Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN FRAKTUR FEMUR DI RUANG IGD


RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

oleh
Nuril Fauziah
NIM 182310101047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan berikut dibuat oleh:


Nama : Nuril Fauziah
NIM : 182311101047
Judul : Laporan Pendahuluan Pada Klien dengan Fraktur Femur dan
Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Fraktur Femur Di Ruang
IGD RSUP Sanglah Denpasar Bali
Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:
Hari :
Tanggal :

Denpasar, April 2019

TIM PEMBIMBING,
Pembimbing Klinik, Pembimbing Akademik,

Ns. Ngakan Nyoman Rai Bawa, S.Kep Ns. Siswoyo, S.Kep., M.Kep.
NIP. 19850731 200812 1 003 NIP. 19800412 200604 1 002850207

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan Kegawadaruratan pada Pasien dengan Fraktur Femur
di Ruang IGD RSUP Sanglah Denpasar telah disetujui dan disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat: Ruang IGD RSUP Sanglah Denpasar
Denpasar, …. April 2019
Mahasiswa

Nuril Fauziah, S.Kep.


NIM 182311101047

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang IGD
Universitas Jember RSUP Sanglah Denpasar

Ns. Siswoyo, S.Kep., M.Kep. Ns. Ngakan Nyoman Rai Bawa, S.Kep
NIP. 19800412 200604 1 002850207 NIP. 19850731 200812 1 003
A. Konsep Teori Fraktur Femur
1. Anatomi Fisiologi
a) Anatomi Tulang
Risnanto dan Insani (2014) menjelaskan bahwa tulang merupakan istilah
yang berasal dari embrionic healing cartilage melalui proses osteogenesis
menjadi tulang. Proses osteogenesis terjadi karena adanya sel yang disebut
osteoblast. Sistem rangka manusia dipelihara oleh sistem haversian yaitu sistem
yang berupa rangga yang ditengahnya terdapat pembuluh darah.
Tulang diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yaitu:
1) Tulang axial
Tulang axial merupaan tulang pada daerah kepala dan badan, seperti
halnya tulang kepala (tengkorak), tulang belakang atau vertebratae, dan
tulang rusuk, serta sternum.
2) Tulang appendicular
Tulang appendicular terdiri dari tulang tangan dan kaki. Ekstremitas
atas meliputi scapula, klavikula, humerus, ulna, radius, serta pada ekstremitas
bawah meliuti pelvis, femur, patela, tibia, fibula, dan telapak kaki.
Tulang manusia tersusun atas berbagai komponen, yaitu sel, matriks
protein, dan mineral. Sel terdiri dari tiga jenis dasar yaitu osteosit, osteoblas,
dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dan
mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen, dan 2%
substansi dasar. Matriks merupakan kerangka tempat garam mineral
anorganik disimpan. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam
pemeliharaan fungsi tulang, dan terletak dalam unit matriks tulang, atau
osteon. Osteoklas adalah sel berinti banyak atau multinuclear yang berfungsi
untuk menghancurkan, resorpsi, dan remodelling tulang.
Osteon merupakan unit fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah
osteon, terdapat kapiler yang merupakan matriks tulag yang disebut lamella.
Lamella yang didalamnya terdapat osteosit, memperoleh nutrisi melalui
prosessus yang berlanjut ke dalam kanalikuli atau kanal yang menghubungkan
dengan pembuluh darah. Tulang diselimuti oleh membran fibrous padat yang
dinamakan periosteum. Periosteum berfungsi untuk memberikan nutrisi ke
tulang dan memungkinkannya tumbuh dan berfungsi sebagai tempat perlekatan
tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan
limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulag mengandung osteoblas yang
merupakan sel pembentuk tulang. Endosteum merupakan membran vaskuler
tipisa yang menutupi rongga sumsum tulang panjang. Osteoklas yang
menghancurkan tulang terletak di dekat endosteum dan dalam lakuna Howship
atau cekungan pada permukaan tulang (Biology, 2011; Risnanto dan Insani,
2014).

Gambar 1. Struktur Tulang


Struktur tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organik dan 70%
endapan garam. Bahan organik pada tulang disebut matriks yang terdiri
atas lebih dari 90% serat kolagen dan kurang dari 10% proteoglikan.
Tulang dapat menopang atau memiliki kemampuan menahan tekanan
disebabkan oleh adanya garam, dan dapat memiliki kekuatan tensif
(resistensi terhadap tarikan yang meregangkan) karena tersusun dari bahan
organik (Risnanto dan Insani, 2014).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus. Proses ini
dapat berupa pemanjangan, dan penebalan. Kecepatan pembentukan tulang
berubah selama hidup. Hal ini dipengaruhi oleh rangsangan hormon,
faktor makanan, dan jumlah stres yang disebabkan pada suatu tulang, dan
terjdi akibat sel pembentuk tulang yaitu osteoblas..osteoblas terdapat pada
permukaan luar dan dalam tulang (Singh, 2016).
Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk
menghasilkan matriks tulang. Proses pembentukan tulang berlangsung
bersamaan dengan proses absorpsi oleh osteoklas. Osteoklas bekerja
melalui sekresi asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan
fagositosis. Osteoklas terdapat pada sebagian kecil potongan tulang, dan
mengabsorpsi tulang sedikit demi sedikit. Keseimbangan antara aktivitas
osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus menerus diperbarui atau
mengalami remodelling. Saat individu berada pada tahap perkembangan
remaja, aktivitas osteoblas lebih dari aktivitas osteoklas sehingga tulang
menjadi panjang dan tebal. Ketika individu memasuki tahap dewasa muda,
aktivitas osteoblas dan osteoklas setara, sehingga jumlah total massal
tulang akan konstan. Pada usia pertengahan, aktiviitas osteoklas melebihi
osteoblas sehingga menyebabkan kepadatan tulang berkurang, dan tulang
menjadi mudah patah (Biology, 2011; Risnanto dan Insani, 2014).
Gambar 2. Anatomi Femur
Bagian-bagian femur meliputi:
1. Ujung Proksimal
Bagian ini terdiri dari kepala, leher, dan dua trokanter. Kepala
menghadap ke depan, medial, dan sedikit anterior. Area proksimal femur
membentuk sendi pinggul dengan panggul. Terdapat dua tulang punggung
yang menghubungkan trokanter.
a) Head: menghubungkan dengan acetabulum panggul untuk membuat sendi
pinggul. Permukaan kepala femur berada pada posisi medial sebagai lokasi
ligamen kepala femur.
b) Neck: memasang head femur dengan poros. Neck berbentuk silinder,
memproyeksikan arah superior dan medial, sehingga sudut proyeksi ini
memungkinkan timbulnya berbagai gerakan yang disempurnakan oleh
sendi pinggul.
c) Greater trochanter: proyeksi tulang femur dari sisi anterior, sejajar dengan
neck, dan dapat ditemukan di sisi anterior dan posterior tulang femur.
d) Trochanter lesser: memanjang dari sisi posteromedial tulang femur.
e) Garis intertrochanteric: merupakan sebuah punggungan tulang yang
menghubungkan dua trokanter.
2. Shaft
Shaft atau batang femur, dibagi menjadi 3 bagian yaitu sepertiga
proksimal, sepertiga medial, dan sepertiga distal.
3. Distal
Area distal femur ditandai oleh adanya kandilus medial, dan lateral yang
bergabung dengan tibia dan patela membentuk sendi lutut.
a) Kondilus medial dan lateral: daerah yang melingkar di ujung tulang
femur. Permukaan posterior dan inferior terhubung dengan tibia, dan
permukaan anterior terhubung dengan patella
b) Epicondyles medial dan lateral: merupakan area non artikular dari
kondilus
c) Intercondylar fossa: terletak pada permukaan posterior femur, diantara
dua kondilus
d) Facet untuk pemasangan ligamentum cruriatum posterior: merupakan
tempat menempelnya ligamentum cruriatum posterior yang terletak di
dinding medial fossa interkondilarsis
e) Facet untuk pemasangan ligamentum cruriatum anterior: merupakan
lokasi menempelnya ligamentum cruciatum anterior lutut yang terletak
pada dinding lateral fossa interkondilaris
Gambar 3. Pembuluh darah di Femur
Terdapat pembuluh darah besar di sekitar femur, yaitu femoral artery, dan
femoral vein. Vena yang terdapat pada sekitar tulang femur atau yang disebut
Common Femoral Vein (CGV) memiliki diameter rata rata 11,84 mm pada
saat relaksasi, dan mampu meningkat hingga 14,27 mm. Diameter arteri
femoralis adalah berkisar 3,9 hingga 8,9 mm. Terdapat great saphenous vein
yang merupakan vena besar, subkutan, dan superfisial. Vena ini merupakan
vena terpanjang pada tubuh manusia yang bekerja pada sepanjangn
ekstremitas bawah (Keiler dkk., 2018).
Gambar 4. Kompartmen Femur
Karedsheh (2018) menjelaskan bahwa terdapat 3 kompartment yang
berada di sekitar tulang femur, meliputi anterior, medial, dan posterior.
Diantara kompartmen satu dengan yang lain dipisahkan oleh sekat atau
septum.
1. Anterior compartment
Otot: vastus intermedius, vastus lateralis, rectus femoralis, vastus medialis,
dan sartonus.
Nerve: femoral nerve
2. Medial/adductor compartment
Otot: adductor longus, gracilis, dan adductor magnus
Nerve: sciatic nerve
3. Posterior compartment
Otot: biceps femoralis, semitensinosus, dan semimembranosus
Nerve: obturator nerve

b) Fisiologi Tulang
Kaufmann dkk. (2018) menjelaskan bahwa fungsi utama sistem skeletal
pada manusia meliputi 3 hal, yaitu support, movement, dan protection. Sistem
skeletal manusia terdiri dari tulang rawan, ligamen, dan jaringan lain yang
melakukan fungsi penting untuk tubuh manusia. Jaringan tulang atau jaringan
osteosis merupakan jaringan ikat padat yang keras, dan berfungsi untuk
membentuk sebagian besar kerangka, dan struktur pendukung internal tubuh.
Tulang rawan berfungsi untuk memberikan fleksibilitas dan permukaan halus
untuk gerakan. Ligamen yang merupakan jaringan ikat yang menghubungkan
tulang ke tulang lain merupakan jaringan ikat padat yang mengelilingi sendi dan
mengikat tulang bersama sama. Komponen komponen tersebut melakukan fungsi
sebagai berikut:

Gambar 5. Fungsi Tulang

1) Melindungi organ tubuh internal


2) Memproduksi dan menyimpan lemak
3) Memproduksi sel darah merah
4) Memproduksi dan menampung mineral. Tulang menyimpan 97% kalsium
dan fosfor tubuh
5) Mendukung pergerakan tubuh
6) Menyokong rangka dan bentuk tubuh
2. Pengertian Fraktur Femur
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Norvell, 2017; Keany 2015). Fraktur femur yang digambarkan sesuai lokasi,
dapat dikelompokkan menjadi 3, meliputi proksimal atau ujung atas dekat
panggul, shaft/poros tulang, dan distal atau ujung bawah dekat lutut (Avruskin,
2013; Romeo, 2018)

Gambar 6. Fraktur Femur

3. Epidemiologi Fraktur Femur


Romeo (2018) menjelaskan bahwa insiden fraktur femur berkisar
antara 9,5 hingga 18,9 per 100.000 populasi dunia per tahun. Insiden fraktur
femur di Amerika Serikat adalah sebanyak 250.000 kasus, dan diperkirakan
akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050.

4. Klasifikasi Fraktur
Nurafif dan Kusuma (2015) menjelaskan bahwa fraktur diklasifikasikan
secara klinis menjadi 3, yaitu:
a) Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman compartment syndrome.

Gambar 7. Fraktur Tertutup


b) Fraktur terbuka (open/ compound fraktur)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang bila tulang yang patah menembus otot
dan kulit yang memungkinkan/potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Derajat I apabila laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen
minimal.
2) Derajata II apabila laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,
dislokasi fragmen jelas.
3) Derajat III apabila luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
(a) Derajat IIIA: patah tulang terbuka dengan jaringan luas, tetapi
masih bisa menutupi patahan tulang saat dilakukan perbaikan.
(b) Derajat IIIB: patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak hebat atau hilang (soft tissue loes) sehingga tampak tulang
(bone-exposs).
(c) Derajat IIIC: patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh
darah dan atau saraf yang hebat.
Gambar 8. Fraktur Terbuka
c) Fraktur dengan komplikasi, seperti halnya malunion, delayed, nonunion,
dan infeksi tulang.

5. Etiologi Fraktur Femur


Nurafif dan Kusuma (2015) menjelaskan bahwa etiologi fraktur adalah
sebagai berikut:
1. Faktor traumatik
Kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat teradi patah pada tempat
yang terkena, akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak
disekitarnya. Jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka terjadi
fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan
jaringan lunak ditempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat
fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma ada 2 yaitu:
a) Trauma langsung adalah benturan pada tulang yang berakibat ditempat
tersebut.
b) Trauma tidak langsung adalah titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur yang berjauhan.
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis. Penyebab dari fraktur cruris
dapat disebabkan oleh adanya trauma akibat benturan keras pada tungkai
bawah. Benturan tersebut terjadi akibat kecelakan. Selain itu, fraktur cruris
juga disebabkan oleh penekukan atau penarikan tendon dan ligament yang
dapat berakibat terpisahnya tulang.
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

6. Manifestasi Klinis
(Belleza, 2016) menjelaskan bahwa manifestasi klinis fraktur adalah sebagai
berikut:
a. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.

b. Kehilangan fungsi
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
c. Pemendekan ekstremitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Saat
ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainya.
d. Edema dan ecchymosis lokal
Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

7. Patofisiologi dan Clinical Pathway


Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit (Smelter & Bare, 2002). Sewaktu tulang patah
perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak
sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut
syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf
perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan
sindrom compartment (Smeltzer & Bare, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2002). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri
dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2012). Reduksi terbuka dan fiksasi interna
(ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku.
Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya
tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price & Wilson, 2006).

8. Komplikasi
(Belleza, 2016) menjelaskan bahwa komplikasi yang dapat terjadi
pada pasien dengan fraktur adalah:
a. Syok hipovolemik. Kondisi ini terjadi akibat adanya perdarahan berlebih
yang sering ditemukan pada pasien trauma akibat fraktur pada tulang
pelvis, femur, atau fraktur lain dengan jenis fraktur terbuka.
b. Fat embolism syndrome. Kondisi ini terjadi akibat fraktur pada tulang
panjang, atau fraktur lain yang menyebabkan jaringan sekitar hancur,
sehingga emboli lemak dapat terjadi.
c. Compartement syndrome. Kondisi ini merupakan keadaan yang
mengancam ekstremitas yang terjadi ketika tekanan perfusi turun atau
lebih rendah daripada tekanan jaringan. Hal ini disebabkan karena
penurunan ukuran compartment otot karena fasia yang membungkus otot
terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun
peningkatan isi kompatement otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera
remuk).
d. Osteomyelitis. Kondisi tulang yang mengalami fraktur merupakan salah
satu faktor resiko terjadinya osteomyelitis. Penyakit ini merupakan infeksi
pada tulang yang penatalaksanaannya melalui terapi medikasi dengan
antibiotik, serta pembedahan ketika infeksi bersifat persisten.

9. Pemeriksaan Penunjang
Belleza (2016) menjelaskan bahwa periksaan yang dapat dilakukan
pada pasien dengan diagnosa fraktur femur adalah:
a. Pemeriksaan X ray, berfungsi untuk menentukan lokasi dan luas fraktur
b. Bone scans, tomograms, computed tomography (CT) atau Magnetig
Resonance Imaging (MRI), bertujuan untuk memfisualisasi fraktur,
perdarahan, kerusakan jaringan, dan membedakan antara ftaktur akibat
trauma dengan neoplasma tulang
c. Arteriogram, yaitu pemeriksaan yang dapat dilakukan aabila dicurigai
terjadi kerusakan pembuluh darah okuli
d. Complete Blood Cound (CBC). Jika hasil pemeriksaan hitung darah
lengkap menunjukkan bahwa hematokrit mengalami peningkatan atau
penurunan (hemokonsentrasi) menunjukkan adanya perdarahan pada
lokasi fraktur atau organ di sekitar lokasi trauma. Hasil pemeriksaan
hitung darah lengkap yang menunjukkan peningkatan sel darah putih
(WBC) merupakan tanda respon stres normal setelah trauma atau
terjadinya fraktur
e. Urine creatinine (Cr) clearance, untuk mengetahui trauma atau Fraktur
yang terjadi menyebabkan meningkatnya Cr pada ginjal
f. Coagulation profile, bertujuan untuk mengetahui perubahan akibat
kehilangan darah.

10. Penatalaksanaan
Norvell (2017) menjelaskan bahwa penatalaksanaan pada pasien
dengan fraktur adalah melalui metode RICE, yaitu:
a. Rest
Nyeri merupakan sinyal tubuh bahwa telah terjadi suatu masalah. Hal
yang harus dilakukan ketika mengalami nyeri adalah menghentikan kegiatan
fisik dan yang paling penting harus dilakukan 2 hari pertama. Tulang yang
mengalami trauma harus diistirahatkan dan tidak diberikan banyak gerakan.
Tulang yang mengalami trauma dan mendapatkan tidak diistirahatkan atau
mendapatkan banyak gerakan, akan beresiko mengalami perpanjangan masa
penyembuhan.
b. Ice
Kompres menggunakan es pada hari pertama hingga hari kedua pasca
terjadinya trauma bertujuan untuk mengurangi nyeri atau rasa sakit, dan
menghentikan perdarahan.
c. Compression
Pemberian tekanan pada tubuh yang mengalami trauma dapat
dilakukan menggunakan elastic medical bandage atau ACE bandage.
Pembebatan harus dilakukan tepat, dalam arti tidak terlalu longgar, dan tidak
terlalu rapat untuk menjaga sirkulasi tetap berjalan lancar.
d. Elevation
Hal terakhir yang bisa dilakukan untuk menangani fraktur adalah
dengan mengelevasikan bagian yang trauma lebih tinggi dari jantung. Hal ini
bertujuan untuk melancarkan sirkulasi. Ketika terjadi fraktur pada tulang tibia
atau fibula maka tindakan elevasi bisa dilakukan dengan memberikan bantal
di bawah tulang tersebut, sehingga bagian yang mengalami trauma
diposisikan lebih tinggi daripada jantung.

Muttaqin (2008) menjelaskan bahwa penatalaksanaan fraktur melalui


pembedahan dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap
sama.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan
untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu
dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
2) Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang
biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi
pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi,
pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan
fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan
penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada
tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. Tetapi dapat
juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang
paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial
batang.

11. Rehabilitation Exercise


a. Assissted active exercise
Assisted active exercise yaitu suatu gerakan aktif dengan bantuan
kekuatan dari luar, sedangkan pasien tetap mengkontraksikan ototnya
secara sadar. Bantuan dari luar dapat berupa tangan terapis, papan, maupun
suspension. Latihan ini dilakukan pada hari pertama sampai dengan hari
ketiga pasca operasi. Pada hari pertama posisi pasien tidur terlentang,
terapis berada di samping pasien pada sisi yang sakit. Terapis memfiksasi
fragmen bagian distal dan menyangga tungkai bawah. Pasien diminta
menekuk dan meluruskan lututnya sesuai kemampuan. Pada hari kedua
dan ketiga pasca operasi latihan ini dilakukan dengan posisi berbeda yaitu
dengan duduk ongkang-ongkang, satu tangan terapis memberi fiksasi di
atas lutut dan satu tangan yang lain menyangga tungkai bawah kemudian
pasien diminta bergerak menekuk dan meluruskan lututnya. Gerakan ini
dilakukan 5-10 kali pengulangan
Gambar 9. Gerakan assisted active untuk sendi lutut fleksi-ekstensi
b. Free active exercise
Free active exercise yaitu suatu gerakan aktif yang dilakukan oleh
adanya kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan, gerakan
yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan pengaruh gravitasi.
Latihan ini dilakukan pada hari ketiga sampai hari keenam. Posisi pasien
yaitu duduk ongkang-ongkang. Terapis berada di samping pasien dan
memberi fiksasi pada tungkai atas sedekat mungkin dengan lutut
kemudian pasien diminta untuk menekuk lutut (fleksi) dan meluruskan
lutut (ekstensi) dilakukan 8 kali.

Gambar 10. Free Active Movement pada sendi lutut


c. Ressisted active exercise
Resisted active exercise yaitu gerak aktif dengan tahanan dari luar
terhadap gerakan yang dilakukan oleh pasien. Tahanan dapat berasal dari
terapis, pegas maupun dari pasien itu sendiri. Salah satu cara untuk
meningkatkan kekuatan otot adalah dengan meningkatkan tahanan secara
bertahap. Latihan ini dilakukan pada hari keempat sampai hari keenam.
Posisi pasien duduk ongkang-ongkang. Terapis berada di samping pasien,
satu tangan memfiksasi tungkai atas bagian distal sedekat mungkin dengan
lutut dan satu tangan memberi tahanan pada tungkai bawah. Pasien
diminta meluruskan lututnya kemudian terapis memberi tahanan ke arah
fleksi, selanjutnya pasien diminta untuk menekuk lututnya kemudian
terapis memberi tahanan ke arah ekstensi. Gerakan ini dilakukan 5-10 kali
pengulangan .

Gambar 11. Resisted active exercise pada sendi lutut

d. Latihan duduk
1) Latihan duduk Long Sitting
Posisi awal pasien tidur terlentang satu tangan terapis diletakkan di
punggung pasien. Untuk menahan agar tidak jatuh, pasien diminta
bangun dengan kedua siku sebagai tumpuan, kemudian kedua telapak
tangan pasien menumpu setelah badan condong ke belakang/posisi long
sitting, kedua tangan menumpu ke belakang badan.

Gambar 12. Duduk long sitting


2) Latihan duduk menggantung
Posisi awal pasien duduk half lying dengan long sitting, terapis berdiri
disamping pasien, tungkai kanan yang sehat disuruh menekuk. Kedua
tangan sebagai tumpuan dan terapis menyangga tungakai yang cidera.
Dan pelan-pelan pasien disuruh menggeser pantatnya, terapis membawa
tungkai kedua tungkai kesamping bed sampai kedua lutut di tepi bed
kedua tangan pasien menumpu untuk menyangga tubuh, kemudian
kedua tungkai dalam keadaan menggantung.

Gambar 13. Duduk ongkang-ongkang


e. Latihan jalan
Latihan jalan dengan menggunakan kruk atau walker dapat
memperbaiki aktifitas fungsional jalan. Sebelum latihan jalan pasien
diberikan latihan transfer secara bertahap mulai dari posisi tidur terlentang
ke posisi duduk, duduk ke berdiri. Pada saat duduk dan berdiri diberikan
latihan keseimbangan yaitu dengan memberi dorongan ke depan,
belakang, samping kanan dan kiri.
Latihan jalan bisa dimulai dari tingkat yang paling aman yaitu
dengan walker yang mempunyai stabilitas lebih tinggi daripada kruk.
Apabila dengan walker kemampuan jalan penderita mulai meningkat
kemudian dapat diganti dengan kruk. Latihan jalan dilakukan tanpa
menumpu berat badan (non weight bearing) yaitu kaki yang sehat
menumpu sedang kaki yang sakit tidak menumpu dan dengan metode
swing yang terdiri dari swing to dan swing trough. Swing to yaitu kedua
kruk maju kemudian diikuti kedua kaki diayunkan ke depan dengan posisi
kaki saat menumpu sejajar dengan kedua kruk. Swing trough yaitu kedua
kruk maju kemudian diikuti kedua kaki diayunkan ke depan dengan posisi
kaki saat menumpu melewati kruk. Latihan jalan pertama kali diberikan
dengan jarak yang dekat seperti di sekitar tempat tidur baru kemudian
ditambah dengan jarak yang lebih jauh bertahap dari hari ke hari. Pasien
diminta untuk tetap berjalan seperti yang diajarkan terapis yaitu tanpa
menumpu berat badan sampai menunggu jadwal kontrol ke dokter dimana
hasil dari kontrol tersebut menjadi pertimbangan apakah pasien
diperbolehkan partial weight bearing (setengah menumpu berat badan)
atau weight bearing sekaligus.

Gambar 14. Latihan jalan


B. Clinical Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

FRAKTUR

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang

Laserasi kulit Nyeri akut


Perubahan Spasme otot
jaringan sekitar

Peningkatan Terputusnya
Pergeseran Kerusakan
tekanan kapiler vena/arteri
fragmen tulang integritas
jaringan

Deformitas Pelepasan
Perdarahan
histamin

Ansietas Gangguan fungsi Hilangnya protein Kehilangan volume


ekstremitas plasma cairan

Hambatan Edema
mobilitas fisik Resiko syok

Penekanan
pembuluh darah

Ketidakefektifan
perfusi jaringan
perifer
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian Primer yang dilakukan meliputi :
1) Airway :
a) Data Subjektif
Klien mengatakan tidak terdapat sumbatan pada jalan nafasnya
b) Data objektif
1. Jalan nafas paten
2. Tidak ada suara mendengkur
3. Tidak ada obstruksi jalan nafas
4. Tidak terdapat suara ronkhi
2) Breathing :
a) Data subjektif
Klien mengeluh sesak nafas
b) Data objektif
1. Frekuensi nafas > 24 x/menit
2. Irama nafas cepat
3. Penggunaan otot batu pernapasan
3) Circulation :
a) Data subjektif
Klien mengatakan gemetar
b) Data objektif
1. Frekuensi nadi > 100 x/menit, takikardi
2. Irama nadi cepat
3. Nadi teraba kuat
4. CRT < 2 detik
4) Disability
a) Data subjektif
Klien mengeluh kakinya sakit
b) Data objektif
Adanya fraktur pada tulang dan kerusakan pada jaringan.
5) Exposure
Buka pakaian penderita untuk memeriksa cedera agat tidak melewatkan
memeriksa seluruh bagian tubuh terlebih yang tidak terlihat secara sepintas.
Jika seluruh tubuh telah diperiksa, penderita harus ditutup untuk mencegah
hilangnya panas tubuh. Walaupun penting untuk membuka pakian penderita
trauma untuk melakukan penelaian yang efektif.

Secondary Survey meliputi :


1) Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengalami kecelakaan lalu lintas/ terjatuh
2) Riwayat penyakit dahulu
a) Riwayat penyakit yang pernah dialami
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus,
penyakit jantung (terutama aritmia). Adanya riwayat merokok, penggunaan
alkohol dan penyalahgunaan obat (kokain).
b) Alergi (Obat, Makanan, dll)
Kaji adanya alergi obat, makanan, atau minuman serta alergi lainnya.
3) Pengkajian Head To toe
a) Keadaan Umum: kondisi pasien lemah, penurunan kesadaran
composmetis, merintih kesakitan, terjadi kerusakan jaringan jika fraktur
terbuka.
b) Tanda-tanda vital & Nyeri : nyeri akut pada bagian yang fraktur, jika
pasien stabil TTV akan dalam kala normal namun jika ada perdarahan
bisa terjadi hipotensi..
c) Kepala
a. Kepala: inspeksi bentuk kepala, distribusi rambut, warna rambut,
dan kulit kepala
b. Mata: inspeksi adanya kelainan anatomi mata dan palpasi adanya
konjungtiva anemis atau tidak
c. Telinga: inspeksi bentuk telinga simentris atau tidak serta uji dengan
tes pendengaran normal atau tidak
d. Hidung: bentuk hidung, alat bantu yang terpasang pada hidung,
pernafasan cuping hidung, apakah ada benjolan atau lesi
e. Mulut: Inspeksi mukosa bibir, warna bibir, dan kelainan bentuk atau
anatomi, peradangan pada gusi, ulserasi pada mulut
f. Leher : inspeksi kelainan bentuk leher, adanya vena jugularis, nadi
karotis dan adanya penggunaan otot bantu nafas.
g. Dada
Paru-paru: inspeksi bentuk dada, palpasi, perkusi seluruh lapang
dada dan auskultasi suara nafas.
Jantung: inspeksi iktus qordis, palpasi CRT dan detakan jantung,
perkusi batas jantung, dan auskultasi suara jantung abnormal
h. Abdomen : inspeksi adanya asites dan kelainan bentuk abdomen,
nyeri area pinggang.
i. Urogenital : inspeksi bentuk anatomi genital, alat bantu eliminasi
yang terpasang.
j. Ekstremitas
inspeksi kelainan bentuk ekremitas baik bawah maupun atas, fungsi
pergerakan, perubahan bentuk, dan adanya edema daerah
ekstremitas, terasa panas pada telapak kaki, kelemahan pada tungkai,
foot drop, penurunan kekuatan otot.
k. Punggung
Kaji adanya kelainan tulang belakang, adanya cedera, dan kelainan
lainnya.
l. Keadaan lokal
Keadaan local pada bagian yang terjadi apakah fraktur terbuka atau
fraktur tertutup. Kondisi perdarahan yang terjadi dan memonitoring
TTV.

4) Tindakan Prehospital
Segala bentuk tindakan awal yang dilakukan oleh pasien dan keluarga
sebelum datang kerumah sakit untuk mengatasi masalah yang dikeluhakan.
Tindakan ini juga dapat dilakukan oleh rumah sakit atau pelayanan kesehatan
pratama yang menjadi perujuk klien kerumah sakit.
5) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan unntuk mendukung atau menunjang
hasil pengkajian guna merumuskan diagnosa yang tepat. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan pada pasien dengan gagal jantung dapat dilakukan
pemeriksaan EKG, enzim jantung, dan pemeriksaan lainnya yang diperlukan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma)
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
c. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan cedera
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas
f. Resiko syok berhubungan dengan perdarahan
3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri
(lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
(3016)
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
selama 3x24 jam nyeri akut pada pasien
Terapi relaksasi (6040)
dapat berkurang, dengan kriteria hasil:
4. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
nafas dalam
Indikator Aw 1 2 3 4 5
5. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
al
Melaporka
n nyeri
berkurang
Mengenali
nyeri
Mengetah
ui
penyebab
nyeri
Mencari
bantuan
2. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC
(00085) Koordinasi pergerakan (0212) Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
setelah dilakukan perwatan selama 3x24 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi
jam mobilitas fisik pasien membanik mobilisasi sesuai indikasi
dengan kriteria hasil: 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
1. Dapat mengontrol kontraksi penyebab nyeri otot atau sendi
pergerakkan 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
2. Dapat melakukan kemantapan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
pergerakkan sesuai indiksi
3. Dapat menahan keseimbangan Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
pergerakkan 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
Indikator Aw 1 2 3 4 5 fisiologis, dan konsekuensi dari
al penyalahgunaannya
Kontraksi 5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
pergeraka untuk terlibat dalam latihan otot progresif
n 6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
Kemantap pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi
an latihan menurut lefel kebugaran 40actor40 atau
pergeraka tidaknya 40actor resiko
n 7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
Keseimba selesai satu set jika dipelukan
ngan 8. Bantu klien untuk menyampaikan atau
pergeraka mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa
n beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar
sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah program
latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
3. Kerusakan integritas NOC NIC
jaringan (00046) Intregitas jaringan: kulit dan membran Perawatan Luka Tekan (3520)
mukosa (1101) 1. Ajarkan pasien dan keluarga akan adanya
Setelah dilakukan tindakan tanda kulit pecah-pecah
keperawatan selama 3x24 jam 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
diharapkan integritas kulit tetap terjaga 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
dengan kriteria hasil: kering
Indikator Aw 1 2 3 4 5 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
al dua jam sekali
Sensasi 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
elastisitas 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
Lesi
daerah yang tertekan
Perfusi
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
jaringan
8. Monitor status nutrisi pasien
9. Memandikan pasien dengan sabun dan air
hangat
Pengecekan kulit (3590)
10. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan
adanya kemerahan
11. Amati warna, bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada ekstremitas
12. Monitor warna dan suhu kulit
13. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
14. Monitor infeksi terutama daerah edema
15. Ajrkan anggota keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda kerusakan kulit, dengan
tepat
4. Ansietas (00146) NOC NIC
Tingkat Kecemasan (1211) Pengurangan kecemasan (5820)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan
selama 1x 24 jam, ansietas pada pasien menyakinkan
dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku
Indikator Aw 1 2 3 4 5 klien
al 3. Jelaskan semua prosedur termasuk sesuai yang
Menyamb akan dirasakan yang mungkin akan alami klien
aikan rasa selama prosedur
takut 4. Berikan informasi 42actual terkait diagnosis,
Tekanan
perawatan dan prognosis
darah
5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa
Frekuensi aman dan mengurangi ketakutan
nadi 6. dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan
Frekuensi ketakutan
pernafasan 7. dukung penggunaan mekanisme koping yang
sesuai
8. instruksikan klien untuk menggunakan teknik
relaksasi
9. kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan
5. Ketidakefektifan perfusi NOC NIC
jaringan perifer (00204) Perfusi jaringan: perifer (0470) Manajemen cairan (4120)
Status sirkulasi (0401) 1. Jaga intake dan output pasien
Tanda-tanda vital (0802) 2. Monitor status hidrasi (mukosa)
Integritas jaringan: kulit dan 43actor43i 3. Berikan cairan IV sesuai dengan suhu kamar
mukosa (1101) Pengecekan kulit (3590)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4. Periksa kulit terkait adanya kemerahan dan
selama 2x24 jam, perfusi jaringan kehangatan
5. Amati warna, kehangatan, pulsasi pada
perifer pasien kembali efektif dengan
ekstremitas
kriteria hasil:
Monitor tanda-tanda vital (6680)
6. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
Indikator Aw 1 2 3 4 5 pernafasan dengan tepat
al
Kekuatan
denyut
nadi
Akral
hangat
Tekanan
darah
Suhu
tubuh
Irama
pernafasan
Nadi
6. Risiko syok (00205) NOC NIC
Pencegahan syok Pencegahan syok (4260)
Management syok 1. Monitor status sirkulasi (tekanan darah, warna
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kulit, suhu kulit, denyut jantung, ritme, nadi
selama 1x24 jam, resiko infeksi pada perifer, dan CRT)
pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
Indikator Aw 1 2 3 4 5 3. Monitor input dan output
al 4. Monitor tanda awal syok
Irama 5. Kolaborasi pemberian cairan IV dengan tepat
jantung
Irama nadi
Frekuensi
pernafasan
4. Implementasi Keperawtan
Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah
direncanakan.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

D. Discharge Planning
Nurafif dan Kusuma (2015) menjelaskan bahwa discharge planning untuk
pasien fraktur adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan masukan cairan
2. Dianjurkan untuk diet lunak terlebih dahulu
3. Dianjurkan untuk istirahat yang adekuat
4. Kontrol sesuai jadwal
5. Mimun obat sesuai dengan yang diresepkan dan segera periksa jika ada
keluhan
6. Menjaga masukan nutrisi yang seimbang
7. Hindari trauma ulang
8. Melakukan terapi latihan untuk pemulihan pasca pembedahan
DAFTAR PUSTAKA

Avruskin, Andra. 2013. Femur Fracture.


https://www.moveforwardpt.com/SymptomsConditionsDetail.aspx?
cid=f85bbe8f-685c-43bf-bb51-9bc43dd8fb01 [Diakses pada Oktober 14,
2018].
Belleza, M. 2016. Fracture. https://nurseslabs.com/fracture/ [Diakses pada
October 6, 2018].
Biology, D. 2011. Bone Anatomy. https://askabiologist.asu.edu/bone-anatomy
[Diakses pada October 6, 2018].
Carpenito, L.J. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisis 13. Jakarta:
EGC.

Kaufmann, L. Mike, M. Philip, M.-G. Katie, Q. Devon, dan R. A. Jon. 2018.


Anatomy & Physiology. Oregon, USA: Open Oregon State, Oregon State
University.
Keany, E. James. 2015. Femur Fracture.
https://emedicine.medscape.com/article/90779-overview#a7 [Diakses pada
Oktober 14, 2018].
Keiler, J., Sidel, R., Wree, A. 2018. The femoral vein diameter and its correlation
with sex, age and body mass index – An anatomical parameter with clinical
relevance. The Journal of Venous Desease. 0(0): 1-12.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan.
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Norvell, J. G. 2017. Tibia and Fibula Fracture in the ED.
https://emedicine.medscape.com/article/826304-overview#a6 [Diakses pada
October 7, 2018].
Nurafif, A. H. dan H. Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Bersarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC. Edisi MediAction. Yogyakarta.

Risnanto dan U. Insani. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Sietem
Muskuloskeletal. Yogyakarta: Deepublish.

Romeo, M. Nicholas. 2018. Femur Injuries and Fracture.


https://emedicine.medscape.com/article/90779-overview#a7 [Diakses pada
October 14, 2018].
Singh, A. P. 2016. Bone Anatomy and Physiology.
https://boneandspine.com/bone-anatomy-and-physiology/ [Diakses pada
October 6, 2018].
Smeltzer, S. C. dan B. G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai