Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS FRAKTUR DI RUANG RAWAT BEDAH


RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG

Oleh:
DAHLIA TAMIMI
2214901002

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( Ns. Hidayatul Rahmi, M.Kep ) ( )

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (PPKMB)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan seluruh
rahmat dan nikmatnya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah Karya Ilmiah yang berjudul “Laporan Pendahuluan Dengan Kasus Fraktur”. Penulis
sadar masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dalam membuat laporan ini.
Walaupun demikian penulis sudah berusaha dengan maksimal demi kesempurnaan
penyusunan laporan ini. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan bagi
penulis guna untuk kesempurnaan penulisan laporan selanjutnya.
Dapat kesempatan ini, penulis haturkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penyusunan laporan ini.
1. Ns. Hidayatul Rahmi,M.Kep, selaku pembimbing akademik
2. Orang tua kami yang banyak memberikan dukungan baik moril maupun materil.
3. Semua pihak yang tidak dapat kami rinci satu persatu yang telah membantu dalam proses
penyusunan laporan ini.
Dimana pihak yang telah mendukung penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis berharap semoga laporan ini bisa bermanfaat serta dapat membantu bagi perkembangan
STIKes Alifah Padang.

Padang, 30 Oktober 2022

Penulis
A. Konsep Fraktur
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang.Jika terjadi
fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi (sinar-x)
dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau
ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat
menjadi komplikasi pemulihan klien ( Black dan Hawks, 2017).
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total
maupun sebagian (Helmi, 2015). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai sesuai jenis dan luasnya. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan yang umumnya yang umumnya disebabkan
oleh ruda paksa (Lukman dan Ningsih, Nurna, 2018). Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Bruner& Suddart, 2013).
2. Anatomi Fisiologi

a. Anatomi :
1) Tibia (tulang kering)
Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga terdiri dari tiga bagian:
a) Epiphysis proximalis (ujung atas)
Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki permukaan sendi
superior pada tiap condylus, yaitu condylus medial dan condylus lateral. Ditengah-
tengahnya terdapat suatu peninggian yang disebut eminenta intercondyloidea.
b) Diaphysis (corpus)
Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan puncaknya
menghadap ke muka, sehingga corpus mempunyai tiga sisi yaitu margo anterior
(di sebelah muka), margo medialis (di sebelah medial) dan crista interossea (di
sebelah lateral) yang membatasi facies lateralis, facies posterior dan facies
medialis.Facies medialis langsung terdapat dibawah kulit dan margo anterior di
sebelah proximal.
c) Epiphysis distalis (ujung bawah)
Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut maleolus medialis
(mata kaki). Epiphysis distalis mempunyai tiga dataran sendi yaitu dataran sendi
yang vertikal (facies articularis melleolaris), dataran sendi yang horizontal (facies
articularis inferior) dan disebelah lateral terdapat cekungan sendi (incisura
fibularis).
2) Fibula
Merupakan tulang yang panjang, langsing, terletak di sebelah lateral tibia.
Epiphysis proximalis membulat disebut capitulum fibulae. Ke arah proximal
meruncing menjadi apex. Pada capitulum terdapat dua dataran sendi yang disebut
facies articularis capitulli fibulae, untuk bersendi dengan tibia. Pada corpus terdapat
empat buah crista yaitu, crista lateralis, crista anterior, crista medialis dan crista
interosssea. Datarannya ada tiga buah yaitu facies lateralis, facies medialis dan facies
posterior. Pada bagian distal ke arah lateral membulat menjadi maleolus lateralis.
b. Fisiologi:
Menurut Long, B.C, fungsi tulang secara umum yaitu :
1) Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh.
2) Melindungi organ-organ tubuh (contoh:tengkorak melindungi otak)
3) Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan bergerak).
4) Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium dan posfor)
5) Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum tulang).
Menurut Price, Sylvia Anderson, Pertumbuhan dan metabolisme tulang
dipengaruhi oleh mineral dan hormon :
1) Kalsium dan posfor tulang mengandung 99 % kalsium tubuh dan 90 % posfor.
Konsentrasi kalsium dan posfor dipelihara hubungan terbalik, kalsitonin dan hormon
paratiroid bekerja untuk memelihara keseimbangan.
2) Kalsitonin diproduksi oleh kelenjar tiroid dimana juga tirokalsitonin yang memiliki
efek untuk mengurangi aktivitas osteoklast, untuk melihat peningkatan aktivitas
osteoblast dan yang terlama adalah mencegah pembentukan osteoklast yang baru.
3) Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Dalam jumlah besar vitamin
D dapat menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat dalam kadar hormon
paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D, hormon paratiroid tidak akan
menyebabkan absorbsi tulang sedang vitamin D dalam jumlah yang sedikit
membantu klasifikasi tulang dengan meningkatkan absorbsi kalsium dan posfat oleh
usus halus.
4) Paratiroid Hormon, mempunyai efek langsung pada mineral tulang yang
menyebabkan kalsium dan posfat diabsorbsi dan bergerak melalui serum.
Peningkatan kadar paratiroid hormon secara perlahan-lahan menyebabkan
peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklast sehingga terjadi demineralisasi.
Peningkatan kadar kalsium serum pda hiperparatiroidisme dapat menimbulkan
pembentukan batu ginjal.
5) Growth Hormon (hormon pertumbuhan), disekresi oleh lobus anterior kelenjar
pituitary yang bertanggung jawab dalam peningkatan panjang tulang dan penentuan
jumlah matriks tulang yang dibentuk pada masa sebelum pubertas.
6) Gluikokortikoid, adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme protein. Hormon ini
dapat meningkatkan atau menurunkan katabolisme untuk mengurangi atau
meningkatkan matriks organ tulang dan membantu dalam regulasi absorbsi kalsium
dan posfor dari usus kecil.
7) Estrogen menstimulasi aktifitas osteoblast. Penurunan estrogen setelah menopause
mengurangi aktifitas osteoblast yang menyebabkan penurunan matriks organ tulang.
Klasifikasi tulang berpengaruh pada osteoporosis yang terjadi pada wanita sebelum
usia 65 tahun namun matriks organiklah yang merupakan penyebab dari osteoporosis.
3. Etiologi Fraktur
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu retakan
sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan
akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya
retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi
disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang
terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap (Digiulio, Jackson
dan Keogh, 2017).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2015) dapat dibedakan
menjadi:
a. Cedera traumatic
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan
2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan fraktur klavikula
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
b. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul
salah satu proses yang progresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus.
4. Manifestasi Klinis Fraktur
Menurut Black dan Hawks (2017) Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan
manifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis.Tanda dan gejala
terjadinya fraktur antara lain:
a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur.Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional,atau
angulasi.Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang
nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada
lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan
lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri
biasanya terus-menerus, meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena
spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat
terjadi dari cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar
fragmen fraktur.
i. Perubahan neurovascular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular
yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi
pada daerah distal dari fraktur
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah.Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.
5. Patofisiologi Fraktur
Menurut Black dan Hawks (2017) antara lain :Keparahan dari fraktur bergantung
pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit
terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan patah.Jika gayanya sangat ekstrem,
seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot
yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan
menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan
spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupunbagian
proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser
karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat
bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang
lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang
patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan
lunak.Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri.
Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan
dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan
respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan
fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap
penyembuhan tulang.
6. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka.Fraktur
tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera, sedangkan fraktur terbuka
dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas
pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black dan Hawks, 2017) :
a. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
b. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
c. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan lunak, saraf,
tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan derajat 3 harus sedera ditangani
karena resiko infeksi.
Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:
a. Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian
luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan
bagian luar.
b. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada
daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya juga
disertai adanya pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol keluar
dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol
keluar.Fraktur terbuka memerlukan pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi
dan faktor penyulit lainnya.
c. Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas terjadi
patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.
Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:
a. Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang. Fraktur ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direkduksi
kembali ke tempat semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol
dengan bidai gips.
b. Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri dari dua fragmen
tulang.
c. Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut terhadap tulang.
d. Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan
terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur jenis ini biasanya sulit
ditangani.
e. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang yang
berada diantara vertebra.
f. Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas.Fraktur ini menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi.
7. Komplikasi Fraktur
Menurut Black dan Hawks (2017) antara lain :Ada beberapa komplikasi fraktur.
Komplikasi tergantung pada jenis cedera , usia klien, adanya masalah kesehatan lain
(komordibitas) dan penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin,
kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah fraktur antara lain :
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf.Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai klien yang sakit
teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari
tangan atau tungkai.parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.
b. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh jaringan
fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot mengalami
pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon terhadap fraktur dapat menyebabkan
peningkatan tekanan kompartemen yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler.Jika
suplai darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolicjaringan, maka terjadi
iskemia.Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang
terbatas.Hal ini disebabkan oleh apapun yang menurunkan ukuran kompartemen.gips
yang ketat atau faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang
berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot yang terkena,
menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut.
Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme anaerob dan
peningkatan aliran darah yang menyebabakn peningkatan tekanan jaringan. Hal ini akan
mnyebabkan suatu siklus peningkatan tekanan kompartemen. Sindroma kompartemen
dapat terjadi dimana saja, tetapi paling sering terjadi di tungkai bawah atau lengan.Dapat
juga ditemukan sensasi kesemutan atau rasa terbakar (parestesia) pada otot.
c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani.Oleh karena itu, tekanan yang terus-menerus
menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh jaringan fibrosa yang
menjepit tendon dan saraf.Sindroma kompartemen setelah fraktur tibia dapat
menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan mengalami deformasi.
d. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien
fraktur.Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang seperti femur,
tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul.
Kompikasi jangka panjang dari fraktur antara lain:
a. Kaku sendi atau arthritis
Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang , kekauan sendi dapat terjadi dan
dapat menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan ligamen, atau atrofi otot. Latihan gerak
sendi aktif harus dilakukan semampunya klien.Latihan gerak sendi pasif untuk
menurunkan resiko kekauan sendi.
b. Nekrosis avaskular
Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada fraktur di proksimal
dari leher femur.Hal ini terjadi karena gangguan sirkulasi lokal.Oleh karena itu, untuk
menghindari terjadinya nekrosis vaskular dilakukan pembedahan secepatnya untuk
perbaikan tulang setelah terjadinya fraktur.
c. Malunion
Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang tidak tepat
sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta gravitasi. Hal ini dapat terjadi
apabila pasien menaruh beban pada tungkai yang sakit dan menyalahi instruksi dokter
atau apabila alat bantu jalan digunakan sebelum penyembuhan yang baik pada lokasi
fraktur.
d. Penyatuan terhambat
Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan melambat tapi tidak benar-
benar berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada fragmen fraktur atau adanya
penyebab sistemik seperti infeksi.
e. Non-union
Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6 bulan setelah cedera
awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya tidak terjadi.Biasanya diakibatkan
oleh suplai darah yang tidak cukup dan tekanan yang tidak terkontrol pada lokasi
fraktur.
f. Penyatuan fibrosa
Jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen fraktur. Kehilangan tulang
karena cedera maupun pembedahan meningkatkan resiko pasien terhadap jenis
penyatuan fraktur.
g. Sindroma nyeri regional kompleks
Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu sindroma disfungsi dan
penggunaan yang salah yang disertai nyeri dan pembengkakan tungkai yang sakit.
8. Pemeriksaan Penunjang Fraktur
Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:
a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
b. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas,
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun pada
perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai respon terhadap
peradangan.
9. Penatalaksaan fraktur
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi semula dan
mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang.Cara pertama penangan
adalah proteksi saja tanpa reposisi atau imobilisasi, misalnya menggunakan
mitela.Biasanya dilakukan pada fraktur iga dan fraktur klavikula pada anak.Cara kedua
adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan pada patah tulang tungkai bawah
tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan
imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang radius distal. Cara keempat adalah
reposisi dengan traksi secara terus-menerus selama masa tertentu. Hal ini dilakukan pada
patah tulang yang apabila direposisi akan terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa
reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa reposisi
secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif.Cara ketujuh
berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna yang biasa disebut dengan
ORIF (Open Reduction Internal Fixation).Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan
tulang dengan prostesis (Sjamsuhidayat dkk, 2015).
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :
a. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur.Pada awal pengobatan perlu diperhatikan lokasi
fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan komplikasi
yang mungkin terjadi selama pengobatan.
b. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis tulang
yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka.Reduksi tertutup
dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk menarik fraktur kemudian,
kemudian memanipulasi untuk mengembalikan kesejajaran garis normal.Jika reduksi
tertutup gagal atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka.Reduksi
terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan
posisi sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara
lain pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui
pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini akan
mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat tersambung kembali.
c. Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan mencegah
pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan plat atau traksi
dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas yang mengalami fraktur.
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah pembedahan,
pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan. Menurut Kneale dan Davis (2011)
latihan rehabilitasi dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
1) Gerakan pasif bertujuanuntuk membantu pasien mempertahankan rentang gerak sendi
dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur jaringan lunak serta mencegah
strain berlebihan pada otot yang diperbaiki post bedah.
2) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan
pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang sehat, katrol atau tongkat
3) Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat otot. Latihan
biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah pulih, 4-6 minggu setelah
pembedahan atau dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan ekstremitas atas.
B. Konsep Askep
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetic.
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak.
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein,
vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan
tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas
klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan
Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
(4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
(5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
(6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image).
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak
timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur.
(8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain
itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya.
(9) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien
bisa tidak efektif.
10) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah
yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan).
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.

(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler € 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit. Capillary refill time € Normal 3– 5 “
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan
(1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain
itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat,
dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah
ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA
dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa
permintaan x- ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi
periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal
dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut (D.0077) berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Gangguan mobilitas fisik (D.0054) berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot
c. Resiko infeksi (D.0142) berhubungan dengan prosedur invasif
3. Intervensi Keperawatan
No. SDKI SLKI SIKI TTD
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Manjemen nyeri
berhubungan intervensi Observasi:
dengan agen keperawatan - identifikasi skala
pencedera fisik selama 3x24 jam nyeri
maka diharapkan -identifikasi lokasi,
tingkat nyeri karakteristik, durasi,
menurun dengan frekuensi, kualitas
kriteria hasil: dan intensitas nyeri
1. keluhan nyeri Terapeutik:
menurun -berikan teknik non
2. meringis farmakologis (teknik
menurun relaksasi nafas
3. kesulitan tidur dalam)
menurun Edukasi:
-anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
Kolaborasi:
Kolaborasi
pemberian analgetik
2. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan
mobilitas fisik intervensi mobilisasi
berhubungan keperawatan Observasi:
dengan penurunan selama 3x24 jam - identifikasi adanya
kekuatan otot maka diharapkan nyeri atau keluhan
mobilitas fisik fisik lainnya
meningkat dengan -monitor kondisi
kriteria hasil: umum selama
1. pergerakan melakukan
ektremitas mobilisasi
meningkat Terapeutik:
2. kekuatan otot -libatkan keluarga
meningkat untuk membantu
3.rentang gerak pasien dalam
meningkat meningkatkan
pergerakan
Edukasi:
-jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
-anjurkan melakukan
mobilisasi dini
-ajarkan mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan infeksi
berhubungan intervensi Observasi:
dengan prosedur keperawatan - karakteristik luka
invasif selama 3x24 jam -monitor tanda-tanda
maka diharapkan infeksi
tingkat infeksi Terapeutik:
menurun dengan -lepaskan balutan
kriteria hasil: dan plester secara
1.demam menurun perlahan
2. kemerahan -bersihkan dnegan
menurun cairan NaCl
3. nyeri menurun -bersiihkan jaringan
4. bengkak nekrotik
menurun -berikan salep sesuai
resep dokter
-pasang balutan
sesuai luka
Edukasi:
-jelaskan tanda dan
gejala infeksi
-ajarkan perawatan
luka secara mandiri
Kolaborasi:
-kolaborasi
pemberian analgetik

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam
proses penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi
pasien yang sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu :
1. Evaluasi formatif. Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana
evaluasi dilakukan sampai dengan tujuan tercapai
2. Evaluasi somatif , merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode
evaluasi ini menggunakan SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Black, J dan Hawks, J. 2017. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta: Salemba Emban Patria

Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2. Jakarta
EGC

DiGiulio Mary, Donna Jackson, Jim Keogh (2017), Keperawatan Medikal bedah, Ed. I,
Yogyakarta: Rapha publishing.

Helmi, Zairin N. 2015. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba medika

Istianah, Umi. (2017). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Jitowiyono, S dan Kristiyanasari, W. 2015. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta :


Nuha Medika

Lukman & Ningsih, Nurna (2018). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan system
Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika

Tim POKJA SDKI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan III.
Jakarta: DPP PPNI

Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, edisi ke-6.
Jakarta: EGC.

Syamsuhidayat R dkk.2015. Buku Ajaran Ilmu Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran ECG

Wiarto, G. (2017). Nyeri Tulang dan Sendi. Gosyen Publisihing.

Morhead, Sue, Johnson,


Marion, Maas, Meriden L.,
Swanson, Elizabeth.
2006. Nursing Outcomes
Classification (NOC), Fourth
Edition. Missouri: Mosby

Anda mungkin juga menyukai