FRAKTUR FEMUR
Disusun Oleh:
RODY PRATAMA, S. Kep
113063J121045
1. Anterior compartment
2. Medial/adductor compartment
3. Posterior compartment
b) Fisiologi Tulang
Kaufmann dkk. (2018) menjelaskan bahwa fungsi utama sistem
skeletal pada manusia meliputi 3 hal, yaitu support, movement, dan
protection. Sistem skeletal manusia terdiri dari tulang rawan, ligamen,
dan jaringan lain yang melakukan fungsi penting untuk tubuh manusia.
Komponen komponen tersebut melakukan fungsi sebagai berikut:
1) Melindungi organ tubuh internal
2) Memproduksi dan menyimpan lemak
3) Memproduksi sel darah merah
4) Memproduksi dan menampung mineral. Tulang menyimpan 97%
kalsium dan fosfor tubuh
5) Mendukung pergerakan tubuh
6) Menyokong rangka dan bentuk tubuh
2. Pengertian Fraktur Femur
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Norvell, 2017; Keany 2015). Fraktur femur yang
digambarkan sesuai lokasi, dapat dikelompokkan menjadi 3, meliputi
proksimal atau ujung atas dekat panggul, shaft/poros tulang, dan distal
atau ujung bawah dekat lutut (Avruskin, 2013; Romeo, 2018)
4. Klasifikasi Fraktur
Nurafif dan Kusuma (2015) menjelaskan bahwa fraktur
diklasifikasikan secara klinis menjadi 3, yaitu:
a) Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur
bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur
tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman compartment syndrome.
b) Fraktur terbuka (open/ compound fraktur)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang bila tulang yang patah
menembus otot dan kulit yang memungkinkan/potensial untuk
terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam
luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka
dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Derajat I apabila laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi
fragmen minimal.
2) Derajata II apabila laserasi > 2 cm, kontusio otot dan
sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
3) Derajat III apabila luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan
sekitar.
(a) Derajat IIIA: patah tulang terbuka dengan jaringan luas,
tetapi masih bisa menutupi patahan tulang saat dilakukan
perbaikan.
(b) Derajat IIIB: patah tulang terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak hebat atau hilang (soft tissue loes) sehingga
tampak tulang (bone-exposs).
(c) Derajat IIIC: patah tulang terbuka dengan kerusakan
pembuluh darah dan atau saraf yang hebat.
c) Fraktur dengan komplikasi, seperti halnya malunion, delayed,
nonunion, dan infeksi tulang.
5. Etiologi Fraktur Femur
Nurafif dan Kusuma (2015) menjelaskan bahwa etiologi fraktur
adalah sebagai berikut:
1. Faktor traumatik
Kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat teradi patah pada
tempat yang terkena, akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan
lunak disekitarnya..
Fraktur karena trauma ada 2 yaitu:
a) Trauma langsung adalah benturan pada tulang yang berakibat
ditempat tersebut.
b) Trauma tidak langsung adalah titik tumpu benturan dengan
terjadinya fraktur yang berjauhan.
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah
menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai
latihan lari.
6. Manifestasi Klinis
(Belleza, 2016) menjelaskan bahwa manifestasi klinis fraktur adalah
sebagai berikut:
a. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Kehilangan fungsi
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya,
pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias
di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang
normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
c. Pemendekan ekstremitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan
antara fragmen satu dengan yang lainya.
d. Edema dan ecchymosis lokal
Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi
sebagai akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari
setelah cedera.
8. Komplikasi
(Belleza, 2016) menjelaskan bahwa komplikasi yang dapat terjadi
pada pasien dengan fraktur adalah:
a. Syok hipovolemik. Kondisi ini terjadi akibat adanya perdarahan
berlebih yang sering ditemukan pada pasien trauma akibat fraktur
pada tulang pelvis, femur, atau fraktur lain dengan jenis fraktur
terbuka.
b. Fat embolism syndrome. Kondisi ini terjadi akibat fraktur pada
tulang panjang, atau fraktur lain yang menyebabkan jaringan
sekitar hancur, sehingga emboli lemak dapat terjadi.
c. Compartement syndrome. Kondisi ini merupakan keadaan yang
mengancam ekstremitas yang terjadi ketika tekanan perfusi turun
atau lebih rendah daripada tekanan jaringan. Hal ini disebabkan
karena penurunan ukuran compartment otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang
menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema
atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya :
iskemi,dan cidera remuk).
d. Osteomyelitis. Kondisi tulang yang mengalami fraktur merupakan
salah satu faktor resiko terjadinya osteomyelitis. Penyakit ini
merupakan infeksi pada tulang yang penatalaksanaannya melalui
terapi medikasi dengan antibiotik, serta pembedahan ketika infeksi
bersifat persisten.
9. Pemeriksaan Penunjang
Belleza (2016) menjelaskan bahwa periksaan yang dapat dilakukan
pada pasien dengan diagnosa fraktur femur adalah:
a. Pemeriksaan X ray, berfungsi untuk menentukan lokasi dan luas
fraktur
b. Bone scans, tomograms, computed tomography (CT) atau
Magnetig Resonance Imaging (MRI), bertujuan untuk
memfisualisasi fraktur, perdarahan, kerusakan jaringan, dan
membedakan antara ftaktur akibat trauma dengan neoplasma
tulang
c. Arteriogram, yaitu pemeriksaan yang dapat dilakukan aabila
dicurigai terjadi kerusakan pembuluh darah okuli
d. Complete Blood Cound (CBC). Jika hasil pemeriksaan hitung
darah lengkap menunjukkan bahwa hematokrit mengalami
peningkatan atau penurunan (hemokonsentrasi) menunjukkan
adanya perdarahan pada lokasi fraktur atau organ di sekitar lokasi
trauma. Hasil pemeriksaan hitung darah lengkap yang
menunjukkan peningkatan sel darah putih (WBC) merupakan
tanda respon stres normal setelah trauma atau terjadinya fraktur
e. Urine creatinine (Cr) clearance, untuk mengetahui trauma atau
Fraktur yang terjadi menyebabkan meningkatnya Cr pada ginjal
f. Coagulation profile, bertujuan untuk mengetahui perubahan akibat
kehilangan darah.
10. Penatalaksanaan
Norvell (2017) menjelaskan bahwa penatalaksanaan pada pasien
dengan fraktur adalah melalui metode RICE, yaitu:
a. Rest
Nyeri merupakan sinyal tubuh bahwa telah terjadi suatu masalah.
Hal yang harus dilakukan ketika mengalami nyeri adalah
menghentikan kegiatan fisik dan yang paling penting harus
dilakukan 2 hari pertama
b. Ice
Kompres menggunakan es pada hari pertama hingga hari kedua
pasca terjadinya trauma bertujuan untuk mengurangi nyeri atau rasa
sakit, dan menghentikan perdarahan.
c. Compression
Pemberian tekanan pada tubuh yang mengalami trauma dapat
dilakukan menggunakan elastic medical bandage atau ACE
bandage.
d. Elevation
Hal terakhir yang bisa dilakukan untuk menangani fraktur adalah
dengan mengelevasikan bagian yang trauma lebih tinggi dari
jantung. Hal ini bertujuan untuk melancarkan sirkulasi.
Muttaqin (2008) menjelaskan bahwa penatalaksanaan fraktur
melalui pembedahan dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan
fragment tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi
fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.Sebelum reduksi
dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan untuk menjalani
prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur,
dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu
dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi
harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan
lebih lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment tulang ke
posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual.
b) Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal
atau yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan
pada fraktur yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur
fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui
kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi yang
ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan
penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur
terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan untuk
dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup
radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil
adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.
2. Clinical Pathway
FRAKTUR
Peningkatan Terputusnya
Pergeseran
tekanan kapiler vena/arteri Kerusakan
fragmen tulang
integritas kulit
Deformitas Pelepasan
Perdarahan Kerusakan
histamin
integritas
jaringan
Hambatan Edema
mobilitas fisik
Resiko Syok
Penekanan
pembuluh darah
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
perifer
3. Konsep Asuhan Keperawatan
4. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah tahap dasar dari seluruh
proses keperawatan dengan tujuan mengumpulkan informasi dan data-
data pasien. Supaya dapat mengidentifikasi masalah-masalah,
kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial
dan lingkungan. Pengkajian yang lengkap, akurat, sesuai kenyataan,
kebenaran data sangat penting untuk merumuskan suatu diagnosa
keperawatan dan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
respon individu. Pengkajian keperawatan meliputi :
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal
masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Identifikasi adanya nyeri pada lokasi fraktur atau tidak
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang
femur, bagaimana mekanisme terjadinya, pertolongan apa yang
sudah di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu
seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di
kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta
penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang femur
adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
f) Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun
ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah,
seperti nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi
pasien yang merupakn pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB
seperti konstipasi dan gangguan eliminasi urine akibat adanya
program eliminasi dilakukan ditempat tidur.
3) Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami
perubahan yang berarti, namun ada beberapa kondisi dapat
menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah seperti
timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas)
sebagaimana biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan
ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada perubahan fungsi
anggota gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan
aktivitasnya pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk
aktivitas yang sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya
sendiri.
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun
harus ada bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan
pasien ditempat tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur,
selain itu dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image,
jika terjadi atropi otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak
psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam
perawatan dirumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya
program immobilisasi serta proses penyembuhan yang cukup
lama.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur femur riwayat spiritualnya tidak
mengalami gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa
bertoleransi terhadap agama yang dianut, masih bisa mengartikan
makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya
karena merasa dirinya tidak berguna (terutama kalau ada program
amputasi).
g) Pemeriksaan Fisik
- Gambaran lokal
Harus diperhatikan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu
Pain, palor, parestesia, pulse, pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskukuluskletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
Jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi penampakan kurang lebih besar uang logam. Diameternya
bisa sampai 5cm yang di dalamnya berisi bintik-bintik hitam.
Cape au lait itu bisa berbentuk seperti oval dan di dalamnya
bewarna coklat. Ada juga berbentuk daun dan warna coklatnya
lebih coklat dari kulit, di dalamnya juga terbentuk bintik-bintik
dan warnanya jauh lebih coklat lagi. Tanda ini biasanya
ditemukan di badan, pantat, dan kaki. (3) Fistulae warna
kemrahan atau kebiruan (livide) atau hipergigmentasi. Benjolan
pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal). Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas). Posisi
jalan
b) Feel ( palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.Yang perlu dicatat adalah :
1) Perubahan suhu di sekitar trauma (hangat) kelembaban kult.
Capillary refill time Normal 2 detik.
(2) Apabila ada pembekakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan( tendernes), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal). Otot : Tonus pada waktu
relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat dipermukaan
atu melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurevaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
di deskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan
tehadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
c) Move ( pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah
terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak
ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi di catat dengan ukuran derajat, dari
tiap arah pergerakan mulai dari titik O (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang di lihat adalah
gerakan aktif dan pasif (Wahid, 2013).
5. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa memiliki dua arti, pertama, diagnosis adalah tahap
kedua dari proses keperawatan yang mencangkup analisi data. Kedua,
diagnosis adalah label spesifik atau pernyataan yang menggambarkan
tentang status kesehatan klien dan keluarganya.
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik tentang respon
individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses
kehidupan yang aktual atau potensial. Diagnosis keperawatan merupakan
dasar pemilihan intervensi dalam mencapai tujuan yang telah di tetapka
oleh perawat yang bertanggung jawab.
Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan analisis dan
interprestasi data yang diperoleh dari pengkajian klien. Diagnosa
keperawatan memberikan gambaran tentang kesehatan yang nyata atau
aktual dan kemungkinan akan terjadi, dimana pengambilan keputusannya
dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat. Diagnosa keperawatan
merupakan keputusan klinik tentang respon indivu,keluarga dan
masyarakat tentang masalah kesehatan actual dan potensial,di mana
berdasarkan pendidikan dan pengalamannya,perawat secara akuntabilitas
dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk
menjaga, menurunkan, membatasi, mencegah dan mengubah status
kesehatan klien.
Diagnosa keperawatan di tetapkan berdasarkan analisis dan
interpretasi data yang di peroleh dari pengkajian keperawatan klien.
Diagnosa keperawatan memberikan gambaran tentang masalah atau status
kesehatan klien yang nyata (actual) dan kemungkinan akan terjadi,di mana
pemecahannya dapat dilakukan dalam batasan wewenang perawat.
Diagnosis keperawatan adalah diagnosis yang paling logis terjadi ketika
terjadi suatu kondisi medis tertentu. Tentu saja seorang pasien dengan satu
kondisi medis tidak akan mempunyai semua diagnose keperawatan yang
ditampilkan. Pilih hanya diagnosa keperawatan yang di konfirmasikan
dengan data pengkajian. Lebih jauh lagi,daftar yang telah di pilih ini harus
telah di pertimbangkan dengan tidak berlebihan. Mungkin saja terjadi
bahwa seorang pasien dengan suatu kondisi medis tertentu akan
mempunyai diagnosa keperawatan yang tidak terdaftar dalam daftar.
Karena pasien mewakili respon manusia yang unik,diagnosa keperawatan
tidak dapat diramalkan berdasarkan kondisi medis saja.
Ada lima tipe diagnosis keperawatan menurut Carpenito dan
Moyet (2007), yaitu:
1. Diagnosis Keperawatan Aktual (Actual) Diagnosis keperawatan aktual
merupakan masalah yang sudah terjadi yang ditandai karakteristik
mayor (tanda dan gejala) (Carpenito dan Moyet 2007). Diagnosis
keperawatan aktual memiliki label, definisi (problem), definisi
karakteristik (sign/symptom), dan faktor yang berhubungan (etiologi).
Diagnosis aktual, etiologi hanya dapat berupa satu atau beberapa
penyebab. Misalnya: seorang pria dengan fraktur (patah tulang) pada
kaki kiri terpasang gips. Dia tidak tahu cara menggunakan cara
menggunakan kruk (crutches). Diagnosis keperawatannya:
keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan (b/d) terpasang gips
dan kurang pengetahuan menggunakan kruk.
2. Diagnosis Keperawatan Risiko Risiko jatuh, merupakan diagnosis
keperawatan yang paling sering muncul pada pasien dengan diagnose
medik Dispepsia, Gastroenteritis, dan Gastritis. Hal ini sesuai dengan
batasan karakteristik untuk risiko jatuh, yaitu mengantuk, sakit akut,
diare, dan gangguan keseimbangan (NANDA, 2012).
3. Diagnosa Keperawatan Sindrom (Syndrome) Diagnosis keperawatan
sindrom merupakan kumpulan dari prediksi diagnosis keperawatan
aktual atau risiko yang berhubungan dengan peristiwa atau kejadian.
Karena situasi selalu diakibatkan dari kumpulan, maka mesti ditulis
diagnosis keperawatan sindrom.
Diagnosa Keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan fraktur
femur adalah :
a) Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan
2) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan tindakan
pembedahan
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
muskuloskletal, nyeri/ketidaknyamanan, gangguan fungsi
muskuloskeletal, imobilisasi
4) Resiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi, paralisis,
perubahan tingkat kesadaran
5) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan
6) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penatalaksanaan medis
(pemasangan fiksasi eksternal)
6. Intervensi Keperawatan
Menurut Suprajitno (2018) perencanaan keperawatan mencakup
tujuan umum dan khusus yang didasarkan pada masalah yang
dilengkapi dengan kriteria dan standar yang mengacu pada penyebab.
Menurut kozier, et al (2010), intervensi keperawatan harus
spesifik dan dinyatakan dengan jelas. Pengelompokkan seperti bagaimana,
kapan, di mana, frekuensi, dan besarnya, menunjukkan isi dari aktivitas
yang direncanakan. Intervensi keperawatan dapat dibagi menjadi dua,
yaitu: mandiri (dilakukan oleh perawat) dan kolaboratif (yang dilakukan
bersama dengan pemberi perawatan lainnya). Perencanaan adalah suatu
kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan berpusat pada klien dan
hasil yang di perkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih
untuk mencapai tujuan tersebut (Potter & Perry, 2015).
Langkah – langkah dalam perencanaan :
1. Menentukan Prioritas Masalah
Untuk mulai memprioritaskan masalah, pertama kali perawat
harus mengidentifikasi masalah yang paling penting (urgent). Masalah
yang paling penting ini biasanya memerlukan tindakan medis segera.
Setelah itu, perawat melihat tujuan yang ingin dicapai saat klien pulang
nanti. Hal ini diperlukan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan
pertama kali dari keseluruhan asuhan keperawatan.
Untuk dapat memprioritaskan masalah, maka perawat
memerlukan kemampuan dan keterampilan berpikir kritis sehingga
dapat menentukan masalah mana yang memerlukan perhatian khusus
dan masalah mana yang dapat ditunda, menentukan masalah mana yang
menjadi tanggung jawab perawat dan mana masalah yang perlu dirujuk
pada tim kesehatan lain, menentukan masalah mana yang sesuai dengan
standar asuhan keperawatan dan mana yang dapat menggunakan
clinical pathway (kerja sama antar tim kesehatan), serta menentukan
masalah mana yang tidak termasuk dalam standar keperawatan, tetapi
harus dirumuskan agar dapat diatasi sebelum klien pulang nanti.
Menurut Carpenito (2000) ada perbedaan antara prioritas
diagnosa dan diagnosa yang penting
a. Prioritas diagnosa adalah diagnosa keperawatan jika tidak diatasi saat
ini akan berdampak buruk terhadap keadaan fungsi status kesehatan
klien,
b. Diagnosa yang penting adalah diagnosa keperawatan dimana
intervensi dapat ditunda untuk beberapa saat tanpa berdampak
terhadap status fungsi kesehatan klien.
Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam memprioritaskan
masalah. Salah satunya adalah prioritas berdasarkan kebutuhan dasar
manusia menurut Maslow. Prioritas ke-1 Masalah mengancam
kehidupan, yaitu kebutuhan fisiologis. Contohnya:
a) kebutuhan fisiologis masalah pernapasan, sirkulasi, nutrisi, hidrasi,
dan kecukupan cairan, eleminasi, pengaturan suhu, dan kenyamanan
fisik.
b) Prioritas ke-2 Masalah yang mengganggu keamanan dan
kenyamanan, misalnya: lingkungan, bahaya, takut.
c) Prioritas ke-3 Masalah yang berhubungan dengan cinta dan
mencintai. Contohnya adalah isolasi sosial dan kehilangan orang
yang dicintai.
d) Prioritas ke-4 Masalah yang mempengaruhi harga diri. Misalnya,
ketidakmampuan mencuci rambut sendirian dan ketidakmampuan
melakukan aktivitas sehari-hari secara normal.
e) Prioritas ke-5 Masalah yang mengganggu pencapaian tujuan pribadi,
misalnya aktualisasi diri.
2. Merumuskan Kriteria Hasil
Kriteria hasil sangat penting karena dapat menjadi tonggak
pengukur keberhasilan asuhan keperawatan yang diberikan, menjadi
arahan untuk pelaksanaan intervensi, serta menjadi faktor pemicu dan
kerangka waktu untuk mencapai tujuan.
Standar dan fokus yang digunakan dalam perumusan kriteria
hasil adalah berfokus pada bagian-bagian dari diagnosis keperawatan,
diformulasikan sebagai tujuan yang dapat diukur, merupakan suatu hal
yang saling menguntungkan bagi klien dan perawat, harus realistis dan
sesuai dengan kemampuan serta kondisi klien, serta dapat dicapai
dengan sumber yang tersedia.
Keefektifan suatu asuhan keperawatan yang diberikan
haruslah berfokus pada klien. Upaya seperti ini dikenal dengan istilah
“tujuan berfokus pada klien”. Tujuan berfokus kepada klien
mengandung arti perubahan/kegiatan apa yang perawat inginkan terjadi
pada klien dan kapan perawat mengharapkan perubahan atau kejadian
itu dicapai. Perawat harus memperhatikan hal kondisi fisik klien,
lamanya klien dirawat dirumah sakit, tingkat pertumbuhan dan
perkembangan.
Pedoman penulisan kriteria hasil (outcomes) yaitu berfokus
pada klien, singkat dan jelas, dapat di observasi dan diukur, ada batas
waktunya, realistis, dan ditentukan oleh perawat dan klien. Menurut
Deswani (2009), kategori intervensi terdiri dari 2, yaitu:
1. Intervensi keperawatan langsung Yaitu kegiatan yang dilakukan
langsung berinteraksi dengan klien, seperti membantu klien turun
dari tempat tidur atau memberikan pendidikan kesehatan tentang
diabetes melitus.
2. Intervensi keperawatan tidak langsung Yaitu kegiatan yang
dilakukan tanpa langsung berhadapan dengan klien, misalnya:
memonitor hasil pemeriksaan laboratorium atau memindahkan klien
dari satu ruangan ke ruangan lain.
3. Merumuskan Rasional
Dalam pengumpulan data, seorang perawat harus mampu
berfikir secara kritis supaya data yang dikumpulkan benar dan jelas
sesuai dengan apa yang dikeluhkan pasien. Perawat juga harus mampu
berkomunikasi baik kepada pasien, keluarga pasien serta tenaga
kesehatan lain untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan nyata,
sehingga pada saat dilakukan dokumentasi, data yang di temukan sesuai
dengan hasil pengkajian.
Dengan keakuratan data yang didapat, maka perawat dapat
memberikan diagnosa keperawatan dan tindakan asuhan keperawatan.
Keakuratan data berpengaruh dalam pemberian asuhan keperawatan
seperti, pemberian obat, terapi, tindakan pengobatan terhadap masalah
pasien. Hingga jika terjadi kesalahan data yang diperoleh, pastinya
pemberian asuhan keperawatan yang diberi akan salah dan
menimbulkan dampak yang merugikan bagi kesehatan pasien
pemberian tindakan kepada pasien. Pengkajian sangat berpengaruh
kepada pelaksanaan proses keperawatan yang diberikan kepada pasien.
Sehingga, perawat dituntut melakukan pengkajian data yang benar.
Pengkajian data pengumpulan data yang benar dapat memudahkan
melakukan diagnosa keperawatan. Dengan begitu dapatlah dilakukan
tindakan selanjutnya seperti pemberian asuhan keperawatan yang sesuai
dengan masalah kesehatan yang diderita pasien (Tampubolon, 2015)
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Post Operatif
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nyeri (1400)
selama 3x24 jam nyeri akut pada pasien 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Kontrol nyeri (1605) 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Tingkat nyeri (2102) 3. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
Kepuasan klien: manajemen nyeri Terapi relaksasi (6040)
(3016) 4. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
nafas dalam dan acto
5. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
2. Kerusakan integritas NOC NIC
jaringan (00046) Setelah dilakukan tindakan Perawatan Luka Tekan (3520)
keperawatan selama 3x24 jam 1. Ajarkan pasien dan keluarga akan adanya tanda
diharapkan integritas kulit tetap kulit pecah-pecah
terjaga dengan kriteria hasil: 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
Intregitas jaringan: kulit dan membran 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
mukosa (1101) kering
4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua
jam sekali
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah
yang tertekan
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
8. Monitor status nutrisi pasien
9. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
Pengecekan kulit (3590)
10. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan
adanya kemerahan
11. Amati warna, bengkak, pulsasi, tekstur, edema,
dan ulserasi pada ekstremitas
12. Monitor warna dan suhu kulit
13. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
14. Monitor infeksi terutama daerah edema
15. Ajrkan anggota keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda kerusakan kulit, dengan
tepat
3. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC
(00085) setelah dilakukan perwatan selama 3x24 Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
jam mobilitas fisik pasien membaik 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi
dengan kriteria hasil: mobilisasi sesuai indikasi
Koordinasi pergerakan (0212) 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
penyebab nyeri otot atau sendi
3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
sesuai indiksi
Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi
latihan menurut lefel kebugaran actor atau
tidaknya actor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa
beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar
sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah program
latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
4. Resiko sindrom disuse NOC NIC
(00040) setelah dilakukan perwatan selama 3x24 Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
jam pasien mnunjukkan perbaikan 1. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
status fungsi motorik dengan kriteria fisiologis, dan konsekuensi dari
hasil: penyalahgunaannya
Status Neurologi: Sensori tulang 3. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
punggung/ fungsi motorik (0914) untuk terlibat dalam latihan otot progresif
4. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi
latihan menurut lefel kebugaran actor atau
tidaknya actor resiko
5. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
6. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa
beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar
sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
7. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
8. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah program
latihan
9. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
10. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan aktif
11. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
12. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
5. Perlambatan pemulihan NIC
pasca bedah (00268) Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam pasien mampu
menunjukkan kemajuan kemampuan
mobilitas fisik dengan kriteria hasil:
Konsekuensi Imobilitas (0204)
8. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai
secara obyektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakn sebelumnya.
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses
keperawatan. Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai
tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses
keperawatan.
Evaluasi yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil
menentukan seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari
tindakan. Penilaian peoses menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap
tahapan proses mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan,
dan evaluasi itu sendiri. (Ali, 2009) Evaluasi merupakan tahap akhir yang
bertujuan untuk menilai apakah tindakan keperawatan yang telah
dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi suatu masalah. (Meirisa,
2013). Pada tahap evaluasi, perawat dapat mengetahui seberapa jauh
diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaan telah tercapai.
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik
setelah pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan
implementasi keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format
SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah
teratasi, teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah
keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah,
atau dimodifikasi
9. Discharge Planning
Discharge planning merupakan suatu proses yang dinamis dan
sistematis dari penilaian, persiapan, serta koordinasi yang dilakukan untuk
memberikan kemudahan pengawasan pelayanan kesehatan dan pelayanan
sosial sebelum dan sesudah pulang.
Nurafif dan Kusuma (2015) menjelaskan bahwa discharge
planning untuk pasien fraktur adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan masukan cairan
2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu
3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat
4. Kontrol sesuai jadwal
5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada
keluhan
6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Hindari trauma ulang
8. Melakukan terapi latihan untuk pemulihan pasca pembedahan
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisis 13. Jakarta:
EGC.
Keiler, J., Sidel, R., Wree, A. 2018. The femoral vein diameter and its correlation
with sex, age and body mass index – An anatomical parameter with clinical
relevance. The Journal of Venous Desease. 0(0): 1-12.
Risnanto dan U. Insani. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Sietem
Muskuloskeletal. Yogyakarta: Deepublish.