggunaan obat yang mempengaruhi
perdarahan, seperti warfarin, kortikosteroid, atau NSAID. Komplikasi yang
terjadi setelah fraktur antara lain :
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai
klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien
untuk menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai, parestesia, atau adanya
keluhan nyeri yang meningkat.
b.Sindroma kompartemen
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi
yang berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara
progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan oleh apapun yang
menurunkan ukuran kompartemen.gips yang ketat atau faktor-faktor
internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang berkelanjutan akan
menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot yang terkena,
menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut.
c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh
jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen
setelah fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas,
disfungsional, dan mengalami deformasi.
d.Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien
fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang
seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul.
e. Komplikasi jangka panjang dari fraktur antara lain :
1) Kaku sendi atau artritis setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang
dapat terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan
ligamen, atau atrofi otot. Latihan gerak sendi aktif harus dilakukan
semampunya klien. Latihan gerak sendi pasif untuk menurunkan
resiko kekauan sendi.
2) Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada fraktur di
proksimal dari leher femur. Hal ini terjadi karena gangguan sirkulasi
lokal. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya nekrosis
vaskular dilakukan pembedahan secepatnya untuk perbaikan tulang
setelah terjadinya fraktur.
3) Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang
tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta
gravitasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien menaruh beban pada
tungkai yang sakit dan menyalahi instruksi dokter atau apabila alat
bantu jalan digunakan sebelum penyembuhan yang baik pada lokasi
fraktur.
4) Penyatuan terhambat terjadi ketika penyembuhan melambat tapi tidak
benar-benar berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada fragmen
fraktur atau adanya penyebab sistemik seperti infeksi.
5) Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6 bulan
setelah cedera awal dan penyembuhan spontan sepertinya tidak
terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup dan
tekanan yang tidak terkontrol pada lokasi fraktur.
6) Penyatuan fibrosa, jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen
fraktur. Kehilangan tulang karena cedera maupun pembedahan
meningkatkan resiko pasien terhadap penyatuan fraktur.
7) Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu sindroma
disfungsi dan penggunaan yang salah yang disertai nyeri dan
pembengkakan tungkai yang sakit
Perencanaan keperawatan:
Tujuan dan kriteria hasil: tingkat nyeri menurun setelah pasien diberi
tindakan keperawatan selama 1 jam dengan kriteria hasil: keluhan nyeri
menurun, meringis menurun, sikap protektif menurun, gelisah menurun.
a. Manajemen nyeri
1) Observasi
Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
Identifikasi skala nyeri.
Identifikasi respons nyeri non verbal
Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
Identifikasi pengaruh budaya terhadap response nyeri.
Monitor efek samping penggunaan analgetik
2) Terapeutik
Berikan terapi non farmakologis untuk mengurangi nyeri.
Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
3) Edukasi
Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
Jelaskan strategi meredakan nyeri.
Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
b. Pemberian analgetik
1) Observasi
Identifikasi riwayat alergi obat.
Identifikasi kesesuaian jenis analgetik dengan tingkat keparahan
nyeri.
Monitor efektivitas analgetik.
2) Terapeutik
Diskusikan jenis analgetik yang disukai untuk mencapai
analgesia yang optimal, jika perlu.
Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid
untuk mempertahankan kadar dalam serum.
Tetapkan target efektivitas analgesik untuk mengoptimalkan
respons pasien.
Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek yang
tidak diinginkan.
3) Edukasi
Jelaskan efek terapi dan efek samping obat.
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgetik sesuai indikasi.
Perencanaan keperawatan:
Tujuan dan kriteria hasil: mobilitas fisik meningkat setelah pasien diberi
tindakan keperawatan selama 3 jam dengan kriteria hasil pergerakan
ekstremitas, nyeri menurun, kecemasan menurun.
a. Dukungan mobilisasi
1) Observasi
Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya.
Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan.
Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi.
Monitor keadaan umum selama melakukan mobilisasi.
2) Terapeutik
Fasilitasi efektivitas mobilisasi dengan alat bantu (pagar tempat
tidur).
Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu.
Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan.
3) Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi.
b. Pembidaian
1) Observasi
Identifikasi kebutuhan dilakukan pembidaian (misal fraktur,
dislokasi)
Monitor bagian distal area cedera pada bagian tubuh yang
cedera.
Monitor adanya perdarahan pada area cedera.
Identifikasi material bidai yang sesuai.
2) Terapeutik
Tutup luka terbuka dengan balutan.
Atasi perdarahan sebelum bidai dipasang
Minimalkan pergerakan, terutama pada bagian yang cedera.
Berikan bantalan (padding) pada bidai.
Imobilisasi sendi di atas dan dibawah area cedera.
Pasang bidai pada posisi tubuh seperti saat ditemukan
3) Edukasi
Jelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedur sebelum
pemasangan bidai.
Jelaskan tanda dan gejala sindrom kompartemen.
Anjurkan membatasi gerak pada area cedera.
Perencanaan keperawatan
Tujuan dan kriteria hasil:tingkat infeksi menurun setelah pasien diberi
tindakan keperawatan selama 5 jam dengan kriteria hasil nyeri menurun,
bengkak menurun.
a. Pencegahan infeksi
1) Observasi
Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik
2) Terapeutik
Batasi jumlah pengunjung
Berikan perawatan kulit pada area edema
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien.
Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi.
3) Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi.
Ajarkan meningkatkan asupan nutrisi.
Ajarkan meningkatkan asupan cairan.
BAB 4
PEMBAHASAN
Salah satu kegawatan muskuloskeletal adalah fraktur. Fraktur menurut Noor yang
disitasi oleh Sowwam (2019) adalah istilah dari hilangnya kontinuitas tulang,
tulang rawan, baik bersifat total maupun sebagian disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Fraktur terbuka menurut Wikananda, dkk (2019) merupakan kondisi
cidera serius patah tulang dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan
dunia luar, yang sangat membahayakan karena dapat menginfeksi daerah fraktur.
Menurut Bratajaya yang disitasi oleh Aida (2016) salah satu etiologi fraktur
adalah trauma langsung seperti yang dialami oleh Ny. TAWI yaitu disebabkan
karena pasien jatuh di anak tangga rumahnya. Faktor risiko yang mempengaruhi
fraktur pada pasien ini adalah jenis kelamin (perubahan hormonal), akivitas
pasien, massa tulang, dan faktor lingkungan rumah yaitu anak tangga berisiko
pasien jatuh hingga terluka seperti saat ini. Klasifikasi fraktur terbuka menurut
Gustilo dan Anderson yang disitasi oleh Wikanda, dkk (2019) menjadi tiga
kelompok yaitu Grade I, Grade II dan Grade III dimana Grade III di bagi lagi
menjadi Grade IIIA, Grade IIIB, dan Grade III C berdasarkan kerasnya cidera
jaringan lunak. Pada pasien Ny. TAWI mengalami open fraktur 1/3 distal tibia
fibula grade I. Ny. TAWI berada pada grade 1 karena luka terbuka yang
ditimbulkan pada area yang fraktur kurang dari dari 1 cm dan luka bersih. Melihat
bentuk fraktur melalui hasil pemeriksaan radiologi pasien mengalami fraktur
spiral di tibia distal, fraktur complete oblique di fibula proximal dan fractur
incomplete pada fibula distalis dengan aligmen jelek.
Tanda dan gejala fraktur tibia fibula sinistra yang ditemukan pada Ny. TAWI
adalah deformitas, pembengkakan, memar, nyeri, spasme otot, ketegangan. Hal ini
sesuai dengan tanda gejala fraktur menurut Black and Hawks (2014). Ny. TAWI
merasakan nyeri karena fraktur akan mengenai serabut saraf sekitar area fraktur.
Selain dapat mengenai tulang dan terjadi gangguan neurovaskuler yang
menimbulkan nyeri sehingga mobilitas fisik terganggu, fraktur terbuka juga dapat
mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan
jaringan lunak yang akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Penegakan diagnostik fraktur pada pasien ini digunakan foto rontgen cruris
sinistra posisi antero posterior dan lateral lalu dilengkapi dengan pemeriksaan
darah lengkap untuk memantau peningkatan leukosit yang terjadi sebagai respon
terhadap peradangan akibat luka terbuka.
Penatalaksanaan fraktur pada pasien ini seperti yang diprogram dokter yaitu
pembedahan ORIF dan dilakukan immobilisasi menggunakan bidai. Hal ini
sesuai dengan penatalaksanaan fraktur seperti yang disampaikan Istianah (2017).
Fraktur terbuka juga memiliki komplikasi yang mungkin timbul pada pasien Ny.
TAWI sesuai dengan yang disampaikan oleh Black and Hawks (2014) yaitu
cedera saraf terlihat dari respon nyeri yang tampak, sindroma kompartemen yang
dapat terjadi karena pembidaian, sindrom emboli lemak sebagai komplikasi
jangka pendek, sedangkan komplikasi jangka panjang yang dapat dialami oleh
Ny. TAWI adalah atritis setelah immobilisasi jangka panjangmalunion, penyatuan
terhambat, non union, dan sindroma nyeri regional.
Sebelum pada konsep keperawatan, pasien saat masuk IGD akan mengalami
triage atau pemilahan pasien. Triage pasien masuk kategori triage level 2
menggunakan ESI, karena keadaan pasien memang tidak mengancam nyawa
secara langsung namun pasien berisiko tinggi mengalami perubahan kondisi
akibat perdarahan masif pada kaki kiri yang mengalami fraktur. Jika triage
menggunakan label maka pasien masuk dalam kategori kuning.
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan look, feel, move. Pada look, terlihat pasien
ada luka di kaki kiri, pembengkakan dan hematom serta deformitas. Tahap feel
ditemukan nyeri tekan pada kaki kiri. Ketika tahap move pasien ditemukan masih
dapat melakukan ROM aktif dan tidak ada gangguan neurologis kecuali pada kaki
kiri yang mengalami fraktur karena kaki semakin nyeri jika digerakkan.
Pada diagnosa keperawatan muncul diagnosa nyeri, gangguan integritas kulit dan
jaringan, gangguan mobilitas fisik dan risiko infeksi. Ke empat diagnosa tersebut
diambil berdasarkan keadaan pasien dan sesuai Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia yang disusun oleh Tim Pokja DPP PPNI (2017).
Tahap intervensi keperawatan disusun mulai dari tujuan dan kriteria evaluasi
hingga rencana intervensi yang dibutuhkan sesuai keadaan pasien, berdasarkan
pada Standar Luaran dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018)
dengan cara memilih domain intervensi utama dan intervensi pendukung yang
sesuai. Intervensi yang dipih untuk asuhan keperawatan Ny. TAWI yaitu
manajemen nyeri, pemberian analgetik, pembidaian, penjahitan luka, dukungan
BAK, dan pencegahan infeksi.
Evaluasi dilakukan terdiri dari evaluasi sumatif dan formatif. Dimana evaluasi
formatif dilakukan setiap selesai tindakan diberikan lalu dituliskan respon pasien
terhadap tindakan tersebut dan hasil pelaksanaan dari tindakan tersebut. Pada
evaluasi sumatif di lakukan sesuai target waktu yang dicapai saat membuat
intervensi keperawatan. Dimana jika target belum tercapai makan rencana
keperawatan dapat diganti atau dilanjutkan yang masih relevan dengan keadaan
pasien saat dijumpai setelah mendapatkan pertolongan di IGD.
DAFTAR PUSTAKA
Aida, N.L. 2016. Pencegahan Kompartemen Sindrom Pada Pasien Fraktur yang
Terpasang Gips Di RSUD Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang.
Skripsi. Malang : Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang. Diakses
melalui http://eprints.umm.ac.id/
Black, Joyce M dan Jane Hokanson Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah
Edisi 8 Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
Setianingsih, E., WS, P. A., & Irawan, E. T. (2020). Syok Index Pada Pasien
Fraktur Diinstalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah
Gombong. Proceeding of The URECOL, 150-156.
Smeltzer & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 12. Jakarta : EGC.
Sowwam, M., & Sudaryanto, S. (2020). Aplikasi panas dingin dengan terapi
kompres dingin dalam menurunkan tingkat nyeri pada asuhan keperawatan
post operasi fraktur. Jurnal Keperawatan CARE, 9(2).
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(Edisi 1 Cetakan II). Jakarta.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (Edisi 1 cetakan II.). Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Ulfiani, N., & Sahadewa, M. B. (2021). Multiple fraktur dengan ruptur arteri dan
vena brachialis. Medical Profession Journal of Lampung, 11(1), 13-19.