Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HEPATOMA DI IRNA I RUANG 22


RUMAH SAKIT DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH:

Nuril Fauziah, S. Kep

NIM 182311101047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

DESEMBER, 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Hematoma di


IRNA 1 Ruang 22 RSUD Dr. Saiful Anwar telah disetujui dan disahkan pada :

Hari, Tanggal : Jumat, 7 Desember 2018

Tempat : IRNA 1 Ruang 22

Jember, 7 Desember 2018

Mahasiswa

Nuril Fauziah, S.Kep.

NIM 182311101047

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Fakultas Keperawatan IRNA 1 Ruang 22

Universitas Jember RSD Soebandi Jember

Muratqib, S. Kp.,M. Kep. ( )

NIP 19840102 201504 12 002

2
1. DEFINISI
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah tumor ganas hati primer dan
paling sering ditemukan dari pada tumor ganas hati primer lainnya seperti
limfoma maligna, fibrosarkoma, dan hemangioendotelioma.
Hepatocellular Carcinoma (HCC) atau disebut juga hepatoma atau kanker hati
primer atau Karsinoma Hepato Selular (KHS) adalah satu dari jenis kanker yang
berasal dari sel hati (Misnadiarly, 2007).

2. ETIOLOGI
a. Virus Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti
kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar
wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan hepatoma
yang tinggi. Umur saat terjadinya infeksi merupakan faktor resiko penting
karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan terjadinya kronisitas.
Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi
kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA
sel penjamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati.
Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif
bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan
secara tidak langsung akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau
beberapa gen yang berubah akibat HBV. Infeksi HBV dengan pajanan agen
onkogenik seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa
melalui sirosis hati.

b. Virus Hepatitis C

3
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor
resiko penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi penyebab paling
umum karsinoma hepatoseluler di Jepang dan Eropa, dan juga bertanggung
jawab atas meningkatnya insiden karsinoma hepatoseluler di Amerika Serikat,
30% dari kasus karsinoma hepatoseluler dianggap terkait dengan infeksi HCV.
Sekitar 5-30% orang dengan infeksi HCV akan berkembang
menjadipenyakit hati kronis. Dalam kelompok ini, sekitar 30% berkembang
menjadi sirosis, dan sekitar 1-2% per tahun berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler. Resiko karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan HCV
sekitar 5% dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan alkohol oleh
pasien dengan HCV kronis lebih beresiko terkena karsinoma hepatoseluler
dibandingkan dengan infeksi HCV saja. Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa penggunaan antivirus pada infeksi HCV kronis dapat mengurangi
risiko karsinoma hepatoseluler secara signifikan.

c. Sirosis Hati
Sirosis hati merupakan faktor resiko utama hepatoma di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama sirosis di
Amerika Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis C, dan infeksi
hepatitis B. Setiap tahun, 3-5% dari pasien dengan sirosis hati akan menderita
hepatoma. Hepatoma merupakan penyebab utama kematian pada sirosis hati.
Pada otopsi pada pasien dengan sirosis hati , 20-80% di antaranya telah
menderita hepatoma.

d. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) meruapakan mikotoksin yang diproduksi oleh
jamur Aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1 bersifat
karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan terutama banyak
berhubungan dengan makanan berjamur. Pertumbuhan jamur yang
menghasilkan aflatoksin berkembang subur pada suhu 13°C, terutama pada
makanan yang menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat berbagai makanan
4
yang tercemar dengan aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian
(kentang rusak, umbi rambat rusak,singkong, dan lain-lain), jamu, bihun, dan
beras berjamur.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1
menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai penelitian dengan
menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara pajanan
aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma.

e. Obesitas
Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat
diketahui bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5x akibat
kanker pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40
kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal.
Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alcoholic fatty liver
disesease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang
dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian berlanjut menjadi
hepatoma.

f. Diabetes Mellitus
Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk
penyakit hati kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan
hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM
dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth
factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker.
Indikasi kuatnya aasosiasi antara DM dan hepatoma terlihat dari banyak
penelitian. Penelitian oleh El Serag dkk. yang melibatkan173.643 pasien DM
dan 650.620 pasien bukan DM menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada
kelompok DM lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi
hepatoma kelompok bukan DM.

g. Alkohol
5
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol (>50-70 g/hari atau > 6-7 botol per hari) selama lebih dari 10 tahun
meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler 5 kali lipat. Hanya sedikit bukti
adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga
meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan hepatoma pada pengidap
infeksi HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC
juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif atau anti-HCV
positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap infeksi
HBV maupun infeksi HCV.

3. PATOFISIOLOGI
Hepatoma 75 % berasal dari sirosis hati yang lama/menahun. Khususnya yang
disebabkan oleh alkoholik dan post nekrotik. Pedoman diagnostik yang paling
penting adalah terjadinya kerusakan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pada
penderita sirosis hati yang disertai pembesaran hati mendadak. Matastase ke hati
dapat terdeteksi pada lebih dari 50 % kematian akibat kanker.
Diagnosa sulit ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui sampai
penyebaran tumor yang luas, sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi.
Stadium hepatoma :
a. Stadium I : Satu fokal tumor berdiameter < 3 cm
b. Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada
segment I atau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri
hati
c. Stadium III : Tumor pada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV)
atau ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumor dengan invasi
peripheral ke sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu
(biliary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati
d. Stadium IV :Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan
dan lobus kiri hati. atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah
hati (intra hepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct) atau
tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel)
6
seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior-
atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase).

Pathway

Virus Virus Aflatoksin Alkohol, steroid


hepatitis B hepatitis C
anabolic,
androgen yang
Integrasi DNA Infeksi sel hati Mutasi gen berlebihan,
virus ke DNA sel
Bahan
kontrasepsi oral,
Peningkatan Inflamasi
poliferasi hepatosit Penimbunan zat
kronik
besi yang
Sirosis hepatik

Hepatoma

Anoreksia, Asites
mual

Gangguan nutrisi kurang Dinding perut menegang Diafragma


dari kebutuhan tertekan

Gangguan rasa nyaman Gangguan


nyeri ventilasi

Pembedahan

Diskontinuitas
Insisi bedah 7
jaringan

Luka post operasi


4. MANIFESTASI KLINIS
a. Gangguan nutrisi
b. Penurunan berat badan yang baru saja terjadi
c. Kehilangan kekuatan
d. Anoreksia
e. Anemia
f. Nyeri abdomen dapat ditemukan, disertai dengan pembesaran hati yang
cepat serta permukaan yang teraba ireguler pada palpasi.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Biopsi
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy)
terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada
pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu
hepatoma.
Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CTscann
mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi
dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang
berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh
mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan
tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di
sekitar tumor.
b. Radiologi
Untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat
menentukan dalam pengobatannya. Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di
dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah,dua buah
atau lebih atau bisa sangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau
8
berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan besar yang
bisa berkapsul.

c. Ultrasonografi
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati
yang normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen).
USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker
hatidiameter 2 cm – 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi
dengan perangkat lunak harmonik sistem bisa mendeteksi benjolan kanker
diameter 1 cm – 2 cm13, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya
60%.
d. CT scan
CT scann sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati
dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa
dibuat sebagian-sebagian saja. CTscann dapat membuat gambar kanker dalam
tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula
memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.
e. Angiografi
Angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker
yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran
pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar.
Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.
f. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic Resonance
Angiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta
pembuluh darah kanker hati ini.
g. PET (Positron Emission Tomography)
Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat pendiagnosis
kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau

9
Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat
dan dalam stadium dini.
Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis
sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di
dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker.
PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan
lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di
samping itu juga dapat melihat metastase (penyebaran).

6. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan
radiologi dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan
besarnya ukuran kanker,lokasi kanker di bagian hati yang mana, apakah lesinya
tunggal (soliter) atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat
besar berkapsul, atau kanker sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya
metastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh penderita ataukah sudah
ada tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah sudah ada sirrhosis hati.
Tahap penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu tindakan non-bedah dan tindakan
bedah.
a. Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi
Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan
bedah yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan juga
reseksi daerah sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang
seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker pada
penderita, karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh lagi jadi besar,
untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini harus tahu pasti batas antara
kanker dan jaringan yang sehat. Radiologilah satu-satunya cara untuk
menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu dengan pemeriksaan CT
angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan jaringan sehat sehingga
ahli bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan. Maka harus
dilakukan CT angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi.
10
Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah
kanker sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab
memberikan makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat
tumbuh subur. Sesudah itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial
Embolisasi (TAE) yaitu suatu tindakan memasukkan suatu zat yang dapat
menyumbat pembuluh darah (feeding artery) itu sehingga menyetop suplai
makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian kemampua hidup (viability)
dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai menghilang.
Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial
Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih
dahulu kanker-nya disirami racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker
yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai makanannya maka sel-sel
kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang lagi dan bila sel-sel
ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu dikhawatirkan, karena sudah tak
mampu lagi bertumbuh. Tindakan TAE digabung dengan tindakan TAC yang
dilakukan olehdokter spesialis radiologi disebut tindakan Trans Arterial
Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk tujuan supportif
yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan
ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah.
Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan
pada dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan
yang dapat menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir
sayatan sudah bebas kanker. Bila benar pinggir sayatan bebas kanker artinya
sudahlah pasti tidak ada lagi jaringan kanker yang masih tertinggal di dalam
hati penderita. Kemudian diberikan chemotherapy (kemoterapi) yang
bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh berkembang
biak.
Pemberian Kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam
bahagian onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan
melalui pmbuluh darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung

11
dengan mitomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan
hidup penderita per lima tahun 90% dan per 10 tahun 80%.

b. Tindakan Non-bedah Hati


Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada
stadium lanjut.. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah:
1) Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan
oksigen yang datangnyabersama aliran darah yang menyuplai sel
tersebut. Pada kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan
banyak makanan dan oksigen, dengan demikian terjadi banyak
pembuluh darah baru (neo-vascularisasi) yang merupakan cabang-
cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut pembuluh darah
pemberi makanan (feeding artery) Tindakan TAE ini menyumbat
feeding artery.
Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha
(arteri femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di
perut (aorta abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh
darah hati (artery hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding
artery. Lalu feeding artery ini disumbat (di-embolisasi) dengan suatu
bahan seperti gel foam sehingga aliran darah ke kanker dihentikan dan
dengan demikian suplai makanan dan oksigen ke sel-sel kanker akan
terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan
embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotherapy yaitu
memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel
kanker jadi diracuni dengan obat yang mematikan.
Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar
terjamin mati dan tak berkembang lagi.Dengan dasar inilah embolisasi
dan injeksi kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya
memberi harapan yang lebih cerah pada penderita yang terancam maut
ini. Angka harapan hidup penderita dengan cara ini per lima tahunnya
12
bisa mencapai sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa mencapai
50%.

2) Infus Sitostatika Intra-arterial


Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang
normal berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga
sel-sel ganas mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem
arteri hepatika. Bila Vena porta tertutup oleh tumor maka makanan dan
oksigen ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut akan
mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah
ada penyumbatan vena porta ini. Infus sitostatika intra-arterial ini
dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang besar tertutup oleh sel-sel
tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tindakan
transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien
menolak atau karena ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakai
adalah mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20
Mg dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau dapat juga
cisplatin dan 5FU (5 Fluoro Uracil).
Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi
infus sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah
double lumen balloncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam
arteri hepatika. Setelah ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran
darah, sitostatika diinjeksikan dalam keadaan ballon mengembang
selama 10 – 30 menit, tujuannya adalah memperlama kontak
sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan hidup pasien
per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya 30%
dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah20% dan 10%.
3) Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)
Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak
semua tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan

13
tak mampu membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang
menjadi pilihan satu-satunya.
Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek
samping ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan
harapan. PEI hanya dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak
pada stadium lanjut. Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan
dengan cara ini untuk kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun
pengobatan paling optimal dikerjakan pada garis tengah kurang dari 3
cm. Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan membuktikan bahwa
tumor mengalami nekrosis yang lengkap.
Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus
kanker ini dengan jumlah lesi tidak lebih dari3 buah nodule, meskipun
dilaporkan bahwa lesi tunggal merupakan kasus yang paling optimal
dalam pengobatan. Walaupun kelihatannya cara ini mungkin dapat
menolong tetapi tidak banyak penelitian yang memadai dilakukan
sehingga hanya dikatakan membawa tindakan ini memberi hasil yang
cukup baik.
4) Terapi Non-bedah Lanilla
Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya
dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi
(TAE) ataupun Trans Arterial Chemoembolisation ataupun Trans
Arterial Chemotherapy tak mungkin dilakukan lagi. Di antaranya yaitu
terapi Radio Frequency Ablation Therapy (RFA),Proton Beam
Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT),
Cryosurgery yang kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan
kuratif (menyembuhkan) keseluruhannya.
5) Tindakan Transplantasi Hati
Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada
sirrhosis hati dan ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau
sudah hampir seluruh hati terkena kanker atau sudah ada sel-sel kanker
yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta) maka tidak ada jalan
14
terapi yang lebih baik lagi dari transplantasi hati. Transplantasi hati
adalah tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh
seseorang. Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan
tindakan radiologi seperti yang disebut di atas tidak mampu lagi
menolong pasien.
Akan tetapi,langkah menuju transplantasi hati tidak mudah,
pasalnya ketersediaan hati untuk di-transplantasikan sangat sulit
diperoleh seiring kesepakatan global yang melarang jual beli organ
tubuh. Selain itu, biaya transplantasi tergolong sangat mahal. Dan pula
sebelum proses transplantasi harus dilakukan serangkaian pemeriksaan
seperti tes jaringan tubuh dan darah yang tujuannya memastikan
adanya kesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh pendonor dan pasien
agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru. Penolakan bisa berupa
penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan menimbulkan
kerusakan permanen dan mempercepat kematian penderita. Seiring
keberhasilan tindakan transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan
lebih panjang lima tahun.

7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran
cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom
hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan
fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan
sirkulasi darah Sindrom ini mempunyai risiko kematianyangtinggi. Terjadinya
gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati ini baru dikenal pada akhir abad
19 dan pertamakali dideskripsikan oleh Flint dan Frerichs. Penatalaksanaan
sindrom hepatorenal masih belum memuaskan; masih banyak kegagalan sehingga
menimbulkan kematian. Prognosis pasien dengan penyakit ini buruk.

ASUHAN KEPERAWATAN HEPATOMA


15
1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku, bangsa, no. registrasi
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama: klien biasanya mengeluh mual, muntah, nyeri perut
kanan atas, pembesaran perut, berak hitam
2) Riwayat penyakit sekarang: biasanya klien awalnya mengalami mual,
nyeri perut kanan atas, berak hitam, kemudian perut klien membesar
dan sesak nafas.
3) Riwayat penyakit dahulu: biasanya klien pernah mengalami penyakit
hepatitis B atau C atau D. Dan mengalami sirosis hepatic
4) Riwayat penyakit keluarga: biasanya salah satu atau lebih keluarga
klien menderita penyakit hepatitis B atau C atau D. Biasanya ibu klien
menderita hepatitis B atau C atau D yang diturunkan kepada anaknya
pada waktu hamil.
5) Riwayat imunisasi: biasanya klien tidak diimunisasi untuk penyakit
hepatitis B
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Biasanya klien terlihat lemah, letih, dengan perut membesar dan sesak
nafas, penurunan BB.
2) TTV
TD: >120/80 mmHg
N: >100 x/mnt
RR: <16 x/mnt
S: >37,5oC
3) Kepala dan leher
Biasanya terjadi pernafasan cuping hidung, ikterus, muntah
4) Thoraks

16
Biasanya terjadi retraksi dada dikarenakan kesulitas bernafas,
penggunaan otot-otot bantu pernafasan
5) Abdomen
Biasanya terjadi pembesaran hati (hepatomegali), permukaan hati
terasa kasar, asites, nyeri perut bagian kanan atas dengan skala 7-10,
splenomegali
6) Ekstremitas
Biasanya terjadi gatal-gatal, kelenahan otot
7) Breath
Biasanya klien mengalami sesak nafas
8) Blood
Biasanya klien anemi dikarenakan adanya perdarahan
9) Brain
Jika sudah metastase akan terjadi enselofaty hepatik
10) Bowel
Biasanya klien mengalami anoreksia, mual, muntah, melena, bahkan
mungkin terjadi hematomesis. Terjadi penurunan BB, turgor kulit lebih
dari 2 detik, rambut kering, mukosa oral kering, penurunan serum
albumin.
11) Blader
Biasanya klien mengeluarkan urin berwarna seperti teh pekat
12) Bone
Jika terjadi metastase ke tulang akan terjadi nyeri tulang
d. Pola fungsi kesehatan
1) Pola aktivitas
Biasanya klien mengalami gangguan dalam beraktivitas dikarenakan
nyeri, kelemahan otot, mual, dan muntah
2) Pola nutrisi
Biasanya klien mengalami anoreksia, mual dan muntah
3) Pola eliminasi
Biasanya klien mengeluarkan urin berwarna seperti teh dan pekat.
17
4) Pola istirahat
Biasanya klien mengalami insomnia
5) Pola seksual
Biasanya klien mengalami penurunan libido
6) Pola spiritual
Biasanya klien terganggu dalam menjalani ibadah

2. DIAGNOSA
1) Gangguan pola nafas berhubungan dengan adanya asites dan penekanan
diafragma.
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,
mual.
3) Nyeri berhubungan dengan tegangnya dinding perut. Akibat asites

3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


No. Masalah NOC NIC
Keperawatan
1. Gangguan pola 1. RR Normal 1. Monitoring TTV
nafas 2. Tidak ada otot bantu 2. Posisikan
pernafasan semifowler
3. Bernafas secara spontan 3. Memberikan
oksigenasi
4. Berkolaborasi
dengan medis
5. Berkolaborasi
dengan farmasi
2. (00132) Nyeri Kontrol nyeri (1605): Manajemen nyeri
akut 1. Mengenali nyeri yang (1400):
terjadi 1. Kaji nyeri
2. Menggambarkan faktor pasien
penyebab 2. Observasi TTV
3. Melaporkan nyeri yang pasien
terkontrol 3. Gunakan
Tingkat nyeri (2102): strategi
1. TTV dalam rentang komunikasi

18
normal terapeutik
2. Ekspresi wajah 4. Kolaborasi
menunjukkan nyeri pemberian
ringan analgesic
3. Nafsu makan kembali Terapi relaksasi (6040):
normal 1. Ciptakan
4. Pasien dapat lingkungan
beristirahat dengan aman dan
baik nyaman untuk
pasien
2. Minta pasien
rileks dan
merasakan
sensasi yang
terjadi
3. Berikan
informasi
tentang terapi
relaksasi
4. Ajarkan terapi
relaksasi seperti
nafas dalam atau
guided imagery
dengan mata
tertutup
3. Gangguan nutrisi Status nutrisi : Asupan Terapi nutrisi (1120)
kurang dari Makanan dan Cairan (1009)
1. Asupan makanan 1. Lengkapi pengkajian
kebutuhan tubuh
adekuat nutrisi sesuai
kebutuhan
2. Nutrisi dapat
2. Monitor asupan
terpenuhui sesuai makanan harian
kebutuhan tubuh 3. Motivasi klien untuk
3. Tidak terjadi penurunan mengkonsumsi
BB makanan dan
minuman yang
bernutrisi, tinggi
protein, kalori dan
mudah dikonsumsi
serta sesuai
kebutuhan
Monitor nutrisi (1160)
19
1. Timbang berat
badan pasien
2. Identifikasi
penurunan berat
badan terakhir
3. Tentukan pola
makan
Terapi menelan (1860)

1. ediakan/gunakan
alat bantu sesuai
kebutuhan.
2. Hindari penggunaan
sedotan untuk
minum.
3. Bantu pasien untuk
berada pada posisi
duduk selama 30
menit setelah
makan.
4. Instruksikan klien
untuk tidak
berbicara selama
makan.
5. Sedikan perawatan
mulut sesuai
kebutuhan.

20

Anda mungkin juga menyukai